Anda di halaman 1dari 12

sejarah pemikiran ekonomi islam pada masa bani umayyah dan abbasiyah

MAKALAH
“PEMIKIRAN EKONOMI PADA MASA BANI UMAYYAH DAN ‘ABBASIYAH”
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah:
“Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”
Dosen pembimbing:
Reni Dwi Puspitasari, M.Sy

Ditulis oleh :
MOH.HADI TRIONO
NIM :1711143054
                          
Fakultas : Syariah Dan Ilmu Hukum
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah(Muamalah)
Semester : III(Tiga)
Kelas : C

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


(IAIN) TULUNGAGUNG
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berbagai rahmat, taufik
dan hidayah-Nya yang telah dianugrahkan kepada kita semua. Sholawat serta salam semoga
tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW, beserta keluarga dan pengikut setianya, semoga
kesuksesan senantiasa mewujud dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Reni Dwi Puspitasari, M.Syselaku dosen pembimbing
mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemikiran Ekonomi pada Masa Daulah Umawiyah dan
‘Abbasiyah” dalam rangka memenuhi tugas makalah mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Secara tehnis kami telah berupaya optimal
untuk menyelesaikan makalah ini, namun pada kenyataannya tidak dapat dipungkiri masih
banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, baik dari segi isi sistematika maupun
tingkat penggunaan bahasa yang mungkin kurang sesuai.
Maka itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Demikian makalah ini kami buat,
kami ucapkan terima kasih.

          Tulungagung, 15 Oktober 2015

                                                                     PENYUSUN

DAFTAR ISI
Cover ........................................................................................................................ i
Kata pengantar .........................................................................................................  ii
Daftar isi ..................................................................................................................  iii

BAB I : PENDAHULUAN
A. Kata Pengantar.................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................1
C. Tujuan Masalah.................................................................................................1

 BAB II : PEMBAHASAN
      A.  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Umayyah..........................2
           1. Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan.............................................................2
        2. Khalifah Abdul Malik ibn Marwan.............................................................2
        3. Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz...................................................................4
      B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Abbasiyah.......................6
            1. Abu Ja’far Al-Manshur:...........................................................................8
            2. Harun al Rasyid.......................................................................................8
            3. Kemunduran...........................................................................................12
     
                                                                                                                    
BAB III : PENUTUP
A.Kesimpulan........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................14

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang
Perkembangan ekonomi islam saat ini tidak bisa dipisahkan dari sejarah pemikiran
muslim tentang ekonomi di masa lalu. Adalah suatu keniscayaan bila pemikir muslim berupaya
untuk membuat solusi atas segala persoalan hidup di masanya dalam perspektif yang dimiliki.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh
pada al-Qur’an dan hadis nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya
merupakan respon pada cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu
tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam sesuai Islam itu sendiri.
Banyak ekonom muslim lahir di masa Dinasti abbasiyah, dibanding di masa sebelumnya
khulafa’ al-rashidin ataupun masa Dinasti ummayah. Hal ini bisa dijadikan alasan bahwa
tumbuhnya pemikir muslim tentang ekonomi tidak bebas dari kenyataan-kenyataan yang tumbuh
di zaman yang melahirkan menjadi pemikir yang ahli dibidang-bidang tertentu.

B.  Rumusan Masalah
1.  Bagaimanakah sejarah pemikiran ekonomi islam  pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah?
2.  Bagaimanakah praktek ekonomi pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah ?

C. Tujuan Masalah
 1. Untuk mengetahui sejarah pemikiran ekonomi islam  pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah?
2. Untuk mengetahui praktek ekonomi pada masa bani Umayyah dan Abbasiyah ?

                                            BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Umayyah( 611-750 M)
Bani Umayyah (bahasa Arab: ‫و أمية‬HHHH‫بن‬, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau
Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin
yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya (beribukota di Damaskus) ;
serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Kordoba. Nama dinasti
ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani
Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan
kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Alinamun Hasan bin Ali menyerahkan
jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum
muslimin yang pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak
terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-
orangKhawarij dan Syi'ah. dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.[1]

Pemikiran khalifah-khalifah di bidang ekonomi pada masa Bani Umayyah


                      

a.  Khalifah Muawiyah ibn Abi Sofyan


Pada masa pemerintahannya, beliau mendirikan dinas pos berserta dengan berbagai
fasilitasnya, menertibkan angakatan perang, mencetak uang, dan menegmbangkan jabatan Adi
( hakim ) sebagai jabatan profesional.
Selain itu, beliau juga menerapkan kebijakan pemberian gaji tetap kepada para tentara,
pembentukan tentara profesional, serta pengembangan birokrasi seperti fungsi pengumpulan
pajak dan administrasi.[2]

b.   Khalifah Abdul Malik ibn Marwan


Pemikiran yang serius terhadap penerbitan dan pengaturan unag dalam masyarakat islam
muncul di masa pemerintahan beliau. Abd al-Malik mengubah bizantinum dan persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri dengan
memakai kata-kata dan tulisan arab serta tetap mencantumkan kalimat
‘’bismillahirrahmanirrahim pada tahun 74 H ( 659 M). Pembuatan mata uang pada masa itu
didasarkan pemikiran bahwa mata uang selain memiliki nilai ekonomi juga sebagai pernyataan
kedaulatan Dinasti Islam. Disamping itu, mata uang juga berfungsi sebagai sarana pengumuman
keabsahan pemerintahan pada waktu itu yang namanya terpatri pada mata uang tersebut.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pun memerintahkan Arabisasi maat uang sebagian dari
politik arabisasi aparatur negara pada masa pemerintahannya.
Mata uang yang dibuat di dunia islam waktu itu disebut sikkah . menurut Ibn Khaldun kosa
kata sikkah selain dikenakan terhadap mata uang juga dikenakan terhadap gedung tempat
pembuatan mata uang. Karenanya gedung tersebut juga disebut Dar as-Sikkah. Darul as-
sikkah tersebar diberbagai pelosok wilayah islam pada waktu itu, sehingga Darul as-
sikkah dikenal sampai di luar kawasan islam.
Di dunia islam mengenal dua jenis mata uang utama, yaitu mata uang dinar emas, di ambil
dari kata dinarius, dan dirham perak yaitu berasal dari kosa kata yunani drachmos. Selain kedua
jenis tersebut, terdapat mata uang pecahan atau disebut maksur seperti qitha dan mithqal. Pada
empat hijrah dunia islam mengalami krisis mata uang emas dan perak, maka dibuatlah dari
tembaga atau campuran tembaga dengan perak yang disebut dengan fulus ( diambil dari bahasa
latin follis), yaitu mata uang tembaga tipis. Mata uang tersebut juga disebut al-qarathis karena
mirip dengan lembaran kertas.
Setelah muncul mata uang fulus mata uang mulai dihitung. Setelah banyak mata uang
bercap khalifah munculah kelompok orang-orang memberikan jasa dalam mempermudah
transaksi keuangan dan penukaran mata uang ( as-shayyrifah). Di samping itu muncul istilah
keuangan yang menunjukan bahwa tempat penukaran berubah fungsinya menjadi Bank. Istilah
tersebut antara lainshaftajah, shakk, khath, hawwalah.
Selain itu khalifah Abdul Malik dalam hal pajak dan zakat memberikan kebijakan dengan
memberlakukan kewajiban bagi umat Islam untuk membayar Zakat dan bebas dari pajak lainnya.
Hal ini mendorong orang non-muslim memmeluk agama Islam. Dengan cara ini, meraka
terbebas dari pembayaran pajak. Setelah itu, meraka meninggalkan tanah pertaniannya guna
mencari nafkah di kota-kota besar sebagai tentara. Kenyataan ini menimbulkan masalah bagi
perekonomian negara. Karena pada satu sisi, perpindahan agama mengakiibatkan berkurangnya
sumber pendapatan negara dari sektor pajak. Pada sisi lain, bertambahnya militer Islam dari
kelompok mawali memerlukan dana subsidi yang semakin besar. Untuk mengatasi permasalahan
ini, khalifah Abdul Malik bin Marwan mengembalikan beberapa militer Islam kepada profesinya
semula, yakni sebagai petani dan menetapkan kepadanya untuk membayar sejumlah pajak
sebagaimana kewajiban mereka sebelum mereka masuk islam, yakni sebesar beban kharaj dan
jizyah.
Khalifah Abd al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan
memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan islam.
Keberhasilan khalifah Abd al-malik diikuti oleh putranya Al-walid Abd al-Malik (705-715)
seorang yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembanguna. Dia
membangun panti-panti untuk orang cacat. Semua personil yang terlibat dalam kegiatan yang
humanis ini digaji oleh negara secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang
menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung
pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[3]
       
c.    Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz
Selama masa pemerintahannya, beliau menerapkan kembali ajaran islam secara utuh
menyeluruh. Ketika diangkat sebagai khalifah, beliau mengumpulkan rakyatnya dan
mengumumnkan serta menyerahkan seluruh harta kekayaan diri dan keluarganya yang tidak
wajar kepada kaum muslimin melalui baitul maal.
 Dalam melakukan berbagai kebijakannya, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz melindungi dan
meningkatkan kemakmuran taraf hidup masyarakat secara keseluruhan. Ia mengurangi beban
pajak yang di pungut dari kaum Nasrani, menghapus pajak terhadap kaum muslim, membuat
takaran dan timbangan, membasmi cukai dan kerja paksa, dan lain-lain. Berbagai kebijakan
berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat secara keseluruhan hingga tidak ada lagi yang
mau menerima zakat.
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz juga menetapkan kebijakan dengan mengurangi beban
pajak atas penganut kristen najran dari 2000 keping menjadi 200 keping. Kebijakan ini
dikeluarkan karena ternyata masyarakat kristen khususnya Bani Najran merasa berat. Beban
meraka dirasakan terlalu berat untuk dipikul. Karena kebanyakan mereka bukan orang-orang
kaya. Karena itu mereka menuntut Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz untuk mengurangi beban
pajak tersebut. Dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menetapkan kebijakan untuk melarang
pembelian tanah non-muslim kepada umat islam, langkah ini diambil khalifah karena banyak
tanah orang kristen yang sudah menjadi milik orang islam. Sehingga banyak umat kristen yang
tidak memiliki lahan untuk digarap.
Lebih jauh lagi, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menerapkan kebijakan otonomi daerah. Setiap
wilayah islam mempunyai wewenang untuk mengelola zakat dan pajak sendiri-sendiri dan tidak
diharuskan menyerakan upeti kepada pemerintahan pusat. Bahkan sebaliknya pemerintah pusat
akan memberikan bantuan subsidi kepada setiap wilayah islam yang minim pendapatan zakat
dan pajaknya.
Dengan demikian, masing-masing wilayah islam diberi kekuasaan untuk mengelola
kekayaannya. Jika terdapat surplus, khalifah Umar Ibn Abdul Aziz menyarankan agar wilayah
tersebut memberi bantuan kepada wilayah yang minim pendapatannya, untuk menunjang hal ini,
ia mengangkat ibn jahdam sebagai Amil shadaqah yang bertugas menerima dan
mendistribusikan hasil shadaqah secara merata ke seluruh wilayah islam.
Pada masa pemerintahannya, sumber-sumber pemasukan negara berasal dari zakat, hasil
rampasan perang, pajak penghasilan pertanian ( pajak ini diawal pemerintahan khalifah Umar
Ibn Abdul Aziz di tiadakan, mengingat situasi ekonomi yang belum kondusif ). Setelah stabilitas
perekonomian masyarakat membaik, pajak ini ditetapkan, dan hasil pemberian lapangan kerja
produktif kepada masyarakat luas.
Akan tetapi, kondisi baitul maal yang telah dikembalikan oleh Umar Ibn Abdul Aziz
kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah
meruntuhkan sendi-sendi baitul maal, dan keadaan  demikian berkepanjangan sampai masa ke
khalifahan Bani Abbasiyah.[4]

B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pada Masa Bani Abbasiyah ( 750-847 M -132-232 H
Daulah Abbasiyah adalah sebuah negara yang melanjutkan kekuasaan bani Umayyah.
Dinamakan daulah Abbasiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-
Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah Al-Safah bin
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al- Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H.
Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H[5].
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulah Umayyah kepada Daulat ‘Abbasiyah bermula ketika
Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena, mereka adalah
keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rosullalalh.
Tetapi tuntutan itu baru mengeras ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin
Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu digolongkan menjadi dua
golongan besar. Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi
menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dari
Muhammad bin Al-Hanafiyah. Dan yang kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah),
keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, yaitu
golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada
golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat
dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas
melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya
dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat
Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat
diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih
dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatur evolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar
(1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1)      Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari
masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-
ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2)      Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga
sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3)      Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada
wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.
4)      Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah
dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa, oleh karena hal-hal tertentu yang
merasa tidak puas dengan sistem yang ada[6].
Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari
pada perluasan wilayah. Seperti pada gerakan terjemah yang membawa kemajuan ilmu
pengetahuan.
Imam madzhab yang sempat hidup pada masa ini adalah Imam Abu Hanifah (700-767M),
madzhab ini lebih banyak menggunkan rasio dari pada Hadits. Karena madzhab ini dipengaruhi
perkembangan Kufah. Sedangkan Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan Hadits dan
tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh ini ditengahi oleh Imam Syafi’I (767-820 M)
dan Imam Ahmad ibn Hambal (780-855 M)[7].
Awal kekuasaan Dinasti Abbasiah ditandai dengan pembangkangan oleh DinastiUmayah di
Andalusia (spanyol) yaitu pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas yang
tidak tunduk kepada khalifah di Baghdad yang mirip dengan Muawiyyah terhadap Ali Ibn Abi
Thalib.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754M) adalah pendiri Dinasti Abbas. Akan tetapi karena
kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far al-Manshur (754-775M) yang banyak berjasa
membangun Dinasti Abbasiyah. Ia digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Pada masa
pemerintahanya Baghdad sangat disegani oleh kekuasaan Byzantium. Bani Abbas juga meraih
tumpukan kekuasaan setelah menggulingkan Dinasti Umayyah pada tahun 750H.
Pada masa ini istilah jihbis yang dulu dikenal sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas
barang dan tanah sekarang popular sebagai penukaran uang. Pada masa ini juga dikenalkan uang
jenis baru yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga, yang sebelumnya uang terbuat dari
emas (dinar) dan perak (dirham). Di zaman ini, jihbiz juga bisa menerima titipan dana,
meminjamkan uang dan jasa pengiriman uang.
Beberapa Khalifah yang pernah memimpin pemerintahan saat Dinasti Abbasiyah[8]:
1)   Abu Ja’far Al-Manshur:
Pada awal pemerintahan beliau, perbendaharaan Negara dapat dikatakan tidak ada karena
khalifah sebelumnya al-Saffah, banyak menggunakan dana Baitul Maal untuk diberikan kepada
para sahabat dan tentara. Karena hal tersebut khalifah al-Manshur untuk bersikap keras dalam
peneguhan kedudukan keuangan Negara, di samping itu juga penumpasan musuh-musuh
khalifah, sehingga pada zaman itu dikenal sebagai masa yang penuh dengan kekerasan.
Dalam mengendalikan harga-harga, Khalifah al-Manshur memerintahkan bawahannya untuk
melaporkan harga, jika terjadi kenaikan harga maka Khalifah al-Manshur akan memerintahkan
wakilnya agar menurunkan harga ke harga semula. Di samping itu beliau juga sangat menghemat
dana Baitul Maal sehingga saat beliau wafat kekayaan kas Negara sampai 810 juta dirham karena
Khalifah al-Manshur betul-betul meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan Negara,
sehingga dengan demikian pembangunan dalam segala cabang ekonomi dia pandang soal yang
paling penting.

2)   Harun al Rasyid:
Popularitas Daulah Abbasiyyah mencapai puncaknya pada Khalifah Harun al-Rasyid (786-
809 M) dan putranya al-Makmun. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusatraan berada dalam zaman keemasan. Penerjemahan
buku-buku Yunani ke bahasa Arab pun dimulai. Orang-orang dikirim ke Kerajaan Romawi,
Eropa untuk membeli “Manuscript”. Pada mulanya buku-buku mengenai kedokteran, kemudian
meningkat mengenai ilmu pengetahuan lain dan filsfat. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah
satu karyanya yang paling besar yaitu mendirikan Baitul Hikmah, yaitu pusat penerjemah yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar.
Pada masa ini pertumbuhan ekonomi berkembang dengan pesat dan kemakmuran Daulah
Abbasiyah mencapai puncaknya. Ia membangun Baitul Maal untuk mengurus keuangan Negara
dengan menunjuk seorang wazir yang mengepalai beberapa dirwan. Pendapatan Baitul Maal
dialokasikan untuk reset ilmiah dan penterjemah buku-buku Yunani, disamping itu untuk biaya
pertahanan dan anggaran rutin pegawai. Pendapatan tersebut juga dialokasikan untuk membiayai
para tahanan dalam hal penyediaan bahan makanan dan pakaian musim panas dan dingin.
Selain itu, Khalifah Harun juga sangat memperhatian masalah perpajakan, sehingga beliau
menunjuk Abu Yusuf menyusun sebuah kitab pedoman mengenai perekonomian syari’ah yang
kitabnya berjudul al-Kharaj.
Sumber-sumber pemikiran ekonomi pada masa itu diperoleh dari sektor-sektor yang
beragam[9]:
a)    Perdagangan Dan Industri :
Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan dengan cara memudahkan jalan-jalannya,
umpamanya :
  Dibangun sumur dan tempat-tempagt istirahat dijalan-jalan yang dilewati kafilah dagang.
  Dibangunkan armada-armada dagang.
  Dibangunkan armada-armada untuk melindungi pantai-pantai Negara dari serangan bajak laut.
Untuk tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan dalam bidang perdagangan, maka
Khalifah Harun al-Rasyid membuktikan satu badan khusus yang bertugas mengawasi pasaran
dagang, mengatur ukuran timbangan, menentukan harga pasar, atau dengan kata lain mengatur
politik
Komoditas lain yang berorientasi komersil selain barang-barang logam seperti mas dan perak,
bahan pakaian, hasil laut, kertas dan obat-obatan, adalah budak-budak. Pada saat itu budak
merupakan komuditas yang dihasilkan untuk diperjual belikan. Daerah pemasok utama budak
yaitu Farghana dan Asia Tenga, serta Afrika dan Turki. Budak ini apabila sudah dibeli oleh
tuannya di gunakan untuk tenaga kerja ladang pertanian, perkebunan dan pabrik.
Namun bagi pemerintah, budak-budan ini direkrut sebagai anggota militer demi
mempertahankan Negara.

b)   Pertanian dan perkebunan :


Terbentuknya kekhalifahan yang stabil, juga mempengaruhi pekembangan–perkembangan
didalam sektor ekonomi khususnya di sektor pertanian. Sebagai contoh Irak , sebelum di kuasai
kaum Muslim keadaan dari produksi pertanian sangat merosot, di mana banjir melanda di
beberapa kanal dan bendungan Tigris, kemudian bencana ini di perbaiki oleh kaum Muslimin
setelah Irak di kuasai oleh kaum Muslimin.
Kota administratif dan tentara Muslim seperti Busrah , Kufah , Masul dan Al- wasid menjadi
pusat usaha pengembanggan pertanian. Untuk menggarap daerah ini, di datangkan buruh tani
dari kawasan Afrika Timur, sehingga pertumbuhaan desa-desa kecil, karena majunnya usaha tani
dan perkebunan[10].

c)    Perkembangan ilmu pertanian :


Berbeda dengan khalifah dari Daulah Umayyah yang bersikap menindas para petani dengan
pajak yang sangat amatlah tinggi, masa pemerintahan khalifah Daulah Abasiyyah justru
sebaliknya, mereka membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi
dan ada pula yang dihapus sama sekali. Disamping itu di lakukan banyak kebijakan untuk kaum
tani, di antaranya[11] :
  Memperlakukan ahli zimah dan mawaly dengan perlakuan adil dan menjamin hak miliknya.
  Mengambil tindakan keras terhadap para pejabat yang berlaku keras terhadap para petani.
  Memperluas daerah pertanian di berbagai wilayah negara.
  Membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah pertanian , baik udara atau air.
  Membangun dan memperbaiki kanal dan bendungan, agar tidak ada wilayah yang kesulitan dalam
hal irigasi.

d)   Pendapatan Negara :
Selain dari sector perdagangan, pertanian, dan perindustrian, sumber pendapatan Negara  juga
berasal dari pajak. Pendapatan dari jizyah juga merupakan masukan bagi Negara. Jizyah adalah
pajak kepala yang dipungut dari penduduk non Muslim kepada pemerintahan Islam sebagai
wujud loyalitas mereka kepada pemerintah dan konsekuensi dari perlindungan yang diberikan
pemerintah Islam untuk mereka. Sumber pendapatan lain adalah dari zakat, ‘asyur al-tijarah, dan
kharaj.
Pada masa Harun al-Rasyid terdapat klasifikasi pembayaran jizyah. Mereka yang kaya dikenakan
jizyah sebesar 48 dirham, golongan ekonomi menengah 24 dirham, sedangkan dibawah itu hanya
12 dirham.

e)    Sistem Moneter:
Sebagai alat tukar , para pelaku ekonomi menggunakan mata uang dinar dan dirham. Mata uang
dinar emas di gunakan oleh para pedagang, di wilayah kekuasaan setelahBarat, meniru orang-
orang Bizantium. Sedangkan mata uang dirham perak di gunakan oleh para pedagang di
wilayah Timur, meniru kekaisaran Sassaniah.
Penggunaan dua mata uang ini menurut Azumardi Azra, memiliki dua konsekuensi.Pertama
mata uang dinar harus di perkenalkan di wilayah- wilayah yang hanya mengenal mata uang
dirham, kedua dengan mengeluarkan emas ini mengurangi penyimpanan emas batangan atau
perhiasan. Mata uang emas maupun perak, tidak bisa menempuh perjalanan jauh, karena dengan
resiko yang ssangat besar. Karena itu para pedagang dan orang-orang yang mengadakan
perjalanan jauh memerlukan sistem cek. Bisa di pastikan sistem cek yang di perkenalkan oleh
sistem perbankan modern, berasal di bahasa arab shakk.
Dan terjadiya kegiatan peningkatan ekonomi, maka berlangsunglah sirkulasi kekayaan dan
surplus ekonomi di dalam wilayah kekuasaan islamDalam masa–masa ini orang-orang yang
semula miskin ,tetapi emilki etos kerja dan etos ekonomi yang timggi, sangat mungkin
melakukan mobilitas sosial melalui usaha-usaha ekonomi.Didalam situasi dimana kekayaan
neredar dengan bebas dan lancar, maka bakat, kemauan, dan kerja keras lebih menjanjikan untuk
mencapai ,mobilitas sosial dari keturunan.mobilitas yang cepat, khususnya di masa dinasti
abbasiyah semakin mungkin sehubungan dengan penekanan ajaran islam tentang derajat
persamaan muslim[12].

Kemunduran
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah
menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa di
antara nya adalah sebagai berikut[13] :
a.       Faktor Internal :
  Persaingan antar Bangsa.
  Kemerosotan Ekonomi.
  Konflik Keagamaan.

b.      Faktor Eksternal:
  Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
  Serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
-          Masa ke-Khalifahan Bani Umayyah yaitu  hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa
kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan
Pemikiran Ekonomi Islam Bani Umayyah
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, kebijakan ekonomi banyak dibentuk berdasarkan
ijtihad para fuqoha dan ulama sebagai konsekuensi semakin jauhnya rentang waktu (lebih kurang
satu abad) antara zaman kehidupan Rasulullah saw dan masa pemerintahan tersebut.
Khalifah pemikir ekonomi pada masa Bani Abbasiyah, yaitu : Abu Ja’far Al-Manshur , Khalifah
Abdul Malik ibn Marwan, dan Umar Ibn Abdul Aziz.
-          Khalifah Abbasiyah atau Kekuasaan Dinasti Bani Abbas, sebagaimana disebutkan melanjkan
kekuasaan dinasti bani umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,
dari tahun 132 H ( 750 M) sampai dengan 847M). Selama Dinasti Bani Abbas berkuasa. Di mana
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya.
di zaman Bani Abbasiyah, istilah jihbiz populer sebagai suatu profesi penukaran uang. Pada
zaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga.
Khalifah-khalifah Pemikir Ekonomi Islam pada masa Bani Abbasiyah yaitu : Abu Ja’far Al-
Manshur dan Harun al-Rasyid yang telah banyak membawa perubahan besar dalam aspek
ekonomi di masa pemerintahan Bani Abbasiyah.

DAFTAR PUSTAKA

       Chamid Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2010.

         Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer\
(Jakarta: Pustaka Asatrus,2005).

            Ma’arif Syafii Ahmad,  Abdullah Amin, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam,     Cet.


I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),

         Syalabi A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997).


     Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994), hal:42.

[1]. Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer (Jakarta: Pustaka
Asatrus,2005), hal:47.
[2] 
. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hal:42.
[3] .
Ibid, hal:43.
[4]
 Ibid, hal:44.
[5]
 A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.

[6] 
Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[7] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.118.
[8] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.120.
[9] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.123.
[10] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.129.
[11] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.130.
[12] 
Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.135.
[13]
. Ibid hal:140.

Anda mungkin juga menyukai