Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN RASIONALISME DAN EMPIRISME YANG

MELAHIRKAN METODE KEILMUAN

PENDAHULUAN

Proses berpikir ilmiah ialah aktivitas keilmuan menggunakan metode ilmiah

dan sarana ilmiah tertentu. Melalui metode dan sarana ilmiah dimaksud para

ilmuwan dapat menjelaskan, mengorganisasi, memprediksi, dan membuktikan

kebenaran pernyataan suatu disiplin ilmu.

Dalam konteks berpikir ilmiah itulah sebenarnya terdapat nilai “otonomi

keilmuan” dan “kebebasan akademik”. Persoalannya, bagaimana mewujudkan

otonomi keilmuan dan kebebasan akademik itu menjadi produktif dalam

membangun khasanah ilmu pengetahuan? Oleh karena itu penulis berusaha untuk

merenungkan dengan mengelaborasikan dalam bentuk tulisan sederhana ini.

Sendi utama onomi keilmuan, terletak pada eksistensi ilmu, proses keilmuan

dan kompetensi ilmuwan. Suatu disiplin ilmu dapat disebut ilmu atau eksis

sebagai ilmu jika memiliki ontologi, epistemologi dan aksiologi secara mandiri.

Ketiga komponen itulah yang membedakan disiplin ilmu yang satu dengan

disiplin ilmu lainnya.

Ontologi ilmu merefleksikan identitas, substansi dan otoritas suatu disiplin

ilmu. Misalnya; obyek kajian ilmu hukum adalah “hukum”. Identitas hukum

hakikatnya melekat pada norma hukum sebagai kaidah perilaku. Berdasarkan

kaidah perilaku tersebut diatur substansi status subyek hukum, obyek hukum, hak,

wewenang, kewajiban, hubungan hukum, tanggung jawab, dan sanksi hukum.

Masing-masing komponen memiliki konsep baku ataupun dinamis. Sekaligus

1
daya ikat, daya laku dan daya tindak yang menjadi otnoritas hukum1. Penjelasan

menyeluruh tentang obyek kajian, selek beluk, tujuan, dan hakikat hukum jelas

tidak dapat diambil alih oleh disiplin ilmu lain. Hanya ilmu hukumlah yang dapat

melakukannya. Dengan demikian, ilmu hukum memiliki otonomi terhadap obyek

kajiannya dan pengembangan pengetahuan hukum. Begitu pula dengan disiplin-

disiplin ilmu lainnya.

Otonomi keilmuan terhadap obyek kajiannya juga ditopang oleh

epistemologinya, yang membuat bekerjanya proses keilmuan. Setiap disiplin ilmu

pada dasarnya mempunyai metode ilmiahnya tersendiri, yang menentukan

prosedur, instrument dan teknis analisis terhadap informasi data dan fakta-fakta

yang digunakan diperoleh oleh seseorang (ilmuwan) dalam kegiatan keilmuan 2.

Terekpresikan melalui kegiatan pendidikan, pengajaran dan penelitian yang

diselenggarakan oleh lembaga pendidikan atau oleh para ilmuwan dalam usaha

meningkatkan kualitas sumber daya manusia; menemukan, mengembankan,

menyebarluaskan, dan menggunakan ilmu pengetahuan bagi kemaslahatan hidup

manusia. Upaya menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tidaklah

mudah. Kenyataan ini, ditandai oleh adanya polemik yang cukup tajam antara

kaum rasionalisme dan empirisme. Tetapi justru disitulah terdapat arena pilihan

yang mencerminkan otonomi suatu disiplin ilmu untuk menggunakannya.

Bagi kaum rasionalis yang penting adalah kebenaran deduktif (rasional)

bukan induktif (empiris). Mereka memakai pernyataan aksiomatik dasar dalam

1
Misalnya: atas nama hukumlah negara melalui alat-alat kelengkapannya memiliki
otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan hukum.
2
Metode ilmiah tersusun dalam metodelogi. Sarana ilmiah: bahasa, logika, matematika
dan statistika dijadikan alat komunikasi dan analisis untuk memperoleh kebenaran
2
membangun system pemikirannya. Diturunkan dari idea yang menurut anggapan

mereka sudah jelas, tegas, pasti, dan mengandung kebenaran abstrak (universal)

melalui proses penalaran. Bahkan dalam sebuah dialog yang disebut Meno, Plato

berdalil bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus menemukan

kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi, jika dia belum mengetahui

kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenali? Menurut Plato, seseorang

tidak dapat mengatakan apakah suatu pernyataan itu benar kecuali kalau dia

sebelumnya sudah tahu bahwa itu benar. Kesimpulannya; manusia tidak

mempelajari apapun, ia hanya “teringat apa yang telah dia ketahui”. Semua

prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam pikiran

manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan

membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama itu sudah berada di

dalam pikiran.

Teori pengetahuan Plato tersebut kemudian diintegrasikan dengan

pendapatnya tentang hakekat kenyataan. Menurutnya, kenyataan dasar terdiri dari

idea atau prinsip. Idea dalam bentuk keindahan, kebenaran, keadilan adalah

produk pemikiran yang berada secara mutlak dan tidak berubah kapan pun dan

bagi siapapun. Manusia dapat mengetahui bentuk-bentuk ini lewat proses intuisi

rasional – yakni suatu kegiatan yang khas dari pikiran manusia. Sebagai bukti

bahwa konsep itu ada didasarkan pada kenyataan bahwa manusia dapat

menggambarkannya. Tegasnya; Plato memandang pengetahuan sebagai suatu

penemuan yang terjadi melalui proses pemikiran rasional yang teratur.

3
Demikian pula menurut Descartes, sekalipun pengetahuan memang

dihasilkan oleh indera, tetapi indera itu bias menyesatkan (seperti dalam mimpi

atau khayalan), maka dia menyimpulkan bahwa data keinderaan tidak dapat

diandalkan. Malahan Descartes, dengan tegas menyatakan: “cogito, ergo sum”

(Saya berpikir, bahwa itu saya ada). Descartes merasa diyakinkan oleh kejelasan

dan ketegasan dari idea tersebut. Atas dasar idea itulah dia menalarkan bahwa

semua kebenaran dapat kita kenal karena kejelasan dan ketegasan yang timbul

dalam pikiran kita: “Apa pun yang dapat digambarkan secara jelas dan tegas

adalah benar”.

Dari ungkapan tersebut, menunjukkan pengetahuan yang dapat diandalkan

menurut kaum rasionalis, bukanlah diturunkan dari dunia pengalaman melainkan

dari dunia pikiran. (Dalam rasionalisme “pikiran” tidak sinonim dengan “otak”).

Bagi Plato maupun Descartes, pengetahuan yang benar sudah ada bersama kita

dalam bentuk idea-idea, yang tidak kita peroleh (pelajari) melainkan merupakan

bawaan. Kaum rasionalis mempertahankan pendapat mereka tersebut, bahwa

dunia yang kita ketahui dengan metode intuisi rasional adalah dunia yang nyata.

Kebenaran atau kesalahan terletak dalam idea dan bukan pada benda-benda

tersebut.

Sungguhpun cara berpikir rasionalis, pada batas-batas tertentu memang

mampu menghasilkan pengetahuan yang dinilai benar. Akan tetapi memiliki

kelemahan, antara lain:

1. Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat maupun

diraba. Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat

4
bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan

kekuatan dan keyakinan yang sama. Lebih jauh, terdapat perbedaan

pendapat yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai

kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar. Plato, St.

Augustine, dan Descartes masing-masing mengembangkan teori-teori

rasional sendiri yang masing-masing berbeda.

2. Banyak diantara manusia yang berpikir jauh merasa bahwa mereka

menemukan kesukaran yang besar dalam menerapkan konsep rasional

kepada masalah kehidupan yang praktis. Kecenderungan terhadap

abstraksi dan kecenderungan dalam meragukan, serta menyangkal

syahnya pengalaman keinderaan telah di kritik orang habis-habisan.

Kritikus yang terdidik biasanya mengeluh bahwa kaum rasionalis

memperlakukan idea atau konsep seakan-akan mereka adalah benda yang

obyektif. Menghilangkan nilai dari pengalaman keinderaan,

menghilangkan pentingnya benda-benda fisik sebagai tumpuan, lalu

menggantinya dengan serangkaian abstraksi yang samar-samar, dinilai

mereka sebagai suatu metode yang sangat meragukan dalam memperoleh

pengetahuan yang dapat diandalkan.

3. Teori rasional gagal dalam menjelaskan perubahan dan pertambahan

pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada

satu waktu kemudian berubah pada waktu yang lain. Pada suatu saat

5
dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari system matahari

hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.3

Selanjutnya tampil kaum empirisme yang dipelopori Aristoteles. Kaum

empiris berdalil adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahuan mutlak dan

mencakup semua segi, apalagi bila di dekat kita, terdapat kekuatan yang dapat

dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih

dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan mengembangkan sebuah

system pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk benar, meskipun

kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.

Kaum empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia

dapat diperoleh lewat pengalaman. Terdapat empat aspek penting dari teori

empiris: Pertama, perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui

(obyek) ialah alam nyata berupa fakta-fakta empiris yang dapat ditangkap indrawi

manusia. Kedua, kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek

didasarkan kepada pengalaman manusia. Pernyataan tentang ada atau tidak

adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian public. Ketiga,

empirisme menekankan pada prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam

didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu.

Alam pada dasarnya teratur. Dengan melukiskan bagaimana sesuatu telah terjadi

di masa lalu, atau dengan melukiskan bagaimana tingkah laku benda-benda yang

sama sekarang, maka kaum empiris merasa cukup beralasan untuk membuat

ramalan mengenai kemungkinan tingkah laku benda tersebut di masa depan.


3
Stanley M.Honer dan Thomas C.Khunt, Metode Dalam Mencari Pengetahuan
Rasionalisme, Empirisme dan Metode Keilmuan: Ilmu Dalam Perspektif, Jujun S.Suriasumantri,
Yayasan Obor Indonesia< Jakarta, 1995, h 99-102
6
Keempat, disamping berpegang pada prinsip keteraturan, kaum empiris juga

menggunakan prinsip keserupaan. Bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan

pengalaman adalah identik atau sama, maka kita mempunyai cukup jaminan untuk

membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. Secara khusus, kaum

empiris mendasarkan teori pengetahuannya kepada pengalaman yang ditangkap

oleh panca indera.

John Locke, sebagai bapak kaum empiris Inggris, mengajukan sebuah teori

pengetahuan yang menguraikan dengan jelas sifat-sifat empirisme. John Locke

berpendapat, pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai selembar kertas

lilin yang licin (tabula rasa) dimana data yang ditangkap pancaindera lalu

tergambar disitu. Makin lama banyak kesan pancaindera yang tergambar. Dari

kombinasi dan perbandingan berbagai pengalaman maka idea yang rumit dapat

dihasilkan. Locke memandang pikiran sebagai suatu alat yang menerima dan

menyimpan sensasi pengalaman. Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan

keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok.

Mereka yang berkeras pada pendapat bahwa semua pengetahuan dapat

disederhanakan menjadi pengalaman indera, dan apa yang tidak dapat tersusun

oleh pengalaman indera bukanlah pengetahuan yang benar, disebut kaum empiris

radikal atau “sensasionalisme”. Begitu pula pernyataan kaum empiris modern,

yang mengemukakan pendapat Locke dengan kata-kata; Pengetahuan adalah hasil

dari proses neuro-kimiawi yang rumit, dimana obyek luar merangsang satu organ

pancaindera atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau

elektris di dalam organ badani yang disebut otak.

7
Jika dikaji lebih mendalam, hasil pemikiran kaum empiris juga memiliki

berbagai kelemahan, sebab:

1. Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan

langsung dengan kenyataan obyektif. Kritikus kaum empiris

menunjukkan bahwa fakta tak mempunyai apapun yang bersifat pasti.

Fakta itu sendiri tak menunjukkan hubungan diantara mereka terhadap

pengamat yang netral. Jika analisis secara kritis maka “pengalaman”

merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi

sebuah teori pengetahuan yang sistematis.

2. Pancaindera manusia sering menyesatkan. Hal ini disadari oleh kaum

empiris, bahwa empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk

membedakan antara khayalan dan fakta.

3. Empirisme tak memberikan kepastian. Apa yang disebut pengetahuan

yang mungkin, sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya

diragukan. Tanpa terus berjaga-jaga dan mempunyai urutan pengalaman

indera yang tak terputus-putus, kita takkan pernah merasa yakin, bahwa

sesuatu yang kita lihat pada malam hari adalah sama dengan yang dilihat

pada pagi harinya.4

Keterbatasan pemikiran rasionalisme dan empirisme pada gilirannya

melahirkan metode keilmuan (metodologi) yang dikembangkan cukup

deternimistik dan variatif. Memiliki kerangka dasar sekurang-kurangnya terdiri

atas enam langkah pokok, yaitu: perumusan masalah pengamatan dan

pengumpulan data yang relevan, klasifikasi data, perumusan hipotesis,


4
Ibid, h. 102-104
8
operasionalisasi hipotesis, pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis. 5

Sungguhpun demikian, setiap disiplin ilmu pada prinsipnya dapat

mengembangkan metodenya yang bersifat khas, yang merefleksikan setiap ilmu

dan ilmuwannya memiliki otonomi dalam mengembangkan kegiatan keilmuan.

Refleksi Aksiologi Ilmu

Aksiologi, ialah kegunaan dari ilmu. Aspek aksiologi ini, terkait langsung

dengan kompetensi ilmuwan. Persoalan yang kerapkali muncul, apakah ilmu

dikembangkan untuk ilmu, ataukah untuk kemaslahatan hidup manusia? Mungkin

pernyataan semacam itu tidak penting bagi ilmuwan seperti Copernicus, dan

ilmuwan seangkatannya.6 Namun bagi ilmuwan dan masyarakat manusia di abad

XXI pertanyaan tersebut tetap menggugah perasaan. Sebab, dengan kemajuan

IPTEK yang sedemikian dahsyatnya, ternyata IPTEK tidak saja memberikan

manfaat yang positif bagi peradaban manusia, tetapi juga berdampak negatif.

Terjadinya berbagai bentuk peperangan, ancaman terorisme, kejahatan maya,

kloning manusia, dan sebagainya, bukanlah secara langsung maupun tidak

langsung terpicu karena kemajuan IPTEK? Lantas para ilmuwan lalu berpaling

kepada hakikat moral ataupun nilai agama, yang menjadikan mereka seakan-akan

tidak lagi memiliki ke otonomian dalam mengembangkan keilmuan. Atau bahkan

telah terjadi konflik antara tujuan ilmu dengan tujuan moral dan agama. Misalnya,

soal pembatasan kelahiran yang mempergunakan ragam alat kontrasepsi,

penciptaan robot, manusia kloning, senjata kimia, nuklir, dan sebagainya yang

5
Ibid, h. 105
6
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Harapan, 1990, h. 229-336
9
dinilai bertentangan dengan nilai-nilai moral, keagamaan ataupun mengancam

peradaban manusia.

Menghadapi kenyataan seperti itu, ilmu pada hakikatnya mempelajari alam

dan kehidupan manusia sebagaimana adanya tiada lain bertujuan untuk

mencerdaskan, memakmurkan, dan mensejahterakan kehidupan ummat manusia.

Dengan kata lain, otonomi keilmuan tetap layak dikembangkan selaras dengan

nilai-nilai moral dan keagamaan. Tetapi, tidak berarti nilai-nilai moral dan

keagamaan telah mengintervensi tujuan keilmuan.

Sebagaimana diketahui, perkembangan ilmu telah beralih dari tahap,

“kontemplasi ke manipulasi” dimana masalah moral dan nilai keagamaan dapat

muncul. Kalau pada tahap kontemplasi masalah moral dan keagamaan berkaitan

dengan metafisika keilmuan maka dalam tahap manipulasi ini masalah moral dan

keagamaan berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. Atau dari segi

filsafat ilmu, pada tahap pengembangan konsep terdapat masalah moral dan

keagamaan yang ditinjau dari segi ontologi keilmuan, sedangkan pada tahap

penerapan konsep terdapat “masalah moral dan keagamaan” ditinjau dari segi

aksiologi keilmuan.7

Masalah teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi sebenarnya

lebih merupakan masalah kebudayaan daripada masalah moral dan keagamaan.

Artinya, dihadapkan dengan ekses teknologi yang bersifat negatif, maka

masyarakat harus menentukan teknologi mana saja yang akan dipergunakan dan

teknologi mana yang tidak tepat guna. Secara konseptual maka hal ini berarti

7
Ibid
10
bahwa suatu masyarakat harus menetapkan strategi pengembangan teknologinya

agar sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dijunjungnya.8

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan

teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan

pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral

terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini

tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain

untuk mempergunakannya. Apakah pengetahuan itu dipergunakan untuk tujuan

yang baik, ataukah dipergunakan untuk tujuan yang buruk. Golongan kedua

sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah

terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan

pemilihan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas

moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin,

adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.9

Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total

seperti pada waktu era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan

kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan

masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni:

(1) Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang

dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi

-teknologi keilmuan;

8
Ibid

9
Ibid
11
(2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmu

(ilmuwan) yang lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi

bila terjadi penyalahgunaan;

(3) Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana terdapat kemungkinan

bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki

seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan social (social

engineering);

(4) Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu

secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan

martabat atau mengubah harkat kemanusiaan.10

Kesimpulannya, masalah moral dan keagamaan tak bisa dilepaskan dengan

tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran

dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian

moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela

mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar.

Peradaban telah menyaksikan Socrates dipaksa meminum racun dan John Huss

dibakar. Ternyata sejarah keilmuan tidak berhenti disini. Kemanusiaan tak pernah

urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral dan

keagamaan maka ilmuwan mudah sekali tergelincir dalam melakukan prostitusi

intelektual.11

Kebebasan Akademik.

10
Ibid
11
Ibid
12
Kebebasan akademik hakikatnya merupakan varian khusus dari otonomi

keilmuan. Tanpa otonomi keilmuan tidak mungkin ada kebebasan akademik.

Dengan memahami otonomi keilmuan sebenarnya nilai kebebasan akademik pun

sudah terekpresikan. Tetapi mengapa soal otonomi keilmuan dan kebebasan

akademik kerap dimunculkan ke permukaan? Bahkan terkesan diperjuangkan

berabad-abad agar dihormati oleh pengusaha atau dilindungi berdasarkan atas

hokum?

Kasus Socrates yang dipaksa meminum racun dan John Huss yang dibakar

hidup-hidup oleh penguasa merupakan contoh ekstrim tentang terjadinya

penindasan terhadap eksistensi otonomi keilmuan atau kebebasan akademik.

Malahan masih banyak lagi contoh kasus yang dapat ditampilkan di abad XX,

yang menunjukkan betapa represifnya tindakan penguasa terhadap para ilmuwan,

peneliti, dosen, dan mahasiswa. Mereka ditangkap, diculik dan disiksa tanpa

proses hukum yang jelas, karena mengeluarkan pendapatnya berdasarkan nilai

keilmuan dan/atau mengkritisi penyelenggaraan pemerintahan oleh suatu rezim

otonomi. Kesemuanya itu menandakan terjadinya konflik yang cukup tajam antara

penguasa dengan lembaga pendidikan atau masyarakat akademik.

Malahan, sekalipun asas otonomi keilmuan dan kebebasan akademik telah

dinormatifkan ke dalam undang-undang pendidikan nasional, tetapi menurut

prakteknya tetap saja ada pembatasan-pembatasan untuk melaksanakan otonomi

keilmuan dan kebebasan akademik.

Pada tataran empiris kehidupan kampus, implementasi otonomi keilmuan

dan kebebasan akademik yang dimiliki oleh perguruan tinggi dan sivitas

13
akademikanya memang kerap melenceng dari tujuan ideal otonomi dan kebebasan

tersebut. Aktivitas keilmuan dan akademik kurang/tidak diarahkan untuk

mencapai tujuan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,

melainkan telah distigma oleh berbagai kepentingan yang bersifat pragmatis

(politis) dengan mengatas namakan otonomi keilmuan dan kebebasan akademik.

Sebaliknya, dipihak penguasa lebih mengutamakan pendekatan ketertiban dan

keamanan daripada nilai otonomi keilmuan dan kebebasan akademik. Akibatnya,

konflik antara penguasa dengan lembaga pendidikan tinggi dan sivitas

akademikanya seakan-akan berlangsung laten.

Sungguhpun demikian, seirama dengan dinamika kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara yang terus-menerus menghendaki perubahan yang lebih

baik terhadap tujuan pendidikan nasional, maka di Indonesia norma-norma

tentang otonomi keilmuan dan kebebasan akademik sudah semakin dicerahkan.

Setidaknya, hal itu telah dinormatifkan ke dalam undang-undang sistem

pendidikan nasional berikut peraturan pelaksanaannya.

Paradigma pendidikan nasional telah bergeser dari pola konsentratif ke pola

desentralisasi yang menempatkan lembaga pendidikan semakin otonom

melaksanakan fungsinya. Dengan kata lain, idea-idea tentang otonomi keilmuan

telah dikongritkan dengan konsep kebebasan akademik. Bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan sumber daya akademik mengembangkan potensinya

sebagai insan-insan akademik yang produktif menghasilkan IPTEK bagi

kemajuan masyarkat, negara, nusa dan bangsa serta kebudayaan nasional.

14
Untuk dapat mewujudkan paradigma pendidikan berbasis mutu, pelayanan

publik dan otonomi tersebut, tentunya beberapa persyaratan, antara lain:

1. Setiap perguruan tinggi dituntut memiliki komitmen dan

pertanggungjawaban publik (akuntabilitas), terutama menyangkut

kesesuaian visi, misi, tujuan, dan sasaran yang dinyatakannya dengan

norma-norma konstitusi, nilai moral, etika, dan keagamaan.

2. Setiap perguruan tinggi berkewajiban menyusun rencana program,

kegiatan, anggaran, manajemen, dan pelaksanaannya yang relevan

dengan kebutuhan masyarakat luas dan perkembangan IPTEKS.

3. Tersedianya sumber daya tenaga pendidikan yang berkualitas,

berkepribadian pendidik, dan memiliki kompetensi pada bidang disiplin

keilmuannya.

4. Tersedianya prasarana dan sarana pendidikan yang mampu menjadikan

setiap perguruan tinggi sebagai pusat pengembangan IPTEKS.

5. Terciptanya suasana akademik dan proses belajar-mengajar yang mantap,

terprogram dan efektif terfokus pada peningkatan mutu pendidikan,

maupun ragam kegiatan ilmiah berskala lokal, nasional, regional dan

global.

6. Keterbukaan terhadap pihak-pihak yang berpentingan mengenai

penyelesaian dan pelaksanaan kegiatan pendidikan, penelitian,

pengabdian kepada masyarakat.

15
7. Kesadaran sivitas akademika perguruan untuk pro aktif meningkatkan

jati dirinya sebagai insane akademis, professional, ilmuwan, dan kader-

kader pemimpin bangsa.

8. Merupakan suatu dambaan apabila ke depan semakin banyak universitas-

universitas mewujudkan eksistensinya sebagai universitas riset untuk

sumber daya periset daripada pekerja atau sebagai tenaga pengajar.12

Penutup

1. Makna otnomi keilmuan dan kebebasan akademik hakikatnya satu, ialah daya

kreatif setiap insane akademis untuk membangun IPTEK yang bermanfaat bagi

peradaban kehidupan masyarakat manusia. Daya kreatif tersebut hakikatnya

merupakan kewajiban dari fitrah manusia untuk mewujudkan jati dirinya dan

masyarakatnya menjadi manusia yang cerdas, bermartabat, produktif, dan

aplikatif dalam pencapaian tujuan keilmuan, yang dilandasi tanggung jawab

moral, keagamaan, hokum, dan makhluk ciptaan Tuhan.

2. Menurut fitrahnya, manusia tidak dapat berdiri sendiri dan bebas sebebasnya.

Oleh karena itu mereka diwajibkan berkeluarga, berkelompok, bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan hidup bersama.

3. Demikian pula dalam upaya mewujudkan otonomi keilmuan dan kebebasan

akademik. Tidak dapat dilakukan mandiri oleh setiap individu, melainkan

wajib saling bersinergis membentuk keutuhan persepsi, sikap, perilaku, dan

12
Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2004, h. 4
16
perbuatan; bahwa dengan membangun IPTEKS melalui proses

penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;

maka berbagai masalah kehidupan di dunia dapat diatasi bagi kemaslahatan

ummat di planet bumi ini.

4. Karena itu, setiap insane akademik yang sedang menuntut ilmu, sudah lulus

pada jenjang pendidikan tertentu, sudah bekerja, maupun yang berperan

sebagai tenaga pendidikan dan ilmuwan; sesuai fitrahnya memang memiliki

otonomi dan kebebasan untuk berkarya di arena pengembangan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS).

5. Sesungguhnya demikian IPTEKS bukanlah budak manusia, begitupun

sebaliknya. Sebab sebagai sebuah karya manusia, IPTEKS hakikatnya

merupakan representasi dari jati diri manusia sebagai manusia. Karena

manusia ada maka ia berpikir, bukan sebaliknya karena berpikir manusia itu

ada. Pandangan Decrates tentang “Aku berpikir, karena itu Aku ada (cogito,

ergo sum)” hanyalah sekedar sebuah prinsip yang menunjukkan betapa

hidupnya pikiran manusia, dan dengan mengembangkan pemikirannyalah

manusia dapat hidup layak membangun peradabannya di planet bumi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Nolan, Titus, Smith, 1984. Living Issues In Philosphy, Alih Bahasa oleh H. M.
Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang.
Purwadi, Agus, 2002. Teologi Filsafat dan Sains, UMM-Press.
Semiawan, Conny R. dkk, 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, Cetakan Keempat, 1999.
Rapar, Jan Hendrik, 1996. Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

17
Suriasumantri, Jujun S. (ed)., 1992. Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, Cet. X.

18

Anda mungkin juga menyukai