Anda di halaman 1dari 18

PENDEKATAN DI DALAM MEMAHAMI

AGAMA I
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen : Dr. Wahyudi Widodo M.Pd.I.

Kelompok 10:
M. Sirojul Munir (237720303)
Muhammad Lutfi Anam (237720323)
Muhammad Fahmi Hidayatulloh (237720318)

Program Sarjana Manajemen Pendidikan Islam


Sekolah Tinggi Agama Islam Ma’had Aly Al-Hikam
Kota Malang
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, hidayah,
serta inayahNya kepada kita semua. Tak lupa sholawat serta salam kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Beserta para pengikut-
pengikutnya hingga akhir zaman.
Alhamdulillah atas berkat dan hidayahNya, kita bisa serta mampu untuk
menyelesaikan tugas makalah dengan tema : Pengantar Studi Islam. Tak lupa
ucapan terimakasih kepada Dosen Pengampu Bapak Dr. Wahyudi Widodo
M.Pd.I. atas arahan dan bimbingannya kepada kami selaku mahasiswa. Sehingga,
kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan sebagaimana mestinya.
Tak ada manusia yang luput dari kesalahan dan hanya Allah lah sang pemilik
kebenaran. Kami selaku mahasiswa penyusun makalah, memohon maaf apabila
terjadi kesalahan maupun kekurangan dalam proses pembuatan makalah dan kami
selaku mahasiswa memohon arahan serta bimbingan apabila terjadi kesalahan dan
kami akan dengan senang hati menerima kritik maupun saran yang diberikan oleh
Dosen Pengampu yang bersangkutan dan teman-teman MPI-1A. Semoga dengan
terselesaikannya dan penyampaian makalah ini, kita dapat mengetahui tentang
ilmu “Pendekatan di Dalam Memahami Agama I“ secara leluasa dan lebih
terperinci.

Malang, Oktober 2023

Penyusun

2
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN...............................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
PEMBAHASAN..................................................................................................5
A. Islam dan Sasaran Pendekatan Studi Agama................................................5
B. Pendekatan Teologis Normatif......................................................................7
C. Pendekatan Filologi.......................................................................................8
D. Pendekatan Hukum Islam...........................................................................10
E. Pendekatan Antropologis............................................................................15
PENUTUP..........................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara
aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambing kesalehan atau berhenti
sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologi
normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.

B. Rumusan Masalah
1. Islam dan sasaran pendekatan studi agama
2. Pendekatan teologi normatif
3. Pendekatan filologi
4. Pendekatan studi hukum
5. Pendekatan antropologis

C. Tujuan Masalah
1. untuk mengerti Islam dan sasaran studi agama
2. Memahami pendekatan teologi normatif
3. Memahami pendekatan filologi
4. Memahami pendekatan studi hukum
5. Memahami pendekatan antropologis

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam dan Sasaran Pendekatan Studi Agama


1. Islam Sebagai Sasaran Studi Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris doctrine yang berarti
ajaran.1 Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doctrinal yang
berarti yang dikenal dengan ajaran atau bersifat ajaran. Sedangkan studi
doctrinal berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang
sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Uraian ini berkenaan
dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini
berarti dalam studi doctrinal yang dimaksud adalah studi tentang ajaran
Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama adalah wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2 Berdasarkan pada definisi Islam,
maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dari kedua sumber itulah ajaran Islam
diambil. Namun meski kita mempunyai sumber, ternyata dalam realitasnya
ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan
ulama dalam memahami dua sumber ajaran tersebut. Keterlibatan tersebut
dalam bentuk Ijtihad.
Dengan Ijtihad maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang
ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang
diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang
berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua
sumber itu didapatkan dengan cara Ijtihad. Studi Islam dari sisi doktrinal
itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu tentang ajaran Islam baik yang ada

1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia,
1990) hal. 192.
2
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1998) hal.19.

5
di dalam Al-Qur’an maupun yang ada di dalam Al-Sunnah serta apa yang
menjadi penjelasan kedua sumber tersebut dengan melalui Ijtihad.
2. Islam Sebagai Sasaran Studi Sosial
Islam sebagai sasaran studi sosial ini dimaksudkan sebagai studi
tentang Islam sebagai gejala sosial. Hal ini menyangkut keadaan
masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.3 Dengan demikian
yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi
sosial adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi
fenomena Islam.
Menurut M. Atho Mudzhar agama sebagai gejala sosial pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama
mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat.
Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat.
Jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi sosial, maka harus mengikuti
paradigma positivisme yaitu dapat diambil gejalanya, dapat diukur, dan
dapat diverifikasi.
3. Islam Sebagai Sasaran Studi Budaya
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus
melalui dua model yaitu tekstual dan konstekstual. Tektual artinya
memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan
konstekstual berarti memahami Islam lewat realitas sosial yang berupa
perilaku masyarakat yang memerlukan agama bersangkutan.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara
penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia
sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat model-
model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami

3
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1999) hal. 39

6
dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.4

B. Pendekatan Teologis Normatif


Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud
empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya.
Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini
ada 4 prototip pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan
fundamentalis, modernis misiani dan tradisionalis. Keempat prototip
pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk
disatukan dengan begitu saja.
Pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan
yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik
bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga
memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan
seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan
demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan
seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dan aliran lainnya tidak
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan
(eksklusifisme). Sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika
archetype atau form keberagamaan (religiosity) manusia telah terpecah dan
termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu
“wadah” tersebut menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang dimilikinyalah

4
Parsudi Suparlan, Kebudayaan Dan Pembangunan Dalam Kapan Agama Dan
Masyarakat, (Jakarta : Balibang Agama Departemen Agama, 1991-1992) hal. 85

7
yang paling unggul dan paling benar. Yang disebutkan di atas dengan
mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, sudah
barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang
bersifat partikularistik, ekslusif dan sering kali intoleran.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi
dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis,
keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan
pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melaui mazhab-
mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan
antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi
sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun
masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Ketika tradisi agama secara
sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bias jadi spirit agama
yang paling “hanif” lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan
dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan
normatif, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang
pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran
pemikiran manusia. Kebnaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan
sedikitpun dan nampak bersikap ideal.

C. Pendekatan Filologi
Tampaknya penelitian agama memang tidak dapat dipisahkan dari
aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa. Sedangkan doktrin
agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. Sesungguhnya
pengertian bahasa sangat luas dan beragam seperti bahasa isyarat, bahasa
tanda, bahasa bunyi, bahkan bahasa manusia, bahasa binatang, dan bahasa
alam. Melalui bahasa manusia dan makhluk-makhluk lain dapat
berkomunikasi.
Pembahasan berikut mengenai bahasa yang dipersempit dan diartikan
sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau

8
memerintah. Dalam kehidupan sehari-hari kita bias merasakan perbedaan
antara bahasa iklan, bahasa politik, bahasa ilmu pengetahuan maupun bahasa
obrolan penuh persahabatan. Jika kita memahami sebuah wacana hanya dari
segi ucapan literalnya, maka kita bukannya disebut orang jujur dan lugu,
melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif sebagai makna sebuah
kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks. Istilah bahasa agama ini
menunjuk pada tiga macam bidang kajian dan wacana. Pertama, ungkapan-
ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan obyek pemikiran yang bersifat
metatis terutama tentang Tuhan.
Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur’an dan ketiga,
bahasa ritual keagamaan.
-Metode Tafsir
Pendekatan filologi terhadap Al-Qur’an adalah pendekatan atau
metode tasir. Metode tafsir merupakan metode tertua dalam pengkajian
agama. Sesuai dengan namanya, tafsir berarti penjelasan, pemahaman dan
perincian atas kitab suci, sehingga isi pesan kita suci dapat dipahami
sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.
Berkaitan dengan penelitian agama, tujuan tafsir adalah
menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan kitab suci pesan yang
terkandung di dalamnya baik berupa hukum, moral, spiritual, perintah
maupun larangan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dalam rangka
menjelaskan isi pesan kitab suci tafsir menggunakan berbagai pendekatan
sesuai dengan disiplin ilmu
a. Pendekatan sastra bahasa
b. Pendekatan filosofis
c. Pendekatan teologis
d. Pendekatan ilmiah
e. Pendekatan fikih atau hukum
f. Pendekatan tasawuf
g. Pendekatan sosiologis
h. Pendekatan kultur

9
D. Pendekatan Hukum Islam
Istilah “Hukum Islam” merupakan rangkaian kata yang popular dan
dipergunakan dalam bahasa Indonesia. Para ahli hukum Islam mendefiniikan
fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
operasional (amaliyah) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Sedangkan syari’at atau hukum syara’ adalah seperangkat urutan dasar tentang
tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung
oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasul-Nya yang mengatur tingkahlaku manusia
yang telah terbebani hukum (mukallaf).
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat
aturan dasar dan hukum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional,
sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk maksud ini,
diperlukan usaha optimal penggalian dan perumusan praktis yang disebut
ijtihad, yang dilakukan seorang pakar hukum yang dinamakan mujtahid.
1. Aspek Ibadah
Kata ibadah secara bahasa mempunyai arti merendahkan diri,
tunduk, taat dan mengikuti.sedangkan secara istilah ibahad berarti
ketundukan, ketaatan, kencintaan dan perasaan takut ysempurna ke hadirat
Allah SWT. Dengan demikian segala perilaku manusia yang didorong oleh
rasa tunduk, taat dan rendah diri kepada Allah disebut dengan ibadah.
a. Sholat
Secara etimologis, sahalat berarti do’a sebagaimana
difirmankan Allah SWT:
“Berdo’alah untuk mereka, karena sesungguhnya do’a
kalian itu menjadikan ketentraman bagi jiwa mereka.” (At-Taubah
: 103)
Adapun menurut syari’at, shalat berarti ekspresi dari
berbagai gerakan sebagaimana diketahui. Shalat merupakan
kewajiban yang ditetapkan melaui Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’.
Ketetapan dalam Al-Qur’an disebutkan melalui firman-Nya:

10
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah
Allah dengan menurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agam yang
lurus.” (Al-Bayyinah :5)

Di dalam sebuah Hadits ydiriwayatkan oleh Ibnu Umar


dinyatakan, bahwa Nabi SAW, pernah bersabda:
“Islam itu didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi
bahwa tiada illah yang berhak disembah melainkan Allah dan
Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menuanikan
zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah
haji di Baitullah bagi orang yang mampu” (HR. Multaqum ‘Alaih)

Dan yang menjadi Ijma’; para ulama telah bersepakat


mewajibkan shalat lima waktu dalam satu hari satu malam, yaitu
dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.

b. Puasa
Menurut bahasa, puasa berarti menahan. Sedangkan menurut
Syari’at, puasa berarti menahan diri secara khusus dan dalam waktu
tertentu serta dengan syarat-syarat tertentu pula. Menahan diri di sini
termasuk ibadah. Karena, harus menahan diri dari makan, minum dan
berhubungan badan sertaseluruh macam syahwat, dari sejak terbit fajar
sampai terbenamnya matahari.
Puasa dilihat dari hukumnya dapat dibagi menjadi 4:
1. Puasa wajib, yaitu ibadah puasa yang telah ditetapkan sebagai
kewajiban seorang muslim, jenis ibadah puasa ini ialah puasa di
bulan Ramadhan, puasa Kafarat (sebagai denda dan tebusan),
puasa Nadzar.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kalian” (Al-Baqarah : 183).

11
2. Puasa Sunnah, yaitu ibadah puasa yang pernah dilakukan atau
diperintahkan oleh Nabi.
3. Puasa Makruh, Ibadah puasa yang tidak pernah dilakukan Nabi
atau bahkan dibenci Nabi.
4. Puasa Haram, yaitu melaksanakan ibadah puasa disaat-saat yang
diharamkan. Waktu-waktu yang diharamkan berpuasa:

c. Zakat
Secara bahasa zakat berasal dari bahasa Arab “Zakat” yang
berarti tumbuh, berkembang, bertambah. Dalam Al-Qur’an kata
tersebut mengandung arti suci. Sedangkan menurut istilah hukum
Islam, zakat adalah sebutan harta tertentu yang wajib dikeluarkan
seorang muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu. Mengeluarkan zakat ini hukumnya wajib
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi, antara lain:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta
orang-orang yang ruh” (Al-Baqarah : 43)

d. Haji
Secara bahasa haji memiliki persamaan kata qasdhu yang
berarti tujuan. Sedangkan dalam istilah hukum Islam haji berarti
menuju Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan berbagai kegiatan.
Beribadah haji dijadkan rukun Islam ke lima yang wajib dilakukan
seumur hidup sekali bagi yang telah memenuhi syarat. Sebagaimana
firman Allah SWT:
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantaranya) maqam
Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah
dia: mengerakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah;
barang siapa mengikari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Ali
‘Imran : 108)

2. Aspek Muamalat

12
Dalam tinjauan bahasa “Mu’amalat” berasal dari kata “Amila”
yang berarti perbuatan atau melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan
dalam istilah ikih, mu’amalat dimaksudkan sebagai suatu ikatan yang
dilakukan manusia untuk saling mendapatkan keuntungan.
Al-Qur’an tidak memberikan rincian tentang tehnis melakukan
hubungan perbuatan manusia dengan manusia lainnya (mu’amalat) ini,
namun Al-Qur’an menawarkan prinsip-prinsip dasar yang harus
dipegangi seseorang dalam bermu’amalat.
a. Memenuhi ikatan dan transaksi yang telah disepakati
Dalam melakukan aktifitas bisnis, seseorang melakukannya dengan
penuh kejujuran dan saling menghormati hak orang lain. Makna ini
terkandung dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu,
dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Al-
Maidah: 1)

b. Melarang meraih keuntungan dengan cara bathil


Al-Qur’an memberikan indikasi kecenderungan pelaku bisnis
memperoleh keuntungan sepihak untuk dirinya sendiri tanpa
memperdulikan orang lain.
“Dan jangalah sebagian kamu memakan harta bathil dan
(jangalah) kamu membawa 9urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui” (Al-Baqarah : 188)

Reaksi ayat di atas memberi kesan bahwa harta benda adalah milik
semua manusia secara bersama dan Allah yang membaginya antara
mereka secara adil berdasarkan kebijaksanaan-Nya dan melalui
penetapan hukum dan etika, sehingga upaya perolehan dan
pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan kerusakan,
juga memberi kesan bahwa hak dan kebenaran harus berada

13
diantara mereka, sehingga tidak boleh keseluruhannya ditarik oleh
pihak pertama sehingga kesemuaannya menjadi miliknya, tidak
juga demikian bagi pihak kedua.

c. Mengharamkan Riba
Sebagai konsekuensi kejujuran dan keadilan dalam berbisnis, maka
Al-Qur’an mengharamkan riba. Yang dimaksud dengan riba adalah
memperoleh tambahan keberuntungan sepihak dengan tidak wajar.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan Syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat);
sesungguhnya jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya” (Al-Baqarah : 275)

3. Aspek Jinayat
Kata Jinayat merupakan kata dasar dari janaya yang berarti
kejahatan, kesalahan, dan dosa. Islam tidak membenarkan kejahatan di
muka bumi. Sehingga pelaku kejahatan harus diberikan hukuman
setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Namun ancaman bagi
pelaku kejahatan dalam Al-Qur’an kebanyakan bersifat ukhrawiy
(akhirat), hanya beberapa hal saja Allah SWT memberikan hukuman
pelaku kejahatan yang dilaksanakan di dunia.

4. Aspek Politik
Dalam wacana fiqih, politik diambil dari makna kata
“Siyasah”. Secara bahasa, kata tersebut mempunyai arti mengatur,
menguasai atau kekuasaan.

14
Islam tidak memberikan petunjuk yang jelas tentang teknis berpolitik,
namun Al-Qur’an maupun Hadits menunjukkan prinsip-prinsip dasar
yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup berpolitik
a. Bahwa kekuasaan merupakan kepercayaan dari Allah dan
masyarakatnya.
b. Prinsip berkeadilan dalam menentukan hak dan kewajiban
c. Berpedoman pada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
d. Bermusyawarah dan melibatkan partisipasi masyarakat yang
dipimpinnya.
Prinsip-prinsip di atas merupakan kandungan dari firman Allah dan
sabda Rasulullah, yaitu:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan manta kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lahi Maha
Melihat”. (Ali ‘Imron : 159)

E. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melaui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya
sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-
lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga
memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Karl Marx (1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium
atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk

15
memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori
pertentangan kelas.
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat
melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Akan selalu
menarik melihat fenomena negara agama seperti Vatikan dalam bandingannya
dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat
kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat
dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai
fenomena kehidupan manusia.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian
dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.

16
BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan yang telah tim penyusun uraikan bahwa


A. Islam dan Sasaran Studi Agama
1. Islam sebagai sasaran studi doctrinal
2. Islam sebagai sasaran studi sosial
3. Islam sebagai sasaran studi budaya
B. Pendekatan Teologi Normatif
Pendekatan teologi normatif dalam memahami agama secara hariyah
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan rangka
ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
daru suatu keagamaan dianggap suatu yang berat dibandingkan dengan agama
yang lain.
C. Pendekatan Filologi
Penelitian agama yang menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi
dalam tiga pendekatan
1. Metode tafsir
2. Pendekatan filologi terhadap As-Sunnah (Al-Hadits)
3. Pendekatan filologi terhadap Teks, Naska, dari Kitab-kitab Hermeneutika
D. Pendekatan Studi Hukum
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat
aturan dasar dan hukum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional
sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, Metodologi studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999.

IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2005.

Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


1998.

18

Anda mungkin juga menyukai