PENDAHULUAN
dan sarana ilmiah tertentu. Melalui metode dan sarana ilmiah dimaksud para
membangun khasanah ilmu pengetahuan? Oleh karena itu penulis berusaha untuk
Sendi utama onomi keilmuan, terletak pada eksistensi ilmu, proses keilmuan
dan kompetensi ilmuwan. Suatu disiplin ilmu dapat disebut ilmu atau eksis
sebagai ilmu jika memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologi secara mandiri.
Ketiga komponen itulah yang membedakan disiplin ilmu yang satu dengan
ilmu. Misalnya; obyek kajian ilmu hukum adalah “hukum”. Identitas hukum
kaidah perilaku tersebut diatur substansi status subyek hukum, obyek hukum, hak,
1
daya ikat, daya laku dan daya tindak yang menjadi otnoritas hukum1. Penjelasan
menyeluruh tentang obyek kajian, selek beluk, tujuan, dan hakikat hukum jelas
tidak dapat diambil alih oleh disiplin ilmu lain. Hanya ilmu hukumlah yang dapat
prosedur, instrument dan teknis analisis terhadap informasi data dan fakta-fakta
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan atau oleh para ilmuwan dalam usaha
mudah. Kenyataan ini, ditandai oleh adanya polemik yang cukup tajam antara
kaum rasionalisme dan empirisme. Tetapi justru disitulah terdapat arena pilihan
1
Misalnya: atas nama hukumlah negara melalui alat-alat kelengkapannya memiliki
otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan hukum.
2
Metode ilmiah tersusun dalam metodelogi. Sarana ilmiah: bahasa, logika, matematika
dan statistika dijadikan alat komunikasi dan analisis untuk memperoleh kebenaran
2
membangun system pemikirannya. Diturunkan dari idea yang menurut anggapan
mereka sudah jelas, tegas, pasti, dan mengandung kebenaran abstrak (universal)
melalui proses penalaran. Bahkan dalam sebuah dialog yang disebut Meno, Plato
kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui
tidak dapat mengatakan apakah suatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia
mempelajari apapun, ia hanya “teringat apa yang telah dia ketahui”. Semua
prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran
manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan
dalam pikiran.
idea atau prinsip. Idea dalam bentuk keindahan, kebenaran, keadilan adalah
produk pemikiran yang berada secara mutlak dan tidak berubah kapan pun dan
bagi siapapun. Manusia dapat mengetahui bentuk-bentuk ini lewat proses intuisi
rasional – yakni suatu kegiatan yang khas dari pikiran manusia. Sebagai bukti
bahwa konsep itu ada didasarkan pada kenyataan bahwa manusia dapat
3
Demikian pula menurut Descartes, sekalipun pengetahuan memang
dihasilkan oleh indera, tetapi indera itu bias menyesatkan (seperti dalam mimpi
atau khayalan), maka dia menyimpulkan bahwa data keinderaan tidak dapat
(Saya berpikir, bahwa itu saya ada). Descartes merasa diyakinkan oleh kejelasan
dan ketegasan dari idea tersebut. Atas dasar idea itulah dia menalarkan bahwa
semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul
dalam pikiran kita: “Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas
adalah benar”.
dari dunia pikiran. (Dalam rasionalisme “pikiran” tidak sinonim dengan “otak”).
Bagi Plato maupun Descartes, pengetahuan yang benar sudah ada bersama kita
dalam bentuk idea-idea, yang tidak kita peroleh (pelajari) melainkan merupakan
dunia yang kita ketahui dengan metode intuisi rasional adalah dunia yang nyata.
Kebenaran atau kesalahan terletak dalam idea dan bukan pada benda-benda
tersebut.
1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun
diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat
4
bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan
pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada
satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat
5
dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari system matahari
empiris berdalil adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan
mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat
system pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun
dapat diperoleh lewat pengalaman. Terdapat empat aspek penting dari teori
empiris: Pertama, perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui
(obyek) ialah alam nyata berupa fakta-fakta empiris yang dapat ditangkap indrawi
manusia. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek
didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu.
Alam pada dasarnya teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi
di masa lalu, atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang
sama sekarang, maka kaum empiris merasa cukup beralasan untuk membuat
pengalaman adalah identik atau sama, maka kita mempunyai cukup jaminan untuk
membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Secara khusus, kaum
John Locke, sebagai bapak kaum empiris Inggris, mengajukan sebuah teori
berpendapat, pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas
lilin yang licin (tabula rasa) dimana data yang ditangkap pancaindera lalu
tergambar disitu. Makin lama banyak kesan pancaindera yang tergambar. Dari
kombinasi dan perbandingan berbagai pengalaman maka idea yang rumit dapat
dihasilkan. Locke memandang pikiran sebagai suatu alat yang menerima dan
disederhanakan menjadi pengalaman indera, dan apa yang tidak dapat tersusun
oleh pengalaman indera bukanlah pengetahuan yang benar, disebut kaum empiris
dari proses neuro-kimiawi yang rumit, dimana obyek luar merangsang satu organ
pancaindera atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau
7
Jika dikaji lebih mendalam, hasil pemikiran kaum empiris juga memiliki
indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin, bahwa
sesuatu yang kita lihat pada malam hari adalah sama dengan yang dilihat
Aksiologi, ialah kegunaan dari ilmu. Aspek aksiologi ini, terkait langsung
pernyataan semacam itu tidak penting bagi ilmuwan seperti Copernicus, dan
manfaat yang positif bagi peradaban manusia, tetapi juga berdampak negatif.
langsung terpicu karena kemajuan IPTEK? Lantas para ilmuwan lalu berpaling
kepada hakikat moral ataupun nilai agama, yang menjadikan mereka seakan-akan
telah terjadi konflik antara tujuan ilmu dengan tujuan moral dan agama. Misalnya,
penciptaan robot, manusia kloning, senjata kimia, nuklir, dan sebagainya yang
5
Ibid, h. 105
6
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, 1990, h. 229-336
9
dinilai bertentangan dengan nilai-nilai moral, keagamaan ataupun mengancam
peradaban manusia.
Dengan kata lain, otonomi keilmuan tetap layak dikembangkan selaras dengan
nilai-nilai moral dan keagamaan. Tetapi, tidak berarti nilai-nilai moral dan
muncul. Kalau pada tahap kontemplasi masalah moral dan keagamaan berkaitan
dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral dan
keagamaan berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau dari segi
filsafat ilmu, pada tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral dan
keagamaan yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan pada tahap
penerapan konsep terdapat “masalah moral dan keagamaan” ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan.7
masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan
teknologi mana yang tidak tepat guna. Secara konseptual maka hal ini berarti
7
Ibid
10
bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya
teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini
tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain
yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua
moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin,
adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.9
seperti pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan
(1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
-teknologi keilmuan;
8
Ibid
9
Ibid
11
(2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmu
bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki
seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan social (social
engineering);
(4) Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu
moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela
Peradaban telah menyaksikan Socrates dipaksa meminum racun dan John Huss
dibakar. Ternyata sejarah keilmuan tidak berhenti disini. Kemanusiaan tak pernah
intelektual.11
Kebebasan Akademik.
10
Ibid
11
Ibid
12
Kebebasan akademik hakikatnya merupakan varian khusus dari otonomi
hokum?
Kasus Socrates yang dipaksa meminum racun dan John Huss yang dibakar
Malahan masih banyak lagi contoh kasus yang dapat ditampilkan di abad XX,
peneliti, dosen, dan mahasiswa. Mereka ditangkap, diculik dan disiksa tanpa
otonomi. Kesemuanya itu menandakan terjadinya konflik yang cukup tajam antara
dan kebebasan akademik yang dimiliki oleh perguruan tinggi dan sivitas
13
akademikanya memang kerap melenceng dari tujuan ideal otonomi dan kebebasan
14
Untuk dapat mewujudkan paradigma pendidikan berbasis mutu, pelayanan
keilmuannya.
global.
15
7. Kesadaran sivitas akademika perguruan untuk pro aktif meningkatkan
Penutup
1. Makna otnomi keilmuan dan kebebasan akademik hakikatnya satu, ialah daya
kreatif setiap insane akademis untuk membangun IPTEK yang bermanfaat bagi
merupakan kewajiban dari fitrah manusia untuk mewujudkan jati dirinya dan
2. Menurut fitrahnya, manusia tidak dapat berdiri sendiri dan bebas sebebasnya.
12
Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2004, h. 4
16
perbuatan; bahwa dengan membangun IPTEKS melalui proses
4. Karena itu, setiap insane akademik yang sedang menuntut ilmu, sudah lulus
manusia ada maka ia berpikir, bukan sebaliknya karena berpikir manusia itu
ada. Pandangan Decrates tentang “Aku berpikir, karena itu Aku ada (cogito,
DAFTAR PUSTAKA
Nolan, Titus, Smith, 1984. Living Issues In Philosphy, Alih Bahasa oleh H. M.
Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Purwadi, Agus, 2002. Teologi Filsafat dan Sains, UMM-Press.
Semiawan, Conny R. dkk, 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan Keempat, 1999.
Rapar, Jan Hendrik, 1996. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
17
Suriasumantri, Jujun S. (ed)., 1992. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, Cet. X.
18