Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal yang paling penting bagi kehidupan manusia.

Segala potensi dan bakat dapat di tumbuh kembangkan, yang diharapkan akan dapat

bermanfaat bagi diri pribadi maupun kepentingan orang banyak. Menurut Ahmad

Makki dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa jika pendidikan dalam

sebuah bangsa sudah maju , niscaya akan maju pula bangsa itu. Sebaliknya, ketika

pendidikan disuatu bangsa tidak berkembang, maka dapat dipastikan bangsanya

akan terbelakang.1 Pendidikan tinggi di Indonesia sudah berjalan sekian puluh

tahun dan selama itu pula terdapat perkembangan pendidikan di Indonesia. Tetapi

jika disadari pendidikan tinggi di Indonesia lebih menekankan pada dimensi

kognitif yang mencetak manusia-manusia yang cerdas, terampil dan mahir yang

melahirkan manusia yang berkepribadian dan integritas. Kurangnya

pengejawantahan dimensi afektif dan psikomotorik dalam sistem pendidikan

menjadikan krisis identitas serta hilangnya nilai-nilai luhur yang melekat pada

bangsa Indonesia, seperti kejujuran, kesantunan, kesopanan, hormat pada orang lain

, religius dan kebersamaan. Hal ini menjadi keprihatinan kita semua sebagai warga

negara Indonesia.

1
Jamal Makmur Asmani, Kiat melahirkan madrasah unggulan. Yogyakarta: Diva Press, 2013.
Hal 213.

1
Dunia pendidikan tinggi Islam dituntut perannya untuk kembali

memurnikan arah perjalanan bangsa. Dunia Pendidikan tinggi Islam akan berada

pada kondisi dilematis-kontradiktif karena adanya tuntutan modernitas sekaligus

sebagai tuntutan peran untuk selalu menjaga nilai-nilai moral. Berada pada

tantangan modernitas, pendidikan tinggi Islam dituntut mampu menghasilkan bibit

individu-individu yang kompetitif dan menguasai ilmu pengetahuan namun

memiliki moralitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pendidikan profetik merupakan sebuah model alternatif yang mampu

menjawab kegundahan praktisi Pendidikan tinggi yang kuwatir akan hilangnya

karakter peserta didik di lembaga Pendidikan tinggi. Untuk menerapkan hal ini

syarat utama pada Pendidikan tinggi Islam harus membebaskan diri dari praktik-

praktik pendidikan yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama, moral dan etika.

Pendidikan harus membangun karakter dan identitasnya sendiri, memiliki rasa

percaya diri yang sesuai dengan konsep keislaman akan peran mampuannya sebagai

lokomotif pembentuk karakter dan jati diri bangsa.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian profetik?

2. Bagaimana konsep filsafat Pendidikan profetik?

3. Bagaimana implementasi profetik di lembaga tinggi?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Profetik

Profetik dari kata prophetic yang berarti kenabian atau berkenaan dengan

nabi. Kata dari bahasa Inggris ini berasal dari bahasa yunani “prophetes” sebuah

kata benda untuk menyebut orang yang berbicara awal atau orang yang

memproklamasikan diri dan berarti juga orang yang berbicara tentang kemaslahatan

manusia di masa depan. Profetik atau kenabian disini merujuk pada dua misi yaitu

seseorang yang menerima wahyu dan diperintahkan untuk mendakwahkan pada

umatnya disebut rasul (messenger), sedang seseorang yang menerima wahyu

berdasarkan agama yang ada dan tidak diperintahkan untuk mendakwahkannya

disebut nabi (Prophet).2

Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an, nabi adalah hamba Allah yang

ideal secara fisik (berbadan sehat dengan fungsi optimal) dan psikis (berjiwa bersih

dan cerdas) yang telah berintegrasi dengan Allah dan malaikat-Nya, diberi kitab

suci dan hikmah bersamaan dengan itu dia mampu mengimplementasikan dalam

kehidupan dan mengkomunikasikannya secara efektif kepada sesama manusia.

Sedang kenabian mengandung makna segala ihwal yang berhubungan dengan

seorang yang telah memperoleh potensi kenabian. Potensi kenabian dapat

menginternal dalam individu setelah ia melakukan proses edukasi yang didasarkan

2
Moh Roqib. Prophetic Education; Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya Profetik dalam
Pendidikan Islam. Purwokerto: STAIN Press, 2013.Hal 201.

3
oleh nilai-nilai kenabian dalam Al-qur’an, Sunnah dan Ijtihad dengan berbagai

upaya melakukan pemikiran sehingga dapat menemukan kebenaran normatif dan

faktual. Pemikiran filosofis ini kemudian disebut dengan filsafat profetik atau

filsafat kenabian.

Dengan potensi tersebut nabi mampu menyampaikan risalah dan

membangun umat dan bangsa sejahtera lahir batin. Agar tugas-tugas kenabian

tercapai, setiap nabi diberikan sifat-sifat mulia yaitu: (1) Jujur/al-sidiq, (2) Amanah,

(3) Komunikatif /tablig; dalam arti selalu menyampaikan ajaran dan kebenaran, (4)

Cerdas/fatanah. Setiap Nabi memiliki misi utama yang harus dipahami dan

dilaksanakan oleh ulama sebagai pewaris para nabi. Misi kenabian tersebut dalam

bingkai mengembangkan kitab suci yaitu: (1) menjelaskan ajaran-ajaran-Nya, (2)

menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan sesuai dengan perintahNya, (3) memutuskan

perkara atau problem yang dihadapi masyarakat, (4) memberikan contoh

pengamalan/keteladanan. Keempat tugas dan misi ini jika dimaknai dalam konteks

pendidikan, nabi memiliki tugas pertama adalah memahami kalam Tuhan berarti

nabi harus menguasai ilmu (ilahiyah) yang akan menjadi materi dan dijelaskan

kepada peserta didik, kedua menyampaikan materi (ajaran) tersebut kepada umat

(peserta didik), ketiga melakukan kontrol dan evaluasi dan jika terjadi

penyelewengan dilakukan pendisiplinan diri agar tujuan pendidikan (ajaran) dapat

diaplikasikan dalam kehidupan. Terakhir, nabi memberikan contoh dan model ideal

personal dan sosial lewat pribadi nabi yang menjadi rasul dan manusia biasa.3

3
Nur Abdul Hafizh Suawid. Prophetic Parenting. Yogyakarta: Pro-U Media, 2009.Hal 34.

4
Seorang nabi yang memiliki potensi sempurna yang diberikan Tuhan yang

merupakan model utama moral utama yang patut dicontoh dalam kehidupan

termasuk dalam dunia pendidikan, bagaimana potret pendidikan kenabian dan

bagaimana potret itu dapat menjadi faktual saat ini.

B. Filsafat pendidikan profetik

Filsafat profetik atau filsafat kenabian adalah pemikiran filosofis yang

didasarkan pada nilai-nilai kenabian dalam Al-Qur‟an dan Sunnah dengan berbagai

upaya pemikiran reflektif-spekulatif sampai pada penelitian empirik sehingga

menemukan kebenaran normatif dan faktual aplikatif yang memiliki daya sebagai

penggerak umat sehingga terbentuk khaira ummah atau komunitas ideal.4

Filsafat profetik atau filsafat kenabian sebagai upaya mendialogkan

manusia, Tuhan dan alam dapat dimaknai sebagai filsafat yang mengkaji tentang

hakikat kebenaran dengan mendasarkan pada wahyu yang masuk dan menginternal

dalam diri manusia agung (an-nabiy) kemudian dikomunikasikan pada manusia dan

keseluruhan alam agar kebenaran tersebut menjadi mungkin untuk direalisasikan

dalam kehidupan manusia sehingga tercipta manusia terbaik (khaira ummah)

dengan kehidupan yang sejahtera.5

Berdasarkan pada pemahaman terhadap filsafat profetik, sebagaimana telah

disebutkan, filsafat pendidikan profetik adalah pemikiran filosofis kependidikan

yang mendasarkan pada pemahaman terhadap alam dan hukum dialektikanya yang

4
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009. Hal 56.
5
Ibid, Hal 30.

5
bermuara pada hubungan antara tuhan dan manusia yang menyatu (tauhid) tanpa

menghilangkan keEsaan Tuhan dan tidak pula melebut eksistensi manusia sehingga

manusia yang percaya terhadap yang profon akan bertindak sebagai manifestasi

kepercayaan kepada Allah sekaligus memahami keterbatasan dan kelemahan

memahami realitas hukum dan alam Tuhan.6 Filsafat pendidikan profetik

merupakan proses transfer pengetahuan dan nilai untuk pengEsaan terhadap Allah

yang dilakukan secara kontinu dan dinamis disertai pemahaman bahwa dalam diri

ada kelebihan dan kelemahan yang menunjukkan adanya campur tangan Tuhan

(yang transenden).

Islam merupakan agama yang abadi karenanya menuntut perubahan yang

permanen yang disertai dengan cita-cita mengenai tujuan (a sense of goal) yaitu

membuat manusia lebih dekat dengan Tuhan. Untuk memberi arah ke mana

transformasi tersebut akan dibawa maka dibutuhkan ilmu sosial profetik untuk

memberikan petunjuk kearah transformasi yang dilakukan. Perubahan yang

didasarkan pada cita-cita Humanisasi, Liberasi, dan Transendensi yang

mengkarakteristikkan pendidikan profetik. Humanisasi, Liberasi dan Transendensi

merupakan dasar cita-cita profetik dalam pendidikan.

Tiga muatan itulah yang mengkarakteristikkan pendidikan profetik dengan

berdasarkan Al-Qur’an surat Ali Imron, ayat 110 :

Artinya : kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka
ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.7

6
Moh Roqib. Prophetic Education……… hal 94.
7
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: CV Penerbit J-
ART, 2005), hal 392.

6
Dari ayat tersebutlah dasar ketiga pilar nilai ilmu sosial profetik yang digunakan

oleh Kuntowijoyo yaitu; (1) Amar Ma’ruf (humanisasi) mengandung pengertian

memanusiakan manusia. (2) Nahi Munkar (liberasi) mengandung pengertian

pembebasan. (3) Tu’minuna Bilah (transendensi), dimensi keimanan manusia.8

a. Transendensi

Transendensi berasal dari bahasa Latin “transcendere” yang berarti naik ke

atas; dalam bahasa inggris “to transcend” berarti menembus, melewati,

melampui, artinya perjalanan di atas atau di luar. “transcend” berarti melebihi,

lebih penting dari, “transcendent” berarti sangat, teramat, atau sukar

dipahamkan, atau diluar pengertian dan pengalaman biasa. Transendensi bisa

diartikan Hablun min Allah, ikatan spiritual yang mengikatkan antara manusia

dan Tuhan. Transendensi dalam teologi Islam berarti percaya kepada Allah,

kitab Allah dan yang ghaib.9

Berdasarkan pada filsafat profetik indikator transendensi dapat

dirumuskan: (1) mengakui adanya kekuatan supranatural, yaitu Allah SWT, (2)

melakukan upaya mendekatkan diri kepada Allah, (3) berusaha untuk

memperoleh kebaikan Tuhan sebagai tempat bergantung, (4) memahami suatu

kejadian dengan pendekatan mistik (kegaiban), mengembalikan sesuatu

kepada kemahakuasaan-Nya, (5) mengaitkan perilaku, tindakan dan kejadian

dengan ajaran kitab suci, (6) melakukan sesuatu disertai harapan untuk

kebahagiaan hari akhir (kiamat), (7) menerima masalah atau problem hidup

8
Khoiron Rosyadi, Pendidikan…… hal 304.
9
Ibid, hal 401.

7
dengan rasa tulus dan dengan harapan agar mendapat balasan di akhirat untuk

itu kerja keras selalu dilakukan untuk meraih anugerah-Nya.

b. Liberasi

Liberasi dari bahasa Latin “liberare” berarti memerdekakan atau pembebasan.

Liberation dari kata “liberal” yang berarti bebas. Liberation berarti

membebaskan atau tindakan memerdekakan. Artinya pembebasan terhadap

semua yang berkonotasi dengan signifikasi sosial seperti mencegah

bernarkoba, memberantas judi, membela nasib buruh dan mengusir penjajah.10

Dari definisi dan pemahaman terhadap filsafat profetik dapat

dirumuskan indikator ilberasi yaitu: (1) memihak kepada kepentingan rakyat,

wong cilik dan kelompok mustad’afin, (2) menegakkan keadilan dan

kebenaran, (3) memberantas kebodohan dan keterbelakangan sosial-ekonomi,

(4) menghilangkan penindasan dan kekerasan.

c. Humanisasi

Humanisasi berasal dari kata Yunani, “humanitas” yang berarti

makhluk manusia menjadi manusia. Dalam bahasa inggris human berarti

manusia, bersifat manusia, humane berarti peramah, orang penyayang,

humanism berarti peri kemanusiaan. Humanisasi (insaniyyah) artinya

memanusiakan manusia, menghilangkan kebendaan, ketergantungan,

kekerasan, dan kebencian dari manusia.11

10
Moh Roqib. Prophetic Education……… hal 94.
11
Moh Shofan. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD, 2004. Hal 57.

8
Indikator Humanisasi; (1) menjaga persaudaraan meski berbeda agama,

kayakinan, status sosial dan tradisi, (2) memandang seseorang secara total, (3)

menghilangkan berbagai bentuk kekerasan, (4) membuang jauh sifat kebencian

terhadap sesama.

Ketiganya disebut visi profetik. Untuk filsafat pendidikan profetik, unsur-

unsur profetik tersebut harus menjadi tema pendidikan Islam. Setiap pendidikan

Islam harus menyertakan unsur transendensi; Humanisasi plus transendensi,

liberasi plus transendensi, karena transendensi begitu sentral.

C. Implementasi profetik di lembaga Pendidikan tinggi

Implementasi Pendidikan profetik di lembaga pendidikan Islam tercermin dari

aktualisasi nilai-nilai transendensi (tauhid), liberasi (pembebasan/pemerdekaan),

dan humanisasi (kemanusiaan) pada pelaksanaan aspek-aspek di dalamnya. Nilai

profetik tersebut termaktub dalam kepemimpinan, kurikulum, pendidik, peserta

didik, dan proses pembelajaran di lembaga Pendidikan tinggi.

1. Pemimpin di lembaga Pendidikan tinggi

Kepemimpinan di lembaga Pendidikan tinggi dapat dilihat secara mikro

maupun makro. Secara mikro kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi

antar individu (dosen dan karyawan), sementara secara makro merupakan proses

memobilisasi kekuatan untuk mengubah sistem sosial dan mereformasi

kelembagaan. Kepemimpinan di lembaga tinggi merupakan sebuah proses saling

menguatkan diantara para pemimpin dan pengikut ke tingkat moralitas dan motivasi

yang lebih tinggi. Kepemimpinan bukan hanya langsung dan top-down (dari atas

ke bawah), namun juga dapat diamati secara tidak langsung, dari bawah ke atas

9
(Bottom up), dan secara horizontal. Artinya adanya ke solidtan organisasi,

kebersamaan yang erat atas kemaslahatan antar semua anggota, tujuan yang jelas

untuk meluhurkan nama Allah di lembaga, rasa saling berkorban dan mencari

keberkahan atas Islam dalam organisasi dan inilah kepemimpinan yang diterapkan

masa Rasulullah.

Hal tersebut sesuai seperti yang dikatakan Bass bahwa pemimpin mampu

memotivasi para pengikutnya untuk melakukan sesuatu yang lebih dari yang

diharapkan dengan melakukan hal-hal berikut ini: (1) meningkatkan tingkat

kesadaran pengikut tentang arti penting dan nilai tujuan yang ditentukan dan

diiinginkan, (2) meminta para pengikut untuk mengutamakan kepentingan tim atau

organisasi di atas kepentingan pribadi, dan (3) menggerakkan pengikut untuk

menuju kebutuhan pada level yang lebih tinggi.12 Dan inti kepemimpinan profetik

di perguruan tinggi adalah mampu membawa kesejahteraan di dunia dan

mengantarkan surga para bawahan dengan didasari keimanan dan ketakwaan

kepada Allah SWT.

2. Kurikulum di lembaga Pendidikan tinggi

Kurikulum Pendidikan Islam bersumber dari tujuan Pendidikan Islam.

Menurut Arifin ujuan Pendidikan Islam adalah merealisasi manusia muslim yang

beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya

kepada sang khalik dengan sikap dan kepribadian bulat menyerahkan diri kepada-

Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaan-Nya.13

Rumusan tujuan Pendidikan Islam sangatlah relevan dengan rumusan tujuan

12
Khoiron Rosyadi, Pendidikan…… hal 384.
13
Ibid, Hal 72.

10
Pendidikan Nasional. Rumusan tujuan Pendidikan nasional adalah mencerdaskan

kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yakni

manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, berbudi pekerti

luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani,

kepribadian yang mantab dan mandiri dan mempunyai rasa tanggung jawab

kemasyarakat dan kebangsaan ( UU no 2 tahun 1989).

Bertitik tolak dengan diterbitkannya Kerangka Kualifikasi Nasional

Indonesia (KKNI) sebagai Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012, dan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, maka mendorong semua

perguruan tinggi untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut. KKNI

merupakan pernyataan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang penjenjangan

kualifikasinya didasarkan pada tingkat kemampuan yang dinyatakan dalam

rumusan capaian pembelajaran (learning outcomes). Perguruan tinggi sebagai

penghasil sumber daya manusia terdidik perlu mengukur lulusannya, apakah

lulusan yang dihasilkan memiliki “kemampuan” setara dengan “capaian

pembelajaran” yang telah dirumuskan dalam jenjang kualifikasi KKNI. Deskripsi

capaian pembelajaran dalam KKNI, mengandung empat unsur, yaitu (1) unsur

sikap dan tata nilai, (2) unsur kemampuan kerja, (3) unsur penguasaan keilmuan,

(4) dan unsur kewenangan dan tanggung jawab.14 Dari capaian pembelajaran dalam

KKNI terlihat dengan jelas memenuhi akan fungsi Pendidikan profetik di lembaga

14
Muliwan. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hal 49.

11
tinggi dimana unsur 1 dan 2 memenuhi fungsi humanisasi, unsur ke 3 memenuhi

fungsi fungsi transendensi, dan unsur ke 4 memenuhi fungsi liberasi.

3. Pendidik di lembaga Pendidikan tinggi

Pendidik di lembaga tinggi disebut dosen, dalam pemenuhan tugasnya

setiap hari pekerjaan dosen diwujudkan dalam bentuk tri darma perguruan tinggi.

Yang mana tugas dosen di perguruan tinggi adalah mengajar, mengabdi di

masyarakat, dan penelitian. (1) Melaksanakan pengajaran (fungsi humanisme),

dalam melaksanakan kegiatan mengajar mahasiswa dosen dituntut minimal 12 sks.

Tentu dosen mengajar pada mahasiswa sesuai dengan bidang keilmuannya. Selain

itu dosen juga ditugasi untuk membimbing mahasiswa dalam membuat karya

ilmiah, menjadi wali studi mahasiswa, berperan aktif dalam kegiatan seperti KKN,

PPl, studi banding dll. (2) Pengabdian masyarakat (fungsi transenden), dosen

dituntut untuk melaksanakan pengabdian pada masyarakat sesuai apa yang ia

mampu perbuat demi kemajuan suatu masyarakat. Berkaitan dengan bidang

keilmuannya dosen diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan positif

pada masyarakat tempat ia mengabdikan dirinya. (3) Penelitian (fungsi liberasi),

disamping mengajar dan mengabdi di masyarakat dosen juga berkewajiban untuk

melaksanakan penelitian. Penelitian yang dimaksudkan bertujuan agar dosen

mampu menyelesaikan dan mampu memberi jalan keluar atas permasalahan yang

ada di sekitarnya. Dari pelaksanaan penelitian inilah dosen juga diharapkan mampu

melahirkan teori-teori baru yang akan menjadi pijakan dasar keilmuan.

Karena tugas dosen begitu luas; mengajar mahasiswa, melaksanakan

pengabdian demi kemajuan masyarakat, dan melaksanakan penelitian maka sikap-

12
sikap profetik seperti sidiq, amanah, fatonah, dan tabligh harus terjaga dan tertular

dengan orang yang bersentuhan langsung dengannya.

4. Peserta didik di lembaga Pendidikan tinggi

Mahasiswa adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh Pendidikan

tinggi disebuah perguruan tinggi yang terdiri atas sekolah tinggi, akademi, institute,

dan yang paling umum adalah universitas. Mahasiswa yang terdaftar aktif di

perguruan tinggi yang bersangkutan tentu saja ada ikatan baik untuk mentaati tata

tertib maupun ketentuan-ketentuan lainnya. Dalam istilah umum “maha” berarti

adalah strata tertinggi dalam ukuran, maka bisa dipastikan mahasiswa adalah murid

yang belajar menuntut ilmu di perguruan tinggi sebagai puncak dalam pendidikan.

Mahasiswa tidak saja mencari ilmu, lebih dari mencari, dalam studinya

harus menuntut ilmu. Batas mencari ilmu seakan-akan hanya berada di kelas, tidak

berhenti dari situ mahasiswa harus proaktif mencari sendiri dari berbagai

media/sumber yang ada. Keaktifan dan keagresifan dalam menuntut ilmu inilah

harus menuju pengetahuan pada Tuhan dan kesadaran akan mendapat ridha Allah

(transenden), mendapat dan ahli dengan ketrampilan yang menjadi keahlian sesuai

bidang keilmuannya (liberasi), dan pemahaman akan sikap yang tercermin dari

akhlakul karimah mahasiswa (humanisasi).

4. Pembelajaran di lembaga Pendidikan tinggi

Pembelajaran di perguruan tinggi tentu berbeda dengan system

pembelajaran di tingkat dasar dan menengah. Di tingkat menengah peserta didik

masih disuapi oleh pendidik dengan teori-teori dan praktik disiplin keilmuan, selain

itu untuk pelaksanaan Pendidikan sikap (afektif) masih ada proses pengkondisian;

13
artinya masih ada peraturan/tekanan yang mengikat pada siswa untuk berakhlakul

karimah. Hal tersebut sudah berbeda dengan kondisi di perguruan tinggi,

pembelajaran yang dilaksanakan selain transfer ilmu pengetahuan dari dosen ke

mahasiswa; mahasiswa dituntut untuk mencari secara aktif bahan/materi keilmuan

yang mereka butuhkan (transenden & liberasi). Pendidikan akhlak pun di perguruan

tinggi pada tahap penyadaran akan pentingnya sikap perilaku dari bagian yang

melekat pada individu sendiri (humanisasi).

Aspek yang menarik untuk dicermati dalam proses pembelajaran di

perguruan tinggi adalah banyaknya porsi segi cognitive dan psikomotorik

dibanding afektif. Segi cognitive, hal ini bisa dilihat ketika mahasiswa

mendapatkan serangkaian perkuliahan pada program studinya maka ia akan

memperoleh kajian bidang ilmu yang ia tuju. Dan dari segi motoric, jelas bahwa

mahasiswa harus menguasai ketrampilan dari bidang keilmuan sesuai dengan

program studinya. Misalnya; mahasiswa yang kuliah di prodi PAI maka ia akan

mendapatkan/ahli keilmuan PAI, dan selanjutnya menjadi trampil dalam menjadi

sosok pengajat mata pelajaran PAI di sekolah formal.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pendidikan profetik pada hakekatnya merupakan pross memanusiakan

manusia (humanizing human being). Karena itu, semua treatment yang ada dalam

praktek Pendidikan tinggi selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk

Tuhan dengan fitrah, sebagai mahkluk individu yang khas, dan sebagai mahluk

sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk. Pemahaman yang utuh

tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan.

Implementasi profetik Pendidikan tinggi harus dimaknai sebagai upaya

untuk membantu manusia mencapai realitas diri dengan mengoptimalkan semua

potensi kemanusiaannya. Dengan pengertian ini, semua proses yang menuju pada

terwujudnya optimalisasi potensi manusia, tanpa memandang tempat dan waktu,

dikategorikan sebagai kegiatan pendidikan.

B. saran
Demikian uraian singkat yang telah kami paparkan, melalui makalah ini

penulis menjelaskan dan menguraikan tentang “Manajemen Pendidikan Islam

berbasis profetik” dengan harapan hal tersebut dapat bermanfaat bagi diri penulis

dan bagi pembaca sebagai bahan kajian tentang keilmuan Pendidikan berbasis

profetik.

Tentu dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, kami

mohon kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzakiey, Hamdani Bakran. 2007. Prophetic Psychology; Psikologi Kenabian,


Menghidupkan Potensi dan Kepribadian Kenabian dalam Diri.
Yogyakarta: Pustaka Al Furqan.

Arif, Mahmud. 2008. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS


Yogyakarta.

Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Islam (Kajian Teoritis dan pemikiran Tokoh).
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Kuntowijoyo. 2007. Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, metodologi, dan etika.


Yogyakarta: Tiara Wacana.

_________________. 1994. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi. Bandung:


Mizan, cet.IV.

M. Arfan Mu‟ammar, Abdul Wahid Hasan, dkk. 2013.Studi Islam Perspektif


Insider/Outsider. Jogjakarta: IRCiSoD.

Muliwan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Muntahibin Nafis, Muhammad. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras.

Nur Abdul Hafizh Suawid, Muhammad. 2009. Prophetic Parenting. Yogyakarta:


Pro-U Media.

Roqib, Moh. 2011. Prophetic Education; Kontekstualisasi Filsafat dan Budaya


Profetik dalam Pendidikan Islam. Purwokerto: STAIN Press.

Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Shofan, Moh. 2004. Pendidikan Berparadigma Profetik. Yogyakarta: Penerbit


IRCiSoD.

16

Anda mungkin juga menyukai