Anda di halaman 1dari 8

Menu

About

Contact

Label

Artikel

Hukum Pidana

Hukum Perdata

Fakta Unik

Meme Lucu

Menu

September 29, 201623:56:15

twitter

facebook

google

Menu

Home

Makalah

Ilmu Hukum

Fiqh

Ushul Fiqh

Fiqh Jinayah
Fiqh Muamalah

Fiqh Istiqodhi

Hukum

Sejarah

Artikel

Biografi

Fiqh

Hukum Pidana

Hukum Perdata

5 Fakta Unik

Software Gratis

Top of Form

Text to sea
Search

Bottom of Form

Home » Artikel » makalah » Sejarah Perekonomian Islam dari Masa ke Masa

Sejarah Perekonomian Islam dari Masa ke Masa

13:56:00 muwasaun niam 0 Artikel, makalah

A+ A-

Print Email

Top of Form

Bottom of Form
Sejarah Perekonomian Islam dari Masa ke Masa - untuk membangun sebuah bangsa yang besar
diperlukan perekonomian yang mapan. oleh sebab itu sejarah perekonomian terdahulu perlu kita baca
kembali untuk diterapkan di masa kini dan yang akan datang. terlebih mempelajari sejarah
perekonomian islam dari masa kemasa disebabkan dulu islam terkenal dengan perekonomian yang
mapan di dunia.

Perekonomian di masa Rasulullah Saw (571-632 M)

Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat Muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik
implementasi Islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipunpada masa sebelum kenabian
Muhammad SAW adalah seorang pembisnis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di Rasulullah disini
adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah masyarakat Muslim belum sempat membangun
perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi
orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun
masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian
pada masa beliau relative masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip-prinsip yang
mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Krakter umum dari perekonomian masa itu adalah komitmennya
yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan
kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etisb dalam bingkai syariah Islam.

Sebagaimana pada masyarakat Arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk Madinah adalah
berdagang , sebagian yang lain bertani, beternak, dan berkebun. Berbeda dengan makkah yang gersang.
Kegiatan ekonomi pasar relative menonjol pada masa itu, dimana untuk menjaga agar mekanisme pasar
tetap berada dalam bingkai etika dan moraliitas Islam Rasulullah mendirikan Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah
institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar. Rasulullah juga membentuik Baitul Maal, sebuah
institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang
sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukankebijakan yang bertujuan untuk
kesejahteraan masyarakat.

Untuki memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha di antara anggota
masyarakat, misalnya Muzaraah, Mudharabah, Musaqah, dan lain-lain. Sehingga terjadi peningkatan
produktivitas. Namun sejalan dengan perkembangan masyarakat Muslim, maka sumber penerimaan
negara juga meningkat. Sumber pemasukan negara berasal dari beberapa sumber, tertapi yang paling
pokok adalah zakat dan ushr. Secara garis besar pemasukan negara ini dapat digolongkan bersumber
dari umat Islam sendiri, non Muslim dan umum,, sebagaimana yang tercantum di bawah ini

· Dari kaum Muslim

Zakat, Ushr (5-10%), Ushr (2,5%), Zakat fitrah, wakaf, Amwal Fadila, Nawaib, Shadaqah yang lain,
Khumus

· Dari kaum non-Muslim

Jizyah, Kharaj, Ushr (5%)

· Dari umum

Ghanimah, Fay, Uang tebusan, Pinjaman dari kaum Muslim atau non-Muslim, Hadiah dari pemimpin
atau pemerintah negara lain.[1]

Harta rampasan perang (ghanimah) juga merupakan pendapatan negara, meskipun nilainya relative
tidak besar jika di bandingkan dengan biaya peperangan yang dikeluarkan. Nilai harta rampasan pada
dekade awal Hijrah (622-632 M) tidak lebih dari 6 juta dirham. Bila diperkirakan dengan biaya hidup di
Madinah untuk rata-rata keluarga yang terdiri atas enam orang sebesar 3.000 dirham per tahun, jumlah
harta itu hanya dapat menunjang sejumlah kecil dari populasi Muslim dan juga akibat perang tersebut,
diperkirakan biaya untuk perang lebih dari 60 juta dirham, epuluh kali lebih besar dari harta rampasan.
Kontribusi harta rampasan perang terhadap pendapatan kaum Muslim selama 10 tahun kepemimpinan
Rasulullah Saw, tidak lebih dari 2 persen.

Zakat dan Ushr merupakan sumber pendapatan poko, terutama setelah tahun ke-9 H dimana zakat
mulai diwajibkan. Berbeda dengan sumber penerimaan yang lain yang pemanfaatannya ditentukan oleh
Rasulullah Saw. Zakat hanya boleh diberikan kepada pihak-pihak tertentu yang telah digariskan oleh
Alqur’an (QS At Taubah: 60). Untuk orang-orang non-Muslim, Rasulullah memungut jizyah sebagai
bentuk kontribusi dalam penyelenggaraan negara. Pada masa itu besarnya jizyah satu dinar per tahun
untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang
tua, penderita sakit dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.

Beberapa sumber pendapatan yang tidak terlalu besar berasal dari beberapa sumber, misalnya : tebusan
taweanan perang, pinjaman dari kaum Muslim, khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode
sebelum Islam, amwal fadhla (harta kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris), wakaf, nawaib
(pajak bagi Muslimin kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat, zakat
fitrah, kaffarat (denda atas kesalahan yang dilakukan seorang Muslim pada acara keagamaan), maupun
sedekah dari kaum Muslim.

Setelah menyelesaikan masalah politik dan konstitusional, Rasulullah Saw merubah sistem ekonomi dan
keuangan negara sesuai dengan ketentuan Alquran. Prinsip-prinsip kebijakan ekonomiyang dijelaskan
Alquran adalah sebagai berikut :

Allah Swt adalah penguasa tertinggi sekaligus pemilik absolut seluruh alam semesta.

Manusia hanyalah khalifah Allah Swt di muka bumi, bukan pemnilik yang sebenarnya.

Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah seizin Allah Swt. Oleh karena itu, manusia yang
kurang beruntung mempunyai hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki manusia lain yang lebih
beruntung.

Kekayaan harus berputar dan tidak bileh di timbun.

Eksploitasi ekonomidalam segala bentuknya, termasuk riba, harus dihilangkan.

Menerapkan sistem warisan sebagai media re-distribusi kekayaan.

Menetapkan kewajiban bagi seluruh individu, termasuk orang-orang miskin.[2]

Sejarah dan Perkembangan Perekonomian di Masa Khulafaurrasyidin

Para khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Karena kebijakan mereka
tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang di bangun Rasulullah.
Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq (51 SH- 13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam
pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat.
Beliau membangun lagi Baitul Maal dan meneruskan sistem pendistribusian harta untuk rakyat
sebagaimana pada masa Rasulullah. Beliau juga mulai melopori sistem penggajian bagi aparat negara,
misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit, yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari
Baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan
menurut keterangan lain 6.000 dirham pertahun.
Khalifah ke dua, Umar bin khattab (40 SH-23 H/584-644 M), dipandang banyak melakukan inivasi dalam
perekonomian. Umar bin khattab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian,
karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya ia menghadiahkan
tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun, siapa saja yang gagal
mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Pada
masa Umar hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara
sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, juga di bangun pasar-pasar, guna
memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota.

Umar membangun Baitul Maal yang reguler dan permanen di ibu kota, kemudian dibangun cabang-
cabang dan di ibu kota provinsi. Selain sebagai bendahara negara, Baitul Maal juga bertugas sebagai
pelaksana kebijakan fiskal dan khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut. Bersamaan
dengan reorganisasi Baitul Maal, umar mendirikan Diwan Islam yang pertama, yang disebut al-Diwan.
Sebenarnya al-Diwan adalah sebuah kantor yang ditunjukkan untuk membayar tunjangan-tunjangan
angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lainnya dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga
menunjukkan sebuah komite yang terdiri dari Nassab ternama untuk membuat laporan sensus
penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya.

Permasalahan ekonomi di masa kholifah Usman bin Affan (47 SH-35 H/577-656 M) semakin rumit,
sejalan dengan semakin luasnya wilayah negara Islam. Pemasukan negara dari zakat , jizyah, dan juga
rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, kabul, Ghazni
Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama,
Islam mengakui empat kontrak dagang setelah negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan
efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun,
pohon-pohon, buah buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan
organisasi kepolisian tetap.

Ali bin Abi Thalib (23 SH-40 H/600-661 M), Khalifah yang keempat terkenal sangat sederhana. Mewarisi
kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya,
Ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar
penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5.000 dirham setiap
tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Salah satu upayanya yang monumental
adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahan Islam, dimana sebelumnya kehalifahan
Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.[3]
Pemikiran Ekonomi Islam

Kilasan Tokoh dan Pemikirannya

Pemikiran para sarjana-sarjana Muslim pada masa berikutnya pada dasarnya berusaha untuk
mengembangkan konsep-konsep Islam sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dengan tetap
bersandar kepada Alquran dan Hadis. Memang harus diakui secara jujur bahwa para sarjana Muslim
pasca Rasulullah banyak membaca karya-karya pemikir Yunani-Romawi, sebagaimana juga karya Syrian-
Alexandrian, Zoroastrian, dan India. Namun, demikian mereka tidak menjiplak tulisan-tulisan pemikir-
pemikir Yunani-Romawi ini melainkan memperdalam, mengembangkan, memperkaya dan
memodifikasinya sesuai dengan ajaran Islam.

a. Abu Hanifa (80-150 H/699-767 M)

Abu Hanifah Al-Nu’man ibn Sabit bin Zauti, lahir pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ia
meninggalkan banyak karya tulis, antara lain Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, dan Al-Fiqh Al-Akbar.
Abu hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, salah satunya adalah salam, yaitu suatu bentuk
transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang yang dibeli dikirimkan setelah
dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati.

Salah satu kebijakannya adalah menghilangkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal
ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungannya jual beli. Dia menyebutkan contoh,
murabahah. Dalam murabahah presentase kenaikan harga (mark up) didasarkan atas kesepakatan
antara penjual dan pembeli terhadap harga pembelian yang pembayarannya diangsur. Perhatian Abu
hanifa sangat perhatian pada orang-orang lemah. Ia tidak membebaskan perhiasan dari zakat dan akan
membebaskan kewajiban membayar zakat bagi pemilik harta yang dililit hutang. Beliau tidak
memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus
tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang
umumnya orang lemah.

b. Abu Yusuf ( 113-182 H/731-798 M)

Abu Yusuf barangkali merupakan fuqoha pertama yang memiliki buku (kitab) yang secara khusus
membahas masalah ekonomi. Kitabnya yang berjudul Al-Kharaj, banyak membahas ekonomi publik,
khususnya tentang perpajakan dan peran negara dalam pembangunan ekonomi. Dalam pemerintahan
Abu Yusuf menyusun sebuah kaidah fiqh yang sangat populer, yaitu Tasarruf al-Imam ‘ala Ra’iyyah
Manutun bi al-Mashlahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan rakyat senantiasa terkait
dengan kemaslahatan mereka). Ia menekankan pentingnya sifat amanah dalam mengelola uang negara,
uang negara bukan milik khalifah, tetapi amanat Allah dan rakyatnya yang harus dijaga dengan penuh
tanggung jawab.

Ia sangat menentang pajak atas tanah pertanian dan mengusulkan penggantian sistem pajak tetap atas
tanah menjadi sistem pajak proporsional atas hasil pertanian, sistem proporsional ini dirasa lebih
mencerminkan rasa keadilan. Dalam aspek mikro ekonomi, Abu Yusuf juga telah mengkaji, bagaimana
mekanisme harga bekerja dalam pasar, kontrol harga, serta apakah pengaruh berbagai perpajakan
terhadapnya.

c. Muhammad bin Al-Hasan Al-Shaybani (132-189 H/750-804 M)

Muhammad bin Al-Hasan telah menulis beberapa buku, antara lain kitab al-Iktisab fiil Rizq al-Mustahab
(Book on Earning a Clean Living) dan kitab al Asl. Buku yang pertama banyak membahas berbagai aturan
Syariat tentang ijarah, tijarah, ziraah, dan sinaah. Perilaku konsumsi ideal seorang Muslim menurutnya
adalah sederhana, suka memberikan derma, tetapi tidak suka meminta-minta. Buku yang kedua
membahas berbagai bentuk transaksi/kerja sama usaha dalam bisnis, misalnya salam, sharikah, dan
mudharabah. Buku-buku yang ditulis Muhammad bin al-Hasan ini mengandung tinjauan normatif
sekaligus positif, sebagaimana karya kebanyakan sarjana Muslim.

Pusat Pengkaji dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2012,
hlm. 97-99

Azyumardi Azra, Sejarah pPmikiran Ekonomi Islam; (Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer), Depok :
Gramatama Pubishing, hlm 77

Pusat Pengkaji dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2012,
hlm. 101-104 

Anda mungkin juga menyukai