Anda di halaman 1dari 12

ASSIGNMENT

SCIENCE PHYLOSOPHY

(TAKE HOME TEST)

By :

NAMA : NATALINO FONSECA D. S. GUTERRES

NIM : 21050118529008

DOCTORATE PROGRAME, MECHANICAL ENGINEERING


FACULTY OF ENGINEERING AND SCIENCE
DIPONEGORO UNIVERSITY
SEMARANG
JULY 2019

1
QUESTION

Format:
Jawaban harus ditulis dengan menambahkan catatan kaki / catatan akhir dan daftar pustaka, dua
spasi dengan font 12 Arial atau huruf time new roman. Minimal 8 pustaka harus dikutip.
Selanjutnya jawablah pertanyaan ini dengan seksama?

1. Bagaimana seharusnya dalam mempelajari ilmu pengetahuan apakah sebagai fenomena


sosial (ilmu yang dipelajari melalui sejarah dan sosiologi) atau yang mempengaruhi
filsafat ilmu/sains? Misalnya, apakah hubungan antara praktik aktual sain dan teori
normatif tentang cara sains harus bekerja?
2. Seorang Fislsuf“Longino” berpendapat bahwa nilai-nilai itu penting terkait dengan
objektivitas ilmiah. Bagaimana pendapat anda? Apa yang dimaksud dengan obyektivitas
itu? Apakah objektivitas yang beliau maksud benar dapat dicapai dengan cara yang
disebutkan beliau ini?
3. Bisakah fakta dipisahkan dari nilai? Apa hubungan antara fakta dan nilai dalam alasan
ilmiah yang baik?
4. Apakah ilmu yang ideal 'bebas nilai'? Dalam arti apa? Apakah ada aspek khusus sains
yang bebas nilai dalam ideal? Seperti inferensi ilmiah?
5. Apa yang dimaksud Godfrey-Smith dengan teori ilmu filsafat 'naturalistik'? Apakah ini
pandangan yang baik tentang hubungan yang tepat antara sains dan filsafat?
6. Dapatkah pembedaan berprinsip yang dapat ditarik antara apa yang diamati dan apa yang
tidak? Jika Ya, apakah perbedaannya memiliki signifikansi metodologis?
7. Apa yang disebut empirisme konstruktif? Adakah alasan empirisme yang membangun
lebih disukai (atau lebih buruk) daripada realisme ilmiah?
8. Apakah induksi metapesimistis itu? Sejauh mana hal itu bertentangan dengan apa yang
mempercayai teori ilmiah terbaik kita? Apakah ada posisi kompromi yang bisa diambil
oleh seorang realis, mengakui bahwa beberapa hal teori kita katakan tentang dunia yang
tidak dapat diobservasi seharusnya tidak dianggap terlalu serius, sambil mempertahankan
bahwa orang lain harus?
9. Haruskah kita menjadi realis ilmiah? Dalam arti apa? Adakah arti lain dari. Ilmiah
realisme ’yang seharusnya tidak kita terima?

“””””””””””””GOOD LUCK “””””””

2
ANSWER

1. Kita perlu sekali mempelajari ilmu pengetahuan karena mempunyai fenomena yang

sangat hubungan erat dengan filsafat ilmu. Hal ini dimungkinkan karena para sosiologi selalu

memberikan persoalan sejarah kepada ahli sejarah dengan melakukan penelusuran terhadap

kebudayaan serta struktur masyarakat yang telah lampau kemudian diambil contohnya untuk

masa mendatang sehingga ilmu sejarah dipengaruhi oleh perkembangan sosiologi. Oleh

karena itu antara sejarah dan sosiologi mempunyai pengaruh timbal balik. Sosiologi juga

sejarah mempelajari kejadian dan hubungan yang dialami masyarakat atau manusia. Sejarah

mempelajari peristiwa masa silam, sejak manusia mengenal peradaban. Peristiwa-peristiwa itu

kemudian dihubungkan satu sama lain sehingga diperoleh gambaran menyeluruh pada masa

lampau serta mencari sebab terjadinya atau memperkuat tersebut. Selain itu, sosiologi juga

memerhatikan masa silam, tetapi terbatas pada peristiwa yang merupakan proses

kemasyarakatan dan timbul dari hubungan antara manusia dalam situasi dan kondisi yang

berbeda.

Sejarah dan sosiologi berpengaruh kepada ilmu atau sains dilihat dari sejarah dan

sosiologi itu merupakan:

Ilmu yang mempelajari tentang masyarakat dan aspek-aspek dinamis yang ada didalamnya,

secara tidak langsung kita dapat menemukan bahwa objek kajian antara sosiologi dan sejarah

tidak jauh berbeda, namun sejarah membatasinya dengan konsep ruang dan waktu. Sejarawan

juga terkadang melakukan pendekatan sosilogis dalam melakukan penlitian.1


1
Corresponding author. Telp. +6281327799658
Email address: natalinofonseca81@gmail.com
3
2. Pendapat saya tentang seorang ilmuwan Filsof “Longinu” mengatakan bahwa nilai-

nilai itu penting terkait dengan objektivitas ilmiah:

Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak

inilah para ilmuwan terlibat dalam perdebatan panjang, apakah ilmu-ilmu yang berkembang

dengan pesat tersebut bebas nilai atau justru tidak bebas nilai. Hal ini mengingat bahwa di

satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain

subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai subjektif, seperti nila-nilai

dalam masyarakat, nilai agama, nilai adat dan sebagainya yang ikut menentukan pilihan atas

masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.

Objektivitas yang dimaksud Filsof “Longinu” adalah bahwa objek ilmu tetap sebagai

objek ilmiah yang harus dihadapi sama, baik secara teoritis maupun secara metodologis. Oleh

karena itu, ilmuwan tidak boleh membedakan apakah objek yang dihadapi ilmu itu

merupakan bahan dari zat-zat kimia atau keseragaman peristiwa alam (uniformity of natural)

atau merupakan masalah yang ada hubungannya dengan kemanusiaan. Manusia disamping

sebagai subjek peneliti ilmu, juga sebagai objek yang diteliti secara objektif dari luar, tanpa

terpengaruh dengan apa yang menjiwainya.

3. Dalam teori ilmiah nilai dan fakta seharusnya berjalan serentak karena Ilmu

memang mempelajari realita sebagaimana adanya clan untuk ini seorang ilmuwan

dituntut untuk bersikap seobyektif mungkin. Namun tidak dapat dipungkiri sebuah

persepsi tidak akan pernah lepas dan faktor-faktor sebyektifitas. Alasan inilah yang

menunjukkan jika kebenaran yang dicapai ilmu bukan kebenaran absolut melainkan

kebenaran yang bersifat relatif yang sewaktu-waktu bisa berubah berdasarkan penemuan-

4
penemuan fakta dan data baru. Ini sekaligus menunjukkan bahwa obyektifitas secara

mutlak tidak akan dicapai oleh manusia karena keterbatasan yang ada padanya, atau

dengan kata lain obyektifitas yang dicapai ilmu tidak lagi seobyektif sebagai mana

adanya, melainkan dipengaruhi penilaian subyektif yang mendasarkan dan pada nilai-

nilai tertentu

Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh membiarkan diri terpengaruh oleh

nilai-nilai yang letaknya di luar pengetahuan ini menjadi alas an adanya bebas nilai dalam

ilmu. Ini pula yang menjadi dasar otonomi ilmu. Hal ini dapat dipahami karena dalam

memahami reality atau fakta sikap obyektif mutlak diperlukan untuk menemukan

kebenaran sehingga dapat diambil suatu kesimpulan atau hukum berdasarkan fakta yang

ada. Untuk hal ini maka adanya bebas nilai adalah tepat.

Akan tetapi sebuah fakta atau realita tidak akan terjadi sebuah data tanpa campur tangan

kebijaksanaan manusia. Sehingga fakta adalah hasil pengamatam. Penjelasan teoritis,

usaha yang bersifat membatasi diri dari disipin ilmu tertentu. Fakta tidak ditemukan

melainkan dijadikan untuk menjelaskan suatu realitas yang menantang. Artinya dalam

sebuah fakta terjadi sebuah fakta terjadi suatu penilaian dan pertimbangan untuk

mendukung suatu kebenaran yang diyakini atau dipahami. Singkatnya obyek tidak akan

bermakna tanpa ada respon dari subyek.

4. Ilmu ideal bisa dikatakan bebas nilai artinya: setiap kegiatan ilmiah harus didasarkan

pada hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan

faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Penganut paradigma ini menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-

nilai, baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, ilmuwan hanyalah
5
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya,

apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik atau sebaliknya.

Menurut Josep Situmorang, setidaknya ada 3 faktor yang menjadi indikator bahwa ilmu

pengetahuan itu bebas nilai:

1) Ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti faktor politis, ideologis, agama,

budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya.

2) Perlunya kebebasan usaha ilmiah, agar otonomi ilmu pengetahuan terjamin.

Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk menentukan diri sendiri.

3) Penelitian ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang sering dituding

menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri bersifat universal.

5. Godfrey-smith adalah mana dari seorang professor Sejarah dan Filsafat Ilmu

Pengetahuan di University of Sydney. Beliau bekerja terutama dalam filsafat biologi dan

filsafat pikiran, dan juga memiliki minat dalam filsafat ilmu umum, Godfrey-Smith

adalah salah satu penerima Penghargaan Lakatos, untuk bukunya tahun 2009, Penduduk

Darwin dan Seleksi Alam yang membahas dasar filosofis dari teori evolusi.

Beliau berpandagan yang luar biasa untuk menjelaskan tentang Naturalisme

dimana naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan

realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai

dari dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari

fenomena ruang dan waktu.

6
Godfrey Smith menyatakan bahwa naturalisme adalah suatu gagasan bahwa filosofi

dapat memanfaatkan hasil dari sains untuk menjawab pertanyaan filosofis dari segi

filosofi itu sendiri.

Godfrey Smith juga menyatakan bahwa naturalisme dalam filosofi mengharuskan kita

untuk memulai penyidikan filosofis dari titik terbaik dimana gambaran kita mengenai diri

kita sebagai manusia dan posisi kita di alam semesta. Manusia harus mencoba untuk

mendapatkan (1) pengertian yang umum mengenai bagaimana manusia mendapatkan

pengetahuan dari sekeliling mereka dan (2) pemahaman mengenai apa yang membuat

suatu karya diturunkan dari revolusi ilmiah yang berbeda dari investigasi yang lain.

6. Orang yang memiliki keyakinan atau prinsip yang teguh (strong conviction) dengan

orang yang memang memiliki watak keras kepala. Jika ternyata kita masih memiliki ada

beberapa ciri dari orang yang keras kepala maka solusinya mudah yakni membuka diri

dan siap untuk dikoreksi oleh orang-orang yang sudah ditetapkan untuk menjadi

pemimpin kita. Bahkan kita juga siap untuk menerima koreksian dari orang-orang yang

ada di sekelilingi kita.

Karena percayalah dengan kita memiliki hati yang lemah lembut, mudah diajar dan mau

berubah maka niscaya integritas dalam hidupkita akan mulai terbangun. Dan orang

banyak akan mempercayai dan mengenal kita sebagai orang yang berintegritas dan

memiliki idealisme yang tidak mudah digoyahkan.

7. Empirisme konstruktif adalah jenis lain dari sains anti realisme yang diperkenalkan

oleh Bas van Fraasen dalam bukunya The Scientific Image (1980) yang didefiniskan

sebagai berikut: “sains bertujuan memberi teori-teori yang sesuai secara empiris, dan

7
penerimaan teori yang melibatkan keyakinan bahwa hanya kesesuaian tersebut

diturunkan secara empiris.

Alasan empirisme yang membangun lebih disukai (atau lebih buruk) daripada realisme

ilmiah dapat dilihat dari prinsip empirisme yang menyatakan bahwa:

(1) Semua pengetahuan berasal dari pengalaman;

(2) Pikiran adalah tabula rasa atau batu kosong, dan

(3) pikiran adalah pasif, hanya berupa reseptor penerima dari rasa dan kesan.

Prinsip ini diradikalisasi oleh Hume dengan pernyataan :

(1) tidak adanya jembatan antara rasa kesan dan obyek di dunia;

(2) semua yang diketahui manusia adalah sensasi yang bermain-main dalam pikiran kita,

dan

(3) kebutuhan akan ketersambungan pengalaman adalah problematis, sebab musabab

hanyalah tahayul yang dilahirkan dari kebiasaan.

Sedangkan realisme ilmiah memiliki prinsip:

(1) alasan memiliki akses ke kenyataan dan adalah nyata;

(2) alasan dapat terjadi diluar apa yang pernah kita alami, dan

(3) alasan dapat digunakan untuk memegang hal-hal tidak sebagaimana yang terlihat, tapi

sebagai suatu kebenaran.

Leibniz-Wolffian menyatakan bahwa alasan tanpa pengalaman adalah sama dengan

tahu keberadaan Tuhan, keabadian jiwa, dan kebebasan manusia

Baik realisme dan empirisme memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

John Locke menyatakan bahwa manusia adalah tabula rasa, dan menerima rasa, kesan
8
dan sebagian diolah menjadi gagasan yang diekspresikan dalam bahasa melalui kata-kata,

namun tidak ada gagasan yang dibawa sejak lahir. Beberapa ahli setuju bahwa empirisme

lebih banyak berperan dalam kehidupan.

8. Induksi metapesimistis adalah argumen yang mencari bantahan atas realisme ilmiah,

terutama pada paham realisme mengenai episistemik optimism yang percaya bukti adalah

yang kita percayai, atau hal yang kita anut adalah berdasarkan bukti.

Semua obyek yang mendasari alasan manusia atau penelitian dapat dibagi menjadi

dua macam:

(1) hubungan dari gagasan, dan

(2) berdasarkan fakta (Hume’s fork).

Penentuan yang berkaitan dengan gagasan bersifat:

(1) pasti secara intuitif;

(2) dapat dirumuskan hanya dengan menggunakan akal;

(3) tidak dapat disanggah tanpa adanya kontradiksi.

Sedangkan penentuan yang berkaitan dengan fakta bersifat:

(1) setiap penentuan yang berdasar fakta dapat disanggah tanpa kontradiksi;

(2) baik intuitif maupun demonstratif pasti;

(3) tidak bisa di selesaikan hanya dengan penalaran tapi berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan pernyataan “tidak ada kesan dari kekuatan sebab atau hubungan antara

sebab dan akibat, tapi kita mengalami...”, maka kompromi bagi seorang realis adalah

bahwasanya ada sesuatu yang masih bisa kita tentukan dengan akal dan intuitif walaupun
9
akan menimbulkan kontradiksi yang pernah kita rasakan sebagai suatu pengalaman, dan

hal tersebut tidak dapat dirumuskan, dan seorang realis dapat memutuskan bahwa

pengalam masing-masing individu akan berbeda.

9. Kita harus mempelajari dan bisa juga menjadi realis ilmiah untuk mengkaji teori

umum dari suatu ilmiah untuk mengasumsikan bahwa dunia adalah lumbung

pengetahuan yang masih banyak belum tergali oleh manusia dan ilmu pengetahuan

(sains) yang merupakan cara yang terbaik untuk mengeksplorasi pengetahuan yang masih

misteri tersebut. Sains tidak hanya menghasilkan prediksi, tetapi juga menghasilkan

pengetahuan tentang sifat alami benda-benda; Sains mencakup teori metafisika dan

teknik dalam satu kesatuan.

Dengan realisme ilmiah dalam arti kita bisa:

a. Memperlihatkan konsep dan eksistensinya untuk sebuah pertentangan antara akal-

sehat dengan teori-teori umum yang ada. Berbagai macam kisah baru (sekarang

disebut ’argumen’) dan nilai-nilai baru kehidupan muncul, menolak pendapat

tradisional dan mencoba menggantikannya dengan pendapat baru tersebut. Itu adalah

pertentangan antara pendapat traditional/lama dengan pendapat mereka yang baru.

b. Mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perkembangan sains. Realisme ilmiah

tidak hanya menggambarkan apa yang sudah dihasilkan, tetapi juga menyediakan

strategi, saran dan solusi dalam penelitian untuk masalah khusus. Hingga Copernicus

mengklaim bahwa ilmu astronomi barunya mencerminkan susunan bola yang benar

yang timbul secara dinamis. Idenya itu pun bertentangan dengan teori fisika pada saat
10
itu, epistemologi dan doktrin agama yang dianut oleh orang-orang di zaman tersebut.

Copernicus telah membuat masalah baru tetapi dia pun juga memberikan solusi

penyelesaian dari masalah yang telah dia buat dan tradisi penelitian baru pun mulai

berkembang.

Ilmu realisme yang perlu kita waspadai dan tidak kita terima:

Realisme ilmiah mengasumsikan bahwa teori ilmiah mengenalkan kita pada entitas baru

dengan sifat-sifat dan efek sebab akibat yang baru. Versi ini sering pertama kali

diidentifikasi, tetapi secara sembarangan: teori-teori yang salah dapat mengenalkan

entitas-entitas baru (hampir seluruh unsur-unsur dari alam semesta secara fisik

dikenalkan oleh teori-teori yang sekarang kita mempercayainya sebagai hal yang salah).

Teori-teori mengandung istilah-istilah teoretis seperti istilah syncategorematik bisa

menjadi benar, tidak setiap teori mengenalkan entitas dan, paling penting, teori dapat

dirumuskan dengan cara yang berbeda, menggunakan entitas teoretis yang berbeda dan

tidak jelas yang mana entitas yang didukung untuk menjadi hal-hal yang nyata (contoh

pertama diketahui adalah penggunaan sebuah excentre atau ofan epicycle untuk garis

edar dari matahari). Interpretasi keppler dari Copernicus memperlihatkan hubungan

antara versi pertama dan versi kedua dalam kasus spesial ini: teori tersebut benar dalam

semua bagiannya pada formulasi yang diberikan oleh Copernicus, semua entitas

teoretisnya dapat diasumsikan mewakili entitas nyata.

Situasi tidak selalu sesederhana itu, bagaimanapun entitas teoretis mungkin mewakili

entitas nyata – tetapi tidak untuk teori yang pertama kali diusulkan.

REFERENCES

1. Soetikno, 1988, Filsafat Hukum Bagian I, Jakarta: Prad-nya Paramita, hlm. 57.
11
2. Longino’s theory of objective and commercialized research, saana Jukola, 2005.

3. Zulfadli Barus, “Pengaruh Renaissance tentang Pemisa-han Antara Hukum dan Moral
serta Dampaknya Terha-dap Martabat Kemanusiaan”, Jurnal Yuridis, Vol.2 No.3 Juli
2004, hlm. 6.

4. Blalock, A. B. 1968. Methodology in Social Research. Mc Graw Hill

Book Company. New York.

5. Blalock, Jr. H. M. 1968. Methodology in Social Research. Mc. Grau. Hill

Book. New York.

6. Engels, Frederick, 2000, Feurbach dan Filsafat Jerman, Penerbit Teplok

Press, Jakarta.

7. Samekto, FX. Aji. “Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktri-nal”. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1, 2012. Purwokerto: FH
UNSOED.

8. Konsistensi Nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika, Paradigma Hukum dan Pendekatan


Hukum sebagai Sumber Orientasi bagi Strategi Pembangunan Hukum Nasional.

9. Pengaruh Legal Reasoning terhadap Posisi Dialektis antara Ahli Hukum dengan
Ilmuwan Non Hukum dalam Melihat Hu-bungan Timbal Balik antara Hukum de-
ngan Masyarakat”. Law Review, Vol. VII No. 3 Februari 2008. Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan.

10. L. Brisson and M. Patillon, Longinus Platonicus Philosophus et Philologus. In


Aufstieg und Niedergang der Römischen Welt II 36.7 (1994), 5214-99 (= Part I,
"Longinus Philosophus"), II 34.4 (1998), 3023-3108 (= Part II, "Longinus
Philologus").

11. Prof. Bayuseno, Materi kuliah filsafat ilmu, DTM UNDIP, 2019.

12

Anda mungkin juga menyukai