Anda di halaman 1dari 25

Available at:

https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tasfiyah
http://dx.doi.org/10.21111/tasfiyah.v2i2.2576

Problem Doktrin Relativisme


(Studi Kritis Pemikiran Cendekiawan Muslim Indonesia)
Faisal Fauzi*
Pondok Pesantren al-Istiqomah, Lombok Utara
faishalfauzi@gmail.com

Abstract
This research tries to explain the doctrine of relativism which is obviously related to
Sophists. The author explains its definition, concepts, and logical consequences it has if if this
doctrine infiltrates “worldview” of a Muslim. It is revealed that a Muslim who was infiltrated
by relativism virus would doubt any truth; that the truth cannot be achieved by human beings. It
will be an absolute problem if relativism becomes a basis of the worldview of Muslim scholars
especially in interpreting religious texts including al-Qur’an. This paper explains this problem
including arguments to deny relativism which is adopted by several Muslim scholars today.
Keywords: Relativism Doctrine, Sophist, Truth, Epistemology.

Abstrak
Penelitian ini ingin mengurai lebih dalam doktrin relativisme, sebuah doktrin yang
erat kaitannya dengan Sophis. dimulai dari penjelasan yang berkenaan dengan pengertian,
konsep serta konsekuensi logis bagaimana bila doktrin ini masuk kedalam cara pandang
‘wordview’ seorang muslim. Peneliti mendapati bahwa seorang muslim yang terkena virus
relativisme, ia akan meragukan kebenaran; bahwa kebenaran tidak bisa dicapai oleh
manusia. Masalahnya adalah, bagaimana dampak kongkrit bila relativisme menjadi basis
dari worldview dan argumen cendekiawan muslim dalam menafsirkan teks-teks keagamaan
khususnya al-Qur’an. Makalah ini berusaha menerangkan problem ini dengan menyertakan
argumenn-argumen bantahan juga kritik sebagai upaya menghadirkan solusi lain dari
doktrin yang banyak diadopsi oleh cendikiawan muslim ini.
Kata Kunci: Doktrin Relativisme, Sophis, Kebenaran, Epistemologi.

Pondok Pesantren al-Istiqomah, Lombok Utara, Jenggala, Tanjung, Kabupaten


*

Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. 83352.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018, hlm. 245-269


246 Faisal Fauzi

Pendahuluan
Relativisme ialah sebuah faham yang memegang prinsip
bahwa kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak alias
relatif. Apa yang dipandang sebagai kebenaran oleh orang belum
tentu berlaku untuk orang lain. Menurut paham ini kebenaran
ditentukan oleh siapa yang menjadi pelakon, karena setiap individu
dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan psikologi.1 Ukuran untuk
memandang suatu kebenaran pun menjadi kompleks dan tak
pasti. Karena tidak ada ukuran umum atau satu pijakan tertentu
untuk menilai sebuah kebenaran. Labih jauh, setiap orang boleh
berpendapat kebenaran sebagai kesalahan atau pun sebaliknya.
Doktrin ini memberikan pengaruh besar terhadap cara
berpikir para cendekiawan muslim. Terbukti dari berbagai
pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, “Hanya Allah yang
mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi,
dan kebenarannya pun nisbi. Bagaimana mungkin manusia yang nisbi
mencapai suatu yang mutlak”.2 Pernyataan ini menegaskan bahwa
manusia sungguh tidak bisa mencapai kepastian akan kebenaran.
Kebenaran tidak akan datang kepada manusia. Apa yang telah dan
akan diketahui dapat berubah-ubah seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan perubahan waktu.
Pernyataan lain ialah setiap agama tidak boleh merasa benar
atau paling benar. Karena dalam keyakinan mereka yang terjerat
relativisme, seluruh agama dalam perjalanan sejarahnya mengalami
penyimpangan dalam hal doktrin mapun praktik-praktiknya.3 Dan

1
Teks aslinya berbunyi “The aspects of the subjects supposed to determine what truth
is ‘for them’ may include historical, cultural, social, linguistic, or psychological background, or brute
sensory constitution. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford University
Press, 2008). Lihat ‘Relativism’
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), xi.
3
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 33.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 247

masih banyak terdapat berbagai argumentasi relatifistik semakna


dengan yang diungkapkan sebelumnya. Berpijak pada fenomena
di atas, tulisan ini berusaha untuk menghadirkan dua tema utama.
Yakni menelusuri makna relativisme dan mengkaji problem doktrin
relativisme dalam pemahaman agama.

Pengertian Relativisme
Doktrin relativisme pada awalnya lahir dari rahim seorang
filsuf Yunani bernama Protagoras,4 yang berprinsip bahwa “man is
the measure of all things”.5 Manusia dan persepsi indrawinya menjadi
ukuran baku penentu segala sesuatu. Protagoras memiliki ajaran
yang disebut dengan sophist atau sufasthaiyyah, sebuah aliran yang
memiliki karakter skeptik6, relatifistik.7 Sophist terbagi menjadi
tiga tipe: pertama, dikenal dengan al-lā adriyyah atau the agnostic,
yaitu golongan yang selalu ragu terhadap sesuatu dan mengatakan
tidak tahu tentang kebenaran sesuatu; sehingga menolak seorang
mendapatkan ilmu pengetahuan. Bahkan orang-orang agnostik
mengatakan ragu terhadap keraguan mereka sendiri. Kedua,
kelompok yang disebut al-inādiyyah. Kelompok ini terkenal dengan
doktrinnya yang mengatakan, bahwa tidak ada pernyataan yang
tidak ada lawannya; yang tidak bisa dibatalkan; yang sama kuatnya;
sama masuk akal. Di sini, pernyataan benar bisa menjadi salah.
Ketiga, ialah kelompok al-‘indiyyah, mereka yang berkata bahwa

4
Ada perbedaan tahun kelahiran Protagoras, dalam buku Sejarah Filsafat Barat
dituliskan protagoras lahir sekitar 500 SM. Sedangkan dalam buku Sejarah Filsafat Yunani,
dituliskan Protagoras lahir pada tahun 490 SM. Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat
Barat: Kaitannya dengan Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Terj. Sigit Jatmiko et al,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet III, 2007), 105. Lihat juga K. Bertnes, Sejarah Filsafat
Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 69.
5
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (UK: Oxford University
Press, 2008). Lihat ‘Relativism’
6
Skeptik dalam bahas Inggris Sceptic “Person who usu doubts that a statement,
claims, etc is true. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford University Press, 2008),
lihat: Sceptic.
7
Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam Harian Republika, (Senin, 4 April 2005).

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


248 Faisal Fauzi

setiap orang punya kebenarannya, dan setiap pendapat kelompok


sama benarnya; benar bagi dua orang atau lebih. Walaupun
sebenarnya tidak ada yang benar sekalipun. Kelompok ini menerima
kemungkinan kebenaran dan ilmu pengetahuan, akan tetapi
menolak tujuan keduanya. Bagi mereka tujuan ilmu pengetahuan
dan kebenaran adalah subjektif, (‘indī: menurut saya). 8 Apa yang
diyakini para sophist dibantah oleh al-Baghdadi, dalam kitab
Us}ūl al-Dīn.

‫ أنه ال حقيقة ليشء وال علم بيشء وهاؤالء معاندون وينبيغ أن يعاملوا‬...
‫بالرضب واتلأديب واخذ األموال منهم فإذا اشتكوا من الم الرضب وطابلوا‬
‫أمواهلم قيل هلم إن لم يكن لكم وال ألموالكم حقيقة ملا تشكون من‬
‫االلم فما هذا الضجر ولم تطلب ماال حقيقته؟ وقيل هلم هل نليف احلقائق‬
‫ قيل هلم إذا لم‬،‫ وإن قالوا ال‬،‫حقيقة؟ فإن قالوا نعم أثبتوا بعض احلقائق‬
9
.‫يكن نليف احلقائق حقيقة ولم يصح نفيها فقد صح ثبوتها‬

Makna sederhananya “jika seorang ingkar kepada kebenaran dan


mengatakan tidak ada kebenaran, coba pukullah dengan keras. Kalau mereka
merasakan sakit, segera tanyakan, anda mengatakan tidak ada kebenaran,
maka tidak benar saya memukul anda. Cara yang kedua dengan mengambil
hartanya. jikalau mereka meminta kembali, maka katakan tidak benar
saya mengambil harta anda. Untuk apa anda mengambil sesuatu yang tidak
ada realitasnya”.
Lebih jauh, Doktrin relativisme mempunyai makna yang baku
dan tetap, yakni sebuah faham yang menyakini kebanaran itu tidak
pasti. Benar salah, baik buruk tidaklah absolut tergantung subjek
yang menentukan; “Relativism theories refers to view that argue since
8
Lihat, Nasir al-Din al-Tusi. Talkhis} al-Muh}as}s}al, (Bairut: Dar al-Adwa), 46.
Lihat juga Wan Mohd Nor Wan Daud, “Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran
Umat”, dalam Jurnal Islamia, Vol. 2, Nomor 5, (Jakarta: Khairul Bayan, 2005), 53-54.
9
Abd al-Qahir Al-Baghdadi, Us}ūl al-Dīn, Cet II, (Istanbul: Matba’ah al-daulah,
1928), 6.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 249

judgments about truth and falsity are (always) relative to dependent upon the
individual person or culture”.10 Pengertian ini diungkap juga oleh Maria
Baghramian, bahwa “Relativism is the claim that views and standards of
truth and falsity may vary across cultures, social groups, historical periods or
even individuals, and every effort to adjudicate them is bound to be futile”.11
Bila dicermati pengertian tersebut, maka jelaslah doktrin ini adalah
ajaran kepada penolakan terhadap sebuah kebenaran mutlak.12
Dengan ungkapan lain, tidak ada kebenaran yang bersifat absolut
“There exsist no absolute Truth”. Akhirnya, tidak ada nilai yang lebih
agung dari nilai-nilai lain, maka nilai Tuhan tidak lagi memiliki
kedudukan tertinggi dari nilai manusia.
Di zaman postmodern sendiri, doktrin ini dipopulerkan
kembali oleh Friedrich Nietzsche13, dengan terma yang dikenal
dengan istilah nihilisme. 14 Nietzsche mengartikan nihilisme
sebagai “the highest values devaluate themselves”;15 sebuah upaya untuk
mendevaluasi semua nilai luhur (Tuhan) yang tadi bermakna,
menjadi tidak bermakna. Bagi Nietzsche, hal ini bisa terjadi karena
nilai selalu membutuhkan adanya dasar-dasar objektif rasional

10
Byron Kaldis, Encyclopedia of Philosophy and the Social Sciences, (LA, London,
New Delhi, Singapore, Washington: SAGE, 2013), 808.
11
Maria Baghramian, Relativism the Problem of Philosophy, (London, New York:
Routledge: 2004), 92.
12
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema
Insani, Cet II, 2010), 152.
13
Friedrich Nietzsche lahir di kota Roken, Prusia, Jerman pada 15 Oktober
1844. Pada tahun 1850 ia pindah ke Naumburg. Di kota ini Nietzsche ia bersekolah
dan mempelajari bahasa Yunani, Latin, dan Ibrani. Dari disinilah ia mendapatkan bekal
yang kuat untuk menjadi seorang ahli Filologi dan brilian. Penjelasan mengenai biografi
Friedrich Nietzche, baca; Friedrich Nietzche, Zaratustra, (Yogyakarta: Cakrawala:
2017), iii-ix.
14
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 92.
Nihilism diambil dari bahasa Latin: nihil—nothing; is a philosophy of negation, rejection or
denial of some or all aspect of thought or life. For Nietzsche, there is no objective order or structure
in the world except what we give it. Lihat; A. Donald Crosby. “Nihilism” dalam, Concise
Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London dan New York: Routledge 2000), 632.
15
F. Nietzsche, The Will to Power, Terj. Kaufman, Walter dan Hollingdale, R. J.,
(New York: Vintage Books, 1968), 9.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


250 Faisal Fauzi

yang menjadi sumber dimungkinkannya menurunkan keputusan-


keputusan mengenai tindakan dan keadaan apa yang lebih baik atau
buruk. Dari sinilah muncul kesimpulan doktrin “kematian Tuhan”
ala Nietzsche itu.16 Heidegger dengan nada yang sama, mengartikan
nihilisme sebagai suatu proses di mana pada akhirnya tidak ada lagi
kebenaran yang tersisa.17
Secara kasat mata, kedua Pendapat ini menuju kepada satu
point, di mana manusia tidak lagi berpegang kepada struktur
nilai, karena nilai tidak lagi mempunyai makna. Nilai tidak ada
yang utuh; dan selalu berubah-ubah.18 Suatu konsep apapun
tidak lagi berlandaskan pada suatu yang metafisis, religius atapun
mengandung unsur ketuhanan. Tuhan yang seharusnya berada
pada heirarki tertinggi ataupun menjadi pondasi dasar pemikiran
dan nilai, diasingkan dari kehidupan manusia.19 Dalam hal ini,
Nietzche menyebutkan; ketika metafisika mencapai satu poin di
mana kebenaran telah dianggap seperti Tuhan, sebenarnya itu tidak
lebih dari nilai-nilai subyektif yang boleh salah, seperti kepercayaan
dan opini manusia yang lain. Baginya tidak ada perbedaan antara
benar dan salah, keduanya hanya kepercayaan yang salah. Maka dari
itu jika manusia menolak kesalahan, maka di saat yang bersamaan
ia juga harus menolak kebenaran. Membuang yang satu berarti
membuang yang lain. Serangan doktrin ini jelas sebagai hantaman
terhadap agama dan Tuhan yang merupakan asas moralitas.20
Artinya, agama dan apa yang terkait dengannya harus ditanggalkan
dari hiruk-pikuk kehidupan sosial. Karena menurutnya semua itu
hanya kekeliruan dalam persepsi manusia.

16
Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat,
(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2009), 36.
17
Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama dalam Pemikiran Barat Modern..., 112.
18
Titus at al, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang), 391.
19
Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam..., 36.
20
Gianni Vattimo, The End of Modernity, Cf; Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun
Peradaban Islam..., 36-37.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 251

Ungkapan ini nyatanya, secara terang benderang membuka


pintu selebar-lebarnya bagi seluruh kemampuan kreatif manusia
secara bebas; dengan tanpa batasan apapun. Tuhan yang diyakini
sebagai sumber nilai di dunia, tidak akan lagi mengatur perilaku
manusia, sehingga manusia boleh berhenti menengadahkan
tangan mereka dari kekuatan adikodrati yang penuh dengan
khayalan belaka. Nietzsche juga menegaskan bahwa manusia bebas
melakukan segala sesuatu tanpa bayang-bayang transendental (baca:
Tuhan).21 Pada titik ini kebebasan yang dimaksud Nietzsche adalah
bebas dalam arti liberal.
Selanjutnya, dalam doktrin relativisme sendiri terdapat
beberapa prinsip kunci yang menjadi pijakan utama; Pertama, apa
yang diamati ada sebagaimana diamati oleh pengamat. Artinya
sesuatu disebut ada ketika seorang hadir dalam situasi tersebut,
dan tidak disebut ada, ketika ia absen darinya. Kedua, apa yang
diamati adalah benar bagi si pengamat. Maksudnya, kebenaran
tadi boleh dianggap sebuah kebathilan bagi selain dari pengamat.
Ketiga, kebenaran adalah identik dengan apa yang diamati, dan
berhubungan dengan kondisi fisik pengamat. Itu berarti, kebenaran
itu subyektif, bukan obyektif. Keempat, dengan adanya alat-alat
indra yang berbeda, apa yang diamati akan berbeda, dan apa yang
dianggap benar akan berbeda pula. Oleh sebab itu, kebenaran
tergantung siapa yang bersinggungan. Kelima, kebenaran tidak akan
terlepas dari pengamat dan dari pernyataan bahwa sesuatu itu benar.
Argument ini sekilas identik dengan argument yang keempat.
Keenam, adalah keliru megatakan seseorang benar dan
mengatakan yang lain salah. Jelasnya, prinsip ini melarang saling
memberi peringatan dan memberi nasihat antar satu sama lain.
Ketujuh, kebenaran adalah sebuah kesepakatan umum. Maknanya
ketika sebuah kesalahan disepakati menjadi sebuah kebenaran, maka

21
Yulius Aris Widiantor, “Nihilisme sebagai Problem Eksistensi”, dalam
Jurnal Ultima Humaniora, Vol 1, Nomor 3, Maret (Tangerang: Universitas Multimedia
Nusantara, 2013), 47.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


252 Faisal Fauzi

akan merubah statusnya menjadi benar. 22 Dari sini maka jelaslah


sesungguh relativisme adalah sebuah doktrin yang berpandangan
bahwa kebenaran itu bersifat nisbi belaka. Sebuah doktrin yang
merupakan jelmaan baru dari sophist, yang kemudian dipopulerkan
kembali di abad 20 oleh Nietzche dengan prinsip bahwa semua tata
nilai bersifat subyektif dan tak menentu.

Dampak (Konsekuensi) Relativisme


Relativisme diilustrasikan ibarat virus yang memiliki beberapa
dampak dan memiliki potensi untuk merubah cara berpikir umat
manusia, yang kemudian melekat hingga menjadi karakteristik
manusia berpikiran relatifistik. Di antaranya ialah munculnya
keyakinan yang tertuang dalam bahasa lisan maupun tulisan bahwa
“manusia adalah makhluk relatif ”, apa yang dicapainya pun ber­sifat
relatif. Kebenaran yang dianggap benar, boleh dianggap salah oleh
orang lain. Sebab itu, menjadi sebuah kekeliruan bila orang me­
nyalahkan orang lain, dan membenarkan pendapatnya. Ke­mu­dian
memaksakan kebenaran kepada orang lain juga sebuah kesalahan.23
Selain hal di atas, tidak sedikit juga ditemukan ungkapan
se­irama. Seperti halnya “kebenaran itu relatif ”. Jelasnya, ketika ke­
benaran tidak pasti, maka tidak ada yang namanya siapa yang
benar, apa yang benar, di mana yang benar, kapan yang benar, dsb.
Karena siapa saja boleh berkata benar ataupun sebaliknya. Dan
juga karena relatif, maka memungkinkan untuk dipersalahkan.
Mun­cul juga pendapat bahwa “Kebenaran tidak memihak”.24 Ketika,
kebenaran tidak memihak maka kebenaran ada di mana saja dan
untuk siapa saja. Misalkan satu pendapat mengatakan bahwa Tuhan
itu beranak dan yang lainya mengatakan bahwa Tuhan itu tidak
beranak, berarti kedua pendapat ini sama-sama benar karena tidak

22
Loren Bagus, Kamus Filsafat..., 950.
23
Wan Mohd Nor Wan Daud, Apakah Manusia Bisa mencapai Kebenaran? dalam
Republika, (Senin, 04 April 2005).
24
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama…, 93.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 253

memihak. Maka dari itu kebenaran harus memihak agar kebenaran


memiliki kepastian dan ukuran umum.
Selanjutnya pernyataan “manusia tidak bisa mencapai kebenaran
absolut, yang absolut hanya Tuhan”.25 Pernyataan ini kurang tepat,
karena 1+1=2 adalah hasil penyapain kebenaran pasti manusia. Dan
Tuhan memang absolut namun bukan berarti kebenaran manusia
kemudian bersifat relatif semua. Karena dalam pandangan Islam,
kebenaran yang ada pada Tuhan mampu diterima oleh manusia.26
Ada juga yang menyatakan “agama itu mutlak, pemikiran keagamaan
itu relatif ”.27 Ungkapan ini tidaklah bisa dikatakan tepat, karena
bila ditelaah secara mendalam, tidak semua kebenaran agama itu
pasti, karena terdapat beberapa agama yang sudah terdistorsi oleh
para penganutnya secara tidak bertanggung jawab.28 Kemudian bila
pemikiran keagamaan dianggap relatif, berarti konsekuensinya,
pemuka agama dan para penganut agama selama ini salah dalam
memahami agama. Karena mereka adalah makhluk yang terbatas
oleh ruang dan waktu lagi menyejarah. Lagipula bagaimana bisa
pemikiran keagamaan dipisahkan dengan agama itu sendiri. Bila
dipertanyakan, keterpisahan itu juga mustahil untuk dihadirkan;
mana yang masuk agama, dan mana yang masuk pemikiran
keagamaan. Lebih jauh lagi, dalam persfektif epistemologi Islam,
pernyataan bahwa semua pemikiran manusia termasuk penafsiran
terhadap wahyu adalah relatif, dan yang absolut hanya Tuhan
dan wahyu-Nya, sebenarnya telah mencampuradukkan antara
perspektif ontologis dan ranah epistemologis. Memang benar
bahwa wujud Tuhan itu absolut dan wujud manusia itu relatif, tetapi
masalah “wujud (eksistensi)” ini adalah prespektif ontologis yang

25
Ibid.
26
QS. al-Baqarah [2]:147.
27
Kholili Hasib, Membangun Paradigma Pendidikan Berbasisi Adab, (Ponorogo:
UNIDA Press, 2017), 56.
28
Untuk info lebih jelas lagi, silakan baca; Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat;
dari Hegomoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet III,
2005), 41-46.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


254 Faisal Fauzi

tidak terkait dengan masalah pemahaman yang merupakan ranah


epistemologis.29
Selain pernyataan di atas, timbul pula ungkapan yang me­
nyirat­kan makna serupa; “Jangan menjadi hakim bagi orang lain”,
“jangan mengatakan sesat atau kafir kepada orang lain, yang tahu siapa
yang sesat dan siapa yang kafir hanya Allah saja”.30 Ungkapan-ungkapan
ini tidak tepat bila dilontarkan oleh manusia ketika ia hidup di
bawah payung sosial-keagamaan. Karena menghakimi, menegur,
menasihati dsb, bagi pelaku dosa dalam suatu masyarakat adalah
sebuah keniscayaan, di mana kesemuanya diperintahkan secara
terang-terangan oleh Tuhan. Selain daripada itu, manusia yang
berpegang secara konsisten kepada slogan ini, harusnya juga tidak
perlu menegur dan berkata-kata; sebab ungkapan dan teguran yang
ia lontarkan juga merupakan sebuah bentuk penghakiman bagi
orang lain; dan pengkafiran dengan bentuk lain, dalam bentuk baru.
Selain rancu, pola dari slogan yang disebut di atas tidak sesuai
dengan apa yang disebutkan oleh Allah SWT dalam sabdaNya.
bahwa kesesatan dan kekafiran manusia bukan hanya Allah yang
tahu, manusia pun bisa mengetahuinya. Dalam firman-Nya dengan
jelas Allah SWT menyebutkan ciri-ciri dari orang sesat dan kafir.
Sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur’an Surah al-Nisa ayat
115, yang artinya: “Barangsiapa yang menyimpang dari Rasul setelah
terang padanya petunjuk itu, dan mengikuti jalannya selain kaum mukminin,
Kami akan gabungkan dia dengan orang-orang sesat dan Kami masukkan
dia ke neraka Jahannam” Dari ayat ini bisa dilihat bahwa Allah telah
menunjukan secara gamblang bahwa orang-orang sesat ialah orang
yang menyimpang, menentang, keluar dari ajaran Rasulullah, dan
prilaku mereka tidak sesuai dengan prilaku orang-orang mukmin.
Lebih jauh, konsekuensi dari ide relativisme mendekonstruksi
agama (baca: Islam) sebagai pandangan alam (Worldview). Pertama,

29
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama... 95-96.
30
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi.., 153.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 255

menghilangkan dimensi kesucian ajaran agama;31 bahwa Pikiran-


pikiran yang muncul dari perspektif sosiologis-psikologis (metode
historis) misalnya, dipandang akan melahirkan perspektif yang
projectionists; yang melihat agama hanya sebagai fenomena sosial
semata. Agama dalam kacamata ini dianggap kehilangan dimensi
kesucian dan normativitasnya. Sehingga tidak lagi berkitan dengan
sifat normatif dan sakral.32 Kedua, konsekuensi yang tidak kalah ber­
bahayanya; ilmu tentang Islam menjadi terlepas dari amal.33 Bahwa
amal sekalipun tidak dibangun oleh tradisi ilmu yang berkenaan
dengan Islam. Dampak ini sangat diakui oleh Dawam Raharjo:
“Ciri utama dari ulama generasi baru, di mana Cak Nur menjadi
lokomotifnya, mereka tidak seperti ulama-ulama NU yang membaca
kitab-kitab klasik untuk diamalkan. Mereka menghargai khazanah klasik
itu dengan sesungguhnya, tetapi membacanya secara kritis. Mereka
mempelajarinya dengan perspektif baru, dipengaruhi oleh metodologi
ilmiah modern (Barat: ed).”34

Ini menunjukkan bahwa ilmu untuk amal menjadi sebuah


metode konservatif. Ada yang terlupakan dari tradisi Islam, yaitu
sebuah prinsip bahwa iman dan ilmu pada hakikatnya tidak ter­
pisahkan dari amal. Dari sini, maka jelaslah relativisme memiliki
dampak atau pun konsekuensi yang sangat beresiko, baik dari segi
sosial maupun agama. Dari tatanan sosial mereka akan dibingungkan
oleh standar nilai yang tidak jelas, kabur, dan tidak menentu arahnya.
Sedangkan dalam tatanan Agama, mereka akan menjadi ‘peragu’
skeptis dengan aqidah dan sumber-sumber keagamaan.35

31
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis terhadap Liberlisasi Pemikiran
Islam”, dalam, Jurnal Kalimah, Vol. 14, Nomor 1, Maret (Ponorogo: Universitas Darus­
salam Gontor, 2016), 9.
32
Muhammad Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 31.
33
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis..., 10.
34
Dawam Raharjo, Pengantar Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, Edy A. Effendy
(ed.), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 2004), 31.
35
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis..., 10.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


256 Faisal Fauzi

Dampak Relativisme Terhadap Cendekiawan Muslim


Bila dicermati secara seksama relativisme sebagaimana yang
dijelaskan di sub-sub sebelumnya, ia memiliki prinsip penghapusan
nilai (dissolution of value), anti otoritas, dan mereduksi nilai yang
absolut dalam agama. relativisme menunjukkan penolakan terhadap
ide kebenaran yang ekslusif, dan transenden. Karena kebenaran
menurut ide ini adalah suatu yang internal dan bersifat sangat
subjektif.36 Itu berarti, selain sifatnya yang inklusif dan terlepas
dari nilai-nilai transenden, menurut pandangan ini, kebenaran tidak
pernah mampu sampai kepada yang objektif.
Adapun relativisme yang terjadi dalam Islam yang dilakukan
oleh para “pembaharu” muslim merupakan dampak dari pemihakan
liberal terhadap metode historis dalam mengkaji Islam. Karena ide
sejarah dibangun di atas bangunan fondasi bahwa sejarah adalah
produk manusia. pandangan ini menghadirkan sebuah kesimpulan
bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam baik akidah,
syariat, al-Qur’an dan sunnah, serta semua khazanah klasiknya
adalah hasil interaksi umat dengan ruang dan waktunya. Di ranah
ini, agama diperlakukan sebagai ide, dan setiap ide mungkin
berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Karena itu,
dalam perspektif liberal, setiap masalah bisa berubah, walaupun
kebenarannya sudah diterima dari generasi ke generasi.37 Kemudian
Ide ini diamalkan dan disebarluaskan secara masif oleh para
sarjana muslim. Tepatnya mahasiswa, dosen, tokoh masyarakat
dan cendekiawan muslim Indonesia. pernyataan-pernyataan para
sarjana muslim yang terbelenggu oleh relativisme dapat dilihat
di bawah ini. Dalam sebuah acara dialog, seorang anggota partai
Golkar yang secara mendadak diangkat sebagai salah seorang ulama.
Ia mengatakan:

Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama dalam Pemikiran Barat Modern..., 114.


36

Leonard Binder, Islamic Liberalism a Critique of Development Ideologies, (Chicago:


37

The University of Chicago, 1988), 2.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 257

Suatu teks itu bebas tafsir dan bebas makna. Yang namanya al-Qur’an,
yang paling sah untuk menafsirkan, yang paling tahu untuk menafsirkan
al-Qur’an adalah Allah SWT dan Rasul. Bukan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), bukan Ahmad Dhani, bukan Simanjuntak, juga bukan saya,
maupun Hamka Haq. Kiai-Kiai saya, guru-guru saya, ulama-ulama saya
dulu, ketika memaknai al-Qur’an saya ngaji, tidak pernah mengklaim
dirinya paling benar. Selalu ditutup dengan kalimat ‘Wallahu a’alamu
bimurādihi’, bahwa Allah-lah sesungguhnya yang paling tahu tentang
maknanya, bukan orang lain.38

Jika diperhatikan secara seksama, pernyataan ini secara tidak


langsung menganggap al-Qur’an sederajat dengan teks-teks lain.
Dilain itu, perbedaan tingkat intelektual dan kapabilitas tidak
menjadi ukuran dalam pemaknaan. Akhirnya, tidak ada otoritas
di sini; siapapun boleh menafsirkan al-Qur’an, tanpa terkecuali
orang jahil. Padahal, Sebagai sebuah kitab suci, tidak sembarang
orang yang berhak menafsirkan al-Qur’an. Selain daripada itu, Jika
dikatakan bahwa al-Qur’an itu bebas makna; bahwa setiap orang
boleh menafsirkannya, bagaimana kaidah-kaidah penafsiran yang
sudah dirumuskan para ulama’ sendiri? Dan semua halnya menjadi
tidak jelas dan abu-abu belaka. Di lain itu, seorang mufassir harus
memiliki penguasaan dalam berbagai disiplin ilmu, sebagaimana
yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Ali Hasan. Pertama, wajib
baginya mengusai ilmu bahasa Arab, yang terdiri dari ‘Ilm Nahwu,
‘Ilmu S}araf, Isytiqāq, dan ‘Ilmu Balaghah. Kedua, menguasai ‘Ilm Us}ūl
al-Fiqh. Ketiga, menguasai ‘Ilm Us}ul al-Dīn. Keempat, menguasai ‘Ulūm
al-Qur’an yang terdiri di dalamnya ‘Ilm Qirā’at, ‘Ilm Asbāb al-Nuzūl,
al-Nāsih} wa al-Mansūkh, Qas}as} al-Qur’ān. Kelima, menguasai hadis-
hadis Nabi yang berisikan tentang tafsir terhadap al-Qur’an. Keenam,
mengetahui tafsir sahabat.39 Di sini berarti, para mufassir dan
ulama’ memiliki kemampuan juga ilmu alat yang tidak sederhana,

38
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/10/13/102531/
komentari-ulama-politisi-golkar-dikecam-dengan-janganhinamui.html. Diakses pada
tanggal 21 Oktober 2017, pukul 21:33 WIB
39
Lebih jelas lihat; Muhammad Ali Hasan, Al-Manār fī Ulūm al-Qur’ān ma’a
Madkhal fī Us}ūl al-Tafsīr wa Mas}ādirihi, (Bairut: Mausu’ah al-Risalah, 2000), 250-256.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


258 Faisal Fauzi

bagaimana mungkin persyaratan yang begitu ketat disamakan


dengan mereka yang tidak memiliki kapabilitas sama sekali.
Di lain konsekuansi pola berpikir relativisme yang menjadikan
tidak adil dalam melihat ulama—dan manusia secara umum, secara
tidak langsung ungkapan ini juga menuduh ulama-ulama, para
mufassir terdahulu dan saat ini tidak benar dalam menafsirkan al-
Qur’an. Sebab dalam pandangannya, manusia tidak bisa mencapai
satu titik kebenaran, yang tahu kebenaran hanya Tuhan. Kebenaran
Tuhan tidak sampai kepada manusia. Ini juga bentuk dari kekeliruan
berpikir, sebab banyak sekali kebenaran di muka bumi ini yang
bisa dicapai manusia. Misalnya saja, ketika seorang anak meminta
uang, pasti yang diberikan oleh orang tuanya adalah uang asli
(benar); seorang yang meminta untuk menikah, tentu adalah
pernikahan yang benar-benar pernikahan, bukan nikah-nikahan.
Jadi apa yang dikehendaki manusia di muka bumi ini semuanya
adalah kebenaran. Maka, bagaimana mungkin pernyataan “manusia
tidak dapat sampai kepada kebenaran” ini menjadi pernyataan yang
dapat dipercayai validitas kebenarannya. Kemudian ungkapan
‘Wallāhu a’alam bi murādihi (Allah yang lebih tahu maksudnya) yang
ditulis oleh para ulama di setiap akhir bukunya, bukanlah kalimat
yang mengindikasikan bahwa manusia tidak tahu kebenaran; dan
berpikiran sebagaimana para relativis. Namun kalimat ini adalah
kalimat yang mengindikasikan sikap rendah diri di hadapan Allah
SWT; melindungi kaum muslim dari sikap literalisme, fanatisme
dan konservatisme. Selain itu juga menunjukkan kerendahan hati
seseorang, karena ia yakin ada kebenaran yang lebih besar dari
apa yang dapat ia kuasai.40 Pendapat yang kurang lebih serupa
juga pernah diungkapkan oleh seorang dosen universitas negeri
di Bandung; dalam sebuah buku ajar ia menulis dalam bukunya:
“Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan atau sekumpulan norma
dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya.
Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para
penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan
40
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid..., 47.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 259

itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya
menjadi bernilai relatif.41

Pendapat lainnya juga terlihat dalam sebuah karya bunga


rampai. Di dalam buku tersebut tertulis beberapa argumen sebagai
berikut:
“Penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) tidaklah tunggal. Dengan
demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung
(satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya
agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik
kehidupan sosial sehari-hari”.42
“Pada wilayah ini yang selayaknya menjadi pegangan adalah bahwa
kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolut. Kita dapat mengetahui
kebenaran hanya sejauh itu absah bagi kita. Artinya kebenaran yang
selama ini kita pahami tak lain adalah kebenaran sepihak”.43

Pernyataan ini merupakan pernyataan yang kental dengan


semangat relativisme. Di mana, seolah-olah tidak ada kebenaran
absolut yang dapat dijadikan patokan umum; seakan-akan semua
hal menjadi relatif. padahal bila merujuk ke dalam tradisi Islam,
ada yang dikenal dengan al-tsawābit wa al-mutaghayyirāt.44 Jika yang
dimaksud adalah yang tsawābit, maka dalam Islam itu sudah final
dan tidak bisa diganggu-gugat. Dan tidak ada tafsirkan ulang
berkenaan dengan itu. Seperti halnya hukum shalat lima waktu,
puasa di bulan Ramadhan dst. Sedangkan jikalau yang dimaksud
adalah mutaghayyirāt maka dalam Islam juga merupakan suatu yang
sudah ada sejak lama dan memang harus berbeda dalam penafsiran.

41
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan..., 154-155.
42
Sururin (ed.), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam…,58. Dikutip dalam; Hamid
Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 93.
43
Ibid, 58-59. Dikutip dalam; Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia…, 27.
44
Al-Tsawābit ialah persoalan-persoalan prinsip dalam agama yang ditetapkan
oleh Allah dalam al-Qur’an maupun lisan para nabi-Nya, sebagai landasan yang pasti.
dan tidak ada ijtihad atau pun perbedaan-pendapat di antara para ulama. Sedangkan
al-mutaghayyirāt ialah persoalan-persoalan yang dimungkinkan adanya ijtihad dan tidak
ada dalil pasti dari nash maupun ijma’. Salah al-Sawi, Al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt fī
Masīrat al-‘Amal al-Islāmī al-Mu’ās}ir, (T.K: T.P, 2009), 51 dan 53.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


260 Faisal Fauzi

Sebagai contoh tata cara shalat; satu ulama dan ulama lain berbeda
dalam memandang tatacara praktik shalat. Sedangkan tidak ada
yang berbeda pendapat mengenai hukum wajib shalat tersebut.
Selanjutnya ketika manusia tidak mampu mencapai kebenaran
mutlak, maka keberagamaan yang dijalankan manusia selama ini
men­jadi hanya pada tahap kira-kira belaka. Kemudian timbul
ungkapan bahwa satu agama tidak boleh merasa benar dan me­nya­
laha­kan agama lain. Semua agama dipandang benar, maka tidak ada
agama yang benar, karena terma benar ada karena ada terma salah:
“Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam
perkembangannya sebuah agama mengalami deviasi atau penyimpangan
dalam hal doktrin dan peraktiknya. Tetapi arogansi teologis yang me­
mandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan per­tobatan
dan jika tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap yang jangan-
jangan malah menjauhkan dari subtansi sikap keberagamaan yang serba
kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran”.45

Jelas, ungkapan semacam ini hanya diungkapkan oleh orang-


orang yang tak mau berdiskusi secara sehat. diskusi yang benar adalah
untuk mencari kebenaran, sedangkan kaum rela­ti­visme, enggan untuk
menerima kebenaran karena terjerat oleh hawa nafsunya. Mereka
ingin pendapat mereka diterima sebagai sebuah kebenaran yang sah.
Namun tidak sanggup untuk men­dis­kusikannya, ini semata-mata
karena mereka mencari pembenaran bukan kebenaran.46
Pernyataan-pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan
para sarjana di atas, sebenarnya adalah buah pembenaran dari
pemikiran tokoh yang lahir jauh sebelum mereka. Para aktivis
yang mengaku dirinya “pembaharu” ini sejatinya hanya copy-paste
dari ide-ide semisal Nurcholis Majid; seorang tokoh yang banyak
dirujuk pemikirannya oleh para sarjana muslim. Dalam bukunya
Islam Doktrin dan Peradaban ia mengutarakan pendapat. “Hanya
Allah yang mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran,
adalah nisbi, dan kebenarannya pun nisbi. Bagaimana mungkin manusia
45
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1998), 33.
46
Akmal Sjafril, Islam Liberal.., 147.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 261

yang nisbi mencapai suatu yang mutlak”.47 Argumen-argumen ini


sejatinya merupakan hasil pemikiran yang telah terjangkiti oleh
paham relativisme. Jika dilihat sepintas, maka akan nampak seakan-
akan bernada religius, dan logis, terlebih yang berpendapat adalah
seorang yang dianggap memiliki otoritas keilmuan dalam bidang
agama.48 Namun bila dilihat secara kritis, untaian kalimat-kalimat
di atas mengisyaratkan bahwa manusia tidak bisa sampai kepada
kebenaran tertentu. Kebenaran hanya milik Tuhan, jadi hanya
Tuhan yang tahu kebenaran. Apa yang dikatakan para pengabdi
doktrin relativisme sebenarnya sudah lama dibantah oleh imam
al-Nasafi dalam kitab al-Tamh}īd lī Qawā’id al-Tauh}īd bahwa:

‫ الز من نفاها اكن نفيه إياها‬،‫«حقائق األشياء ثابتة والعلم بها متحقق‬
49
»‫ فاكنت ثابتة رضورة‬،‫ فاكن يف نفيها ثبوتها‬،‫حتقيقا منه للنيف‬
Arti bebasnya; bahwasanya Setiap sesuatu ada kebenarannya,
dan di sana ada banyak kebenaran, manusia bisa mengetahui
kebenaran. Barang siapa yang mengingkari kebenaran-kebenaran
terebut, maka sebenarnya pengingkarannya itu sesungguhnya pem­
benaran yang ia ingkari. Sehingga ketika ia menafikan kebenaran-
kebenaran itu, dia sesungguhnya telah melakukan sebuah afirmasi.
Maka jelaslah bahwa kebenaran itu ada. Dari sini, dapat dilihat
bah­wasanya para pengabdi relativisme, sejatinya telah berlaku in­
kon­­sisten dengan apa yang dikatakannya. Ringkasnya dalam bahasa
lain, ketika mereka menegaskan bahwa “Tidak ada kebenaran mutlak”,
dengan sendirinya kata-kata mereka itu mengandung kebenaran

47
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Ma­­sa­lah Ke­­imanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), xi.
48
Semua pernyataan-pernyataan yang muncul dari orang-orang liberal, seakan-
akan logis namun memiliki cacat logika yang sangat fatal. Maka dari itu kata-katanya
seolah-olah manis dan menggiyurkan, tapi perlu dianalisa dan dengan kritis. Baca,
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan..., 156.
49
Abi al-Mu’in al-Nasafi, Al-Tamh}īd fī Us}ūl al-Dīn aw al-Tamh}īd lī Qawā’id al-Tauh}
īd, (T.K: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turas: 2006), 16.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


262 Faisal Fauzi

mutlak, padahal mereka mengatakan semua relatif. Kalau mereka


mengatakan semua relatif maka pernyataan mereka itu relatif alias
tidak absolut.50 Jika mereka mengatakan “Manusia tidak bisa mencapai
kebenaran”, “Kebenaran mutlak hanya milik Tuhan” maka dengan
sen­dirinya pernyataan mereka itu mutlak adanya, padahal di saat
yang bersamaan, mereka (baca: manusia) yang tidak bisa mencapai
kebenaran, sebab mereka bukan Tuhan.
Di lain itu, sebagaimana diungkap oleh George Edward
Moore. “...that snow is white is true, or that it is true that snow is white”.51
Tidak ada satupun yang mengingkari kebenaran bahwa salju itu
putih; 2+2=4; Kemudian dulu ada manusia yang pernah hidup dan
mati; bapak itu seorang laki-laki dan ibu itu seorang perempuan
sebagai kebenaran absolut. Hal lain yang dirasa rancu pula adalah;
Jika mereka menyatakan bahwa kebenaran hanya milik Tuhan, maka
secara langsung ia mengetahui kebenaran yang dimiliki Tuhan.
Sebab ia tidak mungkin menyatakan kebenaran milik Tuhan, kalau ia
tidak mengetahuinya. Jika ia tahu, maka pengakuannya itu—secara
tidak sadar menjadi—absolut.52
Ungkapan kebenaran itu relatif, sebenarnya juga belum tentu
benar. Jika mereka mengatakan kebenaran itu tidak memihak,
maka kebenaran itu ada di semua pihak. Masalahnya jika ada yang
berpendapat Tuhan itu ada, dan yang satu berpendapat Tuhan itu
tidak ada, maka kebenaran ada pada keduanya. Karena kebenaran
tidak boleh memihak.53 Dengan ungkapan lain, para penganut
relativisme sesungguhnya secara tidak langsung telah menolak
relativisme itu sendiri. Sebab, sekali lagi, relativisme itu sendiri
adalah suatu pendapat yang dianggap sebagai kebenaran absolut.
Jadi dari segi makna juga konsep relativisme sudah menimbulkan
kerancuan dan abiguitas.

50
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat..., 130.
51
https://plato.stanford.edu/entries/truth-deflationary/. 29-11-2017. 12:00.
52
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 94.
53
Ibid, 94-96.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 263

Menengok ke belakang, mencermati bagaimana sikap cen­de­


kiawan muslim seperti yang dicontohkan di atas, sangat jauh ber­
beda dengan sikap ulama muslim terdahulu. Para ulama memiliki
toleransi dalam masalah perbedaan pendapat. Oleh karenanya
me­reka terbiasa dengan dialog dalam melihat pandangan mana
yang benar dan mana yang keliru. Dan perlu untuk dicatat, bahwa
para ulama Islam yang bermartabat selalu mengikuti kebenaran,
bukan mengingkari kebenaran dengan dalih relativisme kebenaran.
Alangkah jauhnya jika dibandingkan dengan Qādhī (hakim) Basrah
(Iraq), ‘Ubayd Allah ibn Hassan al Anbary (105-168 H) yang
mencabut pendapatnya ketika keliru dan dibenarkan oleh salah
seorang muridnya sembari berkata “Sungguh, menjadi ekor dalam
kebenaran lebih aku sukai daripada menjadi kepala dalam kebatilan”.54
Jelasnya, cendekiawan saat ini lebih mengedepankan hawa
nafsu dalam menilai. Merasa gengsi ketika pendapat mereka keliru,
juga merasa enggan untuk menerima kebenaran. Kaitannya dengan
kebenaran, Islam sudah memberi jalan dan jaminan bahwa apa yang
dicapai oleh manusia, bisa bersifat mutlak;55dengan bantuan sesuatu
yang ada pada dirinya (inheren) dan di luar dirinya (transenden). Dalam
diri manusia biasa dikenal dengan Panca Indra yang diberikan oleh
Tuhan, berupa mata sebagai indra penglihat akan realitas, telinga
sebagai indra pendengar, hidung sebagai indra pencium dst. Ia ibarat
pasukan dari kerajaan kecil yang bernama tubuh, dan akal menjadi

54
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Studi
Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, (Jakarta: Cakrawala, 2012), 85.
55
Menurut Ismail Raji al-Faruqi tauhid adalah pengakuan bahwa kebenaran bisa
diketahui, dan manusia bisa mencapainya. Itu berarti, skeptisisme yang menyangkal
kebenaran, adalah lawan dari tauhid. Ia muncul dari gagalnya saraf keberanian
untuk mendorong pencarian kebenaran sampai pada titik ujungnya. Sebagai prinsip
epistemologi, ia merupakan sarana dari rasa keputusasaan, yang disandarkan pada
asumsi apriori bahwa manusia hidup dalam impian yang kekal di mana tidak ada realitas
yang tidak akan pernah bisa dibedakan dari non-realitas. Ia tidak dapat dipisahkan
dari nihilisme. Sebab kesadaran akan nilai menuntut pengakuan bahwa manusia bisa
mencapai kebenaran nilai-nilai. Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, Trj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), 44.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


264 Faisal Fauzi

rajanya.56 Sedangkan media pencapai kebenaran dengan kekuatan


transenden, Sayyed Hossein Nasr mengatakan “dalam mencapai
sebuah kebenaran manusia membutuhkan iluminasi”;57 yaitu sebuah
pancaran kebenaran dari Tuhan ketika manusia memperdalam
pengetahuan spiritual (ibadah), atau melalui fenomena pengalaman
yang suci; yang diperoleh orang-orang tertentu.
Di lain itu, Akal yang diberikan Tuhan juga bisa mencapai
suatu kebenaran. Ia berperan sebagai penyempurna dari kelemahan
panca indra. Perumpamaan akal mencapai suatu kesimpulan
kebenaran, ketika seorang melihat bulan dari bumi dengan tanpa
bantuan alat apapun. Manusia melihatnya dengan mata telanjang.
Tentu akan nampak seperti lempengan logam yang kecil nan tipis.
Kesimpulan akal tidaklah sama dengan apa yang terlihat. Namun
akal berkesimpulan bulan itu besar. Kesimpulan ini didapat dari
berbagai macam sumber-sumber terpercaya. Akal menutupi
kekurangan persepi indrawi (empiris) untuk menyimpulkan suatu
yang baru.58 Memberikan pengetahuan baru yang tidak bisa digapai
oleh persepsi indrawi. Akal merupakan anugrah istimewa yang
diberikan kepada manusia. Dengan akal manusia bisa membedakan
dirinya dengan makhuk-makhluk lain. Dalam pandangan Syed
Muhammad Naquib al-Attas akal juga merupakan subtansi
ruhaniah yang lebih dikenal dengan kalbu. Dengannya seseorang
mampu secara langsung menangkap kebenaran agama, realitas dan
eksistensi Tuhan. proses ini disebut sebagai intuisi.59
Selain media-media di atas, ada satu sumber yang hanya di­
kenal dalam epsitemologi Islam, yaitu tradisi khabar s}ādiq (informasi

56
Imam al-Ghazali, Ih}yā’ Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dar al-Qalam), 10.
57
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Suhrawardi bahwa iluminasi merupakan
makna pencapaian pengetahuan yang tinggi, melimpah, oleh orang-orang bijak. Sayyed
Husein Nasr, Intelektual Islam…, 70-71.
58
Ugi Suharto, “Epistemologi Islam”, dalam On Islamic Civilization, (Semarang:
UNISULA-Republika, 2010), 144.
59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj Saiful Mujani,
(Bandung: Mizan, 1995), 38.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 265

yang benar),60 Antonim dari khabar kādhib (hoax). khabar s}ādiq


adalah sebuah kabar atau berita yang terkumpul dari berbagai
sumber terpercaya yang tidak akan mungkin berkomplot untuk
berdusta. Para ulama menyebutnya sebagai khabar mutawātir. Dan
ada juga yang langsung dari para rasul, dengan ditopang oleh
mukjizat. Kebenaran ini bersifat istidlali yang berarti kebenarannya
bisa diterima jika telah diteliti kebenaran statusnya.61

Penutup
Jelaslah dari uraian di atas bahwa doktrin relativisme yang
dicetuskan protagoras, kemudian dikembangakan oleh Nietzche
dan—sengaja ataupun tidak—diwarisi oleh para cendekiawan
muslim saat ini; yang berprinsip bahwa kebenaran itu relatif,
tidaklah dapat dijadikan sandaran. Sebab pada kenyataannya,
segala macam tidak bisa semena-mena bernilai relatif begitu saja,
ada beberapa hal yang secara bersamaan bernilai absolut. Artinya
tidak semua dapat bernilai relatif dan tidak semua dapat dikatakan
absolut. Tetapi meskipun demikian keduanya tidak dapat berganti
tempat dan posisi; maka tidak sepatutnya yang relatif diabsolutkan
dan begitu juga sebaliknya.
Lebih jauh lagi, paham relativisme pada satu titik tertentu
secara terang-terangan menggiring manusia kepada sikap skep­tis
terhadap aqidah dan ajaran-ajaran agama. Paham ini juga me­
ngaburkan segala realitas dari apa yang dilihat, didengar, dirasa­kan
dan diyakini. Karena mengaburkan, pelbagai penafsiran muncul
secara berkelanjutan; tak berujung dan tidak jelas arah tujuannya.
60
Untuk diskusi yang lebih dalam silakan baca; Syamsuddin Arif, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), 207-216. Lihat juga;
Mohammad Syam’un Salim,“ Khabar Sadiq; Sebuah Metode Transmisi Ilmu
Pengetahuan dalam Islam” dalam Kalimah; Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol
12, Nomor 1, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor, 2014), 91-108. http://
dx.doi.org/10.21111/klm.v12i1.220
61
Abi al-Mu’in Al-Nasafi, al-Tamh}īd..., 17. Lihat juga; Syamsuddin Arif, “Prinsip-
prinsip Dasar Epistemologi Islam” dalam Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2013), 117.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


266 Faisal Fauzi

Maka akan menghasilkan ketidakpastian: tidak ada standar dalam


menilai sesuatu, dan semua hal dipandang nisbi. Di sini, dampak
yang paling jelas terlihat adalah tidak diperkenankannya seseorang
menyalahkan pendapat orang lain, juga membenarkan pendapatnya.
begitu juga sebaliknya. Jika demikian, prinsip ini jelas akan
bertentangan dengan konsep amar ma’rūf nahyi munkar, dan pada
gilirannya akan menggiring manusia menjadi pribadi penakut, plin-
plan, standar ganda, inkonsisten dan tidak berprinsip.
Terkait kebenaran manusia tidaklah bersifat relatif. Islam
menjawab tuduhan tersebut, bahwa kebenaran absolut bisa dicapai
dengan indra, akal, dan khabar s}ādiq dan tentu tidak terlepas dari
bimbingan wahyu. Selain daripada itu, dalam keyakinan Islam,
kebenaran yang ada pada Tuhan dapat sampai kepada manusia
melalui lisan para Nabi-Nya. Manusia diperintahkan untuk
menemukan kebenaran mutlak sebatas kemahklukannya, bukan
kebenaran di luar kemampuan dirinya (Tuhan).

Daftar Pustaka
Adler, Mortimer J. T.Th. Truth in Religion the Plurality of Religion and the
Unity of Truth. United States of America: T.P.
Amin Abdullah, M. 2004. Studi Agama Normativitas Atau Historitas?
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. terj.
Saiful Mujani. Bandung: Mizan.
_____. Islam and Secularism. 2010. Kuala Lumpur: Internasional Institute
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Arif, Syamsuddin. 2017. Islam dan Diabolisme Intelektual. Jakarta: INSISTS.
_____. 2013. “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam” dalam, Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Adian Husaini (ed.) Jakarta: Gema
Insani Press.
Armas, Adnin.1425. “Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an”
dalam Islamia, Thn. I Nomor 1. Jakarta: INSISTS .
Al-Baghdadi, Abd al-Qahir. 1928. Us}ūl al-Dīn. Istanbul: Matba’ah al-
daulah.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 267

Baghramian, Maria. 2004. Relativsm the Problem of Philosophy. London:


New York: Routledge .
Bagus, Loren. 2005. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Bertnes, K. 1990. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.
Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberalism a Critique of Development Ideologies.
Chicago: The University of Chicago.
Blackburn, Simon. 2008. Oxford Dictionary of Philosophy. UK: Oxford
University Press.
Edward Craig (ed.). 1998. Encyclopedia of Philosophy. London dan New
York: Routledge.
Edel, Abraham. 1955. Ethical Judgement: The Use of Science and Ethics.
Glenco: Free Press.
Al-Faruqi, Ismail Raji. 1988. Tauhid. Trj. Rahmani Astuti. Bandung:
Penerbit Pustaka.
Al-Ghazali, Imam. T.Th. Ih}yā’ Ulūm al-Dīn. Beirut: Dar al-Qalam.
Ghazali, Abd. Muqsith. 2012. “Metode dan Kaidah Penafsiran al-Qur’an”
dalam Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hasan, Muhammad Ali. 2000. Al-Manār fī Ulūm al-Qur’ān ma’a Madkhāl
fī Us}ūl al-Tafsīr wa Mas}ādirihi. Bairut: Mausu’ah al-Risalah.
Hasib, Kholili. 2017. Membangun Paradigma Pendidikan Berbasisi Adab.
Ponorogo: UNIDA Press.
https://plato.stanford.edu/entries/truth-deflationary/. 29-11-2017.
12:00.
h t t p s : / / w w w. h i d a y a t u l l a h . c o m / b e r i t a / n a s i o n a l /
read/2016/10/13/102531/komentari-ulama-politisi-golkar-
dikecam-dengan-janganhinamui.html. Diakses pada tanggal 21
Oktober 2017, pukul 21:33 WIB
h t t p s : / / w w w. h i d a y a t u l l a h . c o m / b e r i t a / n a s i o n a l /
read/2016/10/13/102531/komentari-ulama-politisi-golkar-
dikecam-dengan-janganhinamui.html. Diakses pada tanggal 21
Oktober 2017, pukul 21:33 WIB
Husaini, Adian. 2015. Liberalisasi Islam di Indonesia: Fakta, Gagasan, Kritik,
dan Solusinya. Jakarta: Gema Insani Press.
_____. 2010. Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema
Insani.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018


268 Faisal Fauzi

_____. 2015. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegomoni Kristen ke Dominasi


Sekular-Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
Kaldis, Byron. 2013. Encyclopedia of Philosophy and the Sicial Sciences. LA,
London, New Delhi, Singapore, Washington: SAGE.
Lacey, A.R. 1996. A Dictionary of Philosopy, Department of Philosophy, King’s
College, University of London. London: Routledge.
Madjid, Nurcholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina.
Tammam, Abbas Mansur. 2016. “Pengaruh Orientalis terhadap Liberlisasi
Pemikiran Islam” dalam Jurnal Kalimah. Vol 14. Nomor 1. Maret.
Medvedov, Daniel. 2015. Tao Te Ching Chapter One. Madrid: T.P.
Al-Nasafi, Abi al-Mu’in. 2006. al-Tamh}īd fī Us}ūl al-Dīn aw al-Tamh}īd lī
Qawā’id al-Tawhīd. T.K: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turas.
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990).
Nietzche, Friedrich. 1968. The Will to Power. Terj. Kaufman, Walter dan
Hollingdale, R. J. New York: Vintage Books.
_____. 2017. Zaratustra. Yogyakarta: Cakrawala.
Dzulhadi, Qosim Nursheha. 2012. Membongkar Kedok Liberalisme di
Indonesia: Studi Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme.
Jakarta: Cakrawala.
Raharjo, Dawam. 2004. Pengantar Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat. Edy
A. Effendy (ed.). Bandung: Zaman Wacana Mulia.
Rahman, M. Syaiful. 2014. “Islam dan Pluralisme”. dalam Jurnal Fikrah.
Vol 2. No 1. Juni.
Russel, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Sosio-Politik
Zaman Kuno Hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Mohammad Syam’un. 2014. “Khabar Sadiq; Sebuah Metode
Transmisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam Kalimah; Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 12, Nomor 1. Ponorogo:
Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor.
Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama.
Bandung: Mizan.
Suharto, Ugi. 2010. “Epistemologi Islam”. dalam On Islamic Civilization.
Semarang: UNISULA-Republika.

TASFIYAH: Jurnal Pemikiran Islam


Problem Doktrin Relativisme... 269

Tamboyang, Yapy. 2013. Kamus Isme-isme: Filsafat, Teologi, Seni, Sosial,


Politik, Hukum, Psikologi, Biologi, Medis. Bandung: Nuansa Cendekia.
Al-Tusi, Nasir al-Din. T.Th. Talh}īs al-Muhās}al. Bairut: Dar al-Adwa.
Wan Daud, Wan Mohd Nor. 2005. “Apakah Manusia Bisa mencapai
Kebenaran?” dalam Harian Republika. Senin 04 April.
_____. 2005. “Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat”
dalam Islamia. Vol 2. No 5.
_____. 2005. dalam Harian Republika. Senin 4 April.
Widiantor, Yulius Aris. 2013. “Nihilisme sebagai Problem Eksistensi”
dalam Jurnal Ultima Humaniora. Vol 1. No 3. Maret.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2013. “Agama dalam Pemikiran Barat Modern
dan Pascamodern” dalam Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan
Muslim. Jakarta: INSISTS.
_____. 2010. Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan bersama Misionaris,
Orientalis dan Kolonialis. Ponorogo: Center for Islamic and
Occidental Studies (CIOS).
_____. 2009. Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat. Ponorogo:
Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS).
_____. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam.
Jakarta Selatan: INSISTS - MIUMI.

Vol. 2, No. 2, Agustus 2018

Anda mungkin juga menyukai