Anda di halaman 1dari 14

DEMO : Purchase from

AL MASHLAHAH www.A-PDF.com
JURNAL to remove
HUKUM DAN PRANATA the watermark
SOSIAL ISLAM

EPISTEMOLOGI USHUL FIQH KONTEMPORER


Oleh: Chozin Nasuha*

Abstrak
Agama (al-dien) adalah kepercayaan yang bersifat Ilahiyah, ide murni itu berbentuk
wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam
konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang merupakan
produk manusia. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah
masyarakat. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul-Fiqh. Ilmu metodologi ini memiliki
susunan yang pada umumnya terjadi kontroversi antara proposisi-proposisi dengan logika
dan bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi empat
point yaitu (1) nilai-nilai aturan hukum (2) dasar-dasar aturan hukum (al-adillah al-
syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hukum, dan (4) ketentuan
ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih.
Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang turut memperkaya model
keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab
ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita.
Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat
memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini,
setelah kita mengajukan pertanyaan. Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik yang tersusun
mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika
landasan ini saling berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya,
epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau
kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus mengaitkannya dengan
ontology, dan aksiologi.

Key Word: Epsitemologi, Ontologi, aksiologi Ushul Fiqh, Ilmu Sosial

A. Pembukaan pemikiran Agama adalah Ushul-Fiqh. Ilmu


Agama (al-dien) adalah ide murni, metodologi ini memiliki susunan yang pada
atau system ide dan kepercayaan yang umumnya terjadi kontroversi antara
bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan proposisi-proposisi dengan logika dan
ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis
kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi
itu berbentuk wahyu yang termuat dalam empat point yaitu (1) nilai-nilai aturan
al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa hukum (2) dasar-dasar aturan hukum (al-
diletakkan dalam konteks kemanusiaan. adillah al-syar’iah) (3) cara atau metoda
Berbeda dengan pemikiran agama menganalogikan dalil menjadi hukum, dan
(Islamologi) yang seluruhnya merupakan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika
produk manusia dan sangat berkaitan kontradiktif, dan tarjih.
dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa Ushul-fiqh merupakan khazanah
dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah kekayaan ilmu yang secara langsung atau
masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah tidak langsung, turut memperkaya model
gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam
dalam konteks kemanusiaan. Dengan kata akan susah seandainya ilmu ini tidak ada,
lain, kita harus membedakan antara Agama sebab ushul-fiqh dianggap sebagai
dan pemikiran Agama. Salah satu penuntun fiqh yang merupakan jawaban

Epistemologi Ushul Fiqh … 329


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyun
menjawab beberapa masalah yang sendiri, dan tidak akan menolak.
diajukan, maka agar kita dapat Memang kerja ushul-fiqh sedikit
memanfaatkan, kita harus mengetahui mengabaikan prinsip objektifitas, jika
jawaban apa yang perlu dibawakan oleh istilah objektif sebagai aturan ilmu yang
ilmu ini, setelah kita mengajukan harus terukur, ada keberulangan, dan
pertanyaan. Di sini kita memerlukan perilaku yang dapat diramalkan. Hampir
jawaban yang benar, dan bukan debat kusir semua ushuliyun tidak berfikir seperti itu,
atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu karena ushul-fiqh berhubungan dengan
muncul pertanyaan, bagaimana kita perilaku manusia (af’al mukallafin), maka
mencari jawaban yang benar? Masalah ini, subjektivitas tetap memiliki peran
oleh kajian filsafat disebut epistemology, tersendiri. Ushul-fiqh yang selalu
dan landasan epistemo-logi ilmu disebut menekankan pada pendekatan subjektivitas,
metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda biasanya disebut studi humanistik. Paham
ilmiah adalah cara yang dilakukan itu ini berpandangan bahwa fiqh yang dikelola
dalam menyusun pengetahuan yang oleh oleh ushul-fiqh bukan harga mati, tetapi
filsafat ilmu disebut teori kebenaran. wilayah interpretative.
Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik Menurut pandangan ahli-ahli
yang tersusun mengenai apa (ontology), rasional, teratur, atau sistematik, perilaku
bagaimana (epistemology) dan untuk apa manusia bersifat kontektual berdasarkan
(aksiologi). Ketika landasan ini saling makna yang diberikan di lingkungannya.
berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait Kalau ilmu di luar humaniora lebih
dengan epistemologinya, epistemology ditekankan pada ‘kedisiplinan’, humaniora
ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan justru kearah interpretasi alternatif. Posisi
begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin ilmu humaniora, termasuk ushul-fiqh
membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, adalah pada ‘siapa’ dan menentukan ‘apa
maka kita harus mengaitkannya dengan yang dilihat’. Menurut paham ini realitas
ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam perbuatan manusia termasuk fenomena
tulisan ini, kita hanya membahas tentang yang cair dan mudah berubah. Fenomena
epistemology, dan itu pun memakai ini bersifat polisemik yang memerlukan
kerangka berfikir penelitian ilmu social. penafsiran. Jadi kerja ushul-fiqh selalu
bergerak pada ‘koma-koma’ bukan berhenti
1. Pendekatan Humanistik pada satu titik.
Permasalahan yang sering muncul Persoalan objective ilmiah dan
adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif subjektivitas tidak ilmiah, memang telah
atau subjektif. Demikian karena banyak lama ditujukan pada semua ilmu agama,
sekali materi fiqh yang dikelola melalui termasuk ushul-fiqh. Apalagi ilmu ini
ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh menyajikan penafsiran dan hermeunitika.
dengan tokoh yang lain. Cara berfikir Tentu saja penafsiran semacam ini
ushuliyun selalu memakai pendekatan keberatan jika dikait-kan dengan penilaian
kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan objektif dan subjektif. Tetapi muncullah
dianggap tidak objektif. Berbeda dengan beberapa tokoh sosio-log yang mengatakan
paradigma ilmu yang memakai pendekatan bahwa objektivitas itu hanya berlaku bagi
kwantitatif, yang serba ilmiah dan ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu agama

330 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

memiliki kateristik tersendiri. Karena itu apa artinya kebenaran ilmiah ? Kebenaran
subjektivitas interpre-ter yang sering ilmiah bersifat relatif, kondisional, dan
memasukkan resepsi, kepekaan, akal sehat, tergantung konsensus atau kesepakatan.
dan pendapat yang terbuka, mestinya tidak Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu
harus sama persis dengan “self- soasial atau budaya termasuk ushul-fiqh.
understanding”. Itulah maka objektivitas Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap
dalam ilmu social, ilmu budaya, termasuk menerima kritik atas kekurang tepatan
ushul-fiqh tidak bisa absolut. analisanya. Dalam kaitan ini, Abdulwahhab
Ketika ushul-fiqh dianggap sebagai al-Sya’rani berkata : Mazhab kami adalah
karya pemikiran dalam Islam (tsaqafah benar, tetapi mungkin juga salah. Mazhab
Islamiah), muncullah dilematis apakah di luar kami adalah salah, tetapi mungkin
ushul-fiqh itu sebagai ilmu atau sebagai juga benar. Demikian ini tertuang dalam
seni berdebat. Begitu pula ketika para kitab klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka
ilmuan melihat perdebatan dalam Islam nilai pluralis ini termasuk ciri
antara ahli hadits dan ahli rakyu, dalam postmodernism.
memecahkan konsep syari’ah, mereka Perkembangan selanjutnya, bahwa
bertanya, apakah ushul-fiqh itu Agama atau ahli-ahli perbandingan mazhab dapat
ilmu agama. Kalau ushul-fiqh dipandang menyusun kesadaran ‘subjektivitas’ yang
sebagai Agama, (bukan ilmu agama) lalu selanjutnya diarahkan pada penulisan biog-
sampai dimana kita memperlakukannya rafi individu (tokoh).
sebagi sumber data untuk membangun teori Dalam konteks modernis yang kaku,
yang dianggap objective. Kenyataan ini ushuliyyun berpandangan harus objektif,
membutuhkan kesadaran baru yang memiliki otoritas, netral dari mazhab, dan
menjadi ciri postmodernisme. Yaitu bahwa selalu mengolah teks dengan objektif.
representasi, suatu penyajian dalam Padahal fiqh yang dikelola melalui ushul-
perbandingan mazhab misalnya, tentang fiqh selalu berubah karena perubahan
suatu aliran ushul-fiqh, pada dasarnya tidak waktu dan tempat, akibatnya makna teks
pernah menyajikan gambaran sebagaimana bisa plural dan bisa berkembang. Jadi
adanya. Penyajian atau uraian itu telah pemikiran semacam itu harus ditata ulang
dibungkus dalam kemasan tertentu. Ushul- kalau dia akan mempelajari ilmu ushul-
fiqh sebagai teks tidak bisa diuraikan apa fiqh.
adanya tetapi mengalami ‘distorsi’ tertentu Memahami pendapat tokoh memang
setelah melalui proses penafsiran (syarah). sangat menarik, sama seperti menariknya
Ushul-fiqh selalu muncul dalam mempelajari perbedaan subjective dan
kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa objective bagi orang yang berpendapat dan
bebas begitu saja. Tetapi dalam pendukung. Permasalahan ini akan terkait
penyajiannya selalu muncul nilai pula dengan soal ilmiah atau tidak ilmiah,
subjektivitas di dalamnya. Karena itu, ilmuan atau propagandis, akademis atau
meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan idiologis, dan begitulah seterusnya. Padahal
al-Syafi’iy untuk membangun mazhabnya, uraian yang dinilai seperti itu tergantung
tetapi dalam perkembangannya, mucullah bagaimana tokoh itu menguraikan.
Ushl-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Pada waktu positivisme menjadi idola
Ushul-Fiqh Syi’ah, Ushul-fiqh Hanafiyah, setiap ilmuan, semua pemikiran yang tidak
Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya. Lalu objective dinilai lemah, termasuk kerangka

Epistemologi Ushul Fiqh … 331


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

kerja ushul-fiqh. Tetapi setelah muncul Penilaian semacam itu muncul karena
strukturalisme, dan teori ini bisa diterapkan ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh
pada penggalian fiqih yang ijtihadnya ditata memanfaatkan penalaran subjective dan
rapih, maka bisa ditemukan objektivitas. paradigma kwalitative. Penalaran semacam
Terutama jika strukturalis itu berupaya ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat
menemukan masalah penting dalam setiap tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap
uraian fiqh yang disajikan, seperti mengada-ada dan spekulasi yang
kesimpulan: lebih manfaat, lebih maslahat, merancang. Tentu saja asumsi seperti itu
lebih adil dan semacamnya. Lebih lagi jika tidak selalu benar. Meskipun begitu,
semua itu tidak terjebak pada alam khayal pengembangan ushul-fiqh seyogyanya
realis, melainkan selalu berpegang pada berusaha keras untuk meyakinkan orang
bahasa sebagai alat pemikiran. lain, bahwa fiqh yang diproduksinya
Disitu jelaslah bahwa ushul-fiqh yang memiliki kadar logika dan kebenaran.
bisa dipandang bernilai subjective, tidak Logika dan kebenaran dalam ushul-
ilmiah, terlalu keagama-agamaan itu fiqh tidak berbeda dengan metoda
sebenarnya tidak benar. Disiplin ilmu penelitian ilmu social atau ilmu budaya.
ushul-fiqh tetap mengedepankan aspek Logika tetap menjadi wahana untuk
kebenaran tertentu sejalan dengan tujuan, mencari kebenaran. Meskipun begitu,
metoda, hubungan antara dalil dan mad-lul, banyak sekali macam-macam logika yang
dan analisis yang berwawasan lain dengan dipergunakan untuk mencapai kebenaran
pendekatan objective. Perbedaan ini tidak itu. Tetapi tidak semuanya relevan bagi
berarti bahwa kerja ushul-fiqh itu hanya pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam
asal-asalan, melainkan berusaha memahami logika itu antara lain : (a) logika formal.
fenomena liwat subjective yang tidak Logika ini berusaha mencari kebenaran
mungkin terfahami melalui objektivitas. dengan mencari relasi antar muqaddimah
shugra dan kubra dengan tujuan untuk
a. Mushawwibah dan Mukhaththiah menggeneralisasikan natijah yang ada pada
Di dalam Islam, semua teks (al- setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini
Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh.
zhanni (dugaan) maka makna yang muncul karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-
dari teks itu selalu dirumuskan dalam qiyas manthiqi seperti itu, tetapi
kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf transferabilitas. (b) logika matematik.
fih). Bagi pengikut teori mushawwibah Logika ini pencarian kebenaran dengan
akan mengatakan bahwa semua kesimpulan mencari relasi proposisi menurut kebenaran
yang beda-beda itu, yang benar tidak satu, materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan.
bahkan bisa juga semuanya benar. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti
Demikian jika semua mujtahidnya dan terukur. Andalan logika ini adalah
menampilkan kerangka berfikir yang adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus
sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan
pengikut mukhath-thiah akan berpendapat oleh statistika dan bisa berlaku bagi
bahwa semua kesimpilan yang banyak itu, penelitian ilmu social, ilmu budaya,
yang benar cuma satu saja, apalagi jika termasuk ilmu agama yang penganut faham
beberapa kesimpulan tadi ada nilai posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara
kontradiktif. berfikir dengan sangat cepat, untuk

332 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

mengabstraksikan dan penjabaran. Logika Dulu, penelitian ilmu social dan ilmu
ini berlangsung cepat dan bisa budaya diarahkan pada pemikiran objektif
memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu dan matematis. Tetapi setelah mereka mulai
tasawwuf, logika ini disebut pendekatan meninggalkan logika tradisi, dan ingin
dzauqi yang bisa berkembang sampai mencari kebenaran baru yang lebih orisinil,
laduni. (d) logika kwalitatif, yakni mereka mengejar perkembangan yang
pencarian kebenaran berdasarkan paparan disebut postmodernisme. Kalau
deskriptif data di lapangan atau di perkembangan ilmu itu seperti itu, maka
perpustakaan. Kwalitas kebenarannya akan berte-mu dengan ushul-fiqh yang
didasarkan pada realitas yang ada. (e) kebenarannya didasarkan pada
logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran argumentasi, imajinasi, dan common sense
berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini (akal sehat).
banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah
dan semacam penelitian yang memerlukan nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih),
penafsiran. dan menganut hukum probabilitas
Dari macam-macam logika di atas, (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam
ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika itu adalah kebenaran kreatif cerdas, dan
kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat tidak menyalahkan orang lain seperti meng-
logika reflektif pun dipakai pula, terutama hakimi salah, bid’ah, jumud, dan
untuk mengembangkan dalil metodologis sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun
seperti istihsan dan mashalih mursalah. seperti itu tidak disetujui oleh agamawan
Logika kwalitatif banyak dipergunakan yang taat pada kebenaran matematis.Di
untuk mengembangkan dalil sosiologis antara mereka ada yang berkata : Allah itu
seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. satu. Nabi Muhammad itu satu, dan Al-
Sedangkan logika linguistik dipergunakan Qur’an juga satu, maka seharusnya
untuk mengembangkan dalil normative, pemikiran Islam pun satu pula (bersatu).
yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits. Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran
Dari segi lain, logika kwalitatif kreatif pun akan mampu mewadahi aspirasi
biasanya dipergunakan untuk lingkup kebenaran yang kecil-kecil, yaitu
kebenaran yang terbatas. Artinya, kebenaran yang jarang teradopsi oleh
kebenaran yang dicapai bukan sebuah ilmuan yang selalu berfikir global.
wacana yang berlaku universal, melainkan Perlu dipertimbangkan, baik oleh
hanya pada tingkat local, atau kasus pengikut mushawwibah atau mukhaththiah
tertentu saja. Karena itu, kebenaran bahwa perilaku manusia (af’al al-
kwalitatif bersifat lebih spesifik dan tidak mukallafin) adalah unik, dan inilah yang
menghendaki adanya regualitas. Oleh menjadi objek pembahasan ushul-fiqh.
karena itu teks atau kasus yang dikelola Oleh karena itu tuntutan kebenaran dan
memakai logika kwalitatif akan atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya
menghasilkan kesimpulan yang berbeda- dicari bukan seperti fenomena alam. Jika
beda. Hal ini bukan berarti kebenaran fenomena alam ada hal-hal yang secara
semacam itu lemah, tetapi tetap fisik teramati, terulang, dan teratur, maka
menggunakan dalil berdasarkan realitas. perilaku manusia tidak selamanya bergerak
Itulah suatu fenomena yang oleh Islam seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias
disebut rahmatan lil’alamin. ini hanya mampu diolah menjadi objective

Epistemologi Ushul Fiqh … 333


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

apabila dilukiskan secara verstehen (mudah fiqh, terutama ketika mencari bentuk aliran,
terfahami). Jika fiqh yang diproduksi apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran
melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh mutakallimin. Dua aliran ini, secara
masyarakat, berarti dalam ushul-fiqh tadi etimologis memang bertolak belakang.
ada kejelasan. Kejelasan inilah yang Keduanya memiliki implikasi metodologis
disebut kebenaran. yang berbeda. Padahal keduanya sama-
Jadi kalau kebenaran ilmuan sama dimanfaatkan oleh imam-imam
objective lebih menyukai penjelasan logis, mujtahid.
maka ushul-fiqh menyajikan penjelasan Rakyu adalah aliran dalam ushul-fiqh
yang berisi penafsiran. Kalau kebenaran yang teori-teorinya dibangun atau disusun
objective ingin melihat pembakuan sesudah fiqh terbentuk. Artinya, mujtahid
pengamatan yang teratur, maka penglolaan ini mengamati perilaku orang-orang
ushul-fiqh bersifat humanistic yang kreatif. mukallaf yang ada pada masyarakat,
Dengan kata lain kebenaran ushul-fiqh kemudian dia memproduk fiqh secara
lebih menitik beratkan pada aspek induktif. Setelah itu disusunlah ushul-fiqh
humanistic kemanusiaan. Itulah sebabnya, untuk dasar-dasar pengembangannya, di
ushul fiqh dinilai unik yang memandang samping kaidah fiqhnya juga. Karena itu,
bahwa perilaku manusia satu sama lain uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan
tidak selalu sama. Dengan demikian, orang istihsan di-ambil sebagai dasar hukum fiqh.
yang berpendapat bahwa Ushul-fiqh al- Ushul-fiqh aliran ini dipakai oleh Mazhab
Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mu’tazilah.
atau Aristotales, itu tidak benar. Karena Dalil-dalil ini, biasanya dirumuskan
kebenaran Manthiq memiliki hubungan berdasarkan istiqra (penelitian) untuk
kausalitas yang jelas dan harus relasional mencari bentuk fiqh.
yang memungkinkan kontrol proposisi. Sebaliknya, jika mujtahid itu
Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh menyusun ushul-fiqh dulu, kemudian
ditekankan pada penafsiran logic yang memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh
kadang-kadang bercampur dengan intuisi, tadi, berati ushul fiqh ini disebut aliran
imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena itu, mutakallimin. Aliran ini berfikir deduktif,
melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al
lebih mampu memasuki sisi-sisi perso-alan al-mukallafin), kepada teori-teori ushul-
hukum yang berkaitan dengan perilaku fiqh tadi. Aliran ini dipakai antara lain oleh
umat (af’al al-mukallafin). Mazhab Syafi’iy, Mazhab Hanbali, Mazhab
Lebih dari itu, kebenaran ushul-fiqh Zhahiri, dan Mazhab Syi’ah Itsna
bukan hal yang dirancang ada, tetapi harus Asyariyah. Aliran ini tidak mau memakai
dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya ‘uruf, mashalih al-mursalah, dan istihsan,
bertugas menghimpun, mengorganisasi, karena semua dalil ini bisa bertentangan
mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil dengan qiyas ‘am. Aliran ini, tambahan
fiqhiyah untuk keperluan fiqih. dalil pokoknya adalah istish-hab, yaitu dalil
yang memandang persoalan hukum, selama
b. Ushul-fiqh aliran Rakyu dan aliran tidak ada dalil yang mengubah maka tetap
Mutakallimin berlaku sampai sekarang dan masa depan.
Penerapan ushul-fiqh sering Ushul fiqh model ini agak sempit dan
direpotkan ketika ushuliyun akan membuat seperti membatasi diri pada kondisi

334 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

lapangan tertentu, terutama jika kita pertumbuhan pemikiran, merupakan hal


melihat perkembangan kehidupan yang yang saling terkait. Dengan demikian
cepat berubah. Akibatnya, teori-teori ushul- bahasa dengan segala aturannya tumbuh
fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar dan berkembang seiring dengan
(al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al- pertumbuhan pemikiran manusia. Teori dua
Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi tokoh tadi mengembangkan aliran
ke belakang seperti istishhab, dan syara’ linguistik Abu Ali al-Farisi, yang kateristik
man qablana. Dengan kata lain, ada umumnya adalah (a) Bahasa pada dasarnya
kelemahan bagi aliran ini, yaitu kurang terbetuk secara system. (b) Bahasa
menghargai fenomena dan realitas. Berbeda merupakan fenomena social dan
dengan aliran rakyu yang menggunakan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi
dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke yang melekat pada bahasa tersebut. (c)
dalam rangka (a) Ushuliyun bisa mengolah Adanya kesesuaian antara bahasa dan
semua permasalahan yang muncul di pemikiran. Dari segi lain, ahli-ahli
tengah masyara-kat, dengan teori-teori linguistik mempelajari kamus Maqayis al-
ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun bisa Lughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-
berhubungan langsung secara akrab dengan embangakan teori gurunya, yaitu Sa’lab
masyarakat yang memakai mazhab tertentu yang membedakan antara kata benda
(c) Ushuliyun dapat menguraikan latar sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda
belakang secara penuh, sehingga uraian sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, dari
fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli teori semacam inilah muncul gagasan
dengan meninggalkan dalil juz’iy yang tentang emik dan etik untuk
sama-sama zhanni. mengembangkan ilmu sosial dan ilmu
budaya, dan sekarang dicoba untuk
2. Pendekatan Emik dan Etik
mengembangkan ushul-fiqh.
Ada dua cara pandang (pendekatan)
Secara epistemologis, pendekatan
yang saling bertolak belakang. Dua
etik dan emik memiliki implikasi yang
pendekatan ini disebut pendekatan emik
(fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). berbe-da. Jika ushuliyun berusaha
mengembangkan ushul-fiqh menurut
Awalnya, pendekatan ini muncul dari
mazhab universal dengan menggunakan
istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya
cara-cara yang ditentukan sebelumnya,
dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam
maka cara ini, oleh teori linguistik disebut
Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan
etik. Sebaliknya, jika pengembangan ushul-
oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Menurut
fiqh itu berdasar-kan mazhab regional
Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-
(mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka
Jurjani saling melengkapi untuk
berarti ushuliyun telah mengembangkan
membangun teori linguistik yang baru.
ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi
Penggabungan dua teori tersebut adalah (a)
ushuliyun bisa juga menggunakan salah
Penggabungan antara studi diakronik Al-
satu pendekatan, dan atau menggunakan
Jurjani dan singkronik Ibn Jinni merupakan
keduanya. Yang penting mereka
hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang
memperhatikan konsistensi pemanfaatan
mengatakan bahwa bahasa tidak terbentuk
keduanya, agar tidak terjadi campur aduk.
seketika, tetapi berproses, dan teori Al-
Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan
Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan

Epistemologi Ushul Fiqh … 335


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

masing-masing dan sekaligus memiliki fiqh regional. Dan jika dia menggunakan
kekuatan tertentu. sudut pandang beberapa mazhab, berarti dia
Menurut Marvin Harris, istilah etik menggunakan ushul-fiqh akurat apabila dia
dan emik akan berhubungan dengan mampu menangkap persamaan dan
masalah objektif dan subjektif. Etik bersifat perbedaan pendapat beberapa tokohnya,
sangat tertutup dalam hal makna, seperti selanjutnya dikategorikan dan dicari
prinsip objektif. Tetapi emik tidak bisa signifikasi teori secara penuh. Berarti
disejajarkan dengan subjektif saja tetapi pengambilan mazhab regional lebih
bisa juga disejajarkan dengan objektif dan memperhatikan teori yang lebih aspiratif.
subjektif sekali gus. Kalau teori ini Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh universal
diterapkan pada ushul-fiqh universal dan lebih tergantung pada kejelian ushuliyun itu
ushul-fiqh regional, maka bisa sendiri, dalam menampilkan suatu teori
berhubungan dengan objektif dan subjektif secara ilmiah.
dalam penerapan. Artinya, jika dalam Jika ushuliyun itu pengembangannya
ushul-fiqh tadi ushuliyun mengo-lah dalil memilih ushul-fiqh mazhab universal, pada
normative (tsk al-Qur’an dan teks al- akhirnya dia harus melakukan generalisasi.
Hadits), maka bisa menemukan objektif Pada saat itu dia harus melakukan beberapa
dan subjektif. Tetapi jika mereka mengolah hal. (a) dia harus mengelompokkan secara
dalil metodologis seperti istihsan maka dia sistematis seluruh pendapat atau teori
akan terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara ushul-fiqh yang ada, ke dalam system
objektif dan subjektif dan penyebutan tunggal. (b) dia menyediakan ukuran atau
ushul-fiqh regional dan universal, kriteria untuk klasifikasi setiap dalil yang
tergantung penggunaannya. menunjang teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia
Jelasnya, pendekatan etik dan emik mengorganisasikan teori yang telah
merupakan landasan norma pengembangan diklasifikasikan ke dalam type-type
penelitian yang berusaha memahami tertentu. (d) menganalisa, menemukan, dan
tingkah laku manusia. Tingkah laku menguraikan setiap teori (qaul) dan
tersebut penuh dengan makna, karena di argumentasinya ke dalam kerangka system
dalamnya terdapat aneka macam symbol yang telah dibuat, sebelum dia mempelajari
aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang ushul-fiqh.
mengambil istilah mazhab regional dan Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh
mazhab universal, meru-pakan landasan mazhab regional termasuk ushul-fiqh
pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang mazhabnya sendiri, merupakan esensi yang
berusaha memahami tingkah laku manusia shahih untuk fenomena fiqh pada suatu
(af’al al-mukallafin). Tingkah laku ini waktu tertentu. Pendekatan ini relevan
penuh dengan makna (penilaian), karena di sebagai usaha untuk mengungkap pola-pola
dalamnya terdapat berbagai aksi (akidah, fiqh menurut persepsi mazhabnya.
niat, ucapan, gerakan dan perbuatan). Pendekatan ini menegaskan bahwa
Pendekatan mazhab regional dan konsepnya muncul dari ushuliyun sendiri.
mazhab universal pada dasarnya merefer Berbeda dengan pengembangan ushul-fiqh
pada sudut pengembangan ushul fiqh itu universal, ushuliyun berdiri di luar
sendiri. Jika ushuliyun itu mendasarkan mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama
pengem-bangannya pada mazhabnya (regional) akan terkait dengan keseluruhan
sendiri, berarti dia mengembangkan ushul- teori mazhabnya, dan akan menekankan

336 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

pada kenisbian. Pendekatan ini lebih mengambil jarak, bisa terjadi bias.
natural dalam mereprosentasikan teori Sedangkan pengembang ushul-fiqh
ushul-fiqh dan sejalan dengan konsep universal, otoritas ushuliyun sangat
ushul-fiqh secara operasional. Sedangkan menentukan. Kemampuan mereka
ushul-fiqh universal ditekankan pada sikap membangun konsep yang akan diterapkan,
mutlak. Dari satu segi, pendekatan ini amat menentukan keberhasilan.
kurang natural, dan sejajar dengan teori
ushul-fiqh secara kognitif. 3. Pendekatan Positivistis dan Naturalistis
Jika kedua pendekatan itu Dulu, gagasan positivistic itu
diperbandingkan maka akan tergambar dicetuskan oleh Ibn Taymia. Tetapi karena
dalam karakte-ristik sebagai berikut. ia wafat dalam tahanan dan buku-bukunya
Pendekatan ushul-fiqh regional baru beredar setelah lima ratus tahun, maka
adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari gagasan semacam itu mandeg, kata
perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) Nurcholis Madjid. Setelah muncul falsafat
yang mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Agust Comte (1798-1875) dan tulisan Emil
Ushuliyun hanya mempelajari ushul-fiqh Durkheim (1858-1917) banyak ilmuan
dari mazhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al- yang mengambil falsafat ini sebagai
Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh pendekatan penelitian. Filsafat ini berfikir
beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur statistik dan biasanya menolak pemahaman
ushul-fiqh diten-tukan oleh kondisi dan metafisik dan teologis. Bahkan faham ini
situasi jama’ah yang mengamalkan sering manganggap bahwa pemahaman
fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat metafisik dan teologis terlalu primitif dan
relatif dan terbatas. kurang rasional. Begitu pula Ibn Taymia
Sedangkan ushul-fiqh universal mengembangkan pemikiran tekstualis,
adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari realistis, dan tidak menerima ta’wil. Ia juga
perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari tidak menerima berfikir teologis, terutama
luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun akan pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
mempelajari ushul-fiqh dari berbagai Dalam kitabnya, Al-Radd ‘alal
mazhab dan membandingkannya satu sama Manthiqiyin, Ibn Taymia menolak berfikir
lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh falsafati yang membuat konsep-konsep
ushuliyun itu sendiri dengan membangun yang abstrak dan subjektif. Dalam kitab itu,
konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat tulisan yang berfikir manthiqi seperti
mutlak, ada generalisasi dan berlaku konsep definisi, silogisme dan lain-lain
universal. ditolak, yang kadang-kadang dikuatkan
Dari karakteristik seperti itu, tampak dengan menampilkan dalil al-Qur’an.
bahwa ushuliyun regional akan menjadikan Terhadap pemikiran tasawwuf falsafi,
dirinya sebagai bagian utuh dari mazhab seperti pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-
itu. Ushuliyun ini ikut merasakan dan Busthami, dan Ibn Arabi, semua itu berfikir
bertindak sebagai partisipan penuh. subjektif dan khayalis, bahkan semua itu
Kehadiran ushuliyun seperti ini dinilai ‘kafir’. Dengan kata lain positifistik
menentukan ke-berhasilan. Tentu saja lebih berusaha ke arah mencari fakta atau
subjektivitas pun tetap sulit dihindarkan. sebab-sebab terjadinya fenomena secara
Apalagi ushuliyun tadi pendukung objektif, terlepas dari pandangan pribadi
mazhabnya. Jika dia tidak mampu yang bersifat subjektif.

Epistemologi Ushul Fiqh … 337


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Dalam pandangan Durkheim, dasar peng-amalan fiqh dalam masyarakat. (c)


pendekatan positivistic adalah logika mate- secara aksiologis, menghendaki agar
matis yang penuh teori logika deduktif. pengem-bangan ushul-fiqh bebas nilai.
Kevalidan karya positivisme dengan cara Artinya, ushuliyun dalam menyusun ushul-
mengandalkan fakta empiri. Generalisasi fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat
diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau ditampilkan prediksi meyakinkan yang
konsep semacam ini diterapkan pada berlaku bebas waktu dan tempat.
pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, Positivistik berbeda dengan
yaitu (a) teks al-Qur’an dan teks al-Hadits naturalistic yang cenderung mengungkap-
dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang kan peng-amalan fiqh di suatu tempat.
diluar teks adalah sebagai dunia yang Paham ini dipengaruhi oleh teknik berfikir
gelap. Maka untuk mengetahui yang gelap induktif un-tuk mermperoleh ushul-fiqh
itu, ilmuan harus masuk pada tingkat yang diambil dari pengamalan fiqh di
hakikat, yaitu makna empirik (tektualis), daerah itu. Demikian ini difahami melalui
bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagianya. analisis yang netral atau lingkungan
(b) teks tidak dipandang sebagai pusat, alamiah dalam mazhabnya. Dengan kata
tetapi sebagi satu titik dari deretan titik lain, ushul-fiqh yang dipelajari dengan
yang disebut kenyataan. Karena kedudukan pendekatan naturalistrik adalah ushul-fiqh
seperti ini, maka teks tidak harus yang berangkat dari realita komunitas
mengetahui hukum (yang gelap) yang mazhab fiqh yang diamalkan oleh
berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang masyarakat itu.
gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan Posisi ushuliyun yang mempelajari
diri dengan teks. fiqh dengan pendekatan ini seperti orang
Biasanya, positivistic lebih asing yang belum tahu gambaran ushul-fiqh
menekankan pembahasan singkat dan yang bisa dirumuskan dari daerah itu. Oleh
menolak pem-bahasan yang penuh karena itu, di samping dia mempelajari dan
deskripsi cerita, atau ta’wil, dalam istilah mengamati masyarakat, dia juga
Ibn Taymia. Karena itu, jika ushuliyun akan mengadakan pemetaan lokasi dan merekam
menggunakan positivistic, otomatis harus apa yang terjadi pada mazhab itu. Ada
membangun teori-teori atau konsep dasar, sebagian ilmuan yang mengatakan bahwa
kemudian disesuaikan dengan kondisi ushuliyun yang mempelajari norma-norma
mazhab yang meng-amalkan ushul-fiqh itu. ushul-fiqh di suatu daerah dengan
Ushuliyun lebih banyak berfikir induktif pendekatan ini sama seperti mengguanakan
agar menghasilkan sebuah verifikatif metoda fenomenologi.
sebuah bentuk ushul-fiqh yang ingin Selain menggunakan instrumen
dibangun. perilaku umat (af’al al-mukallafin),
Ciri-ciri positivistic dapat dilihat dari pendekatan naturalistic juga memiliki cirri,
tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontolo- antara lain (a) realitas umat dapat
gis, positivistic menghendaki bahwa dipisahkan dari konteksnya, dan tidak
perilaku manusia (af’al al-mukallafin) selamanya mereka berada dalam konteks
dapat di-pelajari secara independen, dapat itu. (b) penggunaan pengetahuan yang
dieliminasikan dari subjek lain, dan dapat tersembunyi seperti intuisi, itu bisa
dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu dibenarkan, karena interaksi manusia pun
upaya untuk mencari generalisasi terhadap sering demikian. (c) rancangan ushul-fiqh

338 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

yang dinegosiasikan adalah penting karena karena itu pengamalan mazhab Syafi’iy
konstruksi mazhab itu akan dikonstruksi atau mazhab Hanafi atau lainnya yang
oleh ushuliyun yang sedang mencari ushul- tersebar di bebe-rapa kawasan, hanya bisa
fiqh itu. (d) rumusan ushul-fiqh bersifat dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-
ideografis atau berlaku khusus bukan lepas. (b) hubungan antara ushuliyun
bersifat nomotetis atau mencari dengan pengikut mazhab di daerah itu
generalisasi. Karena interpretasi yang saling mempenga-ruhi, mungkin karena
berbeda akan lebih bermanfaat bagi realitas diskusi atau saling memberikan
yang berbeda pula, karena perbedaan komentar.(c) lebih mengarah kepada kasus-
konteksnya. (e) gambaran ushul-fiqh kasus fiqhiyah bukan untuk
bersifat tentatis, dan belum tentu bisa menggeneralisasi karangan atau materi
digeneralisasikan. untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyun akan
Dari cirri-ciri tersebut dapat kesulitan dalam membedakan sebab dan
dinyatakan bahwa penulisan ushul-fiqh akibat, karena situasi berlangsung secara
dengan pen-dekatan naturalistic adalah simultan, (e) inkuiri terkait nilai, bukan
lebih membumi. Ushul-fiqh model ini akan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di
mampu memecahkan perilaku umat yang atas.
dipelajari, dan bisa membantu keinginan Fenomenologi merupakan istilah
tokoh-tokoh yang menyajikan Mazhab generic yang merujuk kepada semua
Jogja, atau Fiqh Indonesia, dan sebagainya. pandangan ilmu social yang menganggap
bahwa kesadaran manusia dan makna
4. Pendekatan Fenomenologis subjektif sebagai fokus untuk memahami
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tindakan social. Dalam pandangan ushul-
bahwa positivisme memerlukan penyusu- fiqh, pandangan subjektif dari pengikut
nan teori. Sedangkan fenomenologi justru mazhab yang dikembangkan ushul-fiqhnya,
tidak menunggu-nunggu teori bahkan alergi sangat diperlukan. Subjektivitas akan
dengan teori. Pendekatan ini lebih menjadi shahih apabila ada proses
menekankan rasionalisme dan realitas intersubjektivitas antara ushuliyun dengan
peng-amalan fiqh di tengah masyarakat. pengikut mazhab yang dipelajari ushul-
Hal ini sejalan dengan penelitian etnografis fiqhnya itu.
yang menitik beratkan pada pilihan dan Dalam pengembangan ushul-fiqh,
pandangan pegangan mazhab setempat. pendekatan fenomenologi tidak
Realitas adalah lebih penting dan dominan dipengaruhi secara langsung oleh filsafat
dibanding teori dan rerata. fenomenologi, tetapi oleh perkembangan
Fenomenologi berusaha memahami dalam pende-finisian konsep fiqh atau
pengamalan mazhab liwat pandangan dan ushul-fiqhnya, termasuk pendefinisian
perilaku pengamal mazhab itu. Menurut tafsir al-Qur’an atau ilmu budaya lainnya.
faham fenomenologi, ilmu bukanlah bebas Dalam fenomenologi, objek ilmu tidak
nilai dari apa pun, tetapi memiliki terbatas pada yang empirik (sensual),
hubungan dengan nilai. Aksioma melainkan mencakup juga fenomena
fenomenologis adalah (a) kenyataan ada berikutnya yang terdiri dari persepsi,
dalam diri manusia, baik selaku individu pemikiran, kemauan, dan keyakinan si
atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau subjek yang menuntut pendekatan holistic,
ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh menundukkan objek pengembangan ushul-

Epistemologi Ushul Fiqh … 339


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

fiqh dalam suatu konstruksi ganda melihat Syafi’iy didukung oleh banyak komentator
objeknya dalam satu konteks netral, dan (ash-hab) terhadap ushul-fiqhnya, sehingga
bukan parsial. Karena itu dalam terjadi antara satu konsep dengan konsep
fenomenologi lebih menggunakan tata pikir lainnya berbeda. Maka ilmuan
logic dari pada sekedar linier kausal. fenomenologi ingin mengetahui praktek
Tujuan pengembangan ushul-fiqh dengan pengamalan fiqh, dikaitkan dengan pola
pendekatan fenomenologi adalah untuk kehidupan bermazhabnya.
membangun ilmu-ilmu agama, termasuk Penekanan ilmuan fenomenologi
ushul-fiqh itu sendiri. adalah pada aspek subjektif dari pengamal
Metoda kwalitatif fenomenologi, fiqh. Ushuliyun berusaha masuk ke dalam
berdasarkan pada empat kebenaran, yaitu dunia subjek yang dipelajarinya, sehingga
kebe-naran empirik sensual, kebenaran ushuliyun mengerti apa dan bagaimana satu
empirik logic, kebenaran empirik etik, dan konsep yang dikembangkan. Pengamal fiqh
kebenar-an empirik transenden. Atas dasar dipercayai memiliki kemampuan untuk
cara pencapaian kebenaran ini, menfsirkan pengamalannya melalui
fenomenologi menghendaki kesatuan interaksi. Ushuliyun fenomenologis tidak
antara ushuliyun dengan masyarakat menggarap data secara mentah. Dia cukup
pengamal mazhab. Keterlibatan ushuliyun pandai dengan cara memberikan “tekanan”
dengan umat yang dikembangkan ushul- pada pengamal fiqh untuk memberikan
fiqhnya itu menjadi salah satu cirri utama. makna pada tindakan fiqihnya, tanpa
Pendekatan fenomenologi berusaha mengabaikan realitas.
memahami arti pengamalan fiqh dan Demikian dapat difahami, karena
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang istilah fenomenologi itu berkaitan dengan
biasa dalam situasi tertentu. Ilmuan suatu persepsi, yaitu kesadaran.
fenomenologi tidak berasumsi bahwa Fenomenologi akan berupaya meng-
mereka mengetahui makna tindakan bagi gambarkan fenomena kesadaran dan
orang-orang yang sedang dipejalari. Oleh bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan
karena itu inkuiri dimulai dengan diam. adanya kesadaran ini, tidak mengherankan
Diam merupakan tindakan untuk jika ushuliyun dan pengamal fiqh memiliki
menangkap pengertian sesuatu yang kesadaran tertentu terhdap pengamalannya
dipelajari. Yang ditekankan adalah aspek masing-masing. Pengamalan yang di-
subjek (pengamal fiqh) dari perilakunya. pengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya
Mereka berusaha untuk masuk ke dunia akan memunculkan permasalahan baru dan
konseptual para subjek yang dipelajari di antaranya akan terkait dengan pola-pola
sedemikian rupa, sehingga mereka pengamalan fiqh itu tadi.
mengerti apa dan bagaimana suatu Perkembangan kesadaran yang
pengertian yang mereka kembangkan di diketahui oleh ushuliyun yang mengguna-
sekitar peristiwa dalam kehidupannya kan fenomenologi akan dihadapkan pada
sehari-hari. sejumlah permasalahan fiqh dan ushul-
Mulanya ilmuan tahu dari pengakuan fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan
masyarakatnya, bahwa mereka pengamal pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang
fiqh Syafi’iy, dari segi ibadah, mu’amalah, dihimpun oleh ushuliyun, karena perbedaan
mawarits, munakahat, dan sebagainya. minat di kalangan mereka terhadap perilaku
Tetapi ilmuan tahu juga bahwa mazhab al- suatu mazhab di daerah yang sama (b)

340 Epistemologi Ushul Fiqh …


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Masalah sifat data itu sendiri. Artinya membentuk dan dibentuk oleh lingkungan
seberapa jauh data tersebut dapat setempat dan atau oleh budaya keagamaan
diperbandingkan, atau seberapa jauh data setempat. (c) Arahan baru ushul-fiqh
tersebut benar-benar dapat melukiskan diarahkan pada fisik, karena subjektivitas
gejala yang sama dari pengamal mazhab adalah kehidupan fisik di dunia, bahkan
yang berbeda (c) Menyangkut masalah sikap simpati dan empati merupakan sifat
klasifikasi data yang di antara ushuliyun dasar kehidupan fisik pula. Karena itu,
masih berbeda kriterianya. pemahaman fenomenologi perlu
Melihat tiga hal tadi, studi mendasarkan fisik ini. Karena fisik
fenomenologi bisa dibantu dengan merupakan aspek primordial dari sebjek-
pendekatan etno-sains sebagai salah satu tivitas manusia sebagai makhluk social. (d)
alternatif. Pendekatan ini dipandang lebih Ushul-fiqh yang diarahkan pada histeo-
fenomenologis karena dengan menerapkan grafi, yaitu memandang fenomena dalam
model linguistik yang dikenal dengan kaitannya pada kehidupan dan sejarah.
pelukisan secara etik dan emik, pemaknaan Demikian pengembangan ushul-fiqh,
ushul fiqh menjadi lebih lengkap. Dengan sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan
cara ini pende-finisian ushul-fiqh pendekatan yang lain, seperti pendekatan
merupakan akumulasi dari system ide, praktek, dan pendekatan emansipatoris.
dalam istilah “makna” yang diberikan oleh Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan
pendukung mazhab pun turut yang sudah disajikan di atas, sudah
diperhitungkan. mencukupi untuk mengembangkan ushul-
Pendekatan fenomenologi, ada yang fiqh kita. Wallahu a’lam.
mengkritik lagi dan diarahkan pada penglo-
laan secara etnografis. Pendekatan ini Daftar Pustaka
mengkritik pandangan empirisisme radikal, Asymawi, Muhammad Sa’id al., Al-Islam
naturalisme, dan fenomenologi murni. al-Siyasiy, Kairo, 1992, Sina Li al-
Kalau pendekatan ini diterapkan pada Nasyr.
ushul-fiqh, maka (a) Persyaratan ‘illat Aziziy, A. Qadri, Pengembanagn Ilmu-ilmu
(alasan hukum) menurut Hanafiyah harus Keislaman, Jakarta, 2003, Dipertais,
berjangka luas, hingga memungkinkan Ditjen, Bagais, Depag RI.
untuk dijadikan dasar qiyas. Menurut Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh,
Syafi’iyah ‘illat jangkauannya terbatas, Jilid I, Jakarta, Edisi Pertama,2003,
karena hukum itu mengikuti ‘illat. Prenada Media.
Sedangkan menurut teori etnografis, bahwa Buwaithiy, Muhammad Said Ramadlan,
‘illat yang dirasakan oleh pengikut Mazhab Dlawabith al-Mashlahah Fi al-
Syafi’iy misalnya, belum tentu sejalan Syafiat al-
dengan konsep ‘illat yang dirumuskan oleh Islamiyah, Beirut, Cet. Ke 5, 1990
Ushulyun Syafi’iy yang menyusun ushul- M., 1410 H., Muassasah al-Risalah.
fiqhnya. (b) Mengembangkan ushul-fiqh Dikki al-Bab, Ja’far, Metoda Linguistik
fenomenologis yang memperhatikan ‘dunia Buku al-Kitab wa al-Qur’an, dalam
moral lokal’ terhadap masalah ekologi yang Al-Kitab Wa al-Qur’an,karya
mengkaji situasi dan lingkungan. Situasi Muhammad Syahrur, Terjemah
dan lingkungan adalah bagian dari hidup Sahiron, Yogyakarta, 2004 ELSAQ
manusia (af’al al-mukallafin) yang akan Press.

Epistemologi Ushul Fiqh … 341


AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

Endraswara, Suwardi, Metodologi Raziy, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar


Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, ibn Husain al., Al-Mahshul fi Ilm al-
2003 Gajah Mada Press. Usul Beirut tt. Dar al-Kutub al-
Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah Arabiyah.
(Islamologi I) Diterjemahkan oleh Sa’di, al-Iraqi, Abdulhakim abdurrahman,
Miftah Faqih, Yogyakarta, 2003, al., Mabahits al-Illat fi al-Qiyas ‘ind
LKiS al-Ushuliyyin, Beirut, Pect. Ke I,
Ibn Taymia, Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, 1982 M-1406 H., Dar al-Basyair al-
Beirut tt. Dar al-Fikr. Islaiyah.
Ibrahim Abu Sulaiman, Abdulwahhab, Al- Sarkhasi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi
Fikr al-Ushuliy, Cet. Ke I, Jeddah, Sahal, al., Al-Muharrar fi Ushul al-
1993, 1403 H., Dar al-Syuruq. Fiqh, Beirut, tt. Dar al-Kutub al-
Mahfuzh, Anas Saidi, Metodologi Arabiyah.
Penelitian, Hanya Untuk Kalangan Syalabi, Muhammad Musthafa, Ta’lil al-
Sendiri, tt. Ahkam, Beirut, 1981 M-1401 H., Dar
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian al-Nahdlah al-Arabiyah.
Kwalitatif, Bandung, Cet. Ke 20, Suryasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu
2006, Remaja Rosdakarya. Sebuah Pengantar Populer, Jakarta,
Musa, Muhammad Yusuf, Nizham al-Hukm 1984, Penerbit Sinar Harapan.
fi al-Islam, Kairo, 1963, Dar al-Kitab * Guru Besar pada Fakultas Syari’ah UIN Sunan
al-Arabiyah. Gunung Djati Bandung

342 Epistemologi Ushul Fiqh …

Anda mungkin juga menyukai