STUDI LITERATUR
6
7
Gambar 2.2 Geometri pada roda gig (G. Richard Budynas J. Keith Nisbett, 2012).
f. Deddendum (b) adalah jarak radial dari lingkaran pitch sampai pada dasar gigi.
g. Addendum = Dedendum + Clearance.
h. Diameter flank (blank diameter) adalah jarak yang panjangnya sama dengan
diameter lingkaran pitch ditambah dengan dua addendum.
i. Ketebalan gigi adalah jarak tebal gigi yang diukur pada lingkaran pitch dari satu
sisi ke sisi yang lain pada gigi yang sama.
j. Untuk sudut tekan (pressure angle) biasanya dibuat sama dengan 20° dan 14½°.
k. Tinggi gigi atau kedalaman gigi (teeth depth) umumnya dibuat 2.25 kali modul
untuk roda gigi dengan sudut tekan 20°. Sedangkan untuk roda gigi dengan sudut
tekan 14½° kedalaman giginya dibuat sama dengan 2.157 modul (m).
Untuk membuat roda gigi spur maka diperlukan rumus dasar roda gigi spur
yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Rumus dasar roda gigi lurus (Joseph E. Sighley, 1996).
Quantity desired Formula Equation number
Diameter pitch (Pd) N (33.1)
Pd =
d
Module (m) d (33.2)
m=
N
Circular pitch (p) πd (33.3)
P= =πm
N
Pitch diameter, (d) or (D) N (33.4)
d= =mN
Pd
Tabel 2.2 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kejut berdasarkan e25
DIN 3967.
Upper tooth thickness
Reference diameter Tooth thickness allowance
allowance
From To Asne Tsn
- 10 -0,022mm 0,020mm
10 50 -0,030mm 0,030mm
50 125 -0,040mm 0,040mm
125 280 -0,056mm 0,050mm
Tabel 2.3 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kontak untuk diameter
luar roda gigi 50 mm - 100 mm berdasarkan e25 DIN 58405.
Upper tooth
Reference Tooth thicknes
Normal module thickness
diameter allowance
mn allowance
d (mm) Tsn
Asne
Since 0,16 to 0,25 0,028 0,011
From 3 to 6 Since 0,25 to 0,6 0,030 0,012
Since 0,6 to 1,6 0,035 0,014
Since 0,16 to 0,25 0,030 0,012
>6 to 12 Since 0,25 to 0,6 0,035 0,014
Since 0,6 to 1,6 0,040 0,016
Since 0,16 to 0,25 0,035 0,014
Since 0,25 to 0,6 0,040 0,016
>12 to 25
Since 0,6 to 1,6 0,045 0,018
Since 1,6 to 3 0,050 0,020
Tabel 2.4 Standar ukuran toleransi kelongaran untuk beban kontak untuk diameter
luar roda gigi 50 mm - 100 mm berdasarkan e25 DIN 58405. (Lanjutan)
Since 0,16 to 0,25 0,040 0,016
Since 0,25 to 0,6 0,045 0,018
>25 to 50
Since 0,6 to 1,6 0,050 0,020
Since 1,6 to 3 0,055 0,022
Since 0,16 to 0,25 0,045 0,012
Since 0,25 to 0,6 0,050 0,018
>50 to 100
Since 0,6 to 1,6 0,055 0,020
Since 1,6 to 3 0,063 0,022
Since 0,6 to 1,6 0,063 0,024
11
Standar nilai untuk perubahan dimensi antara jarak titik pusat dari roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak maka perubahan toleransi pada jarak titik pusat
tertinggi 0,050 mm tetapi ini hanya berlaku untuk roda gigi yang sudut kontaknya
200. Sedangkan untuk pengaruh kontak yang disebabkan perubahan toleransi yaitu
standar nilainya maksimal 0,036 dapat ditunjukkan pada Tabel 2.5 dan Tabel 2.6.
Tabel 2.5 Standar untuk nilai toleransi antara jarak lingkaran kontak antara roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak.
Spur Gear Parallel Helical Gear Crossed Axis Helical Gear
Deviation
Change Deviation Change Deviation
from Change in
in from centre in from centre
center backlash
backlash distance backlash distance
distance ∆Ja
∆Ja As ∆Ja As
As
0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001
0,010 0,007 0,010 0,008 0,010 0,010
0,015 0,011 0,015 0,011 0,015 0,015
0,020 0,015 0,020 0,015 0,020 0,021
0,025 0,018 0,025 0,019 0,025 0,026
0,030 0,022 0,030 0,023 0,030 0,031
Tabel 2.6 Standar untuk nilai toleransi antara jarak lingkaran kontak antara roda gigi
pengerak dan roda gigi yang digerak. (Kelanjutan)
0,035 0,025 0,035 0,026 0,035 0,036
0,040 0,029 0,040 0,030 0,040 0,041
0,045 0,033 0,045 0,034 0,045 0,046
0,050 0,036 0,050 0,038 0,050 0,051
Tabel 2.7 Harga modul standar JIS B 1701 – 1973 (Sularso, 1980).
Seri Seri Seri Seri Seri Seri
ke - 1 ke - 2 ke - 3 ke - 1 ke - 2 ke - 3
3,5
0,1
0,15 4 3,75
4,5
0,2
0,25 5
5,5
0,3 0,35 6
6,5
7
0,4
0,45 8
9
0,5
0,55 10
11
0,65
0,6
0,7 12
0,75 14
16
0,8
0,9 18
1 20
1,25 22
25
1,5
1,75 28
2 32
Tabel 2.8 Harga modul standar JIS B 1701 – 1973 (Sularso, 1980). (Kelanjutan)
2,25 36
40
2,5
2,75 45
50
3
3,25
teknik termasuk perancangan roda gigi dapat dilihat pada Gambar 2.3. (G. Richard
Budynas J. Keith Nisbett, 2012).
Gambar 2.3 Tahapan perancangan (G. Richard Budynas J. Keith Nisbett, 2012).
dari proses perancangan dan semua batasan-batasan atas besaran yang berkaitan
dengan hal tersebut. Spesifikasi dapat berupa jenis roda gigi, dimensi roda gigi,
taksiran umur, batas temperatur operasi, keandalan, kecepatan/putaran, kapasitas
(kemampuan mentransmisikan daya), material roda gigi, pelumas yang kan
dipakai, dimensi ruang dan lain-lain. Perancang harus dapat merumuskan dengan
jelas spesifikasi yang akan direncanakan.
Dalam merumuskan spesifikasi yang direncanakan seorang perancang harus
memperhatikan batasan-batasan atau kendala yang ada pada proses perancangan.
Batasan dalam perancangan roda gigi dapat berupa dimensi ruang yang tersedia
untuk penempatan transmisi, material roda gigi yang tersedia, proses atau
fasilitas manufaktur roda gigi yang tersedia, stadarisasi permesinan dipasaran
maupun besar biaya yang tersedia. Dengan adanya perumusan spesifikasi yang
diinginkan dan keberadaan batasan-batasan dalam proses perancangan maka
akan menghasilkan beberapa solusi. Dalam perancangan roda gigi, solusi yang
diperoleh umumnya berupa sistem transmisi roda gigi yang berisikan jenis roda
gigi, dimensi roda gigi, material roda gigi, data operasional, pelumas dan lain-
lain.
c. Tahap sintesa.
Merupakan solusi optimum dari sistem transmisi yang berasal dari solusi-solusi
yang didapatkan dari tahap sebelumnya. Penilaian atau evaluasi atas solusi ini
dilakukan dengan proses analisis dan optimasi. Analisis dan optimasi dilakukan
untuk menguji solusi yang didapat dari proses sintesa apakah solusi tersebut
berdaya guna dengan baik sesuai spesifikasi yang direncanakan. Jika solusi yang
didapat sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan maka proses selanjutnya
adalah evaluasi hasil rancangan. Tetapi jika tidak sesuai dengan harapan atau
tidak sesuai spesifikasi yang direncanakan maka solusi ini gagal dan harus
kembali ke tahap perancangan sebelumnya.
d. Proses kembali ke tahap sebelumnya.
15
Dapat berupa tahap sintesa, yaitu mencoba dengan solusi yang lain kemudian
diuji dengan proses analisis dan optimasi. Dapat juga tahap sebelumnya adalah
tahap perumusan masalah dengan cara merubah spesifikasi yang diinginkan,
sehingga akan mendapatkan solusi-solusi baru. Tetapi jika proses tersebut masih
gagal maka kembali ke proses awal perancangan dengan kemungkinan perlu
merubah definisi kebutuhan.
e. Tahap evaluasi.
Dilakukan untuk solusi yang lolos dari proses iterasi. Jika tahap sebelumnya
proses perancangan lebih banyak dilakukan diatas kertas, tetapi evaluasi biasanya
dilakukan berupa proses pengujian hasil perancangan (kaji eksperimental),
sehinga umumnya diperlukan pembuatan suatu prototip. Jika dalam pengujian
ternyata gagal maka proses perancangan kembali ke tahap sebelumnya. Jenis
kegagalan saat pengujian akan menunjukkan ke tahap mana proses perancangan
akan kembali.
Tahap evaluasi umumnya membutuhkan biaya yang besar, karena dilakukannya
proses pengujian. Untuk memperkecil kegagalan saat tahap evaluasi maka
sebaiknya dalam proses perancangan lebih banyak mengacu pada data-data hasil
pengujian yang cukup lengkap akan sangat membantu dalam usaha memperkecil
kegagalan dalam tahap evaluasi.
f. Tahap penyajian.
Merupakan tahap akhir dari proses perancangan. Tahap penyajian dapat berupa
data lisan, data tertulis atau data grafis (gambar). Seorang perancang yang baik
akan dapat menyampaikan hasil rancangan yang komunikatif sesuai dengan
keperluan. Metode penyajian yang baik akan sangat membantu perancang untuk
menjelaskan dan meyakinkan penguna hasil rancangan (G. Richard Budynas J.
Keith Nisbett, 2012).
nomor cutter yang spesifik adalah khusus untuk berbagai jumlah gigi sesuai dengan
urutan nomornya (Davis, 2005). Contoh gambar pisau potong dapat dilihat pada
Ganbar 2.4.
Tabel 2.9 Data – Data Penting yang Perlu dipersiapkan untuk proses Pembuatan roda
gigi (Dimitriou & Antoniadis, 2009).
Input Data
Hob Geometry Workgear Geometry Cutting Conditions
m : Module (mm) m : Module (mm) fa : axial feed [mm/wrev]
ni : number of columns Z2 : number of teeth t : depth of cut [mm]
Z1 : number of hub origins ha : helix angel [deg] V : cutting speed [m/min]
dh : outside diameter [mm] dg : outside diameter
[mm]
Pada umumnya proses gerakan pahat pada roda gigi hobbing adalah :
a). Gerak rotasi dari gear blank,
b) Gerak rotasi dari cutter hobbing,
c) Gerak vertikal dari cutter hobbing.
Gambar 2.6 Pergerakan cutter pada pembuatan roda gigi (Dimitriou & Antoniadis,
2009).
Nilai persentase komposisi kimia yang terkandung pada baja AISI 1045
menurut standar ASTM A 827 -85 bisa dilihat pada Tabel 2.10.
Element, %
Sae/Aisi Carbon Manganese Phosphorus, Max Sulfur, Max Silicon
1009 0,15 max 0,60 0,035 0,040 0,15-0,40
1020 0,18-0,23 0,30-0,60 0,035 0,040 0,15-0,40
1035 0,32-0,38 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1040 0,37-0,44 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1045 0,43-0,50 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
1050 0,48-0,55 0,60-0,90 0,035 0,040 0,15-0,40
2.2 Baja.
Baja adalah logam yang unsur dasarnya besi dan ditambahi dengan beberapa
elemen-elemen lainnya termasuk unsur karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja
berkisar antara 0,2- 2,1% berat sesuai grade-nya. Berikut elemen-elemen yang
21
terdapat dalam baja seperti karbon (C), mangan (Mn), fosfor (P), sulfur (S), silikon
(Si) dan sebagian kecil oksigen (O2), nitrogen (N2) dan aluminium (Al). Selain itu,
ada elemen lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa
jenis baja diantaranya: mangan (Mn), nikel (Ni), krom (Cr), molybdenum (Mo),
boron (B), titanium (Ti), vanadium (V) dan niobium (Nb) (Ashby, 2005).
Baja juga digunakan sebagai material pada plat, pipa, lembaran, profil dan
sebagainya. Proses pembuatan baja dapat melalui proses pengecoran, penempaan,
pencairan. Kandungan unsur paling penting dalam baja adalah karbon karena dapat
berpengaruh pada kekerasan dan kekuatan baja. Tinggi rendahnya persentase kadar
karbon dalam baja berpengaruh pada tinggi rendahnya suhu kritis (batas zona struktur
logam). Bila kadar karbon baja melebihi 0,20%, dari suhu austenite turun dimana
sifat ferrite mulai terbentuk dan mengendap. Baja denga kadar karbon 0,80% disebut
baja eutectoid dan strukturnya terdiri dari 100% pearlite. Titik eutectoid adalah suhu
terendah dalam logam, dimana terjadi perubahan dalam keadaan larut padat dan
merupakan suhu keseimbangan terendah dimana austenite terurai menjadi ferrite dan
cementite.
Bila kadar karbon baja lebih besar dari pada eutectoid, perlu diamati garis pada
diagram besi-karbida besi. Garis ini menyatakan suhu dimana karbida besi mulai
memisah dari austenite. Karbida besi dengan rumus kimia Fe3C disebut cementite.
Cementite sangat keras dan rapuh. Baja yang mengandung kadar karbon kurang dari
eutectoid (0,80%) disebut baja hypoeutectoid dan baja yang mengandung kadar
karbon lebih dari eutectoid disebut baja hypereutectoid (William D. Callister, 2015).
Pada proses perlakuan panas diperlukan pengetahuan tentang transformasi fasa,
sehingga memungkinkan memperoleh sifat-sifat mekanik bahan dengan mengubah
struktur mikro baja. Struktur yang terdapat pada baja antara lain:
1. Ferrite
Sel satuan pada ferrite adalah Body Centered Cubic (BCC) dan hanya dapat
menampung unsur karbon maksimum 0,025% pada temperatur 723oC. Ferrite akan
22
berubah menjadi getas pada temperatur rendah. Ferrit merupakan struktur yang
paling lunak pada baja.
2. Pearlite
Campuran dari ferrite dan cementite berlapis dalam suatu struktur butir disebut
pearlite. Pada proses heat-treatment dengan laju pendinginan lambat menghasilkan
fasa pearlite kasar sedangkan pada laju pendinginan cepat menghasilkan fasa pearlite
halus. Sifat fasa pearlit adalah keras dan lebih tangguh.
3. Austenite
Austenite mempunyai sel satuan yang disebut Face Centered Cubic (FCC) yang
mengandung unsur karbon maksimum hingga 1,7%. Fasa ini hanya terjadi pada
temperatur tinggi.
4. Martensite
Martensite merupakan fasa larutan padat lewat jenuh dari karbon. Sel
satuannya adalah Body Centered Tetragonal (BCT). Semakin tinggi kejenuhan
karbon maka sifatnya semakin keras dan getas. Jika baja didinginkan secara cepat
pada fasa austenite maka sel satuan Face Centered Cubic (FCC) akan bertransformasi
secara cepat menjadi Body Centered Cubic (BCC). Proses pendinginan secara cepat
menyebabkan unsur karbon yang larut dalam sel satuan BCC tidak sempat keluar
(terperangkap) dan tetap berada dalam sel satuan tersebut. Hal tersebut menyebabkan
distorsi sel satuan sehingga sel satuan BCC berubah menjadi sel satuan BCT.
5. Cementite
Cementite merupakan senyawa bersifat sangat keras yang mengandung 6,67%
karbon. Cementite sangat keras tetapi bila bercampur dengan ferrite yang lunak maka
kekerasan akan menurun.
6. Ledeburite
23
Baja memiliki dua sifat yang sangat penting untuk dikaji dan dipelajari yaitu
sifat mekanik dan sifat fisik. Adapun penjelasan mengenai sifat mekanik dan sifat
fisik baja adalah sebagai berikut :
Sifat mekanik baja dipengaruhi oleh ikatan antara karbon dengan besi. Pada
prosesnya, terdapat dua bentuk utama kristal saat karbon berikatan dengan besi.
Adapun dua bentuk utama pada kristal tersebut adalah sebagai berikut: (Schonmetz,
1985).
a. Ferit, yaitu besi murni (Fe) terletak rapat saling berdekatan dan tidak teratur,
baik bentuk maupun besarnya. Ferit adalah bagian baja yang paling lunak. Ferit
murni tidak cocok digunakan sebagai bahan untuk benda kerja yang menahan
beban besar karena kekuatannya kecil.
26
b. Pearlit, merupakan campuran antara ferit dan cementit dengan kandungan karbon
sebesar 0,8%. Struktur pearlit mempunyai kristal ferit tersendiri dari serpihan
cementit halus yang saling berdampingan dalam lapisan tipis mirip lamel.
Gambar 2.7 Diagram fasa besi – besi karbida (Fe-Fe3C) (Callister & Rethwisch,
2009).
Sumbu X adalah komposisi karbon (C) dari 0 sampai 6,70% berat. Besi karbida
atau cementite (Fe3C) yang terbentuk ditandai dengan garis vertikal pada diagram
fasa. Sehingga sistem besi-karbon terbagi menjadi dua bagian, bagian kaya besi
seperti pada Gambar 2.8 dan bagian lainnya yaitu untuk komposisi 6,70–100% berat
C (grafit murni). Pada prakteknya semua baja dan besi cor memiliki kandungan
karbon kurang dari 6,70%, oleh karena itu hanya dipertimbangkan sistem besi-besi
karbida. Gambar 2.7 akan lebih tepat disebut diagram fasa Fe-Fe 3C, karena Fe3C
dianggap sebagai komponen. Berdasarkan kesepakatan maka komposisi dinyatakan
dengan “% berat C” dimana 6,70% berat C dapat disamakan dengan 100% berat
Fe3C (Callister & Rethwisch, 2009).
Karbon adalah ketidakmurnian intersitial pada besi dan membentuk larutan
padatan dengan masing-masing ferrite α, δ dan austenite γ, ini dapat dilihat pada
Gambar 2.7. Pada fasa ferrite BCC, konsentrasi karbon yang dapat larut hanya sedikit
saja yaitu dengan kelarutan maksimum 0,022% berat pada suhu 727 oC (1341oF). Pada
fasa austenite kelarutan maksimum karbon adalah 2,14% berat pada suhu 1147oC
(2097oF). Kelarutan unsur karbon yang terbatas ini dapat dijelaskan oleh bentuk dan
ukuran struktur BCC (Callister & Rethwisch, 2009).
Transformasi fasa yang melibatkan fasa austenite sangat penting dalam hal
perlakuan panas baja. Ferrite δ hampir sama dengan ferrite α, kecuali pada
28
temperatur dimana keduannya terjadi. Ferrite δ stabil pada temperatur yang relatif
tinggi. Cementite (Fe3C) terbentuk ketika batas kelarutan karbon pada ferrite α telah
melampaui dibawah 727oC (1341oF) (untuk komposisi diantara daerah fasa α + Fe 3C.
Seperti terlihat pada Gambar 2.7 Fe3C juga terdapat bersama dengan fasa δ diantara
727–1147oC (1341– 2097oF). Sifat mekanik cementite adalah keras dan getas.
Kekuatan sebagian besar baja disebabkan adanya struktur cementite (Callister &
Rethwisch, 2009).
Gambar 2.8 Struktur kristal body centered cubic (BCC) (william D. Callister, 2015).
Struktur kristal FCC memiliki atom yang terletak pada setiap sudut dan
ditengah-tengah seluruh sisi kubik seperti terlihat pada Gambar 2.9. Logam yang
mempunya struktur kristal ini adalah tembaga, aluminium, perak dan emas (william
D. Callister, 2015).
Gambar 2.9 Struktur kristal face centered cubic (FCC) (william D. Callister, 2015).
Gambar 2.10 Struktur kristal hexagonal closed packed (HCP) (William D. Callister,
2015).
30
sama dengan jumlah dan komposisi austenite eutektoid yang ditransformasikan. Sifat
mekanik pearlite merupakan kombinasi dari ferrite yang memiliki sifat lunak, ulet
dan cementite yang memiliki sifat keras, getas. gambar struktur mikro pearlite bisa
dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12 Struktur mikro pearlite dengan perbesaran 500X (Callister &
Rethwisch, 2009).
Struktur mikro pearlite pada Gambar 2.12 terdiri dari ferrite (α) yang memiliki
daerah lebih terang sedangan cementite (Fe3C) pada daerah yang lebih gelap
(Callister & Rethwisch, 2009).
b) Austenite
Fasa Austenite memiliki struktur kristal FCC (Face Centered Cubic). Fasa ini
bersifat non magnetik. Kelarutan atom karbon didalam larutan padat austenite lebih
besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fasa ferrite (sebesar
2,14%). Pada besi murni, fase austenite mulai terbentuk pada temperatur 912oC
(1674oC) sampai temperatur 1394oC. Diatas temperatur 1394oC (2541oF) fasa
austenite bukanlah bentuk besi yang stabil karena struktur kristalnya berubah kembali
menjadi fasa body centered cubic (BCC) atau besi-δ (William D. Callister, 2015).
Struktur mikro austenite ditunjukkan pada Gambar 2.13.
32
Gambar 2.13 Struktur mikro austenite dengan perbesaran 325X (Callister, Jr., and
William, D., 1994).
c) Martensite
Martensite terbentuk ketika baja paduan didinginkan secara cepat dari suhu
austenite ke suhu yang relatif rendah (Sekitar suhu kamar). Martensite memiliki
bentuk struktur kristal body centered tetragonal (BCT). Transformasi martensite
terjadi ketika tingkat pendinginan cukup cepat untuk mencegah terjadinya difusi
karbon. Setiap difusi karbon yang terjadi akan menyebabkan pembentukan ferrite dan
cementite. Dari berbagai struktur mikro yang dihasilkan untuk baja paduan,
martensite adalah struktur yang paling keras dan kuat akan tetapi memiliki sifat yang
paling getas. Kekerasan yang dihasilkan oleh struktur martensite tergantung pada
kandungan karbon pada baja paduan. Struktur mikro martensite berbentuk jarum
seperti terlihat pada Gambar 2.14.
33
d) Ferit
Fasa ini disebut alpha (α). Ruang antar atomnya kecil dan rapat sehingga hanya
sedikit menampung atom karbon. Oleh sebab itu daya larut karbon dalam ferit rendah
< 1 atom C per 1000 atom besi. Pada suhu ruang, kadar karbonnya 0,008%, sehingga
dapat dianggap besi murni. Kadar maksimum karbon sebesar 0,025% pada suhu 723
O
C. Ferit bersifat magnetik sampai suhu 768 OC. Ferit lunak dan liat. Kekerasan dari
ferit umumnya berkisar antara 140-180 HVN.
e) Bainit
Bainit merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi pendinginan yang
sangat cepat pada fasa austenit ke suhu antara 250-550°C dan ditahan pada suhu
tersebut (isothermal). Bainit adalah struktur mikro dari reaksi eutektoid (γ → α +
Fe3C) non-lamellar (tidak berupa lapisan). Bainit merupakan struktur mikro campuran
fasa ferit dan sementit (Fe3C). Kekerasan bainit kurang lebih berkisar antara 300-400
HVN.
f) Sementit
Pada paduan besi melebihi batas daya larut membentuk fasa kedua yang disebut
karbida besi (sementit). Karbida besi mempunyai komposisi kimia Fe 3C. Sementit
sangat keras. Karbida besi dalam ferit akan meningkatkan kekerasan baja. Akan tetapi
karbida besi murni tidak liat, karbida ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan
adanya konsentrasi tegangan, oleh karena itu kurang kuat. Kekerasan sementit adalah
800 HVN (Anom Yogantoro, 2010).
dan paduan. Sebagian besar baja karbon, baja paduan yang diproduksi saat ini telah
mendapat perlakuan panas sebelum digunakan. Perlakuan panas bertujuan untuk
meningkatkan sifat tertentu seperti kekerasan, ketangguhan dan ketahanan terhadap
korosi, serta untuk memperbaiki sifat lainnya. Jenis perlakuan panas yang digunakan
berdasar pada tipe baja paduan yang digunakan dan kegunaan baja tersebut.
Gambar 2.15 Skema umum dari langkah-langkah perlakuan panas pada baja
(Totten, 2006).
Faktor penting dari setiap perlakuan panas adalah proses pemanasan, waktu
penahanan dan temperatur penahanan serta proses pendinginan. Proses pemanasan
dan tiga jenis proses pendinginan digambarkan secara skematis dalam Gambar 2.15.
Lamanya waktu penahanan dan selanjutnya dilakukan proses pendinginan merupakan
faktor yang penting pada proses perlakuan panas (Totten, 2006).
2.4.1. Hardening
Perlakuan panas hardening mengacu pada proses pemanasan, waktu penahanan
dan temperatur penahanan yang selanjutnya dilakukan proses quenching (proses
pendinginan cepat) pada suatu logam dari suhu austenite (solution treating
temperature). Sebagian besar baja tahan karat dan baja paduan tinggi dilakukan
35
ketahanan bahan atau logam terhadap deformasi plastis, tetapi hardenability adalah
kemampuan baja untuk dikeraskan dengan jalan pembentukan martensite didalam
struktur mikro suatu material. (Callister, Jr., and William, D., 1994). Elemen
hardenability yang meningkatkan kekerasan baja yaitu manganese, silicon,
chromium, nikel, dan vanadium. Namun Semua elemen ini mempunyai efek
hardenebility yang berbeda dan fungsi yang berbeda (Boyer, 1984).
Selain karbon, plain karbon steel mengandung unsur-unsur lain sebagai berikut:
Mn hingga 1,65%, S sampai dengan 0,05%, P sampai dengan 0,04%, Si hingga
0,60%, dan Cu hingga 0,60%. (Totten, 2006).
a) Unsur Karbon (C)
Karbon merupakan unsur yang paling banyak selain besi (Fe) yang terdapat
pada sebuah baja. Unsur karbon berfungsi untuk meningkatkan sifat mekanik baja
seperti kekuatan dan kekerasan yang tinggi. Karbon juga dapat menurunkan keuletan,
ketangguhan, serta berpengaruh juga terhadap pengolahan baja selanjutnya seperti
pada proses perlakuan panas, proses pengubahan bentuk dan lainnya. Kandungan
karbon di dalam baja berkisar antara 0,1%-1,7%.
b) Unsur Mangan (Mn)
Mangan sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan baja. Kandungan mangan
±0,6%. Penambahan unsur mangan dalam baja dapat menaikkan kekuatan tarik tanpa
mengurangi atau sedikit mengurangi regangan, sehingga baja dengan penambahan
mangan memiliki sifat kuat dan ulet.
c) Unsur Silikon (Si)
Silikon dalam baja dapat meningkatkan kekuatan, kekerasan, kekenyalan,
ketahanan aus, dan ketahanan terhadap panas dan karat. Unsur silikon merupakan
pembentuk ferit, tetapi bukan pembentuk karbida. Silikon cenderung membentuk
partikel oksida sehingga memperbanyak pengintian kristal dan mengurangi
pertumbuhan akibatnya struktur butir semakin halus.
d) Unsur Nikel (Ni)
37
dλ dφ
E= =N
dt dt ……………………………………………… pers. (2.1)
Dimana :
E = Tegangan Induksi (Volt)
dǾ/dt = Perubahan fluks terhadap waktu (Wb/s)
N = Jumlah lilitan
Pada Gambar 2.18 dapat dilihat arus eddy yang terjadi pada konduktor yang
berada di dalam kumparan solenoida. Arus yang terjadi pada konduktor arahnya
berlawanan dengan arah arus pada kumparan solenoida.
Energi panas yang dikonversikan pada material sesuai dengan persamaan :
Dimana :
P = Daya yang ditransfer (Watt)
E = Tegangan (Volt)
39
i = Arus (Ampere)
R = Tahanan dalam bahan (Ohm)
Besarnya nilai tahanan ditentukan oleh resistifitas bahan (ρ), luas penampang,
dan panjang konduktor. Sedangkan arus ditentukan oleh intensitas medan magnet.
…………………………………………........................ pers. (2.3)
ρ .l
R=
a
Dimana :
R = Tahanan benda (ohm)
ρ = Resistifitas (ohm.m)
l = Panjang konduktor (m)
a = Luas penampang konduktor (m2)
2.5.1 Parameter dan konsep monitoring induction heating untuk benda kerja.
Variabel kontrol proses lain dapat dipantau dengan cara yang sama, seperti
yang digambarkan dalam Gambar 2.18, dimana variabel terukur akan ditampilkan
termasuk kW-detik dan tegangan kumparan. Monitor ini lebih canggih dan sangat
sering digunakan pada sistem proses induksi yang didedikasikan untuk spesimen-
40
spesimen yang lebih spesifik karena pengujian dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk
mengkarakterisasi semua variabel untuk monitoring proses.
Gambar 2.18 juga menunjukkan pengukuran variabel lain yang dapat dipantau
secara kompak dan teratur sesuai dengan fungsinya. Salah satu variabel yang sering
diukur dan dimonitor adalah suhu benda yang dikerjakan sepanjang siklus pemanasan
(R. E. Haimbaugh, 2001).
2.5.3 Pengerasan pada permukaan dan kedalaman penetrasi.
42
Frekuensi dan daya listrik untuk power dan densitas sedangkan durasi waktu
untuk mengatur kedalaman pemanasan yang akan mengontrol kekerasan permukaan
serta kasus mendalam yang dapat dicapai setelah pengerasan induksi.
Tingkat kekerasan permukaan adalah fungsi utama kandungan karbon. Hal ini
juga tergantung pada jumlah paduan, waktu pemanasan, beratnya roda gigi, dan
keseragaman pendinginan. Pada umumnya kekerasan yang akan dicapai antara 53 -
55 HRC. Untuk inti kekerasan ini akan ditentukan setelah proses pengerasan induksi
dan diakhiri dengan pendinginan.
Seperti telah dibahas dengan frekuensi tinggi dapat mengontrol kedalaman
pemanasan yang dangkal dari permukaan gigi, sedangkan frekuensi rendah
menghasilkan pemanasan penetrasi lebih mendalam. Misalnya kasus pemanasan
dengan kedalaman 0,254 mm (0.010 in.) Dapat digunakan frekuensi antara 100 kHz
dan 1 MHz. Untuk kasus kedalaman pengerasan yang lebih dalam maka frekuensi
yang digunakan antara 3 - 25 kHz. Tabel 2.9 menunjukkan perkiraan kasus
kedalaman yang biasa diterapkan oleh proses pengerasan induksi (Davis, 2005).
Dalam pengerasan induksi roda gigi membutuhkan kekuatan lentur yang tinggi,
maka perlu mendapatkan kedalaman kekerasannya sampai di fillet root. Tabel 2.12
menunjukkan frekuensi yang dibutuhkan pada ukuran roda gigi yang berbeda.
Tabel 2.12 Versus antara aliran frekuensi dan kedalaman penetrasi untuk pengerasan
induksi (Davis, 2005).
Frequency, kHz Approximate case depth, mm (in.)
3 3,81 (0,150)
10 1,52 - 2 (0,060 – 0,080)
500 0,51 - 1 (0,02 – 0,04)
1000 0,25 - 0,51 (0,01 – 0,02)
karena itu ketepatan pemilihan material adalah hal yang terpenting. Kelemahan lain
dari pengerasan induksi adalah residual tensile stress. Dengan pengembangan
program yang sempurna maka akan memungkinkan pengerasan induksi dengan
ketepatan waktu pemanasan, sebelum mendinginkan, dan pendinginan yang
sedemikian rupa sehingga roda gigi akan bebas dari bahaya residual tensile stress
(Davis, 2005).
Semakin tinggi frekuensi yang diterapkan pada konduktor maka semakin besar
arus yang mengalir pada permukaan konduktor. Besarnya tahanan yang terdapat pada
konduktor setelah terjadi efek kulit yaitu :
Dengan :
Rac = Tahanan AC (ohm)
Rdc = Tahanan DC (ohm)
Rsc = Tahanan skin efek (ohm).
Fse = Faktor skin efek.
Dengan :
Fse = Faktor skin efek.
d = Diameter konduktor (mm).
δ = kedalaman kulit (mm).
ρ 2
δ=
√ πμ f atau
δ=
√ ωμσ ……………...………………… pers.
(2.7)
Dengan :
δ = kedalaman kulit (m)
μ = permeabilitas (H/m)
σ = konduktifitas (mho/m)
ρ = resistifitas (ohm/m)
Efek kulit ini menyebabkan energi panas yang dikonversi dari energi listrik
terpusat pada permukaan material, sehingga permukaan material lebih cepat panas
dari pada pusatnya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19 Pengaruh frekuensi pada pemanasan induksi (Rudnev et al., 2003).
Gambar 2.20 Profil pemanasan dengan frekuensi rendah dan tinggi (Rudnev et al.,
2003).
Gambar 2.21 Konsep induction hardening untuk roda gigi (Rudnev et al., 2003).
a) Air
47
Gambar 2.22 Pengaruh suhu air terhadap waktu quenching (Totten, 2013).
b) Oli
Sebagian besar oli memiliki tingkat pendinginan lebih rendah dari pada air
ataupun air garam. Namun oli memiliki perpindahan panas lebih seragam dari pada
pendinginan menggunakan air, sehingga cacat berupa distorsi dan retak (cracking)
dapat diminimalisir. Karena tingkat pendinginan yang dihasilkan oleh oli lebih rendah
dari pada air maka kekerasan yang dihasilkan juga lebih rendah. Viskositas oli juga
akan mempengaruhi kecepatan pendinginan, semakin tinggi viskositasnya maka
48
semakin rendah kecepatan pendinginan yang dihasilkan serta bahan aditif yang
terlarut dalam oli juga akan mempengaruhi kecepatan pendinginan.
Media quenching oli seharusnya tidak menyebabkan titik api ketika digunakan.
Flash point dari oli digunakan sebagai indikator titik nyala api. Memaksimalkan titik
nyala api akan meminimalkan kebakaran, dimana minimal temperatur flash point oli
yang diperbolehkan adalah 90oC. Oli yang digunakan tidak boleh membentuk
endapan saat digunakan karena dapat menyebabkan efisiensi perpindahan panas
menurun dan zat aditif yang dilarutkan dalam oli tidak boleh mengotori specimen
(Totten, 2013).
c) Air Garam
Quenching dengan media air garam mengacu pada larutan air yang
mengandung berbagai persentasi garam seperti natrium atau kalsium klorida. Tingkat
pendinginan yang dihasilkan dengan air garam lebih tinggi dari pada menggunakan
air biasa. Namun, tingkat pendinginan yang lebih tinggi dapat memungkinkan
terjadinya distorsi atau retak (cracking) yang lebih besar. Air garam dipakai sebagai
media quenching apabila quenching dengan media air dan oli tidak memberikan nilai
kekerasan yang diinginkan. Kelemahan penggunaan air garam adalah bersifat korosif
sehingga pada penggunaanya harus dengan peralatan tahan karat (Totten, 2013).
d) Gas
Pendinginan dengan media gas digunakan untuk memberikan tingkat
pendinginan yang lebih cepat dari pada pendinginan udara dan lebih lambat dari
pendinginan dengan media oli. Pada proses quenching dengan media pendingin gas,
spesimen pada suhu austenite ditempatkan langsung di zona pendinginan dan
langsung disemprot oleh aliran gas. Laju pendinginan oleh quenchant gas
berhubungan dengan luas permukaan dan massa serta jenis specimen, tekanan dan
kecepatan quenchant gas. Laju pendinginan dapat disesuaikan dan diatur dengan
mengubah jenis, kecepatan dan tekanan dari gas yang digunakan. Selama proses
quenching, gas dengan volume besar diarahkan melalui nozel untuk mencapai
permukaan spesimen. Setelah menyerap panas spesimen maka gas didinginkan
melewati pendingin air atau sistem pendingin lain dan dilakukan resirkulasi untuk
49
kembali ke nozel dimana gas kembali diarahkan pada spesimen. Media quenching gas
yang mengandung hidrogen atau helium lebih sering digunakan untuk meningkatkan
laju perpindahan panas antara gas dan specimen (Totten, 2013).
Tabel 2.13 Nilai grossmann quench severity factor (H) (Totten, 2013).
Sirkulasi atau Grossmann quench severity factor, H
agitation Air garam Air Oli dan garam Udara
Tidak ada 2 0,9 – 1,0 0,25 – 0,30 0,02
Rendah 2 – 2,2 1,0 – 1,1 0,30 – 0,35 -
Sedang - 1,2 – 1,3 0,35 – 0,40 -
Tinggi - 1,4 – 2,5 0,4 – 0,5 -
Kuat - 1,6 – 2,0 0,5 – 0,8 -
Hebat 5 4 0,8 – 1,1 -
50
Faktor-faktor ilustrasi untuk kasus pendinginan cepat pada roda gigi dalam
cairan tak mengalir (tanpa agitasi) yang mudah menguap (volatile) dapat dilihat pada
Gambar 2.23.
51
Gambar 2.23 Gradien temperatur dan faktor utama lain yang mempengaruhi
pendinginan cepat (quench) dari sebuah roda gigi (Tohru Aral, 2001).
Gambar 2.24 Kurva pendinginan pada permukaan dan pusat (Tohru Aral, 2001).
Pada proses pendinginan cepat terjadi beberapa tahapan seperi pada Gambar
2.24 dapat dijelaskan sebagai berikut :
a) Tahap A: Pembentukan selimut uap (vapor blanket cooling stage).
Pada tahap ini terjadi pembentukan selimut uap disekeliling benda kerja. Ini
terjadi ketika suplai panas dari permukaan benda kerja mencapai energi yang
dibutuhkan untuk pembentukan jumlah uap per unit area maksimum. Pendinginan
pada tahap ini berlangsung sangat lambat karena selimut uap bertindak sebagai
isolator dan pendinginan terjadi dengan radiasi melalui lapisan uap tipis (vapor film).
Tahap ini tidak terjadi pada larutan yang non-volatile seperti potassium klorida,
53
lithium klorida, sodium hidroksida atau asam sulfat. Kurva pendinginan untuk larutan
ini memulai langsung dengan tahap B.
b) Tahap B: Perpindahan panas (Boiling cooling stage).
Terjadi laju transfer panas paling tinggi, berawal ketika temperatur
dipermukaan logam berkurang sebagian dan lapisan uap tipis pecah. Kemudian
penindihan cairan quenching dan panas terlepas dari logam dengan sangat cepat,
sebagian besar sebagai panas penguapan. Titik didih media quench menentukan akhir
dari tahap ini. Ukuran dan bentuk gelembung uap juga sangat penting dalam
mengatur durasi dari tahap B, sebagaimana kecepatan pendinginan ditentukan pada
tahap ini.
c) Tahap C: Pendinginan lambat (convection cooling stage).
Laju pendinginan pada tahap ini berlangsung lebih lambat dibandingkan pada
tahap B. Tahap C berawal ketika temperatur di permukaan logam berkurang hingga
titik didih dari cairan quenching. Di bawah temperatur tersebut terjadi pendinginan
lambat dengan konduksi dan konveksi. Perbedaan temperatur antara titik didih cairan
dan temperatur larutan merupakan faktor utama yang mempengaruhi laju transfer
panas. Viskositas juga mempengaruhi kecepatan pendinginan pada tahap C.
Dengan perbandingan seperti ini, lebih banyak digunakan untuk pendinginan pada
baja, adalah angka Grossmann (H) dimana dapat didefinisikan dengan persamaan
berikut: (Tohru Aral, 2001).
Dimana:
H = Angka grossmann
h = Koefisient perpindahan panas antarmuka
k = Konduktiviti dari part
Dengan demikian, koefisien perpindahan panas antar muka adalah sama dengan
jumlah Grossmann dikalikan dua kali termal konduktivitas dari logam.
Koefisien perpindahan panas antar muka dalam kondisi daya tarik dapat
ditentukan dengan mengetahui kurva pendinginan menggunakan termokopel yang
terletak di titik pusat probe pada uji silinder, laju pendinginan dapat ditentukan
selama selang suhu tertentu yaitu terdiri dari 595 – 705 0C atau 1100 – 13000F dari
sebuah kurva pendinginan, dan menggunakan nilai dalam ekspresi polinomial ini
akan berkaitan dengan laju pendinginan untuk koefisien perpindahan panas antar
muka. Hal ini sangat diperhatikan dalam kurva dari diagram TTT (Tohru Aral, 2001).
2.6.5 Diagram isothermal transformation (IT) atau time temperature
transformation (TTT).
Diagram Isothermal Transformation (IT) atau juga biasa disebut diagram Time
Temperature Transformation (TTT) adalah sebuah diagram yang menghubungkan
transformasi atau perubahan dari fasa austenite terhadap waktu dan temperatur.
Ketika baja didinginkan dari suhu dimana baja pada temperatur austenite ke suhu
dimana austenite tidak lagi stabil (Untuk besi murni dibawah 912 oC) (William D.
Callister, 2015). Baja akan terjadi transformasi dari fasa austente ke kombinasi atau
campuran ferrite dan cementite ataupun ke fasa martensite. Waktu yang dibutuhkan
untuk transformasi ke ferrite dan cementite ataupun martensite dari setiap rangkaian
56
temperatur, dapat ditunjukkan oleh diagram yang berkaitan dengan temperatur, waktu
dan proses transformasi. Diagram jenis ini dikenal sebagai diagram Isothermal
Transformation (IT) dan memiliki pemahaman dan pengendalian terhadap proses
perlakuan panas dari baja paduan (Vander Voort & Baldwin, 2004).
Gambar 2.25 Diagram isothermal transformation (IT) baja eutectoid (Callister &
Rethwisch, 2007).
Gambar 2.25 menunjukkan contoh diagram isothermal transformation (IT)
untuk baja eutectoid. Pada gambar huruf A merupakan fasa austentite pada baja dan
garis eutectoid temperature merupakan batas critical temperature dimana austenite
akan stabil apabila berada diatas garis ini dan mengindikasikan awal dari transformasi
setelah melewati garis eutectoid temperature. Daerah A+P yang dibatasi oleh garis
merah tebal merupakan daerah awal mulai transformasi dari austenite ke pearlite atau
campuran ferrite dan cementite. Sedangkan garis horizontal yang ditandai dengan
huruf Mstart merupakan garis yang mengindikasikan temperatur dimana martensite
mulai terbentuk pada saat melakukan proses quenching dari austenite. Persentase dari
austenite yang ditransformasikan ke martensite pada proses pendinginan ditentukkan
57
pada diagram dengan garis M50% (terbentuk martensite 50%) dan pada garis M90%
(terbentuk martensite 90%) (Vander Voort & Baldwin, 2004).
2.7 Distorsi.
Distorsi adalah istilah yang sangat familiar dalam semua hal yang terlibat
dengan teknik proses termal terutama dibidang perlakuan panas. Apapun
kecermatannya salah satunya adalah distorsi yang tidak pernah dihindari. Pentingnya
hal ini setidaknya memahami penyebab dasar dari masalah distorsi.
Distorsi dapat digambarkan sebagai perubahan logam selama proses perlakuan
panas. Distorsi terbagi atas dua bentuk yaitu distorsi terjadi pada perubahan bentuk
dan distorsi terjadi pada perubahan dimensi (Richard E. Haimbaugh, 2001).
Tegangan termal pada spesimen yang menyebabkan distorsi selama pendinginan
adalah fungsi dari paduan koefisien termal ekspansi, modulus elastisitas, ekspansi
volumetrik ketika terbentuknya fasa martensit, dan perbedaan suhu di dalam
spesimen. Meminimalkan ketegangan termal yang mensyaratkan bahwa perbedaan
suhu menurun karena tidak dapat terkontrol dengan baik untuk koefisien ekspansi
atau modulus elastisitas. Ketika spesimen didinginkan dalam larutan seperti air yang
menghasilkan koefisien perpindahan panas yang tinggi, suhu didaerah bagian tipis ak
an turun jauh lebih cepat dari suhu yang di daerah bagian yang lebih berat. Perbedaan
suhu yang besar membuat tekanan panas yang tinggi yang sering menyebabkan defor
masi. Satu-satunya pendekatan yang layak untuk mengurangi tegangan dan retak kece
nderungan adalah untuk mengurangi nilai koefisien perpindahan panas dan dengan de
mikian meminimalkan perbedaan suhu. Koefisien perpindahan panas antar muka
harus serendah mungkin dengan tetap menjaga tingkat pendinginan yang cukup
tinggi untuk memastikan bahwa struktur mikro, kekerasan, dan kekuatan yang diper
lukan dapat diperoleh di bagian kritis dari spesimen. (Tohru Aral, 2001).
Termal ekspansi adalah perubahan suatu benda yang bisa menjadi bertambah
panjang, lebar, luas, atau berubah volumenya karena terkena panas (kalor).
Singkatnya, pemuaian panas adalah perubahan benda yang terjadi karena panas.
Pemuaian tiap-tiap benda akan berbeda, tergantung pada suhu di sekitar dan koefisien
58
muai atau daya muai dari benda tersebut. Perubahan panjang akibat panas ini, sebagai
contoh, akan mengikuti: (Tohru Aral, 2001).
Suatu benda akan mengalami muai panjang apabila benda itu hanya memiliki
(dominan dengan) ukuran panjangnya saja. Muai luas terjadi pada benda ukuran
panjang dan lebar, sedangkan muai volume terjadi apabila benda itu memiliki ukuran
panjang, lebar dan tinggi (Tohru Aral, 2001).
Gambar 2.26 Distorsi (perubahan bentuk) yang terjadi pada roda gigi (Richard E.
Haimbaugh, 2001).
Proses quenching dapat menyebabkan distorsi pada baja (da Silva et al., 2012).
Dua hal yang menyebabkan terjadinya distorsi selama proses quenching adalah
adanya perbedaan temperatur saat proses pendinginan pada permukaan dan inti
material (thermal gradient) dan ekspansi volume pada baja saat pembentukan fasa
martensite. Jika sebuah baja pada kondisi awal panasnya seragam ditemperatur
austenite dan kemudian dilakukan pendinginan cepat (quenching) maka bagian
permukaan baja akan lebih cepat dingin dan bagian dalam baja mengalami
penyusutan sementara dalam suhu yang relatif panas seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.27 (Totten, 2013).
Ekspansi Penyusutan
60
Gambar 2.27 Terjadinya distorsi berupa perubahan dimensi saat proses quenching,
(a) Ekspansi volume saat pembentukan martensite dan (b) Penyusutan karena
thermal gradient.
Tabel 2.14 Komparatif pada pengerasan induksi terhadap beberapa jenis material (A.
K Rakhit, 2000).
Hardnest
Material AMS Distortion
AMS quality Case Core
(AISI) specification rating(a)
1040 2300/2304 54 30 Good
1050 2300/2304 54 30 Good
4140 6382 2300/2304 55 40 Good
61
Gambar 2.28 Bentuk perubahan sudut tekan (Thirumurgan & Deepak, 2014)
Salah satu ganguan yang terjadi pada batas garis kontak spur gear ketika pasangan
roda gigi salin kontak yaitu ketepatan garis lingkarang dedendum dan perbandingan
jumlah gigi antara pasangan roda gigi (Spitas et al., 2014).
hasil penekanan atau penekan (indentor) yang membentuk bekasnya (indentasi) pada
benda uji.
2P
BHN= ……………..……………………….…… pers. (2.13)
πD[ D−√ ( D2−d2 ) ]
Keterangan :
P = beban yang diberikan (KP atau Kgf)
D = diameter indentor yang digunakan
d = diameter bekas lekukan
sedikit. Pada benda kerja yang tipis atau lapisan permukaan yang tipis dapat diukur
dengan gaya yang relatif kecil (Dieter, 1996:334).
a) Pengujian kekerasan mikro Vickers
Uji kekerasan Vickers menggunakan penetrator piramida intan yang dasarnya
berbentuk bujur sangkar. Besarnya sudut antara permukaan ke permukaan pyramida
yang saling berhadapan adalah 136o. Sudut ini dipilih karena nilai tersebut mendekati
sebagian besar nilai perbandingan yang diinginkan antara diameter lekukan dan
diameter bola penekan pada uji kekerasan brinell. Angka kekerasan piramida intan
(DPH), atau angka kekerasan Vickers (VHN atau VPH), didefinisikan sebagai beban
dibagi luas permukaan lekukan. Prinsip pengukuran untuk kekerasan mikro Vikers
dapat dilihat pada Gambar 2.29. Pada prakteknya luas ini dihitung dari pengukuran
mikroskopik (panjang diagonal jejak). VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut:
θ
2 P sin( )
VHN = 2 1,854 P ……………………………..……………… (2.14)
2
=
L L2
Keterangan :
P = Beban yang digunakan (kg)
L = Panjang diagonal rata-rata (mm)
θ = sudut antara permukaan intan yang berlawanan = 136°
Gambar 2.29 Prinsip pengukuran kekerasan mikro Vickers (Melorose et al., 2015a).
Gambar 2.30 Tipe-tipe lekukan identasi piramida intan, (a) bentuk bujur sangkar, (b)
lekukan bantal jarum (c) lekukan berbentuk tong (Melorose et al., 2015a).
68
Keterangan:
(a) Lekukan yang sempurna
(b) Lekukan bantal jarum (pinchusion) yang disebabkan oleh penurunan
(c) Lekukan berbentuk tong yang disebabkan oleh penimbunan ke atas.
Pada penelitian roda gigi ini alat uji yang digunakan untuk pengujian kekerasan
adalah alat uji kekerasan mikro Vickers.
b) Pengujian kekerasan mikro Vickers
Banyak persoalan metalurgi memerlukan data-data mengenai kekerasan pada
daerah yang sangat kecil. Pengukuran gradien kekerasan pada permukaan yang
dikarburasi, pengukuran kekerasan kandungan tunggal pada struktur mikro, atau
penentuan kekerasan roda gigi arloji, merupakan tipe persoalan dari jenis pengujian
kekerasan mikro. Uji mikro Vickers merupakan pengujian untuk menguji kekerasan
daerah yang kecil atau rumit (Melorose et al., 2015a).
material uji yang akan dilakukan pengujian sesuai dengan standar (ASTM E407
ASTM E-407, 201).
Contoh hasil pengujian struktur mikro menggunakan mikroskop optik pada baja
C45 (baja karbon medium dimana yaitu baja yang bersetara dengan AISI 1045)
dengan proses heat treatment berbagai macam perbedaan meliputi: normalized,
spherodized, hardened dan tempered ditunjukkan pada Gambar 2.31.
Gambar 2.31 Struktur mikro untuk baja dengan perlakuan panas yang berbeda: (a)
C45:normalized, (b) C60: spherodized, (c) C45: hardened, dan (d) C45: hardened dan
tempered dengan suhu 550OC (Melorose et al., 2015b).
2.10 Penelitian Tentang Distorsi Timbul pada Roda Gigi Setelah Heat
Treatment.
Rudnev dkk (2003) meneliti bahwa proses tempering dilakukan setelah proses
pengerasan. Waktu dan temperatur adalah dua parameter paling penting pada
induction tempering dalam waktu singkat. Mereka menjelaskan bahwa ada sebuah
konsep umum yang salah yaitu tempering akan menurunkan semua tegangan dalam
roda gigi dan membuat baja lebih lunak dan mengurangi kesempatan untuk distorsi
secara nyata dan kemungkinan terjadinya retak. Pada kebanyakan treatment roda gigi,
70
adanya gaya tegangan sisa yang terdapat pada permukaan roda gigi berguna dan
diinginkan karena induction tempering mengurangi kemungkinan untuk
menghasilkan retak. Jarak waktu antara quench dengan temper harus secepat
mungkin jika waktu transien cukup lama maka gaya kedalaman cukup untuk memberi
kesempatan sehingga terjadi bentuk distorsi pada ukuran. Retak karena lelah (fatigue)
terjadi pada akar gigi.
Mallener dkk (2004) meneliti bahwa sekitar 50-60% dari distorsi disebabkan
oleh pemilihan material yang tidak benar, seperti komposisi kimia, struktur-struktur
(lapisan struktur, pemisahan mikro) dan geometri. Kemudian 20-40% adalah
pengaruh karakteristik perlakuan panas yang ringan seperti: jenis tungku, posisi
rincian di dalam ruangan, keseragaman pendinginan, gas perlakuan dan media
pendingin. Kekuatan media pendinginan menciptakan struktur dan sifat mekanik
berdasarkan setelah proses. Pentingnya selama perlakuan panas terhadap material
tertentu karena komposisi kimia yang menentukan pengerasan dan untuk
menyesuaikan aplikasi tertentu.
Qomarul Hadi, (2010) meneliti tentang perubahan bentuk (distorsi) yang terjadi
disebabkan proses perlakuan panas pada baja. Karena distorsi disebabkan oleh
perubahan sifat-sifat mekanik dan struktur mikro pada baja ketika bahan dilaku panas
dan dilanjutkan dengan pencelupan yang tidak seragam terutama pada posisi
pencelupan. Spesimen yang diteliti adalah baja ST 37 dengan bentuk baja profil I dan
L, suhu tungku 900 0C dan ditahan selama 5 menit. Disimpulkan bahwa posisi
pengecelupan dan waktu penahanan suhu bisa mempengaruhi distorsi pada roda gigi
yang di heat-treatment.
Rémi Husson dkk (2012) telah melakukan penelitian tentang bagaimana
meningkatkan kualitas hasil produk roda gigi melalui pengamatan distorsi. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui tegangan sisa dan perubahan geometri yang berkonse
kuensi pada permasalahan distorsi roda gigi dari hasil proses manufaktur, selanjutnya
bisa menjawab permasalahan kualitas transmisi roda gigi di industri otomotif.
Pengerasan permukaan dengan dapur induksi pada suhu 2000C dan 6000C setelah
proses produksi dan proses pengamatan hasil melalui komposisi kimia, keseragaman
71
struktur mikro, tegangan sisa, temperatur pemanas dan proses manufaktur. Untuk
proses pendinginan dengan media air. Pengukuran geometri roda gigi dengan
coordinate measurement mechine (CMM). Hasil kemudian diamati dan disimpulkan
bahwa mengurangi tingkat tegangan sisa adalah dengan cara proses perlakuan panas.
Namun tegangan sisa juga memiliki dampak pada kelelahan kekuatan benda kerja.
Kedua geometri dan karakteristik mekanik adalah properti produk yang dipengaruhi
oleh penambahan dan menghilangkan tegangan dalam Proses pembuatan.
P. Liu dkk (2002) telah melakukan penelitian tentang analisa efek distorsi
sprocket dengan material baja S45C. Perlakuan panas dengan pengerasan induksi dan
diikuti pendinginan pada suhu oli 40oC. Pentingnya penelitian ini karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas produk dalam industri otomotif
contohnya pada sprocket adalah sering terjadi penurunan kualitas.
Variasi dimensi spesimen seperti lebar pada fariasi potongan 21-87 mm, fariasi
diameter dalam 32–112 mm, jumlah gigi 42–48 dan variasi dari panjang potongan
luar 15-30 mm. Variasi suhu untuk proses pemanasan adalah 2000C, 4000C dan 7230C
. Suhu tersebut hanya pada area sekitar permukaan gigi. Untuk mengetahui hubungan
temperatur tegangan–regangan material dengan membandingkan antara rasio poisson,
tegangan leleh dan luasan koefisien panas. Berdasarkan Hasil simulasi, parameter
yang paling penting yang berpengaruh terhadap distorsi adalah parameter perlakuan
panas, geometri roda gigi dan jenis material yang digunakan.