Anda di halaman 1dari 9

ILMU PENGETAHUAN DAN ETIKA (Soerjono S, 1995)

Prolog
Dalam keseharian, tanpa kita menyadari seringkali mengucapkan berbagai
pernyataan, statement atau putusan (judgement), seperti: “gedung itu tinggi”. “rumah
itu indah”, “perbuatan itu jahat”, dan seterusnya. (Hartoko, 1991). Ucapan-ucapan itu
meliputi tiga sektor dalam pengetahuan kita, yakni:
a. sektor gejala-gejala yang dapat diukur secara matematik
b. sektor keindahan yang tak dapat diukur begitu saja dengan jalan menghitung
atau menjumlahkan
c. sektor moral yang tunduk kepada suatu ukuran dalam hati kita.
Immanuel Kant, filsuf Jerman pada akhir abad 18 menyimpulkan, bahwa kategori
pertama khusus digarap oleh ilmu pengetahuan alam dan terbatas pada kulit
kenyataan atau gejala-gejala saja (fenomena), sedangkan lewat pengalaman tentang
keindahan (pengalaman estetik) dan tentang baik-buruknya sesuatu (pengalaman
moral) kita menerobos kulit gejala-gejala menuju hakekat kenyataan, biarpun
mungkin belum meraihnya.
Ontologi (hakikat apa yang dikaji?), Epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan)
dan aksiologi (nilai kegunaan ilmu) adalah tiga komponen dasar dalam telaah ilmu
(Jujun, 1988). Dalam komponen dasar itu kajian etika termasuk dalam aksiologi.

1. Apakah Ilmu Pengetahuan (Science)?

Manusia sebenarnya diciptakan oleh Tuhan YME sebagai mahluk yang sadar.
Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari kemampuannya untuk berpikir,
berkehendak dan merasa. Dengan pikirannya manusia mendapatkan (ilmu)
pengetahuan; dengan kehendaknya manusia dapat mengarahkan perilakunya; dan
dengan perasaannya manusia dapat mencapai kesenangan. Sarana untuk
memelihara dan meningkatkan ilmu pengetahuan dinamakan Logika, sedangkan
sarana-sarana untuk memelihara serta meningkatkan pola perilaku dan mutu
kesenian, masing-masing disebut etika dan estetika. Apabila pembicaraan

7
dibatasi pada logika, maka hal itu merupakan ajaran yang menunjukkan
bagaimana manusia berpikir secara tepat dengan berpedoman pada ide
kebenaran.
Apakah etika benar-benar merupakan suatu ilmu pengetahuan? Sejak
mulakala, para pelopor etika menganggapnya demikian; akan tetapi apakah
anggapan tadi benar? Persoalan tersebut mungkin dapat diselesaikan dengan
terlebih dahulu berusaha untuk merumuskan apakah yang dimaksudkan dengan
ilmu pengetahuan (science). Secara pendek dapatlah dikatakan bahwa ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan
menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat diperiksa dan
ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin
mengetahuinya. Perumusan tadi sebetulnya jauh dari sempurna, akan tetapi yang
terpenting adalah bahwa perumusan tersebut telah mencakup beberapa unsur
yang pokok. Unsur-unsur (elemen) yang merupakan bagian-bagian yang
tergabung dalam suatu kebulatan adalah:
a. pengetahuan (knowledge)
b. tersusun secara sistematis
c. menggunakan pemikiran
d. dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (obyektif)

a. pengetahuan (knowledge)
Yang dimaksud dengan pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia
sebagai hasil penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan
kepercayaan (belief) – mengenai fakta, kepercayaan, kebenaran dan
pengetahuan dapat dibaca karya Bertrand Russel dalam buku Ilmu dalam
Perspektif oleh Yuyun SS – takhyul (superstitions) dan penerangan-penerangan
yang keliru (misinformations). Misalnya, dikalangan orang-orang Marindanim di
Irian Barat ada suatu kepercayaan bahwa sebelum mereka berburu harus
diadakan upacara, didatangkan seorang dukun, dibacakan mantera-mantera dan
dikeluarkan pula jimat-jimat supaya perburuan mereka berhasil. Contoh lain
adalah adanya anggapan (dahulu kala) tentang ras kulit putih yang mempunyai

8
tingkat kepandaian yang melebihi tingkat kepandaian ras-ras dengan warna kulit
lain. Kepercayaan-kepercayaan tersebut. Yang tidak dapat dibuktikan
kebenarannya menimbulkan ketidakpastian, sedangkan pengetahuan bertujuan
untuk mendapatkan kepastian serta menghilangkan prasangka sebagai akibat
ketidakpastian tersebut.
Adalah sangat penting untuk diketahui bahwa pengetahuan berbeda dengan
buah pikiran (ideas), oleh karena tidak semua buah pikiran merupakan
pengetahuan. Pernah ada buah pikiran yang mengatakan bahwa suatu pemerintah
atau negara tunggal yang mencakup seluruh dunia akan mencegah terjadinya
perang, namun tidak pernah diketahui dengan pasti apakah buah pikiran tadi
benar. Adapula buah pikiran yang mengatakan bahwa usia lima tahun merupakan
patokan untuk dapat meramalkan apakah seseorang akan menjadi gila atau tidak
di kelak kemudian hari, halmana tentu belum pasti benar.
Tidak semua buah pikiran memerlukan pembuktian akan kebenarannya atau
ketidakbenarannya, oleh karena ada buah pikiran yang semata-mata merupakan
kelakar dan angan-angan belaka dari manusia. Namun buah pikiran dan angan-
angan juga merupakan bahan yang berharga bagi seorang ilmuwan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatannya.

b. Sistematis
Tidak semua pengetahuan merupakan suatu ilmu, hanya pengetahuan yang
tersusun secara sistematis saja yang merupakan ilmu pengetahuan. Sistematika
berarti urutan-urutan yang tertentu daripada unsur-unsur yang merupakan suatu
kebulatan, sehingga dengan adanya sistematika tersebut akan jelas tergambar apa
yang merupakan garis besar dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sistem
tadi adalah suatu konstruksi yang abstrak dan teratur sehingga merupakan
keseluruhan yang terangkai. Artinya, setiap bagian dari suatu keseluruhan dapat
dihubungkan satu dengan yang lainnya. Abstrak berarti bahwa konstruksi
tersebut hanya ada dalam pikiran dan tidak dapat diraba ataupun dipegang.
Sistem di dalam ilmu pengetahuan harus bersifat dinamis, artinya, sistem tersebut

9
harus menggunakan cara-cara yang selalu disesuaikan dengan taraf
perkembangan ilmu pengetahuan pada suatu saat.
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dengan penggunaan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana selalu dapat
diperiksa dan ditelaah dengan kritis. Tujuan ilmu pengetahuan adalah lebih
mengetahui dan mendalami segala segi kehidupan.
Pada hakekatnya ilmu pengetahuan timbul karena adanya hasrat ingin tahu
dalam diri manusia. Hasrat ingin tahu tadi timbul oleh karena banyak sekali
aspek-aspek kehidupan yang masih gelap bagi manusia, dan manusia ingin
mengetahui kebenaran dari kegelapan tersebut. Setelah manusia memperoleh
pengetahuan tentang sesuatu, maka kepuasannya tadi segera disusul lagi oleh
suatu keenderungan untuk lebih tahu lagi. Dalam usahanya untuk mencari
kebenaran tersebut, manusia dapat menempuh pelbagai cara yaitu antara lain:
a. penemuan secara kebetulan. Artinya adalah penemuan yang sifatnya
tanpa direncanakan dan diperhitungkan terlebih dahulu. Penemuan
semacam ini, walaupun kadang-kadang bermanfaat, tidak dapat
dipakai dalam suatu cara kerja yang ilmiah karena keadaannya yang
tidak pasti atau kurang mendekati kepastian. Dengan demikian hal
datangnya penemuan tidak dapat diperhitungkan secara berencana, dan
tidak selalu memberikan gambaran yang sesungguhnya.
b. Hal untung-untungan; artinya penemuan melalui cara percobaan-
percobaan dan kesalahan-kesalahan. Perbedaan dengan penemuan
secara kebetulan, adalah pada metode ini manusia lebih bersikap aktif
untuk mengadakan percobaan-percobaan, walaupun tidak ada
pengetahuan yang pasti tentang hasil-hasilnya. Biasanya apabila
percobaan pertama gagal, diadakan percobaan berikutnya yang
sifatnya memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi pada
percobaan terdahulu.
c. Kewibawaan, yaitu berdasarkan penghormatan terhadap pendapat
seseorang atau lembaga tertentu.

10
d. Usaha-usaha yang bersifat spekulatif, walaupun agak teratur. Artinya
dari sekian kemungkinan, dipilih salah satu kemungkinan walaupun
pilihan tersebut tidaklah didasarkan pada keyakinan apakah pilihan itu
merupakan cara yang setepat-tepatnya.
e. Pengalaman, artinya berdasarkan pikiran kritis. Akan tetapi
pengalaman belum tentu teratur dan bertujuan. Mungkin pengalaman
tersebut hanya untuk dicatat saja. Menurut Muhajir kebenaran ilmiah
dibangun dari sejumlah banyak kenyataan atau fakta. Kenyataan atau
fakta dalam telaah filosofik dapat dibedakan menjadi empat, yaitu
kenyataan empirik sensual, empirik logic, empirik etik, dan kenyataan
empirik transenden. Empirik sensual dapat diamati kebenarannya
berdasarkan empirik indriawi manusia; empirik logic dapat dihayati
kebenarannya karena ketajaman pikiran manusia dalam memberi
makna atas indikasi empirik (yang tidak perlu menjangkau empirik
secara tuntas); sedangkan empiri etik dapat dihayati kebenarannya
karena ketajaman akal budi manusia dalam memberi makna ideal atas
indikasi empiri. Edmund Husserl mengemukakan bahwa obyek ilmu
tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup
fenomena yang tidak lain daripada persepsi, pemikiran, kemauan, dan
keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek, ada sesuatu yang
transenden, disamping yang aposteriorik.
f. Penelitian ilmiah, yaitu suatu metode yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala dengan jalan analisis dan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta-masalah yang disoroti,
untuk kemudian mengusahakan pemecahannya.

c. pemikiran
yang dimaksud dengan pemikiran adalah pemikiran dengan menggunakan otak.
Apakah artinya semua ini? Apabila pembicaraan dikembalikan pada pengetahuan
maka ternyata bahwa pengetahuan tersebut diperoleh melalui kenyataan (fakta)
dengan melihat dan mendengar sendiri, serta melalui alat-alat komunikasi. Hal-

11
hal demikian diterima pancaindra untuk kemudian diterima otak dan diolah oleh
otak berupa pengaruh atau pengalaman-pengalaman. Bila pengaruh atau
pengalaman tadi disusun secara sistematis oleh otak, maka hasilnya adalah ilmu
pengetahuan. Penyusunan secara sitematis tadi dilakukan oleh pemikiran bukan
oleh perasaan.

d. dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (obyektif)
Selanjutnya, ilmu pengetahun tersebut harus dapat dikemukakan, harus diketahui
oleh umum, sehingga dapat diperiksa dan ditelaah oleh umum yang mungkin
berbeda fahamnya dengan ilmu pengetahuan yang dikemukakan. Oleh karena
pada umumnya, ilmu pengetahuan dapat ditelaah oleh umum, ilmu pengetahuan
selalu berkembang. Kalau ilmu pengetahuan yang netral tersebut sudah diterima
oleh umum, maka ilmu pengetahuan tadi harus ditujukan pada suatu sasaran
tertentu, misalnya masyarakat manusia, gejala-gejala alam, perwujudan-
perwujudan kegiatan rohaniah dan seterusnya.

Disamping unsur-unsur tersebut, terdapat pula penegasan oleh Bahm bahwa


suatu kegiatan baru dapat dikatakan sebuah ilmu manakala mencakup enam
karakteristik (Rizal M & Misnal M, 2001):
1. Problem (problems);
2. Sikap (attitude);
3. Metode (method);
4. Aktivitas (activity);
5. Pemecahan (solutions);
6. Pengaruh (effect).
Lebih lanjut disampaikan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai landasan
pengembangan yang dapat digambarkan sebagai berikut:

12
LANDASAN
PENGEMBANGAN ILMU

ONTOLOGIS EPISTEMOLOGIS AKSIOLOGIS

APA? BAGAIMANA MENGAPA/


UNTUK APA?

REALITAS METODOLOGI TUJUAN/NILAI

2. Etika : Ilmu tentang Moralitas (Bertens, 2001 – 15)


Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh
berkaitan dengan moralitas. Suatu cara lain untuk merumuskan hal yang sama adalah
bahwa etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Ada tiga
pendekatan ilmiah tentang tingkah laku moral. Yaitu, etika deskriptif, etika normativ,
dan metaetika.
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat
kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas
yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau
subkultur-subkultur yang tertentu, dalam suatu periode sejarah dan sebagainya.
Etika deskriptif hanya melukiskan keadaannya, tidak memberi penilaian.
b. Etika Normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana
berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah moral. Disini
ahli bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti pada etika
deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku

13
manusia. Penilaian ini dibentuk atas dasar norma-norma. Ia tidak lagi membatasi
diri dengan memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tapi menolak
prostitusi sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan martabat manusia.
“Martabat manusia harus dihormati” dapat dianggap sebagai contoh tentang norma
semacam itu. Pada etika deskriptif hanya melukiskan norma-norma itu. Ia tidak
memeriksa apakah norma-norma itu sendiri benar atau salah. Etika normatif
sebaliknya, ia meninggalkan sikap netral itu dengan mendasarkan pendiriannya
atas norma. Dan tentang norma-norma yang diterima dalam suatu masyarakat atau
diterima oleh seorang filsuf lain, ia berani bertanya apakah norma-norma itu benar
atau tidak.
Hal yang sama bisa dirumuskan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif
melainkan preskriptif (=memerintah), tidak melukiskan melainkan menentukan
benar tidaknya suatu tingkah laku atau anggapan moral.
Etika normatif selanjutnya dapat dibagi dalam etika umum dan etika khusus.
1. Etika umum memandang tema-tema umum seperti: apa itu norma etis?
Jika ada banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama lain?
Mengapa norma moral mengikat kita? Apa itu nilai dan apakah kekhususan
nilai moral? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab manusia dan
kebebasannya? Dapatkah dipastikan bahwa manusia sungguh-sungguh
bebas? Apakah yang dimaksud dengan “hak” dan “kewajiban” dan
bagaimana perkaitannya? Syarat-syarat mana harus dipenuhi agar manusia
dapat dianggap sungguh-sungguh baik dari sudut moral? Tema-tema seperti
itulah yang menjadi obyek penyelidikan etika umum.
2. etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum
atas wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu
istilah yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan bahwa dalam etika
khusus itu premis normatif dikaitkan dengan premis factual untuk sampai
pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga. Etika khusus
mempunyai tradisi panjang dalam sejarah filsafat moral. Kini tradisi ini kerap
kali dilanjutkan dengan memakai suatu nama baru, yaitu “etika terapan”
(applied ethics). Kode etik bisa dilihat sebagai produk etika terapan.

14
c. Metaetika
Cara lain untuk mempraktekkan etika sebagai ilmu adalah metaetika. Awalan meta
– (dari bahasa Yunani) mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Istilah ini
diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukanlah moraltas
secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Metaetika
seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf
“bahasa etis” atau bahasa yang kita pergunakan di bidang moral.

Daftar Bacaan:
Soerjono Soekanto, 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan keduapuluh PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Bertens K., 2001. Etika. Cetakan ke enam PT Gramedia Pustaka Umum , Jakarta
Rizal M & Misnal M., 2001. Filsafat Ilmu. Cetakan I Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Pandji Anoraga, SE, MM., 2001. Psikologi Kerja. Cetakan ketiga PT Asdi
Mahasatya Jakarta.
Dick Hartoko, 1991. Manusia Dan Seni. Cetakan kelima Pen. Kanisius, Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai