1. Pengantar
Di dalam al-Qur’an “pajak” bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan berasal dari
bahasa Jawa yaitu “ajeg” yang artinya pungutan tertentu pada waktu tertentu. Begitu
pula tidak ditemukan istilah dalam al-Qur’an yang mengandung arti pajak, hanya ada
satu kata yang terdapat di dalam surat al-Taubah ayat 29 yaitu Kata ”Jizyah” yang
diterjemahkan dengan “Pajak” misalnya terdapat pada al-Qur’an & terjemahannya
oleh Departemen Agama RI terbitan PT Syaamil Bandung. Walau demikian, tidak
semua kitab al-Qur’an menerjemahkan kata “Jizyah” menjadi “Pajak” melainkan
tetap Jizyah saja, misalnya Kitab al-Qur’an & terjemahannya oleh Departemen
Agama RI cetakan Kerajaan Saudi Arabia atau cetakan CV Diponegoro Semarang
(Menristekdikti, 2016: 314).
Pada masa Rasulullah SAW dan kekhalifahan Islam, pajak merupakan salah satu
sumber pendapatan negara disamping zakat, kekayaan yang diperoleh dari musuh
tanpa perang (fay’), harta wakaf, barang temuan (luqatah) dan dari kekayaan alam.
Pajak dalam Islam terbagi atas 3 macam yaitu jizyah (pajak kepala), kharaj (pajak
bumi), dan ‘usyur (pajak atau bea cukai atas barang ekspor dan impor).
Jizyah adalah imbalan yang dipungut dari orang-orang kafir sebagai balasan atas
kekafirannya atau sebagai imbalan atas jaminan keamanan yang diberikan orang-
orang muslim padanya (al-Mawardi, 1960: 142). Pemungutan jizyah disyaratkan
dalam surat at-Tawbah ayat 29:
Artinya: ‘Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama
yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada
mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam
Keadaan tunduk‛.4 (Q.S. 9: 29)
Adapun kharaj adalah uang yang dikenakan terhadap tanah dan termasuk hak-hak
di atasnya yang harus ditunaikan. Tidak seperti jizyah yang dasar hukumnya
ditentukan oleh nash, kharaj didasarkan pada ijtihad, karena kharaj ini tidak ditemui
pada masa Rasulullah SAW, tetapi mulai digali pada masa pemerintahan Umar bin
Khattab (al-Mawardi, 1960: 146). Menurut sebagian ulama, kharaj diambil dari orang
kafir maupun dari orang muslim. Akan tetapi kalaupun ada kaum Muslim yang
membayar Kharaj (karena membeli tanah Kharajiyah), maka Khalifah tetap
memasukkannya ke dalam Zakat, karena ada larangan dari Rasulullah Saw untuk
membebankan Zakat dan Kharaj sekaligus kepada kaum Muslim. Kadar kharaj,
jumlah minimal dan maksimalnya ditetapkan oleh pemerintah dan dibayar sekali
dalam setahun.
Sementara ‘Usyur menurut bahasa berarti sepersepuluh. Sedangkan menurut istilah,
‘usyur berarti bea cukai barang ekspor impor atau pajak yang dikenakan pada para
pedagang asing yang melewati batas negara Islam dan pembayarannya dapat
berupa uang dan barang. Bea cukai barang ekspor impor mulai dikenal atas
keputusan khalifah Umar bin Khattab setelah bermusyawarah dengan sahabat-
sahabatnya yang menjadi anggota dewan syura sehingga dasar penetapan hukum
dari bea impor ini adalah hasil ijtihad. ‘Usyur pada mulanya dibebankan kepada
pedagang non-muslim yang memasuki wilayah perbatasan negara Islam. Namun
beberapa lama kemudian, ‘usyur mulai dibebankan secara umum atas pedagang
yang berdagang di negara Islam. (A. Djazuli, 2014: 228).
Berdasarkan istilah-istilah di atas (al-Jizyah, al-Kharaj, dan al-‘Usyur), kita dapatkan
bahwa pajak sebenarnya hanya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada
pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan.
2. Hukum pajak
Pendapat Pertama
Menyatakan bahwa pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum
muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Di antara
dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini adalah sebagaimana berikut:
a) Firman Allah SWT Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan cara yang batil….”. (Q.S. An-Nisa’: 29).
Dalam ayat ini Allah SWT melarang hamba-Nya saling memakan harta
sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah
satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.
b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent).
Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan
kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714
c) Hadis yang diriwayatkan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha,
bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat. ” (HR Ibnu Majah I/570
no.1789).
d) Hadis Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam kisah seorang wanita
Ghamidiyah yang berzina, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda tentangnya:
“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan
itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya seorang pemungut pajak
bertaubat sebagaimana taubatnya wanita itu, niscaya dosanya akan
diampuni.” (HR. Muslim III/1321 no: 1695, dan Abu Daud II/557 no.4442.
e) Hadis Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, berkata: Saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim,
pent).” (HR. Abu Daud II/147 no.2937. 6) Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma
pernah ditanya, apakah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah
menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab: “Tidak, aku tidak
pernah mengetahuinya.” (Lihat Syarh Ma’anil Atsar II/31)
Pendapat Kedua
Menyatakan bahwa pajak boleh diambil dari kaum muslimin, jika memang
negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan
inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut antara
lain:
a) Firman Allah SWT Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177, dimana pada
ayat ini Allah SWT mengajarkan tentang kebaikan hakiki dan agama yang
benar dengan mensejajarkan antara: (a) Pemberian harta yang dicintai
kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, orang yang
meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (b) Iman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan
salat, menunaikan zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya. Point-point
dalam group (a) di atas, bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-
pokok yang hukumnya fardhu, karena disejajarkan dengan hal-hal yang
fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat disebutkan tersendiri
juga.
b) Hadis-hadis sahih mengenai hak tamu atas tuan rumah. Perintah
menghormati tamu menunjukkan wajib karena perintah itu dikaitkan
dengan iman kepada Allah SWT dan hari Kiamat, dan setelah tiga hari
dianggap sebagai sedekah.
c) Ayat Al-Quran yang mengancam orang yang menolak memberi
pertolongan kepada mereka yang memerlukan, seperti halnya dalam surat
Al-Ma’un, dimana Allah SWT mangaggap celaka bagi orang yang enggan
menolong dengan barang yang berguna bersamaan dengan orang yang
berbuat riya’.
d) Adanya kaidah-kaidah umum hukum syara’ yang memperbolehkan.
Misalnya kaidah “Mashalih Mursalah” (atas dasar kepentingan), atau
kaidah ‘mencegah mafsadat itu lebih diutamakan daripada mendatangkan
maslahat’, atau kaidah ‘lebih memilih mudharat yang menimpa individu
atau kelompok tertentu daripada mudharat yang menimpa manusia secara
umum’. Kas Negara yang kosong akan sangat membahayakan
kelangsungan negara, baik adanya ancaman dari luar maupun dari dalam.
Rakyat pun akan memilih kehilangan harta yang sedikit karena pajak
dibandingkan kehilangan harta keseluruhan karena negara jatuh ke
tangan musuh.
e) Adanya perintah Jihad dengan harta. Islam telah mewajibkan ummatnya
untuk berjihad dengan harta dan jiwa sebagaimana difirmankan Allah
SWT dalam Al-Quran (Q.S. 9: 41, 49: 51, 61: 11, dll). Maka tidak
diragukan lagi bahwa jihad dengan harta itu adalah kewajiban lain di luar
zakat. Di antara hak pemerintah (ulilamri) dari kaum Muslimin adalah
menentukan bagian tiap orang yang sanggup memikul beban jihad
dengan harta ini.
f) Syaikh Izzuddin memberikan fatwa kepada raja al-Muzhaffar dalam hal
mewajibkan pajak kepada rakyat dalam rangka mempersiapkan pasukan
untuk memerangi Tatar, seraya berkata: “Apabila musuh memasuki Negeri
Islam, maka wajib bagi kaum muslimin menahan serangan mereka, dan
diperbolehkan bagi kalian (para penguasa) mengambil dari rakyat apa
yang dapat menolong kalian dalam berjihad melawan mereka, namun
dengan syarat tidak ada kas sedikitpun di dalam baitul mal, dan
hendaknya kalian (penguasa dan para pejabatnya, pent) menjual
(menginfakkan) barang-barang berharga milik kalian. Setiap tentara
dicukupkan dengan kendaraan dan senjata perangnya saja, dan mereka
itu diperlakukan sama dengan rakyat pada umumnya. Adapun memungut
harta (pajak) dari rakyat padahal masih ada harta benda dan peralatan
berharga di tangan para tentara, maka itu dilarang.” (An-Nujum Az-Zahirah
fi Muluki Mishr wa Al-Qahirah, karya Abul Mahasin Yusuf bin Taghri
VII/73).
Namun, ketika pajak dibebankan kepada kaum muslimin, apa istilah yang
tepat untuk menyebut pajak, apakah jizyah, kharraj, ‘usyr atau ada istilah
lain? Di dalam buku ajar PAI terbitan Kementrian Riset dan teknologi (2016:
315) disebutkan bahwa dalam Sistem Ekonomi Islam, pajak disebut dengan
dharibah bukan Jizyah, karena Jizyah lebih tepat diterjemahkan dengan
“upeti” (pajak kepala), yang dikenakan terhadap Ahli Kitab (Nasrani dan
Yahudi) dan Majusi (kaum penyembah api). Begitu pula kurang tepat jika
disebut Kharaj (pajak tanah) dan ‘Usyur (bea eksport impor). Oleh karena
objeknya berbeda, maka jika dipakai istilah Kharaj, Jizyah, atau ‘Ushr untuk
pajak akan rancu. Untuk itu, biarkanlah Pajak atas tanah disebut dengan
Kharaj, sedangkan istilah yang tepat untuk pajak yang objeknya
harta/penghasilan adalah dharibah. Dhariibah berarti beban. Mengapa
disebut dharibah (beban)? Karena Pajak merupakan kewajiban tambahan
(tathawwu’) bagi kaum Muslim setelah zakat, sehingga dalam penerapannya
akan dirasakan sebagai sebuah beban atau pikulan yang berat.
Imam al Ghazali menyatakan bahwa memungut uang selain Zakat adalah diperbolehkan
apabila diperlukan sedangkan kas pada negara tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
negara. Senada dengan Al Ghazali, Al Qurtubi mengatakan bahwa ulama sepakat atas
bolehnya menarik pungutan selain zakat berdasarkan Firman Allah Wa atal maala ala
hubbihi (Al Baqoroh : 177). Pendapat mereka sangat masuk akal mengingat sasaran
penggunaan Zakat sangat terbatas peruntukannya (sesuai syariah) dan tidak diperuntukkan
untuk membiayai kebutuhan negara (di luar keperluan sosial).
Menurut Ibnu Taimiyah pajak yang dipungut dari orang kaya dianggap merupakan sebuah
bentuk jihad harta. Selain ulama-ulama klasik tersebut, ulama kontemporer seperti Rashid
Ridha, Mahmud Syaltut, Abu Zahrah dan Yusuf Qardhawi juga berijtihad bahwa Pajak
diperbolehkan dengan berbagai argumen yang disampaikan di kitab-kitab tulisannya dan
sepakat bahwa kata maks dalam hadits di atas tidak bisa diterjemahkan sebagai Paiak.
Lalu, agar pemungutan pajak tidak dilakukan semena-mena oleh negara, Pajak (dan pungutan
lain) diatur dengan undang-undang sesuai pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 yang
berbunyi : "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-undang".
Pada Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) menyebutkan bahwa Pajak adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."