NIM : 1913041005
KELAS: II A/ Pendidikan Biologi
WAWADAN KEPENDIDIKAN
1. Berdasarkan sifat hakekat manusia, antara guru dan siswa memiliki sifat yang sama. Manusia
adalah kesatuan badani-rohani, hidup dalam ruang dan waktu,sadar akan diri dan
lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, dan tujuan hidup. Manusia
memiliki berbagai potensi, yaitu potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbuat baik, cipta, rasa, karsa, dan karya. Dalam eksistensinya, manusia
memiliki berbagai aspek kehidupan individualitas, sosialitas, kultural, moralitas, dan
religius. Semua itu, mengimplikasikan interaksi atau komunikasi, historisitas, dan dinamika.
Hakikat manusia adalah makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan
hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Individu yang memiliki sifat rasional
yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial. Manusia yang mampu
mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan
mampu menentukan nasibnya.
2. Pandangan atau aliran-aliran dari beberapa aliran filsafat di antaranya adalah Idealisme,
Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme, progresivisme, dan Eksistensialisme :
IDEALISME
Pengertian
Idealisme berasal dari kata idea yang berarti gambaran atau pemikiran, dan isme yang berarti
paham atau pendapat. Idealisme adalah suatu pandangan dunia atau metafisika yang
menyatakan bahwa realitas dasar terdiri atas, atau sangat erat hubungannya dengan ide,
pikiran atau jiwa. atau Biasa disebut dengan aliran filsafat yang menjelaskan bahwa
kebenaran/pengetahuan sesungguhnya bukan bersumber dari rasio atau empiris, melainkan
dari gambaran manusia tentang suatu pengamatan.
Untuk membuktikan pengamatan itu perlu diadakan kajian yang mendalam, baik tentang
subyek maupun tentang obyek. Ungkapan “buku itu mahal” menimbulkan dua pengertian
dan tinjauan. Tinjauan yang pertama segi obyek (buku); buku yang manakah yang mahal
itu?, karena tidak semua buku mahal. Tinjauan yang kedua, dari segi subyek, yaitu orang
yang mengungkapkan buku mahal itu siapa, karena tidak semua buku mempunyai konsep
yang sama tentang pengertian mahal.
Oleh karena itu, idealisme dibagi menjadi tiga bagian sesuai dengan metode pengamatannya
yaitu idealisme subyektif, idealisme obyektif dan idealisme mutlak, sesuai dengan tokoh-
tokohnya.
Tokoh dan Pemikirannya
1. Idealisme Rasionalistik
yaitu yang mengacu idealdealisme pada intensitas penggunaan rancang bangun budi untuk
mengetengahkan norma-norma, yaitu yang baik dan yang buruk. Upaya ini dapat dilihatpada
aliran stoa, yang selalu mementingkan moral dalam kehidupan dengan menselaraskan akal
dan perasaan. Semboyannya ialah: “kita harus selalu hidup sevcxsuai dengan alam”. Alam
yang dimaksud adalah akal budi manusia, sehingga semboyan ini bermakna: “hiduplah sesuai
dengan akal budi”.
2. Idealisme Estetik
yaitu idealisme yang didasarkan pada upaya penyelarasan di antara manusia sebagai subyek
dan keindihan sebagai obyek. Idealisme bentuk ini mencoba menyingkap keselarasan dalam
dunia, dalam bentuk individualisme, universalitas dan totalitas. Individualitas adalah kunci
awal bagi pemahaman realitas seni, tetapi tidak mengarah pada individualisme estetik. Untuk
itu harus diarahkan pada universalitas. Dengan kata lain, manusia sebagi mikro kosmos harus
mencerminkan dirinya pada makro kosmos. Apabila hal ini terejatahkan, maka manusia akan
mengarah pada totalitas, kesatuan pandang tentang dunia manusia dan keindahan.
3. Idelisme Etik
yaitu pandangan bahwa manusia pada hakikatnya telah memiliki kesadaran etik dan
sekaligus berupaya mengajarkannya. Immanuel Kant, misalnya, dengan ajaran tentang
impramatif kategorik, merumuskan bahwa sesungguhnya terdapat dalam diri manusia amar
wajib tanpa syarat, sebagai landasan dari tingkah laku. Kelanjutan idealisme ini muncul
aliran lain yang disebut eudeonisme, yang berarti roh pengawal yang baik, yaitu pandangan
bahwa manusia itu telah terkawal untuk selalu berbuat secara natural.
RASIONALISME
Pengertian
Kata rasionalisme terdiri dari dua kata yaitu “rasio” yang berarti akal atau pikiran, dan
“isme” yang berarti paham atau pendapat. Rasionalisme ialah suatu paham yang berpendapat
bahwa “kebenaran yang tertinggi terletak dan bersumber dari akal manusia.” Oleh karena itu,
rasio dipandang kecuali sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran, juga
sekaligus sebagai sumber dari akal manusia.
Tokoh dan pemikirnya
Rene Descartes (1596-1650)
Rene Descartes dikenal sebagai bapak filsafat modern. Semboyan dari aliran ini adalah
ungkapan Descastes yang berbunyi: cagito ergo sun/ i think there fore i’m (saya berfikir
maka saya ada). Dari ungkapan sederhana ini, dapat diambil beberapa rumusan, sebagai
berikut :
1. Eksistensi manusia yang paling sempurna adalah rasionya, sehingga rasio berperan
sebagai “pengenal dirinya” sesuai dengan koherenensi berfikir antara berpikir dan berada.
Artinya manusia terwujud/terkonsep setelah dia memikirkan dirinya.
2. Dengan rasio, manusia berhasil menemukan kesan (pengetahuan baru) tentang dirinya
yang tidak atau kurang diketahui sebelumnya, kecuali melalui sumber lain, yaitu kitab suci.
3. Rasio tidak hanya sebagai penemu kesan (pengetahuan dan kebenaran) melainkan
kebenaran/pengetahuan hanyalah yang diperoleh melalui rasio tersebut.
PRAGTISME
Pengertian
Pragtisme berasal dari kata progma yang berarti manfaat. Pragtisme adalah sikap, metode dan
filsafat yang memahami akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Atau, seperti yang dikatakan William James, suatu sikap
memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip dan kategori-kategori yang
dianggap sangat penting, serta melihat ke depan kepada benda-benda yang terakhir, buah-
buah dan fakta-fakta.
Pragtisme merupakan filsafat khas Amerika karena aliran ini muncul dari kehidupan dan
pengalaman Amerika. Namun demikian, dalam bentuk yang praktis (etika) paham yang
sejalan telah muncul di Yunani dalam bentuk Utilitarisme, yaitu paham bahwa ukuran baik
dan buruk ditentukan oleh ada tidaknya manfaat dari perbuatan tersebut.
ESENSIALISME
Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu
bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam pendidikan yang memprotes
pendidikan progresivisme. Penganut faham ini berpendapat bahwa betul-betul ada yang
esensial dari pengalaman peserta didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan.
Esensi (essence) ialah hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu
sebagai satuan yang konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi
apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu
yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal (Edward dan Yusnadi,
2015: 30-31).
Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-
abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran
secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul
pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin
yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu
membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini
merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld. Tekanan
pendidikanya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari
kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak
peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat
diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan
kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir
efektif. Pengajaran terpusat pada guru (Pidarta, 2007: 90-91).
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang
berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme
menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil.
Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif, Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan
belas (Imam Barnadib, 1987:29).
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley
adalah sebagai berikut :
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang
memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita
yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan pendidikan,
sebagai berikut ini:
a. Pendidikan
Bagi penganut Esensialisme pendidikan merupakan upaya untuk memelihara kebudayaan,
“Edukation as Cultural Conservation”. Mereka percaya bahwa pendidikan harus didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab
kebudayaan tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan
adalah esensial yang mempu mengemban hari kini dan masa depan umat manusia.
b. Tujuan pendidikan
Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin solidaritas sosial dan
kesejahteraan umum.
c. Sekolah
Fungsi utama sekolah adalah memelihara nilai-nilai yang telah turun-temurun, dan menjadi
penuntun penyesuaian orang (individu) kepada masyarakat. Sekolah yang baik adalah
sekolah yang berpusat pada masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang
mengutamakan kebutuhan dan minat masyarakat.
d. Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh seorang dewasa atau guru
sebagai wakil masyarakat, society centered. Hal ini sesuai dengan dasar filsafat idealisme dan
realisme yang menyatakan bahwa masyarakat dan alam (relisme) atau masyarakat dan yang
absolut (idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya individu (peserta
didik) hidup.
e. Metode
Dalam hal metode pendidikan Esensialisme menyarankan agar sekolah-sekolah
mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan dengan disiplin mental.
Metode problem solving memang ada manfaatnya, tetapi bukan prosedur yang dapat
diterapkan dalam seluruh kegiatan belajar.
f. Peranan guru dan peserta didik
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara dunia masyarakat atau
orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis
mampu melaksanakan perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif dalam pendidikan
ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan untuk mengatur pelajaran. Menurut idealisme
belajar, yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan kebenaran seperti yang telah ditetapkan
oleh yang absolut. Sedangkan menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap
masyarakat dan alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan
diteruskan kepada angkatan berikutnya (Dinn Wahyudin, 2010:4.20-4.22).