Anda di halaman 1dari 4

Perkembangan Akuntansi Syariah pada Zaman Khalifah

a. Abu Bakar Assidiq

Pada masa pemerintahan Abu Bakar, pengelolaan Baitul Maal masih sangat sederhana,
dimana penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara seimbang, sehingga hampir tidak
pernah ada sisa.

b. Umar bin Khattab

Pada masa pemerintahan Umar bin Khattab sudah dikenalkan dengan istilah “Diwan” yaitu
tempat dimana pelaksana duduk, bekerja dan dimana akuntansi dicatat dan disimpan yang
berfungsi untuk mengurusi pembayaran gaji. Khalifah Umar menunjukkan bahwa akuntansi
berkembang dari suatu lokasi ke lokasi lain sebagai akibat dari hubungan antar masyarakat.
Selain itu Baitul Maal sudah diputuskan di daerah-daerah taklukan islam.

c. Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah Utsman, memperkenalkan tentang istilah khittabat al-
Rasull wa sirryaitu berarti memelihara pencatatan rahasia. Dalam hal pengawasan
pelaksanaan agama dan moral lebih difokuskan kepada muhtasib yaitu orang-orang yang
bertanggung jawab atas lembaga al hisbah, misalnya mengenai timbangan, kecurangan dalam
penjualan, orang yang tidak banyak hutang dan juga termasuk ke dalam perhitungan ibadah
bahkan termasuk memeriksa iman, dan juga masih banyak yang lain yang termasuk
perhitungan atau sesuatu ketidak adilan didunia ini untuk semua mahluk

d. Ali Bin Abi Thalib

Pada masa pemerintahan Ali yaitu adanya sistem administrasi Baitul Maal difokuskan pada
pusat dan lokal yang berjalan baik, surplus pada Baitul Maal dibagikan secara profesional
sesuai dengan ketentuan Rasulallah SAW. Adanya surplus ini menunjukkan bahwa proses
pencatatan dan pelaporan berlangsung dengan baik. Khalifah Ali memilki konsep tentang
pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya secara
jelas.
3. Sejarah Akuntansi Syariah
a. Zaman Awal Perkembangan Islam
Pendeklarasian negara Islam di Madinah (tahun 622 M atau bertepatan dengan tahun 1 H)
didasari oleh konsep bahwa seluruh muslim adalah bersaudara tanpa memandang ras, suku,
warna kulit dan golongan, sehingga seluruh kegiatan kenegaraan dilakukan secara bersama
dan gotong-royong di kalangan para muslimin. Hal ini dimungkinkan karena negara yang
baru saja berdiri tersebut hampir tidak memiliki pemasukan ataupun pengeluaran.
Muhammad Rasulullah SAW bertindak sebagai seorang Kepala Negara yang juga merangkap
sebagai Ketua Mahkamah Agung, Mufti Besar, dan Panglima Perang Tertinggi juga
penanggung jawab administrasi negara. Bentuk sekretariat negara masih sangat sederhana
dan baru didirikan pada akhir tahun ke 6 Hijriyah.
Telah menjadi tradisi bahwa bangsa Arab melakukan dua kali perjalanan kafilah
perdagangan, yaitu musim dingin dengan tujuan perdagangan ke Yaman dan musim panas
dengan tujuan ke Asy-Syam (sekarang Syria, Lebanon, Jordania, Palestina dan Esrael).
Perdagangan tersebut pada akhirnya berkembang hingga ke Eropa terutama setelah
penaklukan Mekah.
Dalam perkembangan selanjutnya, ketika ada kewajiban zakat dan ‘ushr (pajak pertanian
dari muslim), dan perluasan wilayah sehingga dikenal adanya jizyah (pajak perlindungan dari
non muslim) dan kharaj (pajak pertanian dari non muslim), maka Rasul mendirikan Baitul
Maal pada awal abad ke-7.Fungsinya sebagai penyimpanan ketika adanya pembayaran wajib
zakat dan usur (pajak pertanian dari muslim) dan adanya perluasan wilayah atau jizia yaitu
pajak perlindungan dari non muslim, dan juga adanya kharaj yaitu pajak pertanian dari non
muslim.. Konsep ini cukup maju pada zaman tersebut dimana seluruh penerimaan
dikumpulkan secara terpisah dengan peminpin negara dan baru akan dikeluarkan untuk
kepentingan negara. Walaupun disebutkan pengelolaan Baitul Maal masih sederhana, tetapi
nabi telah menunjuk petugas qadi, ditambah para sekretaris dan pencatat administrasi
pemerintahan. Mereka ini berjumlah 42 orang dan dibagi dalam empat bagian yaitu:
sekretaris pernyataan, sekretaris hubungan dan pencatatan tanah, sekretaris perjanjian, dan
sekretaris peperangan.
b. Zaman Empat Khalifah
Pada pemerintahan Abu Bakar, pengelolaan baitul maal masih sangat sederhana
dimana penerimaan dan pengeluaran dilakukan secara seimbang sehingga hampir tidak
pernah ada sisa.
Perubahan sistem administrasi yang cukup signifikan dilakukan di era kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khatthab dengan memperkenalkan istilah Diwan oleh Sa’ad bin Abi
Waqqas (636 M). Asal kata Diwan dari bahasa Arab yang merupakan bentuk kata benda dari
kata Dawwana yang berarti penulisan. Diwan dapat diartikan sebagai tempat di mana
pelaksana duduk, bekerja dan di mana akuntansi dicatat dan disimpan. Diwan ini berfungsi
untuk mengurusi pembayaran gaji.
Khalifah Umar menunjuk beberapa orang pengelola dan pencatat dari Persia untuk
mengawasi pembukuan baitul maal. Pendirian Diwan ini berasal dari usulan Homozon-
seorang tahanan Persia dan menerima islam- dengan menjelaskan tentang sistem administrasi
yang dilakukan oleh Raja Sanian (Siswanto, 2003). Ini terjadi setelah peperangan Al-
Qadisiyyah-Persia dengan panglima perang Sa’ad bin Abi Waqqas yang juga sahabat nabi,
Al-Walid bin Mughirah yang mengusulkan agar ada pencatatan untuk pemasukan dan
pengeluaran negara.
Hal ini kembali menunjukkan bahwa akuntansi berkembang dari suatu lokasi ke
lokasi lain sebagai akibat dari hubungan anatar masyarakat. Selain itu, baitul maal juga sudah
tidak terpusat lagi di Madinah tatapi juga di daerah-daerah taklukan islam. Pada Diwan yang
dibentuk oleh Khalifah Umar terdapat 14 departemen dan 17 kelompok, di mana pembagian
departemen tersebut menunjukkan adanya pembagian tugas dalam sistem keuangan dan
pelapora keuangan yang baik. Pada masa itu istilah awal pembukuan dikenal dengan jarridah
atau menjadi istilah journal dalam bahasa inggris yang berarti berita. Di Venice istilah ini
dikeal dengan sebutan zournal.Fungsi akuntansi telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam
islam seperti: Al-Amel, Mubashor, Al-Kateb, namun yang paling terkenal adalah Al-Kateb
yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab untuk menuliskan dan mencatat informasi
baik keuangan maupun non keuangan. Sedangkan untuk khusus akuntan dikenal juga dengan
nama Muhasabah/Muhtasib yang menunjukkan orang yang bertanggung jawab melakukan
perhitungan.
Muhtasib adalah orang yang bertaggung jawab atas lembaga Al-Hisba. Muhtasib bisa
juga menyangkut pengawasan pasar yang bertanggung jawab tidak hanya masalah ibadah.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa Muhtasib adalah kewajiban publik. Muhtasib bertugas
menjelaskan berbagai tindakan yang tidak pantas dalam berbagai kehidupan.
Muhtasib memiliki kekuasaan yang luas, termasuk pengawasan harta, kepentingan
sosial, pelaksanaan ibadah pribadi, pemeriksaan transaksi bisnis. Akram Khan memberikan 3
kewajiban Muhtasib, yaitu:
1. Pelaksanaan hak Allah termasuk kegiatan ibadah: shalat, pemeliharaan masjid
2. Pelaksanaan hak-hak Masyarakat: perilaku di pasar, kejujuran bisis
3. Pelaksanaan yang berkaitan dengan keduanya: menjaga kebersihan jalan dll.
Disisi lain,ada juga fungsi muhtasib dalam bidang pelayanan umum,misalnya
pemeriksaan kesehatan,suplai air,memastikan orang miskin mendapakan tunjangan,bangunan
yang mau roboh,memeriksa kelayakan pembangunan rumah,ketidaknyamanan dan keamanan
berlalu lintas,jalan untuk pejalan kaki,menjaga keamanan dan kebersihan pasar.Maka dapat
disimpulkan bahwa fungsi utamanya adalah untuk mencegah pelanggaran terhadap hokum
baik hukum sipil maupun hukum agama.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa akuntansi islam adalah menyangkut semua aspek
kehidupan yang lebih luas tidak hanya menyangkut praktek ekonomi dan bisnis sebagaimana
dalam sistem kapitalis. Akuntansi islam sebenarnya lebih luas dari hanya perhitungan angka,
informasi keuangan atau pertanggungjawaban. Dia menyangkut semua penegakan hukum
sehingga tidak ada pelanggaran hukum baik hukum sipil maupun hukum yang berkaitan
dengan ibadah.
Pengembangan lebih komprehensif mengenai baitul maal dilanjutkan pada masa
Khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan beliau, sistem administrasi baitul maal
baik ditingkat pusat dan lokal telah berjalan baik serta terjadi surplus pada pada Baitul Maal
dan dibagikan secara proporsionalsesuai tuntutan Rasulullah. Adanya surplus ini
menunjukkan bahwa proses pencatatan dan pelaporan telah berlangsung dengan baik.
Perkembangan akuntansi tidak berhenti pada zaman Khalifah,tetapi dikembangkan
oleh filsuf Islam antara lain:Imam Syafi’i(768 M-820 M) dengan menjelaskan fungsi
akuntansi sebagai Review Book atau Auditing.Menurutnya,seorang auditor harus memiliki
kualifikasi tertentu yaitu orang yang hafal –Quran(sebagai value judgement),intelektual,dapat
dipercaya,bijaksana dan kualitas manusia yang baik lainnya.
Demikianlah sejarah perkembangan praktik akuntansi dengan teknik tata buku
berpasangan yang sebenarnya,dimana akuntansi sudah dikenal pada masa kejayaan
Islam.Artinya,peradaban Islam tidak mungkin tidak memiliki akuntansi.Permasalahannya
adalah pemalsuan sejarah yang dilakukan beberapa oknum di Barat dan ketidakmampuan
umat Islam untuk menggali khazanah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologinya
sendiri.Kesimpulan,akuntansi sudah ada sebelum Paciolli dan bahkan sebelum peradaban
Islam dan akuntansi sudah ada sejak masa kejayaan Islam dari 610 M-1250 M.

https://makalahubb.blogspot.co.id/2017/05/makalah-akuntansi-syariah-sejarah-dan.html

Anda mungkin juga menyukai