Anda di halaman 1dari 9

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu ucapan,

dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil, atau teori
tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Ide ini merupakan budaya dan
tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya
intelektual untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme dari
bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan,
merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di
Amerika Serikat.[1] Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori sematamata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmatisme ini diangkat pada tahun
1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme.
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :
1.

Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme

Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan
(sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks
ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
(TIDAK RELEVAN)
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua
pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti
itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya
ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan
manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah
menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam
kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya
terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq.
Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
2.

Kritik dari segi metode pemikiran

Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath
Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik
yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah
suatu kekeliruan.
Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk
mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian
percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi.
Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik
seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai landasan
berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi
landasan pemikiran adalah Metode Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah.
Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu
sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak,
yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim
dalam otak.
Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan
kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini,
sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point:

Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti

dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui


Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi
adanya Metode Ilmiyah.

Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material

yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak
terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat
mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih
tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi
yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode
Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.

3.

Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri

Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang
dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya.
Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran
sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang
dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan
praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu
sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung
implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah
aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan
manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang
identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak
dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan
aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain,
pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari
identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan
subjek penilai ide (baik individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan konteks waktu dan
tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan (menurut
Pragmatisme itu sendiri) setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu
dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti telah
menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan dirinya sendiri.
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan
diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak
teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat
pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap
model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir
manusia itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi


pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan.
Di bawah ini akan diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme.
a.

Arah Pendidikan Pragmatisme

Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan
perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi
manusia yang sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya. Manusia adalah
makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus
berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya.
Dalam perkembangan tersebut manusia membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerjasama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan
buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan manusia. Manusia yang
berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak berkualitas
akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan
yang humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan man is
the meansure of all things (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran
pragmatis, sebab hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya.
Karena itu, pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak
boleh mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut
pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan
potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki
kekuatanlaten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Jadi,
baik anak maupun orang dewasa selalu belajar dari pengalaman masa lalunya.
b.

Tujuan Pendidikan Pragmatisme

Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan
lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan
memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak

melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak
terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap
saat dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna
bahwa, ukuran kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik
menurut seseorang, mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga
patokan kebenaran tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai,
menurut pragmatisme bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap,
tetapi terus berubah seperti berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang
membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan keadaan
masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung dalam kehidupan.
Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula disesuaikan dengan lingkungan
tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan
diterapkan dengan tanpa mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat beraneka ragam
warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa daerah, suku, profesi dan
sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri tertentu serta satu dengan yang lain
berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda.
Jika memiliki wilayah geografis yang sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka
berbeda, demikian seterusnya, sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan
pendidikan yang memiliki konsekuensi yang sama.
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada
pula tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan
bersifat nisbi serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk
semua masyarakat. Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan
merupakan alat untuk bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi
alat untuk mencapai tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal
tujuan akhir, dan yang ada adalah tujuan antara.

Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu
yang silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan
sebenarnya merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran
menjadi bagian dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan
pragmatis akan selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar
anak turut memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh
terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait,
dan pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di
tempat lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru
di kelas adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian
anak.
Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan,
karena metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara
yang demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan
metode disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan
belajar apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang
bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri kepada
anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai dengan pilihan hidup
yang telah direncanakan.
Analisis Kritis atas Kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
1.kekuatan Pragmatisme
a. kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di
Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan
maupun teknologi.Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang Tender
Minded yang cenderung berfikir metafisis, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir
hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, materialis, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia,

bukan nnati di akhirat. Dengan demikan, filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia
untuk hanya sekedar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya riil, indriawi, dan yang
memanfaatnya bisa di nikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan
segala yang ada. Barangkali dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong
dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat
penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga munculllah
temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat
terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
c. Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada kepercayaan
yang mapan. Suatu kepercyaan yang diterim apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian
yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos,
Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung
terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat
modern.
2. Kelemahan Pragmatisme
a. Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan
percaya bahwa duna ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri, secara tidak langsung
pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transcendental (bahwa Tuhan jauh di luar alam
semesta). Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemepuan
akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada
ateisme.
b. Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme
menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhaniah. Maka dalam otak masyarakat
pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.

c. Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa


memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa
mengenal batas waktu sekedar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur
masyarakatnya manusipa hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme
menderita penyakit humanisme.

D.

Implikasi Terhadap Pendidikan

1.

Tujuan Pendidikan

Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang


bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan
memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
-

Kesehatan yang baik

Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja

Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan

Persiapan untuk menjadi orang tua

Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial

Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya
demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman
untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.
2.

Kurikulum

Menurut para filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a
self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada masa sekarang dan
masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme berisi pengalaman-pengalaman
yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut
akan berubah.
3.

Metode Pendidikan

Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem


solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method).
Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi
kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar
bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4.

Peranan Guru dan Siswa

Dalam pembelajaran, peranan guru bukan menuangkan pengetahuanya kepada siswa. Setiap
apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya.
Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat
merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a.

Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Film-film, catatan-

catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan
minat siswa.
b.

Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.

c.

Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna

memecahkan suatu masalah.


d.

Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.

e.

Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka

mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.


Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa Siswa merupakan
organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru
berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh
atas minat dan kebutuhan siswa.
Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah
progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang
berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap
otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai