100%(1)100% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
611 tayangan2 halaman
Tri Hita Karana (THK) merupakan etika kepemimpinan berdasarkan filsafat Hindu Bali yang mendorong tercapainya harmoni teologis, sosial, dan ekologis. Seorang pemimpin harus mampu memimpin dirinya sendiri dengan mengendalikan pikiran dan keinginan agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Cara mengendalikan diri adalah dengan mengendalikan panca indra dan bertindak berdasarkan rasa malu, takut, dan salah yang munc
Tri Hita Karana (THK) merupakan etika kepemimpinan berdasarkan filsafat Hindu Bali yang mendorong tercapainya harmoni teologis, sosial, dan ekologis. Seorang pemimpin harus mampu memimpin dirinya sendiri dengan mengendalikan pikiran dan keinginan agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Cara mengendalikan diri adalah dengan mengendalikan panca indra dan bertindak berdasarkan rasa malu, takut, dan salah yang munc
Tri Hita Karana (THK) merupakan etika kepemimpinan berdasarkan filsafat Hindu Bali yang mendorong tercapainya harmoni teologis, sosial, dan ekologis. Seorang pemimpin harus mampu memimpin dirinya sendiri dengan mengendalikan pikiran dan keinginan agar tidak menyalahgunakan kekuasaan. Cara mengendalikan diri adalah dengan mengendalikan panca indra dan bertindak berdasarkan rasa malu, takut, dan salah yang munc
4.1 Kepemimpinan dan Kepengikutan Kepemimpinan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Artinya, tidak ada masyarakat maupun komunitas yang tidak memiliki pemimpin. Kemudian dikutip pendapat Northouse(2013:5) dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul ”Leadership”: Theory and Practice”, yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah proses di mana individu memengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan tidak bisa dilepaskan dari orangnya yang disebut pemimpin. Bertolak dari gagasan ini kepemimpinan memiliki beberapa ciri yaitu pertama, kepemimpinan membutuhkan actor yang melakukannya yang disebut pemimpin. Kedua, kepemimpinan adalah proses sehingga penuh dengan dinamika. Ketiga, kepemimpinan melibatkan pengaruh , yakni pemimpin kepada orang dana tau kelompok sosial lainnya. Keempat, gagasan ini berimplikasi bahwa kepemimpinan selalu melibatkan pemimpin dan pengikut. Dengan kata lain kepemimpinan selalu berkaitan dengan kepengikutan sebagai sesuatu yang berkomplementer. Kelima, kepemimpinan selalu terjadi di dalam kelompok sosial organisasi maupun komunitas. Keenam, kepemimpinan melibatkan tujuan yang sama yang ingin dicapai oleh pemimpin dan pengikutnya dengan berpengaruh pada suatu tata aturan termasuk di dalamnya etika kepemimpinan. Kebutuhan suatu kelompok sosial akan seorang pemimpin mengikuti gagasan Vugt dan Shuja (2015:19) berkaitan dengan hakikat manusia sebagai homo socius. Hidup berkelompok membutuhkan seorang pemimpin untuk menyatukan mereka agar dapat mencapai tujuan bersama secara baik. Jika hal ini dikaitkan dengan THK maka pemimpin wajib hukumnya agar tujuan THK, yakni harmoni teologis, sosial, dan ekologis terwujudkan secara baik bagi pencapaian kebahagiaan. 4.2 THK: Memimpin Diri Sendiri Pada umumnya berbicara tentang kepemimpinan, pada umumnya lebih terfokus pada bagaimana seseorang memimpin orang lain. Pemikiran seperti nin perlu disempurkanankan dengan mengacu kepada bagaimana seseorang memimpin orang lain jika dia tidak mampu memimpin darinya.. prinsip dasarnya adalah pimpinlah terlebih dahulu dirimu sendiri sebelum memimpin orang lain. Kemudian keinginan dapat berwujud sesuatu dapat memunculkan keinginan(kama). Keinginan dapat berwujud sesuatu yang negative dan positif. Keinginan negative misalnya keinginan akan barang-barang berharga, kekuasaan, pemeliharaan tubuh yang melewati batas kemampuan yang kita miliki. Jika pikiran dikalahkan oleh keinginan untuk memiliki sesuatu secara berlebihan maka manusia dapat bertindak secara negatif. Pola ini berlaku umum pada manusia . Walaupun demikian, implikasinya bagi pemimpin jauh lebih berbahaya bagi seseorang bukan pemimpin karena pemimpin memiliki kekuasaan. Dengan kekuasaannya banyak hal yang bisa dilakukannya antara lain pertama, pemimpin memiliki pengikut yang patuh kepadanya kepemimpinan terikat pada kepengikutan. Kedua, pemimpin memiliki kekuasaan. Kekuasaan adalah modal untuk memerintahkan orang lain agar bertindak dengan keinginanya. Ketiga, semakin besar kekuasaan seorang pemimpin maka peluang adanya penyalahgunaan kekuasaan semakin besar pula. Misalnya korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk mendapatkan uang atay barang secara instan dengan mengabaikan norma huku, agama, dan moral demi kepentingan dirinya sendiri. Keempat, pemimpin sering digunakan sebagai model. Gagasan ini berimplikasi jika dia berprilaku menyimpang karena penyalahgunaan kekuasaan, maka anak buah akan menirunya manusia adalah makhluk peniru sehingga banyak perilaku kita adalah hasil peniruan. Dengan demikian kepemimpinan seorang pemimpin atas dirinya sendiri, mutlak membutuhkan ketaatan terhadap norma agama, etika, hokum, dan etiket. Seorang pemimpin tidak akan mampu menyuruh anak buahnya taat aturan, jika dia sendiri tidak yang memberikan model, yakni taat pada berbagai tata aturan yang ada. Kesemuanya ini tidak terlepas dari kewajiban manusia untuk mengendalikan tubuh dan panca indranya menggunakan akal budi dan hati nurani. 4.3 Cara Mengendalikan Pikiran dan Panca Indra Tindakan manusia bersumberkan pada pikiran dan perasaan yang berasal dari panca indra menikmati sesuatu yang ada di sekitarnya. Gagasan ini berimplikasi jika seorang pemimpin ingin menjadi orang berbudi pekerti luhur maka dia wajib bertindak dan ngulurin indria. Ungkapan ini bermakna panca indria adalah keinginan atau kama. Secara singkat, menjadi pemimpin yang baik dan benar tidak cukup hanya mengandalkan diri pada kepemilikan ilmu modal-modal simbolik berbentuk gelar-gelar kesarjanaanya tetapi harus pula memiliki modal pengetahuan lainnya. Dengan cara ini seseorang akan memiliki rasa malu, rasa takut, rasa salah, dan rasa dosa sebagai tindakannya. Pasti akan diketahui oleh orang lain manusia cepat atau lambat tindakannnya pasti akan diketahui oleh orang lain manusia tidak mungkin menutupi kesalahan. Rasa salah muncul karena seseorang paham akan hokum, etika atau etiket.