Anda di halaman 1dari 17

PERKEMBANGAN DAN DAMPAK UTANG LUAR NEGERI

DI INDONESIA

(Ekonomi Pembangunan II)

Dosen pengampu mata kuliah: Esty Setyaningrum, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:
Damayanti
20170430220 / B

PRODI ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan ekonomi merupakan prasyarat mutlak bagi negara-negara dunia
ketiga termasuk Indonesia, untuk memperkecil jarak ketertinggalannya di bidang
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dari negara-negara industri maju. Upaya
pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut yang umumnya diprakarsai
pemerintah, tetapi terkendala akibat kurang tersedianya sumber-sumber daya ekonomi
yang produktif, terutama sumberdaya modal yang berperan sebagai katalisator
pembangunan. Untuk mencukupi kekurangan sumberdaya modal ini, maka pemerintah
negara yang bersangkutan berusaha untuk mendatangkan sumberdaya modal dari luar
negeri melalui berbagai jenis pinjaman.
Secara teoritis, dana yang berupa pinjaman luar negeri merupakan tambahan
sumber bagi negara penerima, baik dalam bentuk dana/modal, tetapi pernyataan
menunjukkan bahwa keyakinan secara teoritis ini tidak berjalan dengan mulus, terlepas
dari keberhasilan pembangunan pada masa yang akan datang, pinjaman luar negeri
sebenarnya merupakan “uang muka pajak” yaitu beban pajak yang harus dipikul menjadi
resiko yang harus ditanggung oleh wajib pajak generasi mendatang. Beban itu menjadi
ringan apabila pembangunan berhasil dilaksanakan sesuai rencana, tetapi sebaliknya
akan menjadi warisan utang apabila pelaksnaan pembangunan mengalami kegagalan.
(Abimanyu,1998:16)
Pembangunan memerlukan dana yang cukup besar. Dana pembangunan yang
diperlukan tersebut sesuai dengan kebijaksanaan/ ketentuan yang berlaku. Dalam rangka
pemanfaatan bantuan atau kerjasama luar negeri bagi pembangunan, sesuai dengan apa
yang telah digariskan dalam GBHN, peranan
sumber-sumber dana dalam negeri disamping sebagai pelengkap dana dalam negeri
untuk menunjang peningkatan laju pembangunan juga diperlukan untuk menambah
penyediaan devisa guna membiayai impor yang berkaitan dengan program dan proyek-
proyek pembangunan. Atau dengan perkataan lain, dana luar negeri mempunyai fungsi
melengkapi sumber-sumber produksi yang belum cukup tersedia didalam negeri, seperti
modal, peralatan modal, teknologi serta keahlian dan keterampilan. (Djamin,1993:42)
Posisi hutang luar negeri Indonesia sampai bulan Februari 2019 senilai 388,734
juta USD naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang jumlahnya berkisar 383,906
juta USD. Utang luar negeri menurut kelompok peminjam terdiri dari pemerintah dan
bank sentral serta swasta. Jumlah utang luar negeri atau pinjaman pemerintah dan bank
sentral di bulan Januari sebesar 190,250 juta USD naik menjadi 193,823 juta USD di
bulan Februari. Sedangkan utang luar negeri oleh swasta nilainya sebesar 193,656 juta
USD di bulan Januari dan naik menjadi 194,911 juta USD di bulan Februari.
Berdasarkan data tersebut utang luar negeri oleh swasta nilainya lebih besar
dibandingkan utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah.
Sumberdaya modal merupakan sumberdaya ekonomi yang paling sering
didatangkan oleh pemerintah negara-negara sedang berkembang untuk mendukung
pembangunan nasionalnya. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sumberdaya modal
dalam negeri. Sumberdaya modal yang didatangkan dari luar negeri, yang umumnya dari
negara-negara industri maju, ini wujudnya bisa beragam, seperti penanaman modal asing
(direct invesment), berbagai bentuk investasi portofolio (portfolio invesment) dan
pinjaman luar negeri. Dan tidak semuanya diberikan sebagai bantuan yang sifatnya
cuma-cuma (gratis), tetapi dengan berbagai konsekuensi baik yang bersifat komersial
maupun politis.
Pada satu sisi, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk
mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan
ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Tetapi
pada sisi lain, diterimanya modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah
dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-
negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan, yang
justru menyebabkan berkurangnya tingkat kesejahteraan rakyatnya.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Utang Luar Negeri
Utang luar negeri adalah sebagian dari total utang suatu negara yang diperoleh
dari para kreditor di luar negara tersebut. Penerima utang luar negeri dapat berupa
pemerintah, perusahaan atau perorangan. Bentuk utang dapat berupa uang yang
diperoleh dari bank swasta, pemerintah negara lain atau lembaga keuangan
internasional seperti IMF dan Bank Dunia (Ulfa, 2017).
Dari aspek materiil, utang luar negeri merupakan arus masuk modal dari luar
ke dalam negeri yang dapat menambah modal yang ada di dalam negeri. Aspek
formal mengartikan utang luar negeri sebagai penerimaan atau pemberian yang dapat
digunakan untuk meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi.
Sehingga berdasarkan aspek fungsinya, pinjaman luar negeri merupakan salah satu
alternatif sumber pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan (Astanti, 2015).
Aliran modal yang berasal dari luar negeri dapat disebut sebagai utang luar
negeri apabila memiliki ciri – ciri pokok, yaitu:
a. Aliran modal yang bukan didorong oleh tujuan untuk mencari keuntungan.
b. Dana tersebut diberikan kepada negara penerima atau peminjam dengan syarat
yang lebih ringan daripada yang berlaku di pasaran internasional.
Dilihat dari kewajiban pengembaliannya, utang luar negeri dapat dibedakan
menjadi pemberian (grant) dan pinjaman luar negeri (loan). kedua bentuk ini
meskipun
berbeda dalam hal syarat-syarat pengembalian, tetapi memiliki keterkaitan yang erat
antara bentuk pemberian dan pinjaman. Sebagian besar negara kreditur memberikan
dana secara cuma-cuma ke negara debitur apabila negara yang bersangkutan telah
memiliki ikatan yang lama dan kuat dalam hal pinjam meminjam dana. Bahkan
terkadang pertimbangan pemberian dana oleh negara kreditur didasarkan pada alasan
keamanan dan politik. Selain itu, pemberian tersebut tidak semata – mata dalam
bentuk uang, melainkan dalam bentuk barang dan pemberian tenaga ahli tertentu.
Sukirno (2002) mengatakan, ditinjau dari sudut manfaat, ada dua peran utama
bantuan luar negeri (utang luar negeri), yaitu:
a. Untuk mengatasi kekurangan mata uang asing.
b. Untuk mengatasi masalah kekurangan tabungan.
Kedua masalah tersebut biasa disebut dengan masalah jurang ganda (the two
problems), yaitu jurang tabungan (saving gap) dan jurang mata uang asing (foreign
exchange gap).

2. Jenis-Jenis Utang Luar Negeri


Berikut jenis-jenis utang luar negeri dari berbagai aspek yaitu berdasarkan
bentuk pinjaman yang diterima, sumber dana pinjaman, jangka waktu peminjaman,
status penerimaan pinjaman dan persyaratan pinjaman (Tribroto dalam Ayu, 2016).
Berdasarkan bentuk pinjaman yang diterima, pinjaman dibagi atas:
a. Bantuan proyek yaitu bantuan luar negeri yang digunakan untuk keperluan
proyek pembangunan dengan cara memasukkan barang modal, barang dan jasa.
b. Bantuan teknik yaitu pemberian bantuan tenaga-tenaga terampil atau ahli.
c. Bantuan program, yaitu bantuan yang dimaksudkan untuk dana bagi tujuan-
tujuan yang bersifat umum sehingga penerimanya bebas memilih penggunaannya
sesuai pilihan.
Berdasarkan sumber dana pinjaman, pinjaman dibagi atas:
a. Pinjaman dari lembaga internasional, yaitu merupakan pinjaman yang berasal dari
badan-badan internasional seperti World Bank Asia dan Development Bank, yang
pada dasarnya adalah pinjaman yang berbunga ringan.
b. Pinjaman dari negara-negara anggota IGGI/IGI, hampir sama seperti pinjaman
dari lembaga internasional, hanya biasanya pinjaman ini dari negara-negara
bilateral anggota IGGI/IGI. Biasanya berupa pinjaman lunak.

Berdasarkan jangka waktu peminjaman, pinjaman dibagi atas:


a. Pinjaman jangka pendek, yaitu pinjaman dengan jangka waktu sampai dengan
lima tahun.
b. Pinjaman jangka menengah, yaitu pinjaman dengan jangka waktu 5-15 tahun.
c. Pinjaman jangka panjang, yaitu pinjaman dengan jangka waktu diatas 15 tahun.
Berdasarkan status penerimaan pinjaman, pinjaman dibagi atas:
a. Pinjaman pemerintah, yaitu pinjaman yang dilakukan oleh pihak pemerintah.
b. Pinjaman swasta, yaitu pinjaman yang dilakukan oleh pihak swasta.
Berdasarkan persyaratan pinjaman, pinjaman dibagi atas:
a. Pinjaman lunak, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga multilateral maupun
bilateral yang dananya berasal dari iuran anggota (untuk multilateral) atau dari
anggaran negara yang bersangkutan (untuk bilateral) yang ditujukan untuk
meningkatkan pembangunan.
b. Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang memiliki persyaratan pinjaman
yang sebagian lunak dan sebagian komersial. Pinjaman komersial, yaitu pinjaman
yang bersumber dari bank atau lembaga keuangan dengan persyaratan yang
berlaku di pasar internasional pada umumnya.

Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap
memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal
tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi
(economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat
yang satu dengan yang lainnya (Basri, 2003: 101).

Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam


memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting:
a. Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara penerima
bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam
mengakumulasi tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak
mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam
proses memicu pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan
yang dialami oleh negara-negara yang bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar
asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor. Dengan demikian
untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar
negeri.
b. Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara
meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan
yang lebih tinggi (growth and saving). Karena tingginya pertumbuhan di negara-
negara berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif terhadap
kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju.
c. Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan
keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi
kepada negara-negara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk
menjamin bahwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien
dalam proses memicu kenaikan pertum buhan ekonomi.
d. Keempat adalah absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan
digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi
yang perlu diingat bahwa faktor pendorong dan faktor penarik (push and pull
factor) adala dua kata yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-
negara berkembang. Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi
dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi investor yang rasional.

3. Penyebab Utang Luar Negeri


Penyebab utang luar negeri yang dilakukan Indonesia antara lain:
a. Defisit Transaksi Berjalan (TB)
Transaksi Berjalan (TB) merupakan perbandingan antara jumlah pembayaran
yang diterima dari luar negeri dengan jumlah pembayaran yang dikeluarkan ke
luar negeri. Artinya, operasi total perdagangan luar negeri, neraca perdagangan,
dan keseimbangan antara ekspor dan impor, serta pembayaran transfer.
Dalam hal ini defisit yang semakin meningkat akan menjadi penyebab
semakin meningkatnya atau bertambahnya utang luar negeri, termasuk Indonesia.
Dengan kata lain, pengeluaran yang dikeluarkan oleh Negara lebih besar daripada
pemasukan yang diterima oleh Negara sendiri. Sedemikian sehingga defisit antara
pengeluaran dan pemasukan semakin besar dan salah satu solusi untuk bisa
menutupi defisit tersebut ialah dengan melakukan utang luar negeri.
b. Meningkatnya Kebutuhan Investasi
Investasi merupakan penanaman modal yang dilakukan untuk satu atau lebih
aktivitas yang dimiliki oleh Negara, di mana biasanya memiliki jangka waktu
lama dengan harapan mendapatkan keuntungan pada masa yang akan datang.
Kasus yang terjadi di Indonesia setiap tahunnya pun hampir serupa, yaitu
kekurangan dana untuk melakukan investasi tersebut. Padahal hampir setiap tahun
pula kebutuhan investasi semakin meningkat. Sehingga dengan semakin
meningkatnya kebutuhan investasi sedangkan modal investasinya tidak dimiliki,
maka akan memicu Negara untuk melakukan utang luar negeri. Dengan kata lain,
kekurangan modal dengan kebutuhan investasi yang semakin meningkat tiap
tahunnya akan menyebabkan utang luar negeri semakin meningkat pula. Selain
kebengkakan dana yang dibutuhkan, utang luar negeri yang meningkat juga
disebabkan dengan berbedanya tingkat suku bunga yang diterapkan oleh masing-
masing Negara lain selaku pemberi pinjaman.
c. Meningkatnya Inflasi
Inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum, di
mana hal tersebut secara terus-menerus memiliki kaitan dengan mekanisme pasar
yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Yang mana, laju inflasi
mempengaruhi tingkat suku bunga nominal. Kasus yang terjadi di Indonesia ialah
trand inflasi yang meningkat sehingga memaksa Bank Indonesia (BI) memangkas
suku bunga. Sedemikian sehingga dengan rendahnya suku bunga, maka minat
orang ataupun Negara lain untuk melakukan investasi di Indonesia semakin
rendah pula. Dengan keadaan tersebutlah, maka pemerintah mengambil tindakan
untuk memenuhi belanja negaranya melalui utang luar negeri.
d. Struktur Perekonomian Tidak Efisien
Struktur perekonomian yang tidak efisien, dalam hal ini di Indonesia, tampak
dari tidak efisiennya pemakaian modal yang dikeluarkan sehingga memerlukan
investasi besar. Hal inilah yang kemudian akan mendorong pemerintah mengambil
tindakan utang luar negeri untuk memenuhi investasi besar tersebut akibat
pemakaian modal yang tidak efisien.

4. Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara dunia ketiga. Sebelum terjadinya
krisismoneter di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan
ekonomiyang cukup tinggi. Hal tersebut sejalan dengan strategi pembangunan
ekonomi yang direncanakan oleh pemerintah pada waktu itu, yang menempatkan
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sebagai target prioritas pembangunan
ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak akhir tahun 1970-an selalu
positif, serta tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, menyebabkan target
pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tersebut tidak cukup dibiayai dengan modal
sendiri, tetapi harus ditunjang dengan menggunakan bantuan modal asing.
Pemerintah yang pada awalnya menjadi motor utama pembangunan terus
menambah utang luar negerinya agar dapat digunakan untuk membiayai
pembangunan ekonomi nasional guna mencapai target tingkat pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi tersebut, tanpa disertai dengan peningkatan kemampuan untuk
memobilisasi modal didalam negeri. Hal ini menandakan adanya hubungan positif
antara keberhasilan pembangunan ekonomi pada tingkat makro dan peningkatan
jumlah utang luar negeri pemerintah (growth with indebtedness). Sejalan dengan
semakin meningkatnya kontribusi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi
nasional, maka peran pemerintah pun menjadi semakin berkurang. Fenomena
tersebut akhirnya menyebabkan struktur utang luar negeri Indonesia juga mengalami
banyak perubahan selama kurun waktu tiga dasawarsa terakhir.
Pada awalnya, utang luar negeri Indonesia lebih banyak dilakukan oleh
pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft
loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga supra nasional, baik secara
bilateral maupun multilateral (IGGI dan CGI). Seiring dengan semakin
berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman luar negeri bersyarat lunak
menjadi semakin terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan
dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan
obligasi dari kreditur swasta internasional. Karena semakin pesatnya pembangunan
dan terbatasnya kemampuan pemerintah untuk secara terus menerus menjadi
penggerak utama pembangunan nasional, terutama sejak krisis harga minyak dunia
awal tahun 1980-an, menyebabkan pemerintah harus mengambil langkah-langkah
deregulasi di berbagai sektor pembangunan. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberikan dorongan kepada peranserta swasta dalam pembangunan perekonomian
Indonesia, melalui peningkatan minat investasi di berbagai sektor pembangunan yang
diizinkan. Dengan semakin besarnya minat investasi swasta tetapi tanpa didukung
oleh sumber-sumber dana investasi didalam negeri yang memadai, telah mendorong
pihak swasta melakukan pinjaman keluar negeri, baik dalam bentuk pinjaman
komersial maupun investasi portofolio, yang pada umumnya dengan persyaratan
pinjaman yang tidak lunak (bersifat komersial), baik suku bunga maupun jangka
waktu pembayaran kembali.

5. Rasio Utang Pemerintah RI dari Era Soeharto hingga Jokowi


Berdasarkan data yang dikompilasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu),
melongok perkembangan utang dan rasio utang pemerintah pusat dari masa ke masa,
puncaknya ada di 1998, ketika krisis moneter menghantam Indonesia. Saat itu,
Presiden ke-2 Soeharto yang lengser di Mei 1998 meninggalkan utang Rp 551,4
triliun atau ekuivalen US$ 68,7 miliar. Saat itu, rasio utang mencapai 57,7 persen
terhadap PDB.
Pemerintahan selanjutnya yang dipimpin BJ Habibie (1998-1999). Di periode
1999, total outstanding utang Indonesia mencapai Rp 938,8 triliun atau setara dengan
US$ 132,2 miliar. Rasio utang membengkak menjadi 85,4 persen dari PDB.
Kepemimpinan berikutnya beralih ke tangan Gus Dur (1999-2001). Nilai
utang pemerintah membumbung tinggi di periode 2000 menjadi Rp 1.232,8 triliun,
namun dalam denominasi dolar AS, jumlahnya turun menjadi US$ 129,3 miliar.
Ketika itu, rasio utang makin parah menjadi 88,7 persen. Kemudian di 2001, rasio
utang turun menjadi 77,2 persen. Hanya saja, nilai outstanding utang naik tipis
menjadi Rp 1.271,4 triliun atau US$ 122,3 miliar. Gus Dur mundur dari kursi
kepresidenan pada 2001 dan digantikan Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri, posisi utang Indonesia dan
rasio utang terhadap PDB, meliputi:
a. Tahun 2002: Rp 1.223,7 triliun atau US$ 136,9 miliar, rasio utang 67,2 persen.
b. Tahun 2003: Rp 1.230,6 triliun atau US$ 145,4 miliar dan rasio utang 61,1
persen.
c. Tahun 2004: Rp 1.298 triliun atau US$ 139,7 miliar, rasio utang 56,5 persen.
Estafet kepemimpinan Republik Indonesia selanjutnya diserahkan kepada
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY berkuasa selama dua periode, yakni
periode I (2004-2009) dan periode II (2009-2014). Di masa pemerintahan SBY, rasio
utang dan nilai utang Indonesia mencapai:
a. Tahun 2005: Rp 1.311,7 triliun atau US$ 133,4 miliar, rasio utang 47,3 persen.
b. Tahun 2006: Rp 1.302,2 triliun atau US$ 144,4 miliar dengan rasio utang 39
persen.
c. Tahun 2007: Rp 1.389,4 triliun atau Rp 147,5 miliar, rasio utang 35,2 persen.
d. Tahun 2008: Rp 1.636,7 triliun atau Rp 149,5 miliar, rasio utang 33 persen.
e. Tahun 2009: Rp 1.590,7 triliun atau US$ 169,2 miliar, rasio utang 28,3 persen.
f. Tahun 2010: Rp 1.681,7 triliun atau US$ 187 miliar, rasio utang 24,5 persen.
g. Tahun 2011: Rp 1.809 triliun atau US$ 199,5 miliar, rasio utang 23,1 persen.
h. Tahun 2012: Rp 1.977,7 triliun atau US$ 204,5 miliar, rasio utang 23 persen.
i. Tahun 2013: Rp 2.375,5 triliun atau US$ 194,9 miliar, rasio utang 24,9 persen.
j. Tahun 2014: Rp 2.608,8 triliun atau US$ 209,7 miliar, rasio utang 24,7 persen.
Kemudian pada masa pemerintahan Jokowi, di akhir 2015, utang pemerintah
pusat naik menjadi Rp 3.165,2 triliun atau US$ 229,44 miliar. Rasio utang terhadap
PDB meningkat menjadi 27,4 persen. Total outstanding utang pemerintah sepanjang
2016 tercatat naik lagi menjadi Rp 3.466,9 triliun atau setara dengan US$ 258,04
miliar. Rasio utang 27,5 persen dari PDB. Jika dilihat sejarah utang dari era orde baru
sampai saat ini, meskipun secara nilai utang naik, akan tetapi rasio utang pemerintah
Indonesia terhadap PDB masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan dalam
Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60
persen terhadap PDB.

6. Dampak Utang Luar Negeri


Dampak positif dari utang luar negeri yaitu terhadap pembangunan ekonomi
dan peningkatan tabungan masyarakat. Sebab, alirannya dapat meningkatkan
pendapatan dan tabungan domestik sehingga utang luar negeri menghasilkan
multiplier effect positif terhadap perekonomian, kemudian terhadap pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan tabungan masyarakat sebagai dampak lanjutannya.
Alasannya, aliran bantuan luar negeri dapat meningkatkan investasi yang selanjutnya
meningkatkan pendapatan dan tabungan domestik dan seterusnya (Wahyuningsih,
2012).
Utang luar negeri juga menimbulkan dampak negatif, hal ini dialami oleh
Indonesia pada saat terkena dampak krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Pada saat
itu nilai tukar rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam terhadap US Dolar
dan mata uang dunia lainnya. Keadaan tersebut membuat utang luar negeri Indonesia
meningkat drastis dan untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo, pemerintah
mengambil kebijakan penambahan utang baru. Penambahan utang yang dilakukan
oleh pemerintah menyebabkan pembayaran cicilan pokok dan bunga dari utang
tersebut makin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sehingga kebijakan
tersebut berpengaruh terhadap kinerja APBN yang semakin menurun (Widharma,
2013).

7. Tabel Utang Luar Negeri (Juta USD)

2010 2011 2012 2013 2014


Utang 118,624 118,642 126,119 123,548 129,736
Pemerintah
dan Bank
Sentral
Utang 83,789 106,732 126,245 142,561 163,592
Swasta
Total 202,413 225,375 252,364 266,109 293,328

2015 2016 2017 Februari Maret 2018


2018
Utang 142,608 158,283 180,622 181,397 184,685
Pemerintah
dan Bank
Sentral
Utang 168,123 161,722 171,847 175,849 174,690
Swasta
Total 310,730 320,006 352,469 357,246 359,375

April 2018 Mei 2018 Juni 2018 Juli 2018 Agustus


2018
Utang 183,828 182,547 179,728 180,831 181,304
Pemerintah
dan Bank
Sentral
Utang 174,482 177,273 176,679 178,073 180,787
Swasta
Total 358,310 359,821 356,407 358,904 362,090

September Oktober November Desember


2018 2018 2018 2018
Utang Pemerintah dan 179,166 178,335 183,518 186,275
Bank Sentral
Utang Swasta 180,561 182,419 190,166 191,872
Total 359,728 360,754 373,684 378,147

Januari 2019 Februari 2019


Utang Pemerintah dan Bank 190,250 193,823
Sentral
Utang Swasta 193,656 194,911
Total 383,906 388,734
Sumber : Kemenku

8. Analisis Tabel Utang Luar Negeri


Berdasarkan data tersebut diatas utang luar negeri Indonesia secara
keseluruhan dari tahun 2010 hingga bulan Februari 2019 mengalami kenaikan. Pada
tahun 2010 utang LN Indonesia senilai 202,413 juta USD dimana utang LN
pemerintah dan bank sentral senilai 118,624 juta USD dan utang LN swasta senilai
83,789 juta USD. Pada tahun 2011 utang luar negeri senilai 225,375 juta USD
dimana utang LN pemerintah dan bank sentral senilai 118,642 juta USD dan utang
LN swasta senilai 106,732 juta USD. Tahun 2012 utang LN Indonesia senilai
252,364 juta USD terdiri dari utang LN pemerintah dan bank sentral senilai 126,119
juta USD dan utang LN swasta senilai 126,119 juta USD. Tahun 2013 utang LN
Indonesia senilai 266,109 juta USD terdiri dari utang LN pemerintah dan bank
sentral senilai 123,548 juta USD dan utang LN swasta senilai 142,561 juta USD.
Tahun 2014 utang LN Indonesia senilai 293,328 juta USD dimana utang LN
pemerintah dan bank sentral senilai 129,736 juta USD dan utang LN swasta senilai
163,592 juta USD. Tahun 2015 utang LN Indonesia senilai 310,730 juta USD terdiri
dari utang LN pemerintah dan bank sentral senilai 142,608 juta USD dan utang LN
swasta senilai 168,123 juta USD. Tahun 2016 utang luar negeri Indonesia senilai
320,006 juta USD dimana utang LN pemerintah dan bank sentral senilai 158,283 juta
USD dan utang LN swasta senilai 161,722 juta USD. Tahun 2017 utang LN
Indonesia senilai 352,469 juta USD terdiri dari utang LN pemerintah dan bank
sentral senilai 180,622 juta USD dan utang LN swasta senilai 171,847 juta USD.
Pada bulan Desember 2018 utang LN Indonesia senilai 378,147 juta USD dimana
utang LN pemerintah dan bank sentral senilai 186,275 juta USD dan utang LN
swasta senilai 191,872 juta USD. Pada bulan Januari 2019 utang luar negeri
Indonesia senilai 383,906 juta USD dimana utang LN pemerintah dan bank sentral
senilai 190,250 juta USD dan utang LN swasta senilai 193,656 juta USD. Pada bulan
Februari 2019 utang luar negeri Indonesia senilai 388,734 juta USD terdiri dari utang
LN pemerintah dan bank sentral senilai 193,823 juta USD serta utang LN swasta
senilai 194,911 juta USD.
Berdasarkan tabel tersebut diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2010
sampai dengan tahun 2011 utang LN pemerintah dan bank sentral nilainya lebih
besar dibandingkan dengan utang LN swasta. Tetapi secara keseluruhan tahun 2012
sampai dengan Februari 2019 utang LN pemerintah dan bank sentral nilainya lebih
kecil dibandingkan dengan utang LN swasta. Utang LN swasta mengalami
peningkatan yang cukup besar dibandingkan dengan utang LN pemerintah dan
swasta.
Utang Luar Negeri swasta terutama dimiliki oleh sektor keuangan, industri
pengolahan, listrik, gas, dan air bersih (LGA), serta pertambangan. Pangsa Utang
Luar Negeri keempat sektor tersebut terhadap total Utang Luar Negeri swasta
mencapai 72,2%, relatif sama dengan pangsa pada periode sebelumnya. Pertumbuhan
Utang Luar Negeri secara tahunan di sektor keuangan tercatat meningkat, sementara
pertumbuhan Utang Luar Negeri sektor industri pengolahan dan sektor LGA
melambat dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Di sisi lain, Utang Luar Negeri
sektor pertambangan mengalami kontraksi pertumbuhan.

9. Pengelolaan Utang Luar Negeri


Masalah mengeni utang memang sudah selayaknya mendapat pengelolaan
yang tepat, karena jika terdapat kesalahaan dalam pengelolaan utang tersebut, maka
akan ada peningkatan nilai nominal utang yang semakin tak terkendali. Secara
keseluruhan, kenaikan nilai nominal utang tersebut disebabkan oleh:
a. adanya defisit APBN setiap tahun;
b. kebutuhan pelunasan utang jatuh tempo (refinancing);
c. perubahan nilai tukar rupiah yang menyebabkan perubahan nilai nominal utang
luar negeri dalam rupiah;
d. pengeluaran pembiayaan untuk pendanaan risiko fiskal dan partisipasi pemerintah
dalam menunjang program pembangunan infrastruktur; dan berkurangnya sumber
pembiayaan APBN dari non utang, misalnya privatisasi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) dan hasil pengelolaan aset (Buku Strategi Pengelolaan Utang).

Kondisi ini mengharuskan pemerintah untuk mengelola utang dengan baik


agar utang senantiasa dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang
ditetapkan. Pengelolaan utang tersebut meliputi kegiatan perencanaan, penyusunan
strategi, komunikasi pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk pengembangan
pasar, pelaksanaan eksekusi, pengadaan/penerbitan utang, penatausahaan,
pembayaran kewajiban dan evaluasi pelaksanaan utang. Dalam pengelolaan utang,
indikator yang digunakan di Indonesia secara umum adalah:
a. Debt to GDP ratio (rasio utang terhadap GDP)
b. Debt to export ratio
c. Debt service ratio

Pengelolaan utang yang dilakukan ini tidak lepas dari tujuan – tujuan yang hendak
dicapai oleh pemerintah. Tujuan umum pengelolaan utang negara dapat dibagi per
periode waktu yaitu:
a. Tujuan jangka panjang
 Mengamankan kebutuhan pembiayaan APBN melalui utang dengan biaya
minimal pada tingkat risiko terkendali, sehingga kesinambungan fiskal dapat
terpelihara.
 Mendukung upaya untuk menciptakan pasar Surat Berharga Negara (SBN)
yang dalam, aktif dan likuid.
b. Tujuan jangka pendek
 Memastikan tersedianya dana untuk menutup defisit dan pembayaran
kewajiban pokok utang secara tepat waktu dan efisien. Dalam kerangka
strategi pengelolaan hutang, kebijakan di bidang anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN) memainkan peranan yang sangat penting dalam
penetapan akhir besarnya tingkat pinjaman (hutang) untuk menutup deficit
APBN.

10. Strategi Pengelolaan Utang


Strategi dasar untuk mengurangi beban utang pemerintah secara bertahap
tergantung kepada kemampuan memelihara lingkungan ekonomi makro yang
kondusif, dicapainya kemajuan di bidang konsolidasi fiskal, dan diwujudkannya
pemulihan asset. Keseluruhan faktor-faktor tersebut secara bersama akan
berpengaruh besar dalam menstimulasi investasi dan aliran modal yang mendorong
produktivitas baru, mengurangi suku bunga riil, dan meningkatkan pertumbuhan, dan
pada gilirannya terpenuhinya persyaratan yang diperlukan dalam upaya mengurangi
rasio utang. Dalam rangka itu, dan untuk mencapai fiskal yang berdaya tahan secara
berkelanjutan, maka setidaknya diperlukan lima kebijakan segara dilaksanakan
(Depkeu 2002: 54), sebagai berikut:
a. Konsolidasi lebih lanjut anggaran negara.
b. Memperluas basis pendapatan.
c. Mengutamakan pengeluaran penting dan menghindari pengeluaran yang tidak
perlu.
d. Pemerintahan yang lebih baik dan pengelolaan sektor publik yang efisien.
e. Membangun pasa obligasi domestik.

Strategi pengelolaan utang agar diarahkan pada pencapaian tujuan dari


pengelolaan utang yaitu meminimalkan biaya utang dengan tingkat risiko yang
semakin terkendali.

a. Strategi pengelolaan utang pemerintah dalam jangka panjang saat ini lebih
difokuskan pada perolehan sumber pembiayaan untuk mendanai
programprogram pembangunan prioritas dan belum banyak memberikan
perhatian pada pengelolaan biaya dan risiko.
b. Pengelolaan utang pemerintah terkait dengan penetapan jumlah utang yang
aman bagi perekonomian dan batas maksimum bagi pembayaran utang
pemerintah dengan menciptakan kerangka hukum yang kuat.
c. Pembentukan intregated debt management office. Saat ini, pengelolaan utang
pemerintah ditangani secara parsial oleh beberapa institusi yaitu Departemen
Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian,
dan Bappenas.
C. KESIMPULAN
Perkembangan jumlah utang luar negeri Indonesia dari tahun ke tahun cenderung
mengalami peningkatan. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai konsekuensi bagi
bangsa Indonesia, baik dalam periode jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam
periode jangka pendek, utang luar negeri harus diakui telah memberikan kontribusi yang
cukup berarti bagi pembiayaan pembangunan ekonomi nasional sehingga dengan
terlaksananya pembangunan ekonomi tersebut, tingkat pendapatan per kapita masyarakat
bertumbuh selama tiga dasawarsa sebelum terjadi krisis ekonomi. Utang luar negeri
dapat membantu pembiayaan pembangunan ekonomi di negara-negara dunia ketiga,
termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya.
Tetapi penggunaan utang luar negeri yang tidak dilakukan dengan bijaksana dan tanpa
prinsip kehati-hatian dalam jangka panjang utang luar negeri justru akan menjerumuskan
negara debitur kedalam krisis utang luar negeri yang berkepanjangan, yang sangat
membebani masyarakat karena adanya akumulasi utang luar negeri yang sangat besar.
DAFTAR PUSTAKA

1. http://digilib.unila.ac.id/4532/15/BAB%20II.pdf
2. http://www.djppr.kemenkeu.go.id/page/loadViewer?idViewer=8759&action=download
3. http://eprints.ums.ac.id/61771/4/BAB%20II.pdf
4. https://www.liputan6.com/bisnis/read/2854387/ini-rasio-utang-pemerintah-ri-dari-era-
soeharto-hingga-jokowi
5. http://tholibpoenya.blogspot.com/2015/01/hutang-luar-negeri-indonesia.html

Anda mungkin juga menyukai