Anda di halaman 1dari 88

KAPITA-SELEKTA

FILSAFAT ILMU

Oleh :
NAMA : ABD BASIR MUBARRAK
NIM : PA.71.20.001
SEMESTER : II (DUA) B.1 MALAM
SEKOLAH TINGGI ILMU ADMINISTRASI
MUHAMMDAYAH SELONG ( STIA )
T.A 2020/2021

KATA PENGANTAR

i
Assalamu’alaikumWr. Wb.
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah banyak memberikan beribu-ribu nikmat
kepada kita umatnya. Rahmat beserta salam semoga tetap
tercurahkan kepada junjungan kita, pemimpin akhir zaman yang
sangat dipanuti oleh pengikutnya yakni Nabi Muhammad
SAW. “FILSAFAT ILMU” ini sengaja di bahas karena sangat
penting untuk kita khususnya sebagai mahasiswa yang ingin
lebih mengenal mengenai filsafat ilmu.
Selanjutnya, saya mengucapkan terimakasih kepada
semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan
sehingga kami dapat menyelesaikan buku ini dengan tepat
waktu. Tidak lupa juga kepada bapak dosen yang telah
memberikan sarannya kepada kami agar penyusunan buku ini
lebih baik lagi.
Demikian, semoga buku ini bermanfaat khususnya
bagi penyusun dan umumnya semua yang membaca buku ini.
Wassallamu’alaikumWr. Wb.

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR...............................................i
BAB 1 PENDAUHULUAN......................................1
BAB 2 PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
FILSAFAT ILMU.....................................................2
Pengertian Filsafat Ilmu..............................................2
Objek Kajian Filsafat Ilmu..........................................7
Tujuan Mempelajari Filsafat Ilmu..............................10
Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu....................................11
Arah Filsafat Ilmu.......................................................14
Hubungan Antara Filsafat dan Ilmu............................15
BAB 3 FILSAFAT DAN ADMINISTRASI............17
A. Filsafat.............................................................17
B. Administrasi....................................................18
Urgensi Mempelajari Filsafat Administrasi Bagi
Sarjana Administrasi Publik.......................................20
BAB 4 AKSIOLOGI:ILMU,MORAL,TANGGUNG
JAWAB,SOSIAL ILMUAN,DAN REVOLUSI
GENETIKA...............................................................23
1. Ilmu.................................................................23
2. Moral...............................................................24
3. Tanggung Jawab Ilmuan.................................25
4. Revolusi Genetika...........................................27
Hubungan Antara Ilmu dan Moral........................28
Tanggung Jawab Ilmuwan di Masyarakat............30

BAB 5 PENGETAHUAN ILMIAH ATAU

iii
ILMU..........................................................................33
Pengertian Ilmu...........................................................33
Obyek Pengetahuan Ilmiah atu Ilmu...........................36
Hubungan Pengetahuan dan Ilmu...............................37
Konsep Ilmu................................................................40
Ciri Pokok Ilmu...........................................................42
Dimensi Khusus Ilmu.................................................46
Bentuk Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah
(Keilmuan)..................................................................50
Struktur Pengetahuan Ilmiah (Ilmu)...........................53
BAB 6 AKSIOLOGI : ILMU DAN MORAL,TANGGUNG
JAWAB SOSIAL ILMUAN.....................................54
Pengertian Aksiologi...................................................54
Pengertian Ilmu dan Moral,serta Kaitannya...............55
Tanggung Jawab Sosial Ilmuan..................................61
BAB 7 TANGGUNG JAWAB KEILMUAN..........67
Arti Tanggung Jawab Keilmuan.................................67
Sifat Keterbatasan Tanggung Jawab Keilmuan..........70
Bentuk-Bentuk Tanggung Jawab Keilmuan...............71
Etika Keilmuan...........................................................78
DAFTAR PUSTAKA................................................82

iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Perekembangan ilmu filsafat sangatlah panjang dimulai
dari perkembangan ilmu dari masa lampau yaitu di Negara
Yunani.Dimana ilmu filsafat itu berkembang dari mitos-mitos
dimasa dahulu seperti mitos tentang Pelangi yang ada di angkasa
yang diyakini bahwa Naga yang sedang minum dilaut.Dengen
adanya perkembangan ilmu dan zaman yang telah berubah maka
fenomena pelangi tersebut oleh para ahli dilakukan penelitian
dan didapatkan bahwa pelangi itu adalah pancaran sinar
matahari yang membias.Tokoh-tokoh filsafat dimasa itu seperti
Aris Toteles,Pytagoras,Newton,dan lain-lain sangat berpengaruh
dalam ilmu Filsafat.
Pada perkembangannya filsafat ilmu bukan hanya
membahas bidang-bidang anatomi,eksak,kimia,biologi,fisika
tetapi juga membahas tentang kehidupan social
manusia.Sehingga dalam buku ini membahas juga tentang
filsafat ilmu dengan adminstrasi public.Penyusun berharap buku
ini dapat memberikan pencerahan atau tambahan ilmu tentang
filsafat ilmu.Sekian Terimakasih.

1
BAB 2
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP FILSAFAT
ILMU
Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Filsafat ilmu dalam arti luas: menampung permasalahan
yang menyangkut hubungan keluar dari kegiatan ilmiah,
seperti: tata susila yang menjadi pegangan
penyelenggara ilmu.
2. Filsafat ilmu dalam arti sempit: menampung
permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan ke
dalam yang terdapat di dalam ilmu, yaitu yang
menyangkut sifat pengetahuan ilmiah, dan cara-cara
mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah

Pengertian Filsafat Ilmu menurut beberapa ahali :


1. Menurut Robert Ackerman filsafat ilmu dalam suatu segi
adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat
ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap
kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-
pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan
suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah
secara aktual.
2. Menurut Lewis White Beck, memberi pengertian bahwa
filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-
metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

2
3. Menurut A. Cornelius Benjamin (dalam The Liang Gie,
19 : 58) memandang filsafat ilmu sebagai berikut. ”That
philosophic discipline which isthe systematic study of
the nature of science, especially of its methods, its
concepts and presuppositions, and its place in the general
scheme of intellectual disciplines.” Filsafat ilmu,
menurut Benjamin, merupakan cabang dari filsafat yang
secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya
mengenai metode, konsep-konsep, dan pra anggapan-pra
anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari
cabang-cabang pengetahuan intelektual. Jadi, filsafat
ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafat yang
merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya
metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-
praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum
cabang-cabang pengetahuan intelektual.
4. Menurut Michael V. Berry berpendapat bahwa filsafat
ilmu adalah penelaahan tentang logika interen dari teori-
teori ilmiah dan hubunganhubungan antara percobaan
dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
5. Menurut May Brodbeck filsafat ilmu adalah analisis
yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan
penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
6. Menurut Peter Caws Filsafat ilmu merupakan suatu
bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa
yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh
pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal

3
: di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai
landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain
pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang
dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan
atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan
harapan pada penghapusan kesalahan.
7. Menurut Stephen R. Toulmin mengemukakan bahwa
sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu adalah unsur-
unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah
prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan,
metode-metode penggantian dan perhitungan,
praanggapan-praanggapan metafisis, dan seterusnya dan
selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya
dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi
praktis, dan metafisika.
8. Menurut Jujun Suriasumantri memandang filsafat ilmu
sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang ingin menjawab tiga kelompok pertanyaan
mengenai hakikat ilmu sebagai berikut. Kelompok
pertanyaan pertama antara lain sebagai berikut ini. Objek
apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana wujud hakiki dari
objek tersebut? Bagaimana hubungan antara objek tadi
dengan daya tangap manusia ? Kelompok pertanyaan
kedua : Bagaimana proses yang memungkinkan
diperolehnya pengetahuan yang berupa ilmu ?
Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus

4
diperhatikan Filsafat Imu agar kita mendapatkan
pengetahuan yang benar ? Apa yang dimaksud dengan
kebenaran ? Dan seterusnya. Dan terakhir, kelompok
pertanyaan ketiga: Untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu ? Bagaimana kaitan antara cara menggunakan
ilmu dengan kaidahkaidah moral ? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ?
Dan seterusnya.
9. Menurut Conny Semiawan menyatakan bahwa filsafat
ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang
ilmu pengetahuan (science of sciences) yang
kedudukannya di atas ilmu lainnya.
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian
filsafat ilmu dapat dirangkum tiga telaah yang tercakup di
dalam filsafat ilmu, yaitu:
1. Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang
digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang
digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang
sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat
diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu
rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan
estetika, studi kesejarahan, antropologi, dll.
2. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan
mengenai dasardasar konsep, sangka wacana dan
postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir
dasar-dasar keempirisan, kerasionalan dan
kepragmatisan.

5
3. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas
beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan
untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu
tertentu.
Untuk mendapatkan gambaran singkat tentang pengertian
filsafat ilmu dapat dirangkum tiga telaah yang tercakup di
dalam filsafat ilmu, yaitu:
1. Filsafat ilmu adalah telaah kritis terhadap metode yang
digunakan oleh ilmu tertentu, terhadap lambang yang
digunakan dan terhadap struktur penalaran tentang
sistem lambang yang digunakan. Telaah kritis ini dapat
diarahkan untuk mengkaji ilmu empiris dan ilmu
rasional, juga untuk membahas studi bidang etika dan
estetika, studi kesejarahan, antropologi, dll.
2. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari kejelasan
mengenai dasardasar konsep, sangka wacana dan
postulat mengenai ilmu dan upaya untuk membuka tabir
dasar-dasar keempirisan, kerasionalan dan
kepragmatisan.
3. Filsafat ilmu adalah studi gabungan yang terdiri atas
beberapa studi yang beraneka macam yang ditujukan
untuk menetapkan batas yang tegas mengenai ilmu
tertentu.

Dari uraian di atas akan diperoleh suatu gambaran bahwa filsafat


ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab
pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi

6
ontologis, epistimologis maupun aksiologisnya. Dengan kata
lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu,
seperti obyek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujudyang
hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek
tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan
pengetahuan ?.

Objek Kajian Filsafat Ilmu


Pada dasarnya setiap ilmu mempunyai dua macam obyek
yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah
sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh
adalah obyek material ilmu kedokteran. Adapun obyek
formalnya adalah metode untuk memahami obyek material
tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Filsafat
sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal juga
memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material
filsafat adalah segala yang ada, baik mencakup ada yang tampak
maupun ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia
empiris, sedang ada yang tidak tampak adalah alam metafisika.
Sebagian filosuf membagi obyek material filsafat atas tiga
bagian, yaitu: yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam
alam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun obyek
formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal,
dan rasional tentang segala yang ada.
1. Dilihat dari obyek material (lapangan)

7
Filsafat itu bersifat universal (umum), yaitu segala sesuatu
yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu (pengetahuan
ilmiah) itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya
terfokus pada disiplin bidang masing-masing secara kaku dan
terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak
dalam disiplin tertentu.
2. Dilihat dari obyek formal (sudut pandang)
Filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari
pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas,
mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat fragmentaris,
spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifatv
teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan
penyatuan diri dengan realita.
Filsafat ilmu pada prinsipnya memiliki dua obyek substantif
dan dua obyek instrumentatif, yaitu:
1. Obyek Subtantif, yang terdiri dari dua hal :
a. Fakta (Kenyataan)
Yaitu empiris yang dapat dihayati oleh manusia. Dalam
memahami fakta (kenyataan ini ada beberapa aliran
filsafat yang meberikan pengertian yang berbeda-beda,
diantaranya adalah positivisme, ia hanya mengakui
penghayatan yang empirik dan sensual. Sesuatu sebagai
fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu
dengan yang sensual lainnya.Data empirik sensual
tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas
peneliti–. Fakta itu yang faktual ada phenomenology.
Fakta bukan sekedar data empirik sensual, tetapi data

8
yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga
ada subyektifitas peneliti.
b. Kebenaran
Positivisme, benar substantif menjadi identik dengan
benar faktual sesuatu dengan empiris sensual. Kebenaran
pisitivistik didasarkan pada diketemukannya frekwensi
tinggi atau variansi besar. Bagi positivisme sesuatu itu
benar apabila ada korespondensi antara fakta yang satu
dengan fakta yang lain phenomenology, kebenaran
dibuktikan berdasarkan diketemukannya yang esensial,
pilah dari yang non esensial atau eksemplar dan sesuai
dengan skema moral tertentu. Secara esensial dikenal
dua teori kebenaran, yaitu teori kebenaran korespondensi
dan teori kebenaran koherensi.
2. Obyek Instrumentatif, yang terdiri dari dua hal:
a. Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi
proses dan produk yang akan datang atau
memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat
ditampilkan sebagai konfirmasi absolut dengan
menggunakan landasan: asumsi, postulat atau axioma
yang sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat
ditampilkan sebagai konfirmi probabilistik dengan
menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif.
b. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata pikir.
Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (384-

9
322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau
hukum pemikiran.

Tujuan mempelajari Filsafat Ilmu


Cabang filsafat yang membahas masalah ilmu adalah
filsafat ilmu. Tujuannya mengadakan analisis mengenai ilmu
pengetahuan dan cara bagaimana pengetahuan ilmiah itu
diperoleh. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri
pengetahuan ilmiah dan cara untuk memperolehnya. Pokok
perhatian filsafat ilmu adalah proses penyelidikan ilmiah itu
sendiri. The Liang Gie mendefinisikan filsafat ilmu sebagai
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala
hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi dari kehidupan manusia.
Belajar filsafat ilmu bagi mahasiswa sangat penting,
karena beberapa manfaat yang dapat dirasakan, antara lain :
1. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa
semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Mahasiswa
sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis
terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di
ruang kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
2. Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi
para mahasiswa sebagai calon ilmuwan untuk
mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan
penelitian ilmiah.
3. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka
memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan

10
mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai
landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian
ilmiah.
4. Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis.
Setelah mahasiswa lulus dan bekerja mereka pasti
berhadapan dengan berbagai masalah dalam
pekerjaannya.
5. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan
berpikir kritis dalam menganalisis berbagai hal yang
berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
6. Membiasakan diri untuk bersikap logis-rasional dalam
Opini & argumentasi yang dikemukakan.
7. Mengembangkan semangat toleransi dalam perbedaan
pandangan (pluralitas). Karena para ahli filsafat tidak
pernah memiliki satu pendapat, baik dalam isi,
perumusan permasalahan maupun penyusunan
jawabannya.
8. Mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal
lelah.

Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu


Berdasarkan pemahaman dasarnya, persepsi ini tidak
tepat, meskipun di dalamnya terkandung manfaat. Secara
khusus, filsafat merupakan perbincangan mencari hakikat
sesuatu gejala atau segala hal yang ada. Artinya, filsafat
merupakan landasan dari sesuatu apapun , tumpuan segala hal,
jika salah tentulah berbahaya, sedikitnya akan merugikan.

11
Apabila kehidupan berpengetahuan itu diibaratkan sebuah
pohon maka filsafat adalah akarnya, yaitu bagian yang
berhyubungan langsung dengan sumber kehidupan pohon itu,
sedangkan batang, dahan, ranting, daun, bunga, dan buah
menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu berperan
fundamental dalam melahirkan, memelihara, dan
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Fungsi filsafat ilmu adalah didasarkan pada pengertian
filsafat sebagai suatu integrasi atau pengintegrasi sehingga dapat
melakukanfungsi integrasi ilmu pengetahuan. Sebagian besar
orang hanya menyangkutkan apa yang paling dekat dan apa
yang paling dibutuhkannya pada saat dan tempat tertentu.
Dalam Kehidupan Praktis
1. Filsafat memang abstrak, namun tidak berarti filsafat
sama sekali tidak bersangkut paut dengan kehidupan
sehari-hari yang kongkret. Keabstrakan filsafat tidak
berarti bahwa filsafat itu tak memiliki hubungan apa pun
juga dengan kehidupan nyata setiap hari.
2. Filsafat ilmu menggiring manusia kepengertian yang
terang dan pemahaman yang jelas. Kemudian, filsafat itu
juga menuntun manusia ketindakan dan perbuatan yang
konkret berdasarkan pengertian yang terang dan
pemahaman yang jelas.
3. Filsafat ilmu membantu kita mengerti tentang diri kita
sendiri dan dunia kita, karena filsafat mengajarkan
bagaimana kita bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan
mendasar.

12
4. Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat.
Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa
dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
a. Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena
yang ada.
b. Mempertahankan, menunjang dan melawan atau
berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
c. Memberikan pengertian tentang cara hidup,
pandangan hidup dan pandangan dunia.
d. Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang
berguna dalam kehidupan
e. Filsafat ilmu berfungsi untuk menjelaskan
keberadaan manusia di dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang merupakan alat
untuk membuat hidup menjadi lebih baik.
f. Filsafat ilmu memberikan kebiasaan dan kebijaksanaan
untuk memandang dan memecahkan persoalan-
persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
hidup secara dangkal saja.
g. Filsafat ilmu mengajak untuk berpikir secara radikal,
holistik dan sistematis, hingga kita tidak hanya ikut-
ikutan saja, mengikuti pada pandangan umum, percaya
akan setiap semboyan dalam surat-surat kabar, tetapi
secara kritis menyelidiki apa yang dikemukakan orang,
mempunyai pendapat sendiri, dengan cita-cita mencari
kebenaran.

13
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu
adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami
berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali
kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya
dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi,
yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya
mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi
dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai
fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.

Arah Filsafat Ilmu


Arah-arah Filsafat Ilmu sangat berkaitan erat bahkan
dapat dikatakan terpusat pada konsep tentang manusia. Oleh
karena itu arah filsafat ilmu secara potensial turut mendorong
berkembangnya pemikiran tentang hakikat manusia sehingga
menghasilkan perbaikan-perbaikan validitas dan signifikansi
konsep Filsafat Ilmu. Hal ini mengandung arti turut mendorong
berkembangnya filsafat tentang manusia atau antropologi
filsafat.Sehubungan dengan ini lahirlah arah dan konsep tentang
hakikat manusia sebagai : animal rasionale, animal sociale,
animal symbolicum, homo sapiens, homo economicus, homo
homini lupus, homo ludens dan sebagainya.
Berbagai arah filsafat ilmu tersebut di atas, memberikan
dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori ilmu yang
beragam. Masingmasing konsep akan mendukung filsafat ilmu
tersebut. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat ilmu
juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas

14
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata
lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil
penelitian ilmiah.

Hubungan antara Filsafat dan Ilmu


Istilah filsafat bisa ditinjau dari dua segi, semantik dan
praktis. Segi semantik perkataan filsafat berasal dari kata Arab
falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang
berarti philos = cinta, suka (loving) dan Sophia = pengetahuan,
hikmah (wisdom). Jadi philosopia berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap
orang yang berfilsafah akan menjadi bijaksana. Orang yang
cinta kepada pengetahuan disebut philosopher dalam bahasa
Arab disebut failasuf. Dari segi praktis filsafat berarti alam
pikiran atau alam berfikir. Berfilsafat artinya berpikir. Namun
tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat maknanya
berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Pengertian ilmu yang dikemukakan oleh Mohammad
Hatta adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum
kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya,
maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun
menurut hubungannya dari dalam.
Victor F. Lenzen dalam Philosophy of Science yang
dimuat dalam Living Schools of Philosophy (1962) merumuskan
apa yang dimaksud dengan ilmu dan filsafat ilmu. Lenzen
menyatakan, ilmu berarti suatu kegiatan kritis yang bertujuan
menemukan dan juga merupakan pengetahuan sistematis yang

15
didasarkan pada kegiatan kritis tersebut. Masala-masalah filsafat
ilmu mencakup : (1) struktur ilmu yang meliputi metode dan
bentuk pengetahuan ilmiah, (2) kegunaan ilmu bagi kepentingan
praktis dan pengetahuan tentang kenyataan.
Filsafat dan ilmu pada dasarnya adalah dua kata yang
saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena
kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat. Filsafat telah
merubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari
pandangan mitosentris menjadi logosentris. Perubahan pola pikir
tersebut membawa perubahan yang cukup besar dengan
ditemukannya hukum-hukum alam dan teori-teori ilmiah yang
menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi, baik
yang berkaitan dengan makro kosmos maupun mikrokosmos.
Dari sinilah lahir ilmu-ilmu pengetahuan yang selanjutnya
berkembang menjadi lebih terspesialisasi dalam bentuk yang
lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa
manfaatnya. Filsafat sebagai induk dari segala ilmu membangun
kerangka berfikir dengan meletakkan tiga dasar utama, yaitu
ontologi, epistimologi dan axiologi.

16
BAB 3
FILSAFAT DAN ADMINISTRASI

Sebelum menjelaskan tentang korelasi filsafat dan


administrasi, saya akan mencoba memberikan sedikit pengertian
tentang filsafat dan administrasi.
A. Filsafat
Seperti yang telah kita kita ketahui, filsafat berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri dari kata Philos dan Sophia. Philos
berarti gemar, senang atau cinta. Sophia dapat diartikan
kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, dapat dikatakan filsafat berarti
cinta kepada kebijaksanaan. Menjadi bijaksana berarti berusaha
mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian dapat pula
dikatakan bahwa berfilsafat berarti berusaha mengetahui tentang
sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya,
funngsinya, ciri-cirinya, kegunaannya, masalah-masalahnya,
serta pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah itu.
Al-Kindi (800-873) menyatakan: ”Kegiatan manusia yang
bertingkat tertinggi adalah filsafat, yang merupakan
pengetahuan benar mengenai hakekat semua yang ada sejauh
mungkin bagi manusia …… Bagian filsafat yang paling mulia
adalah filsafat pertama yaitu pengetahuan kebenaran pertama
yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.
Scienta rerum percausal ultimas (Pengetahuan merupakan
hal ihwal berdasarkan sebab musabab mendasar).
Pokok utama yang dikaji dalam filsafat adalah logika
(tentang benar dan salah), etika (tentang baik dan buruk) dan

17
estetika (tentang yang indah dan jelek). Filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan), dimana ilmu
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menunjukan ciri-ciri
tertentu.
B. Administrasi
Administrasi dapat didefinisakan sebagai keseluruhan proses
kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan
atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan sebelumnya. Ada beberapa hal yang terkandung
dalam definisi diatas.
Pertama, administrasi sebagai seni adalah suatu proses yang
diketahui hanya permulaannya sedang akhirnya tidak diketahui.
Kedua,administrasi mempunyai unsur-unsur tertentu, yaitu
adanya dua manusia atau lebih, adanya tujuan yag hendak
dicapai, adanya tugas adanya tugas-tugas yang harus
dilaksanakan, adanya peralatan dan perlemgkapan untuk
melaksanakan tugas-tugas itu. Kedalam golongan peralatan dan
perlengkapan termasuk pula waktu, tempat, pralatan materi serta
sarana lainnya. Ketiga, bahwa administrasi sebagai proses
kerjasama bukan merupakan hal yang baru karena ia telah
timbul bersama-sama dengan timbulnya peradaban manusia.
Tegasnya administrasi sebagai seni merupakan suatu fenomena
sosial.
Ilmu administrasi negara, atau disebut ilmu administrasi
publik adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek-aspek yang
berjalan dalam setiap kegiatan birokrasi di negara ini.
Hubungannya dengan ilmu filsafat adalah karena dalam

18
menjalankan kegiatan negara, diperlukan nilai-nilai
pengambilan keputusan publik yang realistis (filsafat). Manusia
merupakan makhluk yang tidak pernah puas untuk memenuhi
kebutuhannya. Sebagai makhluk sosial, ia juga tidak dapat hidup
tanpa orang lain atau dengan kata lain, ia senantiasa
membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya yang tak terbatas itu. Seperti diketahui, bahwa
jumlah barang pemuas kebutuhan tidaklah sebanding dengan
apa yang diinginkan. Untuk itu, dibutuhkan suatu ilmu yang
mampu mengatur bagaimana agar kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi tanpa menimbulkan permasalahan antara satu dengan
yang lainnya.
Filsafat administrasi adalah berpikir secara matang dan
mendalam terhadap hakikat dan makna yang terkandung dalam
materi ilmu administrasi. Ontologi administrasi merupakan ilmu
pengetahuan yang sifat jangkauannya sangat universal dan
menyeluruh dari struktur kehidupan manusia. Epistemologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari dan
menetapkan kodrat atau skop suatu jenis ilmu pengetahuan serta
dasar pembentukannya. Aksiologi ilmu administrasi merupakan
salah satu bagian dari filsafat ilmu, maka tidak heran begitu
banyak pertanyaan yang dapat dimunculkan karena memang
filsafat mencari hakikat kandungan makna yang mendalam.
Secara fenomenologis, komunitas dengan organisasi sangat sulit
dibedakan.Hal semacam inilah merupakan keajaiban ilmu
pengetahuan, dimana pandangan ilmuwan administrasi lebih
populer dengan menggunakanistilah organisasi, sedangkan bagi

19
ilmuwan sosiologi lebih populer dengan menggunakan istilah
komunitas masyarakat.
Berfilsafat merupakan rangkaian kegiatan atau aktivitas
dengan menggunakan pemikiran dan perasaan manusia.
Pemikiran dan pemahaman ini senantiasa bersifat memantul
kepada diri sendiri untuk memahami pekerjaan, pikiran, dan
perasaan tersebut. Perasaan manusia selalu diarahkan untuk
menelaah fenomena yang dialami oleh manusia sehingga dapat
melahirkan suatu pemikiran. Berfilsafat adalah merenungi
fenomena yang dihadapi oleh manusia, kemudian melahirkan
berbagai pertanyaan tentang fenomena itu.
Dapat dipahami bahwa korelasi antara filsafat dengan
administrasi terletak pada bidang kajiannya, yaitu sama-sama
mengkaji tentang manusia dan masyarakat.

Urgensi mempelajari filsafat administrasi bagi sarjana


administrasi public
Pentingnya Sarjana Administrasi Publik mempelajari
filsafat administrasi adalah :
1. Memahami bagaimanan filsafat yang benar dan mana
yang salah, mana filsafat yang membawa kemajuan dan
mana filsafat yang membawa kemajuan dan mana
filsafat yang memundurkan masyarakat. Intinya, dengan
mempelajari filsafat kita bisa tahu bagaimana
masyarakat berkembang dan bagaimana pula filsafat
mengiringi perkembangan itu. Kita tidak akan tahu
bagaimana perubahan cara berpikir bisa membawa

20
kebangkitan manusia dan membuat mereka mampu
menghadapi realitas dan kadang juga mengubahnya.
2. Filsafat membuat kita mandiri dan tidak bergantung pada
orang lain. Filsafat membantu kita untuk berpikir dan,
dengan demikian, kita akan dipandu untuk memahami
dunia bersama misteri-misterinya, dunia seakan menjadi
gamblang dengan permasalahanpermasalahannya. Ini
akan membantu kita mudah menghadapi masalah, dan
kadang juga membuat kita mudah mengembangkan
pengetahuan dan menggapai keterampilan teknis.
Kemandirian berpikir membuat kita tak perlu banyak
bertanya.
3. Menggapai kebijakan dan nilai. Ini berkaitan dengan
poin diatas. Nilai diperoleh dengan berpikir mendalam.
Nilai itu penting untuk mengaturkehidupan sebab tanpa
nilai kehidupan akan centang-perenang dan tanpa nilai
manusia akan terombang-ambing tanpa paduan.
4. Menggapai kebenaran. Filsafat adalah jalan menggapai
kebenaran karena proses berpikir mendalam itu pada
dasarnya adalah menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi, terhadap suatu
kenyataan. Jika kita tak memahami kenyataan
berdasarkan kenyataan, itu adalah suatu kesalahan, dan
ini biasanya terjadi saat orang tidak berfilsafat, atau pada
saat orang menilai sesuatu seenaknya saja.
5. Memahami diri sendiri dan masyarakatnya:
menghilangkan egoisme, meningkatkan kesadaran

21
kolektif. Tentang manfaat filsafat sebagai panduan untuk
memahami diri sendiri.
6. Filsafat untuk mengubah kehidupan. Artinya, dengan
filsafat orang akan terdorong untuk mengubah segala
sesuatu yang ternyata telah jauh menyimpang dari nilai-
nilai kebenaran. Dalam hal ini, juga berarti bahwa
filsafat juga tak dapat dipisahkan dari kerja mengubah
kehidupan.

22
BAB 4
AKSIOLOGI : ILMU, MORAL, TANGGUNG JAWAB SOSIAL
ILMUWAN, DAN REVOLUSI GENETIKA

1. Ilmu
Ihsan (2010:57) mengemukakan kata ilmu berasal dari
bahasa Arab (alima) dan berarti pengetahuan. Pemakaian kata
itu dalam bahasa Indonesia kita ekuivalenkan dengan istilah
science. Science berasal dari bahasa latin scio, scire, yang juga
berarti pengetahuan.
Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan
bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang disusun secara
sistematis, konsisten, dan kebenarannya telah diuji secara
empiris.
Kasmadi (dikutip Ihsan, 2010:115--116) mengemukakan
sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkan, apabila dipenuhi
syarat-syarat yang intinya adalah sebagai berikut.
1. Ilmu harus mempunyai objek, berarti kebenaran yang
hendak diungkapkan dan dicapai adalah persesuaian
antara pengetahuan dan objeknya
2. Ilmu harus mempunyai metode, berarti untuk mencapai
kebenaran yang objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa
metode yang rapi
3. Ilmu harus sistematik, berarti dalam memberikan
pengalaman, objeknya dipadukan secara harmonis
sebagai suatu kesatuan yang teratur

23
4. Ilmu bersifat universal, berarti kebenaran yang
diungkapkan oleh ilmu tidak bersifat khusus melainkan
berlaku umum

2. Moral
Surajiyo (2009:147) mengemukakan moral berasal dari kata
Latin mos jamaknya mores yang berarti adat atau cara hidup.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk
perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai yang ada. Sementara itu Ihsan
(2010:271) menyebutkan Kata moral dalam bahasa Yunani sama
dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai cabang filsafat,
etika sangat menekankan pendekatan yang kritis dalam melihat
nilai (takaran, harga, angka kepandaian, kadar/mutu, sifat-sifat
yang penting/berguna) dan moral tersebut serta permasalahan-
permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan nilai dan moral
itu. Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan
pengertian dari moral adalah Moral merupakan kondisi pikiran,
perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan
nilai-nilai baik dan buruk.

24
3. Tanggung Jawab Ilmuan
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas
perubahan sosial, maka hal itu berarti (1) ilmu telah
mengakibatkan perubahan sscial dan juga (2) ilmu bertanggung
jawab atas sesuatu yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab
tersebut bersangkut paut dengan masa lampau dan juga masa
depan. Yang perlu diperhatikan ialah bahwa apa yang telah
terjadi sebenarnya tidak mutlak harus terjadi dan apa yang bakal
terjadi tidak perlu terjadi; hal itu semata-mata bergantung
kepada keputusan manusia sendiri (Ihsan, 2010: 281).
Menurut Abbas Hama (dikutip Surajiyo, 2008:153) Para
ilmuwan sebagai orang yang professional dalam bidang
keilmuwan sudah barang tentu mereka juga memiliki visi moral,
yaitu moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah didalam
filsafat ilmu disebut juga sebagai sikap ilmiah. Menurut Abbas
(dikutip Surajiyo, 2008:156) sedikitnya ada enam sikap ilmiah
yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan yaitu :
1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), artinya suatu
sikap diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah
yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau
kesenangan pribadi.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar
para ilmuwan Mampu mengadakan pemilihan terhadap
segala sesuatu yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang
beragam, metodologi yang masing-masing menunjukkan
kekuatannya atau cara penyimpulan yang satu cukup

25
berbeda walaupun masing-masing menunjukkan
akurasinya.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap
kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi
(mind).
4. Adanya sikap yang mendasar pada suatu kepercayaan
(belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa
setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan
harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah
dilakukan, sehingg selalu ada dorongan untuk riset dan
riset sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya.
6. Harus memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk
kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih
khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai
implikasi etis bagi seorang ilmuan. Karakteristik proses tersebut
merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang
ilmuan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran
sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi
pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan
pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha
masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang
ilmuwan terpanggil oleh kewajiban sosialnya, bukan saja

26
sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun juga
sebagai prototipe moral yang baik (Suriasumantri, 2000: 244)

4. Revolusi Genetika
Ilmu dalam perspektif sejarah kemanusiaan mempunyai
puncak kecemerlangan masing-masing, namun seperti kotak
Pandora yang terbuka, kecemerlangan itu sekaligus membawa
malapetaka. Kimia merupakan kegemilangan ilmu yang
pertama yang dimulai sebagaikegiatan pseudo-ilmiah yang
bertujuan mencari obat mujarab untuk hidup abadi dan rumus
campuran kimai auntuk mendapatkan emas. Setelah itu
menyusul fisika yang mencari kulminasi pada teori fisika nuklir.
Dan sekarang kita di ambang kurun genetika dengan awal
revolusi di bidang genetika (Suriasumantri, 2000: 253).
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah
keilmuwan manusia sebab sebelum ini ilmu tidak pernah
menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu sendiri dan
tidak membidik secara langsung manusia sebagai objek
penelaahan. Dengan penelitian genetika maka masalahnya
menjadi sangat lain, kita tidak lagi menelaah organ-organ
manusia dalam upaya untuk menciptakan teknologi yang
memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah
manusia itu sendiri. Apakah perubahan yang dilakukan secara
moral\dapatdibenarkan?
(http://rismatp11.blogspot.com/2011/11/aksiologi-ilmu-dan-
moral tanggung-jawab.html).

27
Penemuan dalam riset genetika akan dipergunakan dengan
etika baik untuk keluhuran manusia. Bagaimana sekiranya
penemuan ini jatuh kepada pihak yang tidak bertanggung jawab
dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya
sendiri yang bersifat destruktif? Garansi apa yang bias diberikan
bahwa pengetahuan ini tidak akan dipergunakan untuk tujuan-
tujuan seperti itu? Melihat permasalahan genetika dari sudut ini
makin meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukannya
dibandingkan dengan kebaikannya sekiranya hakikat
kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah (Suriasumantri, 2000:
255).

Hubungan antara ilmu dan moral


Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa
peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan
manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah
disamping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-
bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,
pendidikan, dan komunikasi (Suriasumantri, 2000:229).
Jujun S. Suriasumantri (dikutip Ihsan, 2010:273)
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan
dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu.
Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk
memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam
melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan

28
untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan
kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor
manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan
manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah
yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu.
Jadi ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi
namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan.
Ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia
mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan
mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu bukan lagi merupakan
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya,
namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Tanggung jawab ilmuwan di masyarakat


Suriasumantri (2000:237) mengemukakan Ilmu
merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan
dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat
individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah
bersifat sosial. Kreativitas individu yang didukung oleh sistem
komunikasi sosial yang bersifat terbuka menjadi proses
pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif. Seorang
ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, bukan saja karena
dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat
secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah
karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan
hidup bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti

29
pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga
ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Jika dinyatakan bahwa ilmu bertanggung jawab atas
perubahan sosial, maka hal itu berarti ilmu telah mengakibatkan
perubahan sosial dan juga ilmu bertanggung jawab atas sesuatu
yang bakal terjadi. Jadi tanggung jawab tersebut bersangkut paut
dengan masa lampau dan juga masa depan (Ihsan, 2010:281).
Ilmuwan berdasarkan pengetahuannya memiliki
kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi.
Umpamanya saja apakah yang akan terjadi dengan ilmu dan
teknologi kita di masa depan berdasarkan proses pendidikan
keilmuan sekarang. Dengan kemampuan pengetahuannya
seorang ilmuwan juga harus dapat mempengaruhi opini
masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogyanya mereka
sadari (Suriasumantri, 2000:241).
Tanggung jawab ilmu atas masa depan pertama-tama
menyangkut usaha agar segala sesuatu yang terganggu oleh
campur tangan ilmu bakal dipulihkan kembali. Campur tangan
ilmu terhadap masa depan bersifat berat sebelah, karena
sekaligus tertuju kepada keseimbangan dalam alam dan terhadap
keteraturan sosial. Gangguan terhadap keseimbangan alam
misalnya pembasmian kimiawi terhadap hama tanaman, sistem
pengairan, dan sebagainya. Perlu diingat bahwa
keberatsebelahan itu sebenarnya bukan hanya karena tanggung
jawab ilmu saja, melainkan juga oleh manusia sendiri (Ihsan,
2010: 282).

30
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang
biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan
pikirannya mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga
segenap materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan
teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu
begitu saja tanpa suatu pemikiran yang cermat. Disinilah
kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir
seorang awam (Suriasumantri, 2000 : 243).
Untuk memahami ihwal tanggung jawab manusia ,
kiranya baik juga diketengahkan dengan singkat alam pikiran
Yunani Kuno. Menurut alam pikiran Yunani Kuno, ilmu adalah
theoria, sedangkan keteraturan alam dan keteraturan masyarakat
selalu menurut kodrat Ilahi. Setiap keteraturan adalah
keteraturan ilahi dan alam (karena mempunyai keteraturan)
bahkan dianggap sebagai Ilahi atau sebagai hasil pengaturan
Ilahi (Ihsan, 2010: 285).
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan
bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia
harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif,
terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani
mengakui kesalahan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan
kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga
dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri
teladan (Suriasumantri, 2000: 244).

31
Jadi bila kaum ilmuwan konsekuen dengan pandangan
hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral , maka
salah satu penyangga masyarakat modern akan berdiri dengan
kukuh.

32
BAB 5
PENGETAHUAN ILMIAH ATAU ILMU

Pengertian Ilmu
Pengetahuan ilmuah atau ilmu (bah. Inggris Science dan
Latin Scientia yang diturunkan dari kata scire), memiliki makna
ganda, yaitu; mengetahui (to know), dan belajar (to learn). Sisi
pertama to know menunjuk pada aspek statis ilmu, yaitu sebagai
hasil, berupa pengetahuan sistematis. Sisi kedua menunjuk pada
hakikat dinamis ilmu, sebagai sebuah proses (aktivitas-metodis).
Sisi kedua tersebut hendak menunjukkan bahwa ilmu sebagai
aktifitas pembelajaran, bukanlah sebuah aktifitas menunggu
secara pasif, melainkan merupakan sebuah usaha secara aktif
untuk menggali, mencari, mengejar, atau menyelidiki sampai
pengetahuan itu diperoleh secara utuh, obyektif, valid, dan
sistematis.
Tegasnya, pengertian ilmu, dalam hal ini, menunjuk
pada tiga hal, yaitu; pertama; ilmu sebagai proses berupa
aktifitas kognitif-intelektuali (aktivitas penelitian), kedua; ilmu
sebagai prosedur berupa metode ilmiah, dan ketiga;. Ilmu
sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan sistematis.
Penjelasannya demikian: Ilmu sebagai aktifitas,
menggambarkan hakikat ilmu sebagai sebuah rangkaian
aktivitas pemikiran rasional, kognitif, dan teleologis (tujuan).
Rasional artinya, proses aktifitas yang menggunakan
kemampuan pemikiran untuk menalar dengan tetap berpegang
pada kaidah-kaidah logika, kognitif artinya; aktivitas pemikiran

33
yang bertalian dengan; pengenalan, pencerapan,
pengkonsepsian, dalam membangun pemahaman pemahaman
secara terstruktur guna memperoleh pengetahuan, dan teleologis
artinya; proses pemikiran dan penelitian yang mengarah pada
pencapaian tujuan-tujuan tertentu, misalnya; kebenaran
pengetahuan, serta memberi pemahaman, penjelasan, peramalan,
pengendalian, dan aplikasi atau penerapan. Semua itu dilakukan
setiap ilmuwan dalam bentuk penelitian, pengkajian, atau dalam
rangka pengembangan ilmu.
Ilmu sebagai prosedur menunjuk pada pola prosedural,
tata langkah, teknik atau cara, serta alat atau media. Pola
prosedural, misalnya; pengamatan, percobaan, pengukuran,
survei, deduksi, induksi, analisis, dan lainnya. Tata langkah,
misalnya; penentuan masalah, perumusan hipotesis (bila
diperlukan), pengumpulan data, penarikan kesimpulan, dan
pengujian hasil. Teknik atau cara, misalnya; penyusunan daftar
pertanyaan, wawancara, perhitungan, dan lainnya. Alat dan
media, timbangan, meteran, perapian, komputer, dan lainnya.
Ilmu sebagai hasil atau produk berupa pengetahuan
sistematis, ilmu dipahami sebagai seluruh kesatuan ide yang
mengacu ke obyek (dunia obyek) yang sama dan saling
berkaitan secara logis. Ilmu, karena itu, dipandang sebagai
sebuah koherensi sistematik, dengan prosedur, aksioma, dan
lambang–lambang yang dapat dilihat dengan jelas melalui
pembuktian-pembuktian ilmiah. Ilmu memuat di dalam dirinya
hipotesis-hipotesis (jawaban-jawaban sementara) dan teori-teori
(hipotesis-hipotesis teruji) yang belum mantap sepenuhnya. Ilmu

34
sering disebut pula sebagai konsep pengetahuan ilmiah karena
ilmu harus terbuka bagi pengujian ilmiah (pengujian keilmuan).
Jadi, ilmu cenderung dipahami sebagai pengetahuan
yang diilmiahkan atau pengetahuan yang diilmukan, sebab tidak
semua pengetahuan itu bersifat ilmu atau harus diilmiahkan.
Sebagai hasil kegiatan ilmiah, ilmu merupakan sekelompok
pengetahuan (konsep-konsep) mengenai sesuatu hal (pokok
soal) yang menjadi titik minat bagi permasalahan tertentu.
Sebuah pengetahuan ilmiah memiliki 5 (lima) ciri pokok, yaitu;
empiris, sistematis, obyektif, analitis, dan verifikatif. Ilmu,
dalam hal ini, cenderung dilihat dalam hubungan dengan obyek
keilmuan (obyek material dan formal) dan metode keilmuan
tertentu. Kesatuan ilmu bersumber di dalam kesatuan obyeknya.
Orang, misalnya kaum peneliti, membatasi ilmu sebatas
metodologi keilmuan. Alasannya, kaitan-kaitan logis yang dicari
di dalam ilmu tidak dicapai dengan penggabungan ide-ide yang
terpisah, tetapi pada pengamatan dan berpikir metodis, yang
tertata rapih. Alat bantu metodologis keilmuan adalah
“teknologi ilmiah” dalam menguji-coba atau
mengeksperimentasi konsep-konsep ilmu.
Ketiga unsur dimaksud menggambarkan sebuah
pengertian yang lengkap dan utuh mengenai ilmu itu sendiri.
Ketiganya, sesungguhnya bukan saling bertentangan, tetapi
merupakan sebuah kesatuan, di mana manusia lah yang menjadi
pelaku (subyek) ilmu itu sendiri. Alasannya, hanya manusia
sajalah yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas
kognitif (menyangkut pengetehuan), dan mendambakan

35
berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu. Suatu aktivitas,
hanya dapat mencapai tujuan bila mana dilaksanakan dengan
metode yang tepat.
Pengertian ilmu sebagaimana di atas, dapat ditinjau dari
tiga sudut, yaitu; ilmu sebagai aktivitas, ilmu sebagai
pengetahuan sistematis, ilmu sebagai metode (The Liang Gie
1996:130). Ilmu sebagai aktivitas kognitif harus mematuhi
berbagai kaidah pemikiran logis, sementara, disebut
pengetahuan sistematis karena ilmu merupakan hasil dari
pelaksanaan proses-proses kognitif yang terpercaya, dan
sistematis, Ilmu disebut metodik karena ilmu sebagai aktivitas
kognitif (intelektual) sampai perwujudannya sebagai
pengetahuan sistematis, terjalin dalam sebuah langkah atau
prosedur ilmu yang disebut metode. Pandangan tersebut
mengantarkan pada sebuah rumusan yang bersifat tentatif
tentang ilmu sebagai berikut;
Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional
kognitif, dengan berbagai metode berupa anek prosedur dan tata
langkah, sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sitematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan,
dan keorangan untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh
pemahaman, memberikan penjelasan, atau penerapan.

Obyek Pengetahuan ilmiah atau Ilmu.


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara
filsafati, sebuah pengetahuan ilmiah atau ilmu, memiliki
perbedaan dengan bentuk pengetahuan yang umum (common

36
sense). Alasannya, bila sebuah jenis pengetahuan umum tidak
memiliki obyek, bentuk pernyataan, serta dimensi dan cirri yang
khusus maka sebaliknya, sebuah pengetahuan ilmiah atau
pengetahuan keilmuan (ilmu) selalu mengendaikan adanya;
obyek keilmuan, bentuk pernyataan, serta dimensi dan ciri yang
khusus. Obyek pengetahhaun ilmiah atau obyek keilmuan,
dalam hal ini, mencakup segala sesuatu (yang tampak secara
fisik maupun non fisik berupa fenomena atau gejala kerohanian,
kejiwaan, atau sosial), yang sejauh dapat dijangkau oleh pikiran
atau indera manusia. Para filsuf, karenanya, membagi obyek
keilmuan itu dalam dua golongan besar, yaitu; obyek material
dan obyek formal keilmuan. Obyek material meliputi: ide
abstrak, benda-benda fisik, jasad hidup, gejala rohani, gejala
sosial, gejala kejiwaan, gejala alam, proses tanda, dan
sejenisnya. Obyek formal, meliputi; sudut pandang, minat
akademis, atau cara kerja yang digunakan untuk menggali,
menggarap, menguji, menganalisis, dan menyusun berbagai
pemikiran yang tersimpan dalam khasanah kekayaan obyek
material di atas dan menyuguhkannya dalam bentuk ilmu.

Hubungan Pengetahuan dan Ilmu


Pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan
keterangan dan ide yang terkandung di dalam pernyataan-
pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala atau peristiwa,
baik yang bersifat alamiah, keorangan, atau kemasyarakat.
Pengetahuan dapat dibagi atas dua bentuk, yaitu pengetahuan
biasa dan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa adalah bentuk

37
pengetahuan yang biasa ditemui dalam pikiran atau pandangan
umum (common sense) dalam kehidupan harian, sementara
pengetahuan ilmiah adalah jenis pengetahuan yang telah diolah
secara kritis menurut prinsip-prinsip keilmuan untuk menjadi
ilmu. Pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge) adalah
pengetahuan yang disusun bersdasarkan azasazas yang cocok
dengan pokok soal dan dapat membuktikan
kesimpulankesimpulannya. Pengetahuan ilmiah melukiskan
suatu obyek khusus tentang jenis pengetahuan yang khusus
mengenai obyek dimaksud.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara
sitematis. Jadi, pengetahuan merupakan isi substantif yang
terkandung dalam ilmu. Pengetahuan, karenanya, merupakan
dasar bangunan sebuah ilmu. Tanpa pengetahuan, sukar
disadari, ditemukan, atau dikembangkan sebuah ilmu dalam
bentuk apa pun. Pengetahuan yang merupakan isi substatif ilmu,
dalam dunia keilmuan disebut fakta (fact), kebenaran, azas,
nilai, dan keterangan) yang diperoleh manusia. Ilmu bukan
sekedar fakta, tetapi ilmu mengamati, menganalisis, menalar,
membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal yang bersifat faktawi
(faktual) yang dihimpun dan dicatat sebagai data (datum).
Ilmu, dalam hal ini, didasarkan pada sesuatu hal pokok
sebagai fakta (pengetahuan) yang pokok soal khusus di dalam
ilmu. Pokok soal itu dapat berupa ide abstrak, misalnya; sifat
Tuhan, sifat bilangan, atau fakta empiris, misalnya; sifat tanah,
ciri kulit, bentuk materi, berat badan, lembaga adat, pemerintah,
dan sebagainya, yang mendorong minat (focus of interest) atau

38
sikap pikiran padanya. Jadi, bila ilmu berbeda dari filsafat
berdasarkan ciri empiris ilmu maka ilmu berbeda dari
pengetahuan biasa karena ciri sistematis dari ilmu itu sendiri.
Hal-hal berupa pokok soal dimaksud, di dalam filsafat disebut
obyek material ilmu, sementara fokus minat atau sikap terhadap
hal pokok dimaksud disebut obyek formal ilmu, yang menunjuk
pada sudut pendekatan atau tata cara khusus yang dilakukan
dalam menghadapi obyek materi ilmu dimaksud.
Ilmu, sebagaimana pengetahuan, memiliki dimensi sosial
kemasyarakatan, juga dimensi kebudayaan, dan dimensi
permainan. Dimensi kemasyarakatan sebagai sebuah pranata
sosial (Social institution), karena ilmu, sebagaimana
pengetahuan, merupakan salah satu unsur yang berhubungan
dengan kehidupan kemasyarakatan. Dimensi kebudayaan
sebagai “kekuatan kebudayaan” (cultural force), kerena ilmu,
sebagaimana pengetahuan, merupakan salah satu wujud
kebudayaan yang sekaligus berkembang dalam bentuk
kebudayaan, serta memberikan sumbangan bagi kemajuan
kebudayaan itu sendiri. Dimensi permainan, (game), karena
ilmu, dalam perkembangannya, menunjukkan ciri –ciri yang
mirip dengan sifat-sifat suatu permainan, misalnya;
keingintahuan, perlombaan, dan penerimaan hadiah. Ketiga hal
dimaksud, bukan merupakan arti sesungguhnya dari ilmu,
melainkan dianggap sebagai dimensi umum dari ilmu.

39
Konsep Ilmu
Sasaran ilmu adalah pembentukan konsep (pengertian),
baik untuk kepentingan pengembangan ilmu secara murni
(misalnya; untuk menyusun teori dan dan menghasilkan dalil-
dalil, atau azas), maupun untuk kepentingan praktis bagi
tindakan penerapan nyata. Konsep merupakan ide umum yang
mewakili sesuatu himpunan hal yang biasanya dibedakan dari
pencerapan atau persepsi mengenai suatu hal khusus. Konsep
merupakan alat penting untuk pemikiran terutama dalam hal
penelitian ilmiah atau penelitian keilmuan.
Konsep ilmu adalah bagan, rencana, atau pengertian,
baik yang bersifat abstrak maupun operasional, yang merupakan
alat penting untuk kepentingan pemikiran dalam ilmu atau
pengetahuan ilmiah. Setiap ilmu harus memiliki suatu atau
beberapa konsep kunci atau konsep tambahan yang bertalian.
Beberapa contoh konsep ilmiah, misalnya; konsep bilangan di
dalam matematika, konsep gaya di dalam fisika, konsep evolusi
di dalam biologi, stimulus di dalam psikologi, kekuasaan atau
strata sosial di dalam ilmu-ilmu sosial, simbol di dalam
linguistik, keadilan dalam ilmu hukum, keselamatan dalam ilmu
teologi, atau lingkungan di dalam ilmuilmu interdisipliner.
Konsep-konsep ilmu atau konsep ilmiah tersebut sangat
dibutuhkan agar suatu ilmu dapat menyusun berbagai azas, teori,
sampai dalil-dalil. Sesuatu konsep ilmiah dapat merupakan
semacam sarana untuk ilmuwan melakukan pemikiran dalam
mengembangkan pengetahuan ilmiah. Misalnya; dengan konsep
evolusi, Charles Darwin lalu dapat menyusun dan

40
mengembangkan suatu teori tentang asal–usul manusia, yang
mulai dari tahap perkembangan binatang menyusui yangcerdas
kemudian makin berkembangan menjadi manusia. Inti konsep
evolusi yang membentuk teori evolusi itu demikian: bahwa
bentuk-bentuk organisme yang lebih rumit berasal dari sejumlah
kecil bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan primitif dalam
perkembangannya secara berangsur-angsur sepanjang zaman.
Konsep evolusi, kemudian diterapkan pula dalam
memahami perkembangan ilmu dengan menunjukkan bahwa
cabang-cabang ilmu khusus terlahir dalam jalinan umum dari
pemikiran reflektif filsafat dan setelah itu berkembangan
mencapai suatu taraf kematangan sehingga dipandang berbeda
dan kemudian dipisahkan dari filsafat. Hal demikian berlaku
pula terhadap upaya penelaan terhadap gejala-gejala alam dan
kehidupan maupun gajala-gejala mental dan kemasyarakatan,
yang dewasa ini, semuanya secara pasti telah berkembang
menjadi ilmu-ilmu fisis, biologi, psikologi, dan ilmu-ilmu sosial
yang berdiri sendiri-sendiri. Ciri umum daripada ilmuilmu
tersebut yang membuatnya berbeda dari filsafat adalah ciri
empirisnya. Jelasnya, bila filsafat masih tetap merupakan
pemikiran reflektif yang coraknya sangat umum, kebalikannya
ilmu-ilmu fisis, biologis, psikologis, dan ilmu-ilmu sosial telah
merupakan rangkaian aktivitas intelektual yang bersifat empiris.
Sifat tersebut lah yang selalu merupakan ciri umum dari ilmu.
Jelasnya, konsep ilmu, agar dapat berguna secara ilmiah
maka ia harus memiliki dua sifat dasar, yaitu sifat operasional
untuk kepentingan pengamatan (observasi), dan sifat abstrak

41
untuk kepentingan penyimpulan dan generalisasi. Bersifat
operasional, maksudnya, setiap konsep ilmu mengandung
pengertian-pengertian yang berkesesuaian dengan fakta atau
situasi yang dapat diamati secara empiris. Ciri empiris dari ilmu
mengandung pengertian bahwa pengetahuan yang diperoleh
tersebut adalah berdasarkan pengamatan (observation) atau
eksperimentasi (experimentation). Konsep ilmu, di sisi lain,
bersifat abstrak untuk kepentingan melakukan penyimpulan atau
membuat keterangan-keterangan ilmiah yang berlaku secara
umum. Konsep-konsep ilmu tersebut kadang-kadang begitu
abstrak sehingga hampir berupa khayalan. Misalnya; konsep
ketakterhinggaan matematika (mathematical infinity), manusia
ekonomis (the economic man), atau negara ideal (the ideal
state).
Konsep ilmu sebagai sasaran ilmu, tidak boleh
dikacaukan, seolah-olah sama atau menyerupai inti atau pokok
soal pengetahuan. Alasannya, pokok soal pengetahuan tersebut
belum dapat mengembangakan suatu ilmu ke taraf yang lebih
tinggi seperti konsep ilmu dimaksud. Ilmu yang telah cukup
berkembang harus memiliki satu atau beberapa konsep kunci,
juga beberapa konsep tambahan yang bertalian dengannya.

Ciri Pokok Ilmu


Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah, berbeda dengan
pengetahuan biasa, memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
a. sistematis; para filsuf dan ilmwan sepaham bahwa ilmu
adalah pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang

42
tersusun secara sistematis. Ciri sistematis ilmu
menunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai
keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan
pengetahuan tersebut mempunyai hubunganhubungan
saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib).
Pertalian tertib dimaksud disebabkan, adanya suatu azas
tata tertib tertentu di antara bagianbagian yang
merupakan pokok soalnya.
b. empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan pengamatan serta percobaan-
percobaan secara terstruktur di dalam bentuk
pengalaman-pengalaman, baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Ilmu mengamati, menganalisis, menalar,
membuktikan, dan menyimpulkan hal-hal empiris yang
bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala atau
kebathinan, gejala-gejala alam, gejala kejiwaan, gejala
kemasyarakatan, dan sebagainya. Semua hal faktai
dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum)
sebagai bahan persediaan bagi ilmu. Ilmu, dalam hal ini,
bukan sekedar fakta, tetapi fakta-fakta yang diamati
dalam sebuah aktivitas ilmiah melalui pengamalaman.
Fakta bukan pula data, berbeda dengan fakta, data lebih
merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal
yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi
inderawi.
c. obyektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk
pengatahuan yang bebas dari prasangka perorangan

43
(personal bias), dan perasaan-perasaan subyektif berupa
kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya
mengandung pernyataan serta data yang menggambarkan
secara terus terang atau mencerminkan secara tepat
gejala-gejala yang ditelaahnya. Obyektifitas ilmu
mensyaratkan bahwa kumpulan pengetahuan itu haruslah
sesuai dengan obyeknya (baik obyek material maupun
obyek formal-nya), tanpa diserongkan oleh keinginan
dan kecondongan subyektif dari penelaahnya.
d. analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami,
dan membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian-
bagian yang terpecinci untuk memahami berbagai sifat,
hubungan, dan peranan dari bagian-bagian tersebut.
Upaya pemilahan atau penguraian sesuatu kebulatan
pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu
bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang-
cabang yang lebih sempit sasarannya. Melalui itu,
masing-masing cabang ilmu tersebut membentuk aliran
pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting
keilmuan yang terus dikembangkan secara khusus
menunju spesialisasi ilmu.
e. verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran-kebenaran yang
terbuka untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat
dinyatakan sah (valid) dan disampaikan kepada orang lain.
Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi) dimaksud lah
yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar
dapat diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk

44
diuji atau diverifikasi dari berbagai sudut telaah yang berlainan
dan akhirnya diakui benar. Ciri verifikasif ilmu sekaligus
mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah pada
tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleh manusia untuk
menemukan suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang
disebut kebenaran ilmiah. Kebenaran tersebut dapat berupa
azas-azas atau kaidah-kaidah yang berlaku umum atau universal
mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan. Melalui itu,
manusia berharap dapat membuat ramalan tentang peristiwa
mendatang dan menerangkan atau menguasai alam
sekelilingnya. Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit
mengerti dan meramalkan, serta menguasai gejala atau
peristiwa-peristiwa alam, seperti; hujan, banjir, gunung meletus,
dan sebagainya. Orang, karena itu, lari kepada tahyul atau mitos
yang gaib. Namun, demikian, setelah adanya ilmu, seperti;
vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat menjelaskan
secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa tersebut
serta meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan
dengan demikian dapat menguasainya untuk kemanfaatan diri
atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan itu lah, orang
cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan
yang teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan
untuk maksud menemukan kebenaran kebenaran umum, serta
tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran-kebenaran
ilmu demi kepentingan pribadi atau masyarakat, dan alam
lingkungan.

45
Selain, kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri
tambahan lainnya, misalnya; ciri instrumental dan ciri faktual.
Ciri instrumental, dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau
sarana tindakan untuk melakukan sesuatu hal. Ilmu, dalam hal
ini sukar namun, juga amat muda dalam arti, senantiasa
merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang
mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide-ide baru. Ilmu
berciri faktual, dalam arti, ilmu tidak memberikan penilaian,
baik atau buruk terhadap apa yang ditelaannya, tetapi hanya
menyediakan fakta atau data bagi sepengguna. Pandangan
terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolah karena, menurut
mereka ilmu sebagai sebuah hasil budaya manusia, selalu
bertautan atau berhubungan dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak
dapat membebaskan atau meluputkan diri dari nilai dan selalu
harus bertanggungjawab atasnya.

Dimensi khusus Ilmu


Ilmu, dalam perkembangannya yang luas dan bertumbuh
beraneka ragam, telah menampilkan pula berbagai dimensi
keilmuan yang cukup luas dan beragam, serta bersifat khas atau
khusus. Dimensi ilmu menunjuk pada perwatakan, peranan,
serta kepentingan yang sepatutnya yang dianggap termasuk
dalam ilmu. Berbagai pandangan filsuf, sebagaimana
ditunjukkan oleh The Liang Gie (1996: 131-133), menunjukkan
beberapa dimensi ilmu yang secara khusus atau spesifik dapat
dijumpai dari ilmu-ilmu yang bersangkutan, yaitu:

46
1. dimensi ekonomi, ilmu memiliki dimensi ekonomis,
dalam arti, ilmu dilihat sebagai salah satu faktor utama
dalam mempertahankan dan mengembangkan produksi.
2. dimensi linguistik, bahwa ilmu dipahami sebagai suatu
bahasa buatan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu
konstruksi kebahasaan (a construction of language),
dengan seperangkat tanda dan hubungan-hubungan
spesifik tertentu serta antara obyek-obyek, dan dengan
praktek.
3. dimensi matematis, ilmu berdimensi matematis dalam
hal menekankan segi-segi kuantitatif dan proses-proses
kuantifikasi dalam ilmu. Ilmu, dalam hal ini, mencakup
penalaran matematis dan analisis data atas fenomena
alamiah.
4. dimensi politik, bahwa ilmu memiliki dimensi kekuasaan
(power) sebagaimana ditunjukkan oleh Francis Bacon:
knowledge is power. Ilmu, dalam hal ini cenderung
dipahami sebagai kekuatan dalam hal membangun dan
menyelenggarakan pemerintahan atau kekuasaan serta
mempertahankannya.
5. dimensi psikologis; bahwa ilmu bukanlah kumpulan
keajaiban, melainkan suatu sikap terhadap dunia dengan
kreativitas kejiwaan yang penuh daya seni serta
keindahan yang tinggi.
6. dimensi sosiologis, bahwa ilmu, dalam hal ini,
cenderung dipahami sebagai sebuah lembaga sosial
(social institution), mendorong aktivitas sosial (social

47
aktivity), serta membangun jaringan-jaringan yang
menghimpun, menguji, serta menyebarkan pengetahuan,
dan menciptakan sebuah masyarakat ilmuwan.
7. dimensi nilai, bahwa ilmu bukan sekedar untuk
menjejerkan ide-ide atau gagasan-gagasan, tetapi lebih
daripada itu merupakan sebuah nilai (value) pada
dirinya, dan karenanya, ilmu tidak dapat membebaskan
diri dari nilai-nilai yang diembannya sejak awal proses
pembentukan maupun penerapannya.
8. dimensi sejarah, ilmu, dalam hal ini, dipahami sebagai
bagian dari perkembangan sejarah manusia dan
kebudayaan. Ilmu, karenanya, merupakan sebuah
kekuatan sejarah yang sangat besar peranannya bagi
setiap generasi manusia di dalam periodenya masing-
masing. Ilmu sebagai kekuatan sejarah, selalu
membangun eksistensi sosial manusia dalam arahnya
yang selalu baru.
9. dimensi kultur, bahwa ilmu sebagai produk budaya
manusia yang sekaligus ditempatkan menjadi kekuatan
budaya (cultural force) dalam membangun peradaban
manusia dan dunia sebagai pribadi dan dunia yang
berbudaya.
10. Dimensi kemanusiaan; ilmu adalah produk daya cipta,
rasa, dan karsa manusia yang bertautan langsung dengan
nilai rasa (cita rasa) manusia dan kemanusiaan itu
sendiri. Manusia adalah obyek sekaligus subyek bagi
ilmu itu sendiri, dan ilmu selalu berorientasi pada

48
manusia sebagai kausa ontologis (penyebab ada) bagi
ilmu itu sendiri. Manusia lah yang mengembangkan
ilmu, tetapi sekaligus mendapatkan keuntungan (benefit)
dari ilmu itu sendiri.
11. dimensi rekreatif, bahwa ilmu memiliki dimensi
permaianan yang dilombahkan dan dilakukan dengan
kegembiraan. Ilmu, dalam hal ini, dilihat sebagai suatu
permainan yang ditimbulkan oleh keingintahuan untuk
menemukan alam semesta dan dirinya sendiri, serta
memperluas atau memperbesar kesadaran manusia akan
dunia tempat ia hidup dan berkarya.
12. dimensi sistem; ilmu, dalam hal ini, merupakan suatu
kebulatan sistem yang terdiri dari unsur-unsur yang
berada dalam keadaan yang saling berinteraksi. Jadi,
ilmu dipahami sebagai pengetahuan sistematis yang
memiliki ciri sistematis, sistim penjelasan (a system of
explanation), dan terpola atau terstruktur, serta menjadi
suatu sistim keyakinan tentang alam, kaidah-kaidah
alam, kaidah-kaidah pembilangan, serta hubungannya
dengan manusia.
13. dimensi logic, bahwa ilmu konsistensi proposisi-
proposisi ilmu dalam membangun sebuah penalaran
yang sehat dan lurus guna mencapai kesimpulan-
kesimpulan keilmuan yang bersifat valid dan obyektif.
Melalui itu, ilmu, secara formal, dapat diterima sebagai
sebuah ilmu yang resmi, valid, dan obyektif.

49
Pembahasan mengenai dimensi khusus keilmuan di atas,
memperlihatkan bahwa, sesungguhnya masih terdapat lagi
banyak dimensi keilmuan yang lain yang bersifat khas, namun,
semua dimensi tersebut saling terkait secara komplementar
(saling melengkapi) untuk meberikan manfaat atau kegunaan
secara utuh dan sempurna bagi kemajuan ilmu maupun bagi
manusia dan alam kehidupannya. Konsekuensinya, penonjolan
secara sepihak pada salah satu dimensi yang paling disukai saja,
misalnya; dimensi ekonomi ilmu karena membawa keuntungan
langsung, akan sangat mengganggu kemajuan ilmu secara utuh
serta cenderung merapuhkan vitalitas ilmu itu sendiri.
Alasannya, kerena kemajuan pada dimesi ekonomi akan sangat
ditunjang oleh dimensi lain, sementara persoalan-persoalan yang
dimunculkan oleh faktor ekonomi itu sendiri tidak mungkin
hanya dapat dipecahkan secara ekonomi pula.

Bentuk Pernyataan dan Ragam Proposisi Ilmiah (Keilmuan)


1. Deskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah
(pernyataan keilmuan) berupa uraian terpeinci, baik
mengenai bentuk, susunan, peranan, serta halhal
terperinci lainnya dari fenomena atau obyek keilmuan
yang bersangkutan. Bentuk pernyataan deskriptif ini,
biasanya terdapat pada cabang-cabang ilmu khusus yang
bersifat deskriptif, misalnya; ilmu anatomi, biologi,
astronomi, dan sebagainya.
2. Perskripsi, merupakan bentuk pernyataan ilmiah yang
berupa petunjukpetunjuk atau ketentuan-ketentuan

50
mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaliknya
dilakukan dalam hubungan dengan suatu obyek
keilmuan. Bentuk pernyataan perskripsi dimaksud,
banyak dijumpai dalam cabangcabang ilmu sosial.
Misalnya; ilmu-ilmu pendidikan yang memuat
petunjukpetuntuj mengenai cara-cara mengajar yang baik
di dalam kelas. Hal demikian pun dapat dijumpai di
dalam ilmu administrasi negara yang berupaya
memaparkan berbagai azas atau ukuran-ukuran, dan
berbagai peraturan lainnya tentang bagaimana
menjalankan sebuah organisasi pemerintahan yang baik,
membangun menajemen yang efektif, atau prosedur
kerja yang efisien.
3. Eksposisi Pola; merupakan bentuk pernyataan ilmiah
yang memaparkan polapola dalam sekumpulan sifat, ciri,
kecenderungan, atau proses lainnya dari fenomena atau
obyek keilmuan yang ditelaah. Misalnya, dalam
Antropologi, dipaparkan pola-pola kebudayaan berbagai
suku bangsa, atau dalam Sosiologi, diungkapkan pola-
pola perubahan masyarakat dari tahap kehidupan
pedesaan menjadi masyarakat perkotaan.
4. Rekonstruksi historis; merupakan bentuk pernyataan
ilmiah yang berusaha menggambarkan atau
menceriterakan sesuatu hal pada masa lampau dengan
beruasah memberikan penjelasan atau menunjukkan
alasan yang diperlukan bagi pertumbuhan hal dimaksud,
baik secara alamiah maupun secara budaya melalui

51
campur tangan manusia, dengannya orang akan berusaha
memberikan petunjuk-petunjuk atau penyiasatan hidup
ke depan. Bentuk pernyataan ilmiah ini dapat dijumpai
dalam ilmu-ilmu khusus, seperti; Historiografi atau Ilmu
purbakala.
5. Azas ilmiah (azas keilmuan); merupakan ragam
proposisi ilmiah yang mengandung prinsip-prinsip
kebenaran umum berdasarkan fakta-fakta yang telah
diamati. Azas ilmiah, dalam ilmu-ilmu sosial, sering
dipahami sebagai prinsip yang memadai untuk dijadikan
pedoman di dalam melakukan tindakan-tindakan.
Misalnya; azas peredaran planet berdasarkan
pengamatan astronomi, yang menyatakan; makin dekat
sesuatu planet kepada matahari, makin pendek masa
putarannya.
6. Kaidah ilmiah (kaidah keilmuan); merupakan ragam
proposisi yang mengungkapkan keajegan (keteraturan)
atau hubungan tertib yang dapat diperiksa kebenarannya
di antara fenomena-fenomena. Melalui itu, ia
digeneralisasikan sebagai hal yang secara umum berlaku
bagi fenomena yang sejenis. Misalnya; Hukum gaya
berat dari Ishak Newton atau Kaidah Boyle di dalam
ilmu-ilmu kimiah bahwa volume suatu gas berubah
secara terbalik dengan tekanan bila suhu yang sama tetap
dipertahankan. Kaidah, ilmiah, karenanya, seringkali
diartikan sebagai suatu pernyataan prediktif dan
universal.

52
Struktur pengetahuan ilmiah (Ilmu)
Guna membantu Anda melakukan pemetaan pemikiran
secara utuh terhadap hakikat ilmu maka Anda diminta untuk
mempelajari bagan di bawah:
Gambar No 1. Struktur Pengetahuan Ilm

53
BAB 6
AKSIOLOGI: ILMU DAN MORAL, TANGGUNG JAWAB
SOSIAL ILMUAN

Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios
artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Sesuai dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), aksiologi adalah
kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian
tentang nilai-nilai khususnya etika. Suriasumantri (1987:234)
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Sebaliknya Wibisono (dalam
Surajiyo, 2009), mengatakan bahwa aksiologi adalah nilai-nilai
sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar
normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Namun, Encyclopedia of Philosophy (dalam Amsal:164)
dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation,
yaitu sebagai berikut. Nilai digunakan sebagai kata benda
abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik,
menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas
mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,
kebenaran dan kesucian.
 Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita
berkata sebuah nilaiatau nilai-nilai. Ia sering dipakai
untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti
nilainya atau nilai dia.

54
 Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi
menilai, memberi nilaiatau dinilai.
Berdasarkan definisi aksiologi itu, terlihat dengan jelas
bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang
dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah
etika dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang
bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam kehidupan, yang
menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik atau pun fisik material. (Koento, 2003:13). Oleh sebab
itu, aksiologi adalah teori tentang nilai serta bagian dari filsafat
yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad),
benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and and).

Pengertian Ilmu dan Moral, serta Kaitannya


Kata ilmu dalam bahasa Arab “ilm” yang berarti
memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan
penyerapan katanya, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami
suatu pengetahuan (id.wikipedia.org). Istilah ilmu pengetahuan
diambil dari kata bahasa Inggris science, yang berasal dari
bahasa Latin scientia dari bentuk kata kerja scire yang berarti
mempelajari dan mengetahui. The Liang Gie (1987)
memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk

55
memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai
dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan
sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin
dimengerti oleh manusia (Ihsan Fuad, 2010:108
Ilmu sesuai dalam Kamus BesarBahasa Indonesia
(KBBI) adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun
secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan
untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan) itu.
Menurut Endrotomo (2004) ilmu adalah suatu aktivitas tertentu
yang menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan
pengetahuan tertentu. Sebaliknya, Suriasumantri (2007)
mengatakan ilmu sebagai sesuatu yang paling penting bagi
manusia, karena dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan
manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan juga lebih mudah.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berhutang kepada ilmu. Dengan kata lain, ilmu
merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai
tujuan hidupnya.
Selanjutnya, moral berasal dari kata Latin mos jamaknya
mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama
artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit perbedaan.
Moral dan atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai. Sebaliknya etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai
yang ada (Surajiyo, 2009:147). Kata moral dalam bahasa
Yunani sama dengan ethos yang melahirkan etika. Sebagai
cabang filsafat, etika sangat menekankan pendekatan yang kritis
dalam melihat nilai (takaran, harga, angka kepandaian,

56
kadar/mutu, sifat-sifat yang penting atau berguna dan moral
tersebut serta permasalahan yang timbul dalam kaitan dengan
nilai dan moral itu (Ihsan Fuad, 2010:271).
Pengertian moral sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), yaitu ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak, budi pekerti;
susila. Prawironegoro Darsono (2010:247) mengatakan moral
adalah sistem nilai (sesuatu yang dijunjung tinggi) yang berupa
ajaran (agama) dan paham (ideologi)sebagai pedoman untuk
bersikap dan bertindak baik yang diwariskan dari generasi ke
generasi berikutnya. Tujuanmoral adalah mengarahkan sikap
dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran
dan paham yang dianutnya. Manfaat moral adalah menjadi
pedoman untuk bersikap dan bertindak atau berperilaku dalam
interaksi sosial yang dinilai baik atau buruk. Tanpa memiliki
moral, seseorang akan bertindak menyimpang dari norma dan
nilai sosial dimana mereka hidup dan mencari penghidupan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan
bahwa moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan
perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk.
Ilmu dan moral itu saling mendukung, ibarat kata Albert
Einstein (1879- 1917), bahwa ilmu tanpa bimbingan moral
(agama) adalah buta, sebaliknya agama tanpa ilmu adalah
lumpuh. Menurut Suriasumantri (2007): “… ilmu sudah terkait
dengan masalah moral namun dalam perpektif yang berbeda”.
Ilmu tidak hanya menjadikan berkah dan penyelamat bagi
manusia, tetapi bisa juga menjadi bencana bagi manusia.

57
Misalnya pembuatan bom yang pada awalnya memudahkan
untuk kerja manusia, namun kemudian digunakan untuk hal
yang bersifat negative yang menimbulkan malapetaka bagi umat
manusia itu sendiri, seperti bom yang terjadi di Bali
(Endrotomo, 2004). Oleh sebab itu, ilmu harus diletakkan secara
proporsional dan memihak kepada nilai-nilai kebaikan dan
kemanusiaan. Jika ilmu tidak berpihak kepada nilai-nilai
kebaikan, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka.
Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi
yang kemudian akan diterapkan pada masyarakat. Teknologi
dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah praktis baik yang berupa
perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).
Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk
tujuan pengertian dan pemahaman, namun lebih jauh lagi
memanipulasi factor-faktor yang terkait dalam gejala tersebut
untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Disinilah masalah moral muncul kembali namun dalam
kaitannya dengan factor lain. Kalau dalam tahap kotemplasi
masalah moral berkaitan dengan metafisiska maka dalam tahap
manipulasi ini maslalah moral berkaitan dengan cara
penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau secara Filsafati dalam
tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari
segi aksiologi keilmuwan.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang sangat kuat.
Seperti yang telah diutarakan diatas bahwa ilmu bisa menjadi
malapetaka kemanusiaan jika seseorang memanfaatkannya tidak

58
bermoral atau paling tidak mengindahkan nilainilai moral yang
ada. Tetapi, sebaliknya ilmu akan menjadi rahmat bagi
kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat
serta mengindahkan aspek moral. Dengan demikian kekuasaan
ilmu ini mengharuskan seorangilmuwan memiliki landasan
moral yang kuat. Tanpa landasan dan pemahaman terhadap
nilai-nilai moral, seorang ilmuwan bisa menjadi “monster” yang
setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusian
bisa setiap saat terjadi. Kejahatan yang dilakukan oleh orang
yang berilmu itu jauh lebih jahat dan membahayakan
dibandingkan dengan kejahatan orang yang tidak berilmu.
Perkembangan ilmu, sejak pertumbuhannya diawali dan
dikaitkan dengan sebuah kebutuhan kondisi realitas saat itu.
Pada saat terjadi peperangan atau ada keinginan manusia untuk
memerangi orang lain, maka ilmu berkembang, sehingga
penemuan ilmu bukan saja ditujukan untuk menguasai alam
melainkan untuk tujuan perang, memerangi semua manusia dan
untuk menguasai mereka. Di pihak lain, perkembangan dan
kemajuan ilmu sering melupakan kedudukan atau faktor
manusia. Penemuan ilmu semestinya untuk kepentingan
manusia, jadi ilmu yang menyesuaikan dengan kedudukan
manusia, namun keadaan justru sebaliknya yaitu manusialah
yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan ilmu (Jujun S.
Suriasumantri dalam Ihsan Fuad, 2010:273).
Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhan
dimensi etis sebagai pertimbangan dan mempunyai pengaruh
terhadap proses perkembangan lebih lanjut ilmu dan teknologi.

59
Tanggungjawab etis adalah sesuatu yang menyangkut kegiatan
keilmuan maupun pengunaan ilmu, yang berarti dalam
pengembangannya harus memperhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bersifat universal,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan kepentingan
generasi mendatang.
Tanggungjawab ilmu menyangkut hal-hal yang akan dan
telah diakibatkan ilmu dimasa lalu, sekarang maupun masa
mendatang, berdasarkan keputusan bebas manusia dfalam
kegiatannya. Penemuan baru dalam ilmu terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan nilai-nilai hidup baik alam maupun
manusia. Hal ini tentu menuntut tanggungjawab untuk selalu
menjaga agar yang diwujudkan dalam perubahan tersebut akan
merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan ilmu itu
sendiri maupun perkembangan eksistensi manusia secara utuh.
Tanggungjawab moral tidak hanya menyangkut upaya
penerapan ilmu secara tepat dalam kehidupan manusia,
melainkan harus menyadari apa yang seharusnya dilakukan atau
tidak dilakukan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat
manusia, baik dalam hubungannya secara pribadi, dalam
hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai makhluk yang
bertanggung jawab terhadap khaliknya.
Perkembangan ilmu akan mempengaruhi nilai-nilai
kehidupan manusia tergantung dari manusianya sendiri, Karena
ilmu dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia.
Kemajuan di bidang ilmu memerlukan kedewasaanmanusia
dalam arti yang sesungguhnya, karena tugas terpenting ilmu

60
adalah menyediakan bantuan agar manusia dapat bersungguh-
sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya.

Tanggungjawab Sosial Ilmuwan


Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang
dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh lapisan
masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun
komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial.
Kreativitas individu yang didukung oleh sistem komunikasi
sosial yang bersifat terbuka menjadi proses pengembangan ilmu
yang berjalan secara efektif. Seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial, bukan saja karena dia adalah warga
masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di
masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup
bermasyarakat. Fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri Jujun S,
2000:237).
Ilmu akan menghasilkan teknologi yang akan diterapkan
pada masyarakat. Teknologi dalam penerapannya dapat menjadi
berkah dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi
bencana bagi manusia. Disinilah pemanfaatan pengetahuan dan
teknologi diperhatikan sebaik-baiknya. Ilmuwan tidak berhenti
pada penelahan dan keilmuan secara individual namun ikut

61
bertanggung jawab agar produk keilmuwan sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat (Suriasumantri,2007).
Ilmu sebagai karya tertinggi mnusia (ilmuwan) adalah
sesuatu yang terus dan akan mengikuti pola dan model si
pemilikrnya (ilmuwan), ilmu bisa saja menjadi momok yang
menakutkan bila disalah gunakan. Di sinilah keharusan bagi
ilmuwan untuk mampu menilai mana yang baik dan mana yang
buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan
mempunyai landasan yang kuat. Tanpa ini seorang ilmuwan
akan merupakan seorang hantu atau serigala yang menakutkan
bagi manusia lainnya. Seperti yang terjadi di Irak, Bali,
Afganistan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, ilmuwan
memiliki tanggung jawab besar, bukan saja karena ia adalah
warga masyarakat, tetapi karena ia juga memiliki fungsi tertentu
dalam suatu masyarakat. Fungsinya sebagai ilmuwan, tidak
hanya sebatas penelitian bidang keilmuan, tetapi bertanggung
jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan oleh
masyarakat, bertanggung jawab dalam mengawal hasil
penelitiannya supaya tidak disalah gunakan.
Etika keilmuan merupakan etika normative yang
merumuskan prinsip-prrinsip etis yang dapat dipertanggung
jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ikmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang
ilmuwan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang
baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam perilaku
keilmuannya, sehinggah dapat menjadi ilmuwan yang
mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normative

62
menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian
terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerejakan
dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang
bertentantangan dengan yang seharusnya terjadi.
Etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen”
kaidah moral, yaitu hati nurani,kebebasan dan tanggungjawab,
nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Maka,
bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya
akan menjadin penentu,apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang
baik atau belum. Dengan demikian, penerapan ilmu pengetahuan
yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan
sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusian,
nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebaginya.
Ini artinya, bahwa ilmu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu
sudah berada di tengahtengah masyarakat luas dan masyarakat
akan mengujinya.
Proses ilmu pengetahuan menjadi teknologi yang
dimanfaatkan oleh masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan.
Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-
kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuwan serta masalah bebas
nilai. Fungsi ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan
keilmuwan secara individual namun juga ikut bertanggung
jawab agar produk keilmuwannya sampai dan dapat
dimanfaatkan masyarakat. Ilmuwan mempunyai kewajiban
sosial untuk menyampaikan kepada masyarakat dalam bahasa

63
yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang ilmuwan
adalah memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik
dan buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat
dimungkinkan. Maka, ilmu secara moral harus ditujukan untuk
kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah
hakikat kemanusian (Suriasumantri,2007).
Kemampuan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang
ilmuwan harus dapat mempengaruhi opini masyarakat terhadap
masalah-masalah yang seyogyanya mereka sadari. Dalam hal
ini, berbeda dengan menghadapi masyarakat, ilmuwan yang
elitis dan esoteric, dia harus berbicara dengan bahasa yang dapat
dicerna oleh orang awam. Ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas
kepribadiannya. Seorang ilmuwan padahakikatnya adalah
manusia yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang
ilmuwan tidak menolak atau menerima sesuatu secara begitu
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang
ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang-orang awam.
Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan
cermat inilah yang menyebabkan dia mempunyai tanggung
jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat sekiranya
ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang
membikin mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa
yang harus dibayar untuk kekeliruan itu.
Di bidang etika tanggungjawab sosial seseorang
ilmuwan bukan lagi memberi informasi namun memberi contoh.
Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif,

64
terbuka, menerima kritikan, menerima pendapat orang lain,
kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani
mengakui kesalahan. Semua sifat ini berserta sifat-sifat lainnya,
merupakan implikasi etis dari dari berbagai proses penemuan
ilmiah. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil
penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan
metodologis yang tepat. Seorang ilmuwan secara moral tidak
akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya
dipergunakan untuk menindas bangsa lainnya meskipun yang
mempergunakan adalah bangsanya sendiri. Sejarah telah
mencatat para ilmuwan bangkit dan juga bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka
melanggar asas-asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang
dapat dipakai untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya
dapat pula disalagunakan. Untuk itulah tanggung jawab
ilmuwan haruslah “dipupuk” dan berada pada tempat yang tepat,
tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral. Maka,
pendidikan moral sebagai unsur yang terlupakan oleh para
ilmuwan. Karena IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi)
tanpa iman dan taqwa (IMTAQ) atau agama akan
menghancurkan manusia, sedangkan berbekal IMTAQ saja kita
akan tertinggal jauh dari masyarakat modern. Contoh: Dalam
tanggungjawab sosialnya para ilmuwan seperti Andre Sakharove
dari Rusia elah melaksanakan tugas sosialnya dengan
menyarankan kepada pemerintahnya dalam proyek nuklir dan
proyekproyek lainnya yang membahayakan umat manusia.

65
Walaupun pada akhirnya dia harus mendekam dalam penjara
dengan kerja paksa (Suseno,1989). Namun, demi rakyat semua
ia relakan.
Berkaitan dengan pertanyaan di atas, kaitan ilmu dengan
moral, nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan
tanggungjawab sosial ilmuan telah menempatkan aksiologi ilmu
pada posisi yang sangat penting karena aksiologi salah satu
aspek pembahasan mendasar dalam integrasi keilmuan adalah
aksiologi yang sebelumnya telah dibahas.

66
BAB 7
TANGGUNG JAWAB KEILMUAN

Arti Tanggung Jawab keilmuan


Aholiab Watloly (2001: 207-221) telah meletakkan
berbagai prinsip dasar dalam hal memahami tanggung jawab
pengetahuan dan keilmuan. Istilah tanggung jawab, secara
etimologis menunjuk pada dua sikap dasar ilmu dan ilmuwan,
yaitu; tanggung dan jawab. Ilmu dan ilmuan, termasuk lembaga
keilmuan, dalam hal ini, wajib menanggung dan wajib
menjawab setiap hal yang diakibatkan oleh ilmu itu sendiri
maupun permasalahan-permasalahan yang tidak disebabkan
olehnya. Ilmu, ilmuwan, dan lembaga keilmuan bukan hanya
berdiri di depan tugas keilmuannya untuk mendorong kemajuan
ilmu, dalam percaturan keilmuan secara luas, tetapi juga harus
berdiri di belakang setiap akibat apa pun yang dibuat oleh ilmu,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu dalam
ilmuwan, termasuk lembaga keilmuan, tidak dapat mencuci
tangan dan melarikan diri dari tanggung jawab keilmuannya.
Tanggung jawab mengandung makna penyebab
(kausalitas), dalam arti "bertanggung jawab atas". Tanggung
jawab dalam arti demikian berarti; apa yang harus ditanggung.
Subyek yang menyebabkan dapat diminta pertanggung
jawabannya, meskipun permasalahan - permasalahan tersebut
tidak disebabkan oleh ilmu atau ilmuwan itu sendiri. Aspek
tanggung jawab sebagai sekap dasar keilmuan, dengan ini, telah
menjadi satu dalam kehidupan keilmuan itu sendiri dan sulit

67
dipisahkan. Tanggung jawab keilmuan, tidak dapat dilepas
pisahkan dari perkembangan pengetahuan maupun keilmuan
dari abad ke abad.
Berbicara mengenai tanggung jawab keilmuan, adalah
sesuatu hal yang secara tidak langsung mengenai tanggung
jawab manusia, dalam hal ini, ilmuwan yang; mencari,
mempraktikkan, dan menerapkan, atau menggunakan ilmu atau
pengetahuan tersebut dalam kehidupan. Maksudnya, ilmu
sebagai bagian dari kebijaksanaan manusia dengan segala usaha
sadar yang dilakukan untuk memanusiakan diri dan
lingkungannya, tidak dapat dipisahkan dari aspek tanggung
jawab dimaksud. Ilmu dan ilmuwan, sebagai seorang anak
manusia, karenanya, wajib menanggung setiap akibat apa pun
yang disebabkan oleh ilmu itu sendiri, baik dari sisi teoretisnya
maupun sisi praktiknya. Ilmu dan ilmuwan juga wajib menjawab
dalam arti merespons dan memecahkan setiap masalah yang
diakibatkan oleh ilmu maupun yang tidak disebabkan oleh ilmu
itu sendiri. Tanggung jawab keilmuan, dalam ini, bukan
merupakan beban atau kuk, tetapi merupakan ciri martabat
keilmuan dan ilmuwan itu sendiri. Konsekuensinya, semakin
tinggi ilmu maka semakin tinggi dan besar tanggung jawab yang
diemban oleh ilmu, ilmuwan dan lembaga keilmuan itu sendiri.
Kadang-kadang, tanggung jawab keilmuan tidak
disebabkan oleh ilmu itu sendiri, misalnya; dalam hal
menyelesaikan setiap persoalan kemanusiaan, seperti; bencana
alam, keadaan alam yang kritis, konflik sosial, dan sebagainya.
Tanggung jawab keilmuan bukan saja dalam arti yang normatif,

68
misalnya berkaitan dengan aspek moral yang bersifat legalistik
saja, tetapi mencakup aspek yang lebih luas. Misalnya, tanggung
jawab keilmuan dalam menyelasaikan berbagai bentuk akibat
perubahan sosial yang berdampak terhadap tatanan moral
masyarakat. Jadi, tanggungjawab keilmuan juga memilki arti,
mendudukkan manusia pada kedudukan martabat dirinya,
sehingga di satu sisi tidak diperalat oleh ilmu dan ilmuwan demi
mencapai prestise dan supremasi ilmu, atau di sisi lain, tidak
tergilas oleh kebodohan dan kemelaratan hidup karena lingkaran
setan ketidaktahuan yang melilit dirinya.
Di sisi lain, tanggung jawab keilmuan mesti di dasarkan
pada keputusan bebas manusia, sehingga melalui tanggung
jawan keilmuan maka ilmu, ilmuwan, manusia serta masyarakat
dibebaskan atau dijernihkan dari berbagai pengaruh emosional,
sikap curiga, dendam, buruk sangka, dan berbagai sikap
irasional. Konsekuensinya, tanggung jawab keilmuan harus
terus mengalir dari dalam lautan luas tindakan manusia
(ilmuwan) yang bertanggung jawab.
Tanggung jawab keilmuan menyangkut, baik masa lalu,
masa kini, maupun masa depan. Alasannya, karena penanganan
ilmu atas realitas selalu cenderung berat sebelah. Kenyataan
tersebut telah banyak berpengaruh terhadap gangguan
keseimbangan kosmos (alam) seperti; pembasmian kimiawi dari
hama tanaman, sistem pengairan, keseimbangan jumlah
penduduk, dan sebaginya. Juga, hal itu menyangkut gangguan
terhadap tatanan sosial dan keseimbangan sosial. Artinya, ilmu
lah yang telah mengemukakan bahwa tatanan alam dan

69
masyarakat harus diubah dan dikembangkan maka ilmu pula lah
yang bertanggung jawab menjaganya agar dapat diubah dan
dikembangkan dalam sebuah tatanan yang baik, demi
konseistensi kehidupan, regulasi historis, dan keberlanjutan
ekologis.
Tanggung jawab keilmuan mana didasarkan pada
kesadaran bahwa ilmu selalu merupakan sesuatu yang sifatnya
masih belum rampung. Artinya, upaya keilmuan tidak dapat
meniadakan tanggung jawabnya yang lama, tetapi selalu
menampilkannya dalam kesegaran tanggung jawab yang selalu
baru. Jadi, ilmuan harus terbuka pada tanggung jawabnya yang
baru walaupun hal itu tidak pernah dialami oleh pendahulunya.

Sifat Keterbatasan Tanggung jawab Keilmuan


Salah satu ciri pokok dari tanggung jawab keilmuan itu
adalah sifat keterbatasan. Tanggung jawab keilmuan memiliki
sifat keterbatasan, dalam arti bahwa, tanggung jawab itu sendiri
tidak diasalkan atau diadakan sendiri oleh ilmu dan ilmuwan
sebagai manusia, tetapi merupakan pemberian kodrat.
Sebagaimana manusia tidak dapat menciptakan dirinya sendiri,
tetapi menerimanya sebagai pemberian kodrat maka demikian
pula halnya ia tidak dapat menciptakan tanggung jawab.
Manusia hanya menerima dirinya dan tanggung jawabnya, serta
menjalaninya sebagai sebuah panggilan kodrati dan tunduk
padanya.
Konsekuensinya, ilmuwan sebagai manusia tidak
bertanggung jawab atas tanggung jawab keilmuannya, sebab

70
manusia tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas
kenyataan mengapa ia bertanggung jawab, sebab hal itu
merupakan tugas yang diterima dan dijalani atas dasar
pemberian kodratnya. Manusia tidak bertanggung jawab pada
tanggung jawab, tetapi ia menerima tanggung jawab itu
sebagaimana adanya, dan menjalaninya dengan segala
keterbatasannnya. Ilmuwan sebagai manusia, menjalani
tanggung jawab keilmuannya dengan segala keterbatasannya,
baik secara natural, kodrati, maupun dari keterbatasan
keilmuannya sendiri. Pandangan tersebut hendak menegaskan,
betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan memiliki suatu
"kepekaan besar" untuk membaca dan menjalankan tanggung
jawab keilmuannya itu secara baik, dan tidak boleh memandang
dirinya serba bisa, serba oke, dan serba benar.

Bentuk-bentuk Tanggung jawab Keilmuan


1. Tanggung jawab sosial
Ilmu bukan saja bersifat sosial, tetapi membutuhkan
tanggungjawab sosial, karena melalui suasana sosial itu ilmu
dapat bertumbuh subur secara efektif dan bertambah luas. Aneka
kasus sosial dalam masyarakat membutuhkan penanganan dan
penyelesaian secara keilmuan. Ilmuwan dengan kemampuan
pengetahuannya yang cukup, dapat memberi argumentasi, kajian
kritis, dan membangun opini masyarakat mengenai
permasalahan kehidupan yang dihadapi. Misalnya,
penganggulangan kemiskinan, penyakit, atau masalah nilai-nilai
sosial dalam pembangunan sehingga masyarakat tidak tercabut

71
dari akar kehidupan sosialnya yang khas. Ilmu dan ilmuan
bertanggung jawab dalam hal memberikan prediksi atau ramalan
serta peringatan dinih mengenai permasalahan yang akan
dihadapi masyarakat, baik yang nyata (manifest) maupun
tersembunyi (laten) atau yang bersifat gejala. Misalnya, dalam
melakukan resolusi konflik dan membangun manajemen
perdamaian guna mewujudkan ciri masyarakat yang mampu
mencegah dan mengatasi konflik serta membangun sistem
kedamian yang langgeng guna mmemperlancar pembangunan
dalam mewujudkan masysrakat yang berkesejahteraan.
Ilmuwan, dengan latar belakang pengetahuannya yang
cukup, harus bertanggung jawab untuk menyampaikan ilmu atau
pengetahuannya secara proporsional kepada masyarakat dalam
bahasa yang dapat mereka terima. Tanggung jawab sosial
keilmuan tersebut adalah penting, baik dalam rangka
mengusahakan kebenaran ilmu maupun baik dari segi untung -
rugi, baik-buruk, dan lain sebagainya. Dengannya, dapat
dimungkinkan penyelesaian yang obyektif terhadap setiap
permasalahan sosial yang terjadi. Ilmu dan ilmuwan memiliki
tanggung jawab sosial, bukan sekedar karena ilmuan adalah
anggota masyarakat dan terlibat langsung dalam kepentingan
sosial kemasyarakatan, tetapi ilmu secara hakiki memiliki fungsi
tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Ilmu,
meskipun merupakan hasil kekiatan individual, namun
dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat.
2. Tanggung jawab keteladanan.

72
Ilmu dan ilmuwan bukan saja mengandaikan kebenaran
keilmuan sebatas sebuah jalan pemikiran dengan pesona logika
dan ketajaman analisisnya, namun juga bertanggung jawab
menunjukkan atau mempraktikkan kebenaran keilmuannya di
dalam kehidupan sosialnya yang luas dan mendalam. Ilmu
bukan hanya menyajikan sebuah kebenaran informasi, namun
memberikan keteladanan hidup yang ditunjukkan oleh
ilmuwannya. Ilmuwan harus berdiri di depan kebenaran-
kebenaran keilmuannya selaku proto tipe kebenaran yang
sesungguhnya, juga berada di belakang kebvenaran-kebenaran
keilmuannya untuk menunjukkan tanggung jawabnya atas
segala akibat sosial maupun ekologis yang disebabkan oleh ilmu
itu sendiri. Menghadapi situasi kemasyarakatan kita di mana
terdapat kecenderungan untuk memanipulasi dan menghambat
kebenaran nilai sehingga banyak mengakibatkan adanya
kegoncangan nilai maka ilmuan harus tampil ke depan untuk
memberi argumentasi, kajian kritis, serta membangun opini
yang obyektif dan proporsional terhadap setiap permasalahan
sosial yang terjadi. Pengetahuan yang dimilikinya, merupakan
kekuatan yang akan membuat ilmuwan menjadi berani (bahkan
berani tampil sebagai martir seperti Socrates) dalam membela
nilai-nilai kebenaran yang dijamin dan diyakini dalam ilmu.
Kelebihan ilmuwan adalah bahwa ia dapat berpikir
secara cermat dan teratur sehingga dengan kemampuan inilia, ia
sekaligus memiliki tanggung jawab untuk memperbaiki dan
meluruskan pikiran masyarakat yang sesat dan keliru menganai
permasalahan yang dihadapi. Dengannya, masyarakat tidak

73
terjebak dalam lingkaran setan kepicikan yang membenarkan
aneka prasangka, sesat pikir, atau keliru pikir yang cenderung
menumbuhkan atau melanggengkan sikap saling curiga dan
dendam. Melalui itu, masyarakat dapat dicerdaskan sehingga
mampu menangkal setiap upaya provokasi yang memperalat dan
memperbudak kekuarangan atau ketidaktahuannya demi
keuntungan-keuntungan yang bias.
3. Sikap tanpa pamrih.
Sikap tanpa pamrih, berhubungan dengan kepentingan hati
nurani manusia dalam tugas keilmuan. Maksudnya, sikap ranpa
pamrih menunjuk pada keteguhan bathin atau hati, yang tanpa
tegoda dengan imbalan apa pun, untuk memperjuangkan
kebenaran keilmuan, baik dalam rangka kepentingan teori
maupun praktis. Intinya, ilmuan harus terbuka pada himbawan
dan seruan hati (bathin) untuk terus mengritik dan membenahi
diri dalam rangka mengatasi berbagai kekurangan serta
penyimpangan dalam kegiatan keilmuan. Salah satu aspek di
mana hal itu pasti adalah sifat kritik diri dan menahan diri.
Sikap tanpa pamrih, pertama-tama berhubungan dengan
upaya membimbing diri agar tidak tergesah-gesah dan ceroboh
dalam memutuskan kebenaran atau kepastian keilmu. Tuntutan
sikap tanpa pamrih, meskipun kedengarannya agak bertentangan
dengan tuntutan praktis dalam rangka penerapan keilmuan bagi
kepentingan kesejahtreraan manusia, namun secara prinsipial
tetap penting dalam rangka tanggung jawab moral dan sosial
keilmuan. Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan juga penting
dalam rangka menjernihkan masalah-masalah di sekitar

74
pandangan hidup manusia. Artinya, bentuk tanggung jawab
keilmuan dalam hal sikap tanpa pamrih tidak hanya
berhubungan dengan kepentingan ideologis keilmuan, tetapi
juga tanggung jawab paktis, agar terhindar dari kesalahan dan
penyalahgunaan.
Sikap tanpa pamring dalam keilmuan dibutuhkan
dibutuhkan sebagai jaminan agar penggunaan ilmu, sedapat
mungkin, menguntungkan kehidupan manusia secara memadai,
dan tidak sekedar untuk mencapai target tertentu yang
menyimpan dari kepentingan mmanusia secara utuh. Keadaan
makin sulit, bila kelompok-kelompok terntu memanfaatkan ilmu
untuk menjaga dan memelihara kepentingannya, sehingga
mengabaikan nilai kebenaran keilmuan demi kemanusiaan dan
kemasyarakatan.
Sikap tanpa pamrih membuat kebenaran ilmu tidak netral
karena kebenaran dan pengabdian ilmu selalu diwarnai oleh
adanya intensitas tujuan dan corak etis tertentu yang
mengafirmasikan atau menguatkan seruan kepentingan
kemanusiaan dalam ilmu. Corak etis kegiatan keilmuan sekali-
kali tidak terbatas pada penerapan-penerapan konkret (praktis)-
nya, karena ia harus menjangkau hal-hal yang lebih luas untuk
menemukan sikap etis yang tepat. Melalui sikap demikian,
kedudukan manusia dalam pengembangan ilmu atau keilmuan
tetap tidak berubah, walaupun kemanusiaan itu sendiri
mengalami pergeseran-pergeseran yang sifatnya dinamis dalam
tanggung jawab keilmuan itu sendiri.

75
Sikap tanpa pamrih dalam keilmuan penting pula dalam
rangka mengatasi ketidakdewasaan manusia. Sikap dapat
memungkinkan manusia mengenal keterbatasannya, makin
belajar mengenal dan semakin baik menguasai dirinya sendiri
(pikirannya, emosinya, keinginannya, dan sebagainya) dan juga
realitasnya. Sikap tanpa pamrih, di satu sisi menginsyafkan
manusia untuk selalu meletakkan pandangan kritisnya terhadap
perkembangan ilmu dan keilmuan. Di sisi lain, sikap tanpa
pamrih juga menginsyafkan manusia tentang betapa kurang
dewasanya manusia dan betapa banyak kemungkinan lagi untuk
menjadi lebih dewasa.
4. Tanggung jawab profesional.
Tugas keilmuan menghimbau pada sebuah tanggung jawab
professional yang memadai. Tanggungjawab profesional
keilmuan mengandaikan bahwa seorang ilmuwan harus menjadi
ahli dan terampil dalam bidangnya, jadi bukan sekedar hobi.
Tanggung jawab professional keilmuan mengacu pada bidang
keilmuan yang digeluti sebagai panggilan tugas pokok atau
profesi keilmuannya. Tanggung jawab professional menunjuk
pula pada penghasilan atau upah yang diperoleh berdasarkan
tingkat kepakaran (pengetahaun dan ketrampilan) yang dimiliki
dalam bidang keilmuannya. Profesional merupakan kata atau
istilah yang umumnya diliputi sebuah citra diri yang berbauh
sukses,penuh percaya diri, berkompeten, bekerja keras, efisien,
dan produktif. Tanggung jawab profesional keilmuan menunjuk
pada gambaran diri seseorang berdisiplin, kerasan, dan sibuk
dalam pekerjaan keilmuannya. Disiplin dan kerasan meruapak

76
sebuah paham yang membedakan secara radikal seorang
ilmuwan sejati dengan orang yang suka malas, santai, dan
seenaknya dalam sebuah tugas keilmuan.
Tanggung jawab professional keilmuan menunjuk pula
pada sikap keilmuan yang "tanpa pamrih" serta bersikap tenang,
tekun, dan mantap, dapat menguasai situasi, serta berkepala
dingin dalam memperjuangkan dan mempertahankan kebenaran
ilmunya terhadap berbagai gugatan atau sanggahan.
Profesionalisme dalam keilmuan mensugestikan pula bahwa
seorang ilmuan adalah sosok yang bersifat pragmatis dan tidak
membiarkan profesinnya untuk dipengaruhi oleh pandangan -
pandangan yang sempit dan sesat. Profesionalisme dalam
keilmuan mengandaikan pula sikap keilmuan yang tidak
terpengaruh oleh hubungan-hubungan primordialistik, ideologi
atau oleh masalah keluarga dan pribadi. Prifesionalisme kilmuan
mengandaikan pula sebuah hasil keilmuan yang berlaku secara
universal, artinya dapat diterima secara luas dan umum.
Profesionalisme dalam keilmuan bukan sekedar
ketrampilan yang dapat dipelajari secara terpisah dari
kepribadian sang ilmuwab. Bahkan, profesionalisme dalam
keilmuan meliputi seluruh struktur kepribadian sang ilmuwan.
Tentu saja diperlukan keahlian (spesialisasi) dalam
mengembangkan profesionalisme keilmuan. Meskipun keahlian
dapat dipelajari dan dilatih, tetapi seorang belum tentu disebuah
professional dalam keilmuannya. Artinya, profesionalisme
keilmuan menunjuk pada kualitas pengetahuan dan kualitas
kerja sebagai ilmuwan.

77
Etika Keilmuan
Arti etika keilmuan. Istilah etikan dari bahasa Yunani
etos yang berati baik, berbudaya, atau beradat. Jadi etika
keilmuan mengandaikan adanya tatanan nilai-nilai kebaikan
(etis) dalam keilmuan, baik dalam mengusahakan ilmu maupun
dalam menerapkan ilmu bagi kepentingan manusia. Ilmuan dan
keilmuan, karenanya, perlu didasarkan pada sebuah sikap
kesadaran etis yang kuat. Kesadaran etis dalam keilmuan
berlangsung , baik muali dari tahap uapaya pencaharian dan
penentuan kebenaran maupun sampai pada tahap penerapan
hasilnya dalam bentuk pembangunan. Ciri etis yang mendasari
proses tersebut merupakan sebuah kategori moral keilmuan yang
melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Sikap etis yang demikian
bukan saja merupakan sebuah jalan pemikiran bagi sang
ilmuwan, tetapi justru lebih merupakan totalitas jalan hidupnya,
dalam sebuah tanggung jawab keilmuan yang utuh. Etika
keilmuan dan moral keilmuan, meskipun berbeda, karena etika
keilmuan mendasari diri pada sikap kritis da;am melakukan
keputusan secara bebas sementara moral keilmuan mendasari
diri pada perintah moral atau kewajiban-kewajiban yang patut
diikuti, namun keduanya memiliki kesamaan dalam hal
kemutlakan sikap keilmuan yang tegas terhadap kebenaran.
Etika keilmuan merupakan sesuatu dorongan kejiwaan
yang nyata-nyata mempengaruhi dan menentukan bagaimana
ilmuwan mendekati dan melakukan kegiatan keilmuannya
(memproses kebenaran dan menerapkan kebenaran keilmuan)
secara kritis dan bertanggung jawab. Etika keilmuan, dalam hal

78
ini, sangat berhubungan dengan semangat dan sikap bathin
(kehendak bathin) para ilmuwan yang bersifat tetap dalam
dirinya untuk bersikap; adil, benar, jujur, bertanggung jawab,
setia, dan tahan uji dalam mengembangkan ilmu, baik untuk
kepentingan keilmuan secara luas maupun untuk penerapannya
dalam membangun kehidupan. Jadi, etika keilmuan
mengandaikan adanya kehendak bathin yang kuat sebagai
sebuah tuntutan moral yang harus direalisasikan dalam rangka
tugas keilmuan.
Etika keilmuan, sebagai aspek mendasar dalam rangka
keilmuan, menjaungkau hal yang lebih jauh dan mendorong
untuk menyelami semakin dalam kemungkinan-kemungkinan
terakhir mengenai hakikat manusia sebagai subyek maupun
obyek dalam keilmuan. Bahkan, etika keilmuan seakan
menimbulkan semacam kesulitan, di mana perkembangan
keilmuan dikurung dalam semacam lingkaran setan. Kondisi
tersebut, muncul ketikan ditanyakan mengenai hal keraha mana
ilmu harus diterapkan? Mana penerapa keilmuan yang baik dan
mana penerapan yang kurang baik? Jelas bahwa kriteria etis
yang digunakan untuk itu adalah apakan penerapan tersebut
dapat memajukan kesejahteraan hidup manusia atau sebaliknya
membawa ancaman terhadap konsistensi hidup generasi
manusia dan ekologisnya?
Artinya, seorang ilmuwan, secara moral tidak akan
membiarkan kebenaran ilmunya atau hasil penelitiannya untuk
membunuh dan menindas sesama manusia dan merusak alam
lingkungannya. Kengerian hidup zaman ini yang kian

79
mencemaskan dengan mencuatnya berbagai kegoncangan
kosmik, terkikisnya lapisan hoson yang memacu meluasnya
panas bumi yang kian mencemaskan, juga kecemasan adanya
perang kimia, dan senjata pembasmi masal, kejahatan biokimia,
dan berbagai kenyataan lainnya yang terus menghadirnya aneka
kecemasan mekar dalam kehidupan, menunjukkan betapa dunia
keilmuan masih terus menghadapi dirinya sebagai masalah. Ilmu
atau keilmuan, bagaikan pisau bermata dua, di satu sisi
menyenangkan tetapi di sisi lain mencemaskan. Kenyataan
tersebut menegaskan pentingnya etika keilmuan dalam
menyiasati perkembangan keilmuan itu sendiri. Dengannya,
ilmu atau keilmuan tetap dikembangkan pada jalurnya yang
sebenarnya. Melalui etika keilmuan, ilmu terus dikembangkan
sebagai prestasi keluhuran manusia yang mampu
menyejahterakan manusia serta membuat manusia menjadi actor
bagi kehidupan, tapi di sisi lain, melalui etika keilmuan manusia
(ilmuwan) terus dinasihati dan digembalakan agar tidak
menyelewengkan keilmuan itu sendiri untuk mengancam
kemanusiaanya dan lingkungannya.
Etika keilmuan, pada prinsipnya, hendak mencerminkan
adanya "kebangkitan insani" melalui berbagai kegiatan keilmuan
atau penemuan keilmuan yang pada hakikatnya menunjukkan
perkembangan citra keagungan dan peradaban manusia. Etika
keilmuan, dengan demikian, telah mengantisipasi perkembangan
- perkembangan keilmuan di kemudian hari yang mungkin
mengubah kewajiban etis keilmuan, tetapi tidak mengubah nilai-
nilia etis keilmuan yang fundamental mengenai hakikat dan

80
martabat keagungan manusia. Bahwa terdapat kemungkinan di
mana dalam perkembangan keilmuan yang tidak terduga,
manusia (ilmuwan) dapat mengetahui dan memiliki sesuatu
yang sudah ditunjukkan dalam kesadaran eti keilmuannya itu.
Kesadaran mana memungkinkan manusia (ilmuwan) dapat
menilai apakah perkembangan keilmuannya dapat membantu
mewujudkan perkembangan manusia secara lebih utuh,
walaupun ia sendiri tidak mengenal persis titik akhir yang
sesungguhnya dari perkembangan tersebut.
Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan dunia keilmuan
semakin melangkah maju dengan usaha-usaha efektif guna dapat
memerangi "ketidakberesan" dalam kehidupan, termasuk dalam
dunia keilmuan. Bahkan, sejarah makin menunjukkan pula
bahwa perkembangan dunia keilmuan makin menyingkap
adanya orientasi atau arah baru pemikiran untuk makin
menyadari akan keselamatan manusia. Konsekuensinya, penting
bagi seorang ilmuwan untuk memiliki kepekaan yang besar
terhadap etika keilmuan untuk mengatasi konsekuensi-
konsekuensi etis dalam dunia keilmuan itu sendiri. Kesadaran
etis mana, di dasarkan pada kenyataan bahwa dialah orang satu-
satunya yang bertanggung jawab sepenuhnya serta patut
dimintai pertanggunganjawabannya atas segala hal yang
diakibatkan oleh kemajuan dunia keilmuan, baik terhadap
moralitas manusia, maupun orientasi perilakunya.

81
DAFTAR PUSTAKA
1. Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan
2. Abdulhak, H.Ishak. 2008. Filsafat Ilmu
Pendidikan,Bandung, PT Remaja Rosdakarya
3. https://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/05/21/
pengertian-danruang-lingkup-filsafat-ilmu-3
4. http://kuliahadministrasinegara69.blogspot.com/
2015/09/filsahatilmu-dan-hubungannya-dengan.htm
5. Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu, Jakarta : Rineka Cipta.
Prawironegoro, Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Jakarta : Nusantara Consulting.
6. Surajiyo. 2009. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
7. Suriasumantri, Jujun S. 2000. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
http://iqbalsatu.blogspot.com/2011/10/tanggung-jawab-
sosial-ilmuwan-html
8. Risma.2011.http://rismatp09.blogspot.com/2011/12/
aksiologi-ilmu-dan-moral-tanggungjawab.html. diakses
tanggal 10 Oktober 2011
9. Ilmu dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
10. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya,
Yokyakarta.
11. The Liang Gie, 1985, Kamus Logika, Nurcahya,
Yokyakarta.
12. https://kuliah.unpatti.ac.id/mod/page/view.php?id=16

82
13. Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
______Depdiknas. 2002. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
______Endrotomo. 2004. Ilmu dan Teknologi,
Information System ITS. Surabaya.
______Ihsan Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka
Cipta.
14. Kurtines, William M. dan Gerwitz. 1993. Moralitas,
Perilaku Moral, dan Perkembangan Moral. Universitas
Indonesia Press. Jakarta.
15. Prawironegoro Darsono. 2010. Filsafat Ilmu Pendidikan.
Jakarta: Nusantara Consulting.
16. Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta:
Rineka Cipta.
17. Suriasumantri,Jujun S. 2007. Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
18. Surajiyo. 2009. Fildsafat Ilmu dan Perkembangannya di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
19. Suseno, Franz Magnis. 1989. Etika Dasar Masalah-
Masalah Pokok Filsafat Moral. Jakarta: Penerbit
Kanisius.
20. Wibisono, Koento. 1997. Dasar-dasar Filsafat. Jakarta:
Universitas Terbuka.
______http://id.wikipedia.org/wiki/ilmu. (diakses 25
Oktober 2015

83
84

Anda mungkin juga menyukai