Anda di halaman 1dari 18

Nama : Made Ayu Malina Dewi

NIM : 1913041005
KELAS: II A/ Pendidikan Biologi
WAWADAN KEPENDIDIKAN

1. Berdasarkan sifat hakekat manusia, antara guru dan siswa memiliki sifat yang sama. Manusia
adalah kesatuan badani-rohani, hidup dalam ruang dan waktu,sadar akan diri dan
lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, dan tujuan hidup. Manusia
memiliki berbagai potensi, yaitu potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan karya. Dalam eksistensinya, manusia
memiliki berbagai aspek kehidupan individualitas, sosialitas, kultural, moralitas, dan
religius. Semua itu, mengimplikasikan interaksi atau komunikasi, historisitas, dan dinamika.
Hakikat manusia adalah makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki sifat rasional
yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. Manusia yang mampu
mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan
mampu menentukan nasibnya.

2. Pandangan atau aliran-aliran dari beberapa aliran filsafat di antaranya adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme, progresivisme, dan Eksistensialisme :

 IDEALISME

Pengertian
Idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran, dan isme yang berarti
paham atau pendapat. Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang
menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide,
pikiran atau jiwa. atau Biasa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa
kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiris, melainkan
dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan.
Untuk membuktikan pengamatan itu perlu diadakan kajian yang mendalam, baik tentang
subyek maupun tentang obyek. Ungkapan “buku itu mahal” menimbulkan dua pengertian
dan tinjauan. Tinjauan yang pertama segi obyek (buku); buku yang manakah yang mahal
itu?, karena tidak semua buku mahal. Tinjauan yang kedua, dari segi subyek, yaitu orang
yang mengungkapkan buku mahal itu siapa, karena tidak semua buku mempunyai konsep
yang sama tentang pengertian mahal.
Oleh karena itu, idealisme dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan metode pengamatannya
yaitu idealisme subyektif, idealisme obyektif dan idealisme mutlak, sesuai dengan tokoh-
tokohnya.
Tokoh dan Pemikirannya

1. Johann Gottlieb Fichte (1762-1814)

Fichte adalah tokoh idealisme subyektif, yaitu pandangan bahwa sumber


pengenalan/pengetahuan bukanlah rasio teoritis atau praktis, seperti kata Immanuel Kant,
melainkan pada aktivitas ego. Pemikirannya didasarkan pada konsep ego mutlak; yang
menemukan dan meneruskan pengertia-pengertian tentang obyek; ego tidak hanya sebagai
“penemu”, melainkan sebagai yang “menciptakan benda-benda” (obyek). Dengan demikian
peran manusia sebagai subyek sangat dominan di dalam menggagaskan sesuatu.
 
2. Friedrich Wilhelm Josept Von Schelling (1775-1854)
Menurut para ahli, pemikiran Friedrich Wilhelm Von Schelling agak sulit diformulasikan
sistem pemikiran Schelihelling, karena pemikirannya mengalami proses evolusi. Evolusi
pemikirannya dapat dikelompokkan menjadi empat fase, yaitu periode filsafat alam, priode
filsafat sistem idealistis, priode sinkritisme dan periode teosopi.
Schellling adalah tokoh idealisme obyektif sebagai kebalikan dari idealisme subyektif.
Menurut Schelling, kebenaran gambaran tentang dunia tidaklah ditentukan oleh subyek
(ego), melainkan oleh obyek pengamatan, yaitu bagaimanna obyek itu menampilkan dirinya,
atau bagaimana obyek menyadarkan subyek. Apabila aku (ego) menentukan kehendak, hal
itu diharuskan oleh kemestian yang mendahului kehendak, yaitu seluruh obyek pengamatan
kecuali sebagai pemberi kehendak, juga sebagai pemberi arah bahkan mampu merubah
kehendak. Oleh karena itu, obyeklah yang menentukan subyek (ego), bukan sebaliknya.
Semboyan yang paling populer ialah: “Wir haben eine altera offenbarung als jade
geschriebence(Kita mempunyai wahyu yang lebih tua dari yang tertulis, yaitu
alam)”. Melalui semboyan ini schelling bersiteguh bahwa alamlah sumber pengetahuan,
kecuali yang paling tua, sekaligus sebagai yang akurat.
3. Hegel (1770-1831)
Hegel adalah tokoh idealisme mutlak, yang sangat berperan bagi penyempurnaan idealisme.
Hegel berhasil menampilkan idealisme yang terpadu setelah dikoyak-koyak oleh Fichte dan
Schelling. Apabila Fichte bersifat subyektif dan Schelling bersifat obyektif, maka Hegel
melihat secara keseluruhan (totalitas).
Hegel mengatakan : “Das wahre das ganze (Yang benar itu yang menyeluruh). Untuk itu,
Hegel tidak memihak kepada salah satu kecendrungan. Menurutnya pengenalan tidak
mungkin ditentukan oleh subyek dan obyek secara terpisah, tetapi harus saling terkait.
Subyek (manusia) hanya mengenal gejala-gejala (fenomeno-fenomenon) sejauh benda itu
diamati. Demikian juga benda-benda (obyek) an sich tidak akan mampu mengenalkan
dirinya, maka perlu pemanduan di antara subyek dan obyek.
Membuktikan kebenarannya yang mutlak itu. Hegel menyusun alur pikir yang disebut
dengan dialektika, yaitu tesis, anti tesis dan sintesis, misalnya “ada” (tesis), “tiada” (anti-
tesisi) dan “menjadi” (sintesis). Terjadinya dialektika konsep harus direlevansikan dengan
dialektika tersebut. Konsep dialektis ini kemudian sangan berperan di dalam filsafat Karl
Marx.
Demikian gambaran umum mengenai aliran idealisme. Namun jika idealisme dapat dikaitkan
dengan kejian etika, maka idealisme dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Idealisme Rasionalistik

yaitu yang mengacu idealdealisme pada intensitas penggunaan rancang bangun budi untuk
mengetengahkan norma-norma, yaitu yang baik dan yang buruk. Upaya ini dapat dilihatpada
aliran stoa, yang selalu mementingkan moral dalam kehidupan dengan menselaraskan akal
dan perasaan. Semboyannya ialah: “kita harus selalu hidup sevcxsuai dengan alam”. Alam
yang dimaksud adalah akal budi manusia, sehingga semboyan ini bermakna: “hiduplah sesuai
dengan akal budi”.
2. Idealisme Estetik
yaitu idealisme yang didasarkan pada upaya penyelarasan di antara manusia sebagai subyek
dan keindihan sebagai obyek. Idealisme bentuk ini mencoba menyingkap keselarasan dalam
dunia, dalam bentuk individualisme, universalitas dan totalitas. Individualitas adalah kunci
awal bagi pemahaman realitas seni, tetapi tidak mengarah pada individualisme estetik. Untuk
itu harus diarahkan pada universalitas. Dengan kata lain, manusia sebagi mikro kosmos harus
mencerminkan dirinya pada makro kosmos. Apabila hal ini terejatahkan, maka manusia akan
mengarah pada totalitas, kesatuan pandang tentang dunia manusia dan keindahan.
3. Idelisme Etik
yaitu pandangan bahwa manusia pada hakikatnya telah memiliki kesadaran etik dan
sekaligus berupaya mengajarkannya. Immanuel Kant, misalnya, dengan ajaran tentang
impramatif kategorik, merumuskan bahwa sesungguhnya terdapat dalam diri manusia amar
wajib tanpa syarat, sebagai landasan dari tingkah laku. Kelanjutan idealisme ini muncul
aliran lain yang disebut eudeonisme, yang berarti roh pengawal yang baik, yaitu pandangan
bahwa manusia itu telah terkawal untuk selalu berbuat secara natural.

 RASIONALISME

Pengertian
Kata rasionalisme terdiri dari dua kata yaitu “rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan
“isme” yang berarti paham atau pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat
bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.” Oleh karena itu,
rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran, juga
sekaligus sebagai sumber dari akal manusia.
Tokoh dan pemikirnya
Rene Descartes (1596-1650)
 
Rene Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern. Semboyan dari aliran ini adalah
ungkapan Descastes yang berbunyi: cagito ergo sun/ i think there fore i’m (saya berfikir
maka saya ada). Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai
berikut :

1. Eksistensi manusia yang paling sempurna adalah rasionya, sehingga rasio berperan
sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherenensi berfikir antara berpikir dan berada.
Artinya manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
2. Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya
yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci.
3. Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan
kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.

Di dalam perkembangan selanjutnya, rasionalisme terbagi menjadi 2 kelompok. Pertama,


rasionalisme ekstrim, yang berpendapat bahwa kebenaran hanya bersumber dari rasio
manusia. Kedua, rasionalisme moderat, yang berpendapat bahwa kebenaran, selain
bersumber dari rasio, juga dari sumber lain seperti panca indra, wahyu dan lain-lain. Dalam
perkembangan pemikiran kefilsafatan, aliran terahir paling populer, karena metodenya yang
komprehensif, tidak hanya digunakan di dalam menganalisis filsafat melainkan juga terhadap
agama. Tampilnya teologi (ilmu kalam), misalnya, adalah sebagai upaya rasionalisasi ajaran-
ajaran agama islam.
Spinoza
Berbeda dengan Descartes, sesuai dengan semboyannya”deus sen natural” (Tuhan atau
alam), Spinoza adalah seorang rasionalis yang mistik. Pemikiran mistiknya ditandai dengan
konsep hubungan Tuhan-manusiannya yang pantesistik. Menurut Spinoza, seluruh kenyataan
merupakan kesatuan, dan kesatuan sebagai satu-satunya substansi sama dengan Tuhan atau
alam. Segala sesuatu termuat dalam Tuhan-alam. Tuhan sama dengan aturan kosmos,
kehendak Tuhan berati sama dengan kehendak alam, sehingga hukum-hukum alam sama
dengan kehendak Tuhan.

 PRAGTISME

Pengertian
Pragtisme berasal dari kata progma yang berarti manfaat. Pragtisme adalah sikap, metode dan
filsafat yang memahami akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Atau, seperti yang dikatakan William James, suatu sikap
memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang
dianggap sangat penting, serta melihat ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah-
buah dan fakta-fakta.
Pragtisme merupakan filsafat khas Amerika karena aliran ini muncul dari kehidupan dan
pengalaman Amerika. Namun demikian, dalam bentuk yang praktis (etika) paham yang
sejalan telah muncul di Yunani dalam bentuk Utilitarisme, yaitu paham bahwa ukuran baik
dan buruk ditentukan oleh ada tidaknya manfaat dari perbuatan tersebut.

Tokoh Dan Pemikirnya

1. William James (1842-1910)

Sebagai pendiri pragtisme, pemikiran terpentingnya ialah mengenai makna pragtisme.


Seperti yang dijelaskan di atas bahwa pragtisme merupakan filsafat ala Amerika yang berciri
pragmatis. Orang Amerika tidak puas dengan filsafat teoritis yang bertanya “apa itu”, tetapi
memasuki filsafat pragtis yang bertanya “apa gunanya”. Sistematisasi dari jenis kedua inilah
yang melahirkan filsafat pragmatisme. Oleh karena itu, dikatakan dangan rasionalisme dan
empirisme, pragmatisme berada di antara dua aliran tersebut. Dalam kaitan ini William
James mengatakan:
“aku menyajikan aliran pragtisme yang namanya aneh, sebagai suatu fiilsafat yang dapat
memuaskan dua macam kebutuhan. Pragtisme dapat tetap bersifat religius seperti
rasionalisme, tetapi pada waktu yang sama, ia sangat memperhatikan fakta sebagaimana
aliran Empirisme”.
Dengan demikian, ukuran segala sesuatu ialah manfaat yang praktis. Pandangan ini
mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk agama dan moral. Dalam kaitan dengan
agama, James tidak bertanya “kebenaran agama” yang ia tanya ialah “apakah hasilnya agama
menjadi pedoman hidup saya”. Jadi, manusia bebas memilih antara percaya dan tidak
percaya, sesuai dengan pertimbangan pragtismanya. Begitu juga dalam bidang moral, ukuran
baik dan buruk ditentukan oleh ada manfaat dari suatu perbuatan; jika dipandang baik, dan
jika dipandang buruk.
2. John Dewey (1859-1952)
Sebagai penerus James, pemikiran terpenting John Dewey ialah mengenai kemerdekaan,
kemauan manusia, dan tata nilai kehidupan. Ketiga pemikiran tersebut tertuang dalam
ungkapan John Dewey berikut:
“terdapat hal-hal yang baik secara konkrit dan eksperimental nilai-nilai seni dalam segala
bentuknya, nilai-nilai pengetahuan, nilai usaha serta nilai istirahat setelah kerja keras,
nilai-nilai pengetahuan, nilai usaha serta nilai istirahat setelah kerja keras, nilai pendidikan
dan masa persaudaraan dan cinta, dan nilai pertumbuhan jiwa dan badan. Hal yang baik
tersebut ada, tetapi hal itu merupakan benih-benih. Banyak orang yang tidak dapat
berkesempatan untuk berkecimpung didalamnya, terdapat kekuatan-kekuatan yang
mengancam dan mengisap hal-hal yang baik untuk tersiarnya. Konsepsi yang jelas dan
mendalam tentang persatuan makna-makna ideal dengan kondisi-kondisi nyata, dapat
membangkitkan emosi yang kuat”.
Ungkapan di atas mengisyaratkan betapa pola pikir Dewey demikian pragmatis, sehingga
memandang bahwa seluruh sistematik kehidupan haruslah membawa konsekuensi fragmatis
bagi kehidupan manusia. Meskipun pragtisme mendapat kecaman, khususnya dari kalangan
agamawan, namun berperan penting dalam kemajuan masyarakat Amerika. Pola pikir
pragmatisme akan mendorong sebuah masyarakat untuk bersikap dan berprilaku pragmatis
bagi diri dan masyarakatnya, dua karakter yang fungsional bagi kemajuan, seperti halnya
masyarakat Amerika. Bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, sikap ini tentu dapat
dijadikan sebagai pola sikap di dalam kehidupan, bahwa suatu perbuatan haruslah fungsional
bagi kemajuan masyarakat dan bangsa, dan karna itu, sikap dan tindan yang tidak mengarah
ke sana harus disampingkan.
KESIMPULAN :
Idealisme merupakan paham yang menjelaskan bahwa kebenaran/pengetahuan sesungguhnya
bukan bersumber dari rasio atau empiris, melainkan dari gambaran manusia tentang suatu
pengamatan. Sedangkan rasionaliseme ialah aliran rasional yang sangat mementingkan rasio
dalam memutuskan atau meneyelesaikan masalah atau dengan kata lain rasio dipandang
untuk memeperoleh pengetahuan atau kebenaran, juga sekaligus sebagai sumber pengetahuan
atau kenbenaran.
Pragmatisme adalah paham yang di antara dua aliran tersebut Idealisme dan Pragmatisme.
Pragtisme adalah sikap, metode dan filsafat yang memahami akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.
 EKSISTENSIALISME
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme istilah
eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah
eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada dengan cara
berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu
yang memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap
eksistensi memiliki hubungan dengan yag lain, dan berada di samping yang lain. Secara
lengkap eksistensi memiliki arti bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari
diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada.
Menurut Heidegger (Sudarsono, 1993:345-346), persoalan tentang “berada” ini hanya
dapat dijawab melalui ontology, artinya : jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungan itu. Supaya usaha ini berhasil harus dipergunakan metode
fenomenologis. Demikian yang penting ialah menemukan arti “berada” itu. Guna
menentukan arti berada itu manusia harus diselidiki dalam wujudnya yang biasa tampak
sehari-hari. Heidegger bermaksud mengetahui keadan manusia sebelum keadaan tu
dipikirkan secara ilmiah, yaitu dalam perwujudannya yang belum ditafsirkan. Hasil usahanya
ini ialah bahwa ia menemukan manusia yang di dalam dunia. Oleh karena manusia berada di
dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda di sekitarnya, ia dapat
bertemu dengan benda-benda itu dan juga dengan manusia-manusia yang lain, dapat bergaul
dan berkomunikasi dengan semuanya itu.
J.P Sartre menyatakan eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya.
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda
dari tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya
mereka punya eksistensi. Di dalam filsafat idealism, wujud nyata (existence) dianggap
mengikuti hakikat (essence). Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu
menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa manusia
itu eksistensinya mendahului esensinya. Dan formula ini merupakan prinsip utama dan
pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Fuad, 2010:180-181).
Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 2007:93-94) filsafat pendidikan eksistensialis
berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia
itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap
karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh
keputusan dan komitmennya sendiri.
Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu melalui pengalaman. Hal itu bergantung
pada tingkat kesadaran masing-masing untuk mencari pengalaman. Kebenaran menurut
mereka adalah relatif bergantung kepada keputusan mereka masing-masing. Begitu pula
nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu. Orang tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai-
nilai sosial agar eksistensinya tidak hilang.
Ada beberapa pandangan penganut filsafat ini sehubungan dengan eksistensi, yakni:
a. Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi, manusialah
sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
b. Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif,
merencanakan,berbuat dan menjadi.
c. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta realistis. Namun
demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama sesama manusia (Edward dan
Yusnadi, 2015: 28 ).
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu,
memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan
diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Materi
pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri,
baik dalam bekerja sendiri, maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada
kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman
sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis
dengan teknik mengajar tidak langsung (Pidarta, 2007:94).
Eksistensi manusia sebagai makhluk hidup di muka bumi ini memiliki hakikat-
hakikat sebagai berikut ini:
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri
(self-awarness). Karena itu, manusia adalah subjek yang menyadari keberadaannya, ia
mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya (objek), selain
itu manusia bukan saja mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus
sadar tentang pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaan dengan alam
bahwa konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya.
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam semesta, yaitu
Evolusionisme dan Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan
karena diciptakan oleh Sang Pencipta atau Prima Causa, melainkan ada dengan sendirinya,
alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya,
Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu
Crative Cause atau Personality, yang kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan yang berbeda
pula tentang asal-usul manusia. Menurut Evolusionisme beradanya manusia di alam semesta
adalah sebagai hasil evolusi. Sebaliknya Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya
manusia di alam semesta sebagai makluk (ciptaan) Tuhan.
Oleh karena itu manusia berkedudukan sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa maka
dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri adanya Fenomena
Kemakhlukan. Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa pengakuan atas kenyataan
adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia merasakan
dirinya begitu kecil dan rendah di hadapan Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi.
Manusia mengakui keterbatasan dan ketidakberdayaannya dibanding Tuhannya yang Maha
Kuasa dan Maha Perkasa. Manusia serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu.
Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang
TuhanNya, namun ia pun tahu begitu pedih siksaNya.
Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu muncul pula adanya
harapan yang mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil tindakan dalam hidupnya.
Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan hidupnya, menimbulkan sikap
positif dan familiaritas akan masa depannya.

2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh


Terdapat empat paham mengenai struktur metafisik manusia, yaitu Materialisme,
Idealisme, Dualisme, dan paham yang menyatakan bahwa manusia adalah kesatuan badan-
roh.
  Materialisme : alam semesta atau realitas ini tiada lain adalah serba materi, zat, atau benda.
Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu
sendiri. Yang esensial dari manusia adalah badanya, bukan jiwa atau rohnya. Manusia adalah
apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala hal
yang bersifat kejiwaan, spiritual atau rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai
resonansi saja dari fungsinya badan atau organ tubuh.
  Idealisme : bertolak belakang dengan pandangan di atas, menurut penganut Idealisme bahwa
esensi diri manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya. Dalam hubungannya
dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan
karena itu badan mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang
menggerakkan semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
  Dualisme : dari dua pandangan diatas tampak bertolak belakang. Pandangan pertama bersifat
monis-materialis, sedangkan kedua bersifat monis-spiritualis. Menurut Descartes esensi diri
manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Oleh karena manusia terdiri atas
dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan
salaing mempengaruhi, namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu pararel dengan
peristiwa badaniah atau sebaliknya.
Sebagai kesatuan jasmani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan
diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai
tujuan. Selain itu, manusia potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk
berkarya. Adapaun dalam eksitensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas,
moralitas, keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi
atau berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
3. Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara aspek jasmani
dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan hanya roh. Sebagai individu,
setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga bersifat unik. Setiap manusia mempunyai
dunianya sendiri, tujuan hidupnya sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya
menunjukkan eksistensinya, ingin menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk
menjadi seseorang tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-
tengah segala yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang
sebagai objek.

4. Manusia sebagai Makhluk Sosial


Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup sendirian, tak
mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya sendiri. Manusia hidup
dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu, setiap individu mempunyai dunia dan
tujuan hidupnya masing-masing, mereka juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup
bersama dengan sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi
makhluk sosial  atau makhluk bermasyarakat.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya hubungan pengaruh
timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya situasi hubungan antara
individu dengan sesamanya itu tidak merupakan hubungan antara subjek dengan objek,
melainkan subjek dengan subjek. Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal
balik antara individu dengan sesamanya dalam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-
masing maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada
setiap manusia.
5.        Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus membudayakan dirinya.
Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri dari ikatan dorongan nalurinya
serta mampu menguasai alam sekitarnysa dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini
berbeda dengan binatang sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah dengan
manusia dia tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam
sekitarnya.
Istilah kebudayaan berasal dari kata budh berasal dari bahasa Sansekerta. Dari kata
budh ini kemudian dibentuk kata budhayah yang artinya bangun atau sadar. Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah culture. 
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudaayaan, hidup
berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar manusia, bahkan
hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Sejalan dengan ini Ernst Cassirer
menegaskan bahwa “ manusia tidak menjadi manusia karena sebuah  faktor di dalam
dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu
pekerjaannya dan kebudayaannnya”.
Kebudayaan memiliki fungsi bagi kemungkinan eksistensinya manusia, namun
demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya, kebudayaan pun
dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam eksistensi manusia. Kodrat
dinamika hidup manusia mengimplikasikan adanya perubahan dan pembaharuan
eksistensinya. Selain itu, mengingat adanya dampak kebudayaan terhadap manusia,
masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di antara dua ralasi kecenderungan. Di satu
pihak ada yang mau melestarikan bentuk-bentuk lama (tradisi), sedang yang lain terdorong
untuk menciptakan hal-hal baru (inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara
tradisi dan inovasi.
6.      Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan kemampuan
untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya potensi untuk berbuat
baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant,
manusia memiliki aspek kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang
memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebagai makhluk otonom atau
memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus
dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma moral
dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan
memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau
tuntutan pertanggung jawaban atas perbuatannya.
7. Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial eksistensi manusia
yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg
diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan
pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agam ialah :
“satu sistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar
manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu,
dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manuisa dengan manusia dan
alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud di
atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu melalui utusan-utusanNya,
dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk dipikirkan oleh manusia agar
(sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya. Manusia hidup beragama kerana
agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan
akan tampak
dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-maswing individu. Dalam keberagamaan
ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang
dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula
apa yang menjadi tujuan hidupnya.

8.  Manusia sebagai Makhluk Berpendidikan


Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia atau upaya
membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Sebab manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia mampu merealisasikan hakikatnya
secara total maka pendidikan hendaknya merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar
dengan bertitik tolak pada asumsi tentang hakikat manusia.
Hidup bagi manusia bukan sekedar hidup sebagaimana hidupnya tumbuhan atau
hewan, melainkan hidup sebagai manusia. Hak hidup bagi manusia mengimplikasikan hak
untuk mendapatkan pendidikan. Sebab hak asasi manusia diinjak-injak oleh penguasa
pemerintahan monarki dan absolutisme. Melalui pendidikan hak asasi diupayakan agar
diperoleh setiap individu.
Power, 1982 (Tim Pengajar, 2009: 92) menjelaskan penerapan filsafat pendidikan
eksistensialisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan seperti berikut ini :
1. Tujuan pendidikan
Pendidikan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komperhensif dalam semua bentuk
kehidupan.
2. Status peserta didik
Peserta didik adalah manusia yang rasional, bebas memilih dan bertanggung jawab atas
pilihannya. Membutuhkan komitmen akan pemenuhan tujuan pribadi.
3. Kurikulum
Kurikulum bersifat liberal, yakni memiliki kebebasan menmilih dan menentukan aturan-
aturan serta pegalaman belajar sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik dari
kehidupan mereka. Di sekolah dibina agar terbentukpada diri peserta didik rasa hormat
(respek), respek terhadap kebebasan bagi yang lain seperti dalam dirinya, karena itu
diajarkan pendidikan sosial.
4. Peranan guru
Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik, tidak jarang terjadi bahwa
mungkin suatu hari ini adalah guru, besok lusa mungkin mejadi peserta didik.
5. Metode
Yang diutamakan dalam praktik pembelajaran adalah pencapaian tujuan yakni mencapai
kebahagiaan dan kepribadian yang baik, sedangkan metode merupakan cara untuk mencapai
tujuan tersebut. Oleh karena itu, penggunaan metode tidak terlalu dipikirkan secara
mendalam.
Contoh pendidikan eksistensialisme yaitu adanya penerapan program ekstrakurikuler
di sekolah. Dalam program ini peserta didik bebas memilih apa yang menjadi kesenangan
dan bakat mereka tanpa adanya paksaan. Dari program ekstrakurikuler ini peserta didik dapat
menunjukkan prestasi dan eksistensinya.
 PROGRESIVISME
Filsafat pendidikan progresiv lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan dengan jiwa
bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang dinamis berjuang mencari hidup baru
di negeri seberang. Bagi mereka tidak da hidup yang tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi.
Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala
tindakan mereka diukur dari kegunaan praktisnya.
Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itu pun tidak pasti
pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu, artinya bila tujuan berubah maka alat pun
berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan progresivisme ini adalah John Dewey (Pidarta,
2007:92).
Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang terus menerus dalam
suatu arah positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu benar pada masa yang
akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan
masa kini, melainkan mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan masa datang.
Permasalahan hidup kini tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan
dating. Untuk itu, peserta didik harus diperlengkapi dengan strategi-strategi menghadapi
kehidupan masa dating dan pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi
permasalahan-permasalahn baru dalam kehidupan dan untuk menemukan kebenaran-
kebenaran yang relevan pada masa itu (Edward dan Yusnadi, 2015:28).
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme
dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive terhadap semua
tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya.
Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa
kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran
tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori. Progresivisme dinamakan environtalisme karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup ini mempengaruhi pembinaan kepribadian (Imam Muis, 2004).
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang
meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan.
Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian
dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri,
lingkungan, pengelaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan
mengaturnya.
penerapan filsafat pendidikan progresivisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan
seperti berikut ini :
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut aliran ini adalah harus memberikan keterampilan dan alat-alat
yang bermanfaat untuk berintraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan
secara terus menerus. Siswa diharapkan memiliki keterampilan pemecahan masalah yang
dapat digunakkan untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Pendidikan bertujuan agar siswa memilki kemampuan memecahkan berbagai masalah baru
dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial, atau dalam berinteraksi dengan
lingkungan sekitar yang berada dalam proses perubahan. Selain itu, pendidikan juga
bertujuan membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang demokratis yang
mampu mengemukakan pendapatnya sesuai minat yang dimilikinya melalui pengalamannya
Proses belajar mengajar terpusatkan pada siswa dalam prilaku dan disiplin diri. Tujuan
keseluruhan pendidikan sendiri adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja, bekerja secara
sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap
anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat dan pengalaman
sosial, dan memiliki pengalaman memecahkan masalah.
2. Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah (child-centered).
Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran yang berpangkal
pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik
tolak bagi pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum progresivisme
adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah kurikulum
yang berpusat pada pengalaman.
Kurikulum disusun dengan pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman
sosial, selain sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan dalam pengalaman-
pengalaman siswa dan dalam pemecahan masalah serta dalam suatu kegiatan kelompok.
Sekolah dapat memberi jaminan kepada para siswanya selama belajar, yaitu dengan
membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan berkembang serta memberi
keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui
bimbingan guru dan tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila
bersifat fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan
untuk diperiksa setiap saat. Sikap progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan
fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai
kurikulum sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur.
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya
adalah :
a. Metode Pendidikan Aktif
Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang memungkinkan
berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan bakat
dan minatnya.
b. Metode Memonitor Kegiatan Belajar
Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-bantuan apabila
diperlukan yang sifatnya memperlancar berlangsung kegiatan belajar tersebut.
c. Metode Penelitian Ilmiah
Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang tertuju pada
penyusunan konsep.
d. Pemerintahan Pelajar
Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam kehidupan sekolah dalam
rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah.
e. Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan keluarga
dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi anak untuk
mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak.
f. Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratoriun dan
pengembangan gagasan baru pendidikan.
4. Belajar
Proses belajar terpusat pada anak dengan memberikan perhatian anak. Namun guru tidak
membiarkan anak mengikuti apa yang ia inginkan, karena anak belum cukup matang untuk
menentukan tujuan yang memadai. Anak membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru
dalam melaksanakan aktifitasnya. Anak didik adalah subjek aktif, bukan pasif, sekolah
adalah dunia kecil (miniatur) dari masyarakat besar, aktifitas ruang kelas difokuskan pada
praktik pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif
dan demokratis. Mereka menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered).
Mereka menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan
orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri,
mempunyai harapan-harapan dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.
5. Peranan Guru
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat, pembimbing,
pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat berbuat apa saja
(otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing karena guru mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang banyak di bidang anak didik maka secara otomatis semestinya ia akan
menjadi penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam memecahkan persoalan
yang dihadapi. Oleh karena itu peran utama pendidik adalah membantu peserta didik atau
murid bagaimana mereka harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik
akan berkembang menjadi orang dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang
berubah.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai pembimbing aktivitas
anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk belajar.
Sebagai Pembimbing ia tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan
memperhatikan hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi lebih
penting dari pada hanya memberi informasi. Pendidik atau guru dan anak didik atau murid
bekerja sama dalam mengembangkan program belajar dan dalam aktualisasi potensi anak
didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain yang dikehendaki. Dengan demikian dalam
teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten, luwes, dan cermat dalam mengamati apa
yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan mengevaluasi kepampuan-kemampuannya
dalam tataran praktis dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan
strategi pembelajaran ke depan. Dengan kata lain guru harus mempunyai kreatifitas dalam
mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan berkembang dan berfariasi sebanyak fariasi
peserta didik yang ia hadapi.
6. Peserta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam melakukan
pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk belajar dan
menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan
tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut
akan memberikan kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari berbagai
persoalan. Secara institusional sekolah harus memelihara dan manjamin kebebasan berpikir
dan berkreasi kepada para murid, sehingga mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri,
namun pendidik tetap berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan
kesalahan yang dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian
prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan
hanya menunggu seorang guru mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak
boleh ibarat “botol kosong” yang akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika demikian
yang terjadi maka proses belajar mengajar hanyalah berwujud transfer of knowledge dari
seorang guru kepada murid, dan ini tidak akan mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan
pendidikan gagal.
Prinsip-prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme menurut Kneller
(dalam Uyoh Sadullah, 2010:148) meliputi:
a. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
b. Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat
individu yang dijadikan sebagai motivasi belajar.
c. Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian subject
matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan bermanfaat bagi
kehidupan anak. Dalam memecahkan suatu masalah, anak dibawa berpikir melewati
beberapa tahapan yang disebut metode berpikir ilmiah, sebagai berikut:
 Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah
 Menganalisis masalh tersebut dan menduga atau menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin
 Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas masalah
 Memilih dan menganalisis hipotesis
 Mencoba, menguji, dan membuktikan
d. Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa
e. Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan.
f. Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan.
Contoh penerapan aliran filsafat progresivisme dapat terlihat dari perubahan sistem
mengajar di sekolah. Dulu sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan pembelajaran Teacher
Learning Centre (TLC), dimana guru menjadi pusat pembelajaran. Namun karena
perkembangan zaman dan kesadaran akan perlunya mempersiapkan peserta didik yang
mampu mengatasi masalah-masalah baru yang muncu di kehidupan yang akan datang maka
diterapkanlah Student Learning Centre (SLC), diman peserta didik memiliki kesempatan luas
untuk bereksplorasi, menemukan hal-hal baru, serta mengembangkan pendapat dan pikiran
mereka. Pada pembelajaran SLC, guru hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator
untuk peserta didik.
 PERENIALISME
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-Kristen.
Pada zaman itu tokoh-tokoh agam menguasai hamper semua bidang kemasyarakatan.
Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama muncul di sana-
sini. Ajaran agam itulah merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.
Ajaran Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih dahulu dari
perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato kebenaran hanya ada di
dunia ide, diluar itu adalah semu saja. Sebab iti Plato sering dimasukkan sebagai penganut
perenialis.
Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan Katolik dan
Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. Demikianlah kita lihat di Indonesia banyak
sekolah diwarnai keagaam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama di samping sekolah-
sekolah Katolik dan Kristen (Pidarta, 2007:91-92).
Perenialisme merupakan aliran yang menentang ajaran progesivisme. Perenialisme
mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan kecuali
kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perubahan
zaman kuno dan abad pertengahan. Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif
bukanlah hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja,
melainkan berpendapat bahwa nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan
kebudayaan abad kedua puluh. Prinsip-prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu terkandung
dalam sejarah.
Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme, sebagai berikut:
a. Pada hakekatnya manusia adalah sama dimanapun dan kapanpun ia berada, yang walau
lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan adalah
b. sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan, untuk memperbaiki
manusia sebagai manusia atau dengan kata lain pemuliaan manusia. Oleh karena itu maka
pendidikan harus sama bagi semua orang kapanpun dan dimanapun.
c. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yag paling tinggi. Karena itu manusia harus
menggunakan pikirannya untuk mengembangkan bawaannya sesuai dengan
tujuannya.manusia memiliki kebebasan namun harus belajar untuk mempertajam pikiran dan
dapat mengintrol hawa nafsunya. Kegagalan yang dialami peserta didik jangan dengan cepat
menyalahkan lingkungan yang kurang menguntungkan atau nuansa psikologis yang kurang
menyenangkan, namun guru hendaknya dapat mengatasinya dengan pendekatan intelektual
yang sama bagi semua peserta didik.
d. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan
abadi. Pengetahuan yang penting diberikan kepada peserta didik adalah mata pelajaran
pendidikan umum atau general education, bukan mata pelajaran yang hanya penting sesaat
atau menarik minat pada saat tertentu saja atau seketika. Mata pelajaran yang esensi adalah
pelajaran bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3 R’s; membaca, menulis,
dan menghitung.
e. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.
f. Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang menyangkut sejarah,
filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan ekonomi (Edward dan Yusnadi, 2015:30).
Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan pendidikan,
sebagai berikut ini:
a. Pendidikan
Perenialisme memandang education as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa
lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan
pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam
kebudayaan masa lampau yang dipandang kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal
diatas, perenialist percaya bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan
abadi. Robert M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran,
pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran
dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu
persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
b. Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah yang harus
menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya adalah membantu
peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar
mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
c. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui kebenaran dan
suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah
lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam
kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana
peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik dari warisan sosial budaya.
d. Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran. Materi
pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu materi pelajaran terutama
harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia.
Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai
“rational content” yang lebih besar.
e. Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist adalah
membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang tertuang
dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
f. Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan hanya sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru
juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar. Guru mengembangkan
potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-
muridnya karena ia seorang profesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.
Contoh aliran perenialisme pada pendidikan di Indonesia yaitu berdirinya sekolah-
sekolah yang berbasis agama seperti Muhammdiyah, Nahdatul Ulama, sekolah-sekolah
Kristen, dan Pondok Pesantren. Sekolah-sekolah seperti ini biasanya memiliki kurikulum
yang sedikit berbeda dan lebih mengedepankan ilmu agama karena agama dianggap sebagai
sesuatu yang memiliki nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup.

 ESENSIALISME
Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu
bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam pendidikan yang memprotes
pendidikan progresivisme. Penganut faham ini berpendapat bahwa betul-betul ada yang
esensial dari pengalaman peserta didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan.
Esensi (essence) ialah hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu
sebagai satuan yang konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi
apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu
yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal (Edward dan Yusnadi,
2015: 30-31).
Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-
abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran
secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul
pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin
yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu
membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini
merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld. Tekanan
pendidikanya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari
kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak
peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat
diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan
kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir
efektif. Pengajaran terpusat pada guru (Pidarta, 2007: 90-91).
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang
berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme
menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil.
Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif, Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan
belas (Imam Barnadib, 1987:29).
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley
adalah sebagai berikut :
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan pendidikan,
sebagai berikut ini:
a. Pendidikan
Bagi penganut Esensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan,
“Edukation as Cultural Conservation”. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab
kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan
adalah esensial yang mempu mengemban hari kini dan masa depan umat manusia.
b. Tujuan pendidikan
Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum.
c. Sekolah
Fungsi utama sekolah adalah memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi
penuntun penyesuaian orang (individu) kepada masyarakat. Sekolah yang baik adalah
sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang
mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat.
d. Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh seorang dewasa atau guru
sebagai wakil masyarakat, society centered. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat idealisme dan
realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (relisme) atau masyarakat dan yang
absolut (idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta
didik) hidup.
e. Metode
Dalam hal metode pendidikan Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah
mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental.
Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat
diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.
f. Peranan guru dan peserta didik
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau
orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis
mampu melaksanakan perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme
belajar, yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan
oleh yang absolut. Sedangkan menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap
masyarakat dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan
diteruskan kepada angkatan berikutnya (Dinn Wahyudin, 2010:4.20-4.22).

Anda mungkin juga menyukai