Anda di halaman 1dari 14

PERTEMUAN II

PEDDEKATAN DALAM PENGKAJIAN


ISLAM

I. PENDAHULUAN

Islam dapat diperkenalkan sebagai suatu al-


Din yang menuntut objek telaahan ilmu dan
sebagai pengamalan;

A. Islam sebagai objek telahaan ilmu


Sebagai suatu realitas, Islam merupakan objek studi
yang dapat dibedakan kepada Islam normativitas
dan Islam historisitas. Ada juga yang meklasifikasi
kepada Islam idealis dan Islam realistis. Dalam wujud
implementasi dapat dibedakan kepada Islam
substantivitas dan Islam formalitas.

Kajian normativitas disebut sebagai kajian


sumber ajaran, dan keseluruhannya tertuang
dalam bentuk bahasa (symbol) yang meliputi
wahyu tertulis (al-maktubah), yaitu al-Qur’an
dan wahyu tidak tertulis (ghair al-maktubah),
yaitu Hadis/ sunnah Nabi.
Sedangkan kajian historisitas, yaitu segala
sesuatu yang terdapat pada perjalanan
waktu yang merupakan wujud pengamalan
umat Islam, baik dalam bentuk diskursus
pemikiran (aqliyah) berupa pendapat-
pendapat yang terbakukan dan tidak
terbakukan, maupun dalam bentuk ekspresi
penghayatan (dzaugiyah).

Pola historisitas dimaksud dapat dijumpai


berupa karya-karya ilmiah (buku-buku,
makalah, kaliagrafi), simbol-simbol kehidu-
pan, pranata sosial, peralatan hidup, seni,
dan unsur-unsur budaya lainnya.

Masing-masing bagian yang disebutkan di


atas memiliki karakteristik sendiri dan harus
dipahami sesuai dengan sifatnya. Adalah
kekeliruan memahami atau menarik
kesimpulan sesuatu yang bersifat teologis
dengan pendekatan sufistik. Namun, harus
diperhatikan bahwa secara holistik bahwa
kesemuanya adalah satu unity (tauhid) yang
padu dan saling menyempurnakan.
Al-Ghazali menyebut: Ihya’ al-‘Ulum al-Din.
II. PENDEKATAN (APPROACH)
A. PENDEKATAN FILOSOFIS
Dalam kajian Islam berpikir filosofis
dapat digunakan dalam memahami agama,
dengan maksud agar hikmah, hakikat atau
inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan
dipahami secara saksama. Pendekatan
filosofis ini sebenarnya sudah banyak dilaku-
kan sebelumnya, diantaranya Muhammad al
Jurjawi menulis buku “Hikmah al- Tasyri’ wa
Falsafatuhu”. Dalam buku tersebut Al Jurjawi
berusaha mengungkapkan hikmah (nilai
filosofis) yang terdapat di balik ajaran-ajaran
agama Islam. Misalnya ajaran agama Islam
mengajarkan agar melaksanakan shalat
berjamaah dengan tujuan antara lain agar
seseorang dapat merasakan hikmahnya
hidup secara berdampingan dengan orang
lain.
Dengan menggunakan pendekatan
filosofis seseorang akan dapat memberi
makna terhadap sesuatu yang dijumpainya,
dan dapat pula menangkap hikmah dan
ajaran yang terkandung di dalamnya. Dengan
cara demikian ketika seseorang mengerjakan
suatu amal ibadah tidak akan merasa
kekeringan spiritual yang dapat menim-
bulkan kebosanan. Semakin mampu
menggali makna filosofis dari suatu ajaran
agama, maka semakin meningkat pula sikap,
penghayatan, dan daya spiritualitas yang
dimiliki seseorang.
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada
pengamalan agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan susah
payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang didapatkan dari
pengamalan agama hanyalah pengakuan
formalistik, misalnya sudah haji, sudah
menunaikan rukun Islam kelima dan berhenti
sampai disitu saja. Tidak dapat merasakan
nilai-nilai spiritual yang terkandung di
dalamnya. Namun demikian pendekatan
filosofis ini tidak berarti menafikan atau
menyepelekan bentuk pengamalan agama
yang bersifat formal. Filsafat mempelajari
segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan
bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah
yang bersifat eksoterik. Islam sebagai agama
yang banyak menyuruh penganutnya
mempergunakan akal pikiran sudah dapat
dipastikan sangat memerlukan pendekatan
filosofis dalam memahami ajaran agamanya.
B. PENDEKATAN NORMATIF
Pendekatan normatif adalah studi Islam
yang memandang masalah dari sudut legal-
formal atau normatifnya.[3] Legal-formal
adalah hukum yang ada hubungannya
dengan halal dan haram, boleh atau tidak
dan sejenisnya. Sementara normatif adalah
seluruh ajaran yang terkandung dalam nash.
Dengan demikian, pendekatan normatif
mempunyai cakupan yang sangat luas sebab
seluruh pendekatan yang digunakan oleh
ahli Ushul Fikih (ushuliyin), ahli hukum
Islam (fuqaha’), ahli tafsir (mufassirin) dan
ahli hadits (muhadditsin) ada hubungannya
dengan aspek legal-formal serta ajaran Islam
dari sumbernya termasuk pendekatan
normatif.
Sisi lain dari pendekatan normatif secara
umum ada dua teori yang dapat digunakan
bersama pendekatan normatif-teologis.Teori
yang pertama adalah hal-hal yang bertujuan
untuk mengetahui kebenaran serta dapat
dibuktikan secara empirik dan ekspe-
rimental. Teori yang kedua adalah hal-hal
yang sulit dibuktikan secara empirik dan
eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat
dibuktikan secara empirik biasanya disebut
masalah yang berhubungan dengan ra’yi
(penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak
berhubungan dengan empirik (ghaib)
biasanya diusahakan pembuktiannya dengan
mendahulukan kepercayaan. Hanya saja
cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa
saja yang masuk klasifikasi empirik dan
mana yang tidak, sehingga menyebabkan
perbedaan pendapat di kalangan para ahli.
Maka sikap yang perlu dilakukan dengan
pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Adapun beberapa teori populer yang
dapat digunakan dengan pendekatan
normatif disamping teori-teori yang digu-
nakan oleh para mutakallimin (teolog),
fuqaha’, ushuluyin, muhadditsin dan
mufassirin diantara adalah teori teologis-
filosofis yaitu pendekatan memahami Al
Qur’an dengan cara meng-interpretasikannya
secara logis-filosofi yakni mecari nilai-nilai
objektif dari subjektifitas Al Quran.
Teori lainnya adalah normatif-sosiologis
atau sosiologis seperti yang ditawarkan
Asghar Ali Engerineer dan Tahir al-Haddad
yakni dalam memahami nash (Al Qur’an dan
sunah Nabi Muhammad SAW.) selain itu ada
pemisahan antara nash normatif dengan
nash sosiologis. Nash normatif adalah nash
yang tidak tergantung pada konteks. Semen-
tara nash sosilogis adalah nash yang pema-
hamannya harus disesuaikan dengan kon-
teks waktu, tempat dan lainnya.

Dalam aplikasinya pendekatan nomatif


tekstualis tidak menemui kendala yang
berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi
Islam normatif yang bersifat qoth’i (mutlaq).
Persoalannya justru akan semakin rumit
ketika pendekatan ini dihadapkan pada
realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan
oleh komunitas tertentu secara luas. Contoh:
adanya ritual tertentu dalam komunitas
muslim yang sudah mentradisi secara turun
temurun, seperti kenduri (selamatan).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa
pendekatan normatif tekstualis dalam
memahami agama menggunakan cara
berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar
dan mutlak sehingga tidak perlu
dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai
dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat
dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan normatif tektualis sebagai-
mana disebutkan diatas telah menunjukan
adanya kekurangan seperti eksklusif
dogmatis yang berarti tidak mau mengakui
adanya paham golongan lain bahkan agama
lain dan sebagainya. Namun demikian
melalui pendekatan normatif tektualis ini
seseorang akan memiliki sikap militansi
dalam beragama sehingga berpegang teguh
kepada agama yang diyakininya sebagai
yang benar tanpa mempertimbangkan
agama/ pemahaman lainya.

C. PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah adalah suatu ilmu yang dida-
lamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek,
latar belakang dan pelaku dari peristiwa
tersebut. Menurut ilmu ini segala peristiwa
dapat dilacak dengan melihat kapan
peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya,
siapa yang terlibat dalam peristiwa terse-
but. Melalui pendekatan sejarah seorang
diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empiris dan mendunia. Dari
keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada
di alam empiris dan historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat
dibutuhkan dalam memahami agama, karena
agama itu sendiri turun dalam situasi yang
konkrit bahkan berkaitan dengan kondisi
sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama (Islam) menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari
Al-qur’an ia sampai pada satu kesimpulan
bahwa pada dasarnya kandungan Al-Qur’an
itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama, berisi konsep-konsep, dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan
perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep ini kita mendapati banyak sekali
istilah Al-Qur’an yang merujuk kepada
pengertian-pengertian normatif yang khusus,
doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya.
Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-
pernyataan itu mungkin diangkat dari
konsep-konsep yang telah dikenal oleh
masyarakat Arab pada waktu Al-Qur’an, atau
bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang
dibentuk untuk mendukung adanya konsep-
konsep religius yang ingin diperkenal-
kannya. Yang jelas istilah itu kemudian
diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-
Qur’an, dan dengan demikian, lalu menjadi
konsep-konsep yang otentik.
Dalam bagian pertama ini, kita mengenal
banyak sekali konsep baik yang bersifat
abstrak maupun konkret. Konsep tentang
Allah, malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar dan
sebagainya adalah termasuk yang abstrak.
Sedangkan konsep tentang fuqara’, masakin,
tijarah, termasuk yang konkret. Selanjutnya,
jika pada bagian yang berisi konsep, Al-
Qur’an bermaksud membentuk pemahaman
yang komprehensif mengenai nilai-nilai
Islam, maka pada bagian yang kedua yang
berisi kisah dan perumpamaan Al-Qur’an
ingin mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah.
Melalui pendekatan sejarah ini seseorang
diajak untuk memasuki keadaan yang
sebenarnya berkenaan dengan penerapan
suatu peristiwa. Dari sini maka seseorang
tidak akan memahami agama keluar dari
konteks historisnya. Seseorang yang ingin
memahami Al-Qur’an secara benar misalnya,
yang bersangkutan harus memahami sejarah
turunnya Al-Qur’an atau kejadian-kejadian
yang mengiringi turunnya Al-Qur’an yang
selanjutnya disebut dengan ilmu asbab al-
nuzul yang pada intinya berisi sejarah
turunnya ayat Al-Qur’an. Pada kajian Al-
Hadits, dikenal asbab al-wurud. Dengan ilmu
ini seseorang akan dapat mengetahui
hikmah yang terkandung dalam suatu ayat
yang berkenaan dengan hukum tertentu, dan
ditujukan untuk memelihara syari’at dari
kekeliruan memahaminya.
Melalui pendekatan sejarah seseorang
diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empiris dan mendunia. Dari
keadaan ini seseorang akan melihat adanya
kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada
di alam empiris dan historis. Menurut
perpektif sejarah, ada 2 macam penafsiran
terhadap aturan hukum dan perundang-
undangan, yaitu :
(1) Penafsiran menurut sejarah hukum,
(2) Penafsiran menurut sejarah penetapan
peraturan perundang-undangan. [4]
PENDEKATAN HISTORIS
Aspek yg harus ada dlm sejarah
1. Who
2. When
3. Where
4. What
5. Why
6. How 5W+1H
PERIODE SEJARAH ISLAM
1. Periode Klasik : 650-1250 M
a. Masa Kemajuan Islam I (650-1000 M)
-Masa ekspansi
-Masa integrasi
-Masa integrasi
-Masa keemasan
b. Masa Disintegrasi (1000-1250 M)
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
a. Masa Kemunduran I(1250-1500 M)
b. Masa Tiga Kerajaan Besar (1500-1800 M), yaitu
Kerajaan Usmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India.
(1) Fase Kemajuan (1500-1700 M)
(2) Fase Kemunduran (1700-1800 M)
3. Periode Modern (1800-Sekarang).
MASA KHULAFA AL-RASYIDIN
a. Abu Bakar (632-634 M): (1) Perang Riddah (2)
Pengiriman pasukan ke Irak/Al-Hirah [Khalid ibn al-
Walid], ke Suriah [Amr ibn al-Aas, Yazid ibn Abi
Sufyan, Syurahbiol ibn Hasanah];
b. Umar ibn Al-Khattab (634-644 M): (1) Ekspansi ke
Damaskus, Yarmuk (Bizantium), Mesir [Amr ibn Aas],
Irak [Sa’ad ibn Abi Al-Waqqas, Babilonia dan
Heliopolis. Dilanjutkan ke Al-Qadisyiah/ Al-Hirah,
Iraki, Madain (Ctesiphon), Kufah, dan Mosul.
Wilayah kekuasaan meliputi semenanjung Arab,
Palestin, Suria, Irak, Persia, dan Mesir. (2)
Membangun sistem pemerintahan;
c. Usman ibn Affan (644-656 M): (1) Melanjutkan
ekspansi ke Tripoli, Ciprus (2) Menyatukan bacaan
Mushhaf al-Qur’an. Kematiannya disebut sebagai al-
fitnah al kubra.
d. Ali ibn Abi Talib (656-661 M): Menghadapi
kekisruhan umat Islam. Wal timbulnya firqah dalam
Islam.

FAKTOR KEBERHASILAN EKSPANSI


1. Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang
lengkap mengenai kehidupan manusia di dunia
dan di akhirat;
2. Di kalangan sahabat tumbuh semangat jihad yang
kuat untuk mendakwahkan Islam, pada bagian
lain bahwa pada suku-suku Arab terdapat
kegemaran untuk berperang;
3. Kekuatan negara Bizantium dan Persia dalam
kondisi lemah akibat perang yang berkelanjutan
antara keduanya, dan konflik internal bersifat
agama (Bizantium antara aliran Monofisit dan
Nestor) dan perebutan kekuasaan (Perhatikan QS.
Al-Rum: 30/1-7);
4. Pemerintah Bizantium-Persia memaksakan faham
agama tertentu dan pembayaran pajak yang
tinggi, sehingga rakyat tidak simpati;
5. Kedatangan Islam tidak memaksakan masyarakat
memeluk Islam dan pembayaran jizyah yang
sesuai besarannya;
6. Bangsa Sami di Suria dan Palestina dan bangsa
Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih
dekat kepada mereka dari padaa bangsa Eropa
Bizantium yang memerintah mereka;
7. Daerah yang sudah dikuasai Islam adalah daerah
yang kaya (Mesir, Suria dan Irak) sehingga dapat
menjadi modal untuk melanjutkan ekspansi.

SEJARAH ISLAM DI SPANYOL


Perkembangan Islam di Spanyol dapat dibagi kepada 6 periode, yaitu
Periode I (711-7550) masa pemerintahan para wali yang diangkat oleh
khalifah Umaiyyah di Damaskus
Periode II 9755-912), berada di bawah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad,
pada masa itu dipimpin oleh Abdurrahman al-Dakhil.
Periode III (912-1013), masa Abdurrahman III (al-Nashir) sampai
munculnya Muluk al-Thawa’if
Periode IV (1013-1086), pecah menjadi negara-negara kecil
Periode V (1086-1248), Murabithun (1086-1143) dan Dinasti
Muwahhidun (1146-1235)
Periode VI (1248-1492), Ferdinand dan Isabella menyatukan kekuatan
Kristen dengan jalan perkawinan.

Anda mungkin juga menyukai