Anda di halaman 1dari 68

BAB II

STUDI LITERATUR

2.1 Tinjauan Umum tentang Roda Gigi.


Roda gigi adalah komponen yang berbentuk bulat dan mempunyai gigi-gigi
yang digunakan untuk mentransmisikan gerak putar dan meneruskan daya dari suatu
poros ke poros yang lain. Roda gigi secara umum dapat dibagi menjadi beberapa jenis
yaitu roda gigi lurus, roda gigi miring, roda gigi kerucut dan roda gigi cacing. Ini
terlihat pada Gambar 2.1 (Robert L. Mott, 2013).

Gambar 2.1 Jenis – jenis roda gigi (Robert L. Mott, 2013).

6
7

a. Roda gigi helix (helical gear).


Pada roda gigi ini arah pemotongan gigi-giginya tidak lurus tetapi sedikit
membentuk sudut disepanjang badan gigi. Apabila dilihat, arah alur giginya
terlihat membengkok.
b. Roda gigi payung (straight bevel gear).
Arah pemotongan gigi-giginya pada roda gigi ini adalah pada bagian sisi konis.
Permukaan yang konis ini dibentuk gigi-gigi yang arahnya lurus dan searah
dengan poros roda gigi.
c. Roda gigi spiral (spiral gear).
Arah gigi-gigi pada roda gigi spiral adalah membentuk suatu kurva. Untuk
pemotongan giginya juga pada sisi yang konis.
d. Roda gigi cacing (worm gear).
Roda gigi ini biasanya merupakan satu pasangan, terdiri dari batang berulir
cacing dan roda gigi cacing. Batang ulir cacing bentuk giginya seperti ulir
sedangkan pada roda gigi cacingnya bentuk giginya hampir sama dengan roda
gigi helix akan tetapi permukaan giginya membentuk lengkungan kedalam.
e. Roda gigi dalam (internal gear).
Arah pemotongan gigi-giginya pada roda gigi ini adalah pada bagian dalam dari
permukaan ring/lubang. Biasanya bentuk giginya adalah lurus seperti roda gigi
lurus (spur gear).
f. Roda gigi lurus (spur gear).
Arah pemotongan gigi-gigi pada jenis roda gigi ini adalah searah dengan
porosnya. Selain roda gigi lurus ada pula jenis gigi lurus yang lain yaitu pada
batang segi empat memanjang. Permukaan memanjang inilah yang nantinya
dibuat gigi-gigi. Arah pemotongan gigi-giginya dilakukan bisa tegak lurus dan
juga bisa membentuk sudut terhadap batang gigi (badan gigi) (Robert L. Mott,
2013).
8

2.1.1 Nomenklatur roda gigi spur.


Geometri pada roda gigi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Geometri pada roda gig (G. Richard Budynas J. Keith Nisbett, 2012).

Keterangan pada Gambar 2.2 diatas, dijelaskan dibawah ini :


a. Diametral pitch (P) adalah banyaknya gigi untuk tiap inchi dari diameter
lingkaran pitch. Diametral pitch ini hanya merupakan harga secara hipotesis saja
yang harganya tidak bisa diukur akan tetapi pengertiannya sangat penting untuk
mempertimbangkan proporsi jumlah gigi.
b. Modul (m) adalah panjang dari diameter lingkaran pitch untuk tiap gigi. Satuan
untuk modul adalah milimeter.
c. Circular Pitch (p) adalah jarak yang diukur pada lingkaran pitch dari salah satu
sisi gigi ke sisi yang sama terhadap gigi yang berikutnya.
d. Addendum (a) adalah jarak radial dari lingkaran pitch sampai pada ujung puncak
gigi.
e. Clearance (c) adalah jarak radial dari ujung puncak sebuah gigi yang satu ke
bagian dasar gigi yang lain untuk suatu pasangan roda gigi.
9

f. Deddendum (b) adalah jarak radial dari lingkaran pitch sampai pada dasar gigi.
g. Addendum = Dedendum + Clearance.
h. Diameter flank (blank diameter) adalah jarak yang panjangnya sama dengan
diameter lingkaran pitch ditambah dengan dua addendum.
i. Ketebalan gigi adalah jarak tebal gigi yang diukur pada lingkaran pitch dari satu
sisi ke sisi yang lain pada gigi yang sama.
j. Untuk sudut tekan (pressure angle) biasanya dibuat sama dengan 20° dan 14½°.
k. Tinggi gigi atau kedalaman gigi (teeth depth) umumnya dibuat 2.25 kali modul
untuk roda gigi dengan sudut tekan 20°. Sedangkan untuk roda gigi dengan sudut
tekan 14½° kedalaman giginya dibuat sama dengan 2.157 modul (m).

Untuk membuat roda gigi spur maka diperlukan rumus dasar roda gigi spur
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Rumus dasar roda gigi lurus (Joseph E. Sighley, 1996).
Quantity desired Formula Equation number
Diameter pitch (Pd) N (33.1)
Pd =
d
Module (m) d (33.2)
m=
N
Circular pitch (p) πd (33.3)
P= =πm
N
Pitch diameter, (d) or (D) N (33.4)
d= =mN
Pd

2.1.2 Standar ukuran toleransi untuk roda gigi spur.


Berdasarkan standar AGMA 2000-A88 “Gear Classification and Inspection
Handbook”, bahwa ukuran toleransi pada kelongaran tooth thicknes akibat beban
impak untuk Modul 1,0 sampai 3,0 dimana dapat diberikan di e25 DIN 3967, yaitu
nilai toleransi tertinggi 0,022 mm dan terendah 0,020 mm dapat ditunjukkan pada
Tabel 2.2. Sedangkan untuk roda gigi spur yang diameter luar 50 mm sampai 100 mm
dengan modul 1,6 sampai 3 dapat diberikan pada e25 DIN 58405 yaitu nilai
kelongaran kontak tertinggi 0,063 mm dan terendah 0,022 mm dapat ditunjukkan
pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4.
10

Tabel 2.2 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kejut berdasarkan e25
DIN 3967.
Upper tooth thickness
Reference diameter Tooth thickness allowance
allowance
From To Asne Tsn
- 10 -0,022mm 0,020mm
10 50 -0,030mm 0,030mm
50 125 -0,040mm 0,040mm
125 280 -0,056mm 0,050mm

Tabel 2.3 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kontak untuk diameter
luar roda gigi 50 mm - 100 mm berdasarkan e25 DIN 58405.
Upper tooth
Reference Tooth thicknes
Normal module thickness
diameter allowance
mn allowance
d (mm) Tsn
Asne
Since 0,16 to 0,25 0,028 0,011
From 3 to 6 Since 0,25 to 0,6 0,030 0,012
Since 0,6 to 1,6 0,035 0,014
Since 0,16 to 0,25 0,030 0,012
>6 to 12 Since 0,25 to 0,6 0,035 0,014
Since 0,6 to 1,6 0,040 0,016
Since 0,16 to 0,25 0,035 0,014
Since 0,25 to 0,6 0,040 0,016
>12 to 25
Since 0,6 to 1,6 0,045 0,018
Since 1,6 to 3 0,050 0,020

Tabel 2.4 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kontak untuk diameter
luar roda gigi 50 mm - 100 mm berdasarkan e25 DIN 58405. (Lanjutan)
Since 0,16 to 0,25 0,040 0,016
Since 0,25 to 0,6 0,045 0,018
>25 to 50
Since 0,6 to 1,6 0,050 0,020
Since 1,6 to 3 0,055 0,022
Since 0,16 to 0,25 0,045 0,012
Since 0,25 to 0,6 0,050 0,018
>50 to 100
Since 0,6 to 1,6 0,055 0,020
Since 1,6 to 3 0,063 0,022
Since 0,6 to 1,6 0,063 0,024
11

>100 to 200 Since 1,6 to 3 0,070 0,029


Since 0,6 to 1,6 0,070 0,029
>200 to 400
Since 1,6 to 3 0,080 0,032

Standar nilai untuk perubahan dimensi antara jarak titik pusat dari roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak maka perubahan toleransi pada jarak titik pusat
tertinggi 0,050 mm tetapi ini hanya berlaku untuk roda gigi yang sudut kontaknya
200. Sedangkan untuk pengaruh kontak yang disebabkan perubahan toleransi yaitu
standar nilainya maksimal 0,036 dapat ditunjukkan pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.

Tabel 2.5 Standar untuk nilai toleransi antara jarak lingkaran kontak antara roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak.
Spur Gear Parallel Helical Gear Crossed Axis Helical Gear
Deviation
Change Deviation Change Deviation
from Change in
in from centre in from centre
center backlash
backlash distance backlash distance
distance ∆Ja
∆Ja As ∆Ja As
As
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
0,010 0,007 0,010 0,008 0,010 0,010
0,015 0,011 0,015 0,011 0,015 0,015
0,020 0,015 0,020 0,015 0,020 0,021
0,025 0,018 0,025 0,019 0,025 0,026
0,030 0,022 0,030 0,023 0,030 0,031
Tabel 2.6 Standar untuk nilai toleransi antara jarak lingkaran kontak antara roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak. (Kelanjutan)
0,035 0,025 0,035 0,026 0,035 0,036
0,040 0,029 0,040 0,030 0,040 0,041
0,045 0,033 0,045 0,034 0,045 0,046
0,050 0,036 0,050 0,038 0,050 0,051

2.1.3 Seri – seri modul standar (JIS B 1701 – 1973).


Harga modul berdasarkan standar JIS B 1701 – 1973, bahwa ada beberapa
tingkat seri yaitu seri 1, seri 2 dan seri 3 seperti ditunjukkan pada Tabel 2.7 dan Tabel
2.8. Dalam aturan pemilihan seri yaitu utamakan seri ke – 1; jika dengan
keterpaksaan maka bisa memilih seri ke - 2 dan seri ke – 3 (Sularso, 1980).
12

Tabel 2.7 Harga modul standar JIS B 1701 – 1973 (Sularso, 1980).
Seri Seri Seri Seri Seri Seri
ke - 1 ke - 2 ke - 3 ke - 1 ke - 2 ke - 3
3,5
0,1
0,15 4 3,75
4,5
0,2
0,25 5
5,5
0,3 0,35 6
6,5
7
0,4
0,45 8
9
0,5
0,55 10
11
0,65
0,6
0,7 12
0,75 14
16
0,8
0,9 18
1 20
1,25 22
25
1,5
1,75 28
2 32

Tabel 2.8 Harga modul standar JIS B 1701 – 1973 (Sularso, 1980). (Kelanjutan)
2,25 36
40
2,5
2,75 45
50
3
3,25

2.1.4 Tahap-tahap dalam perancangan roda gigi.


Proses perancangan pembuatan roda gigi dimulai dari penentuan kebutuhan dan
keputusan untuk berbuat sesuatu tentang hal tersebut. Melalui beberapa tahapan
perancangan dan iterasi maka proses berakhir dengan penyajian hasil rancangan
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Metode perancangan secara ideal dalam bidang
13

teknik termasuk perancangan roda gigi dapat dilihat pada Gambar 2.3. (G. Richard
Budynas J. Keith Nisbett, 2012).

Gambar 2.3 Tahapan perancangan (G. Richard Budynas J. Keith Nisbett, 2012).

a. Awal dari proses perancangan.


Berupa pengenalan kebutuhan, dimana seorang perancang harus bisa
mendefinisikan kebutuhan tersebut. Roda gigi secara umum dipakai untuk
mentransmisikan daya dari mesin pengerak, sehingga secara umum dalam
perancangan roda gigi definisi kebutuhan adalah berupa keberadaan sistem
transmisi roda gigi yang dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan oleh
perancang atau pengguna. Untuk mendefinisikan kebutuhan tersebut, umumnya
sudah ada data awal yang berfungsi sebagai data masukan untuk proses
perancangan. Data itu dapat berupa besar daya yang ditransmisikan dari mesin
penggerak, putaran mesin pengerak ataupun dimensi ruangan yang tersedia untuk
penempatan transmisi tersebut.
b. Perumusan masalah.
Harus mencakup seluruh rincian spesifikasi tentang sesuatu yang akan
direncanakan. Perincian tersebut mencakup sejumlah data masukan dan keluaran
14

dari proses perancangan dan semua batasan-batasan atas besaran yang berkaitan
dengan hal tersebut. Spesifikasi dapat berupa jenis roda gigi, dimensi roda gigi,
taksiran umur, batas temperatur operasi, keandalan, kecepatan/putaran, kapasitas
(kemampuan mentransmisikan daya), material roda gigi, pelumas yang kan
dipakai, dimensi ruang dan lain-lain. Perancang harus dapat merumuskan dengan
jelas spesifikasi yang akan direncanakan.
Dalam merumuskan spesifikasi yang direncanakan seorang perancang harus
memperhatikan batasan-batasan atau kendala yang ada pada proses perancangan.
Batasan dalam perancangan roda gigi dapat berupa dimensi ruang yang tersedia
untuk penempatan transmisi, material roda gigi yang tersedia, proses atau
fasilitas manufaktur roda gigi yang tersedia, stadarisasi permesinan dipasaran
maupun besar biaya yang tersedia. Dengan adanya perumusan spesifikasi yang
diinginkan dan keberadaan batasan-batasan dalam proses perancangan maka
akan menghasilkan beberapa solusi. Dalam perancangan roda gigi, solusi yang
diperoleh umumnya berupa sistem transmisi roda gigi yang berisikan jenis roda
gigi, dimensi roda gigi, material roda gigi, data operasional, pelumas dan lain-
lain.

c. Tahap sintesa.
Merupakan solusi optimum dari sistem transmisi yang berasal dari solusi-solusi
yang didapatkan dari tahap sebelumnya. Penilaian atau evaluasi atas solusi ini
dilakukan dengan proses analisis dan optimasi. Analisis dan optimasi dilakukan
untuk menguji solusi yang didapat dari proses sintesa apakah solusi tersebut
berdaya guna dengan baik sesuai spesifikasi yang direncanakan. Jika solusi yang
didapat sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan maka proses selanjutnya
adalah evaluasi hasil rancangan. Tetapi jika tidak sesuai dengan harapan atau
tidak sesuai spesifikasi yang direncanakan maka solusi ini gagal dan harus
kembali ke tahap perancangan sebelumnya.
d. Proses kembali ke tahap sebelumnya.
15

Dapat berupa tahap sintesa, yaitu mencoba dengan solusi yang lain kemudian
diuji dengan proses analisis dan optimasi. Dapat juga tahap sebelumnya adalah
tahap perumusan masalah dengan cara merubah spesifikasi yang diinginkan,
sehingga akan mendapatkan solusi-solusi baru. Tetapi jika proses tersebut masih
gagal maka kembali ke proses awal perancangan dengan kemungkinan perlu
merubah definisi kebutuhan.
e. Tahap evaluasi.
Dilakukan untuk solusi yang lolos dari proses iterasi. Jika tahap sebelumnya
proses perancangan lebih banyak dilakukan diatas kertas, tetapi evaluasi biasanya
dilakukan berupa proses pengujian hasil perancangan (kaji eksperimental),
sehinga umumnya diperlukan pembuatan suatu prototip. Jika dalam pengujian
ternyata gagal maka proses perancangan kembali ke tahap sebelumnya. Jenis
kegagalan saat pengujian akan menunjukkan ke tahap mana proses perancangan
akan kembali.
Tahap evaluasi umumnya membutuhkan biaya yang besar, karena dilakukannya
proses pengujian. Untuk memperkecil kegagalan saat tahap evaluasi maka
sebaiknya dalam proses perancangan lebih banyak mengacu pada data-data hasil
pengujian yang cukup lengkap akan sangat membantu dalam usaha memperkecil
kegagalan dalam tahap evaluasi.
f. Tahap penyajian.
Merupakan tahap akhir dari proses perancangan. Tahap penyajian dapat berupa
data lisan, data tertulis atau data grafis (gambar). Seorang perancang yang baik
akan dapat menyampaikan hasil rancangan yang komunikatif sesuai dengan
keperluan. Metode penyajian yang baik akan sangat membantu perancang untuk
menjelaskan dan meyakinkan penguna hasil rancangan (G. Richard Budynas J.
Keith Nisbett, 2012).

2.1.5 Faktor keamanan.


Faktor keamanan (safety factor) adalah faktor yang dipakai untuk mengevaluasi
keamanan dari suatu obyek. Faktor keamanan secara kuantitatif adalah perbandingan
16

harga parameter spesifikasi obyek yang dirancang dibagi dengan parameter


spesifikasi obyek pada kondisi kritis. Parameter tersebut merupakan besaran yang
secara langsung menyatakan tingkat keamanan obyek, sehinga dalam perancangan
harga faktor keamanan berharga lebih dari satu. Kondisi kritis pada obyek adalah
kondisi yang menyatakan batas dari obyek tersebut antara aman dan tidak aman dan
sering disebut dengan margin of safety. Faktor keamanan yang lebih besar dari satu
dapat dipastikan bahwa secara ideal obyek tersebut dalam penggunaanya selalu dalam
kondisi aman. Dalam konteks yang lain kadang-kadang istilah faktor perancangan
(design factor) lebih disukai daripada dengan memakai istilah faktor keamanan (G.
Richard Budynas J. Keith Nisbett, 2012).

2.1.6 Kode dan standar.


Standar adalah beberapa spesifikasi dari bagian, material dan proses yang
dimaksudkan untuk mencapai keseragaman, efisiensi dan kualitas obyek. Standar
diperlukan agar terdapat kesesuaian antara pihak pengguna dan pembuat obyek
tersebut.
Kode adalah hasil penandaan dari beberapa hal seperti spesifikasi, desain,
pembuatan dan pembangunan suatu obyek. Tujuan diberi kode adalah untuk
menyatakan tingkat kemanan, efisiensi, performasi (unjuk kerja) dan kualitas. Ada
beberapa organisasi yang memberikan standar dan kode (G. Richard Budynas J.
Keith Nisbett, 2012).
Berikut contoh standar dan kode :
a) American Gear Manufacturing Association (AGMA)
b) American Society of Mechanical Engineering (ASME)
c) American Society of Testing Method (ASTM)
d) British Standards Institution (BSI)
e) International Standards Organization (ISO)
f) Japanese Industrial Standards (JIS)

a) American Gear Manufacturing Association (AGMA).


17

AGMA (American Gear Manufacturing Association) adalah organisasi yang


mengembangkan dan menerbitkan standar-standar, termasuk standar pembuatan roda
gigi. Kantor pusat AGMA berada di Alexandria Amerika Serikat. Standar AGMA
digunakan lebih dari 30 negara ( 450 perusahaan).
AGMA juga berfungsi sebagai administrator untuk TAG AS (Amerika Serikat
Technical Advisory Group) ke ISO/TC 14 dan 60 (Organisasi Internasional untuk
Standardisasi Komite/Teknis). Menurut AGMA Standar kekerasan permukaan roda
gigi adalah sekitar 50 - 60 HRC.

b) American Society of Testing Method (ASTM).


ASTM Internasional merupakan organisasi internasional yang mengembangkan
standar - standar seperti pada material, produk, sistem dan jasa. ASTM Internasional
berpusat di Amerika Serikat dan dibentuk pertama kali pada tahun 1898 oleh
sekelompok insiyur dan ilmuwan untuk megatasi bahan baku besi pada spesimen roda
gigi yang selalu bermasalah. Sekarang ASTM memiliki 12.000 buah standar dan
standar ASTM banyak digunakan di negara-negara maju maupun berkembang
sebagai acuan dalam penelitian akademisi maupun industri.

2.1.7 Pembuatan roda gigi menggunakan mesin milling.


Roda gigi spur, roda gigi helical dan roda gigi cacing dapat dibuat
menggunakan mesin milling, dimana cutter yang dipakai harus sesuai dengan ukuran
profil gigi yang akan dibuat. Mesin milling memerlukan pisau potong khusus untuk
membuat roda gigi dengan jumlah gigi sesuai dengan permintaan. Tingkat produksi
menggunakan mesin milling lebih rendah dari pada mengunakan mesin hobbing,
namun menggunakan mesin milling memiliki keuntungan yaitu tanpa memerlukan
alat khusus untuk memotong pada saat memproduksi roda gigi dengan jumlah yang
terbatas. Mesin milling konvensional dilengkapi dengan kepala membagi yang
berfungsi untuk membuat roda gigi. Selain ukuran lubang cutter yang cocok untuk
diametral pitch, ada delapan urutan angka spesifikasi pisau potong (cutter). Setiap
18

nomor cutter yang spesifik adalah khusus untuk berbagai jumlah gigi sesuai dengan
urutan nomornya (Davis, 2005). Contoh gambar pisau potong dapat dilihat pada
Ganbar 2.4.

Gambar 2.4 Pisau potong untuk mesin milling (Davis, 2005).

2.1.8 Pembuatan roda gigi menggunakan mesin Hobbing.


Proses hobbing adalah suatu proses pemotongan pada pembuatan roda gigi dan
rack dengan menggunakan alat potong (cutter) yang berbentuk seperti cacing. Sumbu
hob-nya harus diputar sejauh sudut penuntun untuk memotong gigi dalam pembuatan
roda gigi lurus. Gigi yang dibentuk oleh hob mempunyai sedikit perbedaan bentuk
jika dibandingkan dengan hasil pemotongan pada pembuatan rack. Hob dan benda
kerja harus berputar sesuai dengan perbandingan kecepatan sudut yang tepat. Secara
bertahap Hob berputar dan bergerak mendekati benda kerja sampai semua gigi selesai
terpotong (Davis, 2005). Proses hobbing dapat dilihat pada Gambar 2.5.
19

Gambar 2.5 Proses pembuatan roda gigi (Davis, 2005).

Tabel 2.9 Data – Data Penting yang Perlu dipersiapkan untuk proses Pembuatan roda
gigi (Dimitriou & Antoniadis, 2009).
Input Data
Hob Geometry Workgear Geometry Cutting Conditions
m : Module (mm) m : Module (mm) fa : axial feed [mm/wrev]
ni : number of columns Z2 : number of teeth t : depth of cut [mm]
Z1 : number of hub origins ha : helix angel [deg] V : cutting speed [m/min]
dh : outside diameter [mm] dg : outside diameter
[mm]

Pada umumnya proses gerakan pahat pada roda gigi hobbing adalah :
a). Gerak rotasi dari gear blank,
b) Gerak rotasi dari cutter hobbing,
c) Gerak vertikal dari cutter hobbing.

Gambar 2.6 Pergerakan cutter pada pembuatan roda gigi (Dimitriou & Antoniadis,
2009).

2.1.9 Material roda gigi.


20

Pemilihan material dalam pembuatan roda gigi biasanya berdasarkan pada


tingkat kekerasan yang dibutuhkan. Tingkat kekerasan berhubungan dengan
penggunaan roda gigi dan biaya yang dibutuhkan. Low alloy steel dengan persentase
karbon 0,4-0,55% (yaitu AISI 4140, 4340, 4150, 1552 dan 5150) dan plain carbon
steel dengan persentase karbon 0,4-0,55% (yaitu, AISI 1045, 1046, dan seterusnya
sampai dengan AISI 1050. Beberapa jenis baja ini banyak digunakan untuk bahan
pembuatan roda gigi dan dilanjutkan dengan proses pengerasan seperti induction
surface hardening (Rudnev et al., 2003). Selain material diatas juga terdapat material
lain yang digunakan untuk bahan membuat roda gigi yaitu baja AISI 1045. Baja AISI
1045 sangat banyak digunakan dalam bidang industri otomotif seperti untuk
pembuatan roda gigi lurus (spur gear) (Davis, 2005).

Nilai persentase komposisi kimia yang terkandung pada baja AISI 1045
menurut standar ASTM A 827 -85 bisa dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2.10 Komposisi kimia baja AISI 1045.

Element, %
Sae/Aisi Carbon Manganese Phosphorus, Max Sulfur, Max Silicon
1009 0,15 max 0,60 0,035 0,040 0,15-0,40
1020 0,18-0,23 0,30-0,60 0,035 0,040 0,15-0,40
1035 0,32-0,38 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1040 0,37-0,44 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1045 0,43-0,50 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1050 0,48-0,55 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40

2.2 Baja.

Baja adalah logam yang unsur dasarnya besi dan ditambahi dengan beberapa
elemen-elemen lainnya termasuk unsur karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja
berkisar antara 0,2- 2,1% berat sesuai grade-nya. Berikut elemen-elemen yang
21

terdapat dalam baja seperti karbon (C), mangan (Mn), fosfor (P), sulfur (S), silikon
(Si) dan sebagian kecil oksigen (O2), nitrogen (N2) dan aluminium (Al). Selain itu,
ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa
jenis baja diantaranya: mangan (Mn), nikel (Ni), krom (Cr), molybdenum (Mo),
boron (B), titanium (Ti), vanadium (V) dan niobium (Nb) (Ashby, 2005).
Baja juga digunakan sebagai material pada plat, pipa, lembaran, profil dan
sebagainya. Proses pembuatan baja dapat melalui proses pengecoran, penempaan,
pencairan. Kandungan unsur paling penting dalam baja adalah karbon karena dapat
berpengaruh pada kekerasan dan kekuatan baja. Tinggi rendahnya persentase kadar
karbon dalam baja berpengaruh pada tinggi rendahnya suhu kritis (batas zona struktur
logam). Bila kadar karbon baja melebihi 0,20%, dari suhu austenite turun dimana
sifat ferrite mulai terbentuk dan mengendap. Baja denga kadar karbon 0,80% disebut
baja eutectoid dan strukturnya terdiri dari 100% pearlite. Titik eutectoid adalah suhu
terendah dalam logam, dimana terjadi perubahan dalam keadaan larut padat dan
merupakan suhu keseimbangan terendah dimana austenite terurai menjadi ferrite dan
cementite.
Bila kadar karbon baja lebih besar dari pada eutectoid, perlu diamati garis pada
diagram besi-karbida besi. Garis ini menyatakan suhu dimana karbida besi mulai
memisah dari austenite. Karbida besi dengan rumus kimia Fe3C disebut cementite.
Cementite sangat keras dan rapuh. Baja yang mengandung kadar karbon kurang dari
eutectoid (0,80%) disebut baja hypoeutectoid dan baja yang mengandung kadar
karbon lebih dari eutectoid disebut baja hypereutectoid (William D. Callister, 2015).
Pada proses perlakuan panas diperlukan pengetahuan tentang transformasi fasa,
sehingga memungkinkan memperoleh sifat-sifat mekanik bahan dengan mengubah
struktur mikro baja. Struktur yang terdapat pada baja antara lain:

1. Ferrite
Sel satuan pada ferrite adalah Body Centered Cubic (BCC) dan hanya dapat
menampung unsur karbon maksimum 0,025% pada temperatur 723oC. Ferrite akan
22

berubah menjadi getas pada temperatur rendah. Ferrit merupakan struktur yang
paling lunak pada baja.

2. Pearlite
Campuran dari ferrite dan cementite berlapis dalam suatu struktur butir disebut
pearlite. Pada proses heat-treatment dengan laju pendinginan lambat menghasilkan
fasa pearlite kasar sedangkan pada laju pendinginan cepat menghasilkan fasa pearlite
halus. Sifat fasa pearlit adalah keras dan lebih tangguh.

3. Austenite
Austenite mempunyai sel satuan yang disebut Face Centered Cubic (FCC) yang
mengandung unsur karbon maksimum hingga 1,7%. Fasa ini hanya terjadi pada
temperatur tinggi.

4. Martensite
Martensite merupakan fasa larutan padat lewat jenuh dari karbon. Sel
satuannya adalah Body Centered Tetragonal (BCT). Semakin tinggi kejenuhan
karbon maka sifatnya semakin keras dan getas. Jika baja didinginkan secara cepat
pada fasa austenite maka sel satuan Face Centered Cubic (FCC) akan bertransformasi
secara cepat menjadi Body Centered Cubic (BCC). Proses pendinginan secara cepat
menyebabkan unsur karbon yang larut dalam sel satuan BCC tidak sempat keluar
(terperangkap) dan tetap berada dalam sel satuan tersebut. Hal tersebut menyebabkan
distorsi sel satuan sehingga sel satuan BCC berubah menjadi sel satuan BCT.

5. Cementite
Cementite merupakan senyawa bersifat sangat keras yang mengandung 6,67%
karbon. Cementite sangat keras tetapi bila bercampur dengan ferrite yang lunak maka
kekerasan akan menurun.

6. Ledeburite
23

Ledeburite merupakan campuran eutektik antara austenite dan cementite,


mengandung 4,3% karbon dan terbentuk pada suhu 1130oC.

2.2.1 Klasifikasi Baja Karbon.


Menurut kadar karbonnya, secara umum baja dikelompokkan menjadi 3 bagian
yaitu : (Lamet, 2001).

a) Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel).


Baja karbon rendah atau juga disebut mild steel memiliki kandungan unsur
karbon kurang dari 0,3%. Biasanya baja karbon rendah adalah hasil produk dari
pengerjaan dingin dan proses anil. Baja karbon rendah dengan kadar karbon kurang
dari 0,1% - 0,4% Mn menyebabkan formability-nya rendah jika dibandingkan dengan
baja karbon lain. Baja ini dimanfaatkan untuk panel bodi pada mobil, pelat
kaleng/tabung dan kabel. Produk baja yang dihasilkan dari proses pengerolan
berpenampang pelat dengan kandungan karbon mencapai 0,3% dan kandungan
mangan mencapai 1,5% banyak digunakan untuk stamping, forging, seamless tubes
dan boiler plate.

b) Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steel).


Baja karbon sedang pada dasarnya adalah sama dengan baja karbon rendah,
hanya persentase kandungan karbon dan mangannya lebih besar yaitu kandungan
karbon antara 0,30 - 0,60% dan kandungan mangan antara 0,60 – 1,65%. Peningkatan
unsur karbon sekitar 0,5% disertai dengan peningkatan unsur mangan sehingga
memungkinkan baja karbon ini bisa digunakan untuk proses heat-treatment seperti
proses quenching dan tempering. Baja ini biasa digunakan sebagai material pada
komponen mesin seperti shaft, axle, roda gigi, crackshaft, kopling dan sebagainnya.
Baja karbon sedang dengan kandungan karbon 0,4 - 0,60% juga sering digunakan
sebagai material untuk rel kereta api, roda kereta api dan poros rel kereta.
24

c) Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel).


Baja karbon tinggi memiliki kandungan karbon antara 0,60 - 1,00% dan
kandungan mangan 0,30-0,90%. Baja karbon tinggi banyak digunakan sebagai
material pada pembuatan pegas dan kawat dengan kekuatan tinggi.

2.2.2 Baja paduan (Alloy steel).


Baja paduan adalah baja karbon yang diberi tambahan unsur lain bisa satu atau
lebih unsur-unsur tambahan untuk menghasilkan sifat-sifat yang dikehendaki (tidak
dimiliki oleh baja karbon). Unsur tambahan yang umumnya digunakan adalah nikel,
mangan dan chrom. Berdasarkan kadar paduannya, baja paduan dibagi menjadi tiga
macam yaitu :
a. Baja paduan rendah (low alloy steel).
Baja paduan rendah adalah baja paduan yang mempunyai persentase unsur
paduan rendah. Baja jenis ini biasanya memiliki paduan kurang dari 10%.
Material baja ini sering digunakan sebagai material pada mesin perkakas seperti
pahat kayu, poros, dan gergaji.

b. Baja paduan menengah (medium alloy steel).


Baja paduan menengah merupakan baja dengan paduan elemen 2,5 %-10 %.
Adapun unsur-unsur yang terdapat pada baja tersebut misalnya seperti unsure Cr,
Mn, Ni, S, Si, P dan lain-lain.
c. Baja paduan tinggi (high alloy steel).
Baja paduan tinggi merupakan baja paduan dengan kadar unsur paduan lebih dari
10% berat. Adapun unsur-unsur yang terdapat pada baja tersebut misalnya unsur
Cr, Mn, Ni, S, Si, P (Mulyanti, 1996).

2.2.3 Sifat-sifat Baja.


25

Baja memiliki dua sifat yang sangat penting untuk dikaji dan dipelajari yaitu
sifat mekanik dan sifat fisik. Adapun penjelasan mengenai sifat mekanik dan sifat
fisik baja adalah sebagai berikut :

1). Sifat mekanik baja.


Sifat mekanik bahan adalah kemampuan bahan untuk menahan beban baik
dinamis maupun statis yang dikenakan serta mempertahankan diri dari gaya-gaya luar
yang mempengaruhinya (Karmin dan Muchtar, 2012). Berikut beberapa sifat
mekanik bahan adalah sebagai berikut :
a. Keliatan (ductility) adalah sifat suatu bahan yang mempunyai gaya regangan
(tensile strain) relatif besar sampai dengan titik kerusakan yang memungkinkan
dibentuk secara permanen.
b. Ketangguhan (thoughness) adalah sifat suatu bahan yang menunjukkan besarnya
energi yang dibutuhkan untuk mematahkan bahan. Bahan ini juga mempunyai
kemampuan menyerap energi sampai patah.
c. Kekuatan tarik (tensile strength), kekuatan tarik dari suatu bahan ditetapkan
dengan membagi gaya maksimum terhadap luas penampang mula-mula. Setelah
posisi titik luluh kemudian tegangan terus naik sehingga terjadi deformasi plastis
sampai titik maksimum dan kemudian menurun sampai akhirnya patah.

Sifat mekanik baja dipengaruhi oleh ikatan antara karbon dengan besi. Pada
prosesnya, terdapat dua bentuk utama kristal saat karbon berikatan dengan besi.
Adapun dua bentuk utama pada kristal tersebut adalah sebagai berikut: (Schonmetz,
1985).
a. Ferit, yaitu besi murni (Fe) terletak rapat saling berdekatan dan tidak teratur,
baik bentuk maupun besarnya. Ferit adalah bagian baja yang paling lunak. Ferit
murni tidak cocok digunakan sebagai bahan untuk benda kerja yang menahan
beban besar karena kekuatannya kecil.
26

b. Pearlit, merupakan campuran antara ferit dan cementit dengan kandungan karbon
sebesar 0,8%. Struktur pearlit mempunyai kristal ferit tersendiri dari serpihan
cementit halus yang saling berdampingan dalam lapisan tipis mirip lamel.

2.3 Diagram fasa besi – besi karbida (Fe – Fe3C).


Besi murni yang mengalami pemanasan akan mengalami dua perubahan pada
struktur kristalnya sebelum meleleh. Bentuk stabil baja pada temperatur ruang disebut
ferrite atau besi-α (memiliki struktur kristal BCC). Pada suhu 912oC (1674oF) ferrite
mengalami transformasi menjadi austenite FCC (besi-γ). Austenite ini tetap
berlangsung sampai temperatur 1394oC (2541oF) yaitu temperatur dimana austenite
FCC kembali menjadi BCC yang disebut besi-δ dan akhirnya meleleh pada suhu
1538oC (2800oF). Perubahan-perubahan ini terjadi disepanjang sumbu vertikal
sebelah kiri dari diagram fasa yang dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Callister &
Rethwisch, 2009).
27

Gambar 2.7 Diagram fasa besi – besi karbida (Fe-Fe3C) (Callister & Rethwisch,
2009).

Sumbu X adalah komposisi karbon (C) dari 0 sampai 6,70% berat. Besi karbida
atau cementite (Fe3C) yang terbentuk ditandai dengan garis vertikal pada diagram
fasa. Sehingga sistem besi-karbon terbagi menjadi dua bagian, bagian kaya besi
seperti pada Gambar 2.8 dan bagian lainnya yaitu untuk komposisi 6,70–100% berat
C (grafit murni). Pada prakteknya semua baja dan besi cor memiliki kandungan
karbon kurang dari 6,70%, oleh karena itu hanya dipertimbangkan sistem besi-besi
karbida. Gambar 2.7 akan lebih tepat disebut diagram fasa Fe-Fe 3C, karena Fe3C
dianggap sebagai komponen. Berdasarkan kesepakatan maka komposisi dinyatakan
dengan “% berat C” dimana 6,70% berat C dapat disamakan dengan 100% berat
Fe3C (Callister & Rethwisch, 2009).
Karbon adalah ketidakmurnian intersitial pada besi dan membentuk larutan
padatan dengan masing-masing ferrite α, δ dan austenite γ, ini dapat dilihat pada
Gambar 2.7. Pada fasa ferrite BCC, konsentrasi karbon yang dapat larut hanya sedikit
saja yaitu dengan kelarutan maksimum 0,022% berat pada suhu 727 oC (1341oF). Pada
fasa austenite kelarutan maksimum karbon adalah 2,14% berat pada suhu 1147oC
(2097oF). Kelarutan unsur karbon yang terbatas ini dapat dijelaskan oleh bentuk dan
ukuran struktur BCC (Callister & Rethwisch, 2009).
Transformasi fasa yang melibatkan fasa austenite sangat penting dalam hal
perlakuan panas baja. Ferrite δ hampir sama dengan ferrite α, kecuali pada
28

temperatur dimana keduannya terjadi. Ferrite δ stabil pada temperatur yang relatif
tinggi. Cementite (Fe3C) terbentuk ketika batas kelarutan karbon pada ferrite α telah
melampaui dibawah 727oC (1341oF) (untuk komposisi diantara daerah fasa α + Fe 3C.
Seperti terlihat pada Gambar 2.7 Fe3C juga terdapat bersama dengan fasa δ diantara
727–1147oC (1341– 2097oF). Sifat mekanik cementite adalah keras dan getas.
Kekuatan sebagian besar baja disebabkan adanya struktur cementite (Callister &
Rethwisch, 2009).

2.3.1 Struktur kristal logam.


Semua logam, sebagian besar keramik dan beberapa polimer membentuk
struktur kristal ketika bahan tersebut membeku. Dengan ini dimaksudkan bahwa
atom-atom akan memposisikan diri secara teratur dalam pola tiga dimensi dan setiap
atom akan berikatan dengan atom terdekatnya. Struktur semacam ini disebut struktur
kristal. Berikut adalah jenis-jenis bentuk kristal yang ditemukan pada sebagian besar
logam : (William D. Callister, 2015).

a) Body Centered Cubic (BCC).


Struktur kristal BCC memiliki dua atom pada setiap sel satuannya. Satu atom
terbagi menjadi delapan bagian yang terletak disetiap sudut dan satu atom tunggal
pada pusat atom. Dimana posisi atom disetiap sudut dan pusatnya adalah ekivalen
atau sama. Ini bisa dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Struktur kristal body centered cubic (BCC) (william D. Callister, 2015).

b) Face Centered Cubic (FCC).


29

Struktur kristal FCC memiliki atom yang terletak pada setiap sudut dan
ditengah-tengah seluruh sisi kubik seperti terlihat pada Gambar 2.9. Logam yang
mempunya struktur kristal ini adalah tembaga, aluminium, perak dan emas (william
D. Callister, 2015).

Gambar 2.9 Struktur kristal face centered cubic (FCC) (william D. Callister, 2015).

c) Hexagonal Closed Packed (HCP).


Struktur Kristal HCP memiliki enam atom yang membentuk segi enam diatas
dan dibawah struktur mengelilingi atom tunggal di tengah tiga atom lainnya terletak
ditengah-tengah struktur. Logam yang mempunyai bentuk struktur ini antara lain
magnesium, titanium dan seng. Strukur kristal hexagonal closed packed ini dapat
ditunjukkan pada Gambar 2.10 (Callister & Rethwisch, 2009).

Gambar 2.10 Struktur kristal hexagonal closed packed (HCP) (William D. Callister,
2015).
30

d) Body Centered Tetragonal (BCT).


Struktur kristal ini terbentuk ketika terjadi transformasi fasa ketika dilakukan
pendinginan secara cepat dari austenite ke martensite. Hal ini terjadi sedemikian rupa
sehingga austenite FCC mengalami trasformasi polymorphic ke Body Centered
Tetragonal (BCT) martensite. Sel satuan dari struktur kristal ini adalah bentuk simply
a body-centered yang telah memanjang disepanjang salah satu dimensinya. Struktur
ini jelas berbeda dari struktur ferrite BCC. Semua atom karbon tetap sebagai pengotor
insterstitial di fasa martensite, dengan demikian karbon membentuk sebuah larutan
padat jenuh yang mampu dengan cepat mengubah struktur lain jika dipanaskan
sampai suhu dimana tingkat difusi cukup besar. Struktur kristal body centered
tertragonal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 2.11 (William D. Callister, 2015).

Gambar 2.11 Struktur kristal Body Centered Tetragonal (BCT) (William D.


Callister, 2015).
2.3.2 Struktur Mikro Baja.
Struktur mikro pada paduan besi-karbon berpengaruh pada sifat-sifat
mekaniknya. Struktur mikro pada baja antara lain :
a) Pearlite
Struktur mikro yang terbentuk ketika melewati daerah fasa γ ke fasa α+Fe 3C,
misalkan baja eutectoid dengan kandungan karbon 0,76% ketika didinginkan secara
perlahan dari suhu austenite sehingga terbentuk dua fasa yaitu ferrite (α) dan
cementite (Fe3C) atau bisa disebut pearlite. Pearlite berbentuk seperti lamel atau
lapisan-lapisan tipis yang bertumpuk secara bergantian. Pearlite terbentuk dari fasa
austenite yang mempunyai komposisi eutektoid maka jumlah dan komposisi pearlite
31

sama dengan jumlah dan komposisi austenite eutektoid yang ditransformasikan. Sifat
mekanik pearlite merupakan kombinasi dari ferrite yang memiliki sifat lunak, ulet
dan cementite yang memiliki sifat keras, getas. gambar struktur mikro pearlite bisa
dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12 Struktur mikro pearlite dengan perbesaran 500X (Callister &
Rethwisch, 2009).

Struktur mikro pearlite pada Gambar 2.12 terdiri dari ferrite (α) yang memiliki
daerah lebih terang sedangan cementite (Fe3C) pada daerah yang lebih gelap
(Callister & Rethwisch, 2009).

b) Austenite
Fasa Austenite memiliki struktur kristal FCC (Face Centered Cubic). Fasa ini
bersifat non magnetik. Kelarutan atom karbon didalam larutan padat austenite lebih
besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrite (sebesar
2,14%). Pada besi murni, fase austenite mulai terbentuk pada temperatur 912oC
(1674oC) sampai temperatur 1394oC. Diatas temperatur 1394oC (2541oF) fasa
austenite bukanlah bentuk besi yang stabil karena struktur kristalnya berubah kembali
menjadi fasa body centered cubic (BCC) atau besi-δ (William D. Callister, 2015).
Struktur mikro austenite ditunjukkan pada Gambar 2.13.
32

Gambar 2.13 Struktur mikro austenite dengan perbesaran 325X (Callister, Jr., and
William, D., 1994).

c) Martensite
Martensite terbentuk ketika baja paduan didinginkan secara cepat dari suhu
austenite ke suhu yang relatif rendah (Sekitar suhu kamar). Martensite memiliki
bentuk struktur kristal body centered tetragonal (BCT). Transformasi martensite
terjadi ketika tingkat pendinginan cukup cepat untuk mencegah terjadinya difusi
karbon. Setiap difusi karbon yang terjadi akan menyebabkan pembentukan ferrite dan
cementite. Dari berbagai struktur mikro yang dihasilkan untuk baja paduan,
martensite adalah struktur yang paling keras dan kuat akan tetapi memiliki sifat yang
paling getas. Kekerasan yang dihasilkan oleh struktur martensite tergantung pada
kandungan karbon pada baja paduan. Struktur mikro martensite berbentuk jarum
seperti terlihat pada Gambar 2.14.
33

Gambar 2.14 Struktur mikro martensite dengan perbesaran 1220X (William D.


Callister, 2015).

d) Ferit
Fasa ini disebut alpha (α). Ruang antar atomnya kecil dan rapat sehingga hanya
sedikit menampung atom karbon. Oleh sebab itu daya larut karbon dalam ferit rendah
< 1 atom C per 1000 atom besi. Pada suhu ruang, kadar karbonnya 0,008%, sehingga
dapat dianggap besi murni. Kadar maksimum karbon sebesar 0,025% pada suhu 723
O
C. Ferit bersifat magnetik sampai suhu 768 OC. Ferit lunak dan liat. Kekerasan dari
ferit umumnya berkisar antara 140-180 HVN.

e) Bainit
Bainit merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi pendinginan yang
sangat cepat pada fasa austenit ke suhu antara 250-550°C dan ditahan pada suhu
tersebut (isothermal). Bainit adalah struktur mikro dari reaksi eutektoid (γ → α +
Fe3C) non-lamellar (tidak berupa lapisan). Bainit merupakan struktur mikro campuran
fasa ferit dan sementit (Fe3C). Kekerasan bainit kurang lebih berkisar antara 300-400
HVN.

f) Sementit
Pada paduan besi melebihi batas daya larut membentuk fasa kedua yang disebut
karbida besi (sementit). Karbida besi mempunyai komposisi kimia Fe 3C. Sementit
sangat keras. Karbida besi dalam ferit akan meningkatkan kekerasan baja. Akan tetapi
karbida besi murni tidak liat, karbida ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan
adanya konsentrasi tegangan, oleh karena itu kurang kuat. Kekerasan sementit adalah
800 HVN (Anom Yogantoro, 2010).

2.4 Perlakuan Panas (Heat Treatment).


Perlakuan panas adalah suatu proses yang terdiri dari proses pemanasan dan
pendinginan yang terkontrol untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu pada baja/logam
34

dan paduan. Sebagian besar baja karbon, baja paduan yang diproduksi saat ini telah
mendapat perlakuan panas sebelum digunakan. Perlakuan panas bertujuan untuk
meningkatkan sifat tertentu seperti kekerasan, ketangguhan dan ketahanan terhadap
korosi, serta untuk memperbaiki sifat lainnya. Jenis perlakuan panas yang digunakan
berdasar pada tipe baja paduan yang digunakan dan kegunaan baja tersebut.

Gambar 2.15 Skema umum dari langkah-langkah perlakuan panas pada baja
(Totten, 2006).

Faktor penting dari setiap perlakuan panas adalah proses pemanasan, waktu
penahanan dan temperatur penahanan serta proses pendinginan. Proses pemanasan
dan tiga jenis proses pendinginan digambarkan secara skematis dalam Gambar 2.15.
Lamanya waktu penahanan dan selanjutnya dilakukan proses pendinginan merupakan
faktor yang penting pada proses perlakuan panas (Totten, 2006).

2.4.1. Hardening
Perlakuan panas hardening mengacu pada proses pemanasan, waktu penahanan
dan temperatur penahanan yang selanjutnya dilakukan proses quenching (proses
pendinginan cepat) pada suatu logam dari suhu austenite (solution treating
temperature). Sebagian besar baja tahan karat dan baja paduan tinggi dilakukan
35

proses quenching untuk meminimalkan adanya karbida atau untuk meningkatkan


distribusi ferrite. Kebanyakan baja termasuk baja karbon, baja paduan rendah dan
tool steel dilakukan proses quenching untuk menghasilkan struktur mikro martensite
(Totten, 2006).
Pada saat proses quenching terjadi transformasi fasa dari auestenite ke
martensite dengan tujuan untuk memperoleh kekuatan dan kekerasan yang lebih
tinggi. Temperatur pemanasan logam (hardening) terjadi pada suhu austenite
kemudian dilanjutkan dengan pendinginan cepat (quenching) untuk mencegah
pembentukan struktur mikro pearlite dan ferrite. Hal ini dapat dilihat pada Gambar
2.16.

Gambar 2.16 Temperatur hardening untuk baja karbon (Totten, 2006).


2.4.2. Hardenability.
Pengaruh komposisi baja paduan terhadap kemampuan baja paduan untuk
bertransformasi ke fasa martensite pada proses quenching merupakan parameter yang
mempengaruhi hardenabilitiy suatu baja paduan. Setiap baja paduan memiliki
hubungan masing-masing antara sifat mekanik dengan laju pendinginan yang
berbeda-beda. Hardenability adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kemampuan baja paduan untuk dikeraskan (terbentuknya fasa martensite sebagai
akibat dari perlakuan panas). Hardenability tidak sama dengan kekerasan yang berarti
36

ketahanan bahan atau logam terhadap deformasi plastis, tetapi hardenability adalah
kemampuan baja untuk dikeraskan dengan jalan pembentukan martensite didalam
struktur mikro suatu material. (Callister, Jr., and William, D., 1994). Elemen
hardenability yang meningkatkan kekerasan baja yaitu manganese, silicon,
chromium, nikel, dan vanadium. Namun Semua elemen ini mempunyai efek
hardenebility yang berbeda dan fungsi yang berbeda (Boyer, 1984).

2.4.3 Pengaruh unsur-unsur paduan dalam baja.

Selain karbon, plain karbon steel mengandung unsur-unsur lain sebagai berikut:
Mn hingga 1,65%, S sampai dengan 0,05%, P sampai dengan 0,04%, Si hingga
0,60%, dan Cu hingga 0,60%. (Totten, 2006).
a) Unsur Karbon (C)
Karbon merupakan unsur yang paling banyak selain besi (Fe) yang terdapat
pada sebuah baja. Unsur karbon berfungsi untuk meningkatkan sifat mekanik baja
seperti kekuatan dan kekerasan yang tinggi. Karbon juga dapat menurunkan keuletan,
ketangguhan, serta berpengaruh juga terhadap pengolahan baja selanjutnya seperti
pada proses perlakuan panas, proses pengubahan bentuk dan lainnya. Kandungan
karbon di dalam baja berkisar antara 0,1%-1,7%.
b) Unsur Mangan (Mn)
Mangan sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan
±0,6%. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik tanpa
mengurangi atau sedikit mengurangi regangan, sehingga baja dengan penambahan
mangan memiliki sifat kuat dan ulet.
c) Unsur Silikon (Si)
Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan,
ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat. Unsur silikon merupakan
pembentuk ferit, tetapi bukan pembentuk karbida. Silikon cenderung membentuk
partikel oksida sehingga memperbanyak pengintian kristal dan mengurangi
pertumbuhan akibatnya struktur butir semakin halus.
d) Unsur Nikel (Ni)
37

Nikel mempunyai pengaruh yang sama seperti mangan, yaitu memperbaiki


kekuatan tarik dan menaikkan sifat ulet, tahan panas, jika pada baja paduan terdapat
unsur nikel sekitar 25 % maka baja tahan terhadap korosi. Unsur nikel yang bertindak
sebagai tahan karat (korosi) disebabkan nikel bertindak sebagai lapisan penghalang
yang melindungi permukaan baja.
e) Unsur Chrom (Cr)
Chrom merupakan unsur paduan setelah karbon. Chrom dapat membentuk
karbida. Chrom digunakan untuk meningkatkan kekerasan baja, kekuatan tarik,
ketangguhan, ketahanan abrasi, korosi dan tahan terhadap suhu tinggi. Penambahan
chrom pada baja menghasilkan struktur yang lebih halus dan membuat sifat baja
dikeraskan lebih baik (Amanto, 1999).

2.5 Pengenalan Mesin Induction Hardening


Pengerasan induksi adalah proses pengerasan benda kerja melalui pemanasan
menggunakan induksi listrik dan pada umumnya pengerasan ini bersifat dangkal.
Timbulnya panas pada logam yang terkena induksi medan magnet disebabkan karena
pada logam timbul arus Eddy atau arus pusar yang arahnya melingkar melingkupi
medan magnet. Terjadinya arus pusar ini akibat dari induksi magnet yang
menimbulkan fluks magnetik yang menembus logam, sehingga menyebabkan panas
pada logam. Induksi magnet adalah kuat medan magnet akibat adanya arus listrik
yang mengalir dalam konduktor. Pengerasan Induksi juga disebut sebagai proses
pengerasan nonkontak yang menggunakan listrik frekuensi tinggi untuk
menghasilkan panas yang konduktif secara elektrik.
Sebuah sumber listrik berfungsi untuk menggerakkan arus bolak-balik (arus
AC) melalui sebuah kumparan induksi. Kumparan induksi ini dikenal sebagai
kumparan kerja. Aliran arus yang melalui kumparan ini menghasilkan medan magnet
yang sangat kuat dan cepat berubah menjadi kumparan kerja. Ketika sebuah beban
masuk dalam kumparan kerja yang dialiri oleh arus AC, maka nilai arus yang
mengalir akan mengikuti besarannya sesuai dengan nilai frekuensi (Rudnev et al.,
2003). Prinsip kerja ini digambarkan pada Gambar 2.17.
38

Gambar 2.17 Prinsip kerja pengerasan induksi (Rudnev et al., 2003).

Besarnya tegangan yang diinduksikan pada bahan konduktif tersebut sesuai


dengan hukum Faraday : (Rudnev et al., 2003).

dλ dφ
E= =N
dt dt ……………………………………………… pers. (2.1)

Dimana :
E = Tegangan Induksi (Volt)
dǾ/dt = Perubahan fluks terhadap waktu (Wb/s)
N = Jumlah lilitan

Pada Gambar 2.18 dapat dilihat arus eddy yang terjadi pada konduktor yang
berada di dalam kumparan solenoida. Arus yang terjadi pada konduktor arahnya
berlawanan dengan arah arus pada kumparan solenoida.
Energi panas yang dikonversikan pada material sesuai dengan persamaan :

P=E 2 / R=i 2 R ………………………………………….……… pers. (2.2)

Dimana :
P = Daya yang ditransfer (Watt)
E = Tegangan (Volt)
39

i = Arus (Ampere)
R = Tahanan dalam bahan (Ohm)

Besarnya nilai tahanan ditentukan oleh resistifitas bahan (ρ), luas penampang,
dan panjang konduktor. Sedangkan arus ditentukan oleh intensitas medan magnet.
…………………………………………........................ pers. (2.3)
ρ .l
R=
a
Dimana :
R = Tahanan benda (ohm)
ρ = Resistifitas (ohm.m)
l = Panjang konduktor (m)
a = Luas penampang konduktor (m2)

Resistifitas dari konduktor bervariasi tergantung pada suhu konduktor tersebut.


Pada sebagian besar metal, nilai ρ naik seiring bertambahnya suhu. Nilai resistifitas
dari metal murni sering digambarkan sebagai fungsi linear sesuai dengan persamaan
berikut ini :

ρ( T )=ρ 0 [ 1+α ( T −T 0 ) ] ………………………………................. pers. (2.4)


Dimana :
ρ0 = Resistifitas pada suhu lingkungan T0 (Ω.m)
ρ[T] = Rsistifitas pada suhu lingkungan T (Ω.m)
α = Koefisien suhu dari resistifitas bahan

2.5.1 Parameter dan konsep monitoring induction heating untuk benda kerja.
Variabel kontrol proses lain dapat dipantau dengan cara yang sama, seperti
yang digambarkan dalam Gambar 2.18, dimana variabel terukur akan ditampilkan
termasuk kW-detik dan tegangan kumparan. Monitor ini lebih canggih dan sangat
sering digunakan pada sistem proses induksi yang didedikasikan untuk spesimen-
40

spesimen yang lebih spesifik karena pengujian dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk
mengkarakterisasi semua variabel untuk monitoring proses.
Gambar 2.18 juga menunjukkan pengukuran variabel lain yang dapat dipantau
secara kompak dan teratur sesuai dengan fungsinya. Salah satu variabel yang sering
diukur dan dimonitor adalah suhu benda yang dikerjakan sepanjang siklus pemanasan
(R. E. Haimbaugh, 2001).

Gambar 2.18 Pemantauan parameter untuk konsep penanganan (R. E. Haimbaugh,


2001).
Pengerasan induksi ada beberapa macam seperti pengerasan induksi frekuensi
ultra-high, frekuensi tinggi, super audio, induksi frekuensi menengah. Pengerasan
induksi frekuensi ultra-hight biasanya digunakan pada perlakuan panas sampai
dengan 27 MHz, lapisan pemanasan sangat tipis sekitar 0,15 mm. Dapat digunakan
pada gergaji circular.
Pengerasan induksi frekuensi tinggi biasanya digunakan pada frekuensi 200-
300 kHz, pemanasan kedalaman 0,5-2 mm. Dapat digunakan pada roda gigi, cylinder
liner, poros cam dan benda lain dari pengerasan permukaan.
41

Pengerasan induksi super audio, pemanas induksi frekuensi ini digunakan


dalam furnace heat treatment umumnya 20-30 kHz Dapat digunakan pada roda gigi
denga modul kecil, distribusi lapisan panas umumnya sepanjang profil gigi.
Pengerasan induksi frekuensi menengah digunakan pada frekuensi umumnya
2,5-10 kHz, pemanasan kedalaman 2-8 mm, untuk gigi besar, diameter poros besar
dan permukaan benda kerja pengerasan dingin.
Karakteristik dan keunggulan utama aplikasi pengerasan induksi adalah tidak
memiliki pemanasan secara keseluruhan, deformasi benda kerja yang kecil, konsumsi
daya kecil, tidak menimbulkan polusi, proses pemanasan yang cepat, lapisan
pengerasan permukaan sesuai dengan kebutuhan, mudah terkontrol, perlengkapan
pemanasan sedikit, mudah untuk menerapkan mekanisasi dan otomatisasi, mudah
dikelola, dan dapat mengurangi transportasi, menghemat tenaga kerja, mencetak
kekerasan, kekuatan dan ketangguhan yang tinggi (Zinn & Semiatin, 1988).

2.5.2 Perlakuan panas dengan pengerasan induksi.


Pemanasan yang akurat pada suhu permukaan yang tepat merupakan hal
penting. Desain induktor, panas yang menyerap dan waktu harus terkontrol dengan
ketat. Underheating akan menghasilkan kurangnya kedalaman pengerasaan dan kasus
case depth. Overheating dapat menyebabkan retak. Untuk pemanasan yang efektif,
direkomendasikan aliran frekuensi pada roda gigi yang diametral pitch (DP) berbeda.
Dapat ditunjukkan dalam Tabel 2.11 (Davis, 2005).

Tabel 2.11 Hubungan antara aliran frekuensi dan diametral pitch.


Diameter pitch (Dp) Frequency, kHz
20 500 – 1000
10 300 - 500
8 300 - 500
6 10 - 500
4 6 - 10
2 6 - 10

2.5.3 Pengerasan pada permukaan dan kedalaman penetrasi.
42

Frekuensi dan daya listrik untuk power dan densitas sedangkan durasi waktu
untuk mengatur kedalaman pemanasan yang akan mengontrol kekerasan permukaan
serta kasus mendalam yang dapat dicapai setelah pengerasan induksi.
Tingkat kekerasan permukaan adalah fungsi utama kandungan karbon. Hal ini
juga tergantung pada jumlah paduan, waktu pemanasan, beratnya roda gigi, dan
keseragaman pendinginan. Pada umumnya kekerasan yang akan dicapai antara 53 -
55 HRC. Untuk inti kekerasan ini akan ditentukan setelah proses pengerasan induksi
dan diakhiri dengan pendinginan. 
Seperti telah dibahas dengan frekuensi tinggi dapat mengontrol kedalaman
pemanasan yang dangkal dari permukaan gigi, sedangkan frekuensi rendah
menghasilkan pemanasan penetrasi lebih mendalam. Misalnya kasus pemanasan
dengan kedalaman 0,254 mm (0.010 in.) Dapat digunakan frekuensi antara 100 kHz
dan 1 MHz. Untuk kasus kedalaman pengerasan yang lebih dalam maka frekuensi
yang digunakan antara 3 - 25 kHz. Tabel 2.9 menunjukkan perkiraan kasus
kedalaman yang biasa diterapkan oleh proses pengerasan induksi (Davis, 2005).
Dalam pengerasan induksi roda gigi membutuhkan kekuatan lentur yang tinggi,
maka perlu mendapatkan kedalaman kekerasannya sampai di fillet root. Tabel 2.12
menunjukkan frekuensi yang dibutuhkan pada ukuran roda gigi yang berbeda.

Tabel 2.12 Versus antara aliran frekuensi dan kedalaman penetrasi untuk pengerasan
induksi (Davis, 2005).
Frequency, kHz Approximate case depth, mm (in.)
3 3,81 (0,150)
10 1,52 - 2 (0,060 – 0,080)
500 0,51 - 1 (0,02 – 0,04)
1000 0,25 - 0,51 (0,01 – 0,02)

Meskipun kedalaman kekerasannya yang benar diperoleh di daerah fillet root,


masih sulit untuk mendapatkan kekuatan lentur tinggi dengan mengunakan
pengerasan induksi terhadap roda gigi yang terbuat dari berbagai baja paduan. Oleh
43

karena itu ketepatan pemilihan material adalah hal yang terpenting. Kelemahan lain
dari pengerasan induksi adalah residual tensile stress. Dengan pengembangan
program yang sempurna maka akan memungkinkan pengerasan induksi dengan
ketepatan waktu pemanasan, sebelum mendinginkan, dan pendinginan yang
sedemikian rupa sehingga roda gigi akan bebas dari bahaya residual tensile stress
(Davis, 2005).
Semakin tinggi frekuensi yang diterapkan pada konduktor maka semakin besar
arus yang mengalir pada permukaan konduktor. Besarnya tahanan yang terdapat pada
konduktor setelah terjadi efek kulit yaitu :

Rac =Rdc +Rse =Rdc (1+ F se ) ………………………………. pers.


(2.5)

Dengan :
Rac = Tahanan AC (ohm)
Rdc = Tahanan DC (ohm)
Rsc = Tahanan skin efek (ohm).
Fse = Faktor skin efek.

Besarnya faktor skin efek sendiri diperoleh dari persamaan :

Fse = d/δ ………………………………………………….………… pers. (2.6)

Dengan :
Fse = Faktor skin efek.
d = Diameter konduktor (mm).
δ = kedalaman kulit (mm).

Kedalaman kulit (δ) merupakan karakteristik dari masing-masing bahan


konduktif dan diukur dari permukaan konduktor dimana gelombang elektromagnet
besarnya 1/ε atau 37% dari nilai pada permukaanya akibat arus eddy (Rudnev et al.,
2003).
44

ρ 2
δ=
√ πμ f atau
δ=
√ ωμσ ……………...………………… pers.
(2.7)

Dengan :
δ = kedalaman kulit (m)
μ = permeabilitas (H/m)
σ = konduktifitas (mho/m)
ρ = resistifitas (ohm/m)

Efek kulit ini menyebabkan energi panas yang dikonversi dari energi listrik
terpusat pada permukaan material, sehingga permukaan material lebih cepat panas
dari pada pusatnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.19.

Gambar 2.19 Pengaruh frekuensi pada pemanasan induksi (Rudnev et al., 2003).

2.5.4 Aplikasi pemanas induksi pada roda gigi.


Pada Gambar 2.20 dibawah ini menunjukkan penggunaan pemanas induksi
pada roda gigi. Dengan frekuensi tinggi maka arus Eddy akan mengikuti kontur dari
tooth roda gigi karena kerapatan arusnya akan berada pada bagian ujung dari tooth
roda gigi. Untuk frekuensi rendah yang diaplikasikan pada roda gigi maka arus Eddy
akan berada pada bagian akar dari tooth roda gigi.
45

Gambar 2.20 Profil pemanasan dengan frekuensi rendah dan tinggi (Rudnev et al.,
2003).

2.5.5 Konsep pemanasan induksi roda gigi.


Konsep pemanasan induksi roda gigi dapat dijelaskan seperti berikut ini dan
dapat dilihat pada Gambar 2.21.
a) Conventional Single Frequency Concept : Pemanasan dilakukan hanya sekali
sebelum dilakukan quenching dan tempering.
b) Pulsing Single Frequency Concept : Pemanasan dilakukan dua kali yaitu
pemanasan awal dan pemanasan akhir secara bergantian dengan menggunakan
satu kumparan satu power supply dengan frekuensi tinggi sebelum dilakukan
quenching dan tempering. Frekuensi yang digunakan pada saat pemanasan awal
sama dengan pada saat dilakukan pemanasan akhir.
c) Pulsing Dual Frequency Concept : Pemanasan dilakukan dua kali yaitu
pemanasan awal dan pemanasan akhir secara bergantian dengan menggunakan
satu kumparan dan dua power supply dengan frekuensi yang berbeda sebelum
dilakukan quenching dan tempering. Pada saat dilakukan pemanasan awal
menggunakan frekuensi menengah sedangkan pada saat pemanasan akhir
menggunakan frekuensi tinggi (Rudnev et al., 2003).
46

Gambar 2.21 Konsep induction hardening untuk roda gigi (Rudnev et al., 2003).

2.6 Pencelupan (Quenching).


Pendinginan adalah proses perpindahan panas dengan laju yang sangat cepat.
Pada proses pendingianan (quenching) terjadi percepatan pendinginan dari temperatur
akhir perlakuan panas dan mengalami perubahan dari fasa austenite menjadi
martensite dengan tujuan untuk menghasilkan kekuatan dan kekerasan yang tinggi
(Totten, 2013).
Pemilihan media quenching tergantung pada tingkat hardenability dari baja,
bentuk dan tebal baja serta kecepatan pendinginan yang diperlukan untuk mencapai
struktur mikro yang dikehendaki. Kemampuan quenching untuk meningkatkan
kekerasan baja tergantung pada karakteristik dari media pendinginan. Media
quenching yang paling umum digunakan memiliki bentuk cairan ataupun gas (Totten,
2013).

2.6.1 Media quenching.


Media quenching yang biasa digunakan adalah air, oli, air garam dan gas.
Kemampuan dan fungsinya dapat dijelaskan sebagai berikut :

a) Air
47

Air merupakan media quenching yang dapat menghasilkan tingkat pendinginan


mendekati tingkat maksimum yang dapat dicapai sehingga kekerasan yang dihasilkan
akan mendekati maksimal. Kelemahan air adalah pada temperatur rendah memiliki
tingkat pendinginan yang sangat cepat yang memungkinkan terjadinya cacat distorsi
dan retak (cracking). Kelemahan kedua menggunakan air adalah pada tahap
quenching akan menghasilkan selimut uap (vapor blanket) akan menyebabkan
jebakan uap (vapor enttrapment) yang dapat menghasilkan kekerasan yang tidak
merata untuk mendapatkan hasil quenching yang diinginkan maka temperatur air,
agitasi dan tingkat kontaminasi harus dikendalikan. Semakin rendah suhu air maka
kecepatan quenching akan semakin cepat dan semakin tinggi suhu air maka kecepatan
quenching akan menurun seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.22 (Totten, 2013).

Gambar 2.22 Pengaruh suhu air terhadap waktu quenching (Totten, 2013).
b) Oli
Sebagian besar oli memiliki tingkat pendinginan lebih rendah dari pada air
ataupun air garam. Namun oli memiliki perpindahan panas lebih seragam dari pada
pendinginan menggunakan air, sehingga cacat berupa distorsi dan retak (cracking)
dapat diminimalisir. Karena tingkat pendinginan yang dihasilkan oleh oli lebih rendah
dari pada air maka kekerasan yang dihasilkan juga lebih rendah. Viskositas oli juga
akan mempengaruhi kecepatan pendinginan, semakin tinggi viskositasnya maka
48

semakin rendah kecepatan pendinginan yang dihasilkan serta bahan aditif yang
terlarut dalam oli juga akan mempengaruhi kecepatan pendinginan.
Media quenching oli seharusnya tidak menyebabkan titik api ketika digunakan.
Flash point dari oli digunakan sebagai indikator titik nyala api. Memaksimalkan titik
nyala api akan meminimalkan kebakaran, dimana minimal temperatur flash point oli
yang diperbolehkan adalah 90oC. Oli yang digunakan tidak boleh membentuk
endapan saat digunakan karena dapat menyebabkan efisiensi perpindahan panas
menurun dan zat aditif yang dilarutkan dalam oli tidak boleh mengotori specimen
(Totten, 2013).
c) Air Garam
Quenching dengan media air garam mengacu pada larutan air yang
mengandung berbagai persentasi garam seperti natrium atau kalsium klorida. Tingkat
pendinginan yang dihasilkan dengan air garam lebih tinggi dari pada menggunakan
air biasa. Namun, tingkat pendinginan yang lebih tinggi dapat memungkinkan
terjadinya distorsi atau retak (cracking) yang lebih besar. Air garam dipakai sebagai
media quenching apabila quenching dengan media air dan oli tidak memberikan nilai
kekerasan yang diinginkan. Kelemahan penggunaan air garam adalah bersifat korosif
sehingga pada penggunaanya harus dengan peralatan tahan karat (Totten, 2013).
d) Gas
Pendinginan dengan media gas digunakan untuk memberikan tingkat
pendinginan yang lebih cepat dari pada pendinginan udara dan lebih lambat dari
pendinginan dengan media oli. Pada proses quenching dengan media pendingin gas,
spesimen pada suhu austenite ditempatkan langsung di zona pendinginan dan
langsung disemprot oleh aliran gas. Laju pendinginan oleh quenchant gas
berhubungan dengan luas permukaan dan massa serta jenis specimen, tekanan dan
kecepatan quenchant gas. Laju pendinginan dapat disesuaikan dan diatur dengan
mengubah jenis, kecepatan dan tekanan dari gas yang digunakan. Selama proses
quenching, gas dengan volume besar diarahkan melalui nozel untuk mencapai
permukaan spesimen. Setelah menyerap panas spesimen maka gas didinginkan
melewati pendingin air atau sistem pendingin lain dan dilakukan resirkulasi untuk
49

kembali ke nozel dimana gas kembali diarahkan pada spesimen. Media quenching gas
yang mengandung hidrogen atau helium lebih sering digunakan untuk meningkatkan
laju perpindahan panas antara gas dan specimen (Totten, 2013).

2.6.2 Severity of Quenching.


Severity of quenching adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan laju
pendingian dari suatu media quenching. Semakin cepat laju pendinginan maka
semakin tinggi nilai quench severity (Tohru Aral, 2001). Salah satu teknik untuk
mengetahui besarnya nilai quench severity suatu media quenching adalah dengan
menggunakan teknik grossmann. Prosedur ini didasarkan pada observasi dengan
melakukan proses quenching pada spesimen berbentuk silinder, semakin besar
diameter spesimen maka semakin besar inti spesimen yang tidak mengalami
peningkatan kekerasan ketika menggunakan quenchant dengan quench severity yang
rendah. Menentukan nilai grossmann (H) meliputi proses quenching pada sebuah
spesimen berbentuk silinder dan kemudian melakukan pengujian kekerasan dari inti
specimen (Tohru Aral, 2001)

Tabel 2.13 Nilai grossmann quench severity factor (H) (Totten, 2013).
Sirkulasi atau Grossmann quench severity factor, H
agitation Air garam Air Oli dan garam Udara
Tidak ada 2 0,9 – 1,0 0,25 – 0,30 0,02
Rendah 2 – 2,2 1,0 – 1,1 0,30 – 0,35 -
Sedang - 1,2 – 1,3 0,35 – 0,40 -
Tinggi - 1,4 – 2,5 0,4 – 0,5 -
Kuat - 1,6 – 2,0 0,5 – 0,8 -
Hebat 5 4 0,8 – 1,1 -
50

2.6.3 Mekanisme pendinginan cepat (Quenching).


Dalam proses pendinginan cepat, baja mengalami pendinginan cepat dari
temperatur tinggi yang umumnya dilakukan dengan mencelupkan ke dalam air atau
minyak. Sebagai hasilnya diperoleh produk yang memiliki mikro struktur yang
dikeraskan (as-quenched) pada daerah kritis dan sifat mekanis yang memenuhi
spesifikasi setelah proses temper. Keefektifan quenching tergantung pada sifat
pendinginan dari media quench dan juga kemampukerasan dari baja.
Beberapa faktor yang terlibat dalam mekanisme pendinginan cepat, yaitu:
(Boyer, 1984).
a) Kondisi internal bahan yang mempengaruhi proses perpindahan panas.
b) Kondisi permukaan yang mempengaruhi pelepasan panas.
c) Kemampuan penyerapan panas dari media quench dalam kondisi fluida tak
mengalir pada temperatur dan tekanan fluida normal (kondisi standar).
d) Perubahan kemampuan penyerapan panas dari fluida yang disebabkan oleh
kondisi non-standar dari agitasi, temperatur, dan tekanan.

Faktor-faktor ilustrasi untuk kasus pendinginan cepat pada roda gigi dalam
cairan tak mengalir (tanpa agitasi) yang mudah menguap (volatile) dapat dilihat pada
Gambar 2.23.
51

Gambar 2.23 Gradien temperatur dan faktor utama lain yang mempengaruhi
pendinginan cepat (quench) dari sebuah roda gigi (Tohru Aral, 2001).

Pada poin A pada Gambar 2.23 memperlihatkan bagaimana konfigurasi roda


gigi yang tidak beraturan mempengaruhi aliran panas dari bagian dalam roda gigi ke
daerah yang mengalami pendinginan cepat. Perlu diperhatikan bahwa temperatur
tinggi tetap tertahan dekat permukaan dasar gigi dimana terdapat sebagian besar
gelembung uap yang terperangkap. Jika roda gigi ini dipanaskan secara induksi atau
menggunakan flame (terbentuk lapisan-lapisan panas yang seragam dan tipis
mengikuti kontur roda gigi yang tak beraturan), suplai panas ke daerah quench akan
lebih konsisten dan quench akan berlangsung lebih cepat karena panas juga akan
mengalir secara simultan ke logam yang mendingin yang melapisi bagian luar. Media
quench yang tidak mengalir mengalami pergerakan - pergerakan yang tak dapat
dihindari sebagai akibat dari pencelupan, turbulensi dari pendidihan dan arus-arus
konveksi. Agitasi minimum ini secara bertahap dapat mendisipasi panas yang
terakumulasi ke seluruh bagian cairan tetapi sebagian volume cairan yang berada
dekat dengan sumber panas akan mengalami peningkatan panas atau bahkan akan
menguap dan ini akan berpengaruh pada proses pendinginan cepat. Media quench
yang volatile menghasilkan uap pada hampir setiap temperatur operasi.
Suplai uap meningkat banyak diatas titik didih sehingga terbentuk selimut uap
(vapor blanket) disekitar permukaan benda kerja. Lapisan gas ini dipertahankan oleh
panas yang diradiasikan selama sumber panas itu tersedia (poin B). Pada temperatur
yang lebih rendah maka uap menjadi gelembung-gelembung yang berukuran
bervariasi tergantung pada hubungan tegangan permukaan antara cairan, gas dan
padatan. Gelembung yang terbentuk bisa berukuran kecil, berjumlah banyak, dan
mudah lepas (poin D), ataupun berukuran besar, mudah melekat, dan dalam jumlah
sedikit (poin C).
Untuk jenis cairan yang volatile, mekanika terperangkapnya gelembung uap
(poin C) akan sangat memperlambat transfer panas pada lokasi terjadinya gelembung
52

uap tersebut. Untuk menggambarkan mekanisme pendinginan cepat digunakan suatu


kurva pendinginan yang dibuat berdasarkan pengujian pada kondisi aktual.
Perubahan temperatur diukur dengan menggunakan satu atau lebih
thermocouple yang dipasangkan pada benda kerja. Hasil kurva waktu terhadap
temperatur dapat mengindikasikan karakteristik transfer panas dari media quench.

Gambar 2.24 Kurva pendinginan pada permukaan dan pusat (Tohru Aral, 2001).
Pada proses pendinginan cepat terjadi beberapa tahapan seperi pada Gambar
2.24 dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Tahap A: Pembentukan selimut uap (vapor blanket cooling stage).
Pada tahap ini terjadi pembentukan selimut uap disekeliling benda kerja. Ini
terjadi ketika suplai panas dari permukaan benda kerja mencapai energi yang
dibutuhkan untuk pembentukan jumlah uap per unit area maksimum. Pendinginan
pada tahap ini berlangsung sangat lambat karena selimut uap bertindak sebagai
isolator dan pendinginan terjadi dengan radiasi melalui lapisan uap tipis (vapor film).
Tahap ini tidak terjadi pada larutan yang non-volatile seperti potassium klorida,
53

lithium klorida, sodium hidroksida atau asam sulfat. Kurva pendinginan untuk larutan
ini memulai langsung dengan tahap B.
b) Tahap B: Perpindahan panas (Boiling cooling stage).
Terjadi laju transfer panas paling tinggi, berawal ketika temperatur
dipermukaan logam berkurang sebagian dan lapisan uap tipis pecah. Kemudian
penindihan cairan quenching dan panas terlepas dari logam dengan sangat cepat,
sebagian besar sebagai panas penguapan. Titik didih media quench menentukan akhir
dari tahap ini. Ukuran dan bentuk gelembung uap juga sangat penting dalam
mengatur durasi dari tahap B, sebagaimana kecepatan pendinginan ditentukan pada
tahap ini.
c) Tahap C: Pendinginan lambat (convection cooling stage).
Laju pendinginan pada tahap ini berlangsung lebih lambat dibandingkan pada
tahap B. Tahap C berawal ketika temperatur di permukaan logam berkurang hingga
titik didih dari cairan quenching. Di bawah temperatur tersebut terjadi pendinginan
lambat dengan konduksi dan konveksi. Perbedaan temperatur antara titik didih cairan
dan temperatur larutan merupakan faktor utama yang mempengaruhi laju transfer
panas. Viskositas juga mempengaruhi kecepatan pendinginan pada tahap C.

Kecepatan pendinginan aktual dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :


a) Agitasi
Agitasi secara eksternal menghasilkan pergerakan media quench. Hal ini
memiliki pengaruh yang sangat besar pada karakteristik transfer panas dari media
quench. Proses ini meliputi perusakan awal secara mekanis tehadap selimut uap yang
terbentuk pada tahap A dan menghasilkan gelembung uap yang lebih kecil dan lebih
mudah lepas selama berlangsungnya tahap B sehingga menghasilkan transfer panas
yang lebih cepat pada tahap C. Sebagai tambahan, agitasi juga menggantikan cairan
yang panas dengan cairan yang dingin.
54

b) Temperatur Media Quench


Temperatur larutan dari media quench sangat mempengaruhi kemampuannya
untuk menyerap panas. Semakin tinggi temperatur larutan maka semakin rendah
temperatur karakteristik (temperatur dimana terbentuk selimut uap total) dan sehingga
memperpanjang waktu pada tahap A. Titik didih tidak mengalami perubahan.
Temperatur larutan yang lebih tinggi dapat menurunkan viskositas dan
mempengaruhi ukuran gelembung uap. Jika faktor lainnya seimbang, temperatur yang
lebih tinggi dapat menurunkan laju transfer panas pada tahap C.

c) Temperatur benda kerja


Peningkatan temperatur benda kerja memiliki pengaruh yang relatif kecil pada
kemampuan media quench untuk menyerap panas. Laju transfer panas dapat
ditingkatkan dengan mudah disebabkan oleh adanya perbedaan temperatur yang
sangat tinggi.

2.6.4 Perpindahan panas selama proses pendinginan.


Perpindahan panas dari benda pada saat pendinginan dapat dijelaskan secara
matematis dalam hal koefisien perpindahan panas antar muka yang efektif. Sebuah
quenchant harus menanamkan koefisien antarmuka pada perpindahan panas yang
cukup tinggi untuk menghasilkan tingkat pendinginan yang akan meminimalkan
transformasi austenit menjadi ferit atau perlit dan menghasilkan jumlah yang
diinginkan dari martensit  atau bainit (Tohru Aral, 2001).
Koefisien perpindahan antarmuka panas didefinisikan sebagai : (Tohru Aral, 2001).

…………………………...……………….. pers. (2.8)


Dimana: h = Koefisient perpindahan panas antarmuka
Q = Aliran panas pada part yang didinginkan quenchant
A = Luasnya part
T1 = Suhu di permukaan part
T1 = Suhu yang dialirkan
55

Dengan perbandingan seperti ini, lebih banyak digunakan untuk pendinginan pada
baja, adalah angka Grossmann (H) dimana dapat didefinisikan dengan persamaan
berikut: (Tohru Aral, 2001).

……………………………..……………………...……………….. pers. (2.9)

Dimana:
H = Angka grossmann
h = Koefisient perpindahan panas antarmuka
k = Konduktiviti dari part

Dengan demikian, koefisien perpindahan panas antar muka adalah sama dengan
jumlah Grossmann dikalikan dua kali termal konduktivitas dari logam.
Koefisien perpindahan panas antar muka dalam kondisi daya tarik dapat
ditentukan dengan mengetahui kurva pendinginan menggunakan termokopel yang
terletak di titik pusat probe pada uji silinder, laju pendinginan dapat ditentukan
selama selang suhu tertentu yaitu terdiri dari 595 – 705 0C atau 1100 – 13000F dari
sebuah kurva pendinginan, dan menggunakan nilai dalam ekspresi polinomial ini
akan berkaitan dengan laju pendinginan untuk koefisien perpindahan panas antar
muka. Hal ini sangat diperhatikan dalam kurva dari diagram TTT (Tohru Aral, 2001).
2.6.5 Diagram isothermal transformation (IT) atau time temperature
transformation (TTT).
Diagram Isothermal Transformation (IT) atau juga biasa disebut diagram Time
Temperature Transformation (TTT) adalah sebuah diagram yang menghubungkan
transformasi atau perubahan dari fasa austenite terhadap waktu dan temperatur.
Ketika baja didinginkan dari suhu dimana baja pada temperatur austenite ke suhu
dimana austenite tidak lagi stabil (Untuk besi murni dibawah 912 oC) (William D.
Callister, 2015). Baja akan terjadi transformasi dari fasa austente ke kombinasi atau
campuran ferrite dan cementite ataupun ke fasa martensite. Waktu yang dibutuhkan
untuk transformasi ke ferrite dan cementite ataupun martensite dari setiap rangkaian
56

temperatur, dapat ditunjukkan oleh diagram yang berkaitan dengan temperatur, waktu
dan proses transformasi. Diagram jenis ini dikenal sebagai diagram Isothermal
Transformation (IT) dan memiliki pemahaman dan pengendalian terhadap proses
perlakuan panas dari baja paduan (Vander Voort & Baldwin, 2004).

Gambar 2.25 Diagram isothermal transformation (IT) baja eutectoid (Callister &
Rethwisch, 2007).
Gambar 2.25 menunjukkan contoh diagram isothermal transformation (IT)
untuk baja eutectoid. Pada gambar huruf A merupakan fasa austentite pada baja dan
garis eutectoid temperature merupakan batas critical temperature dimana austenite
akan stabil apabila berada diatas garis ini dan mengindikasikan awal dari transformasi
setelah melewati garis eutectoid temperature. Daerah A+P yang dibatasi oleh garis
merah tebal merupakan daerah awal mulai transformasi dari austenite ke pearlite atau
campuran ferrite dan cementite. Sedangkan garis horizontal yang ditandai dengan
huruf Mstart merupakan garis yang mengindikasikan temperatur dimana martensite
mulai terbentuk pada saat melakukan proses quenching dari austenite. Persentase dari
austenite yang ditransformasikan ke martensite pada proses pendinginan ditentukkan
57

pada diagram dengan garis M50% (terbentuk martensite 50%) dan pada garis M90%
(terbentuk martensite 90%) (Vander Voort & Baldwin, 2004).

2.7 Distorsi.
Distorsi adalah istilah yang sangat familiar dalam semua hal yang terlibat
dengan teknik proses termal terutama dibidang perlakuan panas. Apapun
kecermatannya salah satunya adalah distorsi yang tidak pernah dihindari. Pentingnya
hal ini setidaknya memahami penyebab dasar dari masalah distorsi.
Distorsi dapat digambarkan sebagai perubahan logam selama proses perlakuan
panas. Distorsi  terbagi atas dua bentuk yaitu distorsi terjadi pada perubahan bentuk
dan distorsi terjadi pada perubahan dimensi (Richard E. Haimbaugh, 2001).
Tegangan termal pada spesimen yang menyebabkan distorsi selama pendinginan
adalah fungsi dari paduan koefisien termal ekspansi, modulus elastisitas, ekspansi
volumetrik ketika terbentuknya fasa martensit, dan perbedaan suhu di dalam
spesimen. Meminimalkan ketegangan termal yang mensyaratkan bahwa perbedaan
suhu menurun karena tidak dapat terkontrol dengan baik untuk koefisien ekspansi
atau modulus elastisitas. Ketika spesimen didinginkan dalam larutan seperti air yang
menghasilkan koefisien perpindahan panas yang  tinggi, suhu didaerah bagian tipis ak
an turun jauh lebih cepat dari suhu yang di daerah bagian yang lebih berat. Perbedaan 
suhu yang besar membuat tekanan panas yang tinggi yang sering menyebabkan defor
masi. Satu-satunya pendekatan yang layak untuk mengurangi tegangan dan retak kece
nderungan adalah untuk mengurangi nilai koefisien perpindahan panas dan dengan de
mikian meminimalkan perbedaan suhu. Koefisien perpindahan panas antar muka
harus serendah mungkin dengan tetap menjaga tingkat pendinginan yang cukup
tinggi untuk  memastikan  bahwa  struktur mikro, kekerasan, dan kekuatan yang diper
lukan dapat diperoleh di bagian kritis dari spesimen. (Tohru Aral, 2001).
Termal ekspansi adalah perubahan suatu benda yang bisa menjadi bertambah
panjang, lebar, luas, atau berubah volumenya karena terkena panas (kalor).
Singkatnya, pemuaian panas adalah perubahan benda yang terjadi karena panas.
Pemuaian tiap-tiap benda akan berbeda, tergantung pada suhu di sekitar dan koefisien
58

muai atau daya muai dari benda tersebut. Perubahan panjang akibat panas ini, sebagai
contoh, akan mengikuti: (Tohru Aral, 2001).

Lt = L0 (1 + α .t ………………………………...……………………… pers. (2.10)

Dimana : Lt = Panjang pada suhu t.


L0 = Panjang pada suhu awal
α = Koefisien muai panjang 1 koefisien muai linear
t = Besarnya perubahan suhu

Suatu benda akan mengalami muai panjang apabila benda itu hanya memiliki
(dominan dengan) ukuran panjangnya saja. Muai luas terjadi pada benda ukuran
panjang dan lebar, sedangkan muai volume terjadi apabila benda itu memiliki ukuran
panjang, lebar dan tinggi (Tohru Aral, 2001).

At = A0 (1 + β .t …………………………...…………………………… pers. (2.11)

Dimana : At = Luas (area) pada suhu t.


A0 = luas pada suhu awal
β = (2 x .α) Koefisien muai luas
t = Besarnya perubahan suhu

Dan untuk perubahan volume : (Tohru Aral, 2001).

Vt = V0 (1 +γ .t …………………………...………………...………… pers. (2.12)

Dimana : Vt = Volume pada suhu t.


V0 = Volume pada suhu awal
γ = (3 x .α) Koefisien muai volume
t = Besarnya perubahan suhu

2.7.1 Distorsi untuk perubahan bentuk dan dimensi.


59

Perubahan ukuran dalam microconstituents karena perubahan volumetrik yang


terjadi selama perubahan fasa saat benda terkena panas. Batas perubahan ukuran bisa
sangat penting ketika spesimen telah setengah jadi saat pengerasan dengan induksi
dan perubahan total pada ukuran adalah targetnya. Perubahan bentuk, bending atau
melengkung yaitu efek tegangan sisa pada suatu benda sebelum pengerasan induksi
dan proses pengerasan itu sendiri dapat menyebabkan distorsi karena akan merubah
bentuk dan berpengaruh juga pada dimensi benda kerja. Gigi yang berbentuk spiral
akan menjadi lurus, dan poros dapat bengkok, lubang dapat menutup dan berbagai
macam benda yang mempunyai variasi berbeda-beda bentuk akan berubah pada
sepanjang daerah yang terkena heating (Richard E. Haimbaugh, 2001). Perubahan
bentuk pada roda gigi ketika terkena heating dapat dilihat pada Gambar 2.26.

Gambar 2.26 Distorsi (perubahan bentuk) yang terjadi pada roda gigi (Richard E.
Haimbaugh, 2001).
Proses quenching dapat menyebabkan distorsi pada baja (da Silva et al., 2012).
Dua hal yang menyebabkan terjadinya distorsi selama proses quenching adalah
adanya perbedaan temperatur saat proses pendinginan pada permukaan dan inti
material (thermal gradient) dan ekspansi volume pada baja saat pembentukan fasa
martensite. Jika sebuah baja pada kondisi awal panasnya seragam ditemperatur
austenite dan kemudian dilakukan pendinginan cepat (quenching) maka bagian
permukaan baja akan lebih cepat dingin dan bagian dalam baja mengalami
penyusutan sementara dalam suhu yang relatif panas seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.27 (Totten, 2013).
Ekspansi Penyusutan
60

Gambar 2.27 Terjadinya distorsi berupa perubahan dimensi saat proses quenching,
(a) Ekspansi volume saat pembentukan martensite dan (b) Penyusutan karena
thermal gradient.

2.7.2 Distorsi pada roda gigi mengunakan induction hardening.


Umumnya pada proses perlakuan panas terjadi beberapa distorsi pada roda gigi
setelah proses induction surface hardening. Hot-rolled pada material menunjukkan
bahwa perubahan paling tinggi terjadi pada dimensi serta variasi dari bahan yang
ditarik dengan kondisi dingin maka akan mengalami densifikasi karena pengerjaan
dingin. Secara umum setelah proses pengerasan induksi maka tingkat kualitas gigi
tidak akan turun lebih dari satu tingkat kualitas AGMA, ini dapat dilihat pada Tabel
2.14. Dengan demikian, pengerasan induksi terhadap roda gigi tidak memerlukan
kondisi akhir pada perlakuan panas kecuali mengaplikasikan untuk kecepatan tinggi
(pitch line velocity yang diatas 50,8 m/s atau 10.000 ft/min); dimana telah tersusun
pasangan roda gigi (A. K Rakhit, 2000).

Tabel 2.14 Komparatif pada pengerasan induksi terhadap beberapa jenis material (A.
K Rakhit, 2000).
Hardnest
Material AMS Distortion
AMS quality Case Core
(AISI) specification rating(a)
1040 2300/2304 54 30 Good
1050 2300/2304 54 30 Good
4140 6382 2300/2304 55 40 Good
61

4340 6414 2300/2304 55 40 Poor


5140 2300/2304 55 40 Poor

2.7.3 Akibat terjadi distorsi pada bagian-bagian roda gigi.


2.7.3.1 Pengaruh distorsi pada tebal gigi (tooth thickness).
Tingginya distorsi pada daerah tebal gigi ini akan berpengaruh juga pada sudut
kontak karena daerah tebal gigi (tooth thickness) dapat diukur pada titik kontak di
daerah tengah gigi atau flank. Ketika sudut kontak berubah lebih tingggi ataupun
terlalu rendah maka tegangan tekan di titik sudut tekan akan mempengaruhi seluruh
daerah titik kontak mengalami peningkatan tegangan gesekan yang signifikan,
perubahan sudut tekan dapat ditunjukan pada Gambar 2.28 (Thirumurgan & Deepak,
2014).
Perubahan tebal gigi (tooth thickness) juga akan berpengaruh ke circular pitch.
Jarak lengkung puncak (circular pitch) p, adalah diukur pada batas jarak antara
addendum dan dedendum dari satu titik pada sebuah gigi ke titik yang disebelahnya
di posisi gigi yang sama. Jadi jarak lengkung puncak adalah sama dengan jumlah
tebal gigi (tooth thickness) dan lebar antara gigi (width of space). Maka dengan
tingginya distrosi pada tooth thickness akan menimbulkan tingginya ketidak presisi
pada kontak gigi.
Selain itu perubahan tooth thickness akan berpengaruh juga pada sudut kontak
Karena perubahan ini cukup untuk mengurangi dimensi utama roda gigi di luar dari
toleransi dan menurungkan ketelitian presisi roda gigi saling kontak antara gigi
(Joseph E. Shigley dkk, 2004).
Selain itu (Hsu & Fong, 2011) menjelaskan bahwa dengan sudut kontak di
daerah flank gigi mengalami perubahan dan tidak terpusat antara gigi satu dengan
gigi yang lain maka akan menimbulkan keausan yang tinggi di sisi flank gigi dan ini
akan menimbulkan kebisingan didalam gear box.
62

Gambar 2.28 Bentuk perubahan sudut tekan (Thirumurgan & Deepak, 2014)

2.7.3.2 Pengaruh distorsi pada lebar gigi (face width).


Pengaruh rasio gigi, sudut helix, face width dan modul terhadap bending dan
tegangan tekan pada saat roda gigi beroperasi pada kecepatan tinggi (Venkatesh et al.,
2014).

2.7.3.3 Pengaruh distorsi pada diameter lingkaran kepala (addendum circle


diameter)
Semakin tinggi distorsi yang timbul pada diameter lingkaran kepala akan
berpengaruh kepada getaran roda gigi, guncangan dan kebisingan roda gigi ketika
pasangan roda gigi beroperasi. Perubahan nilai dimensi dari diameter lingkaran
kepala akan meningkatkan kapasitas beban terhadap kontak antara pasangan roda
gigi, hal ini terjadi dikarenakan akan mengubah dimensi dari tinggi kepala
(addendum) dan ukuran dari tinggi kaki (dedendum) menjadi luar standar, begitupun
bentuk dari kerataan permukaan profile gigi (teeth flank) dan akar gigi (tooth rooth).
Dengan demikian diameter lingkaran kepala mengalami peningkatan dimana akan
berpengaruh ketidak akuratnya celah gigi (clearance) maka akan menimbulkan
peningkatan pembebanan pada kontak gigi (G. Richard Budynas J. Keith Nisbett,
2012) dan (Robert L. Mott, 2013).

2.7.3.4 Pengaruh distorsi pada diameter lingkaran kaki (dedendum circle


diameter).
Peningkatan diameter lingkaran kaki akan berpengaruh ketidak akuratnya celah
gigi (clearance) maka akan menimbulkan peningkatan pembebanan pada kontak gigi.
63

Salah satu ganguan yang terjadi pada batas garis kontak spur gear ketika pasangan
roda gigi salin kontak yaitu ketepatan garis lingkarang dedendum dan perbandingan
jumlah gigi antara pasangan roda gigi (Spitas et al., 2014).

2.8 Pengujian Kekerasan.


Kekerasan adalah salah satu sifat mekanik material yang cukup penting.
kekerasan menunjukkan ukuran ketahanan suatu material atau logam terhadap
deformasi plastis (misalnya lekukan kecil atau goresan). Pada awalnya uji kekerasan
didasarkan pada mineral alami dengan skala yang dibuat hanya pada kemampuan
suatu material untuk menggores material lain yang lebih lunak. Dibuat suatu skema
indeks kekerasan kualitatif yang disebut skala Mohs (berkisar dari 1 untuk talc
sampai 10 untuk intan). Teknik pengujian kekerasan kuantitatif telah dikembangkan
selama bertahun-tahun yaitu menggunakan indentor kecil yang diberi gaya
kepermukaan material yang akan diuji dengan mengontrol tingkat beban yang
diberikan. Kedalaman atau dimensi hasil identasi yang terukur berhubungan dengan
bilangan kekerasan suatu material., semakin besar dan dalam idenstasinnya maka
semakin rendah nilai kekerasannya dan itu berarti semakin lunak material yang diuji
(Callister & Rethwisch, 2009).
Metode pengujian kekerasan telah disepakati melalui tiga metode pengujian
kekerasan yaitu penekanan, goresan, dan dinamik. Pengujian kekerasan dengan cara
penekanan banyak digunakan oleh industri permesinan karena prosesnya sangat
mudah dan cepat dalam memperoleh angka kekerasan logam tersebut apabila
dibandingkan dengan metode pengujian lainnya.
Pengujian kekerasan dengan cara penekanan terdiri dari tiga jenis (Rockwell,
Brinell, dan Vickers) (Dieter & Bacon, 1962). Ketiga metode tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangannya serta terdapat perbedaan dalam menentukan angka
kekerasannya. Metode Brinell dan Vickers memiliki prinsip dasar yang sama dalam
menentukan angka kekerasannya yaitu menitikberatkan pada perhitungan kekuatan
bahan terhadap setiap daya luas penampang bidang yang menerima pembebanan
tersebut. Sedangkan metode Rockwell menitikberatkan pada pengukuran kedalaman
64

hasil penekanan atau penekan (indentor) yang membentuk bekasnya (indentasi) pada
benda uji.

2.8.1 Pengujian kekerasan metode Rockwell.


Pada pengujian kekerasan Rockwell terdapat dua jenis indentor yang digunakan
yaitu intan (berbentuk kerucut dengan besar sudut 120º dan disebut sebagai Rockwell
Cone) dan Bola baja (dengan berbagai ukuran dan disebut sebagai Rockwell Ball).
Kesalahan pada pengujian Rockwell dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain benda uji, Operator dan mesin uji Rockwell. Kelebihan pengujian logam dengan
metode Rockwell adalah dapat digunakan untuk bahan yang sangat keras, dapat
dipakai untuk batu gerinda sampai plastic, cocok untuk semua material yang keras
dan lunak. Kekurangan pengujian logam dengan metode Rockwell adalah tingkat
ketelitian rendah, tidak stabil apabila terkena goncangan, penenkanan bebannya tidak
praktis.
Dalam metode ini penetrator menekan permukaan benda uji. Harga kekerasan
didapat dari perbedaan kedalaman penekanan dari beban mayor dan minor. Jadi nilai
kekerasan didasarkan pada kedalaman bekas penekanan. Pengujian kekerasan
rockwell didasarkan pada kedalaman masuknya penekan benda uji. Makin keras
benda yang diuji maka makin dangkal masuknya penekan (penetrator) tersebut.
Metode ini sangat cepat dan cocok untuk pengujian massal. Karena hasilnya dapat
secara langsung dibaca pada jarum penunjuk, maka metode ini sangat efektif untuk
pengetesan massal.

2.8.2 Pengujian kekerasan metode brinell.


Pengujian Brinell dilakukan dengan cara penekanan sebuah bola baja yang
terbuat dari baja krom yang telah dikeraskan dengan diameter tertentu oleh suatu
gaya tekan secara statis kedalam permukaan logam yang diuji tanpa sentakan.
Permukaan logam yang diuji harus rata dan bersih. Diameter paling atas dari lekukan
tersebut diukur secara teliti.
65

Metode ini berupa pengidentasian sejumlah beban terhadap permukaan material


dengan penetrator yang digunakan berupa bola baja yang dikeraskan dengan
diameter 10 mm ± 0,0045 mm dan standar bebannya antara 500 s.d 3000 kgf.
Lama penekanan antara 10 s/d 30 detik. Bola harus berupa baja yang dikeraskan,
ditemper, dan dengan kekerasan minimum 850 VPN.
Diameter lekukan diukur menggunakan mikroskop khusus. Diameter lekukan
yang telah diukur tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai HB dengan
menggunakan tabel. Dalam penulisan simbol HB, dilengkapi dengan indeks: diameter
bola, beban, dan waktu pembebanan.

Rumus yang dipakai untuk menentukan kekerasan logam yang diuji :

2P
BHN= ……………..……………………….…… pers. (2.13)
πD[ D−√ ( D2−d2 ) ]

Keterangan :
P = beban yang diberikan (KP atau Kgf)
D = diameter indentor yang digunakan
d = diameter bekas lekukan

2.8.3 Pengujian kekerasan metode Vickers.


Metode Vickers ini berdasarkan pada penekanan gaya tekan tertentu sebuah
indentor berupa diamond dengan bentuk piramid terbalik (sudut puncak 136º) ke
permukaan logam yang akan diuji kekerasannya. Permukaan logam yang diuji harus
rata dan bersih. Angka kekerasan Vickers (VHN) didefinisikan sebagai beban dibagi
luas permukaan lekukan. Pengujian Vickers dapat dilakukan tidak hanya pada benda
yang lunak akan tetapi juga dapat dilakukan pada bahan yang keras. Bekas penekanan
yang kecil pada penggujian Vickers mengakibatkan kerusakan bahan uji relatif
66

sedikit. Pada benda kerja yang tipis atau lapisan permukaan yang tipis dapat diukur
dengan gaya yang relatif kecil (Dieter, 1996:334).
a) Pengujian kekerasan mikro Vickers
Uji kekerasan Vickers menggunakan penetrator piramida intan yang dasarnya
berbentuk bujur sangkar. Besarnya sudut antara permukaan ke permukaan pyramida
yang saling berhadapan adalah 136o. Sudut ini dipilih karena nilai tersebut mendekati
sebagian besar nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan
diameter bola penekan pada uji kekerasan brinell. Angka kekerasan piramida intan
(DPH), atau angka kekerasan Vickers (VHN atau VPH), didefinisikan sebagai beban
dibagi luas permukaan lekukan. Prinsip pengukuran untuk kekerasan mikro Vikers
dapat dilihat pada Gambar 2.29. Pada prakteknya luas ini dihitung dari pengukuran
mikroskopik (panjang diagonal jejak). VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut:

θ
2 P sin( )
VHN = 2 1,854 P ……………………………..……………… (2.14)
2
=
L L2

Keterangan :
P = Beban yang digunakan (kg)
L = Panjang diagonal rata-rata (mm)
θ = sudut antara permukaan intan yang berlawanan = 136°

Uji kekerasan Vickers banyak dilakukan pada pekerjaan penelitian karena


metode tersebut memberikan hasil berupa skala kekerasan yang kontinu. Untuk suatu
beban tertentu dan digunakan pada logam yang sangat lunak, yakni DPH-nya 5
hingga logam yang sangat keras dengan DPH 1500.
67

Gambar 2.29 Prinsip pengukuran kekerasan mikro Vickers (Melorose et al., 2015a).

Kelemahan pada pemakaian metode Vickers adalah pengujian kekerasan


Vickers tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin (massal) karena pengujian
tersebut lambang dan untuk preparasi benda uji juga harus hati-hati serta terdapat
pengaruh kesalahan manusia yang besar pada penentuan panjang diagonal.
Lekukan hasil pengujian Vickers harus berbentuk bujur sangkar. Akan tetapi,
penyimpangan yang telah dijelaskan untuk pengujian brinell juga sering terdapat
pada indentor piramida Gambar 2.30 (a). Lekukan bantal jarum pada Gambar 2.30 (b)
adalah akibat terjadinya penurunan logam disekitar permukaan piramida yang datar.
Keadaan demikian terdapat pada logam-logam yang dilunakkan dan mengakibatkan
pengukuran panjang diagonal yang berlebihan. Lekukan berbentuk tong pada Gambar
2.30 (c) adalah contoh benda uji yang mengalami proses pengerjaan dingin. Bentuk
demikian diakibatkan oleh penimbunan keatas logam-logam disekitar permukaan
indentor. Ukuran diagonal pada kondisi demikian akan menghasilkan luas permukaan
kontak yang kecil, sehingga menimbulkan kesalahan angka kekerasan yang besar ada
koreksi empiris untuk menanggulangi pengaruh hal di atas.

Gambar 2.30 Tipe-tipe lekukan identasi piramida intan, (a) bentuk bujur sangkar, (b)
lekukan bantal jarum (c) lekukan berbentuk tong (Melorose et al., 2015a).
68

Keterangan:
(a) Lekukan yang sempurna
(b) Lekukan bantal jarum (pinchusion) yang disebabkan oleh penurunan
(c) Lekukan berbentuk tong yang disebabkan oleh penimbunan ke atas.

Pada penelitian roda gigi ini alat uji yang digunakan untuk pengujian kekerasan
adalah alat uji kekerasan mikro Vickers.
b) Pengujian kekerasan mikro Vickers
Banyak persoalan metalurgi memerlukan data-data mengenai kekerasan pada
daerah yang sangat kecil. Pengukuran gradien kekerasan pada permukaan yang
dikarburasi, pengukuran kekerasan kandungan tunggal pada struktur mikro, atau
penentuan kekerasan roda gigi arloji, merupakan tipe persoalan dari jenis pengujian
kekerasan mikro. Uji mikro Vickers merupakan pengujian untuk menguji kekerasan
daerah yang kecil atau rumit (Melorose et al., 2015a).

2.9 Pengujian struktur mikro (Mikrografi).


Pengujian struktur mikro bertujuan untuk melihat struktur pada logam dan
paduannya dengan menggunakan mikroskop optik atau bisa juga menggunakan SEM
(scanning electron microscope). Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
mikroskop optik. Persiapan yang harus dilakukan pada material uji sebelum difoto
mikro menggunakan mikroskop optik adalah dibuatkan mounting berupa akrilik,
polyester maupun epoxy untuk material yang berbentuk kecil atau rapuh. Tetapi tahap
mounting tidak perlu dilakukan apabila material uji yang akan dianalisa memiliki
bentuk yang cukup besar. Kemudian dilakukan proses grinding dan polishing untuk
menghasilkan permukaan material uji yang rata dan mengkilap dan tidak boleh ada
goresan pada material uji sesuai dengan (ASTM E3 ASTM E-3, 2001). Proses
selnjutnya adalah dilakukan pengetsaan pada permukaan spesimen yang berfungsi
untuk menghasilkan kontras warna yang berbeda untuk mempermudah pengamatan
struktur mikro dengan menggunakan mikroskop. Etsa yang digunakan sesuai jenis
69

material uji yang akan dilakukan pengujian sesuai dengan standar (ASTM E407
ASTM E-407, 201).
Contoh hasil pengujian struktur mikro menggunakan mikroskop optik pada baja
C45 (baja karbon medium dimana yaitu baja yang bersetara dengan AISI 1045)
dengan proses heat treatment berbagai macam perbedaan meliputi: normalized,
spherodized, hardened dan tempered ditunjukkan pada Gambar 2.31.

Gambar 2.31 Struktur mikro untuk baja dengan perlakuan panas yang berbeda: (a)
C45:normalized, (b) C60: spherodized, (c) C45: hardened, dan (d) C45: hardened dan
tempered dengan suhu 550OC (Melorose et al., 2015b).

2.10 Penelitian Tentang Distorsi Timbul pada Roda Gigi Setelah Heat
Treatment.
Rudnev dkk (2003) meneliti bahwa proses tempering dilakukan setelah proses
pengerasan. Waktu dan temperatur adalah dua parameter paling penting pada
induction tempering dalam waktu singkat. Mereka menjelaskan bahwa ada sebuah
konsep umum yang salah yaitu tempering akan menurunkan semua tegangan dalam
roda gigi dan membuat baja lebih lunak dan mengurangi kesempatan untuk distorsi
secara nyata dan kemungkinan terjadinya retak. Pada kebanyakan treatment roda gigi,
70

adanya gaya tegangan sisa yang terdapat pada permukaan roda gigi berguna dan
diinginkan karena induction tempering mengurangi kemungkinan untuk
menghasilkan retak. Jarak waktu antara quench dengan temper harus secepat
mungkin jika waktu transien cukup lama maka gaya kedalaman cukup untuk memberi
kesempatan sehingga terjadi bentuk distorsi pada ukuran. Retak karena lelah (fatigue)
terjadi pada akar gigi.
Mallener dkk (2004) meneliti bahwa sekitar 50-60% dari distorsi disebabkan
oleh pemilihan material yang tidak benar, seperti komposisi kimia, struktur-struktur
(lapisan struktur, pemisahan mikro) dan geometri. Kemudian 20-40% adalah
pengaruh karakteristik perlakuan panas yang ringan seperti: jenis tungku, posisi
rincian di dalam ruangan, keseragaman pendinginan, gas perlakuan dan media
pendingin. Kekuatan media pendinginan menciptakan struktur dan sifat mekanik
berdasarkan setelah proses. Pentingnya selama perlakuan panas terhadap material
tertentu karena komposisi kimia yang menentukan pengerasan dan untuk
menyesuaikan aplikasi tertentu.
Qomarul Hadi, (2010) meneliti tentang perubahan bentuk (distorsi) yang terjadi
disebabkan proses perlakuan panas pada baja. Karena distorsi disebabkan oleh
perubahan sifat-sifat mekanik dan struktur mikro pada baja ketika bahan dilaku panas
dan dilanjutkan dengan pencelupan yang tidak seragam terutama pada posisi
pencelupan. Spesimen yang diteliti adalah baja ST 37 dengan bentuk baja profil I dan
L, suhu tungku 900 0C dan ditahan selama 5 menit. Disimpulkan bahwa posisi
pengecelupan dan waktu penahanan suhu bisa mempengaruhi distorsi pada roda gigi
yang di heat-treatment.
Rémi Husson dkk (2012) telah melakukan penelitian tentang bagaimana
meningkatkan kualitas hasil produk roda gigi melalui pengamatan distorsi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tegangan sisa dan perubahan geometri yang berkonse
kuensi pada permasalahan distorsi roda gigi dari hasil proses manufaktur, selanjutnya
bisa menjawab permasalahan kualitas transmisi roda gigi di industri otomotif.
Pengerasan permukaan dengan dapur induksi pada suhu 2000C dan 6000C setelah
proses produksi dan proses pengamatan hasil melalui komposisi kimia, keseragaman
71

struktur mikro, tegangan sisa, temperatur pemanas dan proses manufaktur. Untuk
proses pendinginan dengan media air. Pengukuran geometri roda gigi dengan
coordinate measurement mechine (CMM). Hasil kemudian diamati dan disimpulkan
bahwa mengurangi tingkat tegangan sisa adalah dengan cara proses perlakuan panas.
Namun tegangan sisa juga memiliki dampak pada kelelahan kekuatan benda kerja.
Kedua geometri dan karakteristik mekanik adalah properti produk yang dipengaruhi
oleh penambahan dan menghilangkan tegangan dalam Proses pembuatan.
P. Liu dkk (2002) telah melakukan penelitian tentang analisa efek distorsi
sprocket dengan material baja S45C. Perlakuan panas dengan pengerasan induksi dan
diikuti pendinginan pada suhu oli 40oC. Pentingnya penelitian ini karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produk dalam industri otomotif
contohnya pada sprocket adalah sering terjadi penurunan kualitas.
Variasi dimensi spesimen seperti lebar pada fariasi potongan 21-87 mm, fariasi
diameter dalam 32–112 mm, jumlah gigi 42–48 dan variasi dari panjang potongan
luar 15-30 mm. Variasi suhu untuk proses pemanasan adalah 2000C, 4000C dan 7230C
. Suhu tersebut hanya pada area sekitar permukaan gigi. Untuk mengetahui hubungan
temperatur tegangan–regangan material dengan membandingkan antara rasio poisson,
tegangan leleh dan luasan koefisien panas. Berdasarkan Hasil simulasi, parameter
yang paling penting yang berpengaruh terhadap distorsi adalah parameter perlakuan
panas, geometri roda gigi dan jenis material yang digunakan.

2.11 Penelitian tentang pengaruhnya kualitas roda gigi.


Y. Totik dkk (2002), melakukan penelitian dengan tujuan meminimalkan
koefisien gesekan pada batang silinder dari baja AISI 4140, panjang spesiment 120
mm dan diameter 20 mm. pengerasan permukaan mengunakan induction surface
hardening pada frequensi 1000 Hz dan variasi holding time 6, 10, 14, 18, 27 s.
penelitian menyimpulkan bahwa proses pengerasan dengan induction surface
hardening pada suhu 875 0C dan holding time 27 s, akan meminimalkan terjadinya
koefisien gesekan pada permukaan silinder.
72

Ibrahim Akinci dkk (2005), telah melakukan penelitiannya dengan judul


“Failure of a rotary tiller spur gear”. Penelitian menganalisa kegagalan pada 931
roda gigi yang terjadi ketika mesin beroperasi selama 35 tahun. Pengamatan melalui
fraktur, kelelahan permukaan, goresan dan deformasi plastis dimana terjadi pada spur
gear untuk tiller rotary dengan modul 6-31T pada bahan Baja SAE 1020. Hasil yang
didapat bahwa terjadi kegagalan disebabkan kesalahan bentuk gigi, kesalahan
pemilihan material dan kapasitas kerja melebihi batas kemampuan roda gigi.
Kleemola J. dan Lehtovaara A., (2009), melakukan simulasi eksperimen kontak
roda gigi sepanjang garis kontak. Judul penelitiannya adalah “Experimental
simulation of gear contact along the line of action”. Mereka meneliti roda gigi lurus
menggunakan alat twin-disc test. Pengukuran dilakukan pada 38 titik sepanjang garis
kontak dengan fokus pengukuran koefisien gesekan pada kondisi pelumasan dan
temperatur tertentu.
Aslantas K. dan Tasgetiren S., (2004), meneliti tentang prediksi umur pakai
roda gigi, dalam penelitiannya yang berjudul “A study of spur gear pitting formation
and life prediction”. Roda gigi yang diteliti terbuat dari besi lunak austempered
(austempered ductile iron). Metode yang digunakan adalah eksperimen dan analisis
numerik kemudian dibandingkan antara keduanya. Pada proses eksperimen, roda gigi
terbentuk takikan (pitting) pada permukaannya dengan dimensi antara 150-500 μm di
sepanjang garis pitch. Dapat disimpulkan bahwa pitting failure time dapat diprediksi
tanpa melakukan pengetesan pada roda gigi. Dengan metode elemen hingga dan
analisis kegagalan mekanik dapat digunakan untuk memprediksi umur roda gigi.
Dhanasekaran S. dan Gnanamoorthy R. (2008), melakukan penelitian tentang
keausan roda gigi pada kondisi kering tanpa pelumas. judul penelitian adalah “Gear
tooth wear in sintered spur gears under dry running conditions”. Roda gigi disinter
dengan penambahan MoS2. Hasilnya adalah dengan penambahan MoS2 akan
menambah densitas, kekerasan, kekuatan dan ketahanan aus.
Krantz, (2005) menjelaskan bahwa permukaan roda gigi (gear) dalam operasi
kerja sering mengalami kontak rolling dan sliding yang berulang. Untuk kondisi
operasi yang umum pada roda gigi transmisi, saat terjadi transmisi daya dari engine
73

ke roda, kontak rolling yang berulang akan mengakibatkan deformasi, sedangkan


kontak sliding akan mengakibatkan wear (keausan). Jika ini terjadi secara terus
menerus akan mengakibatkan fatigue pada permukaan dan berujung pada kegagalan.
Ia juga mengungkapkan bahwa kekasaran permukaan akan berpengaruh terhadap
perilaku deformasi dan keausan permukaan roda gigi.

Anda mungkin juga menyukai