Anda di halaman 1dari 24

SEJARAH DAN PRAKTEK EKONOMI ISLAM

Disusun Oleh:

1. Indah Setyorini (201914501251)


2. Nasyitha Mahda Khaira (201914501269)
3. Indah Dwi Ayu Rahmawati (201914501270)

Mata Kuliah: Ekonomi Syariah

Dosen Mata Kuliah: Muzdalifah, S.E.,M.A.

UNIVERSITAS INDRPRASTA PGRI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN PENGETAHUAN SOSIAL

PENDIDIKAN EKONOMI

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum ilmu ekonomi mengajarkan tentang bagaimana manusia
memenuhi kebutuhan yang relatif terbatas dan bagaimana dapat memenuhi keinginannya
yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas. Ekonomi mengajarkan bagaimana
manusia memilih dan menentukan barang-barang yang akan dibeli dengan pendapatan
yang dimiliki. Kata syariah berasal dari bahasa Arab as-syariah yang memiliki konotasi
masyra’ah al-ma’ (sumber air minum).
Di sepanjang sejarah umat manusia negara menjadi salah satu fenomena
kehidupan umat manusia. Di zaman sekarang konsep negara berkembang begitu pesatnya
menjadi bentuk yang paling sempurna dari sebelumnya yang sangat sederhana
bentuknya. Bersamaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan umat manusia negara terus
menerus dijadikan objek perhatian, disebabkan negara merupakan bentuk organisasi
kehidupan bersama dalam masyarakat.
Dalam melakukan interaksi antarsesama, kita tidak bisa terhindar dari perilaku
jual-beli, utangpiutang, pinjam-meminjam, dan sewa-menyewa. Akan tetapi, karena
mungkin ketidaktahuan kita, sering kali kita melanggar ketentuanketentuan yang berlaku.
Akibatnya, banyak orang yang dirugikan.

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai “Sejarah dan Praktek Ekonomi
Islam” dengan rumusan masalah, meliputi:
1. Bagaimana perkembangan ekonomi di masa Rasulullah SAW?
2. Bagaimana perekonomian di masa Khulafa Ar-Rasyidin?
3. Siapa sajakah tokoh pemikiran ekonomi Islam?
4. Siapa sajakah tokoh ekonomi Islam Kontemporer?
5. Apa saja praktek-praktek ekonomi Islam?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Agar mampu menelusuri perkembangan ekonomi Islam
2. Agar mampu menelusuri sejarah dan praktek ekonomi Islam pada masa Rasulullah
SAW
3. Agar mampu menelusuri sejarah dan praktek ekonomi Islam pada masa Khulafa Ar-
Rasyidin
4. Agar mampu mengenali tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam Kontemporer
5. Agar mampu mengetahui praktek-praktek Ekonomi Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Praktek Ekonomi Islam


1. Sejarah Ekonomi Islam
a. Ekonomi Islam di Era Nabi Muhammad SAW, Sahabat, hingga Abad
Pertengahan
1) Sejarah Ekonomi di Era Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh besar sepanjang masa yang
dilahirkan di Makkah pada tahun 571 M dari pasangan Sayyid Abdullah bin Abd.
Mutalib dan Sayyidah ‘Aminah. Dilahirkan dalam keadaan yatim dan di usia yang
masih sangat belia sudah ditinggalkan sang Ibu, menjadikan Muhammad berada
di bawah pengasuhan kakek dan berlanjut ke pamannya yang mana sejak usia
belia sudah diperkenalkan pada aktivitas ekonomi pada waktu itu, yakni
penggembalaan ternak dan perniagaan. Karakteristik yang disematkan kepada
Beliau sejak kecil adalah al-Amin atau yang sering diartikan dengan dapat
dipercaya. Kejujuran dan kesanggupan melaksanakan amanah dengan sebaik
mungkin ini merupakan cikal bakal sukses beliau di bidang perniagaan dan pada
akhirnya Sayyidah Khadijah yang merupakan saudagar yang mempekerjakanya
pun kemudia tertarik kepada kepribadian Muhammad, sehingga mereka menjadi
pasangan suami istri.
Karakteristik dan pemikiran Nabi Muhammad SAW di ranah perniagaan
yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam aktivitas ekonomi:
1) Niat berniaga karena Allah SWT. dan bertransaksi secara jujur
2) Selalu menepati janji dan mengantarkan barang-barang yang
kualitasnya telah disepakati secara tepat waktu
3) Sungguh-sungguh dalam setiap urusan dan segera mengerjakan
urusan yang lain begitu selesai mengerjakan satu urusan
4) Melarang memperdagangkan segala sesuatu yang tidak halal dan
dilarang oleh Allah SWT
5) Melarang menyembunyikan cacat suatu produk yang diperdagangkan
dari pembeli
6) Melarang transaksi yang mengandung riba
7) Memberikan waktu tangguh terhadap pelanggan yang tidak sanggup
membayar kontan
8) Bertransaksi berdasarkan keseapakatan bersama atau dengan suatu
usulan dan penerimaan
9) Penjual harus tegas terhadap timbangan dan takaran, dan
10) Melarang bentuk monopoli dalam perdagangan

Beberapa hal yang senantiasa dilaksanakan oleh Rasulullah Muhammad


SAW tersebut tetap relevan dan universal untuk aktivitas ekonomi. Aspek moral
dan legal yang dicontohkan dalam perniagaan tradisional tersebut memiliki
konsep dengan etika, moral, dan legal dunia modern yang menjadi kunci sukses
dari suatu aktivitas ekonomi. Transaksi berbasis akad-akad tradisional seperti jual-
beli, sewa-menyewa, bagi hasil dan di bidang jasa sudah lazim dilaksanakan di era
Nabi dan tetap relevan hingga saat ini.

Pada hakikatnya adanya sistem ekonomi Islam bukanlah respon dari


adanya sistem ekonomi konvensional, melainkan sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW. Ketika Rasulullah diangkat sebagai kepala negara, hal utama
yang dilakukan rosul adalah membangun sebuah kehidupan sosial yang bersih
dari berbagai tradisi, ritual dan norma yang bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Seluruh kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai qur’ani,
seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan.

2) Sejarah Ekonomi Islam pada Masa Al-Khulafa Ar-Rasyidin


Setelah Rasulullah SAW wafat, kepemimpinan beliau digantikan oleh empat
(4) orang sahabatnya. Mereka dinamakan Khulafa Ar-Rasyidin yang
diantaranya adalah:
a. Abu Bakar As-Shiddiq
Setelah Rasulullah meninggal dunia, kepemimpinan umat Islam
dipegang oleh Abu Bakar As-Shiddiq. Awal kepemimpinannya di bidang
ekonomi dihadapkan pada masalah pembangkangan sebagian umat Islam
terhadap kewajiban membayar zakat. Sebagaimana diketahui bahwa zakat
adalah sumber pendapatan keuangan negara, sehingga Abu Bakar
memerintahkan untuk melakukan peperangan terhadap para pembangkang
kewajiban zakar ini.
Hasil dari pengumpulan zakat disimpan dalam Baitul Mal untuk
langsung didistribusikan seluruhnya pada kaum muslimin hingga tidal ada
yang tersisa. Dalam pendistribusian harta Baitul Mal, Abu Bakar
menerapkan prinsip kesamarataan, yakni memberikan jumlah yang sama
pada semua sahabat Rasulullah dan tidak membeda-bedakan antara
sahabat yang terlebih dahulu masuk Islan dengan sahabat yang kemudian.,
antara hamba dengan orang merdeka, dan antara pria dengan wanita.
Abu Bakar juga melaksanakan kebijakan pembagian tanah hasil
penaklukan. Sebagian diberikan kepada kaum muslimin dan sebagian
yang lain tetap menjadi tanggungan negara. Disamping itu, ia juga
mengambil alih tanah-tanah dari orang-orang yang murtad untuk
kemudian dimanfaatkan demi kepentingan umat Islam secara keseluruhan.
b. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab merupakan khalifah pengganti khalifa rasul
(Abu Bakar) yang menyandang gelar Amir al-Mu’minin pertama kali dan
terpilih Umar melalui penunjukan oleh Abu Bakar sesat sebelum
meninggal. Di lapangan ekonomi Islam, Umar lebih mengembangkan
Baitul Mal yang sudah ada sebelumnya menjadi sebuah lembaga reguler
dan permanen, serta dilengkapi dengan sistem administrasi yang lebih baik
dan lebih rapi.
Berbeda dengan Abu Bakar yang membagikan tanah taklukan,
Umar memperlakukan tanah-tanah taklukan sebagai tanah yang tetap
dimiliki oleh pemiliknya dengan syarat yang bersangkutan membayar
pajak atau yang dikenal dengan kharaj dan jizyah. Alasanya adalah jangan
sampai menimbulkan tuan-tuan tanah dan tanah tetap dikelola oleh
pemiliknya yang lebih ahli di pertanian.
c. Utsman bin Affan
Berbeda dengan Umar bin Khattab yang ditunjuk oleh Abu Bakar,
Usman bin Affan adalag khalifah yang terpilih dari Dewan Formatur yang
dibentuk oleh Umar bin Khattab. Di bidang ekonomi Islam terutama
dalam tata kelola zakat, Usman adalah yang pertama mengenalkan self
assemssment pada zakat, yakni dengan mendelegasikan kewenangan
menaksir harta yang wajib dizakati kepada pemiliknya masing-masing.
Hal ini dilakukan untuk mengamankan zakat dari berbagai gangguan dan
masalah dalam pemeriksaan kekayaan yang tidak jelas oleh beberapa
oknum pengumpul zakat.
d. Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib merupakan sepupu Nabi Muhammad SAW,
menantu, dan sekaligus khalifah terakhir dari periode khulafa ar-
rasyiddin, serta khalifah yang dipilih pada saat terjadi kemelut politik
pasca terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan atau yang dikenal dengan
fitnah kubra. Tanpa mengulang perdebatan politik di era tersebut.
Salah satu langkah di bidang ekonomi yang dilakukan pada masa
Ali bin Abi Thalib adalah mengakhiri hasil kesepakatan di era Umar bin
Khattab yang isinya berupa “tidak didistribusikannya seluruh pendapatan
yang diperoleh baitulmal, melainkan menyimpan sebagian untuk
cadangan”. Prinsip utama distribusi yang diperkenalkan oleh Ali adalah
sistem distribusi mingguan yang dilakukan setiap hari Kamis dan pada
hari Sabtu dimulai perhitungan baru terhadap pendapatan yang diperoleh
baitulmal.
Dalam suratnya yang dikirim ke Malik Al-Asar (Gubernur Mesir),
Khalifah Ali memberikan tugas di bidang ekonomi, yakni: (1) mengatur
dan mengurus permasalahan dan kebutuhan masyarakat; (2) memperbarui
kota tua dan membangun yang baru; (3) mengumpulkan kharaj; dan (4)
mempersiapkan pertahanan negara. Kepada Gubernur tersebut, Ali
kembali menegaskan bahwa pendapatan baitulmal harus benar-benar
didistribusikan kepada pihak-pihak yang telah disebutkan Allah dalam
firman-Nya dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW selaku utusan-
Nya.
b. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam pada Abad Pertengahan
1) Al-Ghazali
Pemikiran Ekonomi al-Ghazli didasarkan pada pendekatan tasawuf.
Hal ini disebabkan oleh kondisi pada masanya yang menunjukkan bahwa
orang-orang kaya dan berkuasa pada saat itu sulit menerima pendekatan fikih
dan filosofis pada saat dibahas mengenai hari pembalasan. Dari berbagai
karya al-Gazhali, pembicaraan mengenai ekonomi antara lain tertuang dalam
karya monumentalnya Ihya al-Ulum al-Din dan kitab Nasiḥah al-Muluk.
Perhatian al-Gazali dalam kedua kitab tersebut fokus pada perilaku individu
dengan mendasarkan pada al-Qurʾan, sunah, fatwa sahabat dan tabiʿin, serta
ajaran-ajaran kaum sufi terkemuka.
Al-Gazali mengaitkan aspek ekonomi dan fungsi kesejahteraan
sosial dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial, yakni
kebutuhan (daruriyyat), kesenangan atau kenyamanan (hajiyyat), dan
kemewahan (tahsiniyyat). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa
pengembangan ekonomi merupakan bagian dari tugas-tugas kewajiban sosial
(fard al-kifayah) yang sudah ditetapkan Allah, sehingga apabila aneka
kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, khususnya pada level daruriyyat, maka
kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Aktivitas
ekonomi harus dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari tugas
keagamaan seseorang.
2) Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah tertuang dalam berbagai
karyanya, antara lain Majmuʻ Fatwa Syaikh al-Islam, al-Siyasah al-Syarʻiyyah
dan al-Hisbah fi al-Islam. Pemikiran di bidang ekonomi syariah Ibnu
Taimiyah dapat dipilah ke dalam dua tema, yakni: (1) Harga yang adil,
mekanisme pasar, dan regulasi harga; dan (2) Uang dan kebijakan moneter.
Berkaitan dengan harga yang adil, Ibnu Taimiyah menggunakan dua istilah,
yakni kompensasi yang setara dan harga yang setara. Kompensasi yang setara
bersifat relatif dan bertahan lama karena terbentuk dari kebiasaan, sedangkan
harga yang setara itu bervariasi dan ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Kompensasi yang setara adalah istilah lain dari upah yang diberikan kepada
pekerja atau pemberi jasa, sedangkan harga yang setara merupakan harga
pasar atas suatu komoditas yang ditentukan oleh interaksi antara penawaran
dan permintaan, serta hasil tawar-menawar antara penjual dan pembeli di
pasar.
Mekanisme pasar ditentukan oleh interaksi bebas antara penawaran
dan permintaan yang oleh Ibnu Taimiyah diyakini sebagai perbuatan Allah
SWT., sehingga dalam hal demikian pemerintah dilarang melakukan
penetapan harga, karena hal demikian bisa menghilangkan keuntungan
pedagang dan menyebabkan terjadinya kerusakan harga, penyembunyian
barang oleh para pedagang serta rusaknya kesejahteraan masyarakat. Lebih
lanjut ditegaskan bahwa penetapan harga melalui regulasi harga oleh
penguasa dibedakan menjadi dua jenis, yakni penetapan harga yang tidak adil
dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum.
Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan
harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi sebagai akibat
persaingan pasar bebas melalui interaksi penawaran dan permintaan,
sedangkan penetapan harga dianggap adil dan sah menurut hukum, manakala
dilakukan oleh penguasa karena terjadi kompetisi yang tidak sehat dan praktik
monopoli atau dalam keadaan darurat bencana sehingga adanya penetapan
harga yang adil dapat membantu masyarakat terdampak.
3) Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun merupakan ekonomi muslim yang terkenal karena
cemerlang dan luas bahasannya tentang ekonomi. Ia menulis buku
muqadimah, dalam bukunya tersebut Ibnu Khaldun memberikan bahasan yang
luas terhadap teori nilai, pembagian kerja dan perdagangan internasional,
hukum permintaan dan penawaran, konsumsi, produksi, uang, siklus
perdagangan, keuangan publik, dan beberapa bahasan makro ekonomi
lainnya.
Secara umum Ibnu Khaldun sangat menekankan pentingnya suatu
sistem pasar yang bebas. Ia menentang intervensi negara terhadap masalah
ekonomi dan percaya akan efisiensi sistem pasar bebas. Ia juga telah
membahas tahap pertumbuhan dan penurunan perekonomian dimana dapat
saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.
4) Al-Maqrizi
Berbeda dengan pemikir ekonomi sebelumnya yang cenderung
normatif, al-Maqrizi memiliki kecenderungan yang lebih positif yakni dengan
melakukan studi khusus tentang uang dan inflasi dengan melihat secara
empiris yang terjadi di lapangan. Hal ini menjadi suatu konsekuensi logis dari
posisinya sebagai pengawas pasar (muhtasib). Dikatakan sebagai penerus Ibnu
Khaldūn, karena al-Maqrizi mengembangkan analisis ekonomi Ibnu Khaldūn
melalui buku berjudul Igasah al-Ummah bi Kasyfil Gummah (menolong
rakyat dengan mengetahui sebab-sebab penyakitnya).
Menurut al-Maqrizi uang dari masa ke masa digunakan oleh
manusia untuk menentukan harga barang dan biaya tenaga kerja, sehingga
emas dan perak adalah medium yang paling tepat karena memiliki kestabilan
nilai intrinsik. Emas dan perak sebagai mata uang diadopsi dari Romawi dan
Persia dengan bobot dua kali lebih berat di masa Islam. Berbagai fakta dalam
sejarah tersebut menurut al-Maqrizi mengidentifikasikan bahwa mata uang
yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika
maupun tradisi hanya yang terbuat dari emas dan perak, sehingga mata uang
yang terbuat dari selain kedua logam ini tidak layak disebut sebagai mata
uang. Lebih lanjut dinyatakan bahwa keberadaan fiat money tetap diperlukan
sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk
berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari atau transaksi yang
berskala kecil.
c. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam pada Masa Kontemporer
Kontemporer merupakan era yang dikenal pasca abad pertengahan, yakni
ketika manusia masuk ke zaman modern. Titik awal zaman modern ditandai
dengan bergulirnya renaissance di Eropa dengan hasil konkret berupa lahirnya
revolusi industri 1.0 yang berbuntut pada kolonialisme modern menggantikan
kolonialisme klasik. Oleh karena itu, ketika berbicara mengenai pemikiran
ekonomi dan keuangan syariah kontemporer, sebenarnya berbicara mengenai
pemikiran intelektual muslim dalam merespons kolonialisme yang dalam sektor
ekonomi menimbulkan kapitalisme dan sosialisme.
Pembahasan pemikiran ekonomi syariah pada sub bab ini, yakni dengan
terlebih dahulu mengelompokkan pemikiran ekonomi syariah ke dalam tiga
mazhab sebagaimana tersebut di muka, yakni: (1) mazhab iqtisaduna (subjektif
transendental); (2) mazhab mainstream (positivisme); dan (3) mazhab alternatif
(kritis), yaitu antara lain sebagai berikut:
1) Mazhab Pemikiran Ekonomi Syariah Kontemporer di Dunia
a) Mazhab Iqtisaduna (Subjektif Transendental)
Mazhab ini sebagaimana dikemukakan di depan dipelopori oleh
seorang fakih dari Iran, yakni Mohammad Baqir al-Sadr. Salah satu cita-
cita tokoh ini adalah dijalankannya sistem ekonomi yang spiritualis,
berkarakter, dan tidak melulu menyandarkan pada kepentingan modal dan
akumulasi keuntungan. Pemikiran Baqir al-Sadr tertuang dalam salah satu
karya masterpiece berjudul Iqtisaduna (Our Economy).
Premis yang menjadi dasar keseluruhan metode iqtisaduna
bersumber dari perbedaan antara doktrin dan ilmu pengetahuan dengan
mazhab, sehingga ekonomi Islam didefinisikan sebagai cara yang
ditempuh sebuah masyarakat untuk mencapai pembangunan ekonomi dan
mengenali permasalahan praktis, sedangkan ekonomi Islam sebagai ‘ilm
(sains, pengetahuan) didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
menjelaskan kehidupan ekonomi dan rantai-rantai antara fakta-fakta
ekonomi dan penyebab serta faktor-faktor yang menentukannya.
Terdapat empat tesis yang diberikan oleh Baqir Sadr, yaitu: (1)
Perekonomian Islam adalah sebuah mazhab, sebuah doktrin, bukan suatu
ilmu pengetahuan (‘ilm), memperlihatkan cara untuk mengikutinya di
bidang ekonomi, dan tidak menerangkan bagaimana peristiwa-peristiwa
ekonomi terjadi; (2)Perekonomian Islam didasarkan pada gagasan
keadilan, serta menekankan pada konsep halal dan haram guna menggapai
keadilan; (3)Hukum Islam adalah cara yang dianjurkan bagi perekonomian
Islam; dan (4)Perekonomian Islam didasarkan pada penemuan, bukan
pembentukan, artinya bangunan konseptual dalam berekonomi hakikatnya
sudah ada dalam ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan
sunah.
b) Mazhab Mainstream (Positivisme)
Mazhab Mainstream adalah salah satu mazhab pemikiran dalam
ekonomi syariah yang berupaya untuk melakukan pengilmiahan dan
penafsiran (interpretasi) ekonomi dengan menggantikan unsur-unsur yang
dilarang di dalamnya dengan unsur-unsur yang diperkenankan dalam
Islam. Postulat awal yang ada adalah bahwa tidak semua nilai, asas, dan
norma yang ada dalam sistem ekonomi konvensional bertentangan dengan
nilai, asas, dan norma dalam hukum Islam. Dalil yang sering dipakai
adalah “pada pokoknya semua aktivitas muamalah adalah boleh, kecuali
terdapat indikasi (qarinah) atau unsur yang dilarang oleh syariah dalam
aktivitas muamalah tersebut”.
Apabila disejajarkan dengan mazhab di bidang hukum, maka
menurut penulis Mazhab Mainstream masuk dalam kategori mazhab
positivisme. Pembangunan model ekonomi Islam, khususnya oleh Mazhab
Mainstream ini memiliki kesamaan dengan mazhab ekonomi ortodoks,
yakni menggunakan instrumen dan analisis yang sama berupa matematika
(quantitative) dan bahasa tautologi. Termasuk dalam mazhab ini, yakni M.
Umer Chapra, Muhammad Nejatullah Siddiqi, dan Muhammad Abdul
Manan.
Pertama, M. Umer Chapra. Umer Chapra menguasai tradisi
ilmiah Islam, materi dan metode ilmiah ekonomi positivisme sehingga
mengantarkannya sebagai seorang ekonom muslim yang diterima dan
dihargai di kalangan komunitas ekonomi internasional, serta menjadi
rujukan utama dalam keilmuan ekonomi Islam. Kedua, Mohammad
Nejatullah Siddiqi. Nejatullah Siddiqi mencoba mendialogkan antara
Islam sebagai doktrin dan ilmu ekonomi sebagai sebuah sains. Karya yang
dihasilkan antara lain di bidang Perbankan Islam (Banking Without
Interest-1983) dan pandangan Islam terhadap harta kekayaan (on Islam’s
View on Property-1969). Pada tahun 2004 IRTI-IDB mempublikasikan
karya Nejatullah Shiddiqi berjudul “Riba, Bank Interest and The Rationale
of Its Prohibition”. Salah satu kesimpulan dalam buku yang disebut
terakhir menunjukkan bahwa lembaga ekonomi Islam tidak menafikan
lembaga ekonomi konvensional, melainkan dengan mengganti unsur yang
tidak sesuai, yakni bunga (interest). Ketiga, M. Abdul Mannan. Abdul
Mannan juga seorang ekonom beraliran positivism dengan salah satu
karya terkenalnya berjudul “Islamic Economics: Theory and Practice”.
Dalam karyanya ini tampak bahwa Abdul Mannan adalah penganut
mazhab mainstream dengan ciri khas pengilmiahan ekonomi Islam.
c) Mazhab Alternatif (Kritis)
Inti kritik mazhab ini terhadap pemikiran Mazhab Baqir al-Sadr,
yakni bahwa mazhab subjektif transendental Baqir al-Sadr seringkali tidak
konstruktif dan esensial sebab berusaha menemukan sesuatu yang baru,
namun sebenarnya sudah ditemukan orang lain, sementara mazhab
mainstream dianggap tidak lebih dari pemikiran ekonomi klasik dengan
beberapa modifikasi seperti menghilangkan riba, menambah zakat, serta
memperbaiki niat.
Setidaknya terdapat tiga ahli ekonomi Islam yang dapat
dimasukkan ke dalam mazhab alternatif ini, yaitu Timur Kuran (University
of Southern California), Jomo K.S. (Harvard University), dan Muhammad
Arif. Ketiganya berpendapat bahwa Islam pasti benar, namun ekonomi
Islam belum tentu benar sebab ekonomi Islam lebih merupakan
interpretasi manusia terhadap ajaran Islam terkait ekonomi sebagaimana
tertuang dalam al-Qur’an dan sunah.
Pendapat dari ketiga ahli dimaksud berkaitan dengan ekonomi
Islam yang akan penulis jelaskan sebagai berikut: Pertama, Timur Kuran.
Pendapat inti dari Timur Kuran, yaitu bahwa ekonomi Islam telah
menawarkan sistem ekonomi alternatif guna menggantikan atau
setidaknya mengimbangi sistem kapitalisme dan sosialisme, karena Islam
mempromosikan norma-norma tindakan (norms of behavior) dan sistem
redistribusi fiskal ketika Islam dipraktikkan secara utuh. Kedua, Jomo
K.S. Jomo memulai tulisannya dalam sebuah artikel yang menjadi bab
dalam sebuah buku berjudul “Islam and Capitalist Development: A
Critique of Robinson and Weber”. Jomo K.S mendasarkan pada al-Qur’an
dan sunah terutama ayat atau riwayat yang berkaitan dengan kepemilikan
privat (private ownership), yang mana secara substantif terjadi kontradiksi
antara nilai yang diatur dan diajarkan al-Qurʻan dan sunah dengan nilai-
nilai yang dianut oleh kapitalisme. Jomo K.S memberikan contoh
berkaitan dengan konsumerisme dan rasionalisme, bahwa konsumerisme
dalam kapitalisme adalah tonggak percepatan pertumbuhan ekonomi
karena dapat mendorong tingkat produksi yang lebih tinggi dan
rasionalisme yang ada di dalamnya adalah rasionalisme instrumental yang
fokus pada peningkatan kepuasan diri.
Ketiga, Muhammad Arif. Muhammad Arif menjelaskan bahwa ada
landasan filosofis yang menjadi akar dari ekonomi Islam. Setidaknya ada
5 (lima), yakni: (1) tauhid atau sebuah ketundukan Ilahiah dan kedaulatan
Tuhan. (2) rububiyyah yaitu arahan atau penyusunan sesuatu berdasarkan
kehendak Tuhan yang mengarah pada kesempurnaan. (3) khilafah, yakni
bahwa manusia bertugas menjadi wakil Tuhan di bumi untuk menjamin
berjalannya kehendak dan maqasid ilahiyah. (4) tazkiyyah, yakni
pembersihan yang dibarengi dengan pertumbuhan yang positif. (5)
accountability yaitu percaya bahwa segala sesuatu akan
dipertanggungjawabkan kelak di hari pembalasan dan kepercayaan ini
berimplikasi pada kehidupan dunia. Kelimanya akan membentuk perilaku,
serta karakter terbaik yang ditujukan oleh orang Islam ketika melakukan
aktivitas ekonomi. Inti dari ekonomi Islam adalah aplikasi aturan-aturan
syariah untuk mencegah ketidakadilan dengan menekankan pada aplikasi
nilai kerja sama (cooperation) dan partisipasi (participation).

2) Pemikiran Ekonomi Syariah Kontemporer di Indonesia


Di Indonesia, tokoh kemerdekaan yang membolehkan bunga bank
adalah beberapa tokoh seperti Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta,
A. Hasan Bangil, dan Kasman Singodimedjo. Beberapa alasan yang mereka
kemukakan, dengan mengutip antara lain pendapat Muhammad Abduh, yakni
bahwa bunga bank berbeda dengan praktik riba, karena bunga bank tidak
memberatkan (tidak berlipat ganda), sebagaimana pesan QS. Ali Imran (3):
130.
Di samping itu, bunga bank juga bukan untuk kepentingan konsumsi
seperti yang dipraktikkan pada masa jāhiliyah (pra Islam), dan transaksi
sistem bunga pun dilakukan secara sukarela. Sementara itu, tokoh neorevivalis
yang mengharamkan bunga bank adalah para tokoh pendiri Bank Muamalat
seperti M. Amin Aziz dan Syafi’i Antonio.
Di level organisasi terdapat Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga berupaya untuk memberikan
jawaban atas permasalahan ijtihadiyah mengenai status bunga bank. Bunga
bank menjadi salah satu materi yang dibahas dalam Muktamar NU kedua 9
Oktober 1927 di Surabaya, yang pada pokoknya dihasilkan beberapa pendapat
bahwa status hukum bunga bank adalah: (1) Haram sebab termasuk utang
yang diambil manfaatnya (rente); (2) Halal karena tidak disyaratkan pada
waktu akad; (3) Syubhat sebab fukaha bersilang pendapat, sehingga Bahst al-
Masail pada akhirnya menetapkan bahwa hukum bank dan bunganya adalah
haram dengan alasan kehati-hatian (ikhtiyat).
Metode Istinbat yang digunakan oleh lembaga Bahst al-Masail NU
adalah dengan meng-qiyaskan pada hukum gadai terkait pemanfaatan barang
gadai yang diharamkan. Sementara itu, Muktamar Muhammadiyah di Sidoarjo
1968 menegaskan status bunga bank yang ada dalam bank konvensional dan
yang ada dalam koperasi simpan pinjam serta asuransi berbeda, bahwa dalam
bank konvensional hukumnya mutasyabihat, sedangkan dalam koperasi
simpan pinjam dan asuransi hukumnya mubah.
Keputusan dari muktamar tersebut selengkapnya adalah sebagai
berikut:
1) Riba hukumnya haram dengan nash-nash al-Quran dan al-
Sunnah.
2) Bank dengan sistem riba hukumnya haram dan bank tanpa riba
hukumnya halal
3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk
perkara mutasyabihat
4) Pengurus Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan
yang sesuai dengan kaidah Islam.

2. Praktek Ekonomi Islam


a. Mu’amalah
Mu’amalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk
urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dan sebagainya). Sementara dalam
fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah,
pinjammeminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa,
utangpiutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya
seperti berikut.
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara zalimm (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.

a) Macam-macam Mu’amalah
1) Jual Beli.
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar
benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli
dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:

Artinya:”...dan Allah Swt. telah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba...” (Q.S. al-Baqarah/2: 275). Apabila jual-beli itu
menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi
kekurangan di belakang hari, al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada
saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282.
2) Utang-Piutang.
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada
seseorang dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian. Tentu
saja dengan tidak mengubah keadaannya. Misalnya utang Rp100.000,00 di
kemudian hari harus melunasinya Rp100.000,00. Memberi utang kepada
seseorang berarti menolongnya dan sangat dianjurkan oleh agama.
Untuk menghindari keributan di kemudian hari, Allah Swt.
menyarankan agar kita mencatat dengan baik utang-piutang yang kita
lakukan. Jika orang yang berutang tidak dapat melunasi tepat pada
waktunya karena kesulitan, Allah Swt. menganjurkan memberinya
kelonggaran.
Artinya: “Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah
tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu
menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui..” (Q.S. al-
Baqarah/2: 280)
Apabila orang membayar utangnya dengan memberikan kelebihan
atas kemauannya sendiri tanpa perjanjian sebelumnya, kelebihan tersebut
halal bagi yang berpiutang, dan merupakan suatu kebaikan bagi yang
berutang. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik kamu,
ialah yang sebaik-baiknya ketika membayar utang.”
Bila orang yang berpiutang meminta tambahan pengembalian dari
orang yang melunasi utang dan telah disepakati bersama sebelumnya,
hukumnya tidak boleh. Tambahan pelunasan tersebut tidak halal sebab
termasuk riba. Rasulullah saw. berkata “Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat maka ia semacam dari beberapa macam riba.” (HR.
Baihaqi).
3) Sewa-Menyewa.
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijarah, artinya imbalan yang
harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini
berupa penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
Dasar hukum ijarah dalam firman Allah Swt.:

Artinya: “...dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut..” (Q.S. al-Baqarah/2: 233)
Artinya: “...kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu maka
berikanlah imbalannya kepada mereka...”(Q.S. at-talaq/65: 6)

b. Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua bagian
atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan.
a) Macam-Macam Syirkah
1) Syirkah ‘Inan. Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih
yang masingmasing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal).
Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
2) Syirkah ‘Abdan. Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau
lebih yang masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal),
tanpa kontribusi modal (amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti penulis naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu).
Syirkah ini juga disebut syirkah ‘amal.
3) Syirkah Wujuh. Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada
kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujūh adalah syirkah antara dua pihak yang sama-
sama memberikan kontribusi kerja (amal) dengan pihak ketiga yang
memberikan konstribusi modal (mal).
4) Syirkah Mufawadah. Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak
atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah
mufāwaḍah dalam pengertian ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis
syirkah yang sah berarti boleh digabungkan menjadi satu. Keuntungan
yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya, yaitu ditanggung oleh para
pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah ‘inān, atau ditanggung
pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau ditanggung mitra-mitra usaha
berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki jika berupa syirkah
wujūh
5) Mudarabah. Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak.
Pihak pertama menyediakan semua modal (sahibul mal), dan pihak
lainnya menjadi pengelola atau pengusaha (mudarrib). Keuntungan usaha
secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak. Akan tetapi, apabila mengalami kerugian, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau
kelalaian si pengelola, pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut.
6) Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah. Musaqah adalah kerja sama
antara pemilik kebun dan petani, pemilik kebun menyerahkan kepada
petani agar dipelihara dan hasil panennya nanti akan dibagi dua menurut
persentase yang ditentukan pada waktu akad. Muzara’ah adalah kerja
sama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dan petani penggarap.
Dalam kerja sama ini benih tanaman berasal dari petani. Sementara
Mukhabarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik
lahan dan petani penggarap. Dalam kerja sama ini, benih tanamannya
berasal dari pemilik lahan. Muzara’ah memang sering kali diidentikkan
dengan mukhabarah. Namun demikian, keduanya sebenarnya memiliki
sedikit perbedaan. Muzara’ah, benihnya berasal dari petani penggarap,
sedangkan mukhabarah benihnya berasal dari pemilik lahan.

c. Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun
dana masyarakat dan disalurkan kembali dengan menggunakan sistem bunga.
Hakikat dan tujuan bank ialah untuk membantu masyarakat yang memerlukan.
Bank membantu masyarakat dalam bentuk penyimpanan maupun peminjam, baik
berupa uang atau barang berharga lainnya dengan imbalan bunga yang harus
dibayarkan oleh masyarakat sebagai pengguna jasa bank.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu seperti berikut:
a) Bank Konvensional. Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya
menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik
perorangan maupun badan usaha. Penghimpunan dana digunakan untuk
mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b) Bank Islam atau Bank Syari’ah. Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank
yang menjalankan operasinya menurut syariat Islam. Istilah bunga yang ada
pada bank konvensional tidak ada dalam bank Islam. Bank syariah
menggunakan beberapa cara yang bersih dari riba, misalnya seperti berikut:
1) Mudarabah, yaitu kerja sama antara pemilik modal dan pelaku usaha
dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian dengan
persentase sesuai perjanjian. Dalam sistem mudarabah, pihak bank sama
sekali tidak mengintervensi manajemen perusahaan.
2) Musyarakah, yakni kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana
masing-masing pihak sama-sama memiliki saham. Oleh karena itu, kedua
belah pihak mengelola usahanya secara bersama-sama dan menanggung
untung ruginya secara bersama-sama pula.
3) Wadi’ah, yakni jasa penitipan uang, barang, deposito, maupun surat
berharga. Amanah dari pihak nasabah tersebut dipelihara dengan baik oleh
pihak bank. Pihak bank juga memiliki hak untuk menggunakan dana yang
dititipkan dan menjamin bisa mengembalikan dana tersebut sewaktu-
waktu pemiliknya memerlukan.
4) Qardul Hasan, yakni pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah
yang baik dalam keadaan darurat. Nasabah hanya diwajibkan
mengembalikan simpanan pokok pada saat jatuh tempo. Biasanya layanan
ini hanya diberikan untuk nasabah yang memiliki deposito di bank
tersebut sehingga menjadi wujud penghargaan bank kepada nasabahnya.
5) Murabahah, yaitu suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan
suatu jenis penjualan di mana penjual sepakat dengan pembeli untuk
menyediakan suatu produk, dengan ditambah jumlah keuntungan tertentu
di atas biaya produksi. Di sini, penjual mengungkapkan biaya
sesungguhnya yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang hendak
diambilnya.

d. Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya
pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti
pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan
takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung
(geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari
muamalah.
Dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh (jaiz) dengan suatu
ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Pada umumnya, para ulama berpendapat asuransi yang berdasarkan syari’ah
dibolehkan dan asuransi konvensional haram hukumnya.
Asuransi dalam ajaran Islam merupakan salah satu upaya seorang muslim
yang didasarkan nilai tauhid. Setiap manusia menyadari bahwa sesungguhnya
setiap jiwa tidak memiliki daya apa pun ketika menerima musibah dari Allah
Swt., baik berupa kematian, kecelakaan, bencana alam maupun takdir buruk yang
lain. Untuk menghadapi berbagai musibah tersebut, ada beberapa cara untuk
menghadapinya. Pertama, menanggungnya sendiri. Kedua, mengalihkan risiko ke
pihak lain. Ketiga, mengelolanya bersama-sama.
Dalam ajaran Islam, musibah bukanlah permasalahan individual,
melainkan masalah kelompok walaupun musibah ini hanya menimpa individu
tertentu. Apalagi jika musibah itu mengenai masyarakat luas seperti gempa bumi
atau banjir. Berdasarkan ajaran inilah, tujuan asuransi sangat sesuai dengan
semangat ajaran tersebut.
Allah Swt. menegaskan hal ini dalam beberapa ayat, di antaranya berikut ini:
Artinya: “...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dosa
dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah Swt.,...” (Q.S. al-
Maidah/5: 2).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah ekonomi Islam berawal sejak adanya Al-Qur’an dan Hadits, yaitu
pada masa Nabi Muhammad SAW. Sistem ekonomi di masa Rasulullah sangat
kompleks dan sempurna. Meskipun pada masa setelahnya tetap dilakukan perbaikan.
Jenis-jenis kebijakan, baik pendapatan maupun pengeluaran keuangan di masa
Rasulullah lebih terfokus pada masa perang dan kesejahteraan rakyat.
Pada masa Khulafa Ar-Rasyidin, sistem ekonomi Islam dikembangkan oleh
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Adapun pada masa berikutnya,
para ekonom muslim mengembangkan konsep ekonomi Islam sesuai dengan situasi
dan kondisi yang dihadapi. Tentunya, tetap bersandar pada Al-Qur’an dan Hadits.

Anda mungkin juga menyukai