Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF


Diajukan untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Metode Studi Islam
Dosen Pengampu: H. Mugni Muhit. S.Ag, S.Pd, M.Ag.
NIDN : 2114097901

Disusun oleh kelompok :


Muhammad Fahmi Ibrohim
Lia Nurjanah

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM (MPI)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-MA’ARIF CIAMIS
2022M / 1444 H
Jl. Umar Sholeh Imbanagara Raya Ciamis 46219
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, yang mana
telah memberikan kita nikmat sehat, rahmat dan segala karunianya. Sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun dari beberapa
sumber dan untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Studi Islam.
Dengan ini penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Metode Studi Islam yang berjudul Pendekatan Teologis Normatis Penulis
juga ucapkan terimakasih pada pihak yang telah membantu dalam penulisan
sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dalam waktu yang telah ditentukan.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna mengingat keterbatasan ilmu, pengalaman, karena penulis masih dalam
taraf belajar. Untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan
untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat untuk saya khususnya dan
bagi seluruh pembaca umumnya.

Ciamis, September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................

DAFTAR ISI..........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN......................................................................

1. Latar belakang.............................................................................
2. Rumusan masalah........................................................................

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................

A. Pendekatan Teologis ..................................................................


B. Pendekatan Normatif ..................................................................
C. Pendekatan Teologis Normatif....................................................
D. Pendekatan Normatif-Teologis: Sebuah Alternatif.....................

BAB III PENUTUP...............................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA............................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di
dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak
boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar
disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konseptual menunjukkan cara-cara
yang paling efektif dalam memecahkan masalah. Namun apa yang terjadi di
lapangan sangatlah jauh berbeda dengan harapan dan idealitas yang datang dari
agama itu sendiri. Islam sebagai agama yang berisi tentang wahyu tuhan - masih
banyak dipahami oleh kebanyakan orang sebagai ajaran yang bersifat normatif-
teologis sehingga mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang final, ajeg dan
taken for granted.

Ciri fundamental budaya islam adalah ketergantungannya yang sangat kuat


terhadap nash atau text. Hampir seluruh kegiatan dan amalan sehari-hari, lebih-
lebih yang terkait dengan ibadah, baik yang menyangkut keyakinan (aqidah) atau
rukun iman maupun ritual (ibadah) atau rukun Islam yang dilakukan sehar-hari,
semuanya hampir berlandaskan pada nash atau teks. Tanpa landasan nash (ayat;
dalil), maka keimanan dan ibadahnya akan tertolak (Amin Abdullah, 2005).
Begitu yang biasa kita pelajari dan ketahui dari bangku sekolah atau forum-forum
majelis taklim. Praktik keberagamaan seperti digambarkan diatas, dapat dikatakan
sah dan boleh saja. Namun yang disayangkan adalah ia mengklaim bahwa
pemahaman keagamaan dan apa yang dipraktikan oleh orang lain atau kelompok
lain diluar dirinya itu adalah keliru, sesat, salah kaprah dan menganggap bahwa
apa yang dipahaminya sebagai sesuatu yang paling benar dan absah. Bahkan pada
tingkat yang paling ekstrem mereka saling kafir mengafirkan (tafkīr), mencap
pihak lain murtad, ahli bid’ah dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran
dan aliran lainnya tidak terbuka dialog dan saling menghargai. Yang ada hanyalah
ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan
terkotak-kotak. Hal ini terjadi ditengarai oleh adanya pemahaman agama yang
bersifat dogmatis, normatif, terpaku pada teks (nash), dan skriptualis. Sehingga
praktik beragama tampak kaku, ajek, stagnan dan jumud. Menipisnya kesadaran
historisitas pemikiran keislaman menyulitkan para pemikir muslim kapan pun dan
dimana pun mereka berada untuk berijtihad secara mandiri. Syarat-syarat ijtihad
terlalu rumit untuk diikuti, sehingga orang lebih suka diam dan tidak bersuara
daripada menyampaikan pendapat tetapi dianggap telah keluar dari patokan dan
koridor berpikir “baku” yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh generasi
ilmuwan keislaman terdahulu yang usianya sudah hampir seribu tahun yang lalu
(Stefan Wild, 1996). Oleh karena itu, ada banyak hal perlu dipertanyakan lebih
lanjut di sini mengenai pendekatan teologis-normatif sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama. Masih relevankah pendekatan Normatif-
teologis untuk menjembatani persoalan-persoalan keagamaan di Indonesia?
Seberapa besar urgensi dan signifikansi pendekatan normatif-teologis dapat
berkontribusi dalam menjaga harmonisasi dan kerukunan antar umat beragama?.
Seberapa besar pengaruh pendekatan teologis-normatif dala meredam ketegangan-
ketegangan (tension) dan konflik berwajah agama di republik ini? Oleh sebab itu,
point-point inilah yang menjadi fokus tulisan dan kajian penulis yakni pendekatan
normatif dalam memahami Agama di tengah-tengah era yang multi-religi, multi-
etnis, multi-disiplin, multikultural dan multi-dimensional.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pendekatan Teologi Normatif ?

2. Bagaimana Pendekatan Normatif-Teologis: Sebuah Alternatif ?


3. Bagaimana Pendekatan Teologis ?
4. Bagaimana Pendekatan Normatif?

C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui Pendekatan Teologi Normatif ?

2. Mengetahui Pendekatan Normatif-Teologis: Sebuah Alternatif ?


3. Mengetahui Pendekatan Teologis ?
4. Mengetahui Pendekatan Normatif?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Teologis
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu
agama.Sedangkan menurut Harun Nasution, teologi adalah ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-
beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam
agama yang dianutnya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-
keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang tidak mudah
diombang-ambing oleh peredaran zaman.

Pendekatan teologis dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan


sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan
yang bertolak dari satu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan lainnya. Sebagaimana
kita ketahui, tidak bisa tidak teologi pasti mengacu kepada agama tertentu.
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan
sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran
teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita
dapat menemukan teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu
seterusnya. Dan jika diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama
tertentu pun masih dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan.
Menurut informasi yang diberikan The Encyclopedia of American Religion, di
Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di antaranya adalah
sekte Davidian yang pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80
orang pengikut fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan
kekuasaan pemerintah Amerikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat
dijumpai teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
B. Pendekatan Normatif

Kata normatif berasal dari bahasa Inggris norm yang berarti norma, ajaran,
acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan.Dalam hubungan ini kata norma erat hubungannya
denganakhlak, yaitu perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa
yang bersih dan dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan
pula paksaan. Selanjutnya karena akhlak, merupakan inti dari agama, bahkan inti
ajaran al-Qur’an, maka norma sering diartikan pula agama. karena agama tersebut
berasal dari Allah, dan sesuatu yang berasal dari Allah pasti benar adanya, maka
norma tersebut juga diyakini pasti benar adanya, tidak boleh dilanggar, dan wajib
dilaksanakan.

Pendekatan normatif adalah pendekatan yang memandang agama dari segi


ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat
pemikiran manusia. Dalam pendekatan normatif ini agama dilihat sebagai suatu
kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang di ideal dan yang dibangun berdasarkan
dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
C. Pendekatan Teologis Normatif

Teologi, ilmu yang membahas tentang keyakinan adalah sesuatu yang


fundamental dalam agama. Kristen abad pertengahan menganggapnya sebagai
"The Queen of The Science”, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif,
dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran
teologis ini, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus
dimenangkan. Hal yang sama juga terjadi dalam Islam. Menurut al-Ghazali,
teologi (ilmu kalam) adalah "kunci" keselamatan. Siapa yang ingin selamat dan
diterima ibadahnya, ia harus mendalami ilmu ini. Sebagai suatu ilmu tentang
ketuhanan, teologi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam upaya
membentuk pola pikir yang nantinya akan berimplikasi pada perilaku
keberagamaan seseorang. Untuk membentuk suatu pola pikir, maka diperlukan
pendekatan-pendekatan teologis yang berfungsi sebagai suatu cara melahirkan
suatu pemikiran teologis yang baru, apakah pemikiran itu tradisional, liberal, atau
modern. Dari berbagai pendekatan-pendekatan teologis yang ada, pendekatan
teologis normatif merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya
memahami agama secara harfiah. Pendekatan normatif ini dapat diartikan sebagai
upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang
bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.

Hal tersebut memberikan dampak dan pengaruh yang besar terhadap perilaku
para pengikut teologi normatif ini.10Pemikiran teologi yang keras akan
mendorong pengikutnyamenjadi agresif, sementara teologi yang "kalem"
cenderung menggiring pengikutnya bersikap deterministik dan "pasrah".

Dalam Islam, kajian teologi terutama teologi Asy'ariah yang dianut


kebanyakan masyarakat muslim masih berkutat pada masalah ketuhanan dengan
segala sifat-Nya, Qadariyah (free will) dan Jabariah (predestination), apakah al-
Qur'an itu diciptakan dalam kurun waktu tertentu atau kekal bersama Tuhan,
apakah perbuatan Tuhan terkait dengan hukum kausalitas atau tidak.

Tegasnya kajian teologi Islam yang menggunakan pendekatan normatif masih


bersifat teosentris, atau menurut Amin Abdullah, masih didominasi oleh
pemikiran yang bersifat transendental-spekulatif yang kurang menyinggung
masalahmasalah insaniyaat (humaniora) yang meliputi kehidupan sosial, politik
dan lain sebagainya dan aspek sejarah (tarikhiyat).

Disamping itu, secara metodologis, kajian teologi yang menggunakan


pendekatan tersebut juga masih menggunkan logika Arstotelian yang bersifat
deduktif, dan setidaknya pemikiran yang digunakan masih diwarnai oleh gaya
pemikiran Yunani yang spekualtif. Kenyataan ini tidak hanya terjadi pada
Asy'ariyah, tetapi juga pada Mu'tazilah yang dianggap paling rasional, sehingga
serasional apapun pemikiran Mu'taziah, sesungguhnya ia masih bersifat deduktif
bayaniyah, artinya ia masih bersifat transmission, deskriptif dan bergantung pada
teks, al-Qur'an maupun al-Hadis.

Dari pemikiran teologi di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis


semacam ini dalam pemahaman keagamaan adalah menekankan pada bentuk
formal atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk formal atau
symbol-simbol keagamaan teologi teologi mengklaim dirinya yang paling benar,
sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik
bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan faham yang lain salah, sehingga
memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan lain
sebagainya.

Kondisi teologi yang seperti ini terus berlangsung dan berkembang sampai
sekarang, bahkan telah menjadi taken for granted, telah menjadi ortodoks dan
tidak bisa diganggu gugat. Atau menurut istilah Arkoun telah terjadi taqdis al-
fikr12, sehingga tidak ada lagi kritik ontologism, epistimologis maupun
aksiologis. Yang ada hanyalah pengulangan dan penjabaran (syarah) dan sistem
pendidikan Islam seperti pesantren, IAIN, STAIN atau perguruan tinggi Islam
lainnya, turut melestarikan model pemikirian ini.

Padahal, model dan kondisi pemikiran teologis seperti ini tidak memberikan
dampak yang kondusif bagi perkembangan pemikiran dan tindakan masyarakat,
tetapi justru sebaliknya. Pertama, akibat pemikiran yang teosentris, teologi Islam
menjadi ahistoris, tidak kontekstual dan tidak empiris. Ia hanya berbicara tentang
Tuhan dan apa yang dilangit, yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan
persoalan-persoalan real yang dihadapi oleh manusia, sehingga teologi Islam tidak
mampu memberikan jalan keluar bagi persoalan-persoalan kemanusiaan seperti
kemiskinan, keterbelakangan, perbedaan dan pertarungan antara etnis dan agama,
dampak lingkungan dan seterusnya.

Bersamaan dengan itu, teologi Islam yang menggunakan logika Aristoteles


yang bersifat clear-cut, hitam putih dan salah benar, hanya berbicara tentang
dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri (truth claim). Padahal kenyataan
empirik menunjukkan bahwa yang ada bukan hanya Islam, bukan hanya
Asy'ariyah, bukan hanya Mu'tazilah, NU, Muhammadiyah, tetapi beraneka ragam,
pluralitas keyakinan, pluralitas organisasi, budaya dan etnis. Sedemikian,
sehingga teologi ini justru melahirkan ketegangan-ketegangan, kecurigaan-
kecurigaan dan permusuhan dengan dalih "demi mencapai ridha Tuhan dan demi
menyebarkan kabar gembira yang bersumber dari Yang Maha Kuasa" atau
mengatas namakan agama.

Kedua, pemikiran muslim menjadi sulit membedakan antara aspek normatif


yang sakral dengan aspek yang hanya merupakan hasil pemikiran (ijtihad ulama)
yang bersifat relatif dan profane. Akibat adanya taqdis al-fiqri ad-dini, pemikiran
teologis telah menjadi sakral semua, sehingga begitu ada kritik dari luar, yang
muncul adalah reaksi emosional. Para pengikut pemikiran teologi ini menganggap
bahwa kritik-kritik teologi akan bisa melunturkan, setidaknya bisa mendorong
masyarakat keluar dari rel yang telah digariskan.
Selanjutnya kekhawatiran ini menimbulkan dan memupuk sifat curiga dan over
sensitive terhadap segala bentuk tindakan dan pemikiran pihak lain. Mestinya
perlu disadari bahwa yang baku, sakral, sesungguhnya hanyalah teks al-Qur'an
ditambah al-Hadis, selain itu tidak. Meskipun teologi bersumber dari al-Qur'an
dan al-Hadis, namun rumusannya tidak lain adalah hasil eksplorasi pemikiran
manusia bisa (ulama) yang kebenarannya bersifat relatif. Teologi bukan agama
dan terlebih teologi bukan Tuhan. Teologi tidak lain hanyalah hasil pemikiran
manusia yang terkondisikan oleh situasi dan kondisi di mana pemikiran teologi
dirumuskan, sehingga ia terbatas oleh ruang dan waktu tertentu.

D. Pendekatan Normatif-Teologis: Sebuah Alternatif

Pendekatan normatif ini dapat dikatakan juga sebagai pendekatan legal-formal


(Rosihon Anwar, Dkk, 2007). Sebagaimana jamak diketahui bahwa pendekatan
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama (Abuddin Nata, 2009). Maksud
legal-formal adalah hubungnya dengan halal-haram, boleh atau tidak dan
sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam
nash. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat
diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang
diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya
Taufik.Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat
luas. Sebab seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul fikih (ushūliyyīn),
ahli hukum islam (fuqāha), ahli tafsir (mufassirīn) dan ahli hadits (muhaddithīn)
ada hubungannya dengan aspek legal-formal sertaajaran islam dari sumbernya
termasuk pendekatan normatif (Khoiruddin Nasution, 2007: 153).

Ada juga yang menggunakan pendekatan juridis dan membedakannya dengan


normatif. Maksud pendekatan juridis adalah pendekatan yang menggunakan
ukuran perundang-undangan.

Pembedaan ini sah adanya, meskipun kedua istilah ini juga boleh digunakan
untuk menunjukkan maksud yang sama. Secara harfiyah, pendekatan
normatifteologis dalam memahami agama (Islam) dapat diartikan sebagai upaya
memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak
dari suatu keyakinan bahwa wujud empiris dari suatu keagamaan dianggap
sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan
memperhatikan uraian di atas, terlihat bahwa pendekatan teologi dalam
memahami agama cenderung bersikap tertutup, tidak ada dialog, parsial, saling
menyalahkan, saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi pengkotak-kotakan
umat, tidak ada kerja sama dan tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan
pendekatan demikian, agama cenderung hanya merupakan keyakinan dan
pembentuk sikap keras dan tampak asosial. Melalui pendekatan teologi ini agama
menjadi buta terhadap masalah-masalah sosial dan cenderung menjadi lambang
atau identitas yang tidak memilik makna. Jadi, Agama lebih-lebih teologi – tidak
lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dan Tuhan-
Nya – tetapi secara tidak terelakkan juga melibatkan kesadaran berkelompok
(sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan
kebutuhan untuk membentuk kepribadianyang kuat dan ketenangan jiwa
(psikologis) bahkan ajaran agama tentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan
ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup (way of life) yang memberi
dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup optimal
(Amin Abdullah, 2002: 10). Dalam hubungannya dengan nilainilai etika yang
fundamental, agama juga dapat didekati secara filosofis. Belum lagi jika dilihat
dalam kaitannya dengan fungsi keprofetisan agama yang lebih menekankan
pandangan kritis terhadap situasi lingkungan sekitar. Di situ tampak, bahwa
fenomena “agama” memang perlu didekati secara multi-dimensional approaches
(pendekatan multidimensi).Asumsi Dasar Terhadap Islam
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah Islam mencatat bahwa perkembangan teologi Islam di dunia Islam
dibagi ke dalam tiga periode atau zaman, yaitu zaman klasik (650-1250 M),
zaman pertengahan (1250- 1800 M) dan zaman modern (1800 dan seterusnya).
Teologi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam upaya membentuk pola
pikir yang nantinya akan berimplikasi pada perilaku keberagamaan seseorang.
Pendekatan teologis normatif adalah upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya. Pendekatan teologis normatif menekankan
pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan yang masingmasing bentuk
formal atau simbol-simbol keagamaan teologi mengklaim dirinya yang paling
benar, sedangkan yang lainnya salah. Dampak dari pendekatan teologis normatif
teologi lahirnya corak pemikiran yang teosentris, teologi Islam menjadi ahistoris,
tidak kontekstual dan tidak empiris dan hanya berbicara tentang dirinya sendiri
dan tentang kebenarannya sendiri (truth claim). Disamping itu sulitnya
membedakan antara aspek normatif yang sakral dengan aspek yang hanya
merupakan hasil pemikiran (ijtihad ulama) yang bersifat relatif dan profane.
Akibat pemikiran teologis yang ada telah menjadi sakral semua. Sebagai upaya
untuk rekonstruksi pemikiran teologi, maka diperlukan pendekatan
antrophosentris. Pendekatan teologis antrophosentris tentu saja tidak bermaksud
mengubah doktrin sentral tentang ketuhanan, tentang keesaaan Tuhan, melainkan
suatu upaya untuk reorientasi pemahaman keagamaan, baik secara individual
maupun kolektif dalam menyikapi kenyataan kenyataan empiris menurut
perspektif ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA

Pransiska,T., (2017) Menakar pendekatan teologis-normatif dalam memahami


agama di era pluralitas agama di indonesia.Hal.78-8.

Nur Mufidah.L., (2017)Pendekatan teologis dalam kajian islam.Hal.156

Dr.H.M Rozali, MA., (2020) Metode studi islam dalam perspectives


multydisisplin keilmuan. Hal.81

Dr. Faisal Anada Arfa, M.A.,(2015) Metode studi islam jalan tengah memahami
islam

Prof. Dr. Supiana, M.Ag., (2017) Metode studi islam

Anda mungkin juga menyukai