Anda di halaman 1dari 8

Nama : Mega Wahyu Widawati

Nim : B200130381 / A

Mata Kuliah : Ekonomi Islam-Tugas 2

1) 7 tokoh penggagas ekonomi islam:

A. Perekonomian di Masa Rasulullah Saw (571- 632 M)

Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian,


sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi
orang orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri
membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab.
Meskipun perekonomian pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah
menunjukkan prinsip- prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum
dari dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap
pemerataan kekayaan.

Sebagaimana pada masyarakat Arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk


Madinah adalah berdagang, sebagian lainnya bertani, beternak, dan berkebun. Berbade
dengan Makkah yang gersang sebagian tanah di Madinah relatif subur sehingga pertanian,
peternakan dan perkebunan dapat dilakukan di kota ini. Kegiatan ekonomi pasar relatif
menonjol pada masa itu, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam
bingkai etika dan moralitas Islam, Rasulullah mendirikan Al Hisbah untuk mengontrol
pasar dan membentuk Baitul Maal untuk kesejahteraan masyarakat.

Rasulullah mengawali pembangunan Madinah tanpa sumber keuangan yang pasti


sementara distribusi kekayaan juga timpang. Sumber pemasukan negara barasal dari
beberapa sumber tetapi yang palin pokok adalah Zakat dan Ushr. Secara garis besar
pemasukan negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat Islam sendiri berupa Zakat,
Ushr (5-10%), Ushr (2,5%), Zakat Fitrah, Wakaf, Amwal Fadila, Nawaib, Shadaqah yang
lain, dan Khumus. Dari non- muslim berupa Jizyah, Kharaj, dan Ushr (5%) dan umum
berupa Ghanimah, Fay, Uang tebusan, pinjaman dari kaum muslim atau non- muslim, dan
hadiah dari pemimpin atau pemerintah negara lain.

Sampai tahun ke-4 Hijrah, pendapatan dan sumber daya negara masih sangat kecil.
Kekayaan pertama datang dari Banu Nadir, suatu suku yang tinggal di pinggiran
Madinah. Kelompok ini masuk dalam piagam Madinah, tetapi mereka melanggar
perjanjian sehingga mereka ditaklukkan dan dipaksa meninggalkan kota. Semua milik
Banu Nadir yang ditinggalkan dan dibagikan kepada kaum Muhajirin dan kaum Anshar
yang miskin.

Harta rampasan perang juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relatif
tidak besar jika dibandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Zakat dan Ushr
merupakan sumber pendapatan pokok, terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat mulai
diwajibkan kecuali perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, dan orang yang
menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.

Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari beberapa sumber,
misalnya: tebusan tawanan perang, pinjaman dari kaum muslim, khumuz atau rikaz (harta
karun temuan pada periode sebelum Islam), amwal fadhla (harta kaum muslimin yang
meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib (pajak bagi muslimin kaya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, zakat fitrah, kaffarat (denda atas
kesalahan yang dilakukan seorang mislim pada acara keagamaan), maupun sedekah dari
kaum muslim.

B. Pemikiran Ekonomi Islam: Kilasan Tokoh dan Pemikirannya

Terminoligi pemikiran ekonomi Islam disini mengandung dua pengertian, yaitu


pemikiran ekonomi yang dikemukakan oleh parasarjana muslim dan pemikiran ekonomi
yang didasarkan atas agama Islam. Dalam realitas kedua pengertian ini sering kali
menjadi kesatuan, sebab para sarjana muslim memang menggali pemikirannya
mendasarkan pada ajaran Islam. Pemikiran ekonomi dalam ajaran Islam. Pemmikiran
ekonomi dalam islam bertitik tolak dari Al Quran dan Hadis yang merupakan sumber dan
dasar utama Syariat Islam.
Nejatullah Siddiqi telah membagi sejarah pemikiran ini menjadi tiga periode, yaitu
periode pertama/ fondasi (Masa awal Islam – 450 H/1058 M), periode kedua (450-850
H/1058-1446 M), dan periode ketiga (850-1350 H/1446-1932 M). Periodesasi ini masih
didasarkan pada kronologikal (urutan waktu) semata bukan berdasarkan kesamaan atau
kesesuaian ide pemikiran. Hal ini dilakukan karena studi tentang sejarah pemikiran
ekonomi Islam masih pada tahap eksplorasi awal. Dan ditambahkan periode kontemporer
(pemikiran yang muncul sejak tahun 1930-an sampai sekarang).

1. Periode Pertama/Fondasi (Masa Awal Islam- 450 H/1058 M)

Pada periode ini banyak sarjana muslim yag pernah hidup bersama para sahabat
Rasulullah dan para tabi’in sehingga dapat memperoleh referensi ajaran Islam yang
autentik. Beberapa diantaranya adalah:

a. Zaid bin Ali (120 H/798 M)

Zaid bin Ali, cucu Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib merupakan ekonom pertama yang
memperbolehkan adanya harga tangguh tempo lebih tinggi daripada harga tunai. Namun,
ia melarang tegas riba dalam bentuk apapun.

b. Abu Hanifa (80-150 H/699- 767 M)

Salah satu kebijakan Abu Hanifa adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan
dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan Syariah dalam hubungan
dengan jual beli dan dia menyebutkan contoh, murabahah. Dalam murabahah persentase
kenaikan harga didasarkan atas kesepakatan antara penjual dan pembeli terhadap harga
pembelian yang pembayarannya diangsur. Pengalaman Abu Hanifa dibidang perdagangan
menjadikan beliau dapat menentukan mekanisme yang lebih adil dalam transaksi ini dan
transaksi yang sejenis.

c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Abu Yusuf menekankan pentingnya prinsip keadilan, kewajaran dan penyesuaian


terhadap kemampuan membayar dalam perpajakan, serta perlunya akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan negara. Ia juga membahas teknik dan sistem pemungutan pajak,
serta perlunya sentralisai pengambilan keputusan dalam administrasi perpajakan.
Menurutnya, negara memiliki peranan besar dalam menyediakan barang/ fasilitas publik,
yang dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi, seperti: jalan, jembatan, bendungan, dan
irigasi. Dalam aspek mikro ekonomi, ia juga telah mengkaji bagaimana mekanisme harga
bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan
terhadapnya.

d. Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani (132-189 H/750-804 M)

Muhammad bin Al Hasan Al Shaybani telah menulis beberapa buku, antara lain Kitab al
Iktisab fiil Rizq al Mustahab dan Kitab al Asl. Buku pertama banyak membahas berbagai
aturan Syariat tentang ijarah (hiring out), tijarah (trade), ziraah (agriculture), dan sinaah
(industry). Perilaku konsumsi ideal menurutnya adalah sederhana, suka memberikan
derma (charity), tetapi tidak suka meminta- minta. Buku yang kedua membahas berbagai
bentuk transaksi/ kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam (prepaid order),
sharikah (partnership), dan mudharabah.

e. Abu Ubayd Al Qasim Ibn Sallam (224 H/838 M)

Buku yang ditulis oleh Abu Ubayd yang berjudul Al Amwal yang membahas keuangan
publik/kebijakan fiskal secara komprehensif. Didalamnya dibahas secara mendalam
tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj,
fay, dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya.

f. Harith bin Asad Al Muhasibi (243 H/859 M)

Harith bin Asad menulis buku berjudul Al Makasib yang membahas cara- cara
memperoleh pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perdagangan, industri, dan
kegiatan ekonomi produktif lainnya. Pendapatan ini harus diperoleh secara baik dan tidak
melampaui batas/ berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau dibayarkan secara
lazim, sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah sikap muslim yang benar-
benar Islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus bekerja sama dan menguk
sikap pedagang yang melanggar hukum (demi mencari keuntungan).

g. Junaid Baghdadi (297 H/910 M)

Junaid Baghdadi merupakan seorang sufi, karenanya ide- idenya tentang ekonomi
tergambar dari ajaran- ajaran tasawufnya. Menurutnya, inti dari ajaran tasawuf adalah
membuang motivasi untuk mementingkan diri sendiri dalam meningkatkan kualitas
spiritual serta mengabdikan diri pada pengetahuan yang benar. Seorang muslim juga
harus melakukan apa yang terbaik untuk kepentingan abadi, mengharapkan kebajikan
untuk seluruh masyarakat, serta menjadi benar- benar beriman kepada Allah swt dengan
mengikuti sunah Nabi Muhammad saw.

h. Ibn Miskwaih (421 H/1030 M)

Ibn Miskwaih menulis buku yang berjudul Tahdib al Akhlaq yang banyak membahas
tentang pertukaran barang dan jasa serta peranan uang. Menurutnya, manusia adalah
makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya untuk memenuhi kebutuhan
barang dan jasa. Karenanya, menusia akan melakukan pertukaran barang dan jasa dengan
kompensasi yang pas. Dalam melakukan pertukaran uang akan berperan sebagai alat
penilai dan penyeimbang dalam pertukaran, sehingga dapat tercipta keadilan.

i. Mawardi (450 H/1058 M)

Pemikiran Mawardi tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul, Al Ahkam
al Sulthoniyyah dan Adab al Din wa’l Dunya. Bukunya yang pertama banyak membahas
tentang pemerintah dan administrasi, juga terdapat tugas muhtasib untuk mengawasi
pasar, menjamin ketepatan timbangan dan berbagai ukuran lainnya, serta mencegah
penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin dari ketentuan syariah. Buku yang kedua
banyak membahas tentang perilaku ekonomi muslim secara individual yang disampaikan
melalui ajaran- ajaran tasawuf tentang budi luhur dalam perekonomian dan juga
membahas perilaku- perilaku yang dapat merusak budi luhur.

2. Periode Kedua (450-850 H/1058-1446 M)


Pemikiran ekonomi pada masa ini banyak dilatarbelakangi oleh menjamurnya korupsi dan
dekadensi moral, serta melebarnya kesenjangan antara golongan miskin dan kaya,
meskipun secara umum kondisi perekonomian masyarakat Islam berada dalam taraf
kemakmuran. Terdapat pemikir- pemikir besar yang karyanya banyak dijadikan rujukan
hingga kini, diantaranya adalah:

a. Al Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)

Dalam pandangan Al Ghazali, kegiatan ekonomi merupakan amal kebajikan mencapai


maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan, dan keteguhan hati
manusia. Lebih jauh Al Ghazali membagi manusia ke dalam tiga kategori, yaitu: pertama,
orang yang kegiatan hidupnya sedemikian rupa sehingga melupakan tujuan akhirat.
Kedua, orang yang mementingkan tujuan akhirat daripada tujuan duniawi, golongan ini
akan beruntung. Dan ketiga, golongan pertengahan/kebanyakan orang, yaitu mereka yang
kegiatannya sejalan dengan tujuan akhirat.

b. Ibn Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M)

Ibn Taimiyah telah membahas pentingnya suatu persaingan dalam pasar yang bebas,
peranan “market supervisor” dan lingkup dari peranan negara. Negara harus
mengimplementasikan aturan main yang Islami sehingga produsen, pedagang, dan para
agen ekonomi lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus
menjamin pasar berjalan dengan bebas dan terhindar dari praktik- praktik pemaksaan,
menipulasi, dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar sehingga persaingan
dapat berjalan dengan sehat. Selain itu, negara bertanggung jawab atas pemenuhan
kebutuhan dasar dari rakyatnya.

c. Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)

Secara umum Ibn Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu sistem pasaryang bebas.
Ia menentang intervensi negara terhadap masalah ekonomi dan percaya akan efensiensi
sistem pasar bebas. Ia juga telah membahas tahap- tahap pertumbuhan dan penurunan
perekonomian dimana dapat saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Ia
juga menekankan pentingnya demand side economics khususnya pengeluaran pemerintah,
sebagaimana pandangan Keynesian, untuk mencegah kemerosotan bisnis dan menjaga
pertumbuhan ekonomi. Dalam situasi kemerosotan ekonomi, pajak harus dikurangi dan
pemerintah harus meningkatkan pengeluarannya untuk merangsang pertumbuhan
ekonomi.

d. Nasiruddin Tusi (485 H/1093 M)

Tusi sangat menekankan pentingnya tabungan dan mengutuk konsumsi yang berlebihan
serta pengeluaran- pengeluaran untuk aset- aset yang tidak produktif, seperti perhiasan
dan pnimbunan tanahtidak produktif. Ia memandang pentingnya pembangunan pertanian
sebagai fondasi pembangunan ekonomi secara keseluruhan dan untuk menjamin
kesejahteraan masyarakat. Ia juga merekomendasikan pengurangan pajak, dimana
berbagai pajak yang tidak sesuai dengan syariah Islam harus dilarang.

3. Periode Ketiga (850-1350 H/1446-1932 M)

Dalam periode ketiga ini kejayaan pemikiran, dan juga dalam bidang lainnya, dari umat
Islam sebenarnya telah mengalami penurunan. Namun demikian, terhadap beberapa
pemikiran ekonomi yang berbobot selama dua ratus tahun terakhir, sebagaimana tampak
dalam karya dari:

a. Shah Waliullah (1114-1176 H/1703-1762 M)

Berdasarkan pengamatannya terhadap perekonomian di Kekaisaran Mughal India,


Waliullah mengmukakan dua faktor utama yang menyababkan penurunan pertumbuhan
ekonomi. Dua faktor tersebut yaitu: pertama, keuangan negara dibebani dengan berbagai
pengeluaran yang tidak produktif. Kedua, pajak yang dibebankan kepada pelaku ekonomi
terlalu berat sehingga menurunkan semangat berekonomi. Menurutnya, perekonomian
dapat tumbuh jika terdapat tingkat pajak yang ringan yang didukung oleh administrasi
yang efisiensi.

b. Muhammad Iqbal (1289-1356 H/1873-1938 M)

Muhammad Iqbal dikenal sebagai filosof, sustrawan juga pemikir politik tetap sebenarnya
ia juga memiliki pemikiran- pemikiran ekonomi yang brilian. Pemikirannya memang
tidak berkisar tentang hal- hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih kepada konsep- konsep
umum yang mendasar. Iqbal menganalisis dengan tajam kelemahan kapitalisme dan
komunisme dan menampilkan suatu pemikiran ‘poros tengah’ yang dibuka oleh Islam.

Anda mungkin juga menyukai