Anda di halaman 1dari 36

Filsafat Aspek Ontologi, Epistemologi,

dan Aksiologi Ilmu


March 29, 2012 by Rhesi Elmia Ningsih in Sastra Indonesia
Dalam filsafat ilmu terdapat tiga aspek yang juga perlu kita pelajari, yaitu:
1. Aspek Ontologi
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya ilmu tentang yang ada. Sedangkan,
menurut istilah adalah ilmu yang membahas sesuatu yang telah ada, baik secara jasmani
maupun secara rohani. Dalam aspek Ontologi diperlukan landasan-landasan dari sebuah
pernyataan-pernyataan dalam sebuah ilmu. Landasan-landasan itu biasanya kita sebut
dengan Metafisika.
Selain Metafisika juga terdapat sebuah asumsi dalam aspek ontologi ini. Asumsi ini berguna
ketika kita akan mengatasi suatu permasalahan. Dalam asumsi juga terdapat beberapa paham
yang berfungi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tertentu, yaitu: Determinisme
(suatu paham pengetahuan yang sama dengan empiris), Probablistik (paham ini tidak sama
dengan Determinisme, karena paham ini ditentukan oleh sebuah kejadian terlebih dahulu),
Fatalisme (sebuah paham yang berfungsi sebagai paham penengah antara determinisme dan
pilihan bebas), dan paham pilihan bebas. Setiap ilmuan memiliki asumsi sendiri-sendiri untuk
menanggapi sebuah ilmu dan mereka mempunyai batasan-batasan sendiri untuk
menyikapinya. Apabila kita memakai suatu paham yang salah dan berasumsi yang salah,
maka kita akan memperoleh kesimpulan yang berantakan.
1. Aspek Epistemologi
Aspek estimologi merupakan aspek yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini
membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut.
Pengetahuan adalah jarum sejarah yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Semakin banyak ilmu yang kita pahami, semakin banyak khasanah kita. Dan pengetahuan
inilah yang menjadi batasan-batasan kita dalam menelaah suatu ilmu. Hal ini yang
mengakibatkan ilmu zaman dahulu dan zaman sekarang berbeda. Misalnya, ditinjau dari segi
ilmu teknologi. Teknologi zaman dahulu dan zaman sekarang sangat berbeda jauh. Maka
ilmu untuk menyikapi fenomena ini juga akan ikut berkembang dan semakin bertambah.
Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis
mayor, dan premis minor.
Analogi, analogi dalam ilmu bahasa adalah persamaan antar bentuk yang menjadi
dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
Silogisme, silogisme adalah penarikan kesimpulan konklusi secara deduktif tidak
langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang disediakan sekaligus.
Premis Mayor, premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan,
kebenaran, dan kepastian.
Premis Minor, premis minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan
dalil-dalilnya.
Contohnya, premis mayor : semuaorang akhirnya akan mati.
premis minor : Hasan adalah orang
1. Aspek Aksiologi
Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk apa ilmu itu digunakan.
Menurut Bramel, dalam aspek aksiologi ini ada Moral conduct, estetic expresion, dan
sosioprolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan ilmu.
Namun, salah satu tanggungjawab seorang ilmuan adalah dengan melakukan sosialisasi
tentang menemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan tersebut.
Dan moral adalah hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang
meminta permintaan, moral adalah sebuah tuntutan.
Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam
segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metidis, sistematis, dan universal.
Dan knowledge adalah keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman
maupun pemahanan dari suatu objek.
Sains merupakan kumpulan hasil observasi yang terdiri dari perkembangan dan pengujian
hipotesis, teori, dan model yang berfungsi menjelaskan data-data.
PARADIGMA DALAM ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
Paradigma adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai), sehingga menjadi sumber hukum, metode, dan penerapan ilmu yang
menentukan sifat, ciri, dan karakter ilmu pengetahuan itu sendiri. Paradigma kemudian
berkembang menjadi sebuah sumber nilai, kerangka berpikir, orientasi dasar, dan sumber
asas. Singkatnya, paradigma adalah sesuatu yang dapat dibuktikan oleh panca ibdra manusia
PARADIGMA
Ilmu adalah pengertahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem
menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang pengetahuan tersebut. Ilmu biasanya mempelajari tentang aspek kehidupan
manusia, hubungan namusia dan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Sedangkan Humaniora adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari apa yang diciptakan
manusia dan dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan alam. Yang dimaksud dengan
pertentangan disini adalah apabila kita mempelajari asal-usul manusia, kita akan mengatakan
manusia itu berasal dari Tuhan atau manusia itu ciptaan dari Tuhan saat kita meninjau dari
Humaniora, dan kita akan mengatakan manusia itu berasal dari revolusi kera saat kira
meninjau dari ilmu pengetahuan alam. Pada dasarnya saat kita mempelajari sesuatu dengan
humaniora tidak ada yang mampu menyangkal, karena humaniora dapat
mempertanggungjawabkan hasil dari sebuah pernyataannya.Hubungan antara paradigma dan
humaniora adalah paradigma merupakan dasar dari humaniora agar tidak melenceng..

Humaniora dapat membagi manusia menjadi beberapa tahap, yaitu homo animal, homo
erektus, homo safien, homo faber, homo luden, human, human being. Humaniora berfungsi
meminimalis probabilitas negatif.
Paradigma dan ilmu sosial saling berkaitan, ilmu sosial adalah sebuah kaidah yang mendasari
setiap disoplin ilmu. Ilmu selalu bersifat empiris. Dan untuk membuktikan kebenaran sebuah
ilmu tersebut dibutuhkan sebuah paradigma sebagai acuan dasar kebenarannya. Ilmu sosial
dan humaniora pun juga mempunyai hubungan, yaitu keduanya sebagai kaidah dasar cara
bernalar.
ILMUWAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Asalkan sesuatu itu memenuhi syarat-syarat dan ketentuan orang-
orang yang ada di wilayah tersebut, sesuatu itu langsung bisa diterima sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan. Penciptaan suatu ilmu bersifat individu, sedangkan komunikasi dan
penggunaan ilmu bersifat sosial. Seorang yang menciptakan sebuah ilmu disebut ilmuwan.
Seorang ilmuwan berperan penting dalam kelangsungan kehidupan suatu masyarakat.
Dengan demikian, ilmuwan mempunyai tanggungjawab penting dalam dirinya karena setiap
makhluk hidup tidak dapat lepas dari sebuah tanggungjawab. Tanggungjawab seorang
ilmuwan lebih besar dari pada orang-oramg awam lainnya,karena seorang ilmuwan
mempunyai ilmu yang cukup diatas orang awam lainnya. Tanggungjawab seorang ilmuwan
ini tidak hanya mampu menelaah ilmu tetapi juga harus ikut bertanggungjawab atas
kelangsungan sebuah ilmu tersebut digunakan, sehingga ilmu tersebut dapat dimanfaatkan
oleh masyarakat dalam kehidupannya.
1. Pengertian ilmu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang
disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerapkankan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan tersebut, seperti ilmu hukum,
pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Menurut Mohammad Hatta ilmu adalah
pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan lam suatu hukum sebab-akibat dalam suatu
golongan masalah yang sama sifatnya, baik menurut kedudukannya maupun menurut
hubungannya. Dapat disimpulkan ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun
secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu
2. Pengertian ilmuwan
Ilmuan bermakna ahli atau pakar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ilmuwan
bermakna orang yang ahli atau banyak pengetahuannya mengenai suatu ilmu, atau orang
yang berkecimpung dalam ilmu pengetahuan. Dari beberapa pendapat ilmuwan merupakan
orang yang melakukan kegiatan atau aktivitas dalam kaitannya bidang keilmuwan. Istilah
ilmuan dipakai untuk menyebut aktivitas seseorang untuk menggali permasalahan ilmuwan
secara menyeluruh dan mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja
mereka kepada dunia dan juga untuk berbagi hasil penyelidikan tersebut kepada masyarakat
awam, karena mereka merasa bahwa tanggung jawab itu ada di pundaknya.
Sikap sosial seorang ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang
dilakukan. Apabila dalam suatu masyarakat terdapat suatu masalah, seorang ilmuwanlah yang
mempunyai peran imperatif karena seperti dikatakan diatas, dia mempunyai latar ilmu yang
cukup untuk menempatkan masalah tersebut dalam proporsi yang sebenarnya. Namun dalam
bidang lain, seorang ilmuwan juga akan dihadapkan dengan masalah-masalah yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat umum dan kehidupan yang akan datang. Tanggungjawab sosial
seorang ilmuwan juga termasuk bagaimana menyelesaikan masalah dalam sebuah
masyarakat.
3. Ciri Ilmuawan
Seorang ilmuawan tampaknya tidak cukup hanya memiliki daya kritis tinggi, kejujuran, jiwa
terbuka, dan tekad besar dalam mencari atau menunjukkan kebenaran pada akhirnya, netral,
tetapi lebih dari semua itu ialah penghayatan terhadap etika serta moral ilmu dimana manusia
dan kehidupan itu harus pilihan juga sekaligus junjungan utama.
4. Syarat-Syarat yang harus Dipatuhi Seorang Ilmuwan
Seorang ilmuwan harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
a. Prosedur ilmiah
b. Metode ilmiah
c. Adanya suatu gelar yang berdasarkan pendidikan formalnya yang ditempuh
Kejujuran ilmuwan, yakni suatu kemauan yang besar, ketertarikan pada perkembangan Ilmu
Pengetahuan terbaru dalam rangka profesionalitas keilmuannya.
5. Pengertian Tanggung Jawab Sosial
Dalam Bahasa inggris, responsibiliti; dari latin responsum (jawaban konsep tanggung jawab),
berdasarkan ide-ide sebagai berikut:
a. Kewajiban.
Terdapat tindakan-tindakan yang harus dan dapat dijalankan oleh makhluk hrasional.
b. Liabilitas atau impulabilitas ( kemungkinan untuk digugat).
Kelalaian seseorang terhadap tindakan ini dapat dikenakan hukuman.
c. Ketaatan seseorang terhadap tindakan-tindakan ini berkaitan dengan ganjaran
(penghargaan, pujian).
Aturan Dari ketiga ide di atas didasarkan pada pandangan bahwa.
Motif-motif manusia merupaka sebab perilaku;
Motif-motif itu dapat dikondisikan (dikontrol, dipengaruhi, dan disesuaikan) oleh hal-
hal seperti: ganjaran dan hukuman.
Motif- motif ini harus dan layak dikondisikan.
Masalah yang kadang terjadi dalam kehidupan dewasa ini adalah demonstrasi yang dimana
masyarakat mengekspresikan pendapatnya di depan umum, namun terkadang menimbulkan
kerusuhan, atau remaja yang melakukan penyimpangan sosial dengan melakukan kenakalan-
kenakalan remaja. Seorang ilmuwan harus mampu mengidentifikasi kemungkinan
permasalahan sosial yang berkembang berdasarkan permasalahan sosial yang sering terjadi
dimasyarakat. Seorang ilmuwan harus mampu bekerjasama dengan masyarakat umum yang
mana dimasyarakat tersebut sering terjadi permasalahan sosial sehingga ilmuwan tersebut
dapat merumuskan jalan keluar yang akan dilakukan.
Namun, bagaimana seorang ilmuwan harus bersikap ketika menghadapi sebuah pemikiran
yang telah keliru dalam masyarakat? Seorang ilmuwan tidak akan menolak maupun
menerima suatu pemikiran begitu saja sebelum dia meneliti dan mencermati pemikiran
tersebut sebelumnya. Dan disinilah yang sangat membedakan orang awam dengan seorang
ilmuwan. Dia akan berbicara kepada masyarakat saat dia mengetahui sebuah pemikiran yang
salah tersebut. Dia akan menjelaskan dimana kesalah pemikiran tersebut, menjelaskan
konsekuensi apa yang akan diterima jika menggunakan pemikiran tersebut, dan akan
menjelaskan pula pemikiran apa yang benar.
6. Hubungan Ilmu dengan Ilmuwan
Ilmu dan ilmuwan merupakan satu kesatuan atau sebab akibat, yaitu ilmuwan mencari,
menemukan, menerapkan pengetahuannya yang terbentuk dalam sebuah teori atau ilmu.
Ilmuwan dan tanggung jawab sosial pemikiran tersebut, menjelaskan konsekuensi apa yang
akan diterima jika mengguanakan pikiran tersebut, dan akan menjelaskan pula pemikiran apa
yang benar. Ilmuwan bertanggung jawab dalam hal memberikan ramalan-ramalan
berdasarkan pengetahuannya mengenai permasalahan-permasalahan yang sedang menggejala
maupun yang tersimpan dalam kehidupan masyarakat. Ilmuwan dalam rangka itu bukan saja
mengendalikan pengetahuan dan daya isinya, namun juga integritas kepribadiannya dalam
suatu kehidupan sosial yang luas dan mendalam.
Logika, Etika, dan Estetika
1. Pengertian Logika, Etika, dan Estetika
1.1 Logika
Logika merupakan cabang filsafat yang berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga
sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar filsafat dan
sarana ilmu,maka logika merupakan jembatan penghubung antara filsafat dan ilmu, yang
secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang penyimpulan yang sah. Penyimpulan
pada dasarnya bertitik tolak dari suatu pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu
kesimpulan.
Logika adalah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus. Ilmu pengetauan ini
menguraikan tentang aturan aturan serta cara cara untuk mencapai kesimpulan.
Berdasarkan proses penalaran dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika
dibedakan atas logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah sistem penalaran
yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta
kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya. Dalam
logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika telah runtut dan sesuai
dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak ada kesimpulan lain karena proses
penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika induktif adalah sistem penalaran yang
menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu
kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Kesimpulan hanya bersifat probabilitas
berdasarkan atas pernyataan pernyataan yang telah diajukan. Bagi logika deduktif ada
perangkat aturan yang dapat diterapkan ampir ampir secara otomatis, sedangkan bagi logika
induktif tidak ada aturan aturan yang demikian itu kecuali hukum hukum probabilitas.
Sejarah Perkembangan Logika :
Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu
tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan.
Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama analitika dan
dialektika. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon,
terdiri atas enam bagian.
Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah
penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi
dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di
Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini
disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir
dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai
bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan
memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru
sehingga menjadi delapan bagian.
Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak,
seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi
pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula
mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan
bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus
mengenai logika ini bernama Summulae.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan
menganjurkan penggunaan sistem induksi secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap
logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian
perhatian lebih ditujukan kepada penggunaan sistem induksi.
Pembaruan logika di Barat berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya
adalah Gottfried Wilhem von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-
pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah
melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan
logika Swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan
lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan
sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun 1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem
deduksi. Setiap pangkal-pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan
sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-
hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-
bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri
merumuskan metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four
Methods.
Logika Formal sesudah masa Mill lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-
ulasan baru tentang logika. Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang
baru yang disebut dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya
sudah dimulai oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan.
Boole secara sistematik dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode
analisis menurut matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan
seorang ahli matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika
simbolik dengan pemikirannya tentang relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha
menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-
lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venns diagram) untuk
menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari
silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara
subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.Perkembangan
logika simbolik mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid
karya tulis dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992
halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan
dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di Indonesia pada mulanya logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada
perguruan-perguruan umum. Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-
pesantren Islam dan perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku
berbahasa Arab. Pada masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang
sesuai perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan
teori himpunan.
1.2 Etika
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat
internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang
terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya
serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari
tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Etika marupakan cabang aksiologi yang pada intinya membicarakan predikat predikat nilai
benar dan salah. Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan sifat sifat yang
menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik.
Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti
norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang
baik, seperti yang dirumuskan oleh beberapa ahli berikut ini :
- Drs. O.P. SIMORANGKIR : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam
berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.
- Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku
perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang
dapat ditentukan oleh akal.
- Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan
norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Etika lebih bersangkutan dengan pembicaraan mengenai prinsip prinsip pembenaran
dibandingkan dengan pembicaraan yang bersangkutan dengan keputusan keputusan yang
sungguh sungguh telah diambil. Etika tidak memberikan pedoman pedoman terperinci
atau ketentuan ketentuan yang tegas serta tetap mengenai bagaimana caranya idup secara
bijak.
Istilah etika dipakai dalam dua macam arti. Arti pertama dimaksudkan sebagai suatu
kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan perbuatan manusia. Arti
kedua merupakan predikat yang dipakai untuk membedakan hal hal, perbuatan perbuatan,
atau manusia manusia tertentu dengan hal hal, perbuatan perbuatan, atau manusia
manusia yang lain.
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi
manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari.
Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam
menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang
tindakan apa yang perlu kita lakukan.
1.3 Estetika
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Hakikat keindahan dinamakan estetika. Secara
sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, meskipun demikian, estetika
mempersoalkan pula teori teori mengenai seni, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana
seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut estetika adalah sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen
dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni. sesuai dengan
aspek atau sisi kehidupan manusianya.
2. Peran Logika,Etika, dan Estetika dalam Ilmu
2.1 Peran Logika dalam Ilmu
Untuk menemukan suatu kebenaran kita menggunakan logika yang pada dasarnya terdiri dari
angkah- langkah sebagai berikut.
1. Perumusan masalah : yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas- batasnya, serta dapat diidentifikasikan faktor- faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berfikir dalam mengajukan hipotesis : yang merupakan
agumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai
faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka
berfikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis- premis ilmiah yang telah
teruji kebenaannya dengan memperhatikan faktor- faktor empiris yang relefan dengan
permasalahannya.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berfikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta- fakta yang relefan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta- fakta yang
mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penelitian apakah sebuah hipotesis yang
diajukan ditolak atau diterima.Hipotesis yang diterima dianggar menjadi pengetahuan
karena telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni telah teruji kebenarannya.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara
konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris dengan tahapan- tahapan yang
menggunakan logika. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolute melainkan
kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
2.2 Peran Etika dalam Ilmu
1. Dari sudut multikulturalisme, pertanyaan tentang makna perilaku orang lain
merupakan salah satu pertanyaan pertama yang harus disampaikan sebagaiman yang
telah kita ketahui, ciri utama kepekaan multikultural adalah kesadaran bahwa orang
lain melakukan sesuatu yang berbeda ari cara kita sendiri dan cara- cara kelompok
kita dalam melakukan segala sesuatu. Anda tidak dapat mengasumsikan bahwa apa
yang anda maksud dengan tutur atau isyarat atau praktik itu tidaklah sama dengan
yang dimaksudkan orang lain. Akibatnya kaidah utama multikulturalisme adalah
sesuatu dihadapkan pada perilaku orang lain. Janganlah memberikan pra anggapan
bahwa perilaku itu memiliki maksut yang sama seperti saat anda memperlihatkan
perilaku tersebut, hendaknya selalu menanyakan apa maksut perilaku itu/? Dengan
pra anggapan bahwa makna ini kemungkinan berbeda dari apa yang tampak sekilas.
2. Tindakan manusia merupakan gambaran sipa dirinya karena adanya makna yang
diungkapkannya.
3. Benarkah bahwa makin cerdas, maka makin baik pula perbuatan kita? Apakah
manusia yang memilki penalaran tinggi lalu makin berbudi? Sebab moral mereka
dilandasi analisis yang hakiki ataukah malah sebaliknya, makin cerdas maka makin
pandai pula kita berdusta? Manusia sangat berhutang pada ilmu dan teknogi.
4. Menurut faham yunani bentuk tertinggi dari ilmu adalah kebijaksanaan. Bersama itu
terlihat sikap etika. Di zaman yunani itu etika dan politik saling berjalan erat.
Kebiksanaan politik mengajarkan bagaimana manusia harus mengalahkan Negara.
Sebaliknya, ilmu tidak mengubah apa- apa. Nilai dari ilmu terletak pada
penerapannya.
2.3 Peran Estetika dalam Ilmu
Estetika merupakan nilai- nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-
pengalaman kita yang berhubunagn dengan seni. Hasil- hasil ciptaan seni didasarkan atas
prinsip- prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dan sebagainya.
Adapun yang mendasari filsafat pendidikan dan estetika pendidikan adalah lebih
menitikberatkan kepada Predikat keindahan yang diberikan pada hasil seni dalam dunia
pendidikan sebagai mana diungkapkan oleh Rundall dan Buchler mengemukakan ada tiga
interpretasi tentang hakikat seni :
1. Seni sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman
2. Seni sebagai alat kesenangan
3. Seni sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman
Namun lebih jauh dari itu untuk dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan
penting dalam proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan
estesis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan coba dilihat dari perspektif yang mengikut
sertakan kepentingan masing-masing pihak baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta
masyarat luas. Ini berarti pendidikan diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang kreatif, berseni.
3. Yang Mempengaruhi Logika, Etika, dan Estetika dalam Ilmu
3.1 Logika
Seperti diketahui penalaran merupakan suatu proses yang menghasilkan pengetahuan, yang
harus dipertanggungjawabkan, maka penarikan kesimpulan yang valit harus didapat dengan
cara tertentu, Dalam berfikir kita memerlukan sebuah penalaran itu yang sejalan dengan akal
pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Hal demikianlah kata
logika itu ada. Dalam usaha untuk memasarkan fikiran-fikirannya serta pendapat-
pendapatnya. Filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain
dengan menenjukkan kesesatan penalarannya. Logika digunakan untuk melakukan
pembuktian. Logika mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak. Dengan
adanya sebuah pemikiran hingga menghasilkan suatu penarikan kesimpulan yang disebut
dengan logika tersebut, harus mempunyai kefaliditasan sebuah argumen yang ditentukan oleh
bentuk logisnya, bukan oleh isinya. Dalam hal ini logika menjadi alat untuk menganalisis
argumen, yakni hubungan antara kesimpulan dan bukti-bukti yang diberikan ( premis ). Di
dalam mengahasilkan suatu kesimpulan terdapat dua cara yakni : penelaran diduktif dan
penalaran induktif
Penalaran Deduktif merupakan penalaran yang membangun atau mengefaluasi
argument deduktif. Argument deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik/
merupakan konsekwensi logis dari premis-premisnya. Argument dinyatakan falid atau
tidak falid, bukan benar atau salah. Dinyatakan falid, jika kesimpulannya merupakan
konsekwensi logis dari premisnya.
Contoh : 1. Setiap mamalia mempunyai sebuah jantung
2. Semua kuda adalah mamalia
3. Setiap kuda mempunyai sebuah jantung ( kesimpulan).
Penalaran induktif merupakan penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta
khusus untuk mencapai kesimpulan umum
Contoh : 1. Kuda sumba mempunyai sebuah jantung
2. Kuda Autralia mempunyai sebuah jantung
3. Kuda Amerika mempunyai sebuah jantung
4. Kuda Inggris mempunyai sebuah jantung
5. Setiap kuda memiliki sebuah jantung
Berikut yang mem bedakan penalaran deduktif dan induktif
Deduktif Induktif
Jika semua benar, maka kesimpulan
pasti benar
Semua informasi atau fakta pada
kesimpulan sudah ada, sekarang-
sekarangnya secara implisit dalam
premis
Jika premis benar, kesimpulan
mungkin benar, tapi tidak pasti.
Kesimpulan memuat informasi yang
tidak ada bahkan secara implicit, dalam
premis.

Sebuah logika dipengaruhi dari kenyataan- kenyataan umum yang ada dalam kehidupan kita.
Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta
melainkan esensi dan fakta- fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta-
fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari objek
tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga ujud fakta tersebut.
3.2 Etika
Etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan juga mengenai hak dan
kewajiban moral. Etika berlaku dalam kehidupan bermasyarakat ada sudah turun- temurun
seperti sudah ada suatu ketetapan menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Penetapan dalam etika dipengaruhi oleh kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Di mana
kebiasaan itu merupakan suatu peristiwa fakta yang sering terjadi dansecara tidak langsung
menjadi suatu etika.
3.3 Estetika
Estetika mempunyai suatu pengertian keindahan yang mana setiap orang berbeda
menyikapinya. Cabang ilmu filsafat ini sangatlah dekat dengan filosofi ini. Estetika ini bisa
diwujudkan berupa suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut
mempengaruhi penilaian terhadap keindahan itu sendiri. Jadi yang mempengaruhi estetika
bergantung pada individu masing- masing.
4 Hubungan Logika, Etika dan Estetika dalam Ilmu
Sebelum kita mengetahui dan mempelajari lebih jauh antara hubungan Logika, Etika dan
Estetika dengan ilmu terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian ketiga unsur tersebut ,
dan beberapa pengertiannya adalah sebagai berikut.
Logika :
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar
pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir
itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap shahih
(valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut.
Cara penarikan kesimpulan tersebut dinamakan logika, dimana logika secara luas dapat
didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara shahih.
Oleh karena itu cukup jelas bahwa logika merupakan pengetahuan tentang kaidah berpikir
dengan jalan pikiran yang masuk akal , dan logika merupakan suatu penalaran dimana setelah
itu akan muncul suatu metafisis benar atau salah.
Etika :
Adalah perilaku terhadap kesantunan atau tata krama yang terikat oleh hukum sosial. Sesuatu
yang dianggap baik atau buruk didalam etika sangat bergantung pada budaya masing-masing
individu atau bisa dikatakan bahwa etika selalu bersikap normatif (sesuai dengan norma yang
berlaku). Etika juga menjelaskan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Estetika :
Cabang dari filsafat yang membahas dan menelaah tentang seni dan keindahan serta
tanggapan manusia terhadapnya dalam kata lain yang indah atau yang jelek. Estetika
berhubungan erat dengan proses timbal balik antara subyek dan obyek untuk memperoleh
kesenangan. Estetika (keindahan) merupakan proses diakteki yang serasi antara beberapa
unsur, yaitu diri kita, manusia lain, lingkungan dan alam. Untuk dapat memperoleh estetika
yang dianggap benar ketiga unsur tersebut tidak dapat dilupakan.
Dari ketiga definisi tersebut dapat kita simpulkan bahwa logika, etika, dan estetika saling
berhubungan erat dalam pembentukan ide yang dituangkan dan dikelola berdasarkan logika .
Dalam mempelajari ilmu-ilmu untuk mendapatkan kejelasan dan tidak ada keraguan
landasan, logika harus diterapkan untuk dijadikan sebagai pedoman. Jika memang ilmu itu
benar maka benar dan jika salah maka kita gunakan ilmu yang benar. Sehingga dalam
prosesnya kita dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Yang kedua etika dlam
proses mempelajari ilmu unsur etika sangat mendukung sebab etika berhubungan langsung
dengan norma dan budaya . Dalam mempelajari ilmu kita harus memperhatikan perilaku kita
dan jangan sampai ilmu yang kita miliki merugikan dan bahkan merusak norma dan
kebudayaan yang kita miliki. Jika hal tersebut terjadi maka sanksi sosial lah yang akan kita
terima. Dan yang terakhir adalah nilai estetika (keindahan). Ilmu akan lebih bermanfaat , jika
bisa disebut ilmu itu indah, maksudnya ilmu dapat diterima dari beberapa unsur keindahan
diri kita sendiri, manusia lain, dan alam serta lingkungan.
A. Ontologi
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam
dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas
pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat,
ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan
pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monisme
yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia
secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu
terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan
yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman
(seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa
aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
B. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan
pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods
and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti pengetahuan, pengetahuan
yang benar, pengetahuan ilrniah, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefmisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2)
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?; 3) Darimana pengetahuan itu dapat
diperoleh ?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinitai ?; 5) Apa perbedaan
antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori
(pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan,
pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian,
kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk
-
tif Berpikir
deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten
dengan pengetahuan yang telah dikurnpuikan se,belumnya Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai
sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren
maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam
fokus penelaahan.
C. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah teori tentang nilai (Amsal Bakhtiar,
2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam
Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct,
yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Keduei,
-
esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan
filsafat sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan
valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda
abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja
dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik
tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas
pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada
keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih
unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika
ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaratt
yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan hams manrpu ntenilai
antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan
sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan,
bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak
dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara
spektakuler yang mengakibatkan terciptanya Momok kemanusiaan yang dilakukan oleh
Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada
ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia
modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya
pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial
: dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik,
menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil,
dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai
ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien
menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai
pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh
sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil
berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai
agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan
dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis (Suriasumantri, 1986, Semiawan,C
1993).
2.3 Pengertian Epistemologi, Aksiologi, dan Ontologi
A. Ontologi
Menurut bahasa, ontologi ialah berasal dari bahasa Yunani yaitu, On/Ontos = ada, dan
Logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi ialah
ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang
berbentu jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M.
untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam
perkembangannya Christian Wollf membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum
dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi.
Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan
prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika
khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khhusus membicarakan tentang alam
semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang iwa
manusia. Teologi adalah cabang filsafat yang secra khusus membicarakan tuhan.
B. Epistemologi
Epistemologi secara etimologis berasal dari dua suku kata, yakni: epistem (Yunani)
yang berarti pengetahuan atau ilmu (pengetahuan) dan logos yang berarti disiplin atau
teori. Dalam KamusWebst er disebutkan bahwa epistemologi merupakan Teori ilmu
pengetahuan (science) yang melakukan investigasi mengenai asal-usul, dasar, metode, dan
batas-batas ilmu pengetahuan.
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan
kesalihan pengetahuan. Persoalan dalam epistemologi adalah bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Dan bagaimanakah
validitas pengetahuan itu dapat dinilai?
Mengapa sesuatu disebut ilmu? Apa saja lintas batas ilmu pengetahuan? Dan,
bagaimana prosedur untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat ilmiah? Pertanyaan-
pertanyaan itu agaknya yang dapat dijawab dari pengertian epistemologi yang sudah
disebutkan. Kumpulan data tidak memiliki arti apa-apa tanpa adanya proses dan prosedur
yang memiliki standar ilmiah.
C. Aksiologi
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu semua
keperluan dan kebutuhan manusia bias terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah. Dan
merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang
kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai
tujuan hidupnya. Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan
penyelamat bagi manusia?
Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, akan diuraikan beberapa definisi
tentang aksiologi, diantaranya:
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti
teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai.
2. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat
Ilmu Sbuah Pengantr Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan
dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tidakan
moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu
ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life ,yaitu
kehidupan social politik, yang akan melahirkan sosio-politik.
4. Dalam Enyclopedia of philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan Value and
Valuation. Ada tiga bentuk Value and Valuation.
a. Nilai, digunakan sebagai katabenda abstrak.
b. Nilai sebagai katabenda konkret.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, member nilai, dan dinilai.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi diatas, terlihat dengan jelas bahwa
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori
tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
2.3 Hubungan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Terhadap Kajian PAUD
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-
pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut?
Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan
bagaimana caranya?
Hubungan ontologi terhadap kajian PAUD antara lain adalah bagaimana wujud hakikat
PAUD? Objek apa yang ditelaah PAUD?
1. Hakikat PAUD
PAUD adalah ilmu multi dan interdisipliner, artinya tersusun oleh banyak disiplin
ilmu yang saling terkait. Ilmu Psikologi perkembangan, ilmu Pendidikan, ilmu Bahasa, ilmu
Seni, ilmu Gizi, ilmu Biologi perkembangan anak, dan ilmu-ilmu terkait lainnya saling
erintegrasi untuk membahas setiap persoalan PAUD. Untuk mengembangkan kemampan
intelektual anak, diperlukan berbagai kegiatan yang dilandasi dengan ilmu psikologi, ilmu
pendidikan, ilmu matematika untuk anak, sains untuk anak, dan seterusnya. Beberapa
komponen yang terkait dengan PAUD adalah sebagai berikut:
a. Kurikulum PAUD
Kurikulum PAUD bertujuan untuk mengembangkan seluruh potensi anak agar kelak dapat
berfungsi sebagai manusia yang utuh sesuai kultur, budaya, dan falsafah suatu bangsa. Anak
dapat dipandang sebagai individu yang baru mulai mengenal dunia. Ia belum mengetahui
tatakrama, sopan-santun, aturan, norma, etika, dan berbagai hal tentang dunia. Ia juga sedang
belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami orang lain. Anak perlu
dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang dunia dan isinya. Ia juga perlu
dibimbing agar memahami berbagai fenomena alam dan dapat melakukan keterampilan-
keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat. Interaksi anak dengan benda dan
dengan orang lain diperlukan untuk belajar agar anak mampu mengembangkan kepribadian,
watak, dan akhlak yang mulia. Usia dini merupakan saat yang amat berharga untuk
menenamkan nilai-nilai nasionalisme, kebangsaan, agama, etika, moral, dan sosial yang
berguna untuk kehidupannya dan strategis bagi pengembangan suatu bangsa.

b. PembelajaranPAUD
Pembelajaran bersifat holistik dan terpadu. Pembelajaran mengembangkan semua aspek
perkembangan, meliputi
(1) moral dan nilai-nilai agama,
(2) sosial- emosional,
(3) kognitif (intelektual),
(4) bahasa,
(5) Fisik-motorik,
(6) Seni.
Pembelajaran bersifat terpadu yaitu tidak mengajarkan bidang studi secara terpisah. Satu
kegiatan dapat menjadi wahana belajar berbagai hal bagi anak. Bermain sambil belajar,
dimana esensi bermain menjiwai setiap kegiatan pembelajaran amat penting bagi PAUD.
Esensi bermain meliputi perasaan senang, demokratis, aktif, tidak terpaksa, dan merdeka
menjadi jiwa setiap kegiatan. Pembelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga
menyenangkan, membuat anak tertarik untuk ikut serta, dan tidak terpaksa. Guru
memasukkan unsur-unsur edukatif dalam kegiatan bermain tersebut, sehingga anak secara
tidak sadar telah belajar berbagai hal.

2. Objek telaah PAUD
Usia dini merupakan kesempatan emas bagi anak untuk belajar, sehingga disebut usia
emas (golden age). Oleh karena itu, kesempatan ini hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya
untuk proses belajar anak. Rasa ingin tahu pada usia ini berada pada posisi puncak. Tidak ada
usia sesudahnya yang menyimpan rasa ingin tahu anak melebihi usia dini, khususnya usia 3-4
tahun dan 4-6 tahun.
Objek belajar anak usia dini bukan terfokus pada mengejar prestasi, seperti
kemampuan membaca, menulis, berhitung dan penguasaan pengetahuan yang bersifat
akademis. Namun objek belajarnya lebih diarahkan pada mengembangkan pribadi, seperti
sikap dan minat belajar serta berbagai potensi dan kemampuan dasar anak.
Orientasi anak lebih baik mengarah pada pengembangan sikap mental yang positif.
Anak yang mampu mengembangkan sikap mental positif akan mengembangkan rasa ingin
tahu yang tinggi, semangat belajar yang menyala, gemar membaca, mampu mengembangkan
kreativitas diri dan memiliki dorongan yang kuat untuk terus mengembangka diri. Hal itu
merupakan prestasi yang luar biasa bagi anak disbanding prestasi akademik yang saat ini
dicapai.
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang
memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri
apa? Kriterianya apa saja?
Hubungan epistemologi terhadap kajian PAUD diantaranya yaitu bagaimana proses atau
prosedur PAUD tersebut? Apa saja kriteria PAUD itu?
Bagaimana anak belajar?
1. Belajar visual
Anak belajar melalui pengamatan, artinya anak belajar menggunakan media gambar seperti
foto, lukisan, dan bemda-benda lain. Dari gambar-gambar atau foto-foto tersebut anak
mengamati, sehingga anak menyerap informasi dan memperoleh sesuatu yang bernilai
pembelajaran. Anak- anak yang belajar dengan tipe ini disebut belajar visual. Mereka
menyerap informasi melalui mengamati objek-objek gambar, foto, dengan cara melihat.
2. Belajar auditori
Diantara anak-anak usia dini ada yang belajar dengan cara auditori, artinya mereka belajar
melalui mendengarkan informasi yang diterima berupa suara, seperti komunikasi lisan,
bercakap-cakap, cerita, dongeng, dan tanya jawab. Dan biasanya anak suka mendengarkan
apa yang disampaikan.
3. Belajar kinestetik
Anak yang belajar bertipe kinestetik biasanya mereka menyerap informasi sebagai proses
belajar adalah melelui sentuhan. Anak senang menyentuh dan meraba seperti membalik-
balik, membongkar dan memasang benda-benda yang menjadi objek belajar mereka.
Sentuhan itu sebagai bentuk eksplorasinya (rasa memenuhi ingin tahunya) terhadap benda
yang menjadi objek belajarnya.

Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini
1. Berorientasi pada kebutuhan anak
2. Kegiatan belajar dilakukan melalui bermain
3. Merangsang munculnya kreativitas dan inovatif
4. Menyediakan lingkungan yang mendukung proses belajar
5. Mengembangkan kecakapan hidup anak
6. Menggunakan berbagai sumber dan media belajar yang ada dilingkungan sekitar
7. Dilaksanakan secara bertahap dengan mengacu pada prinsip perkembangan anak
8. Rangsangan pendidikan mencakup semua aspek perkembangan
Karakteristik anak usia dini
1. Usia 0-1 tahun
Pada masa bayi perkembangan fisik mengalami kecepatan luar biasa, paling cepat dibanding
usia selanjutnya. Berbagai karakteristik anak bayi antara lain:
a. Mempelajari keterampilan motorik mulai dari berguling, merangkak, duduk, berdiri dan
berjalan
b. Mempelajari keterampilan menggunakan panca indera seperti melihat atau mengamati,
meraba, mendengar, mencium dan mengecap dengan memasukkan setiap benda ke mulut
c. Mempelajari komunikasi social
2. Usia 2-3 tahun
Beberapa karakteristik yang dilalui anak usia 2-3 tahun antara lain:
a. Anak sangat aktif mengeksplorasi benda-benda yang ada disekitarnya
b. Anak mulai mengembangkan kemampuan berbahasa
c. Anak mulai belajar mengembangkan emosi
3. Usia 4-6 tahun
Anak usia 4-6 tahun memiliki karakteristik antara lain:
a. Berkaitan dengan perkembangan fisik, anak sangat aktif melakukan berbagai kegiatan
b. Perkembangan bahasa juga semakin baik
c. Perkembangan kognitif (daya pikir) sanagt pesat, ditunjukkan dengan rassa ingin tahu anak
yang luar biasa terhadap lingkungan sekitar
d. Bentuk permainan anak masih bersifat individu
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab
pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana
kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Masa kanak-kanak merupakan masa emas bagi pembentukan moral. Pada masa ini, jika
suatu landasan moral yang baik telah berhasil ditanamkan, landasan moral tersebut
selanjutnya akan menjadi penuntun individu dalam bertingkah laku seumur hidupnya.
Pengembangan nilai moral dan budi pekerti pada anak menjadi sangat penting khususnya
implikasinya bagi pendidikan guna menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak hanya
maju secara intelektual namun juga kokoh dalam nilai moral dan kepribadian yang berbudi
pekerti.
Usia dibawah lima tahun adalah usia yang paling kritis/paling menentukan dalam
pembentukan karakter dan juga kepribadian seseorang. Kalau seseorang sudah terlanjur
menjadi pencuri atau penjahat, maka pendidikan universitas bagi orang tersebut bisa
dikatakan tidak berarti apa-apa. Sebagaimana halnya sebatang pohon bambu, setelah tua
susah dibengkokkan. Mendidik anak usia dini ibarat membentuk ukiran dibatu yang tidak
akan mudah hilang bahkan akan membekas selamanya. Artinya pendidikan anak usia dini
akan membekas hingga anak dewasa. Pendidikan anak usia dini ini adalah peletak dasar bagi
pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini adalah peletak dasar bagi
pendidikan anak selanjutnya.
Perkembangan nilai moral merupakan interaksi antara perkembangan psikis dan
intelektual dengan pengalaman-pengalaman pada realitas keluarga, lingkungan dan
masyarakat. Kemampuan berfikir dan bersikap akan menstimulus anak pada kemampuan
menilai baik dan buruk serta salah dan benar terhadap suatu tatanan sosial. Perkembangan
moral pada anak memiliki perbedaan tersendiri pada tiap individu berkait dengan
kemampuan fisik, psikis dan kognitifnya serta keberadaan lingkungan di mana remaja
tumbuh. Seorang anak yang berkembang pada lingkungan kondusif (lingkungan santri,
terdidik, daerah aman, strata sosial baik) serta kemampuan fisik, psikis, dan kognitif yang
baik akan memiliki standar nilai moral yang cukup tinggi, sebaliknya anak yang tumbuh pada
lingkungan yang kurang kondusif (daerah kriminal, lokalisasi, daerah perjudian, lingkungan
kumuh, dan lain-lain) serta aspek fisik, psikis dan intelektual rendah juga akan memiliki
standar nilai moral yang rendah pula.
Hal yang perlu dipahami bahwa perkembangan nilai moral akan selalu terkait erat
dengan budi pekerti. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam pesan moral adalah
pembentuk budi pekerti secara keseluruhan.
Tolok ukur keberhasilan penanaman moral. Keberhasilan dalam mendidik moral anak
adalah ketika anak melakukan tindakan moral atas inisiatifnya sendiri dan tanpa pengawasan.













Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
sebagai Landasan Penelaahan Ilmu
Leave a comment
January 20, 2013 by zainabzilullah
Oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu
dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia,
bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal
yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai
induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang
wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia
melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme,
idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-
strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami
perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi
juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh
tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan
implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain
merupakan upaya untuk menemukan kebenaran.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk
mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada
sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari
Apa itu kebenaran? yaitu Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu
atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem
epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk
mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain,
pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada
tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang
didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama
kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang apa wilayah
epistemologi bertanya tentang bagaimana sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang
untuk apa.
Tiga problem filosofis inilah ontologi, epistemologi dan aksiologi yang hingga kini
masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki
sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam
dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan
pembahasan tersebut dalam makalah ini.
II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik
mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara
ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis
yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau
ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang
ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat
yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat,
namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di
mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan
mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki
dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana
prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa
yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian
epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti
mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
A. Ontologi
Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti
ada dan logos yang berarti ilmu. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu
tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu,
Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud
sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai induk
semua ilmu karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang
dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat Tuhan sebagai wujud murni. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi
bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato
berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia
atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat
gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan
Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa
yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal
dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika
sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah
sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah
karena ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu
yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai
wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda
yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat
atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu,
keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah,
eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan,
realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat
dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan,
tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib
al-wujud), yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtanial wujud)
yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin
(mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas
ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf
kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas
adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam
ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini;
apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu;
apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak
(pluralisme). Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.
a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja,
tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal
berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan
berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut
dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme
dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau
jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat
saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga
disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja.
Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof
pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales
misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan
Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya yang tak
terbatas yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes
beranggapan lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan
Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga
jumlahnya.
Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme
berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata idea
yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang
beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu
yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari
penjelmaan ruhani.
Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George
Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas
seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua dunia. Satu dunia mencakup benda-benda
jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap
berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula
dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus
juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping
dunia inderawi itu terdapat satu dunia lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas
ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan
tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide yang
bagus. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali
sempurna. Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia
ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia
menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai
pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang
nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas
selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang
disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu
saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang
semata.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul
dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes
mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-
menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi
antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia
memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek.
Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di
luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum
Descartes Cogito Ergo Sum aku berpikir maka aku ada jelas sekali memosisikan manusia
sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian
realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua
entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan
psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak
kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-
versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau
pluralis.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia.
Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia
menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua,
bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber
ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita
telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak
akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos
yang berarti unknown. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini
dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu
menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent. Beberapa tokoh
aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat
tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan
tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya
mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu
sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan
cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang
paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan
pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer
itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua
hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan
yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna
dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab
ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara
tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai
dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi
kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang
valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari
ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas
abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.
B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu
pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya,
apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu
kota Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah
lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini
masih, dengan pernyataannya apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui
bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu
yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang
akan membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan
jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang
menuntut adanya sebuah kepastian. Mengetahui bisa kita sebut dengan kata yang sukses.
Demikian dengan kata belajar. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu,
sama denga mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah
menyerap apa saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak
menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar
kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda
menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang
telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka
peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat.
Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk
membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum).
Kalau dalam metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar
dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan
pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara
etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori
pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia,
dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan
masalah epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu
mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan
menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera
sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan
menggunakan intuisi sebagaimana urafa (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas
berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-
tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari
manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan
indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia
(berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau
teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta
klasifikasi ilmu pengetahuan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan.
Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang
diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-
pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber
pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi
Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan.
Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah irfan bukan filsafat.
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fuad) merupakan pembahasan irfan
bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya
hati dalam epistemologiyang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap
bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain
lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb,
fuad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab
suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks,
yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-
teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan
membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak
memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan
kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran
ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan
sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber
pengetahuan.
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan
dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan
hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar
dan dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-
benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau
mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui
indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun
lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para
Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume
termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada
sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan.
Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda,
sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan
kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru
kemudian ia mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk
mengenali objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua
pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang
dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di
dalam Islam kita kenal metode tajribi.
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin
diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki
oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih
terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung
menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir
artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami
kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematissebagai salah satu
produk ilmu akalseseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin
kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan.
Maka cukuplah dengan menggantinya dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang
benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui
kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber
kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera
akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan
setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter
kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah
akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis
yang yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang
memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang
dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya
sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif.
Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene
Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz. Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam
pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah
yang dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai
bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum aku
berpikir maka aku ada. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung
sebagai sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai
subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan
dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif
tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan.
Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin
bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia
yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan
dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun
bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya?
Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti
dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian
halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui
kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan
menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri
seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli
artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan
intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri
subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli
cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan
indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-
benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung
terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi
berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya
saja.
Di antara para filosof intusionismesebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber
pengetahuannyaadalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini
juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita
kenal dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu.
Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak
perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan
dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan
beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci.
Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka,
pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan
Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan
sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk
mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu
pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti
kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya). Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344),
kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah
yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992:
178) kebenaran menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan artinya, proposisinya
sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita
mengatakan bahwa proposisi itu sesat. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada
beberapa macam.
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan
Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi
dijelaskan .suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan
dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa semua manusia
pasti mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, si polan adalah manusia
dan si polan pasti mati adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang
pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis.
Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah
persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak
adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan.
Misalnya pernyataan Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat bukan karena pernyataan
ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti
empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul How to Make Our Ideas Clear. Teori
ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia
memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya
menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia
buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut
pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau
proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi
kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur
kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun
dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya
berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang
materi bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya
kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu
seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnyaditerangkan dalam kitab suci (wahyu)
bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak
memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu
berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang
menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-
pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai
penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia.
Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga
dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab
musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada
di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi
setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa
dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris.
Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan
metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia
bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode
ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang
hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang
dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak
diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan
secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi
kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri
bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi
para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam
kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh
Ibn khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat
komprehensif mulai dari yang paling utamadalam arti mencapai tingkat kematangannya
hingga yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar
yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Quran dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, faraid dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (tabir al-Ruyah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syir (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
b. Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn
Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin
ilmu sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut sosiologi yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu
5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.
Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati
sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu
kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut
dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita
menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah
berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu
masalah itu seseorang mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan
yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah.
Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan
ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan
yang harus dilalui mulai dari awalyaitu perumusan masalahhingga tahap yang paling
terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-
tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam
ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua
kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan
bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah
yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang
berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas
batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi
yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait
dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang
dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung
hipotesis tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan
itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang
mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak.
Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah
sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang
konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum
terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan
ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang
awal menjadi dasar bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda.
Seorang peneliti bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian
merumuskannya dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan
premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses
falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di
lapangan (mencari pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan
kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses
itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta.
Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari
pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap
sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak
sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang
sesuai dengan teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.
C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara
tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi
berkaitan dengan manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan
kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan
logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun
S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang
filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral
conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic
expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life,
kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai
sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan
kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan
dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu
subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian.
Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun
tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun
orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan
tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi
objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu
saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang
diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda
tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan,
yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar
mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi
mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu
diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini
tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan
salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh
dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang
sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang
menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa
yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa
yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagussetiap orang tidak
mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoraltapi itu tidak benar.
Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan
adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena
ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri
mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang
subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada
manusia yang melihatnya. Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia
yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak
melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang
mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai
subjek dan barang sebagai objek.
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu
yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan.
Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia
bukan justru malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang inidunia modernbagaimana sebuah ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan
kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan
berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga
perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara
persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan
pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga sipil.
Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain
itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali
mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan
teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu
aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa
digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itutermasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa
dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan
manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman
indera, sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan
penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic:
pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga
dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai
teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang
dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang
hakikat keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan
dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika
dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga
menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang
keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori
tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka
sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan
objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh
suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini
adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak,
Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah
sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari
perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang
estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia
mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas
pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia
tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang
lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat.
Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya.
Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena
kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan
objek kepuasan yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang
lain. Indah, sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek
penilaian. Kita mengatakan: Barang ini indah. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu
merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep keindahan itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu
bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa Allah itu Maha Indah dan menyukai
keindahan. Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan
menakjubkan. Bagaimana kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar
kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu
nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai
etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu
praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang
mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang
lebih spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu
harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk
sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup.
Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini
nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu
ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana
manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani,
harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah
memberi bimbingan kepada semua anggota keluargaterutama anggota keluarganya
tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan
dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada
masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-
petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga
ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai
anggota keluarga.
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari
nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga
dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan
bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah
rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari
sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang
menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang
diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang
dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada
manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat
atau dengan kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi
para pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang
bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang
bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian
juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama
hanya punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh,
negara yang durjana dan negara yang keliru.
III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari
masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut
merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah
kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses
berpikir yang diawali dengan pembahasan Apa itu kebenaran?, Bagaimana mendapatkan
kebenaran?, dan Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu
pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat.
Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis.
Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu
pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan
aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek
kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini.
Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan
pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar.
Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan
filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu
harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian kebenaran yang hakiki. Hal itu
dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun,
sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal
itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai
kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat
manusia.
Daftar Pustaka
Bakar, Osman. Tauhid dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. 2008
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo. 2004
Berten, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 2006
Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat, Pengantar Kepada Teori nilai. Jakarta: Bulan Bintang.
1978
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidika:Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2007
Kartanegara, Mulyadi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakarta: Baitul Ihsan. 2006.
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Buku Daras Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2003.
Mulyana. Filsafat Agama, Diktat Kuliah Filsafat Agama UIN Bandung. Bandung: Fak
Ushuluddin. 2001
Surajiyo. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Bumi Aksara. 2008
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: PT Total Grafika
Indonesia. 2003

Anda mungkin juga menyukai