Anda di halaman 1dari 11

SEJARAH AKUNTANSI PADA ERA RASULULLAH DAN SAHABAT

A. PERIODE RASULULLAH SAW


Bahwa akuntansi dimulai atau dipelopori oleh luca Paciolli pada abad ke-13. Namun
sebelum luca Paciolli akntansi suda dikenal terlebih dahulu melalui Rasulullah yag telah
menggunakan prinsip akuuntansi dalam kesehariannya. Dan sejarah itu dimulai pada zaman
Rasulullah SAW.
Rasulullah sebagai kepala Negara yang merangkap sebagai ketua mahkamah agung.
Mufti besar dan panglima perang tertinggi yang juga bertanggung jawab atas adsminitrasi
negara di Negara muslim atau yang disebut dengan Daulah Islamiyah, tapi bentuk
keseketariatan Negara pada saat itu masi sederhana.
Setelah munculnya islam di semenanjung arab dibawah kepemimpian Rasulullah,
serta dibentuknya daulah Islamiyah di Madinah, mulailah perhatian Rasulullah untuk
membersikan muamalah maaliah (keuangan) dari unsur-unsur riba dari segala bentuk
penipuan, pembohongan, perjudian, pemerasan, monopoli, dan segala usaha untuk
pengambilan harta orang lain secara batil. Bentuk sekertariat didirikan akhir tahun 6H Nabi
Muhammad SAW bertindak sebgagi kepala Negara dan sebagagi Ketua Mahkama Agung.
Mufti besar dan panglima perang tertinggi bertindak sebagagi penanggung jawab administrasi
Negara.
Pada abad ke 7 Rasululla SAW mendirikan Baitul Maal. Fungsiniya sebagai
penyimpanan ketika adanya pembayaran wajib zakat dan unsur ( pajak pertanian dari
muslim) dan adanya perluasan wilayah atau jizia pajak perlindungan dari non muslim, dan
adanya kharja yaitu pajak pertnian darri non muslim (Septyahaqi, n.d.).
Praktik akuntansi di masa Rasullulah SAW pada baitul maal yang didirikan sekitar
awal abad ke-7 fungsinya untuk menampung dan mengelola seluruh penerimaan negara
berupa zakat, ‘ushr (pajak pertanian dari muslim), jizyah (pajak perlindungan dari nonmuslim
didaerah yang diduduki umat muslim), kharaj (pajak hasil pertanian dari nonmuslim). Untuk
mewujudkan koderisasi yang mampu memanfaatkan pencatatan keuangan secara terarah dan
khusus dalam administrasi negara, Rasulullah telah mengajarkan kepada sejumlah sahabat
rasul tentang pencatatan keuangan, sebutan para sahabat yang menangani hal tersebut adalah
hafazhatul amwal (pengawasan keungan).
Rasulullah mulai menciptakan prosedur akuntansi setelah ada perintah Allah melalui
Al-Quran untuk mencatat transaksi tidak tunai pada surat Al-Baqarah ayat 282.
Tujuan akuntansi dalam bangsa arab adalah untuk mengetahui perubahan aset dan
bagi pedagang yang menetap menggunakan akuntansi sebagai sarana untuk mengetahui
utang-utang dan piutang. Para sahabat rasul dan pemimpin umat islam menaruh perhatian
yang tinggi pada pembukuan (akuntansi), tujuannya adalah untuk mengetahui utang dan
piutang serta perputatan uang (pemasukan dan pengeluaran). Undang-undang akuntansi yang
telah diterapkan yaitu undang-undang akuntansi untuk perorangan, perserikatan, akuntansi
wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijir), dan anggaran negara. Selain untuk
pencatatan keungan, dengan pembukuan bisa menghindari adanya riba, penipuan,
pembodohan, dan pemerasan. Pada saat itu di dalam muamalah sudah ada peraturan-
peraturan tentang riba (riba jahiliyah) (Septyahaqi, n.d.).
B. PERIODE ABU BAKAR AS SHIDIQ
Abu Bakar As Shiddiq, sahabat Rasulullah SAW yang paling disayangi,
menggantikanNya sebagai khalifah pertama setelah kematian Rasulullah SAW. Abu Bakar As
Siddiq mengambil alih kekhalifahan selama 11-13H/632-634 M. Pada masa kepemimpinan
khalifah Abu Bakar ia selalu menegaskan pentingnya pengelolan Baitul Maal yang pada saat
itu dilakukan dengan sederhana dan seimbang dalam penerimaan dan pendistribusian
(pembagian) antara pemasukan dan pengeluaran sehingga, baitul maal selalu dalam keadaan
tidak tersisa. Pada masa itulah pencatatan dan pembukuan selalu dilakukan peningkatan
dimana, yang menjadi bukti serta informasi untuk pemerintahan adalah pencatatan,
penjurnalan dan pembukuan. Dalam masa itu, zait Bin Tsabit yang diberikan kepercayaan dan
diangkat oleh khalifah menjadi bendahara pemerintahan untuk melakukan segala pencatatan
atau transaksi pada saat itu (Dahri, n.d.).
Fungsi dan peran Baitul Maal yang didirikan Khalifah Abu Bakar As Siddiq diperluas
pada tahun kedua pemerintahannya. Pada awalnya, Baitul Maal hanya berfungsi terutama
sebagai pusat distribusi harta. Namun, pada tahun berikutnya, diperluas untuk bias berfungsi
sebagai repositori untuk berbagai aset milik negara. Abu Bakar juga menetapkan gaji khalifah
selama pemerintahannya, menggunakan dana dari Baitul Maal (kas negara). Berikut ini
konsep Al-Qur'an yang telah diterapkan pada metode membagi harta rampasan perang
(ghanimah) dengan cara yang adil:
1) Negara menerima seperlima dari bagian untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam.
2) Empat perlima sisanya diberikan kepada umat Muslim yang terlibat dalam peperangan.
Ketika mengumpulkan zakat, Khalifah Abu Bakr mengikuti prinsip keadilan dan
memastikan untuk menghitung jumlah dengan tepat sehingga tidak terdapat kelebihan atau
kekurangan pada saat pembayaran.
Salah satu kewajiban yang dimiliki setiap Muslim adalah membayar zakat, terutama
jika mereka memiliki properti yang telah tumbuh ke minimum yang disyaratkan (nishab).
Oleh karena itu, satu-satunya pilihan yang tersedia bagi seorang Muslim dengan properti
yang melebihi ambang batas minimum (nishab) adalah menggunakan properti itu untuk
membayar zakat.
Objek zakat selama pemerintahan Abu Bakar As Siddiq mencakup beberapa hal seperti:
a) Ternak
b) Surat Berharga
c) Produk dari pertanian
d) Hasil dari perkebunan
e) Hasil perdagangan.
Untuk menegakkan hukuman atas ketidakpatuhan terhadap komitmen membayar
zakat, maka akan diberikan konsekuensi diperangi. Karena, pendapatan negara hanya
bersumber mengandalkan zakat dan rampasan perang pada masa pemerintahan Khalifah Abu
Bakar. Dalam penyaluran harta Khalifah Abu Bakar menerapkan kebijakan yang adil dengan
memberikan jumlah sama rata baik kepada Sahabat Rasulullah maupun kepada umat Muslim
lainnya. Dengan penerapan kebijakan ini Baitul Maal sebagai lembaga pengelolaan
pendapatan negara tidak pernah mengelami penumpukan zakat yang sangat lama karena,
Khalifah Abu Bakar sangat berhati-hati dlam mengelola masalah tersebut. Sehingga, hasil
keseluruhan dari pengelolaan Baitul Maal selalu disalurkan sepenuhnya tanpa meninggalkan
sisa. Ketika pendapatan negara meningkat semua umat Muslim akan merasakan dampak
baiknya dengan diberikan bagian dari pendapaan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Dengan demikian semakin luas wilayah Islam akan menyebabkan peningkatan pada
pendapatan sehingga dapat mengurangi persoalan kemisikinan secara bertahap.
Karena Khalifah Abu Bakar hanya menjalankan pemerintahan Rasulullah SAW yang
singkat (2 tahun dan 3 bulan), akuntansi tidak mengalami banyak perubuhan yang drastis
selama masa pemerintahannya. Strategi kebijakan akuntansi adalah mengarahkan keuntungan
negara dari rampasan perang kembali ke tangan umat Islam, mengalokasikan setengahnya
untuk pertumbuhan negara dan separuh lainnya untuk Muslim yang berperang melawan
kaum Kafir.
Diketahui harta dalam pengelolaan Baitul Maal tidak menumpuk selama
pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Bahkan, ketika Khalifah Abu Bakar meninggal, kekayaan
yang ditemukan hanya berjumlah satu dirham. Ini menunjukkan bahwa Baitul Maal dikelola
dengan baik pada saat itu untuk kepentingan dan kesejahteraan umat Islam.
Konsep keadilan akuntansi di era sekarang berkaitan dengan manajemen Baitul Maal
pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, seperti yang diterapkan pada akuntansi Islam.
Khalifah Abu Bakar mengumpulkan zakat secara langsung selama masa pemerintahannya. Ia
mengirim petugas zakat untuk mengumpulkan pembayaran zakat dari umat Islam di berbagai
daerah, dan Abu Bakar sangat teliti dalam melakukan penghitungan zakat untuk memastikan
bahwa tidak ada kelebihan atau selisih dalam jumlah yang dibayarkan.
Pengumpula zakat pada era Khalifah Abu Bakar dan era modern sangat mirip, yaitu
untuk disalurkan kembali kepada umat Muslim dengan bertujuan mengurangi kesenjangan
kemiskinan. Karena zakat adalah kewajiban bagi umat Islam, tindakan diperangi akan
diambil terhadap siapa saja yang menolak untuk membayarnya pada saat itu. Namun, pada
era modern orang yang tidak membayar zakat akan dikenakan sanksi atau denda sesuai
dengan aturan yang telah berlaku di Indonesia. Ini karena zaman modern diatur oleh
peraturan yang berlaku secara luas (Lating et al., 2023).
Sosok Abu Bakar adalah seorang yang jujur dan selalu mendukung dakwah Nabi
Muhammad SAW, sehingga dia mendapat gelar as-Shiddiq yang tertanam dalam dirinya.
Sebelum Rasulullah SAW wafat, Rasul jatuh sakit sehingga Abu Bakar yang dia tunjuk untuk
mengimami salat berjama’ah. Hal tersebut berarti secara tersirat Rasulullah mengangkat Abu
Bakar as-Shiddiq menjadi khalifah pertama dengan masa kepemimpinan 2 tahun 3 bulan
sebelum beliau wafat menyusul Rasulullah SAW.
Dalam masa kepemimpinan Abu Bakar, beberapa kebijakan yang dilakukan olehnya yaitu:
1. Pemberontakan kelompok zakat
Setelah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah untuk menggantikan Rasulullah SAW,
terdapat berbagai rintangan yang terjadi. Salah satunya adalah munculnya pemberontak yang
berasal dari dua kelompok untuk memisahkan diri dari pemerintahan Madinah
(Ihsan & Haqiqi, 2023)
. Kelompok pertama merupakan kaum yang menyembah berhala Kembali yang
dipimpin oleh Musailamah, Tulaihah, Sajah dan lain-lain. Adapun kelompok kedua tidak
menyuarakan permusuhan kepada Islam namun hanya memberontak kepada pemerintah,
menurut mereka membayar zakat adalah perjanjian antara mereka dengan Nabi SAW
sehingga Ketika Nabi Muhammad wafat perjanjian tersebut menjadi gugur. Abu Bakar
sebagai khalifah pertama penerus Rasulullah SAW memutuskan untuk memusnahkan mereka
yang menolak membayar zakat dengan memeranginya. Perang ini kemudian dinamakan
perang Riddah yakni perang melawan kemurtadan. Karena bagi Abu Bakar, orang yang tidak
membayar zakat termasuk dalam orang-orang yang murtad.
Pemberontakan digolongkan menjadi tiga golongan, yakni: golongan orang yang tidak
salat dan tidak membayar zakat seperti Musailamah al-Kadzzab wajib diperangi, kedua
golongan yang melaksanakan salat namun menolak zakat seperti Malik bin Nuwairah yang
tidak wajib diperangi sebab salat merupakan pembeda antara kaum muslim dan kafir.
Golongan ketiga adalah golongan yang tidak melaksanakan salat namun masih membayar
zakat seperti Thulaihah bin Khuwailid yang wajib diperangi karena tidak salat sudah jelas
keluar dari agama Islam (Haqiqi & Kurniawan, 2022).
2. Menumpas Nabi Palsu
Persoalan nabi palsu sudah ada ketika Rosulullah SAW masih hidup namun kewibawaan
Rasulullah SAW menggetarkan hati mereka sehingga mereka tidak sanggup menjalankan
maksud tersebut. Nabi palsu tersebut di antaranya adalah Musailamah al-Kadzzab berasal
dari Bani Hanifah, Al-Aswad Al-Ansi dari Yaman dan Thulaihah ibnu Khuwailid dari bani
Asad. Nabi palsu inilah yang mampu menyambung tekad bulat kaum murtad untuk melawan
kaum muslim. Meskipun mererka menyatukan kekuatan, peperangan tetap dimenangkan
kaum muslim dengan gugurnya Musailamah dan sembunyinya Thulaihah yang akhinya
mualaf (Siri, 2017).
Abu Bakar memiliki analisis yang baik dalam menangani masalah dari segi agama.
Seperti yang dilakukan Rasulullah, dia memandang zakat sebagai ibadah spiritual dan sosial.
Hubungan sosial antar sesame tetap terjalin serta ikatan spiritual dengan Allah tetap
terpelihara. Adapun pengelolaan zakat pada periode Abu Bakar As Shiddiq di antaranya
adalah (Munawir, 2021):
1. Zakat dikelola langsung oleh Abu Bakar
Pengelolaan dan pelaksanaan zakat dilakukan oleh Khalifah dengan mengangkat amil
atau petugas zakat di seluruh kekuasaan islam. Hal ini dilakukan agar pengelolaan zakat
yang baik tercipta.
2. Penentuan gaji khalifah menggunakan zakat
Sewaktu menjabat sebagai kepala negara, Abu Bakar tidak memiliki banyak waktu
untuk berdagang secara maksimal sehingga kebutuhan keluarganya tidak terpenuhi
walaupun telah mendapat tunjuangan tiga perempat dirham setiap tambahan makanan.
Sehingga beliau mendapat tunjangan tambahan sebesar 6.000 dirham pertahun. Sejak saat
itu, maka seorang khalifah berhak mendapat gaji, tetapi sebelum meninggal Abu Bakar
berwasiat pada keluarganya agar mengganti gaji yang pernah ia terima pada kas negara.
Sebagai kepala negara Abu Bakar mementingkan kesejahteraan rakyatnya.
3. Pembagian zakat dilakukan dengan prinsip kesetaraan
Abu Bakar tidak membeda-bedakan masyarakatnya, kebijakan ini menyebabkan harta
di Baitul Mal tidak menimbun dan ketimpangan antara yang kaya dan miskin semakin
berkurang. Hal ini membuat sisa Baitul Mal ketika beliau wafat hanya tersisa satu dirham
saja.
4. Menyita aset yang dimilki
Selain melakukan peperangan bagi orang yang enggan membayar zakat, Abu Bakar
juga menyita barang atau aset yang dimiliki umat islam sebagai bentuk pembayaran
zakat.
5. Membangun Baitul Mal di San’ah
Dalam membangun Baitul Mal di San’ah, yang berada di daratan tinggi Madinah Abu
Bakar tidak pernah mempekerjakan pegawai untuk mengawasi Baitul Mal tersebut.
Karena di dalamnya hanya tersisa satu dirham setelah beliau bagikan dengan rata.
6. Mengalokasikan zakat dan memanfaatkannya untuk mereka yang berhak
menerimanya
Dalam mengalokasikan dan memanfaatkan zakat bagi orang-orang yang berhak
menerimanya, Abu Bakar mengikuti jejak Rosulullah SAW. Beliau sendiri mengambil
harta dari Baitul Mal sewajarnya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya,
sisanya digunakan untuk membeli persediaan bagi angkatan bersenjata yang berjuang di
jalan Allah SWT.

C. PERIODE UMAR BIN KHATAB


Akuntansi merupakan proses yang sangat penting dalam mencatat,
mengklasifikasikan, mengelola, dan menyajikan data transaksi keuangan bagi berbagai
entitas, baik individu, organisasi, perusahaan, maupun pemerintahan. Sementara itu,
Akuntansi Syariah menggabungkan prinsip-prinsip Islam dalam prosesnya, dengan fokus
pada kejujuran dan keadilan untuk memberikan perlindungan dan keamanan dalam
pengelolaan keuangan.
Akuntansi Islam, yang juga dikenal sebagai pembukuan syariah, telah berkembang
sebagai sebuah konsep yang meliputi semua transaksi keuangan dan muamalah yang terkait
dengan lembaga moneter, sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pendekatan Islam terhadap
akuntansi tidak hanya memperkenalkan prinsip-prinsip keuangan, tetapi juga memengaruhi
pandangan etika dalam interaksi dengan individu dan alam semesta.
Perkembangan akuntansi sebagai bagian dari sosiologi menunjukkan perubahan nilai
yang mendasar, dipengaruhi oleh perubahan dalam kehidupan individu dan budaya.
Transformasi dari akuntansi konvensional menjadi akuntansi syariah mencerminkan nilai
budaya dan ajaran Islam dalam konteks sosial-ekonomi.
Akuntansi syariah berperan sebagai alat untuk menerapkan prinsip-prinsip keuangan
Islam dalam praktik moneter, serta memberikan kerangka kerja untuk menerapkan prinsip
Islam dalam pembukuan organisasi, dan memberikan informasi yang relevan bagi pemangku
kepentingan internal dan eksternal.
Perkembangan ilmu akuntansi syariah bersumber dari kemajuan dalam Islam,
termasuk kewajiban mencatat transaksi non-tunai yang didorong oleh Al-Qur'an. Praktik
pencatatan seperti jurnal telah dikenal sejak masa Khalifah Islam, jauh sebelum Luca Pacioli,
menunjukkan pengenalan Islam terhadap sistem akuntansi. Ini menegaskan bahwa Islam
telah mengenali dan mempraktikkan akuntansi jauh sebelum masa Pacioli.
Pencatatan dimulai sejak zaman Rasulullah, terutama untuk menghitung zakat dan
mengelola Baitul Maal. Fungsi akuntansi dalam Islam melibatkan berbagai pihak seperti Al-
katib dan Muhtasib. Secara etimologis, akuntansi berasal dari "muhasabah" dalam bahasa
Arab, yang mengimplikasikan penghitungan yang akurat dan teliti.
Akuntansi syariah merupakan transaksi yang dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam, berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah. Ini memastikan bahwa tindakan manusia dalam
mengelola kekayaan dipertanggungjawabkan sesuai dengan syariat Allah. Akuntansi syariah
juga memperhatikan nilai-nilai etika, moral, dan keadilan yang diatur oleh Dewan Syariah
Nasional. Lebih dari sekadar alat pertanggungjawaban kepada pemilik perusahaan, akuntansi
syariah juga menjadi bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan.
Dalam sejarah, peran Khalifah Umar Bin Khattab dalam pembangunan keuangan dan
ekonomi Islam sangatlah penting. Selama masa pemerintahannya, Umar mengenalkan
berbagai perubahan besar, termasuk pengelolaan Baitul Maal dengan teliti dan distribusi yang
adil. Selain itu, ia mendirikan berbagai departemen dan lembaga, seperti Diwan, yang
bertanggung jawab atas berbagai aspek administratif, termasuk keamanan, polisi, pekerjaan
umum, dan perpajakan.
Khalifah Umar Bin Khattab juga dikenal sangat memperhatikan kebutuhan sosial,
memberikan perlindungan kepada yang terluka, cacat, orang tua, dan anak yatim piatu.
Diwan yang didirikannya juga memiliki peran penting sebagai tempat penyimpanan catatan
akuntansi, yang menjadi dasar dalam pengelolaan dan pembayaran keuangan. Umar
menyadari pentingnya ilmu akuntansi dalam kehidupan masyarakat untuk mengelola
keuangan dengan bijaksana, dan ia memastikan bahwa ilmu ini terus berkembang dari satu
wilayah ke wilayah lainnya.
Umar bin khattab ialah seorang putra dari Nufail al-Quraisy yang berasal dari suku
Bani Aidi. Pada masa jahiliyyah, beliau menjalani hidupnya sebagai seorang saudagar dan
masuk islam pada usia 26 tahun. Beliau menjabat sebagai khalifah dengan wasiat Abu Bakar
yang disetujui oleh umat muslim pada saat itu. Ketika masa pemerintahan Umar Bin Khattab,
wilayah kekuasaan Islam begitu meluas, yakni meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah
kekuasaan Romawi (Syira, Palestina, dan Mesir), beserta seluruh kekuasaan persia, termasuk
Irak. Periode pemerintahannya berlangsung selama 10 tahun 5 bulan 21 malam.
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khattab, terdapat tempat bernama baitul mal,
yang merupakan tempat pemasukan serta pengeluaran harta umat muslim. Kewajiban dari
baitul mal yaitu menjaga harta dalam kas dan mengurus penerimaan kekayaan
perbendaharaan. Sebenarnya sistem baitul maal sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW serta
khalifah yang pertama, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq ra, akan tetapi belum memiliki
kelembagaan, sedangkan padamasa Khalifah Umar bi Khattab fungsi baitul maal lebih
berkembang dan efektif, yaitu dengan mendirikan lembaga kepengurusan dan pengelolaan.
Berdasarkan sejarah, dibentuknya kelembagaan baitul maal disebabkan karena
kedatangan Abu Hurairah pada saat menjadi gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil
pajak al-kharaj senilai 500.000 dirham. Kemudian Khalifah Umar mengadakan musyawarah
bersama para sahabat tentang penggunaan hasil pajak tersebut. Sahabat Ali memberikan
pendapatnya, yaitu hasil pajak dibagikan kepada umat Islam, namun Khalifah Umar
menolaknya. Kemudian Walid bin Hasyim juga memberikan pendapatnya, yaitu berupa
pengalaman ia pernah melihat raja Syira menyimpan harta bendanya secara terpisah dari
badan eksekutif. Dengan adanya pendapat tersebut, Khalifah umar setuju dan lembaga
perbendaharaan umat Islam terbentuk. Ibukota Madinah menjadi tempat pertama
penyimpanan harta tersebut. Khalifah Umar menunjuk Abdullah bin Arqam sebagai
bendahara Negara, serta Abdurrahman bin Ubaid al-Qari dan Muayqab sebagai wakilnya.
Khalifah Umar menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikannya, Beliau
berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi oleh umat Islam perlu diperhitungkan apabila
menentukan bagian seseorang dari kelebihan harta bangsa tersebut. Dengan adanya prinsip
keadilan, usaha serta tenaga yang dikeluarkan ketika memperjuangkan Islam harus
dipertahankan serta dibalas dengan sebaik-baiknya.
Pada masa Khalifah Umar, pengenalan konsep serta prosedur akuntansi formal mulai
dikenal, yaitu antara 633-644 M. Hal tersebut disebabkan karena wilayah pemerintahan Islam
semakin meluas, yaitu seluruh wilayah TimurTengah, Afrika Utara, serta Asia. Hal tesebut
berbanding lurus dengan penerimaan Negara yang semakin naik. Dengan demikian, kekayaan
Negara yang tersimpan dalam baitul maal semakin tinggi nilainya. Al-Walidbin Hisyam al
Mughirah memberikan pendapatnya untuk melakukan pencatatan sebagai bentuk tanggung
jawab penerimaan serta pengeluaran Negara. Khalifah Umar setuju dan membentuk unit
khusus yang diberi nama Diwan, yang artinya tulisan. Diwan bertugas untuk membuat
laporan keuangan baitul maal sebagai bentuk akuntabilitas khalifah atas keuangan baitul maal
yang menjadi tanggung jawabnya.
Beberapa kasus yang mencerminkan keefektifan pengendalian internal Diwan ialah
penemuan defisit 1 dihram di baitul maal. Kasus tersebut ditemukan oleh Amr bin Al-Jarrah
dan memberitahukan kepada Khalifah Umar melalui surat. Kasus kedua yaitu penemuan
biaya yang belum tercatat sehingga menyebabkan defisit. Defisit tersebut menyebabkan
akuntan harus membayar 1.300 dinar sebagai akibat dari tidak melakukan pencatatan atas
transaksi tersebut. Biaya tersebut ditemukan pada saat saldo buku dibandingkan dengan
jadwal yang sesuai dengan saldo lainnya di dewan utama ketika akhir periode. Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk audit dipraktekkan sesudah pembentukan Islam pada masa Umar
bin Khattab.

D. PERIODE UTSMAN BIN AFFAN


Setelah Khalifah Umar bin Khattab wafat pada tanggal 3 November 644 Masehi,
penerusnya adalah sahabatnya, Utsman bin Affan. Utsman bin Affan kemudian diangkat
sebagai khalifah mulai dari tahun ke-23 Hijriah hingga tahun ke-35 Hijriah, yang bersamaan
dengan rentang waktu 644 Masehi hingga 656 Masehi. Utsman bin Affan memegang jabatan
khalifah selama 12 tahun, mulai dari tahun 644 hingga 656 Masehi, menjadikannya khalifah
terpanjang dalam sejarah. Beliau adalah salah satu dari sahabat Rasulullah SAW dan menjadi
khalifah ketiga setelah Abu Bakar As-Siddiq dan Umar bin Khattab. Utsman bin Affan,
kelahiran Thaif pada tahun 579 Masehi, memiliki nama asli Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash
bin Umayah bin Abdu Syam. Beliau berasal dari keluarga Bani Umayah, keluarga yang
terkenal dan berpengaruh di kalangan Quraisy. Keluarga Utsman bin Affan merupakan orang-
orang kaya yang memegang peran penting dalam masyarakat Quraisy.
Utsman bin Affan adalah seorang yang sangat kaya, namun kekayaan tidak
membuatnya sombong, melainkan membuatnya menjadi orang yang dermawan. Karena
kedermawanannya, ia dikenal oleh banyak orang di berbagai penjuru kota. Utsman
merupakan seorang pengusaha yang sangat sukses, dengan jaringan bisnisnya yang telah
mencapai wilayah Syam dan Habasyah. Berkat kesuksesan bisnisnya yang luar biasa, Utsman
menjadi salah satu pedagang terkaya di Mekkah.
Selama masa kepemimpinannya, tidak semua program berhasil tercapai dengan baik.
Para sejarawan mengklasifikasikan masa pemerintahan Utsman ibn Affan menjadi dua
periode, yakni enam tahun awal yang merupakan masa keemasan, dan enam tahun terakhir
yang merupakan masa kemunduran (Zubir, 2019) . Pada masa pemerintahan Utsman ibn
Affan, ekonomi mengalami perkembangan pesat dan kemajuan dengan menerapkan beberapa
prinsip politik dalam pengelolaan ekonomi.
Beberapa prinsip yang diterapkan Ustman ibn Affan antara lain: (Rahmawati, 2015)
a. Implementasi sistem ekonomi dan politik yang berdasarkan prinsip-prinsip syariat Islam.
b. Pengenaan pajak harus adil.
c. Umat Islam diwajibkan untuk menyumbangkan sebagian dari harta mereka yang telah
mencapai ukuran tertentu sebagai zakat kepada baitul mal, yang kemudian akan dibagikan
kembali kepada orang-orang yang membutuhkan.
d. Beberapa hak umat diberikan secara keseluruhan.
e. Kaum kafir yang tinggal dalam wilayah Islam diwajibkan membayar zakat dalam bentuk
jizyah kepada pemerintah, yang kemudian disalurkan ke baitul mal untuk digunakan
dalam berbagai keperluan administrasi negara. Selain itu, mereka juga berhak
mendapatkan perlakuan yang adil dan pemenuhan hak-hak mereka secara layak.
f. Petugas zakat yang bekerja di baitul mal ditekankan pada kepercayaan dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
g. Menerapkan pengawasan yang ketat terhadap pelanggaran-pelanggaran harta yang dapat
menimbulkan kemudharatan bersama.
Pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan, kebijakan-kebijakan diterapkan seperti
pembentukan lembaga keamanan negara, termasuk angkatan laut dan kepolisian, serta
keputusan untuk tidak menerima gaji dari negara selama menjabat. Selain itu, dana juga
disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan dengan cara yang adil dan efisien.
Dengan perkembangan wilayah yang semakin luas, para pemimpin setempat
memerlukan tambahan biaya untuk administrasi. Oleh karena itu, pada masa pemerintahan
Utsman ibn Affan, upaya maksimal dilakukan untuk meningkatkan pendapatan negara dan
mengganti beberapa Gubernur seperti di Busra, Mersir, Asswaad, dan daerah lainnya. Salah
satu strategi ekonomi yang diterapkan oleh Utsman ibn Affan adalah memastikan bahwa
prosedur pemberian bantuan finansial kepada rakyat tetap terjaga, dengan jumlah yang cukup
besar. Utsman ibn Affan secara umum telah menetapkan standar konsisten dalam menangani
kebutuhan dasar rakyat (Rahmadi & Raya, 2021).
Selama pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, dia memperkenalkan konsep
khittabat al-Rasull wa sirry, yang berarti perlindungan dan penyimpanan rahasia. Ini
melibatkan pengawasan dan pelaksanaan agama, moralitas, dan akhlak oleh seorang
muhtasib. Muhtasib adalah orang yang bertanggung jawab atas lembaga amal Al-Hisbah,
yang menangani masalah penipuan dalam jual beli, ketidakjelasan dalam transaksi,
pengukuran yang tidak akurat, dan lain-lain, dengan tujuan mewujudkan keadilan bagi semua
orang. Melalui pencatatan yang dilakukan oleh muhtasib, akuntansi syariah berkembang di
zaman khalifah, membantu meningkatkan sistem pencatatan keuangan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip akuntansi syariah (Rabiul et al., 2022).
Kemajuan dalam bidang akuntansi mencakup persiapan laporan keuangan, karena
negara-negara Islam telah mengenal laporan keuangan tingkat tinggi. Laporan keuangan ini
sebelumnya dibuat berdasarkan informasi yang terdapat dalam buku-buku akuntansi yang
digunakan. Diantara jenis laporan keuangan yang dikenal dalam konteks negara Islam adalah
Al-Khitamah dan Al Khitamatul Jami’ah. Al Khitamah adalah laporan keuangan bulanan
yang disusun setiap akhir bulan. Laporan ini berisi pengeluaran dan pemasukan yang telah
disusun berdasarkan kategorinya, serta mencantumkan saldo bulanan. Sementara itu, Al-
Khitamatul Jami'ah merupakan laporan keuangan yang disusun oleh seorang akuntan untuk
disampaikan kepada pihak yang memiliki otoritas atau kedudukan yang lebih tinggi. Jika Al-
Khitamatul Jami’ah diterima oleh penerima laporan, maka laporan tersebut disebut Al
Muwafaqah. Namun, jika ada ketidaksetujuan karena perbedaan data dalam Al Khitamatul
Jami’ah, maka itu disebut Muhasabah (akuntansi). (Harmain et al., 2019).

E. PERIODE ALI BIN ABI THALIB


Ali Bin Abi Thalib menjadi khalifah dari 656-661 masehi dan merupakan khulafur
Rasyidin terakhir. Beliau bertugas untuk menggantikan posisi Utsman Bin Affan yang telah
wafat pada 17 juni 656 Masehi. Pemerintahan pada era Ali Bin Abi Thalib sedang mengalami
perang saudara akibat tragedi terbunuhnya Utsman Bin Affan. Selain menjadi sahabat
Rasulullah SAW, menurut silsilah Ali Bin Abi Thalib adalah sepupu dari Rasulullah SAW,
Selain itu Beliau juga sebagai menantu Rasulullah, setelah ia menikahi putrinya yaitu
Fatimah Az-Zahra (Dahri, Muhammad Rabiul; Kurniawan, 2013).
Pengangkatan Ali Bin Abi Thalib menjadi Khalifah ditugaskan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada era sebelumnya. Banyaknya pemberontakan yang terjadi
pada era kepemimpinannya membuat Ali Bin Abi Thalib mengambil kebijakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi seperti:
1. Pengaturan Pengelolaan Keuangan Negara Baitul Maal.
2. Perbaikan Dan Peningkatan Pembangunan Tatanan Kota.
3. Menetapkan Zakat, Jizyah, Dan Pajak
4. Membasmi Korupsi Dan Monopoli Pasar Serta Penimbunan Barang Dan Pasar Gelap.
Sistem Baitul mal tetap berjalan di era pemerintahan Ali Bin Abi Thalib dan relatif
tidak melakukan perubahan terhadap sistem Administrasi yang sudah ada. Dalam
pengelolaan keuangan negara atau baitul maal, Ali Bin Abi Thalib menerapkan sistem
administrasi yang diterapkan di pusat maupun daerah lokal agar sistem administrasinya sama
dan dapat berjalan dengan baik. Era pemerintahan Ali, baitul maal terus mengalami
peningkatan hingga mendapatkan surplus. Dimana surplus tersebut dibagikan Ali sesuai
dengan ketentuan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW (Dahri, Muhammad Rabiul;
Kurniawan, 2013).
Peningkatan surplus Baitul maal yang signifikan, menunjukkan adanya pengelolaan
dan pencatatan yang baik pada Era kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib. Beliau
menekankan akan pentingnya sebuah pencatatan yang baik dan benar, sehingga membuat
sistem administrasi menjadi lebih baik dan mengalami peningkatan. Dari era kepemimpinan
Ali Bin Abi Thalib, dapat disimpulkan bahwa sistem pencatatan akuntansi akan selalu
mengalami peningkatan seiring berjalannya waktu.

Pada masa pemerintahan Ali Bin Abi Thalib ia menerapkan beberapa kebijakan
didalam ekonomi kepemimpinannya
 Penyaluran harta Baitul Mal kepada masyarakat yang membutuhkan
 Pembatasan pembiayaan armada laut dengan berbagai pertimbangan
 Pengefisienan anggaran negara
 Mencetak dan memakai mata uang islam sendiri
Secara konsisten Ali Bin Abi Thalib membagikan bantuan senilai 5.000 dirham,
Keseriusan beliau dalam memberantas kemiskinan diwujutkan dengan adanya pemberlakuan
prinsip seluruh harta dalam Lembaga Baitul Mal tanah hingga semua pendapatan adalah harta
milik pemerintah dengan begitu harta harus disalurkan kepada orang yang tepat (Rahmadi,
2021).
Berbeda dengan pemerintahan Usman Bin Affan yang menghapus armada laut sekitar
pantai mesir, palestina, dan syiria. pada pemerintahhan Ali Bin Abi Thalib ia hanya
menugaskan armada laut pada waktu-waktu rentas seperti pada malam hari (Rahmadi, 2021).
Kebijakan pada masa Ali Bin Abi Thalib dengan menetapkan pajak bagi pemilik pajak
sekitar 4.000 dirham selain itu beliau memperbolehkan Ibnu Abbas selaku Gubernur Kuffah
untuk menarik zakat pada sayuran dan bumbu masak (Rahmadi, 2021).
Seiring berjalanan waktu Ali Bin Abi Thalib mulai melakukan pencetakan mata uamg
versi islam, sehingga pada masa itu transaksi sudah menggunakan mata uang islam negara
sendiri (Rahmadi, 2021)

Anda mungkin juga menyukai