NIM : 20170430220
Prodi/Kelas : Ilmu Ekonomi/F
Matkul : Filsafat Ilmu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Filsafat diartikan sebagai berpikir menurut tata tertib dengan bebas dan
dengan sedalam-dalamnya, sehingga sampai ke dasar suatu persoalan, yakni
berpikir yang mempunyai ciri-ciri khusus, seperti analitis, pemahaman, deskriptif,
evaluative, interpretative, dan spekulatif. Musa Asy’ari menulis, filsafat adalah
berpikir bebas, radikal, dan berada pada dataran makna.bebas artinya tidak ada
yang menghalangi kerja pikiran. Radikal artinya berpikir sampai ke akar masalah,
mendalam, bahkan sampai melewati batas-batas fisik atau disebut
metafisis.sedangkan berpikir dalam tahap makna berarti menemukan makna
terdalam dari sesuatu yang terkandung di dalamnya. Menurut M. Amin Abdullah,
filsafat diartikan (1) sebagai aliran atau hasil pemikiran, yang berujud system
pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed
system), dan (2) sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan a) mencari ide dasar
yang bersifat fundamental (fundamental ideas), b)membentuk cara berpikir kritis
(critical thought), dan c) menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual
(intellectual freedom).
Lewis White Beck menulis : philosophy is science questions and evaluates
the methods of scientific thinking tries to determine the value and significance of
the scientific enterprise as a whole. Peter A. Angeles, sebagaimana dikutip The
Liang Gie, menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan “ suatu analisis dan
pelukisan tentang ilmu dari berbagai sudut tinjauan, termasuk logika, metodologi,
sosiologi, sejarah ilmu dan lain-lain”. A. Cornelis Benjamin mendefinisikan filsafat
ilmu sebagai disiplin filsafat yang merupakan studi kritis dan sistematis mengenai
dasar-dasar ilmu pengetahuan.Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif,
radikal dan mendasar atas berbagai persoalan mengenai ilmu pengetahuan,
landasan dan hubungannya dengan segala segi kehidupan manusia. Filsafat ilmu
dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis
bagi proses keilmuan.
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek
ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek, dan pertemuan
keduanya. Empat aliran kefilsafatan, yakni rasionalisme, empirisisme, kritisisme, dan
intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup ekstrim, yang ketiga
adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran sebelumnya. Aliran keempat
adalah aliran yang sampai saat ini sedang mencari dukungan epistemoologis dan
metodologis untuk suatu pengetahuan yang bersumber (origin) dari pengalaman (batin).
A. Rasionalisme
Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui
benar oleh rasio manusia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia
dan tidak di jabarkan dari pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada
prinsip-prinsip ini.Prinsip-prinsip itu oleh Descartes, dikenalkan dengan istilah
substansi, yang tak lain adalah ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada dalam jiwa
sebagai kebenaran yang clear and distinct tidak dapat diragukan. Ada tiga ide bawaan
yang diajarkan Descartes, yaitu
a.) Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
b.) Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide
sempurna mesti ada penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak
melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu yidak bisa lain dari pada Tuhan.
c.) Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi (extension).
Spinoza menetapkan prinsip dasar yang pasti dan menganggap bahwa setiap
langkah dari pencarian kepastian itu merupakan satu-satunya jaminan bagi
pengetahuan. Leibniz menyebut substansi dengan “monade” sebagai principles of
Nature and the Grace founded on reason. Leibniz dijuluki sebagai bapak logika
modern. Berdasarkan dasar pembedaan jenis kebenaran, Leibniz membedakan
dua jenis pengetahuan. Pertama pengetahuan yang menaruh perhatian pada
kebenaran eternal (abadi), kebenaran logis. Pengetahuan ini didasari pada prinsip
identitas dan prinsip kontradiksi. Kedua, pengetahuan yang didasarkan pada
observasi atau pengamatan, hasilnya disebut “kebenaran kontingen” atau
“kebenaran fakta”.
Akhirnya rasionalisme dilihat pada Cristian Wolff. Prinsip-prinsip dasar yang ia
sebut dengan premis, kemudian ia membagi lapangan pengetahuan menjadi tiga
bidang, yaitu :
1. Kosmologi rasional adalah pengetahuan yang berangkat dari premis.
2. Psikologi rasional adalah pengetahuan yang berhubungan dengan jiwa.
3. Teologi rasional. Wolff mengemukakan prinsip bahwa Tuhan adalah realitas
yang sesungguhnya yang paling sempurna.
Rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Rasio
itu berpikir yang membentuk pengetahuan.
B. Empirisisme
Secara harfiah, istilah empirisisme berasal dari kata Yunani, emperia yang
berarti pengalaman. Thomas Hobbes (1588-1679) menganggap bahwa pengalaman
inderawi sebagai permulaan segala pengenalan. Ajaran Hobbes merupakan sistem
materialistis pertama dalam sejarah filsafat modern. John Locke (1632-1704), rasio
mula-mula harus dianggap “as a white paper”dan seluruh isinya berasal dari
pengalaman. Berkeley (1685-1753) merancang teori yang dinamakan
“immaterialisme” yang didasari prinsip-prinsip empirisisme. Aliran empirisisme
memuncak pada David Hume, ia menerapkan prinsip empirisisme secara radikal
dan konsisten. Karya terbesar Hume : A Treatise of Human Nature terdiri tiga
bagian. Pertama, mengupas problem-problem epistemologi. Kedua, membahas
masalah emosi manusia. Ketiga, membicarakan prinsip-prinsip moral.
Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan reaksi atas tiga hal : a.)
melawan rasionalisme terutama berkaitan dengan ajaran tentang innate ideas yang
dipakai sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya memahami realitas. b.)
reaksi dalam masalah religi yang mengajarkan adanya aksiomi universal seperti
hukum kausalitas yang dapat menjamin pemahaman manusia akan Tuhan dan
alam. c.) melawan empirisisme Locke dan Berkeley yang masih percaya pada
adanya substansi, meski dalam beberapa ia menyetujui.
Substansi vs Relasi
David Hume berpendapat bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari
pengalaman yang ia sebut sebagai persepsi. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua
macam, yaitu kesan-kesan (impresions) dan gagasan (ideas). Hume membedakan
dua jenis kesan yaitu sensasi dan refleksi serta dua jenis gagasan yaitu memory dan
imaginasi. Menurut Hume, pengalaman memberikan kepada kita hanya suatu
kualitas khusus bukan suatu substratum yang unik. Hume berkesimpulan bahwa ide
tentang substansi adalah ide kosong.
Kausalitas vs Induksi
Dalam pandangan Hume, tidak benar jika kita mengatakan adanya
hubungan sebab akibat antara berbagai kejadian, sebagai pertanda adanya suatu
bentuk hubungan yang mutlak di dunia, yang disebut hukum kausalitas. Menurut
Hume, manusia cenderung menerima konsep kausalitas ini, sebenarnya hanya
karena suatu “kebiasaan berpikir”, yaitu karena dipengaruhi oleh bermacam-
macam pengamatan yang telah dilakukannya.
A. Pengantar
Fungsi paradigma ilmu adalah memberikan kerangka, mengarahkan,
bahkan menguji konsistensi dari proses keilmuan. Paradigma ilmu lahir dari
akumulasi teori-teori yang saling mendukung dan saling menyempurnakan,
sehingga menjadi satu kebulatan dan sebuah konsistensi yang ‘utuh’,
sebaliknya dari suatu paradigma ilmu dapat dilahirkan teori-teori baru,
berdasarkan temuan-temuan dari ilmuwan. Secara umum, paradigma diartikan
sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menentukan
seseorang dalam bertindak pada kehidupan sehari-hari. Menurut Thomas
Kuhn, paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu
tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan
ilmiah. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan
fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa,
kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu :a.) dimensi ontologis,
pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah : Apa sebenarnya
hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya
hakikat dari suatu realita (reality). b.) dimensi epistemologis, pertanyaan yang
harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah : Apa sebenarnya hakikat
hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau
knowable) ? c.) dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-
nilai dalam suatu kegiatan penelitian. d.) dimensi retorik yang dipermasalahkan
adalah suatu bahasa yang digunakan dalam penelitian. e.) dimensi
metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan ; bagaimana cara
atau metodologis yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu
ilmu pengetahuan ? Jawaban terhadap kelima dimensi pertayaan ini akan
menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang
akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.
B. Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal
muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Positivime muncul pada abad ke-19
dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari
empat jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim (1982 : 59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial
(social fact) : “....any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting
over the individual an external constraint, or something which in general over
the whole of a given society whilst having an existence of its individual
manifestation.” Dibawah naugan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek
ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (scientific
proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973), sebagai
berikut ; dapat di/ter amati (observable), dapat di/ter ulang (repeatable), dapat
di/terukur (measurable), dapat di/teruji (testable), dan dapat di/terramalkan
(predictable). Paradigma positivisme telah menjadi pegangan ilmuwan untuk
mengungkapkan kebenaran realitas.
C. Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-
kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara epistemologis, hubungan antara
pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah bisa
dipisahkan, seperti yang diusulkan oleh aliran positivisme.
D. Konstruktivisme
Konstruktivisme, satu diantara paham yang menyatakan bahwa
positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru dalam
mengungkap realitas dunia. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah
ilmuwan menolak tiga prinsip positivisme :
1.) ilmu merupakan upaya mengungkap realitas,
2.) hubungan antara subjek dan objek penelitian harus dapat dijelaskan,
3.) hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada
waktu dan tempat yang berbeda.
Secara ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat
sosial dan karena itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk
dari masyarakatnya. Tujun penemuan ilmu dalam konstruktivisme adalah
menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola-pola teori, jaringan
atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, lokal
dan spesifik serta tergantung pada orang yang melakukannya. Dengan
ditemukannya paradigma konstruktive ini, dapat memberikan alternatif
paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus
menandai terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan
menentukan aturan-aturan ke model rasionalitas untuk mencari dan
menentukan aturan-aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan
peranan contoh dan interpretasi mental.
E. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma,
tetapi lebih tepatnya disebut ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana
atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi idiologis
terhadap paham tertentu. Ideologi ini meliputi : Neo-Marxisme, Materialisme,
Feminisme, Freireisme, Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara.
Dilihat dari segi ontologis, paradigma ini sama dengan postpositivisme yang
menilai objek atau realitas secara (critical realism), yang tidak dapat dilihat
secara benar oleh pengamatan manusia. Terdapat dua konsepsi tentang Critical
Theory yang perlu diklarifikasi dalam tulisan ini yaitu : Pertama, kritik internal
terhadap analisis argumen atau metode yang digunakan dalam berbagai
penelitian. Kedua, makna critical dalam memformulasikan masalah logika.
Terdapat enam tema pokok yang menjadi ciri paradigma Critical Theory dalam
praktik keilmuan, pertama : problem prosedur, metode dan metodologi
keilmuan. Kedua : perumusan kembali standard dan aturan keilmuan sebagai
logika dalam konteks historis. Ketiga : dikotomi yaitu subjek dan objek.
Keempat : keperpihakan ilmu dalam interaksi sosial. Kelima : pengembangan
ilmu merupakan produksi nilai-nilai. Keenam : ilmu pengetahuan (khususnya
ilmu sosial) merupakan studi tentang masa lalu.
F. Penutup
Keempat paradigma tersebut mempunyai tampilan yang berbeda.
Perbandingan paradigma-paradigma tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah
ini.
Tabel
Tiga Paradigma Imu Sosial