Anda di halaman 1dari 11

MENAKAR PENDEKATAN TEOLOGIS-NORMATIF

DALAM MEMAHAMI AGAMA DI ERA


PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA

Toni Pransiska
(STIT Muhammadiyah Pacitan, e-mail: tonyelnoory@ymail.com)

Abstrak
Artikel ini mengulas tentang salah satu pendekatan atau metodologi dalam studi islam (approaches of islamic
studies) yaitu pendekatan teologis-normatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan ini juga berkontribusi
dalam memahami agama yang bersifat doktrin, nash dan dogma. Namun, disisi lain, pendekatan ini juga
mendapat kritikan dari berbagai pihak khusunya para pemikir muslim kontemporer. Pendekatan semacam
ini menimbulkan pola dan tata pikir deduktif tekstualistik-skriptualistik. Hingga akhirnya, berimplikasi pada
pola pemikiran dan pemahaman keagamaan islam yang bersifat absolutly absolute yang mudah terjebak pada
proses sakralisasi pemikiran keagamaan (taqdīs al-afkār al-dīniyah). Nah, Pola pikir semacam ini (mode of
thought) akan berimplikasi pada perilaku dan praktik keberagamaan (mode of conduct) yang bersifat kaku,
rigid, stagnan, ekslusif, dan jumud. Hingga pada tataran yang ekstrem, antar pemeluk agama saling kafir-
mengafirkan, terjadi ketegangan (tension), konflik dan kekerasan (violence). Oleh karena itu, diperlukan
pendekatan yang akomodatif, fleksibel dan memperhatikan aspek historisitas pemikiran keagamaan serta
mampu merawat dan menjaga harmonisasi dan kerukunan antar umat beragama di tengah arus globalisasi
dan era pluralitas agama di republik ini.
Kata Kunci: Pendekatan, Teologis-Normatif, Historisitas, Studi Islam.

PENDAHULUAN menganggapnya sebagai sesuatu yang final, ajeg


dan taken for granted.
Dewasa ini kehadiran agama semakin
Ciri fundamental budaya islam adalah
dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
ketergantungannya yang sangat kuat terhadap nash
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
atau text. Hampir seluruh kegiatan dan amalan
umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar
sehari-hari, lebih-lebih yang terkait dengan ibadah,
menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar
baik yang menyangkut keyakinan (aqidah) atau
disampaikan dalam khutbah, melainkan secara
rukun iman maupun ritual (ibadah) atau rukun
konseptual menunjukkan cara-cara yang paling
Islam yang dilakukan sehar-hari, semuanya hampir
efektif dalam memecahkan masalah.
berlandaskan pada nash atau teks. Tanpa landasan
Namun apa yang terjadi di lapangan sangatlah
nash (ayat; dalil), maka keimanan dan ibadahnya
jauh berbeda dengan harapan dan idealitas yang
akan tertolak (Amin Abdullah, 2005). Begitu yang
datang dari agama itu sendiri. Islam sebagai agama
biasa kita pelajari dan ketahui dari bangku sekolah
yang berisi tentang wahyu tuhan - masih banyak
atau forum-forum majelis taklim.
dipahami oleh kebanyakan orang sebagai ajaran
Praktik keberagamaan seperti digambarkan
yang bersifat normatif-teologis sehingga mereka
diatas, dapat dikatakan sah dan boleh saja. Namun
yang disayangkan adalah ia mengklaim bahwa pendekatan normatif-teologis dapat berkontribusi
pemahaman keagamaan dan apa yang dipraktikan dalam menjaga harmonisasi dan kerukunan
oleh orang lain atau kelompok lain diluar antar umat beragama?. Seberapa besar pengaruh
dirinya itu adalah keliru, sesat, salah kaprah dan pendekatan teologis-normatif dala meredam
menganggap bahwa apa yang dipahaminya sebagai ketegangan-ketegangan (tension) dan konflik
sesuatu yang paling benar dan absah. Bahkan pada berwajah agama di republik ini? Oleh sebab itu,
tingkat yang paling ekstrem mereka saling kafir point-point inilah yang menjadi fokus tulisan dan
mengafirkan (tafkīr), mencap pihak lain murtad, kajian penulis yakni pendekatan normatif dalam
ahli bid’ah dan seterusnya. Dengan demikian, memahami Agama di tengah-tengah era yang
antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka multi-religi, multi-etnis, multi-disiplin, multi-
dialog dan saling menghargai. Yang ada hanyalah kultural dan multi-dimensional.
ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi
adalah pemisahan dan terkotak-kotak. Hal ini PEMBAHASAN
terjadi ditengarai oleh adanya pemahaman agama
Pendekatan Normatif-Teologis: Sebuah Alternatif
yang bersifat dogmatis, normatif, terpaku pada
teks (nash), dan skriptualis. Sehingga praktik Pendekatan normatif ini dapat dikatakan juga
beragama tampak kaku, ajek, stagnan dan jumud. sebagai pendekatan legal-formal (Rosihon Anwar,
Dkk, 2007). Sebagaimana jamak diketahui bahwa
Menipisnya kesadaran historisitas pemikiran
pendekatan adalah cara pandang atau paradigma
keislaman menyulitkan para pemikir muslim
yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang
kapan pun dan dimana pun mereka berada
selanjutnya digunakan dalam memahami agama
untuk berijtihad secara mandiri. Syarat-syarat
(Abuddin Nata, 2009). Maksud legal-formal
ijtihad terlalu rumit untuk diikuti, sehingga orang
adalah hubungnya dengan halal-haram, boleh
lebih suka diam dan tidak bersuara daripada
atau tidak dan sejenisnya. Sementara normatif
menyampaikan pendapat tetapi dianggap telah
adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam
keluar dari patokan dan koridor berpikir “baku”
nash. Dalam hubungan ini, Jalaluddin Rakhmat
yang telah dirumuskan dan ditentukan oleh
mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan
generasi ilmuwan keislaman terdahulu yang
menggunakan berbagai paradigma. Realitas
usianya sudah hampir seribu tahun yang lalu
keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai
(Stefan Wild, 1996).
kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya
Oleh karena itu, ada banyak hal perlu
Taufik.
dipertanyakan lebih lanjut di sini mengenai
Dengan demikian, pendekatan normatif
pendekatan teologis-normatif sebagai salah satu
mempunyai cakupan yang sangat luas. Sebab
pendekatan dalam memahami agama. Masih
seluruh pendekatan yang digunakan oleh ahli usul
relevankah pendekatan Normatif-teologis untuk
fikih (ushūliyyīn), ahli hukum islam (fuqāha), ahli
menjembatani persoalan-persoalan keagamaan di
tafsir (mufassirīn) dan ahli hadits (muhaddithīn)
Indonesia? Seberapa besar urgensi dan signifikansi
ada hubungannya dengan aspek legal-formal serta

78 Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2017


ajaran islam dari sumbernya termasuk pendekatan yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis)
normatif (Khoiruddin Nasution, 2007: 153). bahkan ajaran agama tentu dapat diteliti sejauh
Ada juga yang menggunakan pendekatan juridis mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak
dan membedakannya dengan normatif. Maksud pandangan hidup (way of life) yang memberi
pendekatan juridis adalah pendekatan yang dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat
menggunakan ukuran perundang-undangan. kesejahteraan hidup optimal (Amin Abdullah,
Pembedaan ini sah adanya, meskipun kedua istilah 2002: 10). Dalam hubungannya dengan nilai-
ini juga boleh digunakan untuk menunjukkan nilai etika yang fundamental, agama juga dapat
maksud yang sama. didekati secara filosofis. Belum lagi jika dilihat
Secara harfiyah, pendekatan normatif- dalam kaitannya dengan fungsi keprofetisan
teologis dalam memahami agama (Islam) dapat agama yang lebih menekankan pandangan
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan kritis terhadap situasi lingkungan sekitar. Di
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang situ tampak, bahwa fenomena “agama” memang
bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud perlu didekati secara multi-dimensional approaches
empiris dari suatu keagamaan dianggap sebagai (pendekatan multidimensi).
yang paling benar dibandingkan dengan yang Asumsi Dasar Terhadap Islam
lainnya. Dengan memperhatikan uraian di
Dalam kaitannya dengan pendekatan
atas, terlihat bahwa pendekatan teologi dalam
normatif dalam studi islam, menjadi penting
memahami agama cenderung bersikap tertutup,
diketengahkan disini mengenai asumsi dasar
tidak ada dialog, parsial, saling menyalahkan,
tantang islam itu sendiri bila didekati dengan
saling mengkafirkan, yang pada akhirnya terjadi
pendekatan normatif-teologis. Hal ini perlu
pengkotak-kotakan umat, tidak ada kerja sama dan
dilakukan agar memperjelas tipologi islam yang
tidak terlihat adanya kepedulian sosial. Dengan
akan dikaji dan dipahami dengan pendekatan
pendekatan demikian, agama cenderung hanya
normatif-teologis tersebut. Adapun asumsi dasar
merupakan keyakinan dan pembentuk sikap keras
tersebut sebagai berikut;
dan tampak asosial. Melalui pendekatan teologi
Pertama, Islam sebagai Wahyu
ini agama menjadi buta terhadap masalah-masalah
sosial dan cenderung menjadi lambang atau Sebagai wahyu, Islam dapat didefinisikan
identitas yang tidak memilik makna. secara sederhana sebagai berikut;

Jadi, Agama lebih-lebih teologi – tidak lagi


‫م ﻟﺴﻌﺎدة‬.‫وﺣﻲ إﳍﻲ ﻳﻮﺣﻰ إﱃ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﳏﻤﺪ ص‬
terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan
antara manusia dan Tuhan-Nya – tetapi secara ‫اﻟﺪﻧﻴﺎ واﻷﺧﺮة‬
tidak terelakkan juga melibatkan kesadaran Wahyu Ilahi yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad SAW untuk kebahagiaan kehidupan
berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian dunia dan akhirat.
asal-usul agama (antropologis), pemenuhan
Jadi, inti islam adalah wahyu yang diturunkan
kebutuhan untuk membentuk kepribadian
kepada Nabi Muhammad Saw. Kita percaya

Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama... 79


bahwa wahyu itu terdiri atas dua macam; wahyu dan tata pikir deduktif tekstualistik-skriptualistik.
yang berbentuk al-Qur’an dan wahyu yang Model atau pola pikir semacam ini membuat
berbentuk hadist, Sunnah nabi Muhammad Saw seseorang atau kelompok tertentu kurang tajam
(Atho Mudzhar, 1998: 19). Pada dataran ini, dalam melihat dan mencermati fenomena alam,
Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang budaya dan social kemasyarakatan yang selalu
ada dalam al-Qur’an dan Sunnah yang dianggap berubah dan berkembang sedemikian dahsyatnya
sebagai sumber yang otentik, sakral dan obsolut. (Amin Abdullah, 2010: 166).
Oleh karena islam dipahami sebagai sesuatu Hal inilah yang oleh Amin Abdullah
yang sakral, bersifat absolut, maka yang datang diistilahkan dengan al-Nushūs mutanāhiyah
kemudian sebagai pemikiran, interpretasi dan wa al-waqā’I ghair mutanāhiyah (nash-nash
pemahaman keagamaan pun juga diaggap sebagai keagamaan itu sifatntya terbatas, sedang peristiwa
yang sakral, kebal kritik, ajek dan absolut pula. alam, budaya, dan sosial tidaklah terbatas).
Nah, inilah yang diistilahkan oleh Arkoun sebagai Kesadaran akan adanya dimensi historisitas
proses sakralisasi pemikiran atau pemahaman sebuah konsep, ide dan gagasan (history of idea),
keagamaan (taqdīs al-afkār al-dīniyah). apalagi jika gagasan, ide dan konsep tersebut telah
Kedua, Islam Sebagai Doktrin mengkristal dan disakralkan menjadi doktrin,
Islam sebagai doktrin adalah islam yang berisi dogma atau aqidah, sulit dipahami oleh pemikiran
tentang ajaran-ajaran yang mampu membawa keagamaan pada umumnya dan pemikiran Islam
manusia pada keselamatan, kesejahteraan, dan pada kususnya (Hasan Hanafi, t.th: 393).
kemakmuran dunia dan akhirat, lahir dan batin Ketiga, Islam Sebagai Way of Life
selama berpegang teguh pada pokok-pokok Dalam perkembangannya, kata tersebut
ajaran islam (Suparman Syukur, 2015: 38). Islam memiliki arti pandangan hidup. Islam sebagai
merupakan agama yang sangat multidimensi, way of life sangatlah detail dan komprehensif.
universal yang dapat dikaji dari berbagai aspek Syariah islam mengatur kehidupan manusia dari
baik dari tinjuan budaya, sosial maupun dari buaian sampai ke liang lahat, dengan menjabarkan
aspek dosktrin keimanan sekalipun. Islam sebagai bagaimana seharusnya dan sebenarnya manusia
doktrin dapat dikatakan sebagai wahyu. Oleh hidup. Syari’ah islam tidak hanya mengatur
karena itu, islam sebagai wahyu didefinisikan masalah ritual, masalah tata negera, interaksi
yakni kumpulan perintah dan hukum-hukum sosial, budaya, ekonomi bahkan etika keseharian
yang berkaitan dengan kepercayaan (iman dan juga dijelaskan.
ibadah) dan berhubungan kemasyarakatan
Aplikasi Pendekatan Normatif-Teologis Dalam
(mu’amalah) yang diwajibkan oleh Islam untuk Studi Islam
diaplikasikan guna mencapai kemaslahatan umat
Islam sebagai agama yang berisi tentang
atau masyarakat. Oleh karena, diasumsikan Islam
ajaran-ajaran, norma dan dogma, tentunya dapat
sebagai doktriner, skriptualis yang bersifat final
juga dipahami dengan pendekatan normatif.
dan ajeg, maka hal ini akan membentuk pola
Adapun sebagai domain (wilayah) dan tema dalam

80 Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2017


studi Islam melalui pendekatan normatif yakni dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam
ada dua domain penting yaitu; yang tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam
Pertama, wilayah teks asli Islam (the original al-Qur’an maupun Hadith, namun kehadirannya
text of Islam), yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi diakui dan, bahkan, diamalkan oleh komunitas
Muhammad yang otentik (Khoiruddin Nasution, Muslim tertentu secara luas. Contoh yang
2007). Pendekatan ini dapat diaplikasin pada paling nyata adalah adanya ritual tertentu dalam
wilayah ini. Dengan berbekal bantuan bahasa, komunitas Muslim yang sudah mentradisi secara
sebagai intrument untuk memahami makna dan turun-temurun seperti slametan, tahlilan atau
ajaran yang terkandung di dalamnya. kenduren (Masdar Hilmy, 2017).
Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan
menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an ini untuk sekadar menjustifikasi bahwa ritual-
dan sunnah nabi Muhammad SAW). Dapat pula ritual tersebut merupakan bagian dari ajaran
disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam,seperti Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus
tafsir dan fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer
sebab ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an dalam Islam memang bukan untuk membuktikan
dan al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan apakah mereka merupakan bagian dari ajaran
sebagian masih bersifat global yang membutuhkan Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu
penjabaran lebih lanjut. Di samping permasalahan saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan
kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan dalam konteks analisis ilmiah-akademis dan,
secara tegas permasalahan yang timbul itu belum/ oleh karenanya, tidak perlu dipertahankan dalam
tidak disinggung. Karena itulah diperbolehkan tradisi intelektual. Sebaliknya, yang menjadi
berijtihad, meski masih harus tetap bersandar concern akademis di sini adalah bagaimana
kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat menempatkan ritual populer tersebut dalam
memenuhi persyaratan (Amin Syukur, 2006: 34). kerangka proporsional yang tidak berbuntut klaim
Dalam kelompok ini dapat di temukan empat atau pembenaran sepihak.
pokok cabang: hukum/fikih, teologi, filsafat Aspek Kelebihan dan Kekurangan Pendekatan
dan tasawuf. Hasil ijtihad dalam bidang hukum Normatif
muncul dalam bentuk: fikih, fatwa, yurisprudensi Uraian tersebut terlihat bahawa pendekatan
(kumpulan putusan hakim), kodikfikkasi/ normati-teologis dalam memahami agama
unifikasi yang muncul dalam bentuk Undang- menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara
Undang dan komplikasi. berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini
Dalam aplikasinya, pendekatan ini barangkali benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang
tidak menemui kendala yang cukup berarti ketika berasal dari tuhan, sudah pasti benar, sehingga
dipakai untuk melihat dimensi Islam normatif tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan
yang bersifat qath’i sebagaimana tersebut di atas. dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat
Persoalan baru muncul ketika pendekatan ini dengan dalil-dalil dan argumentasi.

Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama... 81


Tentunya, sebagai sebuah paradigma atau pribadi yang tertutup, tidak mau menerima
cara pandang, pendekatan normatif memiliki pendapat dan pemahaman orang lain, dan
sisi kelebihan dalam memahami dan mengkaji seterusnya. Dengan demikian, orang-orang yang
Islam. Sekaligus memiliki kekurangan di sisi yang memahami Islam dengan pendekatan normatif-
lainnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak teologis akan “menutup” dirinya dari kebenaran
satu pendekatan atau cara pandang yang dapat yang dibawa orang lain. Namun demikian jika
mengantarkan dan menawarkan suatu kebenaran sikap ekskusif itu hanya berkaitan dengan masalah
sejati, atau absolut. Oleh karena itu, sisi-sisi yang ke-tauhidan, maka hal itu bukan lagi menjadi
menjadi kelebihan dari pendekatan ini adalah; suatu kekurangan.
Pertama, loyalitas beragama (religious loyalty). Kedua, bersifat Dogmatis (dogmatic).
Menurut hemat penulis bahwa melalui pendekatan Pengertian dogma adalah pokok ajaran yang harus
ini seorang akan memiliki sikap mencintai dan diterima sebagai hal yang baik dan benar, tidak
loyalitas dalam beragama yakni berpegang teguh perlu dipertanyakan lagi, tidak boleh dibantah dan
kepada agama yang diyakininya sebagai yang diragukan. Orang-orang yang memahami Islam
benar tanpa memandang dan meremehkan agama dengan pendekatan normatif-teologis cenderung
lain. Dengan kata lain, melalui pendakatan ini menganggap ajarannya sebagai ajaran yang tidak
seseorang akan memiliki sikap militansi dalam boleh dipertanyakan lagi kebenarannya, tidak
beragama, yakni berpegang teguh kepada agam boleh dikritisi dan dipertanyakan lagi. Akhirnya
yang diyakininya sebagai yang benar. mereka terjebak dalam taqdīs al-afkār al-dīniyah
Kedua, fanatisme beragama (religious (meminjam istilah Arkoun).
fanaticism). Dengan pendekatan yang demikian Ketiga, terjebak klaim Kebenaran dalam
pula, seseorang akan memiliki sikap fanatis beragama (truth claim). Oleh karena pendekatan
terhadap agama yang dianutnya. Sudah sepatutnya ini berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam
umat beragama memang fanatik dalam memegang kitab sucinya adalah bercorak literalis, tekstualis
agamanya. Umat Islam harus fanatik, yakin dengan atau skriptualis, maka pendekatan ini dalam
agamanya. Tidak ragu-ragu akan kebenaran melihat fenomena keberagamaan tidak mengakui
agamanya. Dan serius dalam memperjuangkan kebenaran orang lain, karena menurut mereka,
agamanya. Juga bersifat progresif untuk mengejar yang mereka yakini adalah benar dan yang tidak
kemajuan (Amin Abdullah, 2002: 14). sama dengan yang mereka yakini adalah salah.
Disamping itu pendekatan ini memiliki Keempat, mudah tergelincir dalam pola
beberapa sisi kekurangan yang melekat padanya. pikir yang cenderung menyerang pola pikir
Diantaranya yaitu; dan keimanan yang dimiliki orang lain (al-‘uqūl
Pertama, bersikap eksklusif dalam beragama al-mutanāfisah). Pola pikir semacam ini sangat
(religious exclusivism). Ketika seseorang meyakini kental dimiliki oleh orang atau kelompok yang
sesuatu dengan kebenaran yang mutlak dan menggunakan pendekatan ini dalam memahami
meyakini orang lain salah, maka ia akan menjadi agama (Islam). Sulit diajak tukar pikiran secara

82 Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2017


jernih dengan kesediaan untuk melakukan proses heterogen, kesulitan dan benturan-benturan
take and give (Amin Abdullah, 2002). Terkadang sering dihadapi oleh penggemar pola pikir ini.
memunculkan kekakuan dan ketegangan tertentu Pola pikir Islam model ini sangat rigid,
(tension), bahkan tidak jarang konflik dan kaku dan tidak mengenal kompromi. Para
kekerasan (violence) yang bersumber dari pola pemangku model pemikiran ini selalu mengambil
pikir semacam ini. jarak sejauh mungkin dari campur tangan dan
Implikasi Pendekatan Normatif dalam Studi Islam intervensi orang lain apalagi penganut agama
lain. Hamper-hampir semboyan yang digunakan
Pendekatan normatif ini akan berimplikasi
adalah right or wrong is my country. Mereka
dan memiliki pola pemikiran dan pemahaman
melupakan dimensi kesejarahan, tārīkhiyāt, atau
keagamaan Islam yang bersifat absolutely absolute.
hisrtorisitas pemikiran keagamaan. Pendukung
Pola pemikiran keislaman model ini selalu
pola pemikiran ini mudah terjebak pada proses
memandang bahwa ajaran agama seluruhnya
taqdīs al-afkār al-dīniyah (sakralisasi pemikiran
bersifat tauqīfy. Unsur wahyu lebih dikedepankan
keagamaan) (Amin Abdullah, 2002).
ketimbang akal. Bahkan hal-hal yang dicurigai
sebagai produk akal cepat-cepat di sebagai Fanatisme selalu muncul dari logika berfikir
“bid’ah”. Dan wa kullu bid’atin dhalālah, wa keagamaan model ini. Al-‘Uqūl al-Mutanāfisah
kullu dhalālah fi an-nār (seluruh barang baru, (pola piker yang cenderung menyerang pola piker
yang dimasukkan dalam agama adalah bid’ah dan keimanan yang dimiliki orang lain) sangat
(mengada-ada). Dan setiap yang mengada-ada kental dimiliki oleh kelompok ini. Sulit diajak
dalam beragama adalah menyesatkan. Sedang hal- tukar pikiran secara jernih dengan kesediaan untuk
hal yang menyesatkan selalu akan membawa ke melakukan proses take and give, saling bertukar
neraka). Dengan demikian unsur ta’abbudy lebih informasi dan keilmuan (sharing knowledge), dan
digarisbawahi daripada unsur ta’aqquly. Begitu saling transfer pengalaman keberagamaan (transfer
juga yang biasa disebut-sebut sebagati qath’iyah of religious experiences).
lebih utamakan daripada zhanniyah. Ketika pelaku agamawan tidak boleh dikritik
Para penganut pola pikir keagamaan yang dan diteliti oleh pengamat social keagamaan
bercorak absolutely absolute ini teguh dalam dengan menggunakan pendekatan social maupun
bersikap, tidak luwes dalam komunikasi dan budaya, maka mereka sesungguhnya sedang
bergaul dengan sesamanya. Pemahaman teks-teks menyelamatkan dan memisahkan doktrin agama
wahyu secara harfiyah menjadi stumbling block dari pada pelakunya. Mereka menolak sama sekali
untuk melakukan kajian sosial dan budaya lebih bahwa pelaku agama adalah juga pelaku social
lanjut terhadap perilaku keagamaan. Pola pikir dan perilaku budaya biasa, hanya saja pelaku
dan perilaku keagamaan model ini mungkin bagus ini diinspirasikan oleh teks-teks kitab suci dan
untuk wilayah keagamaan yang bersifat homogen. naskah-naskah keagamaan yang terderivasi dari
Dalam wilayah kehidupan beragama yang bersifat nash-nash kitab suci baik langsung maupun tidak.

Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama... 83


Dalam beragama, Islam atau lainnya, perlu kehidupan umat beragama Islam seperti KKN
disadari bahwa dalam melakukan dan menjalankan (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme), gratifikasi,
perintah-perintah agama ada juga factor-faktor suap (riswah) dapat mungkin praktik oleh siapa
historisitas kemanusiaan kita yang sangat fragile saja tanpa rasa segan karena in group feeling yang
dan lemah. Tidak ada, sesuangguhnya apa yang akut dan absolute.
disebut sepenuhnya “ta’abbudy” yang absolute-
Pendekatan Normatif-Teologis Ke Pendekatan
mutlak karena ikut campurnya unsure kesejarahan Multidimensional: Sebuah Kesadaran Baru
kemanusiaan di situ, juga tidak ada yang disebut Keberagamaan Manusia Di Era Pluralitas Agama
dengan “ta’aqquly relative karena ketika manusia Seperti halnya nasib “filsafat” yang dahulu
menyepakati norma-norma dan nilai-nilai yang disebut-sebut induk segala ilmu pengetahuan, dan
harus ditegakkan dan dijunjung tinggir bersama, yang sekarang berubah wajah menjadi metodologi
maka aspek absolutitasnya diperlukan sebagai berpikir yang kritis-konstruktif dalam segala cabang
driving force untuk mematuhi dan mentaati keilmuan, maka teologi yang dahulu disebut-sebut
aturan-aturan yang diajarkan bersama tersebut. sebagai “the queen of sciences” yang sekarang hanya
Tanpa absolutitas dalam menjalani tatanan moral ditelaah sebatas aspek-aspek yang terkait dengan
maka tiada manfaatnya menciptakan tatanan doktrin keagamaan secara normatif. Teologi, untuk
moral untuk kehidupan bersama. era sekarang mau tidak mau harus bersaing dengan
Ibaratnya, seluruh pengguna jalan akan bebas ilmu baru, baik apa yang disebut psychology of
seenaknya melanggar traffic light (norma-norma religion, sociology of reliogion, history of religion atau
lalu lintas) dan akan menimbulkan kemacetan dan phenomenology of religion.
merugikan banyak penggun jalan lainnya. Dalam Pendekatan teologis yang biasanya digunakan
rangka berfikir seperti itu, untuk menghindari oleh para pemeluk agama-agama bukannya
absolutitas yang ekstrim (sikap yang berlebih- tanpa kelemahan seperti yang sudah dipaparkan
lebihan atau thāgūt) dan menghindari relativitas terdahulu. Namun ada satu hal yang perlu dicatat
yang ekstrim, diperlukan sikap baru yang sedapat- disini bahwa “teologi bukanlah Tuhan itu sendiri”.
dapatnya mampu mengkomunikasikan keduanya Bahkan menurut W.C Smith bahwa “Teology is
dalam satu keutuhan sikap hidup beragama part of the tradition, is part of this world (Wilfred
era baru, yaitu sikap hidup dan tatanan moral- Canwell Smith, 1962: 73). Meskipun demikian,
keagamaan yang bersifat relatively absolute, orang beriman secara taqlīdy-dogmatis, seringkali
dengan kata lain bahwa perlu dipupuk, dididik, juga tidak menyadari dan kurang tertarik untuk
dilatih dan ditanamkan kepada umat beragama memahami kenyataan bahwa teologi adalah bagian
bahwa dalam kehidupan beragama selalu saja dari tradisi, sedang apa yang disebut “tradisi”
terkombinasikan dan teranyam sikap dan cara tidak dapat dilepaskan sama sekali dari campur
pandang yang bersifat ta’abbudy absolute dan tangan usaha “manusia” untuk membangun dan
ta’aqquly relative sekaligus dalam satu entitas menyusun, paling tidak sistematikanya. Sekedar
keberagamaan manusia. Dengan begitu kritik sebagai contoh, dalam teologi Islam klasik atau
terhadap perilaku yang menyimpang dalam

84 Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2017


Kalam dijumpai konstruksi dan sistematika pandang normativitas ajaran wahyunya semata.
pemikiran Kalam menurut Mu’tazilah yang Melainkan juga dapat dilihat dari sudut dan
menitikberatkan pada rancang bangunan “al- terkait erat dengan historisitas pemahaman dan
Ushūl al-Khamsah” sedang kontruksi pemikiran interpretasi orang perorang atau kelompok
al-Asy’ari lebih tertuju pada sifat 20 Tuhan. terhadap norma-norma agama yang dipelukanya
Hampir semua pengamatan sosial- serta model-model amalan dan praktek ajaran
keagamaan sepakat bahwa pemikiran teologi, keagamaan yang dilakukannya dalam kehidupan
seringkali membawa ke arah ketersekatan umat. sehari-hari. Pada umumnya, normativitas ajaran
Ketersekatan dan keterkotak-kotakan yang tidak wahyu dibangun, diramu, dibakukan dan ditelaah
dapat dihindarkan, barangkali. Ibarat konsep lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedang
“manusia” yang bersifat universal, kemudian historisitas keberagamaan manusia ditelaah
tersekat oleh berbagai “bahasa” atau “warna kulit”. lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan
Suatu ketersekatan yang tidak dapat dihindarkan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter
secara historis. Meskipun demikian, begitu disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis,
orang melihat sosok tubuh-baik yang berkulit psikologis, sosiologis, kultural dan antropologis.
hitam, putih maupun sawo matang, ia tidak Hubungan antara kedua jenis pendekatan
dapat mengingkari untuk menyebutnya sebagai agama tersebut memang tidak dapat mengendalikan
sosok manusia. jadi, perenan “intelektual” untuk hubungan yang bersifat antagonistik, konfrontatif
memahami hubungan antara konsep yang bersifat dan kontradiktif. Hubungan antar keduanya
universal dan partikular, antara bersifat esoteris dan perlu bersifat dialektis, konfirmatif dan sinergis.
eksoteris, sebenarnya cukup menentukan di sini. Sehinggal saling mempengaruhi hubungan
Agama sebagai “living history” – untuk tidak dialektis tersebut dan dari keduanya dapat
hanya terbatas pada persoalan masa lampau ditumbuhkan potensi untuk saling mengoreksi,
yang mengambil bentuk dalam berbagai dimensi
di atas menjadi sudut telaah studi agama- menegur dan memperbaiki kekurangan yang
agama lewat pendekatan keilmuan-empiris, melekat pada kedua sisi sekaligus. Lewat penelitian
untuk tidak mengatakan hanya terbatas pada
pendekatan doktriner-normatif. Namun dalam empiris-historis, dapat dideteksi dan dipilah-
perkembangannya lebih lanjut, pendekatan pilah sejauh mana aspek-aspek eksternal seperti
keilmuan empiris ini kadang telah jauh melewati
batas kewenangannya. Teori-teori yang muncul interes politik, ekonomis hegemoni kultural,
dari pendekatan sosiologis dan psikologis sebagai yang ikut campur aduk dalam praktek-praktek
contoh, mengarah pada cara pandang yang
bersifat projektionis, yakni suatu cara telaah yang ajaran teologis tertentu. Secara kritis, pendekatan
melihat agama tidak lain dan tidak bukan adalah empiris-historis dapat membantu memberikan
fenomena sosial belaka, sehingga kehilangan
nuansa kesakralan, kesucian serta normativitasnya. klasifikasi keilmuan yang cukup berharga bag
Agama tercerabut dari normativitas, kesakralan kehidupan umat secara utuh dan matang (Amin
dan kesucian keilahiannya (Seyyed Hossein Nasr,
1988: 75). Abdullah, 2002).
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk
Oleh karena itu, fenomena keberagamaan
keberagamaanya, kerjasama antara kedua jenis
manusia tidak hanya dapat dilihat dari sudut

Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama... 85


pendekatan agama yakni pendekatan agama yang di dalamnya belum terdapat penalaran
yang bersifat teologis-normatif dan pendekatan pemikiran manusia. Kehadiran teks-teks yang
agama yang bersifat historis-empiris, sangatlah ditulis oleh intelektual atau `ulama’ kenamaan
diperlukan. Jika dalam rangka peringatan di bidang tertentu dalam Islam juga tak kalah
100 tahun parlemen Agama-agama se-dunia, pentingnya, terutama ketika ditemukan justifikasi
masyarakat agama di Indoensia berbulat tekad dari kedua teks suci tersebut terhadap sebuah
untuk mengintensifkan studi agama lewat ritual.
pendekatan keilmuan yang bersifat multi dan
inter disipliner, maka hal demikian memang DAFTAR PUSTAKA
sudah matang waktunya dan sudah lama pula
Abdullah, Amin. (2001). “At-Ta’wil al-‘Ilmi: Ke
dinanti-nanti oleh banyak pihak. Hasil-hasil
Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab
kajian keilmuan tersebut, sedikit atau banyak
Suci” dalam jurnal Al-Jami’ah. edisi Juli –
akan dapat berkontribusi untuk menopang dan
Desember, Vol 39 No 2.
memupuk harominsasi dan kerukunan hidup
antar umat beragama di Indonesia. _____________. (2015). ‘Ulūm Al-Dīn, “Ilmu
Sosial Dan Humaniora: Membangun
PENUTUP Kerangka Dasar Filsafat Ilmu Keislaman”.
Foccused Group Discussion (FGD) UIN
Pendekatan teologis berarti pendekatan
Sunan Kalijaga Untuk Indonesia, Gedung
kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu
PAU UIN Sunan Kalijaga.
sendiri. pendekatan seperti ini biasanya dilakukan
dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan _____________. (2010). Islamic Studies di
agama yang diyakini peneliti tersebut untuk Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-
menambah pembenaran keyakinan terhadap Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
agama yang dipeluknya itu. Sikap eksklusifisme _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ . ( 2 0 0 2 ) . St u d i Ag a m a :
(ketertutupan) teologis dalam memandang Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta:
perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana Pustaka Pelajar.
tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama
Abdullah, Taufik & Karim, M. Rusli (2001).
lain, tetapi juga merugikan diri sendiri karena
Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar
sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta.
masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa
membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya Anwar, Rosihon. (2009). Dkk, Pengantar Studi
dengan nuansa. Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Pendekatan normatif erat kaitannya dengan Hanafi, Hasan. (t.th). Dirāsah Islāmiyah. Cairo:
pendekatan teologis. Pendekatan normatif yaitu Maktabah al-Anjilu al-Mishriyah.
suatu pendekatan yang memandang agama dari
Hilmy, Masdar. (2017). “Problem Metodologis
segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan
Dalam Kajian Islam Membangun Paradigma

86 Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2017


Penelitian Keagamaan yang Komprehensif ”. Smith, Wilfred Canwell. (1962). The Meaning
Lihat dalam http://www.reocities.com/ and the End of Religio; A new Approach to the
hotsprings/6774/p-6.html. [Akses Pada Religious Tradition of Mankind. New York:
Maret 2017]. Mentor Books.

Mudzhar, Atho. (1998). Pendekatan Studi Islam Syukur, Amin. (2006). Pengantar Studi Islam. Cet.
Dalam Teori Dan Praktek. Yogyakarta: Ke-5. Semarang: CV. Bima Sejati.
Pustaka Pelajar.
Syukur, Suparman. (2015). Studi Islam
Muhamin. Dkk. (2007). Kawasan Dan Wawasan Transformatif; Pendekatan Di Era Kelahiran,
Studi Islam. Jakarta: Kencana. Perkembangan, Dan Pemahaman Kontekstual.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, Abuddin. (2009). Metodologi Studi Islam,
Jakarta: Rajawali Pers. Wild, Stefan. (1996). The Qur’an as Text, Leiden:
E.J Brill.
Nasr, Seyyed Hossein. (1988). Khowledge and the
Sacred. Lahore: Suhall Academy.

Nasution, Khoiruddin. (2007). Pengantar Studi


Islam. Yogyakarta: Academia Tazaffa.

Menakar Pendekatan Teologis-Normatif dalam Memahami Agama... 87

Anda mungkin juga menyukai