- Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam
berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia..
- Imanuel Kant (1724-1804) berhasil menghentikan sofisme modern ntuk
menundukkan kembali akal dan iman pada kedudukan masing-masing.
- Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata intelektual yang paling
berpengaruh dalam filsafat.
- Konsep idealismenya didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan
terarah dan relevan dengan idealisme.
- Kant mengembangkan dualisme, dimana dia mempercayai keberadaan
realitas eksternal,
Menurutnya apa yang kita dapatkan melalui indera, sebenarnya kita
sendirilah yang menentukan keberadaannya sebagai sebuah pikiran (ide)
atau hanya sekedar sensasi. Untuk itulah pemikiran kosong dengan
sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri kita
sendiri atau kenyataan. Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa
persepsi harus didasari dengan pengetahuan a priori; sebuah intuisi, serta
adanya konsep ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Dan karena
alasan itulah kita harus menggunakan indera. Selain itu, karena asumsi
bahwa realitas ada di luar pikiran, maka Kant mengatakan bahwa perlu
adanya pembagian kategori pada objek realitas tersebut. Karena terdapat
hubungan yang sangat khusus (intim) antara akal dan pancaindera, antara
pikiran dan tubuh, “pikiran” dianggap Kant sebagai suatu kegiatan.
Membawa kita ke realitas kategori “pengertian”, dan tidak hanya
mencerminkan realitas atau cermin dengan pikiran kita, dan bukan hanya
prasangka sebagaimana argumentasi Descartes. Namun, sesuai keterbatasan
yang disusun oleh sebuah kategori a-priori ini, kita belajar dari kenyataan.
Kita dapat meningkatkan pengetahuan kita melalui eksperimentasi dan tes.
Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan kita harus dapat mencari,
dan belajar. Kita harus memiliki kebebasan. Karena sifat moral, Pendapat
Kant bahwa determinisme materialistis rantai alasan yang menyebabkan
fisik dan hukum harus palsu.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh
pengetahuan datang melalui indra. Akan tetapi bila pengetahuan ini datang dari luar melalui
akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra,
yang kebenarannya a priori, maka menurutnya dari sinilah kita mendapatkan pengetahuan
yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan menjadi pengetahuan yang
absolut. Disinilah letak transenden idealismenya Kant, jika kita lihat lebih jauh maka
pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya objektiitas dalam diri objek, walaupun
manusia tidak mampu untuk mendapatkannya hanya dengan pancaindra, dan hal tersebut
hanya dapat dimengerti oleh akal murni, dengan kategori kategori a-priori.
Menurutnya, konsep ruang dan waktu adalah sebuah pengetahuan a priori, Kant tidak
pernah menolak eksistensi materi, dan tidak juga menolak ide. Ia hanya menyatakan
bahwa kita tidak pernah mengetahui dengan pasti ide itu, dunia luar itu, selain dunia luar
ide itu ada. Menurutnya pengetahuan kita tentang dunia luar itu hanyalah mengenai
penampakannya, fenomenanya, dan pengindraan kita tentangnya. Dari pendapatnya iitu,
terlihat Kant bukan seorang empiris dan juga bukan rasionalis. Kant berada diantara
keduanya. Kemudian yang menjadi menarik dalam pandangan Kant adalah, dia
memisahkan antara fenomena dan noumena. Menurutnya pengetahuan kita tentang
fenomena saja adalah sesuatu yang naïf, sedangkan tentang noumena kita tidak
mengetahui sama sekali.
Tentu tidak sesederhana itu, ini merupakan sebuah jawaban untuk
menyelamatkan sains, bahwa sains dapat dipegang hanya sebatas
penampakan objek. Kesimpulannya adalah indra hanya mengetahui
penampakan, dan ia dapat dipegang bila dasar-dasarnya a-priori. Dan
menurutnya dasar-dasar apriori tersebut ada pada sains. Dan lebih jauh, lewat
The Critique of Pure Reason, ia berusaha menyelamatkan keyakinannya,
maupun idealismenya. Dia menyatakan bahwa indra terbatas, sehingga sains
dan akal tidak mampu menembus noumena dan objek-objek keyakinan. Dari
sinilah dia menawarkan apa yang disebutnya Moral, menurutnya moral adalah
kata hati, suara hati, persaan dan yang terpenting adalah suatu prinsip yang a-
priori dan absoulut.
Keberadaan Tuhan
Setelah kita melihat pandangannya tentang metafisika, dan moralitas, terlihat dia
ingin memberitahu akan keabsolutan dari moralitas itu sendiri. Inilah awal
fondasinya dalam memahami realitas abasolut, walaupun untuk sementara itu
dipahami dalam diri manusia. Karena menurut saya, dari pandangan Kant tentang
moral inilah yang memuncullkan pandangan tentang Keberadaan Tuhan. Sebelum
membahas Tuhan, dia menyatakan bahwa moral inilah yang nantinya
memunculkan sebuah kata hati yang memberi perintah (mempertimbangkan ide)
dan inilah yang disebut Kant sebagai Kategori Imperatif, sebuah perintah tanpa
syarat yang ada dalam kesadaran kita
Dari moral inilah Kant berusaha membawa manusia menuju sebuah kesadaran
akan adanya realitas yang mampu memhami nomena, sebuah spirit transenden
yang dapat melihat setiap fenomena dan menemukan apa yang dibaliknya sebagai
sebuah kebenaran, ataupun nomena. Terutama dalam ranah agama yang menuntut
keyakinan dan kebenaran. Disinilah Kant mengisyaratkan adanya Tuhan, dalam
keyakinan agama, sebagai sesuatu yang transenden dan merupakan akal murni
ataupun yang memberikan pengetahuan apriori sebagai sumber pengetahuan yang
dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya dalam mendapatkan pengetahuan.
Kesadaran inilah yang akan membawa kita kedalam sebuah perbuatan baik secara moral dan
juga kebenaran dalam sebuah pengetahuan yang didapat manusia. “Sekalipun kita tidak
dapat membuktikan dengan akal teoritis, kita dapat merasakan bahwa kita mati pada suatu
ketika”. Inilah sebuah ungkapan yang menunjukkan akan kebenaran ide pada dirinya sendiri
dan juga diterima atau paling tidak dirasakan setiap manusia yang hidup. Dengan cara
seperti itu juga Kant ingin membuktikan akan keberadaan Tuhan. Bila kita sadar akan
kematian, ataupun tugas dalam kehidupan ini sebelum kematian, maka imortalitas
(kabadian) jiwa dan adanya Tuha dapat ditegakkan. Ini semua tidak dapat dibuktikan
dengan akal teoritis, dan hanya pengalaman moral lah yang dapat berbicara. Akal teoritis
hanya bekerja pda daerah pengalaman empiris, daerah indra, dan daerah fenomena.
Menurutnya akal teoritis tidak pernah melarang kita mempercayai thing it-self dan
mempercayai adanya Tuhan.Kesadaran moral kita yang memerintahkan untuk
mempercayaiNya. Rosseau benar tatkala ia berkata bahwa diatas akal logis dikepala, ada
perasaan di hati. Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa hati mempunyai akal miliknya
sendiri yang tidak pernah dapat memahami oleh akal teoritis (Durant, 1959 :278)7
Berbeda dengan kalangan teolog dan rasionalisme agama, Kant menganggap bahwa akal
murni (pure reason) memiliki keterbatasan dalam memahami Tuhan.Menurutnya argument-
argumen akliyah tentang adanya Tuhan, tentang objek ghaib dan metarasional tidak dapat
dipegang kebenarannya. Jika akal memasuki ranah ini maka akal akan tersesat dalam
paralogisme. Inilah pendirian Kant, ia berulangkali mengisyaratkan akan perkataan hati.
Kesimppulan dari pendangannya ini adalah akal dan iman harus mendapat porsi yang sama
kuat dalam mengendalikan jalan kehidupan manusia.
Akan tetapi, berbagai kritik bermunculan, sebagaimana penglihatan saya dalam
pernyataan Kant sebelumya bahwa, ruang dan waktu adalah sesuatu yang apriori,
sehingga Kant terjebak dalam kebimbangan subjektifitas dan objektifitas ruang dan
waktu. Kant ragu dalam membuktikan subjektifitas ruang karena itu ditolak kalangan
materialisme,dan disisi lain Ia juga ragu untuk membuktikan objektifitas ruang, karena
Tuhan akan berada di dalam ruang, Akibatnya Tuhan menjadi spasial, meruang dan
memateri. Disinilah Kant lebih senang mengambil filsafat idealisme kritis yang
menyatakan bahwa seluruh realitas diketahui terutama sebagai sensasi dan ide.
Walaupun boleh dikatakan Kant telah berhasil merumuskan idealisme transendent nya
dalam sebuah bangunan filsafat yang kompleks, Kant masih terlihat ragu-ragu dalam
melihat dasar yang dipakainya sendiri dalam sebuah pengetahuan, yaitu pengetahuan a-
priori. Walaupun dia sangat menekankan pengetahuan a-priori tersebut, saya melihat
Kant kurang berhasil dalam menunjukkan bagaimana dan mengapa pengetahuan a-priori
tersebut dapat ada dalam diri manusia dan bagaimana Kant memastikan kebenarannya.
Walaupun perlu diakui bahwa dia telah menunjukkan adanya kategoro-kategori
imperative yang memang hal tersebut dapat diketahui tanpa objek materi diluar.
– FILSAFAT ILMU Maret 2, 2012
Akan tetapi kalau kita lihat dari argumennya tentang moral yang seakan menjadi obat
mujarab bagi kegelisahan konsep a-priori maupun akal praktis, saya melihat Kant
terjatuh pada idealisme “antara” dan tidak berani mengambil sikap apakah relatif dan
subjektif ataukah absolut objektif. Dia seakan terkungkung akan ketakutan pada
kesalahan dalam pandangannya, sehingga ia seakan terfokus pada masalah
antropomorfisme dan kurang melebarkan pemikrannya ke ranah yang lebih luas,
tentang alam sebagai realitas lain selain Tuhan dan Manusia. Sebagaimana filsuf
Idealis selanjutnya seperti Hegel yang akan kita lihat selanjutnya. Tetapi
bagaimanapun juga kita berusaha memahami apa yang dimaksudkannya dengan
idealisme transenden dan nampak Kant telah sangat apik merumuskan pandangannya.
”Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang di sebut benar, maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan yang di
sebut baik atau buruk, maka kita tidak mungkin berbicara mengenai moral. Demikian
juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara
tentang kesenian.”
(Jujun S. Suriasumantri, Jakarta, 1998)
1. METODE ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN
SOSIAL
a.IlmuAlam
Ilmu alam (Inggris:natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang
digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam
dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia tentang Bumi dan alam
sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya
dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.
Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia
alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam
juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah,
berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).
Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal
ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah “ilmu alam” kadang
digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini,
“ilmu alam” dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses
biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia
yang mendasari alam semesta).
Jika ditelusuri dari akar kata, pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” yang berarti praktek
atau aku berbuat. Maksud dari perkataan itu adalah, makna segala sesuatu tergantung dari
hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Diulas dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff,
1992:130) bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan untuk
mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada makna praktis dari
konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika tidak menimbulkan konskuensi yang
praktis maka tidak ada makna yang dikandungnya. Karena itu, munculah sebuah semboyan bahwa,
“Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan
dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang
dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil).
Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa
depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff,
1992:130). Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu
juga tidak ada, yang ada adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat ini1. Inti
dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan kebenaran yang bersifat
fungsional, berguna atau praktis. Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi
yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika
ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa
lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa
sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa
Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat scara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran
mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu
dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Tokohnya, William James (1842-1910) lahir New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang
pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dibidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. (Drs.
SMORO ACHMADI, 2003:)
Pemikiran filsafatnya liar, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang
asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil
yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya
Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide
tersebut benar
Pemikiran filsafatnya liar, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang
asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil
yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya
Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide
tersebut benar
Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan
diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori
telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme
mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang
dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran
manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan
diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme
Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus
berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia
membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan
di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan
manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak
berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang
humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure
of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab
hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).
Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu,
pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh
mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut
pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan
potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan
laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan
merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu
(Sadulloh, 2003:125).
merupakan kebutuhan hidup. Maksud dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat,
pendidikan juga sebagai pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki
dan keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal
dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berintraksi antara
individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau selalu
tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b) pendidikan
sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan karakteristik dari
hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c) pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti
dari pernyataan tersebut adalah, pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana
meneruskan dan menyelamatkan cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan
sekolah sebagai fungsi sosial, keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut
Dewey (1964: 22, dalam Sadulloh, 2003:127) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga
fungsi. Ketiga fungsi itu ialah: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor
bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah
(pendidik) hendaknya menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan
dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya
menjadi agen pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta
menjadi alat pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap
menghadapi perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta
lingkungan itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya
memiliki tanggung-jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik
itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan
dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.
2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan
lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan
memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak
melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia.
Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak
terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat
dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran
kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang,
mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran
tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme
bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti
berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan
keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung
dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula
disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi
sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa
mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.
Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk
bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai
tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang
ada adalah tujuan antara.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar
akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan
pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode,
alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh
hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai. Yang tidak kalah
penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah
diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan
mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika
materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya
merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu
itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak
dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan,
melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang
silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya
merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian
dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan
selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut
memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.
Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh
terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan
pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat
lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas
adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.
Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena
metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang
demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode
disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar
apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Model pembelajaran pragmatisme adalah; anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam
masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus
belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power
(Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu: a)
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman
untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; b) kedudukan siswa.
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang
memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh; c) kurikulum.
Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah.
Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan
kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan
antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan; d)
metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif,
yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja); dan e) peran guru. Peran guru dalam
pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar
siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang
bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri
kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai
dengan pilihan hidup yang telah direncanakan
Ia pergi ke Jerman untuk belajar filsafat dan pendidikan serta mengadakan observasi
dari dekat terhadap sekolah yang didirikan oleh Pestalozzi dan Froebel. Setelah pulang
ke Amerika, ia mulai lagi mengajar dan menjadi inspektur sekolah di Quincy,
Massachusstes, 1875. Disini ia memperkenalkan gagasan-gagasan dan praktek-praktek
pendidikannya, yang kemudian dikenal sebagai dasar dari pendidikan progresif.
Kemudian menjadi Kepala Sekolah Guru Cook Country di Chicago. Sebelum akhir
abad 18, ia diangkat menjadi Kepala Institut Chicago yang didirikan yang didirikan
terutama untuk melakukan eksperimen pendidikan. Institut ini kemudian menjadi
bagian Universitas Chicago, tetapi sebelum ia meyelesaikan tugasnya, ia meninggal
dunia 1902.
DASAR FILOSOFIS ALIRAN PROGRESIVISME :
1. Realisme Spiritualistik
Gerakan Pendidikan Progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel
dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak.
2. Humanisme Baru
Paham ini menekankan pada penghargaan terhadap martabat dan harkat manusia sebagai individu.
Dwengan demikian orientasinya individualistik.
b. Kurikulum
Kurikulum pendidikan progresf adalah kurikulum yang berisi pengalaman-pengalaman atau
kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Contoh
kurikulum pendidikan progresif dari Lewster Dix adalah berisi tentang :
– Studi tentang dirinya sendiri
– Studi tentang lingkungan sosial dan alam
– Studi tentang seni
c. Metode Pendidikan
Ada beberapa metode yang diperguanakan dalam pendidikan progresif :
1. Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak
mempunyai peranan sebagai :
a. Fasilitator,
b. Motivator,
c. Konselor
Perkembangangan Progresivisme
Atas bantuan Ny. Emmons Blaine akhirnya terbentuklah Sekolah Pendidikan (School of
Education) di lingkungan Universitas Chicago, dibawah pimpinan Parker pada tahun
1901. Untuk menghormati jasa-jasanya, didirikan Sekolah Dasar Progresif di Chicago,
dengan nama Sekolah Francis W. Parker, dengan kepala sekolah Flora Cook, salah
seorang pembantu dekatnya, pada tahun 1901, atas bantuan Ny. Baline juga. Selain itu,
banyak pula bersiri sekolah progresif lain
• Semenjak tahun 1930, sekolah-sekolah progresif sudah tersebar ke seluruh Amerika
Serikat. Sekolah-sekolah tesebut hampir semuanya swasta, dan hampir semuanya
berorientasi pada anak, tetapi tidak ada yang betul-betul merupakan sekolah Instrumental.
Baru pada tahun 1896 John Dewey mendirikan Laboratory School.
Progresivisme mendapat kritik dari berbagai pihak antara lain :
1. John Dewey mengatakan :
– Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu, sebagaimana
dikemukakan pula oleh Dr. Bode dan Counts.
– Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar.
– Progresivisme bergantung pada minat sewaktu dan spontan.
– Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil
dari tugas-tugas yang dikerjakan.
2. George S. Counts dkk menghendaki agar sekolah berperanan mengambil bagian dalam
membangun masyarakat Amerika.
3. Kalangan Gereja Katolik di Amerika Serikat, membentuk gerakan pendidikan yang
disebut aliran ”Perennialisme” yang dipelopori Robert M. Hutchin, kemudian ada pula
kalangan yang menghendaki pendidikan kembali pada kebudayaan lama yang menjadi inti
peradaban manusia, mereka membentuk aliran ”Essensialime” yang dipelopori William C.
Bagley.
4. Kaum Eksistensialisme menghendaki agar sekolah menjadi sebuah forum yang
melibatkan dialog antara siswa dan guru, yang dipelopori A.S. Neil.
(REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)
7. Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan
konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend
progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah
merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh
dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L.
Kandell.