Nim : B200130381 / A
Sampai tahun ke-4 Hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil.
Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir, suatu suku yang tinggal di pinggiran
Madinah. Kelompok ini masuk dalam piagam Madinah, tetapi mereka melanggar
perjanjian sehingga mereka ditaklukkan dan dipaksa meninggalkan kota. Semua milik
Banu Nadir yang ditinggalkan dan dibagikan kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar
yang miskin.
Harta rampasan perang juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relatif
tidak besar jika dibandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Zakat dan Ushr
merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat mulai
diwajibkan kecuali perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, dan orang yang
menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari beberapa sumber,
misalnya: tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslim, khumuz atau rikaz (harta
karun temuan pada periode sebelum Islam), amwal fadhla (harta kaum muslimin yang
meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak bagi muslimin kaya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, zakat fitrah, kaffarat (denda atas
kesalahan yang dilakukan seorang mislim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari
kaum muslim.
Pada periode ini banyak sarjana muslim yag pernah hidup bersama para sahabat
Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang
autentik. Beberapa diantaranya adalah:
Zaid bin Ali, cucu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib merupakan ekonom pertama yang
memperbolehkan adanya harga tangguh tempo lebih tinggi daripada harga tunai. Namun,
ia melarang tegas riba dalam bentuk apapun.
Salah satu kebijakan Abu Hanifa adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan
dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan Syariah dalam hubungan
dengan jual beli dan dia menyebutkan contoh, murabahah. Dalam murabahah persentase
kenaikan harga didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga
pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifa dibidang perdagangan
menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini dan
transaksi yang sejenis.
Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani telah menulis beberapa buku, antara lain Kitab al
Iktisab fiil Rizq al Mustahab dan Kitab al Asl. Buku pertama banyak membahas berbagai
aturan Syariat tentang ijarah (hiring out), tijarah (trade), ziraah (agriculture), dan sinaah
(industry). Perilaku konsumsi ideal menurutnya adalah sederhana, suka memberikan
derma (charity), tetapi tidak suka meminta- minta. Buku yang kedua membahas berbagai
bentuk transaksi/ kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam (prepaid order),
sharikah (partnership), dan mudharabah.
Buku yang ditulis oleh Abu Ubayd yang berjudul Al Amwal yang membahas keuangan
publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Didalamnya dibahas secara mendalam
tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj,
fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya.
Harith bin Asad menulis buku berjudul Al Makasib yang membahas cara- cara
memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri, dan
kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh secara baik dan tidak
melampaui batas/ berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara
lazim, sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah sikap muslim yang benar-
benar Islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus bekerja sama dan menguk
sikap pedagang yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).
Junaid Baghdadi merupakan seorang sufi, karenanya ide- idenya tentang ekonomi
tergambar dari ajaran- ajaran tasawufnya. Menurutnya, inti dari ajaran tasawuf adalah
membuang motivasi untuk mementingkan diri sendiri dalam meningkatkan kualitas
spiritual serta mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar. Seorang muslim juga
harus melakukan apa yang terbaik untuk kepentingan abadi, mengharapkan kebajikan
untuk seluruh masyarakat, serta menjadi benar- benar beriman kepada Allah swt dengan
mengikuti sunah Nabi Muhammad saw.
Ibn Miskwaih menulis buku yang berjudul Tahdib al Akhlaq yang banyak membahas
tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya, manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan
barang dan jasa. Karenanya, menusia akan melakukan pertukaran barang dan jasa dengan
kompensasi yang pas. Dalam melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat
penilai dan penyeimbang dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan.
Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al Ahkam
al Sulthoniyyah dan Adab al Din wa’l Dunya. Bukunya yang pertama banyak membahas
tentang pemerintah dan administrasi, juga terdapat tugas muhtasib untuk mengawasi
pasar, menjamin ketepatan timbangan dan berbagai ukuran lainnya, serta mencegah
penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin dari ketentuan syariah. Buku yang kedua
banyak membahas tentang perilaku ekonomi muslim secara individual yang disampaikan
melalui ajaran- ajaran tasawuf tentang budi luhur dalam perekonomian dan juga
membahas perilaku- perilaku yang dapat merusak budi luhur.
Ibn Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas,
peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus
mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen, pedagang, dan para
agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus
menjamin pasar berjalan dengan bebas dan terhindar dari praktik- praktik pemaksaan,
menipulasi, dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan
dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan
kebutuhan dasar dari rakyatnya.
Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem pasaryang bebas.
Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan efensiensi
sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahap- tahap pertumbuhan dan penurunan
perekonomian dimana dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Ia
juga menekankan pentingnya demand side economics khususnya pengeluaran pemerintah,
sebagaimana pandangan Keynesian, untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga
pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus dikurangi dan
pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi.
Tusi sangat menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang berlebihan
serta pengeluaran- pengeluaran untuk aset- aset yang tidak produktif, seperti perhiasan
dan pnimbunan tanahtidak produktif. Ia memandang pentingnya pembangunan pertanian
sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak, dimana
berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariah Islam harus dilarang.
Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat
Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terhadap beberapa
pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, sebagaimana tampak
dalam karya dari:
Muhammad Iqbal dikenal sebagai filosof, sustrawan juga pemikir politik tetap sebenarnya
ia juga memiliki pemikiran- pemikiran ekonomi yang brilian. Pemikirannya memang
tidak berkisar tentang hal- hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih kepada konsep- konsep
umum yang mendasar. Iqbal menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan
komunisme dan menampilkan suatu pemikiran ‘poros tengah’ yang dibuka oleh Islam.