Umar bin Khattab menerapkan beberapa kebijakan dalam lembaga baitul maal
tersebut di antaranya dengan mengklasifikasikan atau mengelompokkan sumber pendapatan
negara menjadi empat bagian, yakni : pendapatan yang berasal dari zakat dan ‘ushr,
kemudian didistribusikan ke tingkat lokal dan jika terjadi surplus atau kelebihan, sisa
pendapatan tersebut disimpan di baitul maal pusat serta dibagikan kepada delapan ashnaf;
pendapatan yang berasal dari khums dan sedekah, didistribusikan kepada fakir miskin baik
seorang muslim ataupun bukan dan juga untuk membiayai kesejahteraannya
Umar bin Khattab juga menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta
baitul mâl. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat Islam harus diperhitungkan
dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara. Kebijakan ini mengundang respons
dari seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam RA. Menurutnya, kebijakan tersebut
dapat memicu lahirnya sifat malas di kalangan para pedagang. Di kemudian hari, Khalifah
Umar bin Khattab RA menyadari bahwa kebijakannya tersebut keliru karena menimbulkan
dampak negative dalam kehidupan masyarakat. Beliau pun bertekad untuk mengubah
kebijakan itu. Namun beliau wafat sebelum dapat merealisasikannya.(Qoyum et al. 2021)
2. Mendirikan Lembaga Hisbah.
Hisbah merupakan kantor atau suatu lembaga yang berfungsi untuk mengontrol pasar
dan moral (adab) secara umum. Adapun tujuan dari al-hisbah ini adalah untuk menghapus
segala perbuatan yang buruk dan mungkar sekaligus menggantinya dengan kebajikan dan
kemaslahatan hingga akhirnya tercipta rasa aman dan tentram serta keadilan di dalam
masyarakat.
3. Kepemilikan Tanah.
Adapun peraturan yang diterapkan oleh Umar bin Khattab terhadap tanah-tanah
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Daerah Irak yang sudah ditaklukkan tersebut menjadi milik dan hak orang muslim dan
kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat,
2. Membebankan kharaj kepada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama,
meskipun pemilik tanah bukan pemeluk agama Islam.
3. Selama mereka membayar kharaj dan jizyah maka bekas pemilik tanah diberi hak
kepemilikan.
4. Perihal Zakat.
Mata pencaharian sebagian umat muslim untuk kelangsungan hidupnya adalah
dengan melakukan kegiatan beternak. Daerah Syiria dan wilayah kekuasaan Islam lainnya
banyak yang beternak kuda, bahkan di dalam suatu riwayat mengatakan bahwa seekor kuda
Arab Taghlabi ditaksir bernilai 20.000 dirham dan orang-orang Islam terlibat didalam
perdagangan tersebut.
5. Menerbitkan Mata Uang.
Mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di daerah Arab, seperti dinar
(koin emas) dan dirham (koin perak), pada masa pemerintahan Rasulullah dan masa
khulafaurrasyidin. Bobot dinar adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh
qirat atau seratus grain barley. Sedangkan bobot dirham tidak seragam. Pada masa Umar bin
Khattab penerbitan uang tersebut hanya terbatas pada dirham, sementara dinar tidak dicetak.
Percetakan dirham tidak dengan ukiran ala Arab murni, namun dicetak dengan ala Ajam
dengan menambahkan ungkapan-ungkapan Arab. Uang tersebut sesuai dengan tolak ukur
syari’ah (enam daniq) dan dicetak dengan murni.(Hayati 2021, 47–49).
6. Pengembangan Sistem Ekonomi.
Beliau mengembangkan sistem perekonomian di negaranya, baik itu berbagai
pendapatan dan pengeluaran, atau penertiban hak dan kewajiban masyarakat dalam sistem
diwan-diwan (instansi-instansi). Berbagai pemasukan negara mulai bertambah pada masa
Umar a, dan beliau segera mengembangkan dan menertibkannya dengan mengatur para
pegawai yang mengawasinya.(Ash-shalabi, n.d., 376)
Untuk pembagian dan pengalokasian harta yang tidak dijelaskan siapa saja
penerimanya sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah dalam suatu negara. Berikut
penjelasannya secara detail:
8. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang dikenakan sebagai bentuk perlindungan penduduk non-
Muslim yang tinggal di daerah yang didominasi oleh Muslim. Khalifah Umar
mengklasifikasikan jumlah yang dibayarkan oleh laki-laki: 48 dirham untuk orang kaya, 24
dirham untuk orang berpenghasilan menengah, dan 12 dirham untuk orang miskin yang
bekerja dengan upah rendah seperti menjahit, menjual minuman dan sejenisnya. (Muhammad
Q.I., 2002). Selain itu, Umar memberikan pengecualian dari jizyah kepada kelompok berikut,
pertama penjaga kuil dan pendeta yang hanya tinggal di rumah (jika mereka kaya mereka
tetap dikenakan jizyah). Kedua, orang tua yang tidak bisa bekerja dan tidak bisa berbuat apa-
apa. Ketiga, orang-orang mukmin dzimmi yang masuk Islam, jizyahnya hangus, sesuai
dengan sabda Nabi SAW: “tidak dikenakan jizyah bagi orang yang muslim”.(Handayani and
Huda 2023)
DAFTAR PUSTAKA
Hayati, R. (2020). Kebijakan Ekonomi Islam Umar Bin Khattab dalam Menghadapi
Krisis. Al-Mawarid Jurnal Syariah Dan Hukum (JSYH), 2(2).
Ash-Shalabi, Muhammad dkk. (2017). BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB. Ummul Qur’an.
Handayani, T., & Huda, N. (2023). Relevansi Kebijakan Fiskal Umar bin Khattab dengan
APBN Indonesia 2023. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 9(2), 2759-2772.