Kelas : 5 C
Baitul Mal inilah yang menjadi tempat untuk mengatur keuangan negara. Penataan
sistem administrasi Baitul Mal yang tertata rapi ini awalnya bermula dari masa ketika Gubernur
Bahrain, Abu Hurairah membawa pajak al-kharaj sebesar 500 ribu dirham. Besarnya dana
tersebut kemudian membuat Khalifah Umar bin Khattab memutuskan untuk tidak
mendistribusikan seluruhnya, tetapi disimpan sebagai cadangan untuk keperluan darurat.
Luasnya wilayah penaklukan umat Islam di masa itu juga membuat hadirnya cabang
Baitul Mal di ibukota provinsi. Namun, Umar menetapkan eksekutif tidak boleh ikut campur
dalam mengelola Baitul Mal. Di provinsi, pejabat Baitul Mal tidak bergantung pada gubernur
dan punya otoritas penuh dalam menjalankan tugas serta bertanggungjawab pada pemerintah
pusat. Secara tidak langsung, Baitul Mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal dan
khalifah menjadi pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal.
Saat kondisi Baitul Mal kuat, Umar bin Khattab menambahkan daftar kewajiban negara
dengan memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi dari harta yang ada di Baitul Mal.
Selain itu, Umar juga memberi berbagai tunjangan kepada kaum Muslim dengan rentang antara
100 dirham untuk bayi yang baru lahir dan anak yatim piatu hingga 12 ribu dirham untuk istri
Rasulullah SAW (Hasanuzzaman, 1991). Langkah ini merupakan suatu bentuk tanggungjawab
negara terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Namun hal tersebut kemudian diprotes
karena dinilai dapat memicu sifat malas.
Nama : Fairuz Salsabila
Kelas : 5 C
Adapun kewajiban baitul mâl adalah untuk mengamankan harta benda yang tersimpan
di kas, dan untuk mengurus penerimaan kekayaan perbendaharaan yang meliputi:
1. Mengurus nilai yang diterima, umpamanya dengan cara kompensasi untuk membayar
para serdadu atau harga senjata dan kuda.
2. Mengurus kepentingan umum.
Sebenarnya gagasan sistem baitul mâl (puclic treasury) ini sudah ada dan dikenal di
zaman Rasulullah saw dan khalifah yang pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ra, namun tidak
secara kelembagaan. Di zaman pemerintahan Umar bin Khattab, fungsi baitul mâl lebih
dikembangkan dan diefektifkan lagi, dengan mendirikan lembaga khusus untuk pengurusan
dan pengelolaannya.
Riwayat pendirian baitul mâl secara institusional di atas mengisyaratkan bahwa ide
pendirian tersebut tidak orisinil dari Islam, akan tetapi berasal dari pengaruh pemerintahan-
pemerintahan yang ada di masa itu, seperti pemerintahan kerajaan Romawi dan Persia. Adopsi
sistem keuangan tersebut tidak lantas menyebabkan Umar akan mengaplikasikannya sama
seratus persen dengan sistem pemerintahan kerajaan yang lain. Akan tetapi sistem dari non-
Islam itu tetap dipilah dan dipilih sehingga tidak menyalahi aturan ketentuan syariat Islam.
Kebijakan yang diterapkan oleh Umar dalam lembaga baitul mâl di antaranya adalah
dengan mengklasifikasikan sumber pendapatan negara menjadi empat, yaitu:
1. Pendapatan zakat dan `ushr. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika
terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mâl pusat dan dibagikan
kepada delapan ashnâf, seperti yang telah ditentukan dalam al-Qur`an.
2. Pendapatan khums dan sedekah. Pendapatan ini didistribusikan kepada fakir miskin
atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang
muslim atau bukan.
3. Pendapatan kharâj, fai, jizyah, `ushr, dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk
membayar dana pensiun dan dana bantuan serta untuk menutupi biaya operasional
administrasi, kebutuhan militer, dan sebagainya.
4. Pendapatan lain-lain. Pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja,
pemeliharaan anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.
Klasifikasi sumber pendapatan negara di atas sangat penting untuk diterapkan dalam
pemerintahan Islam. Salah satu tujuannya adalah agar suatu sumber pendapatan tidak
tercampur dengan sumber pendapatan yang lain. Seperti zakat dan pajak. Redistribusi
pendapatan hasil zakat, sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya, yaitu kepada 8 golongan
(ashnâf) yang berhak menerima zakat. Dan jika terdapat sisa dari hasil pengumpulan zakat,
maka khalifah dapat mengambil kebijakan untuk disesuaikan dengan kebutuhan social.
Sedangkan redistribusi pajak dapat ditentukan oleh khalifah. Dan umumnya hasil pemungutan
pajak ditujukan untuk pembangunan negara. Karena itulah, para pejabat baitul mâl tidak
mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mâl yang berupa
zakat.
Karena hal itu, Umar membentuk sistem dîwân, yang menurut pendapat terkuat mulai
dipraktekkan untuk pertama kalinya pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, ia menunjuk sebuah
komite nassâb ternama yang terdiri dari Aqil bin Abu Thalib, Mahzamah bin Naufal, dan Jabir
bin Mut`im untuk membuat laporan sensus penduduk.
Orang-orang Mekah yang bukan termasuk kaum muhajirin mendapat tunjangan 800
dirham, warga Madinah 25 dinar, kaum muslimin yang tinggal di Yaman, Syria dan Irak
memperoleh tunjangan sebesar 200 hingga 300 dirham, serta anak-anak yang baru lahir dan
yang tidak diakui masing-masing memperoleh 100 dirham.
Di samping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiun berupa gandum, minyak,
madu, dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap
wilayah. Peran negara yang turut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan
dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam
sejarah dunia.
Sebagaimana yang diketahui tentang sosok Umar yang tegas dan bertanggungjawab,
maka Umar melarang pihak ekskutif turut campur dalam mengelola harta baitul mâl. Kebijakan
Umar ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam tugas, atau
penyalahgunaan pendistribusian pendapatan negara untuk kepentingan pribadi.