Anda di halaman 1dari 190

Idealisme Transendental Kant

- Sejarah filsafat adalah sejarah pertarungan akal dan hati (iman) dalam
berebut dominasi mengendalikan jalan hidup manusia..
- Imanuel Kant (1724-1804) berhasil menghentikan sofisme modern ntuk
menundukkan kembali akal dan iman pada kedudukan masing-masing.
- Pemikiran Kant muncul sebagai pemicu wisata intelektual yang paling
berpengaruh dalam filsafat.
- Konsep idealismenya didasarkan pada pemikirannya yang rapi dan
terarah dan relevan dengan idealisme.
- Kant mengembangkan dualisme, dimana dia mempercayai keberadaan
realitas eksternal,
Menurutnya apa yang kita dapatkan melalui indera, sebenarnya kita
sendirilah yang menentukan keberadaannya sebagai sebuah pikiran (ide)
atau hanya sekedar sensasi. Untuk itulah pemikiran kosong dengan
sendirinya, tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang diri kita
sendiri atau kenyataan. Untuk lebih gamblang, Kant menjelaskan bahwa
persepsi harus didasari dengan pengetahuan a priori; sebuah intuisi, serta
adanya konsep ruang dan waktu dan juga sebab dan akibat. Dan karena
alasan itulah kita harus menggunakan indera. Selain itu, karena asumsi
bahwa realitas ada di luar pikiran, maka Kant mengatakan bahwa perlu
adanya pembagian kategori pada objek realitas tersebut. Karena terdapat
hubungan yang sangat khusus (intim) antara akal dan pancaindera, antara
pikiran dan tubuh, “pikiran” dianggap Kant sebagai suatu kegiatan.
Membawa kita ke realitas kategori “pengertian”, dan tidak hanya
mencerminkan realitas atau cermin dengan pikiran kita, dan bukan hanya
prasangka sebagaimana argumentasi Descartes. Namun, sesuai keterbatasan
yang disusun oleh sebuah kategori a-priori ini, kita belajar dari kenyataan.
Kita dapat meningkatkan pengetahuan kita melalui eksperimentasi dan tes.
Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan kita harus dapat mencari,
dan belajar. Kita harus memiliki kebebasan. Karena sifat moral, Pendapat
Kant bahwa determinisme materialistis rantai alasan yang menyebabkan
fisik dan hukum harus palsu.
Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak benarnya memang tidak akan ada bila seluruh
pengetahuan datang melalui indra. Akan tetapi bila pengetahuan ini datang dari luar melalui
akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman, bahkan tidak bergantung pada indra,
yang kebenarannya a priori, maka menurutnya dari sinilah kita mendapatkan pengetahuan
yang mutlak yang dapat dipegang kebenarannya, bahkan menjadi pengetahuan yang
absolut. Disinilah letak transenden idealismenya Kant, jika kita lihat lebih jauh maka
pendapatnya ini mengisyaratkan akan adanya objektiitas dalam diri objek, walaupun
manusia tidak mampu untuk mendapatkannya hanya dengan pancaindra, dan hal tersebut
hanya dapat dimengerti oleh akal murni, dengan kategori kategori a-priori.

Sebelum lebih jauh membicarakan tentang Tuhan, Kant memulainya perenungan


filosofisnya dengan mempertanyakan apakah ada yang dapat diketahui seandainya seluruh
benda dan indra dibuang. Di sinilah buku Critique of Pure Reason berbicara, dimulai
dengan serara rinci membahas cara manusia berpikir, tentang asal usul terbentuknya
konsep, dan tentang struktur jiwa manusia. Menurutnya kesemuanya itu adalah pembicaran
metafisika akal murni. Menurutnya, pengalaman hanya mengatakan kepada kita apa-nya
dan bukan apa ia sesungguhnya. Disnini Kant mulai memperlihatkan apa yang
diperjuangkannya; kebenaran umum harus bebas dan pengalaman harus jelas dan pasti
dengan sendirinya (Durant, 1965 : 256) Disinilah apa yang kemudian disebutnya dengan
kebenaran yang a-priori. Dan kebenaran itu kita peroleh melalui struktur jiwa kita yang
inheren. Dari sini kita lihat idealisme transendenal yang ditunjukkan Kant, karena mungkin
dia sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai seorang idealis transendent.
Usaha untuk menjelaskan sebuah jiwa yang inheren inilah, yang akan kita lihat sebagai
pandangan metafisikanya yang lebih jelas melalui filosofi transendenal, Menurutnya, ada
pengetahuan yang transenden, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi objek, akan
tetapi lebih banyak berisi konsep objek yang a-priori. Lebih lanjut, Kant menjelaskan
proses masuknya pengetahuan a-priori ini dengan istilah estetika transenden dimana
proses mengkoordinasikan sensasi-sensasi dengan acuan persepsi ruang dan waktu dan
logika transenden, dimana mengkoordnasi persepsi-persepsi yang sudah masuk dalam
konsep ruang dan waktu dengan memasukkannya dalam kategori pemikiran.5

Menurutnya, konsep ruang dan waktu adalah sebuah pengetahuan a priori, Kant tidak
pernah menolak eksistensi materi, dan tidak juga menolak ide. Ia hanya menyatakan
bahwa kita tidak pernah mengetahui dengan pasti ide itu, dunia luar itu, selain dunia luar
ide itu ada. Menurutnya pengetahuan kita tentang dunia luar itu hanyalah mengenai
penampakannya, fenomenanya, dan pengindraan kita tentangnya. Dari pendapatnya iitu,
terlihat Kant bukan seorang empiris dan juga bukan rasionalis. Kant berada diantara
keduanya. Kemudian yang menjadi menarik dalam pandangan Kant adalah, dia
memisahkan antara fenomena dan noumena.  Menurutnya pengetahuan kita tentang
fenomena saja adalah sesuatu yang naïf, sedangkan tentang noumena kita tidak
mengetahui sama sekali.
Tentu tidak sesederhana itu, ini merupakan sebuah jawaban untuk
menyelamatkan sains, bahwa sains dapat dipegang hanya sebatas
penampakan objek. Kesimpulannya adalah indra hanya mengetahui
penampakan, dan ia dapat dipegang bila dasar-dasarnya a-priori. Dan
menurutnya dasar-dasar apriori tersebut ada pada sains. Dan lebih jauh, lewat
The Critique of Pure Reason, ia berusaha menyelamatkan keyakinannya,
maupun idealismenya. Dia menyatakan bahwa indra terbatas, sehingga sains
dan akal tidak mampu menembus noumena dan objek-objek keyakinan. Dari
sinilah dia menawarkan apa yang disebutnya Moral, menurutnya moral adalah
kata hati, suara hati, persaan dan yang terpenting adalah suatu prinsip yang a-
priori dan absoulut.
Keberadaan Tuhan
Setelah kita melihat pandangannya tentang metafisika, dan moralitas, terlihat dia
ingin memberitahu akan keabsolutan dari moralitas itu sendiri. Inilah awal
fondasinya dalam memahami realitas abasolut, walaupun untuk sementara itu
dipahami dalam diri manusia. Karena menurut saya, dari pandangan Kant tentang
moral inilah yang memuncullkan pandangan tentang Keberadaan Tuhan. Sebelum
membahas Tuhan, dia menyatakan bahwa moral inilah yang nantinya
memunculkan sebuah kata hati yang memberi perintah (mempertimbangkan ide)
dan inilah yang disebut Kant sebagai Kategori Imperatif, sebuah perintah tanpa
syarat yang ada dalam kesadaran kita

Dari moral inilah Kant berusaha membawa manusia menuju sebuah kesadaran
akan adanya realitas yang mampu memhami nomena, sebuah spirit transenden
yang dapat melihat setiap fenomena dan menemukan apa yang dibaliknya sebagai
sebuah kebenaran, ataupun nomena. Terutama dalam ranah agama yang menuntut
keyakinan dan kebenaran. Disinilah Kant mengisyaratkan adanya Tuhan, dalam
keyakinan agama, sebagai sesuatu yang transenden dan merupakan akal murni
ataupun yang memberikan pengetahuan apriori sebagai sumber pengetahuan yang
dapat dipertanggungjwabkan kebenarannya dalam mendapatkan pengetahuan.
Kesadaran inilah yang akan membawa kita kedalam sebuah perbuatan baik secara moral dan
juga kebenaran dalam sebuah pengetahuan yang didapat manusia. “Sekalipun kita tidak
dapat membuktikan dengan akal teoritis, kita dapat merasakan bahwa kita mati pada suatu
ketika”. Inilah sebuah ungkapan yang menunjukkan akan kebenaran ide pada dirinya sendiri
dan juga diterima atau paling tidak dirasakan setiap manusia yang hidup. Dengan cara
seperti itu juga Kant ingin membuktikan akan keberadaan Tuhan. Bila kita sadar akan
kematian, ataupun tugas dalam kehidupan ini sebelum kematian, maka imortalitas
(kabadian) jiwa dan adanya Tuha dapat ditegakkan. Ini semua tidak dapat dibuktikan
dengan akal teoritis, dan hanya pengalaman moral lah yang dapat berbicara. Akal teoritis
hanya bekerja pda daerah pengalaman empiris, daerah indra, dan daerah fenomena.
Menurutnya akal teoritis tidak pernah melarang kita mempercayai thing it-self dan
mempercayai adanya Tuhan.Kesadaran moral kita yang memerintahkan untuk
mempercayaiNya. Rosseau benar tatkala ia berkata bahwa diatas akal logis dikepala, ada
perasaan di hati. Pascal benar tatkala ia menyatakan bahwa hati mempunyai akal miliknya
sendiri yang tidak pernah dapat memahami oleh akal teoritis (Durant, 1959 :278)7

Berbeda dengan kalangan teolog dan rasionalisme agama, Kant menganggap bahwa akal
murni (pure reason) memiliki keterbatasan dalam memahami Tuhan.Menurutnya argument-
argumen akliyah tentang adanya Tuhan, tentang objek ghaib dan metarasional tidak dapat
dipegang kebenarannya. Jika akal memasuki ranah ini maka akal akan tersesat dalam
paralogisme. Inilah pendirian Kant, ia berulangkali mengisyaratkan akan perkataan hati.
Kesimppulan dari pendangannya ini adalah akal dan iman harus mendapat porsi yang sama
kuat dalam mengendalikan jalan kehidupan manusia.
Akan tetapi, berbagai kritik bermunculan, sebagaimana penglihatan saya dalam
pernyataan Kant sebelumya bahwa, ruang dan waktu adalah sesuatu yang apriori,
sehingga Kant terjebak dalam kebimbangan subjektifitas dan objektifitas ruang dan
waktu. Kant ragu dalam membuktikan subjektifitas ruang karena itu ditolak kalangan
materialisme,dan disisi lain Ia juga ragu untuk membuktikan objektifitas ruang, karena
Tuhan akan berada di dalam ruang, Akibatnya Tuhan menjadi spasial, meruang dan
memateri. Disinilah Kant lebih senang mengambil filsafat idealisme kritis yang
menyatakan bahwa seluruh realitas diketahui terutama sebagai sensasi dan ide.
Walaupun boleh dikatakan Kant telah berhasil merumuskan idealisme transendent nya
dalam sebuah bangunan filsafat yang kompleks, Kant masih terlihat ragu-ragu dalam
melihat dasar yang dipakainya sendiri dalam sebuah pengetahuan, yaitu pengetahuan a-
priori. Walaupun dia sangat menekankan pengetahuan a-priori tersebut, saya melihat
Kant kurang berhasil dalam menunjukkan bagaimana dan mengapa pengetahuan a-priori
tersebut dapat ada dalam diri manusia dan bagaimana Kant memastikan kebenarannya.
Walaupun perlu diakui bahwa dia telah menunjukkan adanya kategoro-kategori
imperative yang memang hal tersebut dapat diketahui tanpa objek materi diluar.
– FILSAFAT ILMU Maret 2, 2012
Akan tetapi kalau kita lihat dari argumennya tentang moral yang seakan menjadi obat
mujarab bagi kegelisahan konsep a-priori maupun akal praktis, saya melihat Kant
terjatuh pada idealisme “antara” dan tidak berani mengambil sikap apakah relatif dan
subjektif ataukah absolut objektif. Dia seakan terkungkung akan ketakutan pada
kesalahan dalam pandangannya, sehingga ia seakan terfokus pada masalah
antropomorfisme dan kurang melebarkan pemikrannya ke ranah yang lebih luas,
tentang alam sebagai realitas lain selain Tuhan dan Manusia. Sebagaimana filsuf
Idealis selanjutnya seperti Hegel yang akan kita lihat selanjutnya. Tetapi
bagaimanapun juga kita berusaha memahami apa yang dimaksudkannya dengan
idealisme transenden dan nampak Kant telah sangat apik merumuskan pandangannya.

”Tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang di sebut benar, maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran. Tanpa menetapkan yang di
sebut baik atau buruk, maka kita tidak mungkin berbicara mengenai moral. Demikian
juga tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek, tidak mungkin kita berbicara
tentang kesenian.”
(Jujun S. Suriasumantri, Jakarta, 1998)
1. METODE ILMU PENGETAHUAN ALAM DAN
SOSIAL
a.IlmuAlam
Ilmu alam (Inggris:natural science) atau ilmu pengetahuan alam adalah istilah yang
digunakan yang merujuk pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-benda alam
dengan hukum-hukum yang pasti dan umum, berlaku kapan pun dimana pun
Ilmu alam mempelajari aspek-aspek fisik & nonmanusia tentang Bumi dan alam
sekitarnya. Ilmu-ilmu alam membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang keduanya
dibedakan dari ilmu sosial, humaniora, teologi, dan seni.

Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam, akan tetapi digunakan sebagai penyedia
alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam
juga digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin yang mengikuti metode ilmiah,
berbeda dengan filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari secara umum di mata
pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam(biasa disingkat IPA).

Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal
ini ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti.
Di samping penggunaan secara tradisional di atas, saat ini istilah “ilmu alam” kadang
digunakan mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian sehari-hari. Dari sudut ini,
“ilmu alam” dapat menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat dalam proses-proses
biologis, dan dibedakan dari ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan kimia
yang mendasari alam semesta).

Cabang-cabang utama dari ilmu alam adalah:Astronomi


* Biologi
* Ekologi
* Fisika
* Geologi
* Geografi fisik berbasis ilmu
* Ilmu bumi
* Kimia
b. Ilmu Sosial
Ilmu sosial (Inggris:social science) atau ilmu pengetahuan sosial adalah sekelompok
disiplin akademis yang mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan manusia
dan lingkungan sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan humaniora karena
menekankan penggunaan metode ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda
kuantitatif dan kualitatif.
Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek masyarakat secara subjektif, inter-
subjektif, dan objektif atau struktural, sebelumnya dianggap kurang ilmiah bila
dibanding dengan ilmu alam. Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial telah
banyak menggunakan metoda kuantitatif. Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan
lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap perilaku manusia serta faktor sosial dan
l1ingkungan yang mempengaruhinya telah membuat banyak peneliti ilmu alam tertarik
pada beberapa aspek dalam metodologi ilmu sosial.[1] Penggunaan metoda kuantitatif
dan kualitatif telah makin banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan manusia
serta implikasi dan konsekuensinya.
Cabang-cabang utama dari ilmu sosial adalah:
* Antropologi, yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu
* Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian kekayaan dalam masyarakat
* Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi keruangan atas fenomena fisik dan
manusia di atas permukaan bumi
* Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah dilembagakan
* Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan sosial dari bahasa
* Pendidikan, yang mempelajari masalah yang berkaitan dengan belajar, pembelajaran,
serta pembentukan karakter dan moral
* Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok manusia (termasuk negara)
* Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan proses mental
* Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang berhubungan dengan umat manusia
* Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan hubungan antar manusia di dalamnya
Ilmu-ilmu sosial selama bertahun-tahun telah menjadi arena sejumlah kritik. Ilmu sosial
secara garis besar dianggap sebagai ‘ilmu yang tidak mungkin’. Argumentasi yang ada
melihat bahwa gejala sosial adalah terlalu rumit untuk diselidiki. Ilmu sosial, yang
membahas mengenai seluruh seluk beluk kehidupan manusia, dianggap tak mampu
menangkap ke-kompleksitas-annya. Manusia memiliki gejala dan perilaku yang selalu
berubah-ubah, inilah yang mendasari munculnya argumentasi tersebut. Namun,
pandangan ini muncul disebabkan oleh kesalahan pada pemahaman tentang hakekat
ilmu.
Kesalahan tentang Hakekat Ilmu
Apa yang dimaksudkan dengan lmu dan apa yang dikerjakannya menjadi dasar
kesalahan memandang ilmu itu sendiri. Ilmu diharuskan untuk mereproduksikan
kenyataan, dan ilmu yang tak mampu melakukannya dianggap gagal. Kekacauan lain
adalah tentang sifat dan fungsi ilmu. Dalam hal ini, fungsi ilmu tidak hanya untuk
memproduksikan alam secara harfiah, namun juga bahwa pernyataan keilmuan harus
membawakan sensasi, rekasi, atau tanggap terhadap rangsang yang betul-betul, atau
hampir sama, atau memberikan pengalaman yang sama.
Ilmu dianggap sebagai hal yang harus menjadikan segala sesuatunya sama. Tuduhan
bahwa ‘kenyataan terlalu sulit untuk ditangkap’ terletak pada kekacauan memandang
hakekat dan fungsi keilmuan.
Tuduhan Terhadap Ilmu-Ilmu Sosial
Ilmu Sosial dianggap gagal memberikan gambaran psikologis yang ekivalen. Mis :
Keunikan dari interaksi sosial dari sebuah rapat dewan direktur.
Metode keilmuan bersifat generalisasi sehingga tidak mampu menangkap keunikan
gejala sosial. Padahal penelaah-penelaah sosial tertarik pada Keunikan tiap-tiap kejadian
sosial. Sehingga harus diterapkan metode lain dalam ilmu sosial.
Pemunculan (Emergentisme)
Kaum emergentis melihat bahwa terdapat beberapa gejala sosial, namun tidak
seluruhnya, yang tidak dapat diteliti secara keilmuan, sejauh menyangkut hukum sebab
akibat. Keraguan ini didasarkan pada thesis pemunculan mutlak. Dalam thesis ini,
beberapa peristiwa terjadi dan tidak bisa diramalkan (tidak logis).
Sedangkan dalam thesis pemunculan relatif, dikemukakan bahwa neberapa persitiwa
terjadi dan disebabkan keadaan-keadaan tertentu. Thesis pemunculan relatif
menyatakan bahwa sudah tidak diragukan lagi, tapi tidak menutup kemungkinan, jika
gejala sosial diselidiki dengan metode keilmuan, karena berdasar thesis pemunculan
mutlak, dan metode keilmuan sama sekali tidak bisa diterapkan jika tidak ada bukti
yang mendukung.
Untuk menyusun thesis pemunculan mutlak, bukan saja harus membuktikan tidak ada
hipotesis yang serupa yang sudah dirumuskan, atau tidak akan ada hipotesis yang akan
dirumuskan di masa depan, tetapi juga harus dibuktikan secara logis. Dalam hal ini,
pendukung-pendukungnya belum dapat memberikan bukti-bukti tersebut dan sukar
membayangkan bagaimana bukti-bukti tersebut dapat diberikan.
Verstehen
Verstehen berari “pengertian” berbeda dengan Wissen yang artinya “mengetahui”.
Verstehen adalah MENGERTI bukan saja MENGETAHUI kejadian sosial. Untuk
mengerti kejadian sosial, kita harus menempatkan diri pada tempat obyek yang diteliti.
Misalnya, untuk mengetahui kehidupan martir, kita harus menempatkan diri sebagai
martir. Dengan introspeksi berdasarkan pengalaman intuitisi yang langsung, maka kita
akan mendapatkan pengertian tersebut.
Melihat Verstehen, metodologi ini tidak melihat apakah dengan tercapainya suatu
pengertian yang mendalam tentang beberapa pokok persoalan adalah berguna, atau
apakah Verstehen merupakan teknik dalam menemukan dan hipotesis. Juga tidak
melihat apakah teknik-teknik penemuan seperti itu adalah khusus bagi ilmu-ilmu sosial.
2. RASIONALISME DAN
EMPIRISME
“Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan
paham yang kemudian di sebut sebagai Rasionalisme. Sedangkan mereka yang
menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan
sumber kebenaran mengembangkan paham Empirisme.”
(Jujun S. Suriasumantri, Jakarta, 1998)
RASIONALISME
Rasionalisme adalah suatu kaedah penyelidikan dan ujikaji yang menyatakan bahawa
akal adalah sumber utama pengetahuan. Bertentangan dengan empirisisme secara
teorinya, ia menafikan pengalamaan pancaindera sebagai sumber pengetahuan. Konsep
utama yang menjadi pegangan ini ialah kepercayaan terhadap kemampuan dan autoriti
akal fikiran (alasan) untuk menyingkap ilmu dan kebenaran. Rasionalisme mengukur
bahawa daya intelek yang wujud secara semulajadi dalam diri manusia mampu mencari
dan menanggapi kebenaran. Rasionalisme menganggap akal sebagai sumber tertinggi
untuk mendapat kebenaran dan mencapai segala ilmu pengetahuan. Rasionalisme yang
berasaskan nilai-nilai saintifik menolak adanya wahyu dan mukjizat keranan dianggap
tidak logik. Ukuran sama ada sesuatu itu saintifik atau tidak juga terletak pada sama ada
ia logik ataupun tidak.
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini
berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan
bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang
berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang
pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan
akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan
bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Dari sudut sejarah, perintis awal aliran rasionalisme ialah Heraclitus, yang meyakini
akal melebihi pancaindera sebagai sumber ilmu. Menurut beliau akal manusia boleh
berhubung dengan akal ketuhanan yang memancarkan sinaran cahaya ttuhan dalam diri
manusia. Pada zaman pertengahan rasionalisme Yunani berkembang di tangan tokoh-
tokoh Socrates, Plato dan Aristotle. Rasionalisme mencapai zaman kemuncaknya pada
zaman Aristotle yang berusaha menangkis serangan pemikiran aliran Sufastho’iyyun
yang menyebarkan pegangan bahawa ‘Sesuatu perkara itu adalah dianggap baik bila
manusia mengira ia adalah baik’, dengan kata lain ‘Manusia adalah kayu pengukur
segala perkara’. Hasil dari pengaruh tersebut, Aristotle telah memperkemaskan
rasionalisme dengan menyusun kaedah ilmu logik secara sistematik dalam karyanya
yang terkenal iaitu Organaon. Rasionalisme telah menguasai tamadun Yunani
sehinggalah kepada zaman Helenisme. Di antara aliran moden yang berpaksi kepada
rasioanalisme ialah aliran idealisme yang dipelopori oleh Spinoza (1632-1677) dan
Leibniz (1646-1716). Tokoh lain yang mengembangkan rasionalisme ialah Descartes
(1596-1716).
Edward de Bono dalam bukunya, Thinking Course menyatakan bahawa logik ialah satu
cara menjana maklumat daripada sesuatu keadaan. Maklumat yang hendak dijana ialah
sesuatu yang benar dan diterima akal. Kebiasaannya, tokoh-tokoh yang mengembangkan
rasionalisme mereka digelar sebagai seorang idealis.
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang
berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme
mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme,
dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada
perbedaan dengan kedua bentuk tersebut:
Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme
tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah
lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme
yang antroposentrik.
Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-
dewa; rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi
meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada
pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis
adalah atheis.
Di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya
kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap
perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang
dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme
kontinental yang diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada
ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan
pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Rasionalisme adalah fahaman yang menganggap akal, dan bukannya deria, sebagai
sumber ilmu yang sahih dan boleh dipercayai. Fahaman ini tidak menolak peranan deria
dan pengalaman di dalam pencapaian ilmu, tetapi menganggapnya kurang meyakinkan
dan terdedah kepada kepalsuan. Mithalnya sesuatu itu kelihatan lain dari keadaan yang
sebenarnya. Maka di sini pemikiran melalui akal yang rasional diperlukan untuk
mencapai kebenaran mengenai sesuatui perkara itu.
Selain dari itu golongan Rasionalis juga menganggap bahawa akal sudah pun dibekalkan
dengan ilmu, sebelum deria menimba pengalaman dari alam nyata. Ilmu ini dikatakan
bersifat a priori (iaitu tanpa pengalaman) atau innate (terpendam). Ilmu ini tidak
semestinya wujud secara sedar (conscious), tetapi menjadi latarbelakang atau
tulangbelakang pemikiran yang perlu, bagi mengatur pengalaman dan mencapai ilmu
Contohnya adalah konsep benda dan konsep sebab dan akibat.
Dari segi justifikasi atau pengwajaran, pihak Rasionalis juga menganggap bahawa
sesuatu ilmu itu hanya boleh mencapai taraf kesahihan melalui kriteria rasionalis;
iaitu dengan penggunaan bukti dan hujah yang rasional atau logikal.
Para penganut rasionalisme berpandangan bahwa satu-satunya sumber pengetahuan
yang dapat dipercaya adalah rasio (akal) seseorang. Perkembangan pengetahuan mulai
pesat pada abad ke-18. Orang yang dianggap sebagai bapak rasionalisme adalah Rene
Descartez (1596-1650) yang juga dinyatakan sebagai bapak filsafat modern.
Semboyannya yang terkenal adalah cogito ergo sum (saya berpikir, jadi saya ada).
Tokoh-tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704), J.J. Rousseau (1712-1778) dan
Basedow (1723-1790). John Locke terkenal sebagai tokoh filsafat dan pendidik dengan
pandangannya tentang tabula rasa dalam arti bahwa setiap insane diciptakan sama,
sebagai kertas kosong. Dengan demikian melatih atau memberikan pendidikan atau
pandai menalar merupakan tugas utama pendidikan formal.
J.J. Rousseau adalah seorang tokoh pendidikan yang berpandangan bahwa seorang
anak harus dididik sesuai dengan kemampuannya atau kesiapannya menerima
pendidikan. J.B. Basedow berpandangan bahwa pendidikan harus membentuk
kebijaksanaan, kesusilaan, dan kebahagiaan.
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalisme
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat
dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic,
namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para
pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini
merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah
neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat
untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan
memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim
atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang
kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan
kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua
ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan
matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan
salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas
atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan
metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang
diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari
definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan
Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan
berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini
merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.
Pola Pikir Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa
kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang
berdasarkan fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme
mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme,
dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus
sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada
perbedaan dengan kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat
manusia dan keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih
penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang
dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah
suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme
tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak
kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang
kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya
kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap
perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang
dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme
modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang
diterangkan René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan
rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan,
suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
Dalam pandangan rasionalisme, sumber dan dasar pengetahuan adalah akal (reason).
Kalangan rasionalis menyatakan bahwa akal itu universal dalam semua manusia, dan
pemikiran (akal aktif) merupakan elemen penting manusia. Pemikiran merupakan satu-
satunya instrumen kepastian pengetahuan, dan akal merupakan satu-satunya jalan
untuk menentukan kebenaran atau kesalahan.
Bagi filosof rasionalis, pengetahuan yang dapat memenuhi syarat-syarat yang dituntut
oleh semua pengetahuan ilmiah, adalah hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal.
Dalam pandangan kaum rasionalis, akal dipahamai sebagai sejenis perantara khusus, di
mana dengan akal kebenaran dapat dikenal dan ditemukan. Karena itu, kunci
pengetahuan dan keabsahannya, bagi rasionalisme, adalah akal.
Dalam prosedur praksisnya, kalangan rasionalisme memulai dengan menghadirkan
aksioma-aksioma, prinsip-prinsip atau definisi-definisi umum sebagai dasar atau titik
tolak, sebelum akhirnya menjelaskan kenyataan atau memahami sesuatu. Aksioma-
aksioma yang dipakai dasar pengetahuan itu, diturunkan dari ide yang dipandang sudah
jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.
Sebuah contoh sederhana yang sering digunakan kalangan rasionalis untuk
mendeskripsikan sistem rasionalisme ialah, aksioma geometri. Bagi para rasionalis,
aksioma geometri adalah ide yang jelas lagi tegas, yang dari aksioma itu dapat
dideduksikan sebuah sistem yang terdiri dari subaksioma-subaksioma.
Misalnya sebuah aksioma geometri yang menyatakan bahwa, “garis lurus merupakan
jarak terdekat antara dua titik.” Aksioma ini merupakan prinsip yang sudah ada dalam
pikiran, yang dengan prinsip itu semua keadaan serupa dapat dijelaskan (baca:
dideduksikan).
Secara khusus Rene Descartes mengetengahkan bahwa agar falsafah, termasuk
epistemologi, dapat meraih kepastian absolut dan diakui benar secara universal,
sehingga bisa mencapai kebenaran akhir yang pasti, maka falsafah harus menggunakan
metode matematika sebagai idealismenya. Karena bagi Descartes, hanya matematikalah
satu-satunya disiplin yang dapat menghasilkan pemikiran yang terbukti dan pasti.
Artinya, bila falsafah ingin menemukan hasil atau pemikiran yang pasti, maka harus
menjadikan metode matematika sebagai idealismenya.
Menurut Descartes, matematika mungkin melakukan itu lantaran ia mempunyai dua
pengoperasian mental. Di mana dengan dua hal itulah, pengetahuan yang sesungguhnya
akan bisa diraih.
Pertama, intuisi. Intuisi merupakan pemahaman kita atas prinsip bukti diri. Misalnya
persamaan aritmatika bahwa, 2 + 5 = 7. Pembuktian akan kebenaran persamaan ini
adalah menggunakan pemikiran atau akal, dirasiokan. Dalam hal ini, matematika
mempunyai prinsip-prinsip yang kebenarannya telah diakui dalam akal, yang dipahami
bahwa itu benar.
Kedua, deduksi. Deduksi yang dimaksud di sini ialah pemikiran atau kesimpulan logis
yang diturunkan dari prinsip bukti diri. Persamaan aritmatika di atas misalnya, dengan
persamaan itu kita bisa mendeduksikan, yakni menurunkan kesimpulan-kesimpulan lain
yang serupa.
Jadi, intuisi dan deduksi itulah yang ada dalam metode matematika. Ketika sebuah
metode pengetahuan (baca: epistemologi) mampu beroperasi seperti metode matematika
itu, maka, bagi kalangan rasionalis, pasti akan menghasilkan pengetahuan yang tidak
bisa diragukan lagi, pengetahuan yang tetap dan pasti, absolut dan universal.
Bagiamana rasionalis memandang pengalaman? Peneguhan kalangan rasionalis bahwa
hanya akal yang menjadi basis dan sumber pengetahuan, bukanlah berarti bahwa
kalangan ini menafikan pengalaman secara total-sepenuhnya. Artinya, rasionalisme
masih tetap memandang pengalaman sebagai sebuah kualitas yang bernilai, meskipun
kadar nilai itu tentunya tidak setinggi akal atau rasio. Bagi kalangan rasionalis,
pengalaman dapat menjadi pelengkap bagi akal.
Berkenaan dengan pengalaman tersebut ini, kalangan rasionalis biasanya membedakan
antara pendapat dan pengetahuan. Bila pendapat adalah merujuk pada pengalaman, maka
pengetahuan adalah yang merujuk pada akal atau pemikiran. Perkataan seseorang bahwa
ia telah melihat Monas misalnya, itu adalah sekedar pendapat, dan bukan pengetahuan,
sebab sangat dimungkinkan bahwa mata yang digunakan orang itu adalah menipu,
artinya masih diragukan. Sementara bila seseorang berkata bahwa 2 + 5 = 7, maka inilah
pengetahuan, lantaran perkataan orang terakhir ini merupakan prinsip yang tidak
diragukan lagi, aksioma atau prinsip a-priori.
Implikasi Aliran Rasionalisme Terhadap Dunia Pendidikan
Seperti kita ketahui bahwa Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal
rasional. Obyeknya adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan
realitas, apakah itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-
kaidah berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah
berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua
khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan
yang bukan dirinya. Prinsip berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia
lahir. Tertanam secara kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran
digunakan. Dan ini harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan,
lebih jauh, prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud
(the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut dengan
prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam bahasa
maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan seluruh
arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh pengetahuan
manusia.
Rasionalisme mencapai puncaknya melalui Rene Descartes yang terkenal dengan
adagiumnya: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa
pengetahuan dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan,
bahkan mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling
bisa diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah bahwa
pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman, melainkan dari
pikiran.
Zaman Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke
XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang
eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan
akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar
sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak
mengherankan bahwa pada abad-abad berikut orang-orang yang terpelajar Makin
percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.
Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII dan lebih lagi selama
abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh
Isaac Newton (1643 -1727).
Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini yaitu menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-
bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat.
Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa
Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam tentang batas akal budi
dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan kepercayaan yang
makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu
berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena
kepercayaan itu pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
Kaum rasionalis mulai dengan suatu pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang
digunakan untuk membangun sistem pemikirannya diturunkan dari idea yang jelas,
tegas dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mampu ‘mengetahui’ idea itu,
kendati manusia tidak menciptakannya maupun tidak mempelajarinya lewat
pengalaman. Idea itu sudah ada sebagai bagian dari kenyataan dasar yang tertangkap
oleh pikiran manusia yang menalar. Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran
dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada – artinya, prinsip harus benar dan
nyata. Ketiadaan prinsip itu tidak memungkinkan manusia menggambarkannya sebagai
ada. Prinsip itu dianggap sebagai suatu apriori atau pengalaman. Prinsip itu tidak
dikembangkan dari pengalaman karena pengalaman hanya dapat dimengerti jika
ditinjau dari prinsip itu.
Gambaran klasik rasionalisme yang dikemukakan Plato dalam dialog yang disebut
Meno mengajukan dalil bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan
kebenaran yang tidak diketahui sebelumnya. Ia mengatakan bahwa seseorang tidak
dapat mengatakan suatu pernyataan adalah benar apabila sebelumnya ia tidak tahu
bahwa itu benar. Manusia tidak mempelajari apa pun; ia hanya teringat pada yang telah
ia ketahui. Dengan perkataan lain, prinsip-prinsip dasar dan umum sebelumnya sudah
ada dalam pikiran manusia.
Teori pengetahuan Plato itu kemudian diintegrasikan dengan pendapatnya tentang
hakikat kenyataan. Ia berpendapat bahwa kenyataan dasar terdiri dari idea atau prinsip.
Idea itu disebutnya bentuk. Keindahan, kebenaran, keadilan adalah salah satu bentuk
yang berada secara mutlak dan tidak berubah kapan pun dan bagi siapa pun. Manusia
dapat mengetahui bentuk-bentuk itu lewat proses intuisi rasional yang merupakan
kegiatan khas dari pikirannya.
Rasionalisme mencapai puncaknya melalui Rene Descartes yang terkenal dengan
adagiumnya: Cogito, ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa
pengetahuan dihasilkan oleh indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan,
bahkan mungkin pula menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling
bisa diandalkan adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah bahwa
pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman, melainkan dari
pikiran.
Tokoh-tokohnya
1. Rene Descartes (1596 -1650)
2. Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3. B. De Spinoza (1632 -1677 M)
4. G.W.Leibniz (1946-1716)
5. Christian Wolff (1679 -1754)
6. Blaise Pascal (1623 -1662 M)
EMPIRISME
Empirisisme adalah fahaman yang menganggap bahawa ilmu berpunca dari
pengalaman yang diperolehi melalui deria. Ilmu juga diberi pengwajaran atau
justifikasi dengan merujuk kepada bukti dari pengalaman deria. Jadi, dari kedua-dua
segi, iaitu dari segi sumber ilmu, dan juga dari segi menentukan kesahihan ilmu,
pengalaman dari deria memainkan peranan yang penting di dalam fahaman
empirisisme.
Tugas epistemologi golongan empirisis ialah untuk memberikan satu penjelasan tentang
bagaimana ilmu, khususnya ilmu yang bercorak canggih dan menyeluruh, boleh terbit
dari pengalaman yang diperolehi melalui deria. Tokoh empirisis seperti John Locke dan
David Hume pada abad ke 18, telah memberikan teori mereka tentang bagaimana ilmu
terbentuk dari pengalaman deria. Bagi mereka, manusia bermula dengan minda yang
kosong (tabula rasa), dan dari pemerhatiannya terhadap alam, membina ide dan ilmu
yang kompleks mengikut prinsip-prinsip yang tertentu. Penghuraian ini sebenarnya
melibatkan dua aspek atau perkara yang berlainan; (i) gambaran tentang kemunculan
atau proses pembentukan ilmu, (ii) tentang kesahihan ilmu yang terbit melalui proses
tersebut.
melibatkan masalah tentang ketepatan perwakilan realiti oleh pengalaman deria (sense-
experience). Iaitu, bagaimanakah kita boleh memastikan bahawa apa yang kita kenali
melalui deria adalah bersamaan dengan objek atau perkara yang diwakilinya? Di sini
kita perlu membezakan di antara persepsi kita tentang sesuatu dan hakikat sesuatu itu,
atau di dalam Bahasa Inggerisnya, di antara appearance dan reality. Sekiranya
maklumat yang kita perolehi dari deria adalah berbeza dari hakikat yang sebenarnya,
maka ini bermakna bahawa asas ilmu yang didirikan adalah palsu dan tidak boleh
diterima. Walaupun sekiranya masalah pertama ini dapat diatasi, kita masih dihadapkan
dengan masalah kedua. Iaitu, apakah jaminannya bahawa ilmu yang terbit melalui
proses yang dinyatakan oleh pihak empirisis, berjaya memberikan kita ilmu yang
benar? Walaupun gambaran psikologinya benar, ini tidak bererti bahawa logiknya, dan
dengan itu justifikasinya, boleh diterima. Ini jelas kelihatan di dalam pemikiran David
Hume sendiri, apabila beliau mengkaji ilmu yang diperolehi melalui prinsip sebab dan
akibat. Pada umumnya masalah induksi perlu dihadapi oleh golongan empirisis yang
mahu mewajarkan perolehan ilmu yang bersifat universal dari data pengalaman yang
bersifat khusus.
Asal kata empirisme adalah empiria yang berarti kepercayaan terhadap pengalaman.
Bahan yang diperoleh dari pengalaman diolah oleh akal, sedangkan yang merupakan
sumber pengetahuan adalah pengalaman karena pengalamanlah yang memberikan
kepastian yang diambil dari dunia fakta. Empirisme berpandangan bahwa pernyataan
yang tidak dapat dibuktikan melalui pengalaman adalah tidak berarti atau tanpa arti.
Ilmu haru sdapat diuji melalui pengalaman. Dengan demikian, kebenaran yang
diperoleh bersifat a posteriori yang berarti setelah pengalaman (post to experience).
Tokoh-tokoh empirisme antara lain Francis Bacon (1561-1626), Thomas Hobbes (1588-
1679), dan John Locke (1632-1704). Francis Bacon telah meletakkan dasar-dasar
empirisme dan menyarankan agar penemuan-penemuan dilakukan dengan metode
induksi. Menurutnya ilmu akan berkembang melalui pengamatan dalam ekperimen serta
menyusun fakta-fakta sebagai hasil eksperimen.
Pandangan Thomas Hobbes sangat mekanistik. Karena merupakan bagian dari dunia,
apa yang terjadi pada manusia atau yang dialaminya dapat diterangkan secara mekanik.
Ini yang menyebabkan Thomas Hobbes dipandang sebagai penganjur materialisme.
Sesuai dengan kodratnya manusia berkeinginan mempertahankan kebebasan dan
menguasai orang lain. Hal ini menyebabkan adanya ungkapan homo homini lupus yang
berarti bahwa manusia adalah srigala bagi manusia lain.
Kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang ditangkap
oleh pancaindra. John Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir
dianggap sebagai tabula rasa. Segenap data yang ditangkap pancaindra digambar di situ
sebagaimana diungkapkannya sendiri: “Pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-
kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindra atau lebih,
dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ
badani yang disebut otak.”
Ada dua aspek utama teori empiris. Yang pertama adalah perbedaan antara yang
mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Yang kedua adalah bahwa pengujian
kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia. Pernyataan
tentang ada atau tidak adanya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik.
Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada
persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Selain itu, kaum
empiris juga mempergunakan prinsip keserupaan, yakni bahwa bila terdapat gejala-
gejala yang berdadsarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memiliki
cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu.
Menurut Tafsir Ahmad, 2005, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales Sampai
Capra, PT.Remaja Rosda Karya, Bandung, Empirisisme adalah suatu doktrin filsafat
yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisisme diambil dari bahasa yunani empeirikos
yang berasal dari kata empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu
doktrin , empirisisme adalah lawan dari rasionalisme.
Dua ciri pokok teori aliran empirisisme
:
Teori makna
Teori makna pada aliran empirisisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal
pengetahuan, yaitu asal-usul idea / konsep . Pada abad pertengahan teori ini
diringkaskan dalam rumus “ Nihil est in intelecctu quod non prius fuerit in sensu “ dan
pernyataan ini adalah tesis dari John Lucke .
Teori pengetahuan
Teori pengetahuan dapat diringkaskan sebagai berikut, menurut orang rasionalis ada
beberapa kebenaran umum seperti “ setiap kejadian tentu mempunyai sebab ” ,dasar-
dasar matematika dan beberapa prinsip dasar etika dan kebenaran – kebanaran itu
benar dengan sendirinya, yang dikenal dengan istilah kebenaran a priori yang
diperoleh lewat intuisi rasional, empirisisme menolak pendapat itu, dengan
mengatakan tidak ada kebenaran intuisi rasional itu.
Diantara beberapa Tokoh Empirisisme yang terkenal adalah :
1. John Locke ( 1632-1704 )
John Locke adalah filosof Inggris, ia dilahirkan di Wrington, Somersetshire, pada
tahun 1632 . Pada Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster dan tahun 1652 ia
memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen.
Filsafat John ini dapat menerima keraguan sementara ( antimetafisika ), yang diajarkan
oleh Descartes tetapi ia menolak intuisi yang digunakan oleh Descartes dan ia juga
menolak metode deduktif Descartes dan menggantinya dengan generalisasi
berdasarkan pengalaman, bahkan si John juga menolak reason dan ia hanya menerima
pemikiran matematis yang pasti .
Menurut John Locke “ semua pengetahuan datang dari pengalaman ” , ini berarti tidak
ada yang dapat dijadikan idea atau konsep tentang sesuatu yang berada dibelakang
pengalaman, tidak ada idea yang diturunkan seperti yang dikatakan oleh Plato ,
dengan kata lain John menolak adanya innate idea. Kenapa John lock mengatakan
kalau innate idea itu tidak ada ? nah ini lah beberapa argument dari John Locke :
Dari jalan masuknya pengetahuan kita mengetahui bahwa innate itu tidak ada,
memang agak umum orang beranggapan bahwa innate itu ada , ia itu seperti
distempelkan pada jiwa manusia dan jiwa membawanya kedunia ini.
Persetujuan umum adalah argument yang terkuat. Tidak ada sesuatu yang dapat
disetujui oleh umum tentang innate idea dan argument ini ditarik dari persetujuan
umum, nah bagaimana kita akan mengatakan bahwa innate idea itu ada padahal umum
tidak mengakui adanya.
Persetujuan umum membuktikan tidak adanya innate idea
Argument ini secara lurus menolak adanya innate idea ,sekalipun ada , itu tidak dapat
dibuktikan adanya, lebih jauh si John berargument :
Marilah kita andaikan jiwa itu laksana kertas kosong , tidak berisi apa-apa, juga tidak
ada idea didalamnya, nah bagaimanakah mungkin ia berisi sesuatu ? untuk menjawab
pertanyaan ini si John mengatakan dari pengalaman, didalamnya seluruh pengetahuan
didapat dan dari sana seluruh pengetahuan berasal.
Pandangan tabula rasa dari John Lock merupakan konsep epistemologi yang terkenal
dan inilah teori pengetahuan empirisisme. Tabula rasa yang di gambarkan sebagai
keadaan jiwa adalah pandangan epistemologi yang terkenal menurut John Locke.
2. David Hume ( 1711-1776 )
Untuk menganalisis sesuatu , David Hume mengajukan 3 argument,yaitu :
Ada idea tentang kausalitas, suatu kejadian disebabkan oleh kejadian lain. Karena kita
mempercayai kausalitas dan penerapannya secara universal, kita dapat memperkirakan
masa lalu dan masa depan kejadian. Dunia luar diri memang ada, yaitu dunia yang
bebas dari pengalaman kita.
Semua objek pemikiran manusia secara alamiah dapat dibagi dua , yaitu :
Relations of ideas yaitu pengetahuan yang jelas dengan sendirinya secara akal maupun
secara intuitif seperti pada aljabar, 3 x 5 = 15 adalah hubungan antar jumlah. Proposisi
jenis ini cukup diperoleh dengan operasi pemikiran tanpa bergantung pada ada atau
tidaknya bukti dilapangan.
Matter of fact yaitu pengetahuan yang tidak terbukti kebenarannya maupun
kepalsuannya, seperti pernyataan matahari akan terbit besok atau matahari tidak akan
terbit besok, kedua – dua contoh ini tidak dapat dibuktikan secara langsung.
Lebih lanjut David Hume mengatakan, bahwa, bila anda ingin puas , anda mesti
meneliti bagaimana Anda sampai pada pengetahuan tentang kausalitas, Hume
menyimpulkan bahwa kita ini mengatahui tentang kausalitas bukan melalui akal,
melainkan melalui pengalaman dan tidak ada akal atau pemikiran apapun yang
memadai untuk membuat prediksi.
Rasionalisme dan Empirisisme
1. Di dalam konsep ilmu sebagai kepercayaan yang berasas mengenai sesuatu yang
benar, kita lihat bahawa aspek pengwajaran (justification), boleh mengambil pelbagai
bentuk. Dua dari bentuk ini dikaitkan dengan dua aliran utama di dalam teori ilmu,
iaitu Rasionalisme dan Empirisisme. Bagi fahaman Rasionalisme, ilmu yang sahih
bukan sahaja diperolehi dari akal, tetapi juga mendapat pengesahan atau pengwajaran
dari akal. Bagi fahaman Empirisisme pula, ilmu yang sahih terbit dari pengalaman dari
pancaindera dan disahkan juga melaluinya.
2. Rasionalisme menganggap ilmu yang diperolehi melalui pancaindera itu sebagai
rendah martabatnya jika dibandingkan dengan ilmu yang diperolehi melalui akal, kerana
pengalaman dari pancaindera boleh menipu (deceive) kita, dan tidak mempunyai
kepastian. Sebaliknya pihak Empirisis pula mendakwa bahawa ilmu yang terdapat di
dalam akal itu adalah terbentuk dari pengalaman yang diperolehi melalui pancaindera
terlebih dahulu.
3. Dengan itu pihak Empirisis menafikan kewujudan ilmu yang sedia ada secara
semulajadi pada diri manusia (innate knowledge), sedangkan pihak Rasionalis
menerima akan kewujudannya. Bagi Plato, yang fahamannya boleh dianggap sebagai
sejenis Rasionalisme, roh manusia sudahpun mempunyai ilmu mengenai alam forma
atau alam hakikat sebelum penyatuannya dengan jasad. Bagi Descartes pula, innate
knowledge ini terdiri ilmu matematik dan hukum-hukum logik seperti prinsip
canggahan.
4. Sebagai suatu aliran pemikiran di dalam falsafah, Rasionalisme biasanya dikatakan
bermula dengan Descartes di abad ke 17. Namun demikian, adalah tidak adil jika kita
menafikan Plato sebagai pendahulu Descartes, semata-mata kerana perbezaan di dalam
konsep akal yang terdapat di antara mereka. Konsep akal seperti yang diutarakan oleh
Plato, masih mempunyai kaitan dengan aspek kerohanian, sedangkan Descartes
memisahkan akal dari roh, dan juga dari jasad. Bagi Descartes akal adalah ratio atau
reason semata-mata, atau apa yang diistilahkannya sebagai res cogitans. Ini berbeza dari
konsep akal yang dipegang oleh Plato yang mana akal boleh difahami dari segi
intellectus, iaitu sesuatu yang juga mempunyai aspek kerohanian, yang mampu
mengenali alam hakiki melalui intuitive insight atau matahati dan bukan melalui
perhitungan rasional sahaja. Ontologi akal di dalam fahaman Descartes dan Plato jelas
berbeza, di mana istilah “minda” lebih tepat digunakan bagi Descartes, tetapi tidak bagi
Plato. “Minda” merupakan satu konsep akal yang sudah disekularkan, yakni diasingkan
dari aspek rohaniahnya, dan dikaitkan dengan reason semata-mata.
1. TOKOH DARI ALIRAN
FILSAFAT ILMU
1. Rasionalisme Plato dan Descartes
Rasionalisme adalah aliran yang meyakini hanya rasio/akal yang menjadi dasar
kepastian. Rasionalisme tidak menyangkal fungsi indra sebagai alat untuk memperoleh
indra pengetahuan, namun indra hanya diperlukan untuk merangsang dan memberikan
pada rasio bahan-bahan agar rasio dapat bekerja. Rasio mengatur bahan yang berasal
dari indra sehingga terbentuklah pengetahuan yang benar. Akan tetapi, keberadaan
indra tidak mutlak bagi rasio karena rasio dapat enghasilkan pengetahuan yang tidak
berasal dari indra, seperti terlihat dalam matematika. Terdapat banyak tokoh yang
menjadi eksponen aliran rasionalisme, diantaranya Plato (427-347 SM) dan Descartes
(1596-1650).
2. Empirisme : dari Aristoteles sampai David Hume
Empirisme sebagai suatu aliran dalam filsafat ilrnu merupakan lawan dari rasionalme.
Empirisme menjadikan pengalaman indra (emperia) sebagai sumber kebenaran.
Menurut Aristoteles, ilmu didapat dari hasil kegiatan manusia yang mengamati
kenyataan yang banyak dan berubah. Kemudian secara bertahap sampai pada kebenaran
yang bersifat “universal”. Dalam arti inilah Aristoteles dapat disebut sebagai salah
seorang eksponen empirisme, malah pada tahap awalnya.
Di kemudian hari muncul pemikir bernama Francois Bacon (1561-1626) yang
memperkenalkan cara kerja induksi untuk memperoleh ilmu. John Locke (1632-1704)
dengan bukunya Essay Concerning Human Understanding (1689) yang ditulis
berdasarkan premis bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman, dianggap
sebagai tokoh utama empiris pada era modern. Tokoh lain dari kalangan empiris adalah
filsuf Inggris David Hume (1711-1776). Ia seorang penganut empiris yang sangat
radikal, bukan saja karena ia menekankan pengalaman indrawi sebagai dasar dari semua
pengetahuan, melainkan juga ia juga menolak adanya kausalitas, hukum sebab akibat
yang diterangkan akal.
3. Positivisme Comte dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper
Positivisme merupakan suatu aliran filasafat yang dibangun oleh Auguste Comte
(17981857). Intinya positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasi-spekulasi
yang tidak dapat dibuktikan secara positif. Comte ingin mengembangkan ilmu dengan
melakukan percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual yang terdapat dalam
kenyataan empirik, bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang
tidak dapat dibuktikan secara positif lewat eksperirnen. Bagi Comte, positivisme
merupakan tahap akhir atau puncak dalam perkembangan pemikiran manusia. Comte
membagi perkembangan pernikiran manusia dalam tiga.tahap, yaitu: 1) Tahap mistik-
teologik
2) Tahap metafisik
3) Tahap positif.
3. ALIRAN FILSAFAT LAIN
A. ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat
pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya
menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari
filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas,
pengetahuan, dan nilai.
Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti
materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena
filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat
beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan
temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu
sendiri.
Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu
a. Filsafat pendidikan “progresif”
Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau
b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”.
Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme
atau realisme religius.

Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya

Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:


1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan
fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran
ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik,
buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini
adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali
2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis.
Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani.
Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu
pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek
pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius,
Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill.
3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah
materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach

4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun


sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa
manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut
filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos.
Konsep pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839. Dalam
konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil
yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya
bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk
membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua pernyataan itu
tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat
teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika
karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih
cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi
manusia.

Jika ditelusuri dari akar kata, pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” yang berarti praktek
atau aku berbuat. Maksud dari perkataan itu adalah, makna segala sesuatu tergantung dari
hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Diulas dalam buku Pengantar Filsafat (Kattsoff,
1992:130) bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak lebih dari sebuah keinginan untuk
mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang mengorientasikan diri kepada makna praktis dari
konsekuensi yang ditimbulkan oleh sebuah tindakan. Jika tidak menimbulkan konskuensi yang
praktis maka tidak ada makna yang dikandungnya. Karena itu, munculah sebuah semboyan bahwa,
“Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan
dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni jalan yang
dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat (berhasil).
Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat kebenaran, karena masa
depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh masa lalu (Kattsoff,
1992:130). Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa lalu
juga tidak ada, yang ada adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat ini1. Inti
dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan kebenaran yang bersifat
fungsional, berguna atau praktis. Segala sesuatu dianggap benar jika ada konsekuensi
yang bersifat manfaat bagi hidup manusia. Sebuah tindakan akan memiliki makna jika
ada konsekuensi praktis atau hasil nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa
lalu dan masa depan adalah sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa
sekarang adalah fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.

Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa
Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat scara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran
mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu
dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan.
Tokohnya, William James (1842-1910) lahir New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang
pragmatisme kepada dunia. Ia ahli dibidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. (Drs.
SMORO ACHMADI, 2003:)

Pemikiran filsafatnya liar, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang
asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil
yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya

Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide
tersebut benar

Pemikiran filsafatnya liar, karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara pandangan
ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan, bahwa masalah kebenaran, tentang
asal / tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang ia inginkan adalah hasil-hasil
yang konkret. Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau konsep haruslah
diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya

Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya kehidupan, maka ide-ide
tersebut benar
Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan
diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori
telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsapat pragmatisme
mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang
dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.

Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran
manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Di bawah ini akan
diuraikan arah dan tujuan pendidikan pragmatisme

1. Arah Pendidikan Pragmatisme


Dunia akan bermakna hanya jika manusia mempelajari makna yang terkandung di dalamnya, dan
perubahan merupakan keniscayaan dari sebuah realitas. Manusia tidak akan pernah menjadi manusia yang
sesungguhnya jika mereka tidak berkreasi terhadap dirinya

Manusia adalah makhluk yang dinamis dan plastis. Dalam sepanjang hidup manusia akan terus-menerus
berkembang sesuai dengan kemampuan dan kreasinya. Dalam perkembangan tersebut manusia
membutuhkan sesamanya, meniru, beradaptasi, bekerja-sama dan berkreasi mengembangkan kebudayaan
di tengah-tengah komunitasnya. Baik dan buruk suatu peradaban ditentukan oleh kualitas perkembangan
manusia. Manusia yang berkualitas akan mewarnai peradaban yang baik. Sebaliknya, manusia yang tidak
berkualitas akan mewariskan/meninggalkan peradaban yang buruk, fulgar bahkan barbar.
Pendidikan yang mengikuti pola filsafat pragmatisme akan berwatak humanis, dan pendidikan yang
humanis akan melahirkan manusia yang humanis pula. Karena itu, pernyataan “man is the meansure
of all things” (Sadulloh, 2003: 120) akan sangat didukung oleh penganut aliran pragmatis, sebab
hakekat pendidikan itu sendiri adalah memanusiakan manusia (Drost, 1998:v).

Inti dari filsafat pendidikan yang berwatak pragmatis; pengetahuan yang benar adalah pengetahuan
yang berguna, dan hasil dari pendidikan adalah berfungsi bagi kehidupannya. Karena itu,
pendidikan harus didesain secara fleksibel dan terbuka. Maksudnya pendidikan tidak boleh
mengurung kebebasan berkreasi anak, lebih-lebih membunuh kreatifitas anak. Menurut
pragmatisme, pendidikan bukan semata-mata membentuk pribadi anak tanpa memperhatikan
potensi yang ada dalam diri anak, juga bukan beranggapan bahwa anak telah memiliki kekuatan
laten yang memungkinkan untuk berkembang dengan sendirinya sesuai tujuan. Namun, pendidikan
merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu
(Sadulloh, 2003:125).
merupakan kebutuhan hidup. Maksud dari pernyataan itu adalah, selain sebagai alat,
pendidikan juga sebagai pembaharuan hidup (a renewel of life). Tenaga yang dimiliki
dan keberadaan lingkungan, dijadikan sebagai alat untuk perjuangan hidup. Tak ayal
dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia selalu berintraksi antara
individu dengan lingkungan, dan pembaharuan hidup tidak lepas dari budaya atau selalu
tergantung pada hasil budaya dan perwujudan moral kemanusiaan; b) pendidikan
sebagai pertumbuhan. Maksudnya adalah pertumbuhan merupakan karakteristik dari
hidup, dan pendidikan adalah hidup itu sendiri; c) pendidikan sebagai fungsi sosial. Arti
dari pernyataan tersebut adalah, pendidikan diberikan untuk digunakan sebagai sarana
meneruskan dan menyelamatkan cita-cita masyarakat. Karena itu, dalam hubungan
sekolah sebagai fungsi sosial, keberadaan sekolah (sebagai alat transmisi), menurut
Dewey (1964: 22, dalam Sadulloh, 2003:127) sekurang-kurangnya harus memiliki tiga
fungsi. Ketiga fungsi itu ialah: 1) menyederhanakan dan menertibkan faktor-faktor
bawaan yang dibutuhkan untuk berkembang. Maksudnya, keberadaan sekolah
(pendidik) hendaknya menjadi fasilitator terhadap perkembangan anak; 2) memurnikan
dan mengidealkan kebiasaan masyarakat yang ada. Maksudnya, sekolah hendaknya
menjadi agen pelestari dan penyelaras kebiasaan (kebudayaan) masyarakat, serta
menjadi alat pencerah terhadap kebiasaan masyarakat tersebut agar lebih siap
menghadapi perubahan zaman; dan 3) menciptakan suatu lingkungan yang baik, serta
lingkungan itu menjadi milik anak untuk dikembangkan. Artinya, sekolah hendaknya
memiliki tanggung-jawab menciptakan lingkungan yang baik, dan lingkungan yang baik
itu selanjutnya diserahkan pengelolaannya kepada anak untuk dilestarikan dan
dikembangkan sesuai dengan arah kehidupan masyarakat yang dikehendaki.
2. Tujuan Pendidikan Pragmatisme
Tujuan pendidikan pragmatisme inheren dengan pandangan realitas, teori pengetahuan dan
kebenaran, serta teori nilai. Menurut pandangan realitas, manusia selalu berintraksi dengan
lingkungan tempat mereka berada. Lingkungan baru memiliki arti jika manusia peduli dan
memahami kegunaan dari lingkungan itu sendiri untuk kejayaan hidupnya. Selama manusia tidak
melakukan sesuatu terhadap lingkungan, selama itu pula lingkungan tidak pernah memberi sesuatu
yang bermanfaat bagi manusia.

Kebenaran tidak pernah mutlak, tidak berlaku umum, tidak tetap, tidak berdiri sendiri serta tidak
terlepas dari akal yang mengenal, yang ada hanyalah kebenaran yang bersifat khusus dan setiap saat
dapat diubah oleh pengalaman (Sadulloh, 2003:128). Paparan itu mengandung makna bahwa, ukuran
kebenaran sangat nisbi bergantung dari masing-masing yang memandang. Baik menurut seseorang,
mungkin akan sebaliknya menurut orang lain, demikian seterusnya, sehingga patokan kebenaran
tidaklah dapat berlaku untuk semua orang dan keadaan. Demikian pula nilai, menurut pragmatisme
bersifat relatif, karena kaidah-kaidah moral dan etika tidak pernah tetap, tetapi terus berubah seperti
berubahnya kebudayaan seiring dengan berubahnya masyarakat yang membentuk kebudayaan itu.
Bertolak dari paparan tersebut, tujuan pendidikan pun harus disesuaikan dengan
keadaan masyarakat dimana anak itu berada. Hakekatnya pendidikan berlangsung
dalam kehidupan. Karena itu, tujuan pendidikan menurut pragmatisme harus pula
disesuaikan dengan lingkungan tempat dilangsungkannya pendidikan itu. Menjadi
sesuatu yang ironis jika sebuah pendidikan diterapkan dengan tanpa
mempertimbangkan keadaan lingkungan kehidupan anak.

Di suatu negara yang memiliki penduduk hedrogen seperti Indonesia, terdapat


beraneka ragam warna kehidupan masyarakat. Baik wilayah geografis, tradisi, bahasa
daerah, suku, profesi dan sebagainya. Masing-masing keadaan memiliki ciri-ciri
tertentu serta satu dengan yang lain berbeda-beda. Sebagai misal, jika terdapat suku
yang sama, mungkin tradisi mereka berbeda. Jika memiliki wilayah geografis yang
sama, mungkin mata pencaharian atau profesi mereka berbeda, demikian seterusnya,
sehingga tidak mungkin dapat diterapkan suatu kebijaksanaan pendidikan yang
memiliki konsekuensi yang sama
Menurut pragmatisme, tidak ada tujuan pendidikan yang berlaku secara umum, dan tidak ada pula
tujuan pendidikan yang bersifat tetap dan pasti. Yang ada hanyalah tujuan khusus, dan bersifat nisbi
serta tidak pasti. Karena itu, mustahil tujuan pendidikan dapat ditetapkan untuk semua masyarakat.

Tujuan pendidikan menurut pragmatisme selalu bersifat temporer, dan tujuan merupakan alat untuk
bertindak. Jika suatu tujuan telah dicapai, maka hasil tujuan akan menjadi alat untuk mencapai
tujuan berikutnya, demikian seterusnya, karena pragmatisme tidak mengenal tujuan akhir, dan yang
ada adalah tujuan antara.
Suryabrata (Jalaluddin, 2003:119) mengatakan bahwa, pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar
akan tujuan, bahkan tujuan merupakan salah satu hal yang teramat penting dalam kegiatan
pendidikan, guna memberikan arah dan ketentuan yang pasti dalam memilih materi (isi), metode,
alat, evaluasi terhadap kegiatan yang dilakukan. Dengan arah yang pasti, harapan untuk memperoleh
hasil yang maksimal dari usaha penyelenggaraan pendidikan akan dapat dicapai. Yang tidak kalah
penting, menurut pragmatisme materi yang akan disajikan harus berdasarkan fakta-fakta yang sudah
diobservasi, dipahami, serta dibicarakan sebelumnya, serta materi tersebut dimungkinkan
mengandung ide-ide yang dapat mengembangkan situasi untuk mencapai tujuan. Sebagai misal, jika
materi yang akan diberikan dikaitkan dengan demokrasi, maka materi tersebut hendaknya
merupakan seperangkat tidakan untuk memberi isi terhadap kehidupan sosial yang ada pada waktu
itu dilingkungan tinggal anak. Intinya sekolah secara umum, dan materi ajar secara khusus tidak
dipisahkan dari kehidupan, karena hakekatnya pendidikan bukan persiapan untuk suatu kehidupan,
melainkan pendidikan merupakan kehidupan itu sendiri.
Pendidikan yang bercorak pragmatisme selalu memandang bahwa anak bukanlah individu yang
silent, melainkan individu yang memiliki pikiran yang aktif dan kreatif. Pengetahuan sebenarnya
merupakan hasil dari transaksi manusia dengan lingkungannya, termasuk kebenaran menjadi bagian
dari pengetahuan itu sendiri. Karena itu, seorang guru yang memiliki pandangan pragmatis akan
selalu memperhatikan situasi lingkungan masyarakat anak, serta mendorong agar anak turut
memecahkan persoalan yang ada disekitar tinggal mereka.

Dalam pandangan pragmatisme model kurikulum yang digunakan setiap pelajaran tidak boleh
terpisah-pisah antara satu dengan yang lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling terkait, dan
pengalaman di sekolah selalu dipadukan dengan pengalaman anak di luar sekolah atau di tempat
lingkungan kehidupan anak. Selain itu, masalah yang dijadikan pusat kegiatan oleh guru di kelas
adalah masalah-masalah aktual yang menarik minat anak atau menjadi pusat perhatian anak.

Demikian pula metode yang diterapkan oleh guru adalah metode disiplin bukan kekuasaan, karena
metode kekuasaan cenderung memaksakan anak untuk mengikuti kehendak guru. Cara yang
demikian itu tidak mungkin dapat membangkitkan perhatian dan minat anak. Sedangkan metode
disiplin, semua kemauan dan minat datang dari dalam diri anak sendiri, dan anak akan belajar
apabila ia memiliki minat terhadap suatu hal untuk dipelajari.
Model pembelajaran pragmatisme adalah; anak belajar di dalam kelas dengan cara
berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam
masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan
kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus
belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power
(Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap
pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu: a)
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman
untuk penemuan ha-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi; b) kedudukan siswa.
Kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang
memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh; c) kurikulum.
Kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah.
Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan
kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
tersebut, dan kurikulum pendidikan pragmatisme serta-merta menghilangkan perbedaan
antara pendidikan liberal dengan pendidikan praktis atau pendidikan jabatan; d)
metode. Metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif,
yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja); dan e) peran guru. Peran guru dalam
pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar
siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Bertolak dari uraian tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, tujuan pendidikan
pragmatisme adalah menumbuhkan jiwa yang aktif dan kreatif; membentuk jiwa yang
bertanggung jawab; sosial; dan mengembangkan pola pikir eksploratif yang mandiri
kepada anak. Dengan tujuan tersebut pola perkembangan anak akan berjalan sesuai
dengan pilihan hidup yang telah direncanakan

5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman


individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema
rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul
Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel,
Paul Tillich
6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan
pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini
mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya
memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George
Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff

Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan


di sekolah berpusat pada anak didik (child-centered), sebagai reaksi terhadap pelaksanaan
pendidikan yang masih berpusat pada guru (teacher-centered) atau bahan pelajaran (subject-
centered).
BEBERAPA FAKTOR PENDORONG LAHIRNYA PROGRESIVISME :
1. Semangat radikalisme dan reformasi yang dimulai di sekolah yang dipimpin
oleh Francis W. Parker.
2. Masuknya aliran Froebelianisme, yang menekankan perwujudan diri melalui
kegiatan sendiri, dan penggunaan metode Montessori yang menekankan pada
pendidikan diri sendiri.
3. Perluasan studi tentang perkembangan anak secara ilmiah (psikologi
perkembangan). (REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)

Tokoh Francis W. Parker (1837-1902) dilahirkan di New Hampshire. Ayahnya


meninggal pada waktu berusia enam tahun. Dua tahun kemudian ia magang di
pertanian sambil mengikuti sekolah dasar. Ketika berusia 13 tahun ia
meninggalkan pertanian dan mengikuti pendidikan secara penuh.
Pada usia 16 tahun ia mengajar di sebuah sekolah desa, dan pada usia 20 tahun ia
diangkat menjadi kepala sekolah di Carrolton, Illinois, tempat ia berhenti karena pecah
perang sipil dan menjadi tentara selama beberapa tahun. Setelah perang selesai, ia
kembali mengajar di berbagai tempat hingga 1872.

Ia pergi ke Jerman untuk belajar filsafat dan pendidikan serta mengadakan observasi
dari dekat terhadap sekolah yang didirikan oleh Pestalozzi dan Froebel. Setelah pulang
ke Amerika, ia mulai lagi mengajar dan menjadi inspektur sekolah di Quincy,
Massachusstes, 1875. Disini ia memperkenalkan gagasan-gagasan dan praktek-praktek
pendidikannya, yang kemudian dikenal sebagai dasar dari pendidikan progresif.

Kemudian menjadi Kepala Sekolah Guru Cook Country di Chicago. Sebelum akhir
abad 18, ia diangkat menjadi Kepala Institut Chicago yang didirikan yang didirikan
terutama untuk melakukan eksperimen pendidikan. Institut ini kemudian menjadi
bagian Universitas Chicago, tetapi sebelum ia meyelesaikan tugasnya, ia meninggal
dunia 1902.
DASAR FILOSOFIS ALIRAN PROGRESIVISME :

1. Realisme Spiritualistik
Gerakan Pendidikan Progresif bersumber dari prinsip-prinsip spiritualistik dan kreatif dari Froebel
dan Montessori serta ilmu baru tentang perkembangan anak.

2. Humanisme Baru
Paham ini menekankan pada penghargaan terhadap martabat dan harkat manusia sebagai individu.
Dwengan demikian orientasinya individualistik.

Teori pendidikan progresivisme:


a. Tujuan Pendidikan
Ia menyatakan bahwa tujuan keseluruhan pendidikan adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja,
bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan
tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap anak.

b. Kurikulum
Kurikulum pendidikan progresf adalah kurikulum yang berisi pengalaman-pengalaman atau
kegiatan-kegiatan belajar yang diminati oleh setiap siswa (experience curriculum). Contoh
kurikulum pendidikan progresif dari Lewster Dix adalah berisi tentang :
– Studi tentang dirinya sendiri
– Studi tentang lingkungan sosial dan alam
– Studi tentang seni
c. Metode Pendidikan
Ada beberapa metode yang diperguanakan dalam pendidikan progresif :

1. Metode Belajar Aktif


Metode ini lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasiltas yang memungkinkan
berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak untuk mengembangkan
bakat dan minatnya.

2. Metode Memonitor Kegiatan Belajar


Mengikuti proses kegiatan-kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-
bantuan tertentu apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar proses berlangsungnya
kegiatan-kegiatan belajar tersebut. Bantuan-bantuan yang diberikan sebagai campur
tangan dari luar diusahakan sesedikit mungkin.
3. Metode Penelitian Ilmiah
Progresif merintis digunakannya motode penelitian ilmiah yang tertuju pada
penyusunan konsep, sedangkan metode pemecahan masalah lebih tertuju pada
pemecahan masalah-masalah kritis.
4. Pemerintahan Belajar
Progresif memperkenalkan pemerintahan pelajar dalam kehidupan sekolah (student
government) dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah, sehingga pelajar
diberikan kesempatan untuk turut serta dalam penyelenggaraan kehidupan di sekolah.
5. Kerjasama Sekolah dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah dengan
keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan seluas-luasnya untuk dapat ter-
ekspresi-kan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang diperlukan anak. Upaya
ini mendorong didirikannya sebuah organisasi guru dan orangtua murid, yang
dipelopori F.W. Parker di Chicago. Organisasi ini berfungsi sebagai forum komunikasi
dan kerjasama dalam upaya pembaharuan pendidikan di sekolah.
6. Sekolah sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Pendidikan progresif menganjurkan peranan baru sekolah, tidak lagi hanya tempat
anak belajar, tetapi berperanan pula sebagai laboratorium pengembangan gagasan baru
pendidikan. Hal ini baru dilaksanakan oleh J. Dewey.
(REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)
d. Pelajar
1. Pendidikan berpusat pada anak
Pendidkan progresivisme menganut prinsip pendidikan berpusat pada anak.
Anak merupakan pusat dari keseluruhan kegiatan-kegiatan pendidikan.
Manurut Parker, mengajar yang bermutu berarti aktivitas siswa,
pengembangan keproibadian siswa, studi ilmiah tentang pendidikan, dan
latihan guru sebagai seniman pendidikan.
2. Tiap anak adalah unik
Pendidikan progresivisme sangat memuliakan harkat dan artabat anak dalam
pendidikan. Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini, anak adalah
anak yang sangta berbeda dengan orang dewas. Setiap anak (menurut Parker),
mempunyai individualitas sendiri, anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan dan kecemasan sendiri,
yang berbeda dengan orang dewasa. Dengan demikian anakn harus

diperlakukan berbeda dengan orang dewasa .


e. Pengajar

1. Guru dalam melakukan tugasnya dalam praktek pendidikan berpusat pada anak
mempunyai peranan sebagai :
a. Fasilitator,
b. Motivator,
c. Konselor

2. Guru perlu mempunyai pemahaman yang baiktentang karakterisatik siswa, dan


teknik-teknik memimpin perkembangan siswa, serta kecintaan kepada anak, agar dapat
melaksanakan peranan-peranan dengan baik.

Perkembangangan Progresivisme
Atas bantuan Ny. Emmons Blaine akhirnya terbentuklah Sekolah Pendidikan (School of
Education) di lingkungan Universitas Chicago, dibawah pimpinan Parker pada tahun
1901. Untuk menghormati jasa-jasanya, didirikan Sekolah Dasar Progresif di Chicago,
dengan nama Sekolah Francis W. Parker, dengan kepala sekolah Flora Cook, salah
seorang pembantu dekatnya, pada tahun 1901, atas bantuan Ny. Baline juga. Selain itu,
banyak pula bersiri sekolah progresif lain
• Semenjak tahun 1930, sekolah-sekolah progresif sudah tersebar ke seluruh Amerika
Serikat. Sekolah-sekolah tesebut hampir semuanya swasta, dan hampir semuanya
berorientasi pada anak, tetapi tidak ada yang betul-betul merupakan sekolah Instrumental.
Baru pada tahun 1896 John Dewey mendirikan Laboratory School.
Progresivisme mendapat kritik dari berbagai pihak antara lain :
1. John Dewey mengatakan :
– Progresivisme terlampau menekankan pada pendidikan individu, sebagaimana
dikemukakan pula oleh Dr. Bode dan Counts.
– Kelas sekolah progresif artifisial / dibuat-buat dan tidak wajar.
– Progresivisme bergantung pada minat sewaktu dan spontan.
– Siswa merencanakan sesuatu sendiri dan mereka tidak bertanggung jawab terhadap hasil
dari tugas-tugas yang dikerjakan.
2. George S. Counts dkk menghendaki agar sekolah berperanan mengambil bagian dalam
membangun masyarakat Amerika.
3. Kalangan Gereja Katolik di Amerika Serikat, membentuk gerakan pendidikan yang
disebut aliran ”Perennialisme” yang dipelopori Robert M. Hutchin, kemudian ada pula
kalangan yang menghendaki pendidikan kembali pada kebudayaan lama yang menjadi inti
peradaban manusia, mereka membentuk aliran ”Essensialime” yang dipelopori William C.
Bagley.
4. Kaum Eksistensialisme menghendaki agar sekolah menjadi sebuah forum yang
melibatkan dialog antara siswa dan guru, yang dipelopori A.S. Neil.
(REDJA MUDYAHARDJO, 2002:)
7. Filsafat Pendidikan esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan
konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend
progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah
merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh
dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L.
Kandell.

8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang


lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan
perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini
penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan
moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang
kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert
Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan
progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif
hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada
sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada
tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil.
Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg.
B. ALIRAN FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER
Kalau kita sepakat bahwa obyek kajian filsafat adalah untuk mengetahui realitas atau
hakikat segala sesuatu maka pertama-tama kita harus membedakan terlebih dahulu
paradigma filsafat Barat dan paradigma filsafat Islam.
Dalam filsafat Barat (baca: modern) realitas obyektif adalah dunia materi, fisikal, atau
lahiriah. Realitas adalah segala sesuatu yang hanya dapat ditangkap melalui metode
ilmiah. Hampir-hampir mereka menganggap bahwa dunia ini tidak memiliki dimensi
transendental. Kita tidak akan mendapati konsepsi yg jelas dari filsafat barat mengenai
realitas spiritual.Oleh sebab itu aliran yang berpengaruh kuat dalam filsafat barat
adalah materialisme, empirisme,atau positivisme yang selanjutnya menjadi fundamen
ilmu sains.
Meski demikian ada aliran yang kurang lebih mengandung gagasan tentang realitas
spiritual seperti dalam idealisme atau eksistensialisme. Namun itu hanya berakar dari
gagasan rasional semata yang senantiasa mereka tempatkan di dalam dunia ide. Bagi
mereka dunia ide ini tidak nyata.
Sebaliknya, dalam Islam –sebagaimana diadopsi dari Plato– dunia Ide
ini adalah dunia nyata. Dunia nyata adalah alam haqiqah, dunia
obyektif yang sesungguhnya. Realitas dalam konteks pengetahuan Islam tidak terbatas
pada relitas empirik saja (inderawi), tetapi juga realitas ide tersebut yang
sering disebut sebagai realitas spiritual. Oleh sebab itu aliran filsafat dalam Islam juga
banyak beririsan dengan aliran mistik (sufisme).
Wahyu Islam memandang bahwa manusia telah dianugerahi fakultas- fakultas untuk
mengenali alam dan bentuk-bentuk kesadaran untuk mengetahui realitas di
sekitarnya.Oleh sebab itu di dalam filsafat Islam tidak hanya diakui dunia empiris yang
bisa dicerap indera, tetapi juga pengetahuan rasional hasil dari spekulasi akal, dan
pengetahuan intuitif yang berasal dari cerapan qalbu.
Saya setuju dengan kategorisasi yang dilakukan oleh Murtadha Muthari (1993) yang
membagi empat metode pemikiran (baca: metode filsafat; yang selanjutnya bisa
disebut sebagai aliran filsafat) yang masing- masing memiliki karakter khusus di
bawah pengaruh ajaran Islam, yaitu:
a. Paripatetism (Masyaiyah)Mengandalkan deduksi, logika, dan spekulasi rasional.
Mengadopsi gagasan filsafat yunani yang secara tidak langsung mensintesakan ajaran
Aristoteles dan Plato. Tokoh-tokohnya seperti Al-Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina (periode
awal), Ibn Rusyd, dll
b. Kalam
Mengandalkan deduksi rasional dan logika yang didasarkan atas teks- teks atau
postulat-posutlat wahyu. Mereka yang tidak pernah menggap pendekatannya sebagai
pendekatan filsafat ini melahirkan tiga aliran besar teologi Islam: Mu’tazilah,
Asy’ariyah dan (silahkan sepakat atau tidak:) Syi’ah.
c. Irfan (atau ma’rifah)Mengandalkan intuisi mistik, melalui metode penyucian
bathin. Aliran ini merupakan mainstream utama dalam aliran sufisme, tokoh-tokohnya
seperti: Al-Hallaj, Abu yazid Bustami, Syibli, dan lain-lain.
d. Iluminasi (isyraqi)Menggabungkan seluruh metode dengan memberdayakan
keseluruhan potensi laten manusia baik itu rasio, logika, intuisi, dll. Tokoh-tokoh
aliran ini misalnya Suhrawardi, Ibn Arabi, Mulla Sadhra, Iqbal, dll.
C. ALIRAN FILSAFAT PRA SOCRATES
Bangsa Yunani merupakan bangsa yang pertama kali berusaha menggunakan akal untuk berpikir.
Kegemaran bangsa Yunani merantau secara tidak langsung menjadi sebab meluasnya tradisi
berpikir bebas yang dimiliki bangsa Yunani. Menurut Barthelemy, kebebasan berpikir bangsa
Yunani disebabkan di Yunani sebelumnya tidak pernah ada agama yang didasarkan pada kitab
suci. Keadaan tersebut jelas berbeda dengan Mesir, Persia, dan India. Sedangkan Livingstone
berpendapat bahwa adanya kebebasan berpikir bangsa Yunani dikarenakan kebebasan mereka
dari agama dan politik secara bersamaan.
Pada masa Yunani kuno, filsafat secara umum sangat dominan, meski harus diakui bahwa agama
masih kelihatan memainkan peran. Hal ini terjadi pada tahap permulaan, yaitu pada masa Thales
(640-545 SM), yang menyatakan bahwa esensi segala sesuatu adalah air, belum murni bersifat
rasional. Argumen Thales masih dipengaruhi kepercayaan pada mitos Yunani. Demikian juga
Phitagoras (572-500 SM) belum murni rasional. Ordonya yang mengharamkan makan biji
kacang menunjukkan bahwa ia masih dipengaruhi mitos. Jadi, dapat dikatakan bahwa agama
alam bangsa Yunani masih dipengaruhi misteri yang membujuk pengikutnya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa mitos bangsa Yunani bukanlah agama yang berkualitas tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, para filosof pra-Socrates berusaha membebaskan diri dari
belenggu mitos dan agama asalnya. Mereka mampu melebur nilai-nilai agama dan moral
tradisional tanpa menggantikannya dengan sesuatu yang substansial.
A. Aliran Miletos/Madzhab Milesian
Aliran ini disebut Aliran Miletos karena tokoh-tokohnya merupakan warga asli Miletos, di Asia
Kecil, yang merupakan sebuah kota niaga yang maju. Berikut beberapa tokoh yang termasuk
kedalam Aliran Miletos atau dikenal pula dengan istilah Madzhab Milesian:
1. Thales
Thales hidup sekitar 624-546 SM. Ia adalah seorang ahli ilmu termasuk ahli ilmu
Astronomi. Ia berpendapat bahwa hakikat ala mini adalah air. Segala-galanya berasal
dari air. Bumi sendiri merupakan bahan yang sekaligus keluar dari air dan kemudian
terapung-apung diatasnya.
Pandangan yang demikian itu membawa kepada penyesuaian-penyesuain lain yang lebih
mendasar yaitu bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah satu. Bagi
Thales, air adalah sebab utama dari segala yang ada dan menjadi ahir dari segala-
galanya.
Ajaran Thales yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah sebabnya tiap
benda dapat berubah, dapat bergerak atau dapat hilang kodratnya masing-masing.
Ajaran Thales tentang jiwa bukan hanya meliputi benda-benda hidup tetapi meliputi
benda-benda mati pula.
2. Anaximander
Anaximander adalah murid Thales yang setia. Ia hidup sekitar 610-546 SM. Ia
berpendapat bahwa hakikat dari segala seuatu yang satu itu bukan air, tapi yang satu itu
adalah yang tidak terbatas dan tidak terhingga, tak berubah dan meliputi segala-galanya
yang disebut “Aperion”. Aperion bukanlah materi seperti yang dikemukakan oleh
Thales. Anaximander juga berpendapat bahwa dunia ini hanyalah salah satu bagian dari
banyak dunia lainnya.
3. Anaximenes
Anaximenes hidup sekitar 560-520 SM. Ia berpendapat bahwa hakikat segala sesuatu
yang satu itu adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang encer; jika
dipadatkan pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi akan
menjadi tanah, dan ahirnya menjadi batu. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk
seperti meja bundar.
B. Aliran Pythagoras
Pythagoras lahir di Samos sekitar 580-500 SM. Ia berpendapat bahwa semesta ini tak
lain adalah bilangan. Unsur bilangan merupakan prinsip unsur dari segala-galanya.
Dengan kata lain, bilangan genap dan ganjil sama dengan terbatasa dan tak terbatas.
1. Xenophanes
Xenophanes merupakan pengikut Aliran Pythagoras yang lahir di Kolophon, Asia
Kecil, sekitar tahun 545 SM. Dalam filsafatnya ia menegaskan bahwa Tuhan bersifat
kekal, tidak mempunyai permulaan dan Tuhan itu Esa bagi seluruhnya.
Ke-Esaan Tuhan bagi semua merupakan sesuatu hal yang logis. Hal itu karena
kenyataan menunjukkan apabila semua orang memberikan konsep ketuhanan sesuai
dengan masing-masing orang, maka hasilnya akan bertentangan dan kabur. Bahkan
“kuda menggambarkan Tuhan menurut konsep kuda, sapi demikian juga” kata
Xenophanes. Jelas kiranya ide tentang Tuhan menurut Xenophanes adalah Esa dan
bersifat universal.
2. Heraklitus (Herakleitos)
Heraklitos hidup antara tahun 560-470 SM di Italia Selatan sekawan dengan
Pythagoras dan Xenophanes. Ia berpendapat bahwa asal segalanya adalah api dan api
adalah lambing dari perubahan. Api yang selalu bergerak dan berubah menunjukkan
bahwa tidak ada yang tetap dan tidak ada yang tenang.
C. Aliran Elea
1. Parmenides
Lahir sekitar tahun 540-475 di Italia Selatan. Ajarannya adalah kenyataan bukanlah
gerak dan perubahan melainkan keseluruhan yang bersatu. Dalam pandangan Pamenides
ada dua jenis pengetahuan yang disuguhkan yaitu pengetahuan inderawi dan
pengetahuan rasional. Apabila dua jenis pengetahuan ini bertentangan satu sama lain
maka ia memilih rasio. Dari pemikirannya itu membuka cabang ilmu baru dalam dunia
filsafat yaitu penemuannya tentang metafisika sebagai cabang filsafat yang membahasa
tentang yang ada.
2. Zeno
Lahir di Elea sekitar 490 SM. Ajarannya yang penting adalah pemikirannya tentang
dialektika. Dialektika adalah satu cabang filsafat yang mempelajari argumentasi.
3. Melissos
Lahir di Samos tanpa diketahui secara tepat tanggal kelahirannya. Ia berpendapat bahwa
“yang ada” itu tidak berhingga, maka menurut waktu maupun ruang.
D. Aliran Pluralis
1. Empedokles
Lahir di Akragas Sisislia awal abad ke-5 SM. ia menulis buah pikirannya dalam
bentuk puisi. Ia mengajarkan bahwa realitas tersusun dari empat anasir yaitu api,
udara, tanah, dan air.
2. Anaxagoras
Lahir di Ionia di Italia Selatan. Ia berpendapat bahwa realitas seluruhnya bukan satu
tetapi banyak. Yang banyak itu tidak dijadikan, tidak berubah, dan tidak berada dalam
satu ruang yang kosong. Anaxagoras menyebut yang banyak itu dengan spermata
(benih).
E. Aliran Atomis
Pelopor atomisme ada dua yaitu Leukippos dan Demokritos. Ajaran aliran filsafat ini
ikut berusaha memecahkan masalah yang pernah diajukan oleh aliran Elea. Aliran ini
mengajukan konsep mereka dengan menyatakan bahwa realitas seluruhnya bukan satu
melainkan terdiri dari banyak unsur. Dalam hal ini berbeda dengan aliran pluralisme
maka aliran atomisme berpendapat bahwa yang banyak itu adalah “atom” (a = tidak,
tomos = terbagi).
F. Aliran Sofis
Sofisme berasal dari kata Yunani “sophos” yang berarti cerdik atau pandai. Tokoh-
tokoh kaum sofis adalah Protagoras, Grogias, Hippias, Prodikos, dan Kritias.
D. ALIRAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat benda,
tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada
mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi
pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan
esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan kursi,
pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu sungguh
ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas bentuknya, mampu berada, eksis.
Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat. Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh,
berkembang. Harimau dapat hidup dan merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja,
berbakti, dan membentuk kelompok bersama manusia lain. Selama masih
bereksistensia, segala yang ada dapat ada, hidup, tampil, hadir. Namun, ketika
eksistensia meninggalkannya, segala yang ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak
tampil, tidak hadir. Kursi lenyap. Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau
menjadi bangkai. Manusia mati. Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya,
segalanya dapat nyata ada, hidup, tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia,
segala sesuatu tidak nyata ada, apalagi hidup dan berperan. Berikutnya…
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat
eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena memang
sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah pohon
mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka
mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh
karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia. Dengan
mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut terpengaruhi.
Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan hanya berada,
tetapi berada dalam keadaan optima. Untuk manusia, ini berarti bahwa dia tidak
sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi ideal sesuai dengan
kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran itu, menurut kaum
eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling tinggi adalah kemerdekaan.
Dengan kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat ditanggapi secara baik. Segala
sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau meniadakan kemerdekaan harus
dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus disesuaikan atau, bila perlu, dihapus
dan ditiadakan. Karena adanya tata tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya
sudah tak sesuai dengan hidup yang terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu
membuat orang terlalu melihat ke belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus
membuat praktik kemerdekaan menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan
sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima mungkin. Untuk
menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan atas
norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung penyelesaian
proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum tidak menjadi bahan
pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi kemerdekaan dan isinya
menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai ganti tata-tertib, peraturan, dan
hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab pribadi. Mereka tak mempedulikan
segala peraturan dan hukum, dan tidak mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang
mereka pegang adalah tanggung jawab pribadi dan siap menanggung segala
konsekuensi yang datang dari masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya
hal yang diperhatikan adalah situasi. Dalam menghadapi perkara untuk menyelesaikan
proyek hidup dalam situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling
baik yang menurut pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan
dalam situasi itu. Yang baik adalah yang baik menurut pertimbangan norma mereka,
bukan berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat, negara, atau agama.
Segi positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis
adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran situasi,
penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang berpikiran bahwa
hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti adanya, dan tak perlu diubah, etika
eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum selesai, tidak harus diterima sebagai
adanya, dan dapat diubah, bahkan harus diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia
sebagai pribadi, masyarakat, bangsa, dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup
dimengerti sebagai proyek. Orang yang memandang hidup sebagai sudah selesai,
mempunyai sikap pasrah dan “menerima”, sementara kaum eksistensialis yang
memahami hidup sebagai belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup
ini perlu dan harus diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung
jawab. Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-
sungguh berupaya untuk mengembangkannya.
Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi, situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada
situasi penting, mendesak, atau genting. Karena hidup selalu berjalan normal. Namun,
bagi kaum eksistensialis yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa
akibat untuk kemajuan kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan,
dimanfaatkan, diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup. Akhirnya,
bagi orang yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya,
masa depan tidak amat berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja
dengan masa yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas
dengan hidup yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan
merupakan faktor yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan
hidup dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan
demikian, gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan
optimis menuju ke masa depan. Berikutnya…
Namun, oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi positif
etika eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Kelemaham-kelemahan etika
eksistensialis dapat disebut beberapa. Pertama, etika eksistensialis terperosok ke dalam
pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, di bawah nama melaksanakan
proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran eksistensialis hanya mencari dan mengejar
kepentingan diri. Karena yang baik ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka
yang dianggap baik bukanlah kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri
mereka sendiri. Cara memandang kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan
sesama, masyarakat dan dunia.
Kedua, dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis
menjadi manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma
masyarakat yang sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku
sungguh melawan akal sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil
perjalanan pencarian yang tidak begitu saja mudah ditiadakan. Jika tidak dapat
dipergunakan sepenuhnya, paling sedikit masih dapat bermanfaat sebagai bahan
pertimbangan dan titik tolak pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, sikap
para penganut aliran eksistensialis yang asosial merugikan usaha perbaikan hidup
dan dunia. Karena usaha itu merupakan usaha raksasa sehingga tidak dapat
diselesaikan secara perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh
masyarakat.
Ketiga, dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang
kemerdekaan sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan
yang tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan dibatasi. Pembatasan itu
berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa “hebat”-nya manusia, tidak
mungkinlah dia mampu mewujudkan kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga
datang dari masyarakat. Selama orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan
kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak
mau, dalam hidup masyarakat orang harus mau “memberi” dan “menerima”, alias
berkompromi.
Keempat, kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah
goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang kaum
eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja, pandangannya
menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan pendiriannya rapuh.
Begitulah, etika eksistensialis memiliki unsur-unsur kebaikan yang positif. Namun, bila
tak mengurangi dan melepaskan kelemahan-kelemahannya, eksistensialisme akan
melemahkan arti dan sumbangan-sumbangannya yang memang berharga.
4. FILSAFAT AGAMA DAN
TEHNOLOGI
Filsafat Agama
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan
oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama
bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama
banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat
kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu
mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu
memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut menimbulkan konflik berkepan-jangan antara orang yang cenderung
berfikir filosofis dengan orang yang berfikir agamis, pada hal filsafat dan agama
mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. Untuk menelusuri seluk-beluk filsafat dan agama secara
mendalam perlu diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan agama dan
filsafat itu.
A. Pengertian Filsafat
Salah satu kebiasaan dunia pene-litian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan
konsep tentang sesuatu ber-awal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap
satuan yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan,
perbedaan, ciri-ciri ter-tentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang telah
diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Dalam sejarah perkembangan pemikirian manusia, filsafat juga bukan diawali dari
definisi, tetapi diawali dengan kegiatan berfikir tentang segala sesuatu secara
mendalam. Orang yang berfikir tentang segala sesuatu itu tidak semuanya merumuskan
definisi dari sesuatu yang dia teliti, termasuk juga pengkajian tentang filsafat.
Jadi ada benarnya Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan “lebih baik
pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah banyak
membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu. Namun demikian definisi
filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang yang belajar filsafat definisi itu juga
diperlu-kan, terutama untuk memahami pemikiran orang lain.
Dengan demikian, timbul pertanyaan siapa yang pertama sekali memakai istilah filsafat
dan siapa yang merumuskan definisinya. Yang merumuskan definisinya adalah orang
yang datang belakangan. Penggunaan kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras
sebagai reaksi terhadap para cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya
orang bijaksana, orang arif atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah
pendapat orang-orang tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak
akan tercapai oleh manusia.
Semenjak semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad
Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein dan sophia.
Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut setelah digabungkan menjadi philosophia
dan diterjemah-kan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau
kebijaksanaan.
Orang Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka dan
menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan pola fa`lala.
Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah atau filsaf.
Dalam al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata hikmah. Pada
umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu sama, pada hal
sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan kata philosophia
dengan mencintai kebijaksa-naan, sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan
hikmah. Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan
suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang telah
ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung atau
suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata philosophia
itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bah-wa filsafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cu-kup,
karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang
filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat
sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh sebab itu,
banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang filsafat.
Herodotus mengatakan filsafat adalah perasaan cinta kepada ilmu kebijaksanaan
dengan memperoleh keahalian tentang kebijaksanaan itu. Plato mengatakan filsafat
ada-lah kegemaran dan kemauan untuk mendapatkan penge-tahuan yang luhur.
Aristoteles (384-322 sm) mengatakan filsafat adalah ilmu tentang kebenaran.[10]
Cicero (106-3 sm.) mengatakan filsafat adalah pengetahuan terluhur dan keinginan
untuk mendapatkannya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) salah seorang filosof Inggris mengemukakan filsafat ialah
ilmu pengetahuan yang menerangkan hubungan hasil dan sebab, atau sebab dan hasilnya
dan oleh karena itu terjadi perubahan.[12] R. Berling mengatakan filsafat adalah
pemikiran-pemikiran yang bebas diilhami oleh rasio mengenai segala sesuatu yang
timbul dari pengalaman-pengalaman.
Alfred Ayer mengatakan filsafat adalah pencarian akan jawaban atas sejumlah
pertanyaan yang sudah semen-jak zaman Yunani dalam hal-hal pokok. Pertanyaan-
perta-nyaan mengenai apa yang dapat diketahui dan bagaimana mengetahuinya, hal-hal
apa yang ada dan bagaimana hu-bungannya satu sama lain. Selanjutnya
mempermasalah-kan apa-apa yang dapat diterima, mencari ukuran-ukuran dan menguji
nilai-nilainya apakah asumsi dari pemikiran itu dan selanjutnya memeriksa apakah hal
itu berlaku.
Immanuel Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat
adalah pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di
dalam-nya empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika.
Apa yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ?
Jawabnya :Agama. Apa manusia itu ? Jawabnya Antropologi. Jujun S Suriasumantri
mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang mungkin dapat dipikirkan
manu-sia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir, filsafat mempermasalahkan hal-hal
pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat mulai merambah pertanyaan lain.
Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Titus mem-berikan
difinisi bahwa filsafat itu adalah sikap kritis, terbuka, toleran, mau melihat persoalan
tanpa prasangka. Selanjutnya dia mengatakan bahwa dalam mendefinisikan filsafat
sekurang-kurangnya bertolak dari empat sudut pandang yang saling melengkapi.
Pertama filsafat adalah suatu sikap terhadap hidup dan alam semesta. Dari sudut ini
dapat dijelaskan bahwa suatu sikap filosofis adalah sikap berfikir yang melibatkan usaha
untuk memikirkan masalah hidup dan alam semesta dari semua sisi yang meliputi
kesiapan menerima hidup dalam alam semesta sebagaimana adanya dan mencoba
melihat dalam keseluruhan hubungan. Sikap filosofik dapat ditandai misalnya dengan
sikap kritis, berfikir terbuka, toleran dan mau melihat dari sisi lain.
Kedua adalah suatu metode berfikir reflektif dan metode pencarian yang beralasan. Ini
bukalah metode fil-safat yang eksklusif, tetapi merupakan metode berfikir yang akurat
dan sangat berhati-hati terhadap seluruh pengalaman.
Ketiga filsafat adalah kumpulan masalah. Semenjak dahulu sampai sekarang banyak
masalah yang sangat men-dasar yang masih tetap tidak terpecahkan, meskipun para
filosof telah benyak mencoba memberikan jawabannya. Contohnya apakah kebenaran
itu? apakah keindahan itu, apakah perebedaan antara benar dan salah. ?
Keempat filsafat merupakan kumpulan teori atau sistem-sistem pemikiran. Dalam hal ini
filsafat berarti teori-teori filosofis yang beraneka ragam atau sistem-sistem pemikiran yang
telah muncul dalam sejarah yang biasanya dikaitkan dengan nama-nama filosof ; seperti
Sokrates, Plato, Aristoteles, Agustinus. Mereka sangat ber-pengaruh bagi pemikiran di masa
sekarang. Dari mereka lahir istilah-istilah seperti idealisme, realisme, pragmatis-me dan
sebagainya.
Kattsoff mengemukakan filsafat, ialah ilmu penge-tahuan yang dengan cahaya kodrati
akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang tertinggi segala
sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengeahuan tentang hal-hal pada
sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban alam. Selain itu filsafat
merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu dan berakhir dengan kesimpulan
yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman hidup sehari-hari, serta peristiwa-
peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an serta peristiwa itu lebih bermakna
yang menyebabkan kita lebih berhasil menanganinya.
Selain itu Liang Gie mengemukan metode yang ber-beda dalam pembahasan ini. Penulis
itu meninjau filsafat dan segi pelaku filsafat sendiri. Menurutnya pelaku filsafat itu
terdiri atas beberapa kelompok, antara lain :
Pertama pengejek filsafat, yaitu orang-orang yang mencemoohkan atau memperolok-
olokan filsafat maupun filosof karena ketidaktahuannya.
Kedua peminat filsafat, yaitu seseorang yang sekedar mempunyai arah hidup,
pandangan dunia, ukuran moral atau telah membaca karya filsafat sehingga tertarik
kepada filsafat.
Ketiga penghafal filsafat, pada umumnya mereka ialah mahasiswa yang kerjanya sehari-
hari menghafal buku atau diktat filsafat untuk menghadapi ujian yang diberikan oleh
dosennya.
Keempat sarjana filsafat, yaitu mahasiswa yang lulus di perguruan tinggi filsafat dengan
memperoleh gelar dok-torandus atau lainnya.
Kelima pengajar filsafat, yaitu sarjana yang mem-berikan kuliah dalam mata kuliah
filsafat atau salah satu cabangnya di perguruan tinggi.
Keenam pemikir filsafat, yaitu seorang pemikir da-lam bidang filsafat, dan itulah yang
sebenarnya disebut filosof. Filosof ialah seorang yang senantiasa memahami persoalan-
persoalan filsafat dan terus menerus melakukan pemikiran terhadap jawaban-jawaban
dari persoalan-persoalan itu dari waktu ke waktu dan diungkapkan dalam bentuk lisan
maupun tulisan.
Itulah di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu
menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti latar
belakang sosial, politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari, perbedaan pendapat itu
adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan menimbulkan berbagai spesialisasi
ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat pada umumnya dan selanjutnya muncullah
filsafat khsus, seperti filsafat politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah
terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai bidang
filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu pembahasan bersikap
radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian dalam pembahasan ini semua
prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji berbagai hal tentang agama sehingga hasil
itu disebut filsafat agama.
B. Pengertian Agama
Kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam” yang berarti
pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia. Ter-nyata
agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu,
selalu menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi,
yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan
itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere
yang berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-
cara mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus
dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat. Ajaran-ajaan
agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia. Seorang yang beragama tetap
terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi
mengandung makna berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan dalam religi
terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang Roma mempunyai
anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan Yang suci tetapi juga
sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai sifat baik dan sekaligus mempunyai
sifat jahat.
Religi juga merupakan kecenderungan asli rohani manusia yang berhubungan dengan
alam semseta, nilai yang meliputi segalanya, makna yang terakhir hakikat dari semua
itu. Religi mencari makna dan nilai yang berbeda-beda sama sekali dari segala
sesuatu yang dikenal. Karena itulah religi tidak berhubungan dengan yang kudus.
Yang kudus itu belum tentu Tuhan atau dewa-dewa. Dengan demikian banyak sekali
kepercayaan yang biasanya disebut religi, pada hal sebenarnya belum pantas disebut
religi karena hubungan antara manusia dan yang kudus itu belum jelas. Religi-religi
yang bersahaja dan Budhisma dalam bentuk awalnya misalnya menganggap Yang
kudus itu bukan Tuhan atau dewa-dewa. Dalam religi betapa pun bentuk dan sifatnya
selalu ada penghayatan yang berhu-bungan dengan Yang Kudus.
Manusia mengakui adanya ketergantungan kepada Yang Mutlak atau Yang Kudus yang
dihayati sebagai kontrol bagi manusia. Untuk mendapatkan pertolongan dari Yang Mutlak
itu manusia secara bersama-sama men-jalankan ajaran tertentu.
Jadi religi adalah hubungan antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam hal ini yang
kudus itu terdiri atas ber-bagai kemungkinan, yaitu bisa berbentuk benda, tenaga, dan bisa
pula berbentuk pribadi manusia.
Selain itu dalam al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan pengertian agama. Kata
din dengan akar katanya dal, ya dan nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan
dain. Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada menunjukkan
hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan, martabat
atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi, ditakuti dan
disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama yang mempunyai
kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan untuk memberikan
bantuan dan bagi manusia. Kata din dengan arti hari kiamat juga milik Tuhan dan
manusia tunduk kepada ketentuan Tuhan. Manusia merasa takut terhadap hari kiamat
sebagai milik Tuhan karena pada waktu itu dijanji-kan azab yang pedih bagi orang yang
berdosa. Adapun orang beriman merasa segan dan juga menaruh harapan mendapat
rahmat dan ampunan Allah pada hari kiamat itu. Kata dain yang berarti utang juga
terdapat pihak pertama sebagai yang berpiutang yang jelas lebih kaya dan yang kedua
sebagai yang berutang, bertaraf rendah, dan merasa segan terhadap yang berpiutang.
Dalam diri orang yang berutang pada dasarnya terdapat harapan supaya utangnya
dimaafkan dengan arti tidak perlu dibayar, walaupun harapan itu jarang sekali terjadi.
Dalam Islam manusia berutang kepada Tuhan berupa kewajiban melaksanakan ajaran
agama.
Dalam bahasa Semit istilah di atas berarti undang-undang atau hukum. Kata itu juga
berarti menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan[30] dan semua itu memang
terdapat dalam agama. Di balik semua aktifitas dalam agama itu terdapat balasan yang
akan diterimanya nanti. Balasan itu diperoleh setelah manusia berada di akhirat.
Semua ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi. Namun
banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi agama. Dengan
demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam bentuk yang berbagai
macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai pengertian. Dengan istilah yang
sangat umum ada orang yang mengatakan bahwa agama adalah peraturan tentang cara
hidup di dunia ini.
Sidi Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus,
menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan permohonan dan
membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu. Karena dalam definisi yang
dikemuka-kan di atas terlihat kepercayaan yang diungkapkan dalam agama itu masih
bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada
Allah yang direalisasikan dalam bentuk peribadatan, sehingga membentuk taqwa
berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din
al-haq ialah sistem hidup yang diterima dan diredai Allah ialah sistem yang hanya
diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh kepada-Nya.
Sistem hidup itu mencakup berba-gai aspek kehidupan, termasuk akidah, akhlak,
ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk manusia.
Selanjutnya dijelaskan bahwa agama itu dapat dike-lompokkan menjadi dua bentuk,
yaitu agama yang mene-kankan kepada iman dan kepercayaan dan yang ke dua
menekankan kepada aturan tentang cara hidup. Namun demikian kombinasi antara
keduanya akan menjadi defi-nisi agama yang lebih memadai, yaitu sistem keperca-yaan
dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut, atau cara hidup lahir dan batin.
Bila dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus yang disebut
ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang besar dalam kehidupan
sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang umum, tetapi berasal dari
kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Harun Nasution mengemukakan delapan definisi untuk agama, yaitu:
1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang me-nguasai manusia.
3. Mengikatkan diri kepada suatu bentuk hidup yang me-ngandung pengakuan pada
suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang mempengaruhi perbu-atan-
perbuatan manusia.
4. Kepercayaan kepada sesuatu ikatan gaib yang menim-bulkan cara hidup tertentu.
5. Suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini berasal dari suatu
kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Anda mungkin juga menyukai