Anda di halaman 1dari 8

FIKIH ANTI KORUPSI

Hukum Islam yang disyariatkan Allah Swt. pada


hakekatnya diproyeksikan untuk kemaslahatan manusia.
Salah satu kemaslahatan yang hendak direalisasikan adalah
terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang
menyimpang dari prosedur hukum, dan dari
pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah
Swt; Oleh karena itu, adanya larangan mencuri (sariqah),
merampas (ikhtithaf), mencopet dan sebagainya adalah
untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang
tidak sah. Larangan menggunakan harta sebagai taruhan
judi –misalnya– dan memberikannya kepada orang lain
yang diyakini akan menggunakannya untuk berbuat
maksiat, karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan
kehendak Allah Swt; menjadikan kemaslahatan yang akan
dituju dengan harta itu tidak tercapai.
Para Ulama telah sepakat mengatakan bahwa
perbuatan korupsi dengan beragam bentuknya di dalamnya,
dalam literatur fikih misalnya, adanya unsur sariqah
(pencurian), ikhtilas (penggelapan), al-Ibtizaz (pemerasan),
al-Istighlal atau ghulul (korupsi), dan sebagainya adalah
haram (dilarang) karena bertentangan dengan Maqashid
Syari’ah (tujuan hukum Islam)[1]. Putusan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dalam Munas VI juga mengeluarkan
fatwa tentang risywah (suap), ghulul (korupsi), dan hadiah
kepada pejabat, yang intinya satu, memberikan risywah dan
menerimanya, hukumnya adalah haram. Kedua, melakukan
korupsi hukumnya haram. Fatwa yang dikeluarkan 27
Rabiul Akhir 1421 H/28 Juli 2000 M[2].
Alasan Keharaman Korupsi:
(1)Tindak Pidana Korupsi (ghulul) merupakan
perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung
merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah Swt.
memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu
dihindari, seperti firman Allah:
(a)QS. Ali Imran /3:161

             

         


Terjemahnya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang
apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya.

Rasulullah sendiri telah menggariskan sebuah


ketetapan bahwa setiap kembali dari ghazwah/sariyah
(peperangan). Semua harta ghanimah (rampasan) baik yang
kecil maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan
dikumpulkan di hadapan pimpinan perang, kemudian
Rasulullah membagikannya sesuai ketentuan bahwa 1/5
dari harta rampasan itu untuk Allah Swt; Rasul, kerabat
Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan
sisanya atau 4/5 lagi diberikan kepada mereka yang
berperang.[3] Nabi Muhammad Saw. tidak pernah
memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin dan panglima
perang untuk mengambil harta ghanimah diluar dari
ketentuan ayat tersebut.

Dalam suatu riwayat diterangkan bahwa ayat di atas


turun berkenaan dengan hilangnya sehelai kain wol
berwarna merah yang diperoleh dari rampasan, ada yang
berkata: “Mungkin Rasulullah Saw; sendiri yang
mengambil kain itu untuk beliau”. Agar tuduhan itu tidak
menimbulkan keresahan umat Islam, Allah Swt.
menurunkan ayat tersebut yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad Saw; tidak mungkin berlaku curang (korupsi)
dalam hal harta rampasan (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi
dan Ibnu jarir).[4]

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa setiap


perbuatan curang, seperti korupsi akan diberi hukuman
setimpal kelak di akhirat. Hal itu memberi peringatan agar
setiap pejabat tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Dalam sejarah Islam tercatat peristiwa dalam arti bahwa
Islam melarang keras perbuatan korupsi. Misalnya,
pengawas perbendaharaan negara (Baitul Mal) di masa
Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63H/682M-102H/720M)
memberikan sebuah kalung emas kepada putri khalifah,
karena ia menganggap hal itu patut untuk menghargai
pengorbanan khalifah. Setelah mengetahui hal itu, Umar
bin Abdul Aziz marah dan memerintahkan agar saat itu
juga kalung tersebut adalah milik negara dan hanya untuk
negaralah harta itu boleh digunakan.

(2)Tindak Pidana Korupsi (ikhtilas) disebutkan juga


sebagai penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain adalah perbuatan mengkhianati
amanah yang diberikan masyarakat kepadanya.[5]
Berkhianat terhadap amanah adalah perbuatan terlarang dan
berdosa seperti ditegaskan Allah Swt dalam al-Quran:
(a) QS. Al-Anfal/8:27

        

  


Terjemahnya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.

(b)QS. Al-Nisa’/4:58
            

               

Terkemahnya:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

(3)Tindak Pidana Korupsi untuk memperkaya


diri dari harta negara adalah perbuatan zhalim (aniaya),
karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari
masyarakat termasuk masyarakat miskin yang mereka
peroleh dengan susah payah. Bahkan perbuatan tersebut
berdampak sangat luas serta berdampak menambah
kuantitas masyarakat miskin baru. Oleh karena itu, adalah
suatu kezhaliman jika seorang pejabat yang memperkaya
dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehingga pantas
mereka dimasukan dalam kelompok orang-orang yang
memerangi Allah Swt. dan Rasulullah Saw. dan membuat
kerusakan di muka bumi. Sebagaimana firman Allah Swt.:
(a) QS. Al-Maidah/ 5:33
          

           

            

Terjemahnya: Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang


yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di
muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan secara timbal balik,1 atau dibuang
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar,
[#]

(4)Termasuk kedalam kategori Tindak Pidana


Korupsi, perbuatan memberikan fasilitas negara kepada
seseorang karena ia menerima suap dari yang
menginginkan fasilitas tersebut. Perbuatan ini oleh Nabi
Muhammad Saw; disebut laknat seperti dalam sabdanya:

‫ ﻗﺎل رﺳﻮل‬: ‫ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﺻﻠﻲ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻼم ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ ﻗﺎل‬
‫" ﻟﻌﻦ ﷲ اﻟﺮاﺷﻲ واﻟﻤﺮﺗﺸﻲ" )ﺻﺤﺤﮫ‬: ‫ﷲ ﺻﻠﻲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬
‫اﻟﺘﺮﻣﺬي‬

1
Maksudnya: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi, maka dipotong tangan kiri
dan kaki kanan.
Artinya: “Allah melaknat orang yang menyuap dan menerima suap” (HR.
Tirmidzi).[6]

Pada kesempatan lain Rasulullah bersabda:


“Barangsiapa yang telah aku perkerjakan dalam suatu
pekerjaan, lalu aku beri gajinya, maka sesuatu yang
diambilnya diluar gajinya itu adalah penipuan (haram)”.
(HR. Abu Dawud).
--------------------------
[1] Dr. Husain Husain Syahatah, Hurmatu al-Mâl Al'âm fi Dhaw'i
Syarî'ah al-Islâmiyah,(Kairo, Dar-Annaser li Jami'at, 1999), cet. I, hal. 36- 52
[2] Lihat hasil Putusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Munas VI
yang menelorkan fatwa respon terhadap maraknya tindak pidana korupsi di
Indonesia yang diadakan pada tanggal 28 juli 2000 M.
[3] Sebagaimana diterangkan Allah Swt dalam surat al-Anfal ayat 41
yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh
sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah Swt, Rasul, kerabat Rasul, anak – anak yatim, orang–orang miskin, dan
ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa (ayat–ayat al-
Qur’an, malaikat dan pertolongan), yang kami turunkan kepada hamba
kami (Muhammad SAW. di hari Furqan), yaitu di hari bertemunya dua
pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
[4] Imam al-Hafizh 'Imaduddin ismail ibnu Katsir ad-Dimasyqi, Tafsîr
al-Qur'ân al-'Azhîm, (Subra Khaimah, Darut-Taqwa) vol. I, hal, 485-486
[5] Ikhtilas dalam pengertian ini yang dimaksud dalam Undang
Undang Hukuman Mesir, lihat Mustasyar Musthafa Majdi Herjah, Ta'lîq 'ala
Qanûn al-'Uqûbât fi Dhaw'i al-Fikih wa al-Qadha, cet. II, hal. 533
[6] Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, Kitab al-Kabair , (Kairo, Dar
al-Madain al-'Ilmiyah,2003), cet 1 hal 109
[7] http://www.pcimmesir.com/2015/03/fikih-anti-korupsi-
pandangan-islam.html#ixzz4HUlkRt25
CATATAN
Korupsi termasuk saraqah/ ikhtilas.

Ibn Rusyd, dalam “Bidayatul Mujtahid” menyebut pencurian adalah


pengambilan harta orang lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada
kepercayaan yang diberikan kepada pihak pengambil.

DALAM KAJIAN KULLIYAT AL-KHAMSAH/


MAQASHID AL-SYARIAH/ HIKMAH AL-TASYRI’
(1) hifzh al-din (memelihara agama)
(2)hifzh al-nafs (memelihara jiwa;
(3)hifzh al-mal (memelihara harta);
(4)hifzh al-aql (memelihara akal), dan
(5)hifzh al-ardl (memelihara kehormatan.

Terkait dengan harta dibenarkan Ghadhab (marah) dan Difa’


(Pembelaan). Karena itu dituntut ketentuan jinayat (pidana)
dalam bentuk hukum hudud dan qishas.
Imam Syafi’i : boleh hukuman mati apabila tidak mengembalikan;
Maliki dan Hanafi : Hukuman mati dibenarkan apabila sudah
sampai sulit diberantas;

Anda mungkin juga menyukai