https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tasfiyah
http://dx.doi.org/10.21111/tasfiyah.v2i2.2576
Abstract
This research tries to explain the doctrine of relativism which is obviously related to
Sophists. The author explains its definition, concepts, and logical consequences it has if if this
doctrine infiltrates “worldview” of a Muslim. It is revealed that a Muslim who was infiltrated
by relativism virus would doubt any truth; that the truth cannot be achieved by human beings. It
will be an absolute problem if relativism becomes a basis of the worldview of Muslim scholars
especially in interpreting religious texts including al-Qur’an. This paper explains this problem
including arguments to deny relativism which is adopted by several Muslim scholars today.
Keywords: Relativism Doctrine, Sophist, Truth, Epistemology.
Abstrak
Penelitian ini ingin mengurai lebih dalam doktrin relativisme, sebuah doktrin yang
erat kaitannya dengan Sophis. dimulai dari penjelasan yang berkenaan dengan pengertian,
konsep serta konsekuensi logis bagaimana bila doktrin ini masuk kedalam cara pandang
‘wordview’ seorang muslim. Peneliti mendapati bahwa seorang muslim yang terkena virus
relativisme, ia akan meragukan kebenaran; bahwa kebenaran tidak bisa dicapai oleh
manusia. Masalahnya adalah, bagaimana dampak kongkrit bila relativisme menjadi basis
dari worldview dan argumen cendekiawan muslim dalam menafsirkan teks-teks keagamaan
khususnya al-Qur’an. Makalah ini berusaha menerangkan problem ini dengan menyertakan
argumenn-argumen bantahan juga kritik sebagai upaya menghadirkan solusi lain dari
doktrin yang banyak diadopsi oleh cendikiawan muslim ini.
Kata Kunci: Doktrin Relativisme, Sophis, Kebenaran, Epistemologi.
Pendahuluan
Relativisme ialah sebuah faham yang memegang prinsip
bahwa kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang tidak mutlak alias
relatif. Apa yang dipandang sebagai kebenaran oleh orang belum
tentu berlaku untuk orang lain. Menurut paham ini kebenaran
ditentukan oleh siapa yang menjadi pelakon, karena setiap individu
dipengaruhi oleh sejarah, budaya, dan psikologi.1 Ukuran untuk
memandang suatu kebenaran pun menjadi kompleks dan tak
pasti. Karena tidak ada ukuran umum atau satu pijakan tertentu
untuk menilai sebuah kebenaran. Labih jauh, setiap orang boleh
berpendapat kebenaran sebagai kesalahan atau pun sebaliknya.
Doktrin ini memberikan pengaruh besar terhadap cara
berpikir para cendekiawan muslim. Terbukti dari berbagai
pernyataan yang keluar dari lisan maupun tulisan. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Nurcholish Madjid, “Hanya Allah yang
mutlak, dan selain Allah, meskipun mengandung kebenaran, adalah nisbi,
dan kebenarannya pun nisbi. Bagaimana mungkin manusia yang nisbi
mencapai suatu yang mutlak”.2 Pernyataan ini menegaskan bahwa
manusia sungguh tidak bisa mencapai kepastian akan kebenaran.
Kebenaran tidak akan datang kepada manusia. Apa yang telah dan
akan diketahui dapat berubah-ubah seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan perubahan waktu.
Pernyataan lain ialah setiap agama tidak boleh merasa benar
atau paling benar. Karena dalam keyakinan mereka yang terjerat
relativisme, seluruh agama dalam perjalanan sejarahnya mengalami
penyimpangan dalam hal doktrin mapun praktik-praktiknya.3 Dan
1
Teks aslinya berbunyi “The aspects of the subjects supposed to determine what truth
is ‘for them’ may include historical, cultural, social, linguistic, or psychological background, or brute
sensory constitution. Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (Oxford University
Press, 2008). Lihat ‘Relativism’
2
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), xi.
3
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 33.
Pengertian Relativisme
Doktrin relativisme pada awalnya lahir dari rahim seorang
filsuf Yunani bernama Protagoras,4 yang berprinsip bahwa “man is
the measure of all things”.5 Manusia dan persepsi indrawinya menjadi
ukuran baku penentu segala sesuatu. Protagoras memiliki ajaran
yang disebut dengan sophist atau sufasthaiyyah, sebuah aliran yang
memiliki karakter skeptik6, relatifistik.7 Sophist terbagi menjadi
tiga tipe: pertama, dikenal dengan al-lā adriyyah atau the agnostic,
yaitu golongan yang selalu ragu terhadap sesuatu dan mengatakan
tidak tahu tentang kebenaran sesuatu; sehingga menolak seorang
mendapatkan ilmu pengetahuan. Bahkan orang-orang agnostik
mengatakan ragu terhadap keraguan mereka sendiri. Kedua,
kelompok yang disebut al-inādiyyah. Kelompok ini terkenal dengan
doktrinnya yang mengatakan, bahwa tidak ada pernyataan yang
tidak ada lawannya; yang tidak bisa dibatalkan; yang sama kuatnya;
sama masuk akal. Di sini, pernyataan benar bisa menjadi salah.
Ketiga, ialah kelompok al-‘indiyyah, mereka yang berkata bahwa
4
Ada perbedaan tahun kelahiran Protagoras, dalam buku Sejarah Filsafat Barat
dituliskan protagoras lahir sekitar 500 SM. Sedangkan dalam buku Sejarah Filsafat Yunani,
dituliskan Protagoras lahir pada tahun 490 SM. Lihat Bertrand Russel, Sejarah Filsafat
Barat: Kaitannya dengan Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Terj. Sigit Jatmiko et al,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet III, 2007), 105. Lihat juga K. Bertnes, Sejarah Filsafat
Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 69.
5
Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (UK: Oxford University
Press, 2008). Lihat ‘Relativism’
6
Skeptik dalam bahas Inggris Sceptic “Person who usu doubts that a statement,
claims, etc is true. Oxford Learner’s Pocket Dictionary, (Oxford University Press, 2008),
lihat: Sceptic.
7
Wan Mohd Nor Wan Daud, dalam Harian Republika, (Senin, 4 April 2005).
أنه ال حقيقة ليشء وال علم بيشء وهاؤالء معاندون وينبيغ أن يعاملوا...
بالرضب واتلأديب واخذ األموال منهم فإذا اشتكوا من الم الرضب وطابلوا
أمواهلم قيل هلم إن لم يكن لكم وال ألموالكم حقيقة ملا تشكون من
االلم فما هذا الضجر ولم تطلب ماال حقيقته؟ وقيل هلم هل نليف احلقائق
قيل هلم إذا لم، وإن قالوا ال،حقيقة؟ فإن قالوا نعم أثبتوا بعض احلقائق
9
.يكن نليف احلقائق حقيقة ولم يصح نفيها فقد صح ثبوتها
judgments about truth and falsity are (always) relative to dependent upon the
individual person or culture”.10 Pengertian ini diungkap juga oleh Maria
Baghramian, bahwa “Relativism is the claim that views and standards of
truth and falsity may vary across cultures, social groups, historical periods or
even individuals, and every effort to adjudicate them is bound to be futile”.11
Bila dicermati pengertian tersebut, maka jelaslah doktrin ini adalah
ajaran kepada penolakan terhadap sebuah kebenaran mutlak.12
Dengan ungkapan lain, tidak ada kebenaran yang bersifat absolut
“There exsist no absolute Truth”. Akhirnya, tidak ada nilai yang lebih
agung dari nilai-nilai lain, maka nilai Tuhan tidak lagi memiliki
kedudukan tertinggi dari nilai manusia.
Di zaman postmodern sendiri, doktrin ini dipopulerkan
kembali oleh Friedrich Nietzsche13, dengan terma yang dikenal
dengan istilah nihilisme. 14 Nietzsche mengartikan nihilisme
sebagai “the highest values devaluate themselves”;15 sebuah upaya untuk
mendevaluasi semua nilai luhur (Tuhan) yang tadi bermakna,
menjadi tidak bermakna. Bagi Nietzsche, hal ini bisa terjadi karena
nilai selalu membutuhkan adanya dasar-dasar objektif rasional
10
Byron Kaldis, Encyclopedia of Philosophy and the Social Sciences, (LA, London,
New Delhi, Singapore, Washington: SAGE, 2013), 808.
11
Maria Baghramian, Relativism the Problem of Philosophy, (London, New York:
Routledge: 2004), 92.
12
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, (Jakarta: Gema
Insani, Cet II, 2010), 152.
13
Friedrich Nietzsche lahir di kota Roken, Prusia, Jerman pada 15 Oktober
1844. Pada tahun 1850 ia pindah ke Naumburg. Di kota ini Nietzsche ia bersekolah
dan mempelajari bahasa Yunani, Latin, dan Ibrani. Dari disinilah ia mendapatkan bekal
yang kuat untuk menjadi seorang ahli Filologi dan brilian. Penjelasan mengenai biografi
Friedrich Nietzche, baca; Friedrich Nietzche, Zaratustra, (Yogyakarta: Cakrawala:
2017), iii-ix.
14
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 92.
Nihilism diambil dari bahasa Latin: nihil—nothing; is a philosophy of negation, rejection or
denial of some or all aspect of thought or life. For Nietzsche, there is no objective order or structure
in the world except what we give it. Lihat; A. Donald Crosby. “Nihilism” dalam, Concise
Routledge Encyclopedia of Philosophy, (London dan New York: Routledge 2000), 632.
15
F. Nietzsche, The Will to Power, Terj. Kaufman, Walter dan Hollingdale, R. J.,
(New York: Vintage Books, 1968), 9.
16
Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat,
(Ponorogo: Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS), 2009), 36.
17
Hamid Fahmy Zarkasyi, Agama dalam Pemikiran Barat Modern..., 112.
18
Titus at al, Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang), 391.
19
Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun Peradaban Islam..., 36.
20
Gianni Vattimo, The End of Modernity, Cf; Hamid Fahmy Zarkasyi, Membangun
Peradaban Islam..., 36-37.
21
Yulius Aris Widiantor, “Nihilisme sebagai Problem Eksistensi”, dalam
Jurnal Ultima Humaniora, Vol 1, Nomor 3, Maret (Tangerang: Universitas Multimedia
Nusantara, 2013), 47.
22
Loren Bagus, Kamus Filsafat..., 950.
23
Wan Mohd Nor Wan Daud, Apakah Manusia Bisa mencapai Kebenaran? dalam
Republika, (Senin, 04 April 2005).
24
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama…, 93.
25
Ibid.
26
QS. al-Baqarah [2]:147.
27
Kholili Hasib, Membangun Paradigma Pendidikan Berbasisi Adab, (Ponorogo:
UNIDA Press, 2017), 56.
28
Untuk info lebih jelas lagi, silakan baca; Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat;
dari Hegomoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, Cet III,
2005), 41-46.
29
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama... 95-96.
30
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi.., 153.
31
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis terhadap Liberlisasi Pemikiran
Islam”, dalam, Jurnal Kalimah, Vol. 14, Nomor 1, Maret (Ponorogo: Universitas Darus
salam Gontor, 2016), 9.
32
Muhammad Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas?
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 31.
33
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis..., 10.
34
Dawam Raharjo, Pengantar Dekonstruksi Islam Madzhab Ciputat, Edy A. Effendy
(ed.), (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 2004), 31.
35
Abbas Mansur Tammam, “Pengaruh Orientalis..., 10.
Suatu teks itu bebas tafsir dan bebas makna. Yang namanya al-Qur’an,
yang paling sah untuk menafsirkan, yang paling tahu untuk menafsirkan
al-Qur’an adalah Allah SWT dan Rasul. Bukan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), bukan Ahmad Dhani, bukan Simanjuntak, juga bukan saya,
maupun Hamka Haq. Kiai-Kiai saya, guru-guru saya, ulama-ulama saya
dulu, ketika memaknai al-Qur’an saya ngaji, tidak pernah mengklaim
dirinya paling benar. Selalu ditutup dengan kalimat ‘Wallahu a’alamu
bimurādihi’, bahwa Allah-lah sesungguhnya yang paling tahu tentang
maknanya, bukan orang lain.38
38
https://www.hidayatullah.com/berita/nasional/read/2016/10/13/102531/
komentari-ulama-politisi-golkar-dikecam-dengan-janganhinamui.html. Diakses pada
tanggal 21 Oktober 2017, pukul 21:33 WIB
39
Lebih jelas lihat; Muhammad Ali Hasan, Al-Manār fī Ulūm al-Qur’ān ma’a
Madkhal fī Us}ūl al-Tafsīr wa Mas}ādirihi, (Bairut: Mausu’ah al-Risalah, 2000), 250-256.
itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya
menjadi bernilai relatif.41
41
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan..., 154-155.
42
Sururin (ed.), Nilai-Nilai Pluralisme dalam Islam…,58. Dikutip dalam; Hamid
Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 93.
43
Ibid, 58-59. Dikutip dalam; Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia…, 27.
44
Al-Tsawābit ialah persoalan-persoalan prinsip dalam agama yang ditetapkan
oleh Allah dalam al-Qur’an maupun lisan para nabi-Nya, sebagai landasan yang pasti.
dan tidak ada ijtihad atau pun perbedaan-pendapat di antara para ulama. Sedangkan
al-mutaghayyirāt ialah persoalan-persoalan yang dimungkinkan adanya ijtihad dan tidak
ada dalil pasti dari nash maupun ijma’. Salah al-Sawi, Al-Tsawābit wa al-Mutaghayyirāt fī
Masīrat al-‘Amal al-Islāmī al-Mu’ās}ir, (T.K: T.P, 2009), 51 dan 53.
Sebagai contoh tata cara shalat; satu ulama dan ulama lain berbeda
dalam memandang tatacara praktik shalat. Sedangkan tidak ada
yang berbeda pendapat mengenai hukum wajib shalat tersebut.
Selanjutnya ketika manusia tidak mampu mencapai kebenaran
mutlak, maka keberagamaan yang dijalankan manusia selama ini
menjadi hanya pada tahap kira-kira belaka. Kemudian timbul
ungkapan bahwa satu agama tidak boleh merasa benar dan menya
lahakan agama lain. Semua agama dipandang benar, maka tidak ada
agama yang benar, karena terma benar ada karena ada terma salah:
“Kita tidak bisa mengingkari adanya kemungkinan bahwa dalam
perkembangannya sebuah agama mengalami deviasi atau penyimpangan
dalam hal doktrin dan peraktiknya. Tetapi arogansi teologis yang me
mandang agama lain sebagai sesat sehingga harus dilakukan pertobatan
dan jika tidak berarti pasti masuk neraka, merupakan sikap yang jangan-
jangan malah menjauhkan dari subtansi sikap keberagamaan yang serba
kasih dan santun dalam mengajak kepada jalan kebenaran”.45
الز من نفاها اكن نفيه إياها،«حقائق األشياء ثابتة والعلم بها متحقق
49
» فاكنت ثابتة رضورة، فاكن يف نفيها ثبوتها،حتقيقا منه للنيف
Arti bebasnya; bahwasanya Setiap sesuatu ada kebenarannya,
dan di sana ada banyak kebenaran, manusia bisa mengetahui
kebenaran. Barang siapa yang mengingkari kebenaran-kebenaran
terebut, maka sebenarnya pengingkarannya itu sesungguhnya pem
benaran yang ia ingkari. Sehingga ketika ia menafikan kebenaran-
kebenaran itu, dia sesungguhnya telah melakukan sebuah afirmasi.
Maka jelaslah bahwa kebenaran itu ada. Dari sini, dapat dilihat
bahwasanya para pengabdi relativisme, sejatinya telah berlaku in
konsisten dengan apa yang dikatakannya. Ringkasnya dalam bahasa
lain, ketika mereka menegaskan bahwa “Tidak ada kebenaran mutlak”,
dengan sendirinya kata-kata mereka itu mengandung kebenaran
47
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), xi.
48
Semua pernyataan-pernyataan yang muncul dari orang-orang liberal, seakan-
akan logis namun memiliki cacat logika yang sangat fatal. Maka dari itu kata-katanya
seolah-olah manis dan menggiyurkan, tapi perlu dianalisa dan dengan kritis. Baca,
Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan..., 156.
49
Abi al-Mu’in al-Nasafi, Al-Tamh}īd fī Us}ūl al-Dīn aw al-Tamh}īd lī Qawā’id al-Tauh}
īd, (T.K: al-Maktabah al-Azhariyah li al-Turas: 2006), 16.
50
Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat..., 130.
51
https://plato.stanford.edu/entries/truth-deflationary/. 29-11-2017. 12:00.
52
Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, Gerakan bersama..., 94.
53
Ibid, 94-96.
54
Qosim Nursheha Dzulhadi, Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia: Studi
Kritis Pemikiran Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme, (Jakarta: Cakrawala, 2012), 85.
55
Menurut Ismail Raji al-Faruqi tauhid adalah pengakuan bahwa kebenaran bisa
diketahui, dan manusia bisa mencapainya. Itu berarti, skeptisisme yang menyangkal
kebenaran, adalah lawan dari tauhid. Ia muncul dari gagalnya saraf keberanian
untuk mendorong pencarian kebenaran sampai pada titik ujungnya. Sebagai prinsip
epistemologi, ia merupakan sarana dari rasa keputusasaan, yang disandarkan pada
asumsi apriori bahwa manusia hidup dalam impian yang kekal di mana tidak ada realitas
yang tidak akan pernah bisa dibedakan dari non-realitas. Ia tidak dapat dipisahkan
dari nihilisme. Sebab kesadaran akan nilai menuntut pengakuan bahwa manusia bisa
mencapai kebenaran nilai-nilai. Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, Trj. Rahmani Astuti,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), 44.
56
Imam al-Ghazali, Ih}yā’ Ulūm al-Dīn, (Beirut: Dar al-Qalam), 10.
57
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Suhrawardi bahwa iluminasi merupakan
makna pencapaian pengetahuan yang tinggi, melimpah, oleh orang-orang bijak. Sayyed
Husein Nasr, Intelektual Islam…, 70-71.
58
Ugi Suharto, “Epistemologi Islam”, dalam On Islamic Civilization, (Semarang:
UNISULA-Republika, 2010), 144.
59
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj Saiful Mujani,
(Bandung: Mizan, 1995), 38.
Penutup
Jelaslah dari uraian di atas bahwa doktrin relativisme yang
dicetuskan protagoras, kemudian dikembangakan oleh Nietzche
dan—sengaja ataupun tidak—diwarisi oleh para cendekiawan
muslim saat ini; yang berprinsip bahwa kebenaran itu relatif,
tidaklah dapat dijadikan sandaran. Sebab pada kenyataannya,
segala macam tidak bisa semena-mena bernilai relatif begitu saja,
ada beberapa hal yang secara bersamaan bernilai absolut. Artinya
tidak semua dapat bernilai relatif dan tidak semua dapat dikatakan
absolut. Tetapi meskipun demikian keduanya tidak dapat berganti
tempat dan posisi; maka tidak sepatutnya yang relatif diabsolutkan
dan begitu juga sebaliknya.
Lebih jauh lagi, paham relativisme pada satu titik tertentu
secara terang-terangan menggiring manusia kepada sikap skeptis
terhadap aqidah dan ajaran-ajaran agama. Paham ini juga me
ngaburkan segala realitas dari apa yang dilihat, didengar, dirasakan
dan diyakini. Karena mengaburkan, pelbagai penafsiran muncul
secara berkelanjutan; tak berujung dan tidak jelas arah tujuannya.
60
Untuk diskusi yang lebih dalam silakan baca; Syamsuddin Arif, Orientalis
dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), 207-216. Lihat juga;
Mohammad Syam’un Salim,“ Khabar Sadiq; Sebuah Metode Transmisi Ilmu
Pengetahuan dalam Islam” dalam Kalimah; Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol
12, Nomor 1, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin UNIDA Gontor, 2014), 91-108. http://
dx.doi.org/10.21111/klm.v12i1.220
61
Abi al-Mu’in Al-Nasafi, al-Tamh}īd..., 17. Lihat juga; Syamsuddin Arif, “Prinsip-
prinsip Dasar Epistemologi Islam” dalam Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2013), 117.
Daftar Pustaka
Adler, Mortimer J. T.Th. Truth in Religion the Plurality of Religion and the
Unity of Truth. United States of America: T.P.
Amin Abdullah, M. 2004. Studi Agama Normativitas Atau Historitas?
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Islam dan Filsafat Sains. terj.
Saiful Mujani. Bandung: Mizan.
_____. Islam and Secularism. 2010. Kuala Lumpur: Internasional Institute
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC).
Arif, Syamsuddin. 2017. Islam dan Diabolisme Intelektual. Jakarta: INSISTS.
_____. 2013. “Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam” dalam, Filsafat
Ilmu Perspektif Barat dan Islam. Adian Husaini (ed.) Jakarta: Gema
Insani Press.
Armas, Adnin.1425. “Tafsir al-Qur’an atau Hermeneutika al-Qur’an”
dalam Islamia, Thn. I Nomor 1. Jakarta: INSISTS .
Al-Baghdadi, Abd al-Qahir. 1928. Us}ūl al-Dīn. Istanbul: Matba’ah al-
daulah.