PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang
Al-quran adalah mukjizat Islam yang abadi dimana semakin maju ilmu
pengetahuan, semakin tampak validitas kemukjizatannya. Allah Subhanahu wa
Taala menurunkannya kepada Nabi Muhammad SAW, demi membebaskan
manusia dari berbagai kegelapan hidup menuju cahaya Illahi, dan membimbing
mereka ke jalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikannya kepada para
sahabatnya sebagai penduduk asli Arab yang sudah tentu dapat memahami tabiat
mereka. Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas bagi mereka tentang ayat-ayat
yang mereka terima, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah1.
Metode penyampaian ilmu pengetahuan pada waktu itu, termasuk ilmu-ilmu
Al-Quran, di zaman awal-awal Islam bahkan hingga masa-masa tabi al-tabiin
yang berlangsung sejak abad pertama hingga abad kedua atau abad ketiga hijrah,
pada masa-masa itu lebih banyak mengandalkan metode simaiy (pendengaran)
dan musyafahah (penyampaian dari mulut ke mulut)2.
Meluasnya wilayah Islam dan menyebarnya para sahabat dan tabiin yang
mengajarkan Al-Quran di berbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai
macam qiraat. Perbedaan antara satu qiraat dan lainnya bertambah besar
sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan.
Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Quran.
Sebagian mengambil satu cara bacaannya dari Rasulullah SAW, dengan
kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat berpencar ke berbagai
kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka
ketahui sehingga cara baca menjadi popular di kota atau daerah tempat mereka
mengerjakannya. Sehingga terjadilah perbedaan cara baca Al-Quran dari suatu
kota ke kota yang lain. Kemudian, para tabiin menerima cara baca tertentu dari
1 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Al-Quran, 2013,
Jakarta, hal. 3
2 H. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (1), 2000,
Jakarta, hal. 13
arti
dan
maksud
Al-Quran,
sehingga
mereka
tidak
tentang
cara
mengucapkan
kalimat-kalimat
Al-Quran
dan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu Qiraat
Qiraat secara bahasa adalah masdar dari kata - -
yang artinya bacaan.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6. Mudraj, yaitu qiraat yang didalamnya terdapat kata atau kalimat tambahan yang
biasanya dijadikan penafsiran bagi ayat Al-Quran seperti qiraat Sad bin Abi
Waqqas.
Keempat macam contoh qiraat terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya.
Menurut jumhur ulama, qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak
mutawatir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar
shalat. [13]
Imam Al-Nawawi (wafat 676 H) menjelaskan dalam kitab Syarh AlMuhazzab bahwa tidak sah membaca qiraat syazzah (aneh) di dalam dan di luar
shalat. Sebab, qiraat syazzah (aneh) tidak mutawattir. Barang siapa berpendapat
tidak demikian maka orang itu salah dan jahil. Ulama fiqh Baghdad sepakat untuk
menyuruh orang yang membaca riwayat yang syazz bertaubat.[14]