Anda di halaman 1dari 22

SISTEM FISKAL ISLAM

Depok, Semester I 2010


Mustafa E Nasution
Kuliah XII
Fungsi Pemerintah dalam
Perekonomian Modern
 Fungsi Alokasi
 Alokasi sumber daya di dalam perekonomian melalui:
 (i) mekanisme pasar, dan
 (ii) intervensi pemerintah.

 Fungsi Distribusi
 Redistribusi pendapatan dan kesejahteraan melalui
instrument-instrument fiskal.
 Fungsi Stabilisasi
 Manajemen makroekonomi yang baik dan berhati-hati
untuk mencapai :
 (i) pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
 (ii) menciptakan lapangan pekerjaan yang luas,
dan
 (iii) stabilitas tingkat harga.
Fungsi Pemerintah dalam
Perekonomian Islami (Siddiqi, 1987)
 Fungsi yang ditugaskan oleh Syariah secara permanen
 Pertahanan-keamanan
 Hukum dan ketertiban
 Keadilan Sosial
 Pemenuhan kebutuhan dasar
 Dakwah (menyampaikan ajaran Allah SWT kepada manusia)
 Al amr bi’l ma’ruf wa’l nahi’an al munkar
 Administrasi sipil
 Pemenuhan beberapa kebutuhan sosial (furud kifaya) dimana sektor swasta
gagal memenuhi-nya.
 Fungsi yang diturunkan dari Syariah dengan basis ijtihad
 Perlindungan lingkungan
 Pemenuhan barang publik yang vital
 Riset ilmiah
 Pembentukan modal dan pembangunan ekonomi
 Penyediaan subsidi untuk aktivitas swasta prioritas
 Pengeluaran untuk kebijakan stabilisasi
 Fungsi yang dibebankan kepada negara oleh penduduk melalui
proses Shura
 Tergantung pada kondisi dan kebutuhan masing-masing negara dan
perekonomian.
Karakter Negara Islam …
 Sumber-sumber kekuasaan negara adalah amanat dan
harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.
 Terpenuhinya kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat
adalah kewajiban ekonomi, moral dan keagamaan
penguasa.
 Penyediaan barang-barang publik harus dilakukan oleh
keuangan negara (Bayt al Maal).
 Barang-barang publik yang memberi manfaat secara umum
disediakan oleh negara.
 Jika manfaat barang-barang publik diinternalisasikan dan
mengkonsumsi-nya menghalangi pihak lain, maka biaya-nya
dibebankan secara langsung.
 Ketika sumber-sumber keuangan negara terbatas, sektor
sukarela dibebankan tugas pengadaan barang-barang
publik.
 Seluruh struktur negara Islam awal dibangun oleh sektor
sukarela.
Sistem Fiskal Masa Awal Islam …
(1/2)
 Orientasi pada Peningkatan Penawaran Agregat dan
Penciptaan Lapangan Kerja
 Meningkatkan kemampuan produksi dan produktivitas tenaga kerja
melalui mudharabah, muzara’ah dan musaqat sehingga meningkatkan
penawaran agregat.
 Porsi terbesar pengeluaran negara adalah untuk pembangunan
infrastruktur sehingga meningkatkan kapasitas dan efisiensi
perekonomian sekaligus membuka lapangan kerja yang luas.
 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas melalui pengenalan dan
adopsi teknologi baru.
 Disiplin Fiskal yang Ketat
 Tidak ada ekspansi fiskal melalui defisit anggaran
 Jarang terjadi Defisit Fiskal walau tekanan pengeluaran sangat tinggi
untuk belanja militer dan sosial, bahkan pada masa Khalifah Umar
dan Usman terjadi surplus yang besar.
 Efisiensi dan penghematan anggaran.
 Selain tempat ibadah, Masjid Nabawi berfungsi juga sebagai
sekretariat negara, mahkamah agung, markas besar tentara, pusat
pendidikan dan pelatihan juru dakwah, hingga baitul mal.
Sistem Fiskal Masa Awal Islam …
(2/2)
 Mendorong Pemerataan dalam Distribusi Pendapatan untuk
Meningkatkan Permintaan Agregat
 Mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar.
 Membagikan tanah kepada kaum muhajirin untuk pemukiman.
 Mendorong qard al-hasan, infaq, dan wakaf.
 Membuat anggaran negara sangat responsif dengan kepentingan
orang miskin (pro-poor budgeting):
 (i)Pembebasan kaum muslim dari perbudakan; (ii) Pembayaran
tunjangan untuk orang miskin; (iii) Pembayaran utang orang
yang meninggal dalam keadaan miskin; (iv) Bantuan untuk
mereka yang belajar agama
 Kebijakan Perpajakan yang Ramah Pasar
 Zakat dipungut berupa persentase tertentu (secara umum rendah
yaitu 2,5%) dari selisih antara produksi dengan biaya variabel
sehingga tidak berdampak pada harga dan jumlah produksi.
 Kharaj (pajak tanah) dipungut proporsional sesuai dengan
kesuburan dan produktivitas tanah serta jarak dengan kanal
irigasi dan pasar/kota.
Konsep Keuangan Publik dalam
Islam …
 Wacana ilmiah awal tentang keuangan publik dalam Islam
yang paling komprehensif pertama kali di lakukan oleh Abu
Ubayd (150-224 H/768-839 M) dalam kitab “al-Amwal”.
 Abu Ubayd mendefinisikan keuangan publik dalam Islam
sebagai “sunuf al-amwal al-lati yaliha al-a'immah li al-ra'iyyah”
(sejumlah kekayaan yang dikelola oleh pemerintah untuk
kepentingan publik)
 Terdapat empat konsep penting dalam definisi Abu Ubayd,
yaitu:
 “amwal” yang mengacu kepada kekayaan publik yang
dikategorikan menurut tiga klasifikasi yaitu fay’, khums, dan
zakat.
 “a’immah” yang mengacu kepada otoritas publik yang diberi
kepercayaan untuk mengelola kekayaan publik.
 “wilayah” yang mengindikasikan bahwa kekayaan itu tidak
dimiliki oleh otoritas, tetapi merupakan kepercayaan.
 “ra’iyyah” yang mengacu kepada publik yang terdiri dari subyek
Muslim dan non-Muslim, dimana kepada mereka manfaat harta
di distribusikan.
Keuangan Publik Periode Nabi
Muhammad SAW … (1/3)
 Pendapatan Nabi
 Pendapatan yang khusus dimana hanya Nabi Muhammad SAW saja yang
berhak menggunakannya.
 Pendapatan khusus Nabi ini sesungguhnya tidak menjadi milik
Muhammad sebagai pribadi, tetapi lebih sebagai milik Muhammad dalam
posisi-nya sebagai Nabi.
 Setelah Nabi wafat, tidak sedikitpun dari pendapatan khusus ini
yang diwarisi keluarga-nya.
 Setelah Nabi wafat, sumber-sumber pendapatan Nabi itu kemudian di
transformasikan menjadi pendapatan publik.
 Pendapatan Nabi ini adalah fay’, safi, dan khumus al-khums
 Fay’: kekayaan yang diberikan kepada Nabi yang diperoleh dari
harta non-muslim, yaitu tanah suku Fadak dan Bani Nadhir, tanpa
melalui peperangan (QS 59: 6).
 Safi: sesuatu yang telah dipilih oleh Nabi dari harta rampasan
(pasukan) Muslim sebelum ia dibagi-bagi.
 Khumus al-khums: bagian dari khums yang merupakan bagian
khusus untuk Nabi (QS 8: 41).
Keuangan Publik Periode Nabi
Muhammad SAW … (2/3)
 Anfal, Ghanimah, dan Khums
 Anfal (ghanimah) adalah segala sesuatu yang diperoleh orang
Muslim dari harta benda tentara musuh (QS 8: 1).
 Khums adalah seperlima bagian dari anfal (ghanimah) yang
menjadi kekayaan publik (QS 8: 41).
 Ghanimah berupa harta tak bergerak (tanah) digunakan untuk
kebaikan umum dan tujuan publik lainnya.
 Jizyah (QS 9: 29)
 Jizyah adalah pajak pajak kepala yang dipungut oleh
pemerintah Islam bagi orang-orang non-Islam, sebagai
imbangan bagi jaminan keamanan diri mereka.
 Jumlah jizyah sesuai dengan kemampuan pembayar, tidak ada
ketentuan baku tentang jumlahnya.
 Jizyah hanya diharuskan untuk pria dewasa (al-dhukur al-
mudkirin)
Keuangan Publik Periode Nabi
Muhammad SAW … (3/3)
 Zakat
 Zakat adalah hak orang miskin yang ada di harta orang kaya.
 Zakat tidak hanya kewajiban ekonomi, tetapi juga kewajiban
keagamaan dan menjadi sarana penyucian spiritual.
 Zakat diterapkan untuk harta yang memiliki potensi
berkembang, dimiliki setahun penuh, melampaui nilai
minimum (nishab), dan tarif secara umum 2,5%.
 Tarif zakat bervariasi sesuai dengan tingkat kesulitan
produksi dalam peningkatan pendapatan.
 Zakat atas hasil pertanian hanya dikenakan pada hasil tanah
’usyr (tanah yang dimiliki kaum Muslim serta seluruh tanah
Hijaz, Makkah, Madinah dan Yaman).
 Zakat yang dikumpulkan oleh negara adalah zakat atas
barang-barang yang tampak, sedangkan zakat atas barang
tidak tampak diserahkan kepada masing-masing individu.
Keuangan Publik Periode Pasca Nabi
Muhammad SAW … (1/3)
 Pendapatan Nabi adalah pendapatan pribadi
selama Nabi masih hidup.
 Surplus dan sisa pendapatan Nabi menjadi
pendapatan publik.
 Pendapatan Nabi adalah pendapatan resmi yang
tidak bisa diwarisi.
 Ketika Nabi Muhammad wafat, seluruh pendapatan Nabi
beralih menjadi pendapatan publik.
 Pendapatan publik periode pasca Nabi Muhammad
terbagi menjadi fay’, khums, dan zakat.
 Pendapatan Nabi (fay’, safi, dan khumus al khums) menjadi
pendapatan publik (fay’)
 Seluruh pendapatan publik yang tidak masuk kategori
khums dan zakat, masuk dibawah kategori fay’.
Keuangan Publik Periode Pasca Nabi
Muhammad SAW … (2/3)
 Fay’ (QS 59: 7)
 Segala tanggungan yang dibebankan kepada harta kekayaan
orang non-Muslim (ahl al-dhimmah) melalui penaklukan damai
yang manfaatnya dibagi rata kepada orang muslim demi
kepentingan umum.
 Fay’ Nabi bertransformasi menjadi fay publik ditandai oleh
peristiwa “nasionalisasi” tanah Fadak.
 Seluruh pendapatan publik yang berkembang dalam sejarah
Islam masuk dibawah kategori fay’
 Jizyah dari ahl al-dhimmah (masyarakat non-Muslim) yang mengikuti
perjanjian damai yang telah mereka sepakati
 Kharaj adalah pajak atas tanah fay’ yaitu seluruh tanah yang berada di
bawah kekuasaan negara Islam melalui kekuatan perang.
 Wazifah, pajak baku dari negara yang ditaklukkan dengan perjanjian
damai.
 Ushr, pajak yang dikumpulkan dari para pedagang di kalangan ahl al-
dhimmah, atau barang impor dari para pedagang negara non-Muslim
(ahl al-harb).
Keuangan Publik Periode Pasca
Nabi Muhammad SAW … (3/3)
 Khums.
 Abu Yusuf, Abu Ubayd dan fuqaha Hanafiyyah
menganggap mineral sebagai ghanimah.
 Karena itu, sumber khums selain ghanimah adalah barang
tambang (ma’adin), harta karun yang terpendam (rikaz),
kekayaan yang terkubur (mal madfun), dan hasil laut
(makharrij al-bahr).
 Sebagai sistem pendapatan publik, kombinasi tiga
kategori pendapatan ini, fay’, khums, dan zakat,
membentuk satu basis pendapatan (revenue base) yang
menyeluruh.
 Fay’ dan khums menjadi sumber pendapatan saat perang dan
damai.
 Khums mencakup kekayaan laut dan tambang.
 Zakat mencakup segala kekayaan di darat dan yang dimiliki
oleh masyarakat.
 Zakat juga berfungsi sebagai penyeimbang jizyah yang berada
dibawah kategori fay’.
Teori Pendapatan dan Belanja Publik
Islam … Abu Ubayd (150-224 H/768-839 M)
 Pendapatan Publik
 Fay’, khums, dan zakat
 Fay’ dan khums berbeda berdasarkan sumber-nya.
 Fay’ berasal dari subyek non-muslim.

 Khums bisa berasal dari subyek muslim maupun


non-muslim.
 Zakat hanya diambil dari muslim
 Belanja Publik
 Belanja fay’ (makharij al-fay’).
 Belanja fay’ adalah belanja fay’ dan khums.

 Hal ini karena penerima fay’ dan khums adalah


sama (QS 59: 7 dan QS 8: 41)
 Belanja zakat (makharij al-sadaqah) (QS 9: 60)
Teori Belanja Publik Islam …
 Dasar belanja publik adalah maslahah dan fardh
kifayah
 Konsep maslahah mencakup semua jenis barang publik
yang berguna bagi masyarakat dan meningkatkan taraf
hidup mereka.
 Maslahah terkait dengan perlindungan maqashid syariah
yaitu perlindungan agama, kehidupan, akal, keturunan
dan harta.
 Konsep fardh kifayah meliputi pemenuhan kebutuhan
dan kondisi darurat.
 Adanya prioritas belanja publik
 Kepentingan publik terbagi dalam tiga kategori yaitu
primer (dharuri), sekunder (haaji) dan anjuran (tahsini).
Klasifikasi Pembelanjaan Publik
Islam Klasik …
 (1) Pihak yang berhak atas zakat dan khums (seperlima dari
ghanimah);
 (2) Bantuan (grants) untuk Individu, mencakup dana pensiun
reguler, bantuan rangsum makanan (terkadang pakaian) bulanan
dan bonus pada waktu tertentu.
 Tujuan dari bantuan ini adalah untuk menyediakan: (a) pelayanan
militer, (b) pelayanan sipil, (c) hadiah untuk perbuatan yang baik,
(d) pengakuan dan penghargaan, dan (e) membagi kemakmuran
publik untuk mereduksi disparitas pendapatan.;
 (3) Perlengkapan dan instalasi militer;
 (4) Administrasi sipil termasuk untuk inspeksi pasar (hisbah);
 (5) Pembayaran kepada pihak luar untuk tujuan perdamaian dan
pembebasan tawanan muslim;
 (6) Pembangunan fasilitas publik seperti rumah sakit, rumah
singgah untuk orang yang dalam perjalanan, dan pos-pos
penjagaan;
 (7) Pembangunan infrastruktur publik seperti pembangunan
jalan, kanal, dam, reklamasi dan rehabilitasi tanah;
 (8) aktivitas untuk peningkatan kesejahteraan.
Klasifikasi Belanja Publik Islam
Kontemporer … (Siddiqi, 1996)
 (1) Kelompok belanja permanen:
 (i) Pertahanan; (ii) Hukum dan pemerintahan; (iii)
Keadilan; (iv) Pemenuhan kebutuhan; (v) Da‘wah; (vi)
Amar Ma‘ruf dan Nahy Munkar; (vii) Administrasi sipil;
(viii) Memenuhi kewajiban sosial (fard kifayah) ketika
sektor privat gagal memenuhi.
 (2) Kebutuhan belanja dalam kerangka syariah
dalam era kekinian;
 (i) Proteksi lingkungan; (ii) Menyuplai barang publik yang
dibutuhkan selain dikategori yang diatas; (iii) Penelitian
ilmiah; (iv) Formasi modal dan pembangunan ekonomi;
(v) Subsidi untuk aktivitas privat yang prioritas; (vi)
Belanja yang dibutuhkan untuk kebijakan stabilitas.
 (3) Belanja atas Aktivitas yang dipertimbangkan
membawa maslahat dan memproteksi dari mafsadat.
6 Kaidah Belanja Publik
Taqyuddin An-Nabhani, An-Nidlam Al-Iqtishadi Fil Islam, 1990
 Pengeluaran dari kas khusus yang terpisah, Zakat (QS 9: 60)
 Fakir, Miskin, Amil, Muallaf, Budak, Gharim dan Fi Sabilillah
 Pengeluaran untuk Kekurangan Kebutuhan Penduduk dan
Pelaksanaan Kewajiban Jihad
 Pengeluaran upah dan gaji
 Misal: gaji untuk tentara, pegawai negeri, hakim, guru, dll.
 Pengeluaran untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umum,
yang jika tidak dipenuhi maka ummat akan menderita.
 Misal: jalan umum, jembatan, bendungan, rumah sakit, masjid,
sekolah, air minum, dll.
 Pengeluaran untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umum,
namun jika tidak dipenuhi maka ummat tidak akan
menderita.
 Hanya dilakukan jika Baitul Mal memiliki kelapangan dana.
 Adanya unsur darurat
 Misal: paceklik, banjir, angin taufan, gempa bumi, atau
perang.
Defisit Anggaran dalam Islam
 Secara historis, sumbangan sukarela dan pinjaman publik
merupakan dua instrument yang digunakan Nabi
Muhammad untuk menutup defisit anggaran.
 Pada perang Hunain, Nabi meminjam 40.000 dirham dan
mengembalikannya setelah kembali dari perang.
 Imam Al Ghazali (1058-1111) mengizinkan utang publik
jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali
dari pendapatan di masa yang akan datang.
 Pembiayaan Defisit Anggaran yang sesuai syariat Islam
 Pinjaman publik harus terkait dengan kepentingan sektor
publik.
 Defisit anggaran dapat ditutup dengan pajak tambahan.
 Negara memiliki hak atas orang kaya untuk memenuhi
kebutuhan orang miskin.
 Di era modern, instrumen pembiayaan defisit anggaran yang
kompatibel dengan syariah dan dapat digunakan untuk
memobilisasi sumber daya antara lain adalah sukuk dan
mekanisme pembiayaan proyek BOT (build-operate-transfer).
Baitul Mal dan Pajak (dharibah)
 Dua kebutuhan penduduk
 Kebutuhan yang menjadi kewajiban Baitul Mal untuk sumber-
sumber pendapatan tetap Baitul Mal.
 Kebutuhan yang menjadi kewajiban Kaum Muslimin,
sehingga negara diberi hak untuk mengambil harta dari
mereka (pajak) untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
 Sepanjang sumber penerimaan yang telah ditetapkan sudah
mencukupi, maka pajak tidak perlu diterapkan.
 Tidak diperbolehkan sedikit-pun mengambil harta selain
dengan cara yang haq sesuai syariat.
 Obyek pajak adalah harta dari sisa nafkah (kebutuhan
hidup)
 Hanya di pungut dari harta orang kaya
 Definisi kaya menurut ketentuan syariat: sisa dari pemenuhan
kebutuhan primer dan sekunder yang ma’ruf; standar
kaya/miskin bersifat individual.
Prinsip-Prinsip Kebijakan Perpajakan
dalam Islam …. (1/2)
 Syariat Islam secara tegas melindungi kepemilikan swasta
dari setiap tindakan agresif baik dari negara ataupun
individu lain.
 Hal/manfaat yang lebih penting/besar dan bersifat darurat
dapat mengalahkan hal yang lebih kecil.
 Darurat tidak boleh dilebih-lebihkan dan harus terukur.
 Pajak tidak boleh diterapkan kecuali pada kondisi darurat
yang sangat khusus.
 Pajak dipungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja
negara.
 Pajak dipungut tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomi
apapun.
 Pajak semata dipungut berdasarkan standar cukup atau
tidaknya harta di Baitul Mal untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban-nya.
Prinsip-Prinsip Kebijakan Perpajakan
dalam Islam …. (2/2)
 Kondisi untuk Menerapkan Pajak Baru Selain
Zakat dan Pajak lain yang telah ditetapkan
syariat
 Hal-hal yang membolehkan pajak (Imam Malik, 717-
796 M)
 Penerimaan reguler terhenti
 Belanja militer melebihi penerimaan saat ini
 Pajak dibebankan secara temporer
 Pajak dibebankan pada pendapatan setelah kebutuhan
tercukupi
 Pajak hanya dibebankan kepada orang kaya
 Kasus-kasus yang membolehkan pajak (Kahf, 1983)
 Keamanan internal dan eksternal
 Memenuhi kebutuhan dasar dan mempertahankan
standar hidup minimum penduduk
 Pembangunan kapasitas produksi perekonomian.
 Perlindungan ekonomi, sosial, dan psikologis pada
situasi darurat seperti perang dan bencana alam.

Anda mungkin juga menyukai