ILMU HUKUM
PENDAHULUAN
Teori dalam ilmu hukum dapat dibangun melalui pemikiran filosofis, logika
yuridis dan sosiologis mengikuti pola piker deduktif, induktif dan/atau kombinasi
timbal balik antara keduanya. Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah
“membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai landasan
filosofisnya yang tertinggi” Teori hukum mempermasalahkan: mengapa hukum
itu berlaku, apa dasar kekuatan mengikatnya? Apa yang menjadi tujuan hukum?
Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami? Apa hubungannya dengan individu?
Apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum? Apakah keadilan? Bagaiman
hukum yang adil? Dan seterusnya yang bersifat konseptual (teoritik).
1
suatu fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar
konsep”.
Berpatokan pada pengertian teori yang demikian itu, dapat ditarik substansi
intinya, bahwa teori hukum harus memiliki kualitas yang mampu berfungsi
mengorganisasi, menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol gejala-gejala hukum
normative maupun empirik yang dipersoalkan sebagai masalah di dalam kegiatan
akademis ataupun tata kehidupan hukum di masyarakat.
b. Dua buah konsep atau lebih yang diproposisikan secara aksiomatik deduktif
abstrak dalam bentuk pernyataan asiomatik dan mengandung kebenaran umum
dan tidak perlu dibuktikan lagi kebenarannya disebut juga dengan istilah
“Postulat”. Tetapi jika dua buah konsep atau lebih diproposisikan secara
aksiomatik konkret yang kebenaran isinya masih perlu dibuktikan secara
faktual dinamakan “Teorem” atau “Asumsi”.
2
c. Postulat hukum, merupakan: asumsi-asumsi dasar yang berisi kebenaran umum
tanpa memerlukan pembuktian berdasarkan fakta empiric karena sudah dapat
diyakini kebenarannya menurut penalaran akal sehat atau rasio yuridis.
Asumsi-asumsi hukum, ialah: pernyataan-pernyataan atau proposisi yang
bersifat umum-konkret mengenai fenomena hukum tertentu yang kebenarannya
masih perlu dibuktikan lebih lanjut secara empiris. Postulat dan asumsi
memainkan peranan penting bagi pembuktian “Hipotesis” baik hipotesis
korelasional ataupun hipotesis deskriptif. Hipotesis berfungsi sebagai jawaban
sementara terhadap masalah yang dikemukakan. Memadukan bekerjanya
penelitian menemukan fakta-fakta empirik dan arah pengujiannya secara
kualitatif maupun kuantitatif, menggunakan statistik non parametrik ataupun
parametrik. Kejelian, kecermatan dan kapasitas intelektual peneliti amat
sangat menentukan kelayakan ilmiah perumusan konsep, postulat dan asumsi.
Semakin tinggi tingkat abstraksi suatu konsep, postulat dan asumsi semakin
tinggi pula bobot kualitas teoritisnya. Semakin tinggi tingkat pembuktian
hipotesis semakin layak pula pernyataannya untuk menjadi sebuah teori ilmiah.
d. Pendapat para pakar hukum, adalah ekspresi buah pikiran para ilmuwan hukum
berdasarkan hasil pengamatan, penelitian, pengkajian dan perenungan secara
mendalam tentang persoalan hukum tertentu yang diyakini mengandung
kebenaran ilmiah dan dapat dijadikan bahan rujukan untuk menjelaskan
persoalan hukum tertentu.
e. Nilai hukum, ialah segala nilai yang dikandung norma-norma hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis yang dapat dijadikan patokan berbuat atau tidak
berbuat sesuatu oleh subyek hukum baik orang maupun badan hukum.
f. Asas hukum, adalah nilai dasar suatu norma hukum atau gagasan-gagasan
pokok pemikiran hukum yang tidak memiliki sanksi namun berfungsi sebagai
landasan pembenar bagi perumusan norma hukum, sarana pengujian kelayakan
berlakunya hukum dan alasan-alasan (argumentasi) bagi suatu gugatan
(tuntutan) hukum.
3
Selain itu terdapat dalil-dalil, yang kandungannya juga bersifat teoritis
(Grand Theory). Menurut Guru besar Herman Soewardi, dalil berisi: “opini
tentang apa saja yang menyangkut keilmuan, dirumuskan dalam bentuk proposisi,
yang menunjukkan kepedulian promovendus untuk mengetahui segala macam
ciptaan Tuhan, dan berfungsi sebagai jembatan interaksi tatap muka antara
promovendus dengan para guru besar dari berbagai disiplin keilmuan ketika ujian
disertasi, mungkin salah atau benar, tetapi dapat menarik perhatian khalayak
ramai, bahwa di dunia ini ada sesuatu nilai heuristic untuk diungkapkan lebih
jauh”.
4
Opini universal sang sufi Muhammad Ibn “Abbad, lahir di Ronda-Spanyol
1332 dan meninggal pada 17 Juni 1390), mendalilkan bahwa “satu-satunya
keinginan dan pilihan kita haruslah sesuatu yang lebih membawa ke tujuan
diciptakannya diri kita”. Opini tersebut, bunyinya seakan kontradiktif dengan
dalil Robert Frost, tetapi hakikinya sepenuhnya parallel, ialah tentang eksistensi
dan kewajiban manusia kepada Sang Pencipta. Bagi Muhammad Ibn ‘Abbad, “…
kita tidak boleh sedemikian memperhatikan segala ciptaan, sehingga kita jadi
memiliki pilihan bebas dan tidak di bawah larangan apapun, mengutakan sehat
daripada sakit, kaya daripada miskin, kehormatan daripada kehinaan, panjang usia
daripada pendek usia, dan sebagainya”, Sang Pencipt Maha Kaya dengan
muslihatnya! Opini seperti itulah yang bernilai “heuristic” ialah mengandung
nilai luhur dan berimplikasi jauh ke depan melampaui batas-batas pengalaman
empirik manusia.
Masih banyak yang perlu diungkapkan, tapi yang banyak itu tetap menjadi
sedikit bilamana hanya mengerti pada batas yang tidak dimengerti, maka akan
lebih baik jika kita mengerti pada kedalaman yang memang dimengerti. Tidak
ada pengertian yang salah kecuali salah mengerti.
7
konstruksi masalah dan perancangan solusinya”. Atau merupakan “the central
coqnitif resource for scientist activity”
Oleh karena itu, paradigma menurut disiplin ilmu sosial dan konsep
perubahan sosial memiliki pengertian yang lebih luas daripada sekedar sebuah
asas, konsep, teori, dan norma tertentu, bahkan diposisikan sebagai
8
“metateoretis”. Mansour Fakih menjelaskan, bahwa paradigma ialah “konstelasi
teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai
dan pemikiran tertentu”. Ia juga mengutip pendapat Herbermas, yang
membedakan tiga macam aliran paradigma yaitu “instrumental knowledge”,
“hermeneutic knowledge” dan “emancipator knowledge”.
9
dari Filsafat Liberalistik Individualistik (Blok Barat) dan Paham Sosialis Komunis
(Blok Timur). Sebagai norma regulative ia menjadi tolok ukur penguji apakah
suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku masih layak dengan
perkembangan zaman atau perubahan-perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat. Sebagai norma konstitutif ia menuntun pembentukan norma-norma
hukum kearah pencapaian tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara menurut kurun waktu tertentu. Sebagai cita hukum, Pancasila
memberikan arahan ideologis nilai etik dan moral terhadap cita hukum Indonesia
ke masa depan.
Satu kesatuan nilai puncak inilah yang menjadi nilai cita, tujuan dan
harapan tertinggi ke depan bagi kemaslahatan hidup komunitas masyarakat
manusia yang beradab dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Maka bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan satu kesatuan sistem nilai
puncak (tertinggi) yang dihasilkan oleh kearifan masyarakat Indonesia dan
difungsikan sebagai cita hukum dan norma fundamental negaranya.
10
Pancasila sebagai cita hukum konstantifnya memang berada pada dunia
cita, tetapi sebagai norma fundamental negara, nilai-nilai yang dikandungnya
sudah berada pada alam pikiran nyata. Ia berfungsi memberikan pedoman umum
kepada otoritas publik untuk mewujudkan cita hukum melalui proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional sehingga terbentuk
watak, sikap, perilaku, dan budaya nasional yang harus dimiliki oleh para
penyelenggara negara dan pemerintahan. Termasuk perwujudnya ke dalam
peraturan perundang-undangan yang bersifat public dan positif.
Apabila sudah berlaku publik dan positif, maka hukum berfungsi sebagai
sarana pemenuhan kebutuhan hidup bermasyarakat di bidang ketertiban,
ketentraman, kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum yang berproses terus
menerus dari waktu ke waktu (pantarei). Proses yang demikian itu,
mengakibatkan peranan hukum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
rasa aman, tertib, kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum tidak selamanya
langgeng. Ini merupakan konsekuensi logis dari nilai-nilai hukum yang
berkohesif dengan nilai-nilai kehidupan sosial dan selalu berkontraksi dengan
nilai-nilai sosial budaya lainnya, baik pada tataran lokal, nasional, regional,
maupun global.
11
terdalam, akan tampak wujud norma hukum dalam rumusan pasalnya yang
mengandung nilai hakiki ataupun temporalistik sosiologis. Dari nilai yang
dikandung norma tersebut, para aktor dan ilmuwan hukum dapat menarik
kesimpulan timbal balik induktif maupun deduktif tentang konstelasi nilai
irasional dan rasional berupa etik, moral, asas, konsep, dan teori empirik yang
mendukungnya. Lebih jauh berkreasi menciptkan paradigma hukum bersifat
emancipator, instrumental dan hermeneutic.
13
Inilah yang menjadi tantangan ilmuwan hukum ke masa depan, khususnya
bagi ilmuwan hukum Indonesia untuk menciptakan paradigma ilmu hukum
Indonesia yang sejati. Sampai kini masih meragukan tentang keberadaan ilmu
hukum Indonesia, mengingat sampai kini belum ditemukan pembentukan dan
pengembangan paradigma hukum Indonesia yang berbasis murni dari paradigma
ideologis Pancasila.
PENUTUP
14
DAFTAR PUSTAKA
15