Anda di halaman 1dari 15

SADAR PAJAK

Dr. H. Baharuddin Husin, MA


Pengertian Pajak

A.1. Menurut Syari’ah:


• A.1.1. Pajak bukan berasal dari bahasa al-Qur’an (bahasa Arab) tetapi ditemui
dalam terjemahan al-Qur’an surah at Taubah/9:29, dari kata ‘JIZYAH’ pajak).
• A.1.2. Dalam Kitab2 Hadts, istilah Pajak atau pungutan kepada masyarakat ditulis
dengan beberapa istilah, al.: ‘Jizyah’ (Lihat Hadits Riwayat Darimi No.2501); ‘Kharaj’
(HR. Ibnu Majah No.1831); ‘ ‘Ushr’ (HR. Malik No.621) dan ‘Dharibah’ (HR. Bukhari
No.2277)

• Masing-masing nama pendapatan Negara itu memiliki arti, subjek, objek, tarif dan
tujuan penggunaan yang berbeda, namun, semua istilah pendapatan Negara atau
pungutan kepada masyarakat di zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in itu
hampir semuanya diterjemahkan menjadi kata tunggal yaitu pajak.
• Termasuk pungutan liar yang dilakukan pereman/tukang palak kepada pedagang-
pedagang pasar di Madinah (Shahibu Maks) yg dilarang oleh Nabi pun diterjemahkan
menjadi ‘pajak’
Pengertian pajak menurut pendapat pakar convensional, al.sbb:

1. Pajak merupakan iuran rakyat kepada Negara berdasarkan UU (dapat dipaksakan) tanpa mendapatkan
jasa timbal (kotraprestasi) dan langsung digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Prof. Dr. H.
Rochmat Soemitro, SH: 1988). Definisi diatas dikoreksi sehingga berbunyi: Pajak merupakan peralihan
kekayaan dari rakyat kepada KAS NEGARA untuk membiayai pengeluran rutin dan surplusnya digunakan
untuk public saving dan merupakan sumber utama membiaya public investment.
2. Pajak merupakan: bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan public
dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah. (Leroy Beaulieu: 1899)
3. Pajak merupakan iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) terutang dan wajib dibayar
sesuai peraturan umum (UU) guna membiayai pengeluaran umum berhubung tugas Negara dalam
menjalankan pemerintahan (P. J. A. Adriani: 1949)
4. Pajak merupakan suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke pemerintah, bukan akibat pelanggaran
hukum, wajib dilaksanakan. Ketentuan ditetapkan lebih dahulu tanpa mendapat imbalan langsung dan
proporsional, agar pemerintah melaksanakan tugas pemerintahan. (Ray M. Sommerfeld, Herschel M.
Anderson, dan Horace R.Brock: 1972)
Sumber-sumber Pendapatan Negara Menurut Islam
Pendapatan Negara (Mawarid ad-Daulah) sejak masa pemerintah Rasulullah Saw (610-632 M) hingga
Khulafaurrasyidin (632-662M) diklasifikasikan menjadi 6 kelompok:

1. Ghanimah (Harta rampasan perang) yang diperoleh dari kaum kafir, melalui peperangan.
Dibagi sesuai perintah Allah SWT pada QS. Al Anfal/8:41.
• Ayat tersebut turun saat usai perang Badar bulan Ramadhan tahun ke-2 H, yaitu 4/5 untuk pasukan,
dan 1/5 dibagi untuk Allah Swt, Rasul dan kerabat beliau, Yatim, Miskin dan ibnu Sabil.
• Ghanimah didistribusikan untuk: gaji tentara, biaya perang, biaya hidup Nabi dan keluarga beliau,
dan alat-alat perang, serta berbagai keperluan umum.
• Ghanimah merupakan salah satu kelebihan yang diberikan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw,
yang tidak diberikan kepada Nabi-nabi yang lain (lihat juga: QS.Al-Anfaal/8:1 dan 69).

2. Fa’i, yaitu: Harta rampasan yang diperoleh kaum Muslim dari musuh, tanpa terjadinya
pertempuran, karena itu, tidak ada hak tentara didalamnya (QS. Al-Hasyr/59:6).
• Fa’I pertama diperoleh Nabi dari suku Bani Nadhir, suku bangsa Yahudi yang melanggar Perjanjian
Madinah.

3. Jizyah (Upeti/Pajak kepala), yaitu Pajak yang dibayar oleh non Muslim khususnya ahli
kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, property, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak
wajib militer.
• Mereka tetap wajib membayar jizyah, selagi mereka kafir. Jizyah juga adalah hukuman atas
kekafiran mereka, dilaksanakan sesuai perintah Allah Swt dalam QS.At Taunah/9:29.
4. Kharaj, yaiatu sewa tanah yang dipungut kepada non Muslim ketika Khaebar
ditaklukan, tahun ke 7H. Kaum Kafir tetap diberikan hak milik pada non Muslim,
namun mewajibkan mereka membayar sewa (Kharaj) atas tanah yang diolah tst.

5. ’Ushr, yaitu: Bea impor (bea masuk) yang dikenakan kepada semua pedagang yang
melintasi perbatasan Negara, yang wajib dibayar hanya sekali dalam setahun dan
berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea yang diberikan
kepada non muslim adalah 5% dan kepada Muslim sebesar 2.5%. Ushr yang dibayar
kaum Muslimin tetap tergolong sebagai zakat.

6. Zakat (Shadaqah), yaitu: Kewajiban kaum Muslimin atas harta tertentu yang
mencapai nishab tertentu dan dibayar pada waktu tertentu. Diundangkan sebagai
pendapatan Negara sejak tahun ke-2 Hijriyah, namun efektif pelaksanaannya pada
tahun ke 9 Hijriyah.

**Pendapatan yang tidak tetap, al.: Ghulul, Kaffarat, Luqathah, Waqaf, Uang tebusan, Khums/Rikaz,
Pinjaman, Amwal Fadla, Nawa’ib, Hadiah,dll.
Sejarah Pajak Dalam Islam
• Karena Ghanimah dan Fay’I tidak ada pada masa pemerintahan Rasulullah Saw dan Shahabat Pajak (Dharibah) belum ada,
karena dari Ghanimah dan Fay’I sudah cukup untuk membiayai berbagai pengeluaran umum Negara, namun, setelah ekspansi
Islam berkurang, maka Ghanimah dan Fay’I juga berkurang. Akibatnya, pendapatan yang berasal dari ghanimah dan fay’I tidak
ada lagi, padahal, dari kedua sumber inilah dibiayai berbagai kepentingan umum Negara, seperti: Menggaji Pegawai/pasukan,
membangun fasilitas umum, seperti: Rumah sakit, jalan raya, penerangan, irigasi, biaya pendidikan (gaji guru, gedung-gedung
sekolah), dll.

• Terbatasnya tujuan penggunaan Zakat. Sekalipun penerimaan zakat terus meningkat karena semakin bertambahnya jumlah
kaum Muslimin, namun zakat tidak boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti menggaji tentara, membangun jalan
raya, membangun masjid, (QS.At Taubah/9:60). Bahkan Rasulullah Saw sebagai Nabi sekaligus sebagai kepala Negara,
mengharamkan diri dan keturunannya memakan uang zakat (Lihat: Fiqh as Sunnah, Sayyid Sabiq). Zakat juga ada batas waktu
(haul) yaitu setahun dan kadar minimum (nishab), sihingga tidak dapat dipungut sewaktu-waktu sebelum jatuh tempo.

• Jalan pintas untuk pertumbuhan ekonomi. Banyak Negara Muslim SDA-nya melimpah ruah, seperti: minyak bumi, batubara,
gas, emas, aluminium, dll.Namun mereka kekurangan modal kerja (alat-alat maupun tenaga ahli/skill).Jika SDA tsb tidak diolah
maka Negara2 Muslim tsb, tetap saja miskin. Melihat kondisi ini, para ekonom Muslim mengambil langkah baru. Antara lain
dengan melakukan pinjaman (hutang) luar negeri untuk membiayai proyek-proyek ekonomi tsb dengan konsekuensi
membayar hutang tsb dengan pajak.

• Imam/ pemimpin berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya. Jika kas Negara (Baitul Mal) kekurangan atau kosong (karena
tidak ada Ghanimah dan Fay’I atau zakat), maka Imam/ pemimpin tetap harus menyiapkan minimal empat kebutuhan pokok
rakyatnya (pangan, keamanan, kesehatan, pendidikan). Jika kebutuhan rakyat tsb tidak bisa dipenuhi, dikhawatirkan akan
terjadi gejolak sosial yang sangat berbahaya. Karenanya, Imam/ pemimpin diperbolehkan berhutang atau memungut pajak
(Dharibah)
Dalil diperbolehkannya Pajak dalam Islam
Munculnya Ijtihad baru dikalangan fuqaha berkaitan Pajak (Dharibah), ada sejumlah alasan,sbb:

1. Mengeluarkan harta selain zakat: Firman Allah Swt.:


• “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim orang-orang
miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati
janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa (QS.2/Al-Baqarah: 177)

2. Mengeluarkan harta tatkala panen.Firman Allah SWT:


• “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berujung dan yang tidak berujung pohon korma,
tanaman-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan
warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”
(QS. Al-An’Aam/6:141)

3. Hadits Rasulullah Saw tentang Adanya Kewajiban Lain atas Harta selain Zakat antara lain:
• “….. Dari Fatimah binti Qais dari Nabi Saw beliau bersabda: “Sesungguhnya pada harta ada
kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain harta zakat.”” (HR. Tirmidzi No.660)
4. Hadits Rasulullah Saw tentang Kewajiban Imam/Pemimpin, sbb:
• “….. Salim dari Ibnu Umar ra berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Setiap kalian
adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam (kepala
Negara) adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami
dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas keluarganya.
Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya dan akan diminta
pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu dalam urusan harta
tuannya adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawab
tersebut”. Dia (Ibnu ‘Umar ra) berkata: “Aku menduga Beliau juga bersabda: “Dan seorang anak laki-
laki adalah pemimpin dalam urusan harta bapaknya.” (HR. Bukhari No.2751)

5. Saat Baitul Mal Kosong. Seorang pemimpin tetap bertanggung jawab menyediakan berbagai kebutuhan
pokok rakyatnya. Untuk mengantisipasi munculnya kemudharatan dan mencegah kemudharatan
merupakan kewajiban. Kaidah fiqh mengungkapkan: “Mala yatimmul waajib illa bihi fahuwa waajib”
(“Segala sesuatu yang tidak bias ditinggalkan demi twrlaksananya kewajiban selain harus dengannya, maka
sesuatu itupun wajib hukumnya”)

6. Kaum Muslimin wajib mencukupi kebutuhan pokok, bias dilihat ungkapan hadits, al. sbb:
• “….. Abdurrahman bin Abu Syumailah dari Salamah bin ‘Ubaidullah bin Mihshan al-Anshari dari
ayahnya dia berkata, “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa di pagi hari tubuhnya sehat, aman
jiwanya dan memiliki makanan pokok pada hari itu, maka seolah-olah dunia telah dihimpun
untuknya.” (HR. Ibnu Majah No.4141)
 
Istilah Pajak bagi Umat Islam

• Pajak untuk umat Islam tidak disebut Jizyah (kehinaan) tapi Dharibah (beban). Menurut
Khalifah Umar bin Khattab sungguh tidak pantas kaum Muslimin dipungut Jizyah (kehinaan)
karena segala aktifitas Muslim yang mengikuti perintah Allah Swt termasuk ibadah yang
berarti kemuliaan. Oleh sebab itu, Pajak bagi kaum Muslimin tidak dapat diartikan kehinaan,
rendah atau berkurang. Rasulullah Saw tidak pernah menyebut apalagi mengenakan Jizyah
untuk kaum Muslimin.
• Padanan kata yang paling tepat untuk Pajak adalah Dharibah, artinya beban. Mengapa
disebut Dharibah (beban)? Karena Pajak merupakan kewajiban tambahan (“Tatawwu”) bagi
kaum Muslimin setelah Zakat, sehingga dalam penerapannya akan dirasakan sebagai sebuah
beban atau pikulan yang berat. (Lihat: Qardhawi, Fiqhuz Zakah, Bab Zakah wa Dharibah,
1973)
• Secara etimologi, Dharibah yang berasal dari kata dasar: (dharaba, yadhribu, dharban) yang
artinya: mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau
membebankan, dan lain-lain. Dalam Al-Qur'an, kata dengan akar kata da – ra - ba terdapat di
beberpa ayat, antara lain pada QS.Al-Baqarah/2:61: yang artinya, “Lalu ditimpakanlah kepada
mereka nista dan kehinaan”. Dharaba adalah bentuk kata kerja (fi’il), sedangkan bentuk kata
bendanya (ism) adalah Dharibah, yang dapat berarti beban.
• Dharibah adalah isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk jamaknya adalah Dharaaib
Contoh: Jawatan perpajakan di Negara Arab disebut dengan “Maslahah adh Dharaaib”.
Karakteristik Pajak Menurut Islam
Ada sejumlah ketentuan tentang Pajak (Dharibah) menurut Syari’at Islam, yang sekaligus
membedakannya dengan Pajak (tax) dalam system kapitalis (non Islam), yaitu:

1. Pajak (Dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontiniu, dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Pajak (Dharibah)
hanya dipungut ketika kas Negara (Baitul Mal) tidak ada harta atau kurang. Ketika kas Negara sudah terisi kembali,
maka pajak bias dihapus. Berbeda dengan Zakat yang tetap harus dipungut walau tidak ada lagi pihak yang
membutuhkan (mustahiq). Berbeda dengan teori Ekonomi non Islam, Pajak (tax) adalah dipungut abadi/selamanya,
tidak akan dihapus.

2. Pajak (Dharibah) hanya boleh digunakan untuk membiayai keperluan yang wajib diadakan kaum muslimin secara
bersama-sama (ijtima’iyah) yaitu keamanan. Pendidikan dan kesehatan, sebatas hanya sejumlah yang diperlukan untuk
pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih.

3. Pajak (Dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslimin yang kaya saja, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah
orang yang memiliki kelebihan harta setelah pembiayaan kebutuhan pokok (makanan, pakaian dan perumahan) bagi
diri dan keluarganya, menurut kelayakan masyarakat sekitarnya (lihat QS. Al-Baqarah/2:215).

4. Pajak (Dharibah) hanya dipungut sejumlah pembiayaan yang diperlukan saja, tidak boleh lebih. Artinya, jika sudah
cukup maka pemungutannya segera harus dihentikan. Sedangkan menurut tiori ekonomi non Islam, Pajak (tax) tidak
ada batasan pemungutan, selagi masih bias dipungut akan terus dipungut.

5. Pajak (Dharibah) bukanlah suatu pemerasan atau kezhaliman, karena pajak (Dharibah) dibuat dengan persetujuan
rakyat melalui musyawarah via wakil mereka di DPR, digunakan untuk kepentingan rakyat yang juga disetujui rakyat
dalam APBN, diawasi penggunaannya oleh pihak eksternal (KPK, BPK, Inspektorat, LSM, dll)
Hubungan Zakat dan Pajak
1. Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban sekaligus atas umat Islam, yang muncul atas sebab dan
kegunaan yang berbeda.
2. Zakat muncul disebabkan adanya kelebihan atas harta (nisab) dan waktu (haul), digunakan
hanya untuk asnaf yang delapan. Sedangkan Pajak (Dharibah) muncul karena adanya
kekosongan/kekurangan kas nrgara (baitul mal), sedangkan Ulil Amri wajib memenuhi kebutuhan
rakyat berupa keamanan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Kalau tidak diadakan akan muncul
kemudharatan yang besar (kekacauan, hokum rimba, penyakit menular, kebodohan, dst)
3. Zakat dan Pajak adalah dua barang komplementer (saling melengkapi), bukan barang substitusi
(pengganti). Zakat untuk asnaf yang 8 (Faikir, Miskin, Mu’allaf, Gharimin, Riqab, Ibnu Sabil dan
Fisabilillah), sedangkan Pajak untuk kebutuhan bersama (orang kaya dan miskin).
4. Zakat dibayar kepada Amil Zakat (BAZ/LAZ), sedangkan Pajak dibayarkan melalui Bank Persepaui
yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan kas Negara. Keduanya diatur dan dikelola oleh
Pemerintah atau Lembaga yang disahkan oleh Pemerintah.
5. Zakat tidak termasuk objek Pajak Penghasilan (PPh) yang diterima oleh Amil Zakat (Pasal 4 (3)
huruf a angka 1, UU No.36 Tahun 2008).
6. Zakat Bukan Termasuk Biaya Yang Diperkenankan Untuk Mengurangi Penghasilan (Pasal 6 UU
No.36 Tahun 2008).
7. Zakat dapat dikurangkan sebagai Pengurangan Penghasilan Kena Pajak dalam perhitungan Pajak
Penghasilan (PPh) Tertuang (Pasal 9 (1) huruf g UU No. 36 Tahun 2008)
Pemalak Menurut Islam (Al Maks)

• Al Maks seringkali diterjemahkan menjadi petugas pajak, paadahal arti sebenarnya


adalah tukang palak/pemeras. Menurut Kamus Lisanul Arab: Maks menurut bahasa
adalah uang yang dipungut dari pedagang dipasar zaman jahiliyah. (Lisanul Arab, Ibnu
Manzhir)
• Al Maks bias juga berarti pajak-pajak yang kejam yang berlalu pada waktu munculnya
Islam. Pajak itu dipungut bukan pada haknya, bebannya tidak dibagikan secara adil.
Pajak-pajak ini tidak dipergunakan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan
raja-raja, para penguasa, kesenangan mereka dan pengikut mereka. Juga pajak itu tidak
hanya dipungut dari penduduk atas dasar kemampuannya, malahan banyak orang kaya
yang dibebaskan karena disenangi dan orang miskin dipaksa karena dibenci. (Yusuf
Qardawi, Fiqhuz Zakah, Bab Zakah wa Dhariban, terj. hal. 1093-1094)
• Berdasarkan bahasan diatas, maka Maks dapat diterjemahkan menjadi pegawai Pajak,
karena pegawai Pajak memungut pajak berdasarkan Undang-undang yang telah
disetujui oleh rakyat melalui wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
digunakan untuk kepentingan rakyat yang tertuang dalam APBN yang juga disetujui
oleh DPR, diawasi penggunaannya oleh pihak eksternal (BPK, KPK, Inspektorat, dll)
Hadist-hadits yang berkaitan dengan Shahibu Maks:
• “Abdurrahman bin Syimasah dari Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: saya mendengar
Rasulullah Saw berkata: Tidak akan masuk surge Shahibu Maks (orang yang mengambil
pajak secara zhalim). (HR. Abu Daud No. 2937)

• “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah al-Qaththan dari Ibnu
Maghra’, dari Ibnu Ishaq ia berkata: orang yang mengambil sepersepuluh dari orang-
orang maka adalah Shahibu Maks (mengambil pajak secara zhalim)”. (HR. Abu Daud No.
2938)

• “Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Khalid telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Ishaq dari Yazid bin Abu Habib dari ‘Abdurrahman bin Syamasah ia
berkata, aku mendengar Uqbah bin ‘Amir berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw
bersabda: “Tidak masuk Surga Shahibu Maks (tukang palak),” Abu Muhammad berkata,
“Yaitu orang yang mengambil berlawanan dengan hokum syari’at.” (HR. Darimi No. 1666)

• “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salamah dari Ibnu Ishaq dari Yazid bin
Abi Habib dari Abdurrahman bin Syimasah at Tujibi dari Uqbah bin Amir dia berkata,
“Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Tidak akan masuk surge Shahibu Maks,
yaitu pemungut pajak illegal (secara tidak benar).” (HR. Ahmad no. 16656).
Manfaat dan Fungsi Pajak
Pajak andalan Pembangunan: 85% APBN Indonesia dari pajak
1. Manfaat Pajak Bagi Negara, al.:
• Membiayai: bersifat selt liquiditing, mis.:Pengeluaran proyek barang ekspor
• Membiayai reproduktif: pengeluaran keuntungan ekonomis masyarakat: pengeluaran pengairan, pertanian.
• Membiayai bersifat tidak self liquiditing dan tidak reproduktif: pengeluaran pendirian monument dan objek
rekreasi
• Membiayai tidak produktif: Pengeluaran pertahanan, perang, penghematan yang akan dating anak yatim piatu
2. Manfaat Pajak bagi Masyarakat, al.:
• Membangun fasilitas/infrastruktur umum, seperti: Jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, dll.
• Membiaya kepentingan pertahanan dan keamanan, contoh: bangunan. Senjata, perumahan, gaji, dll.
• Memberi subsidi: pangan dan bahan bakar minyak
• Kelestarian lingkungan hidup dan budaya
• Dana Pemilu
• Pengembangan alat transportasi massa
3. Peranan/Fungsi Pajak, al.:
• Budgetair, yaitu: Sebagai alat memasukan dana secara optimal ke kas Negara.
• Regulerend, yaitu: Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dan pelengkap dari fungsi anggaran.
• Stabilitas, yaitu: Membuat pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan
satabilitas harga, agar inflasi dapat dikendalikan.
• Retribusi Pendapatan, yaitu: Membiayai kepentingan umum, membuka lapangan kerja sehingga
meningkatrkan pendapatan masyarakat.
WALLAHUA’LAM BISHAWAB

Anda mungkin juga menyukai