Anda di halaman 1dari 4

C.

Skeptisisme, Subjektivisme, dan Relativisme

Ditengah ramainya ilmu pengetahuan yang berkembang dengan sangat


pesat, berkembang pula metode dan cara menarik kesimpulan bagi fakta-fakta
yang ada dan metode yang digunakan. Metode ini mungkin sangat beragam dan
pelaku sendiri harus menentukan metode yang paling tepat untuk sistem mereka
sendiri.
Pendapat pertama menyatakan perubahan yang cepat dan berganti-ganti
dalam mencari kebenaran atau alasan terjadinya suatu fakta akan membuat
sekelompok manusia menjadi bosan dan akhirnya mempunyai sikap skeptis
terhadap perubahan yang dialami di masanya.
Pendapat kedua menyatakan kekeliruan demi kekeliruan mnyebabkan
pemirsa bingung dan menimbulkan teka-teki namun tidak berbuat apa-apa. Teori
dan hukum yang dirumuskan setiap kali diperbarui dan meninggalkan kesan
seakan-akan hasil penemuan terbaru belum tentu benar dan tinggal menantikan
saat keruntuhannya. Dapat akhirnya disimpulkan bahwa kebenaran pengetahuan
hanya berlaku pada subjek-subjek tertentu, yang menjadi ciri kaum subjektivitas.
Pendapat ketiga justru menyatakan bahwa kebenaran yang ada pasti relatif,
tergantung pada banyak hal. Pernyataan-pernyataan ini akhirnya terbawa
kedalam kelompok-kelompok pemikir yang nantinya melahirkan aliran-aliran
khas yang menjadi warna perkembangan sains dari zaman ke zaman.

1. Aliran Skeptisme
Sejak zaman Yunani kuno, di tengah masyarakat Sofistik sudah terdapat
tokoh-tokoh terkenal diantaranya Gorgias (485-380), mengambil sikap tidak
mau percaya akan kebenaran menurut para pemikir yang ada. Sikap dasar
dari kaum skeptis adalah bahwa manusia tidak pernah tahu akan apapun
dan manusia tidak boleh merasa pasti karena pengetahuan yang didapat
dari waktu ke waktu tidak pernah cukup.
Ada tiga pernyataan Gorgias yang terpenting :
1) tidak ada yang benar-benar ada
2) Kalaupun ada yang benar-benar ada, kita tidak dapat mengetahuinya
3) Kalaupun kita tau apa yang benar-benar ada itu, kit atidak dapat
mengkomunikasikannya
Dari ketiga pernyataan tersebut dapat ditarik implikasi bahwa
pengetahuan sesungguhnya cuma merupakan konstruksi abstraksi manusia,
tidak ada realitas yang diketahui secara nyata, semua hanya merupakan
konstruksi dari realitas dalam abstraksi manusia yang dianggap nyata
tersebut.
Di awal zaman modern banyak orang kambali menjadi skeptis setelah
dicetuskannya teori kebolehjadian Heisenberg dalam mekanika kuantum
diaman digambarkan bahwa letak elektron tidak dapat diketahui secara
pastidan tepat pada saat yang sama. Banayk para ahli (diantaranya golongan
Lingkaran Wina yang sangat memperhatikan lahir dan berkembangnya
teori kuantum) akhirnya menarik implikasi dari teori ini bahwa sebenarnya
usaha manusia untuk mencari kepastian tidak akan membuahkan hasil,
karena kepastian yang dicari tersebut pada hakikatnya tidak dapat dipastikan.
Menagapa sebenarnya timbul sikap skeptis? Karena manusia terlalu
mencari kepastian dan kebenaran tanpa berpikir dengan lebih mendalam.
Ada anggapan bahwa pengetahuan identik dengan kepastian, dan manusia
mencari pengetahuan seperti manusia mencari kepastian, supaya manusia
dapat berpegang pada kepastian itu dan tidak susah-susah menentukan
sendiri maan yang baik dan mana yang salah menurut dirinya.
Menurut Darcates, segala sesuatu perlu diragukan dan dicarikan
kebenarannya dan kebenaran itu harus dapat disadari dengan jelas dan dapat
dibedakan (clear and distincitive). Melalui tahapan meragukan, akan dicapai
sesuatu yang benar yang tidak meragukan lagi. Yang diinginkan adalah fakta
eksistensial yang tidak perlu diragukan lagi karena telah dibuktikan melalui
proses berpikir yang disadari. Juga menurut Descartes, manusia mempunyai
kemampuan untuk mengenali dan menangkap kebenaran, bukan sekedar
tahu akan kebenaran.

2. Aliran Subjektivitas
Subjektivitas adalah akibat secara tidak langsung dari pemikiran
Dercartes. Subjektivitas mengandalkan satu-satunya hal yang kita
ketahui dengan pati adalah diri kita sendiri dalam aktivitas kesadaran
kita.
Karena Descartes, banyak pemikir yang meyakini bahwa satu-
satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti adalah diri kita sendiri
dan kegiatan sadar kita. Hal lain yang berada di luar diri kita dan tidak
diketahui secara langsung tidak dapat dipastikan kebenarannya.
Kebenaran macam itu hanya dapat diterima setelah melewati
argumentasi menggunakan logika dan penyimpulan tidak langsung.
Jembatan yang menghubungkan antara subjek pengamat dan yang lain
harus benar-benar dipikirkan agar mana yang dapat dipastikan dan mana
yang tidak dapat dipastikan tidak menjadi rancu satu sama lain.
Keraguan metodis sabagai metode menjajaki kepastian yang
diajukan oleh Dercartes ternyata justru menyebabkan skeptisisme model
baru. Pada hal Descartes bermaksud mengemukakan kemampuan
berpikir sampai pada taraf membedakan dan memilah-milahkan objek
dengan jelas sebagai kriteria kebenaran yang objektif, yang ternyata
sulit dipahami semua orang. Kebenaran yang tertutup pada diri dan
kesadaran subjek ini ternyata banyak membawa pengaruh dalam dunia
pemikiran manusia di zaman itu.
Lagipula pengetahuan macam ini bersifat subjektif, padahal yang
diperlukan adalah pengetahuan objektif karena mengkaji segala sesuatu
yang menjadi objek dan keberadaannya di luar diri manusia yang
mengamatinya.

3. Aliran Relativisme
Menurut aliran relativisme, kebenaran dan kepastian yang
ada tidak dapat diklaim oleh manusia dengan mutlak karena
sifatnya selalu relatif. Sifatnya tidak mutlak karena sangat
tergantung pada subjek yang melihat, situasi dan kondisi saat itu,
kebudayaan dan hukum-hukum yang berlaku pada saat itu, juga
pandangan masyarakat akan kebaikan dan keburukan yang berlaku
di daerah tersebut saat itu.
Relativitas tidak mudah mempermasalahkan yang lain
menyangut pengetahuan yang telah ada namun menghargai tiap
pandangan lain. Relativisme karenanya sangat menarik banyak
perhatian orang karena sifatnya tidak mengemukakan pertentangan
namun membawa damai dengan menerima semuanya.
Hanya saja, jika relativisme dimutlakkan juga, yang terjadi
adalah semacam subjektivisme. Subjek sendiri menjadi acuan
relativitas yang ada di luar dirinya, dan akibatnya tolok ukur
kebenaran menjadi berbeda dari subjek ke subjek.
Tak beda dengan relativisme subjektif tadi, relativisme
konseptual juga sering terjadi, semua relatif terhadap bingkai
konsep yang dipakai. Dalam banyak hal ini dapat diterima karena
kita harus bicara pada konteksnya masing-masing, namun di lain
pihak relativisme semacam ini akan memungkinkan karena apapun
bisa dipakai untuk membuat konteks yang dipakai berbeda., konsep-
konsep yang berhubungan dengan topik juga bisa dibuat berbeda.
Tiap kelompok masyarakat mempunyai bingkai konseptual berbeda,
bahasa berbeda, tata hidup berbeda, paradigma berbeda, jika kita
meminjam terminologi Thomas Samuel Kuhn
Mengenai relativisme, kita perlu sedikit berhati-hati karena
jangan sampai manusia selalu menerima segala sesuatu karena
mengingat bahwa kebenarannya selalu relatif.
Relativisme tidak teelalu berperan penting dalam sains, karena
sains membicarakan objek yang pasti dan tidak dengan mudah
didekati dengan subjektivisme, apalagi skeptisisme. Relativisme
lebih berperan dalam ilmu-ilmu sosial yang sifatnya lebih tidak
pasti dan gejalanya dapat setiap saat berubah-ubah karena
tergantung pada lebih banyak parameter.
Dengan melihat ketiga kecenderungan yang ekstrim dari
manusia dari zaman ke zaman ini maka sudah sepantasnya kita
berhati-hati dalam menentukan sikap dan tidak terjebak dalam salah
satu ekstrim tadi. Kedudukan subjek dan objek mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri dalam menentukan kebenaran, demikian
pula dengan situasi dan kondisi, waktu dan tempat serta konteks,
semuanya membawa pengaruh penting bagi objek dan subjek,
namun bukan berarti ada salah satu yang bisa diutlakkan.

E. Perulangan Pola
Sejarah mencatat perubahan titik tolak perkembangan pengetahuan alam dari
zaman ke zaman : alam makro dan perbintangan, lalu mengecil skalanya menjadi
materi seputar kehidupan (air-api-tanah-kayu), mengecil lagi sampai skala mikro
seperti unsur penyusun materi dan atom. Di awal abad pertengahan terulang lagi
pola yang mirip dengan minat pola zaman dulu, tentu saja perlakuannya yang
beda.
Di lain pihak kebenaran ilmiah yang dicapai dalam skala kecil akan juga
mencerminkan universalitasnya, dengan ditemukannya berbagai macam
konfirmasi dari hasil penelitian mutakhir untuk mempertajam kebenaran spesifik
tadi, demikian dari waktu ke waktu, yang terjadi adalah perulangan pola kegiatan
manusia dalam menyikapi fenomena di alam.
Demikian pula dengan sikap manusia dari zaman ke zaman, skeptisme,
subjektivisme, relativisme, dan bahkan relativisme berulang pula dengan tokoh
dan ciri pemikiran pemikiran mirip namun menunjukkan karakter jamannya.
Tanpa perulangan pola, kita tidak tahu arah suatu proses akan menuju kemana.
Naik turunnya manusia untuk mempelajari alam juga mempunyai pola
serupa. Pada saat ini manusia berpikir untuk mencapai kebenaran global dengan
cara masing-masing. Namun demikian klaim yang dapat diajukan oleh para
ilmuwan tidak dapat melampaui objek yang dipelajarinya.

Anda mungkin juga menyukai