Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Kajian Pendekatan Normatif – Teologis Dalam Studi Islam

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah : Metodelogi Studi Islam

Dosen Pengampu :
Dian Sudarfi Hendri

Disusun Oleh :
Fitra Anwar : 12330114190
M. Akbar Maulana : 12330110357

PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 2 oktober 2023

Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGAN TAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I ..............................................................................................................................1
PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. LatarBelakang ...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 3
C. Tujuan......................................................................................................................... 3
BAB II...............................................................................................................................4
PEMBAHASAN ..............................................................................................................4
A. Pengertian Pendekatan Normatif teologis................................................................4
A. Karakteristik Pendekatan Normatif- Teologis ………........................................... 5
A. Signifikansi Pendekatan Normatif- Teologis ………………………………….......7
BAB III ...........................................................................................................................15
PEN UTUP .....................................................................................................................15
A. Kesimpulan................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pendekatan normatif-teologis dalam studi Islam mengacu pada analisis yang


didasarkan pada norma-norma dan teologi agama Islam. Ini melibatkan pemahaman
mendalam terhadap teks-teks suci Islam, hukum Islam (syariah), dan prinsip-prinsip
teologis untuk mengkaji doktrin, etika, dan norma sosial dalam Islam. Pendekatan ini
membantu mengartikan ajaran agama dan memberikan landasan teologis bagi
penelitian dan pemikiran Islam.
Sebagian di antara umat Islam menyakini jalan yang harus ditempuh untuk
mengembalikan kejayaan Islam adalah mengembalikan pengamalan-pengamalan
ajarannya seperti pada Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya dulu. Mereka
nampak memahami secara tekstual hadits yang menyatakan, "Sebaik-baik kamu
adalah generasiku, kemudian (generasi yang datang) sesudah mereka, lalu generasi
yang datang sesudah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim melalui jalur 'Imran ibn al-
Husain).
Terkait perbedaan sikap yang ditunjukkan kelompok-kelompok tersebut,
seorang filosof Mesir kontemporer, Zaki Najib Mahmud, dalam bukunya Hādzā al-
'Asrwa Thaqafatuhu, menyadari bahwa penyikapan terhadap tradisi dan modernitas,
bukan perkara yang mudah. Sebab kemajuan kontemporer adalah produk yang
dihasilkan oleh peradaban lain yang dipersilahkan masuk ke rumah umat Islam.
Zaki Najib Mahmud menganalogikannya dengan raksasa yang tiba-tiba telah berdiri
di depan rumah. Saat itu pemilik rumah tentu kebingungan tentang apa yang harus
dilakukannya; membuang jauh-jauh perabotan rumah agar raksasa bisa masuk ke
dalam rumah, ataukah mengatur ulang perabotan yang ada agar sang tamu bisa masuk
ke dalam rumah dengan leluasa, dan pada saat yang sama tidak ada perabotan rumah
penting yang dibuang atau diabaikan pemilik rumah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Normatif- teologis ?
2. Bagaimana Normatif – teologis

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui pengertian normatif- teologis
2. Untuk mengetahui karakteristik normati- teologis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendekatan Normatif- teologis

Pendekatan normatif ini dapat dikatakan juga sebagai pendekatan legal-


formal. Sebagaimana jamak diketahui bahwa pendekatan adalah cara pandang atau
paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam
memahami agama. Maksud legal-formal adalah hubungnya dengan halal-haram,
boleh atau tidak dan sejenisnya. Sementara normati adalah seluruh ajaran yang
terkandung dalam nash. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa
agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan
yang diungkapkan mempunyai nila kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya
Taufik.
Dengan demikian, pendekatan normati mempunyai cakupan yang sangat luas.
Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usu fikih (ushuliyyin), ahli
hukum islam (fugaha), ahli tafsir (mufassirin) dan ahli hadits (muhaddithin) ada
hubungannya dengan aspek legal-formal serta ajaran islam dari sumbernya termasuk
pendekatan normarmatif.1
Secara harfiyah, pendekatan normatif- tologis dalam memahami agama
(Islam) dapat crtikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud eipiris dari
suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang
lainya. Dengan memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa pendekatan teologi dalam
memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi perkotak-kotakan
umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlibat adanya kepedulian sosial.
Secara etimologi, teologi (theologi) berasal dari kata Yunani, yaitu theos,
artinya tuhan (god), dan logos, yang berarti pengetahuan." Jadi teologi berarti ilmu
tentang Tuhan atau ilmu Ketuhanan. Dalam ensyklopedia Everyman's, disebutkan
tentang Teologi sebagai pengetahuan tentang agama, yang karenanya membicarakan
tentang Tuhan dan manusia dalam pertaliannya dengan Tuhan.
Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang
menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama
yang paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain
itu keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis normatif dalam memahami

1
Toni Pransiska, Menekar Pendekatan Teologis- Normatif dalam Memahami Agama di Era Pluralitas
Agama di Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengabdian, Vol. 5, No. 1, 2017, 78-79.
agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu suatu keyakinan
bahwa wujud empiris dari keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya."2

B. Karakteristik Pendekatan Normatif- Teologis

Menurut Amin Abdullah, pendekatan normatif sangat dengan dengan aspek


teologi. Pendekatan normatif ini memiliki karakteristik yaitu kecenderungan untuk
mengutamakan loyalitas, komitmen dan dedikasi terhadap kelompok sendiri. Dalam
hal ini, berarti umat Islam memiliki penghayatan yang begitu kental kepada ajaran-
ajaran teologi yang diyakini kebenarannya, mengungkapkan perasaan dan pemikiran
dengan menggunakan bahasa yang bersifat subjektif yakni bahasa sebagai pelaku
bukan sebagai pengamat.
Islam normatif identik menggunakan pola pikir deduktif, yaitu berawal dari
meyakini dengan mutlak bahwa keyakinan yang dianutnya adalah yang paling benar
ajarannya karena berasal dari Tuhan. Bermula dari keyakinan, selanjutnya dilengkapi
dengan adanya nash serta dalil-dalil dan argumentasi.? Dengan begitu tidak perlu
adanya pertanyaan-pertanyaan lagi mengenai keraguanatau butuhnya validasi
terhadap kebenarannya.
Pendekatan normatif menjadikan seorang muslim memiliki sikap militan
dalam bergama, yakni berpegang teguh terhadap agama yang diyakini atas
kebenarannya. Seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang
dianutnya. Serta membuat agama yang dianut menjadi sederhana dan lebih mudah
diamalkan serta tidak menghilangkan kesakralan agama itu sendiri. Karakteristik
pendekatan normatif juga tercermin umat Islam berusaha melakukan proyek Arabisasi
dalam sebuah organisasi Islam di seluruh dunia. Dalam pandangan mereka,
pemahaman Islam otentik adalah Islam yang dicontohkan oleh para salafussholih dan
pemahaman yang tidak bercampur dengan warna dan budaya lokal.Dalam artian
banyak hal yang dipaksakan sesuai dengan nash al-qur'an atau hadis tanpa
mempertimbangkan jalan yang lebih mudah dan relevan untuk umat Islam.3

Adapun landasan pemikiran teologi normatif selama ini dalam pluralisme


beragama ialah berkaitanerat dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Kecenderungan untuk mengutamakan loyalitas kepada kelompok sendiri.
2. Adanya keterlibatan pribadi dan penghayatan yang begitu kental dan pekat kepada
ajaran-ajaran teologi yang diyakini kebenarannya.
3. Mengungkapkan perasaan dan pemikiran dengan menggunakan bahasa aktord an
bukannya bahasa pengamat.
Menyatunya tiga karakteristik tersebut dalam diri seseorang atau kelompok memberi
andil yang cukup besar untuk terciptanya komunitas teologis yang cenderung bersifat
eklusif, emosional, dan kaku. Karakteristik tersebut menjadikan manusia terbiasa

2
Siti Zulaiha, Pendekatan Metodologis dan Teologis Bagi Pengembangan dan Peningkatan Kualitas
Guru Mi, Jurnal Pendidikan Dasar, Vol. 1, No. 1, 2017, 52.
3
Parid Sidik, Pendekatan Normatif Sebagai Metodelogi Penelitian Hukum Islam, Jurnal Assyari.3848,
Vol. 5, No. 3, 2023, 114-115.
dalam pengkotak-kotakan. Berteologi semacam inilah yang dapat mengganggu
keharmonisan masyarakat agama-agama di era pluralistik dalam menumbuhkan
paham pluralisme. Dalam menanamkan paham pluralisme di dalam kehidupan
beragama, hal yang paling mendasar untuk dilakukan adalah bagaimana cara
menempatakan sebuah konsep teologi suatu agama untuk mendefinisikan dirinya di
tengah agama-agama lain. Berteologi dalam konteks keagamaan mempunyai tujuan
untuk memasuki dialog antar agama. Dengan demikian munculah pemaham
mendalam mengenai bagaimana Tuhan mempunyai jalan penyelamatan untuk umat
manusia yang beriman kepadanya.4

C. Signifikansi Pendekatan Normatif- Teologis

Setelah menjajaki kemungkinan menggunakan pendekatan sosiologi dalam


studi keislaman, pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah apa signifikansi
yang didapatkan Islamic studies dari pendekatan sosiologi. Pertanyaan ini penting
untuk ditindaklanjuti, sebab semua hal yang mungkin dilakukan tidak dengan
sendirinya menjadi penting pula untuk dilakukan.
Guna menakar signifikansi yang diberikan oleh sosiologi terhadap kajian
keislaman, penulis akan memulainya dari penjabaran sumber- sumber keilmuan.
Tujuan akhirnya agar terlihat objek-objek apa saja dalam ilmu pengetahuan yang akan
ter-cover oleh sosiologi.
Meski tetap masih menyisakan benang merah yang bisa ditarik, ada beberapa
perbedaan pendapat tentang sumber-sumber yang bisa dijadikan tempat bermulanya
pengetahuan. Jujun S. Suriasumantri, misalnya, menunjuk rasionalisme, empirisisme,
intuisi dan wahyu sebagai empat sumber pengetahuan.
Amsal Bakhtiar, dalam buku Filsafat Agama, merujuk empirisisme,
rasionalisme dan iluminasionisme sebagai tiga sumber asal-usul pengetahuan.
Sedangkan dalam bukunya yang terbit lebih belakangan, Filsafat Ilmu, Amsal
Bakhtiar menyebutkan rasionalisme, empirisisme, intuisi dan wahyu sebagaisumber-
sumber pengetahuan.
Di sisi lain, sedikit berbeda dari pendapat Jujun S. Suriasumantri Harold H.
Titus dkk. Menunjuk otoritas, empirisisme, rasionalisme dan intuisi sebagai empat
sumber pengetahuan.

a. Pengalaman Empiris
Penganut empirisme meyakini bahwa segala yang diketahui selalu bermula dari
segala yang dialami panca indera. Maka apa yang dilihat, didengar, disentuh, dibaui
dan dicecap, merupakan wilayah pengetahuan.
Empirisme memberikan penekanan sangat kuat pada kekuatan persepsi dan
observasi manusia, atau segala yang ditangkap panca indera dari lingkungan.
Singkatnya, pengetahuan didapat dengan membentuk gagasan-gagasan yang sejalan
dengan beragam fakta yang diobservasi.

4
Aulia Diana Dewi, IMPLEMENTASI PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM
PLURALISME BERAGAMA DI INDONESIA, Jurnal Studi Pendidikan Islam, Vol. 4, No. 1, 2021, 65-66.
Para pendukung empirisme beranggapan bahwa "kita mengetahui apa yang
ditemukan oleh panca indera kita". Dalam empirisme dinyatakan bahwa secara
esensial pengetahuan tidak lain dari sensasi dan, karena itu, tidak ada pengetahuan
yang tidak bersumber dari sensasi. David Hume, seperti dikutip Amsal Bakhtiar,
berpandangan bahwa manusia sebenarnya tidak pernah memiliki pengetahuan
bawaan. Sumber pengatahuan yang hakiki adalah pengamatan dan pengalaman
lahiriah maupun batiniahnya.5
b. Rasio
Berbeda dari empirisme, rasionalisme menempatkan akal sebagai sumber
pengetahuan. Rasionalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa "apa pun yang
kita ketahui sesungguhnya tidak lain dari apa yang kita pikirkan". Rasionalisme
beranggapan bahwa "pikiran memiliki kemampuan untuk menyingkap dan
menemukan kebenaran". Atau, dengan kata lain, "pengetahuan didapatkan dengan
cara membandingkan ide dengan ide lainnya”.
Dalam menegaskan kekuatan pikiran manusia dan kontribusinya dalam
pengembangan pengetahuan, kaum rasionalis menilai bahwa panca indera sebenarnya
tidak akan pernah mampu memberikan penilaian yang secara universal bisa dinilai
valid dan koheren. Sensasi- sensasi dan pengalaman-pengalaman yang kita dapatkan
lewat panca indera kita, menurut para pendukung rasionalisme, sejatinya tak lebih
dari "bahan baku mentah pengetahuan" (a raw material of knowledge).
Dengan kata lain, para penganut rasionalisme memang mengakui peran panca
indera dalam mengumpulkan data untuk menemukan jalan menuju pengetahuan.
Hanya saja, dalam pandangan mereka, untuk mencapai pengetahuan, tetap saja akal
yang menjadi sarana penghubung antar berbagai data tersebut.
c. Intuisi
Intuisi didefinisikan oleh Harorld H. Titus dkk. sebagai "pemahaman atas
pengetahuan secara langsung yang bukan berasal dari suatu penalaran sadar" ("the
direct apprehension of knowledge that is not the result of conscious reasoning").
Sedangkan Jujun S. Suriasumantri mendefinisikannya sebagai "pengetahuan yang
didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu".
Amsal Bakhtiar, di sisi lain, dengan memosisikan intuisi sebagai sinonim dari
istilah makrifah dalam tradisi tasawuf, menjelaskannya sebagai "pengetahuan yang
datang dari Tuhan melalui pencerahan dan penyinaran". Menurutnya, jika dalam
tradisi filsafat Barat intuisi bisa dicapai lewat upaya perenungan dan pemikiran yang
konsisten, maka makrifah diperoleh melalui proses perenungan yang mendapatkan
penyinaran atau iluminasi dari Tuhan.
d. Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang didasarkan pada kepercayaan atas hal-hal yang
bersifat supranatural. Wahyu tidak sekadar membicarakan persoalan-persoalan

5
Vicky Izza El Rahma, Signifikansi Pendekatan Sosiologis Terhadap Studi Keislaman, Jurnal
Pendidikan dan Pranata Islam, Vol. 10, No. 1, 40-41.
kekinian yang bisa dicapai panca indera tapi juga mencakup soal-soal transendental.
Wahyu disampaikan oleh Tuhan kepada manusia melalui para nabi-Nya.
e. Otoritas (Kesaksian)
Bagaimanakah kita bisa mengetahui bahwa Socrates dan Julius Caesar benar-
benar pernah hidup dan kita bisa sampai pada suatu keyakinan bahwa keduanya
bukanlah tokoh-tokoh fiktif hasil rekaan semata? Tokoh yang dipertanyakan tentu saja
bisa kita ganti dengan Gadjah Mada, Hayam Wuruk, atau Wali Songo, misalnya.
Untuk mendapatkan jawaban meyakinkan atas pertanyaan- pertanyaan sejenis ini,
menurut Harorld H. Titus dkk., jalannya adalah lewat kesaksian (testimony) orang-
orang yang hidup sezaman dengan tokoh-tokoh tersebut dan dari tuturan para
sejarawan. Bersandar kepada keaksian orang lain (otoritas) itulah, menurut Harorld H.
Titus dkk., jalan yang paling lumrah untuk mengetahui kebenaran dan mencapai
segala pengetahuan yang berkaitan dengan masa lalu.
Untuk mencapai pengetahuan tersebut, sama sekali tidak pernah bisa disandarkan
baik kepada intuisi, penalaran (rasionalisme) maupun pengalaman pribadi
(empirisme). Karena itu, dalam pandangan Harorld H. Titus dkk., selain tiga sumber
pengetahuan lainnya, otoritas atau kesaksian (authority, testimony) tak diragukan lagi
merupakan salah satu sumber lain bagi pengetahuan.6

6
Vicky Izza El Rahma, Signifikansi Pendekatan Sosiologis Terhadap Studi Keislaman, Jurnal
Pendidikan dan Pranata Islam, 43-44.
BAB III
PENUTUP
D. Kesimpulan
Pendekatan normatif-teologis dalam studi Islam mengedepankan interpretasi
norma-norma agama dan prinsip-teologis Islam dalam menganalisis isu-isu sosial,
budaya, dan moral, serta membimbing tindakan keagamaan dan etika umat Islam. Ini
membimbing keyakinan dan praktik umat Islam sesuai dengan ajaran agama.
Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan
peneliti itu sendiri. pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu
agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah
pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu. Sikap eksklusifisme
(ketertutupan) teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama
sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga
merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit
masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan
lebih kaya dengan nuansa.
Pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis. Pendekatan
normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang
pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran
manusia. Kehadiran teks-teks yang ditulis oleh intelektual atau 'ulama' kenamaan di
bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah pentingnya, terutama ketika ditemukan
justifikasi dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah ritual.
DAFTAR PUSTAKA

Toni Pransiska, Menekar Pendekatan Teologis- Normatif dalam Memahami Agama di Era
Pluralitas Agama di Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengabdian, 78-79.
Aulia Diana Dewi, IMPLEMENTASI PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM PLURALISME
BERAGAMA DI INDONESIA, Jurnal Studi Pendidikan Islam, 65-66.

Parid Sidik, Pendekatan Normatif Sebagai Metodelogi Penelitian Hukum Islam, Jurnal Assyari.3848,
114-115.
Aulia Diana Dewi, IMPLEMENTASI PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF DALAM
PLURALISME BERAGAMA DI INDONESIA, Jurnal Studi Pendidikan Islam, 65-66.
Vicky Izza El Rahma, Signifikansi Pendekatan Sosiologis Terhadap Studi Keislaman, Jurnal Pendidikan dan
Pranata Islam, 40-41.

Anda mungkin juga menyukai