Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, taufiq,
serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Keuangan
Publik Islam”. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. Dan juga kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Kiki
Suryani, S. HI., ME selaku dosen mata kuliah Pengantar Ekonomi Islam UINSI
yang telah memberikan tugas ini.
Semoga makalah ini dapat dipahami dengan mudah bagi siapapun yang
membacananya dan juga dapat berguna bagi kami pribadi. Demikian yang dapat
kami sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata.
[i]
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Keuangan Publik Pada Masa Rasulullah SAW.............................. 2
B. Keuangan Publik Pada Masa Khulafaurrasyidin............................. 5
C. Prinsip Penerimaan Publik.............................................................. 8
D. Prinsip Pengeluaran Publik............................................................. 9
DAFTAR PUSTAKA
[ii]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Nurul Huda,dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah, (Jakarta:
Kencana, 2016), h. 1.
2
Solikin M. Juhro, dkk, Keuangan Publik Dan Sosial Islam Teori Dan Praktik, (Depok:
Raja Rajawali Pers, 2019), h. 147.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Seperlima bagian untuk Allah dan Rasul-Nya (seperti untuk negara yang
dialokasikannya bagi kesejahteraan umum), dan untuk para kerabat, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, dan para musafir. Bagian seperlima ini
dikenal dengan istilah khums, menjadi tiga bagian: Pertama untuk dirinya
dan keluarganya, bagian kedua untuk kerabatnya, dan bagian ketiga untuk
anak-anak yatim, orang-orang miskin serta musafir.
2. Empatperlima bagian lainnya dibagikan kepada para anggota pasukan
yang terlibat dalam peperangan (Pada kasus tertentu, beberapa orang yang
tidak terlibat dalam peperangan juga memperoleh bagian). Penunggang
kuda memperoleh dua bagian, yakni untuk dirinya sendiri dan untuk
kudanya. Yang berhak memperoleh bagian adalah hanya tentara laki-laki,
sedangkan wanita yang hadir untuk membantu beberapa hal tidak berhak
memperoleh bagian dari rampasan perang.
3
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah”, dalam Jurnal Aghinya edisi
no. 1, Vol. 2, 2019, h. 126.
2
sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau kismis, atau setengah sha’ gandum, untuk
setiap Muslim, baik budak atau orang merdeka, laki-laki atau perempuan, muda
atau tua, serta dibayarkan sebelum pelaksanaan Shalat’ Id.4
4
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 126.
5
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 126.
6
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 127.
7
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 127.
3
1. Uang tebusan para tawanan perang, khususnya perang badar. Pada perang
lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang, bahkan 6000
tahanan perang Hunain dibebaskan tanpa uang tebusan.
2. Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Mekkah) untuk pembayaran
diyat, kaum Muslimin Bani Judzaimah atau sebelum pertempuran
Hawazin sebesar 30.000 dirham dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam
beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin
Umayyah.
3. Khums atas rikaz atau harta karun.
4. Amal Fadilah, yakni harta yang berasal dari harta benda kaum Muslimin
yang meninggal tanpa ahli waris atau harta seorang muslim yang telah
murtad dan pergi meninggalkannya.
5. Wakaf, yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang Muslim untuk
kepentingan agama Allah dan pendapatannya akan disimpan di Baitul Mal.
6. Nawaib, yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum Muslimin yang
kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa
darurat, seperti yang pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
7. Zakat fitrah.
8. Bentuk lain seperti hewan qurban dan kafarat denda yang dilakukan atas
kesalahan seorang muslim pada saat melakukan kegiatan badah, seperti
berburu pada musim haji. 8
8
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 127.
4
5. Pembayaran utang negara.
6. Bantuan untuk musafir (dari daerah Fadak).
Periode kejayaan ekonomi Islam pasca Rasulullah saw adalah pada masa
Khilafah Islamiyah. Masa khilafah yang paling dekat dengan masa Rasulullah saw
adalah masa-masa Khulafaur Rasyidun, mulai dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Pada masa itulah ekonomi
Islam, terutama pengelolaan keuangan publik semakin nyata mensejahterakan
umat. Karena memang ekonomi Islam itu bukan sekedar teori saja melainkan juga
merupakan bentuk nyata yang bisa kita indera. 10
9
Suharyono, “Kebijakan Keuangan Publik Masa Rasulullah” ..., h. 131.
10
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)”, dalam Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 17, 2017, h. 161.
5
1. Masa Kekhalifahan Abu Bakar Siddiq
11
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)” ..., h. 163.
12
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)” ..., h. 164.
6
2. Masa Kekhalifahan Umar bin Khatab
13
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)” ..., h. 165.
14
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)” ..., h. 167.
7
Bakar ash-Shiddiq. Sebagaimana tercermin dalam pidato politik pasca
dibaiatnya beliau sebagai berikut: “Dengarkanlah..! Siapa saja dari
kalangan Anshar dan Muhajirin yang masih berpegang pada pendapat
bahwa oleh karena persahabatannya dengan Rasulullah saw merasa
mempunyai keutamaan daripada orang lain, ia patut mengetahui bahwa
keutamaannya itu hanya akan bermanfaat diakherat kelak dimana Allah
SWT akan membalasnya. Oleh karena itu pahamilah dan berpegang
teguhlah pada agama Allah SWT dan sunnah Rasul SAW, pastikan millah
kita, masuki diin Islam dengan sepenuhnya dan menghadaplah ke kiblat
kita, yang berarti kita mengakui hak-hak dan tanggungjawab Islam.
Sesungguhnya kamu semua adalah hamba Allah, dan harta kekayaanmu
juga milik Allah maka, harta itu akan dibagikan sama rata diantara kalian.
Dalam hal ini tidak ada seorang pun lebih utama dari orang lain,
bagaimanapun juga Allah akan memberikan balasan yang terbaik kepada
mereka yang takut kepada-Nya.”15
15
Yuana Tri Utomo, “Kisah Sukses Pengelolaan Keuangan Publik Islam (Perspektif
Historis)” ..., h. 167.
16
P3EI, Ekonomi Islam, Ed.1, (Jakarta: Raja rafindo Persada, 2008), h. 506.
8
2. Berbagai pungutan dharibah tidak dipungut atas dasar besarnya
input/sumber daya yang digunakan, melainkan atas hasil usaha dan
tabungan yang terkumpul.
3. Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik
masyarakat secara paksa.
4. Islam memberlakukan kaum muslimin dan Non Muslim secara adil.
Pungutan dikenakan proposional terhadap manfaat yang diterima
pembayar.
5. Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan negara menjadi empat
jenis:
a) Zakat, yaitu pungutan wajib atas muslim yang ketentuannya telah
diatur oleh Allah Swt.
b) Aset atau kekayaan non keuangan, yang memungkinkan pemerintah
untuk memiliki perusahaan dan menciptakan penerimaan sendiri
dengan mengelola sumber daya yang dikuasakan kepada pemerintah.
c) Dharibah, yaitu pungutan wajib yang nilainya ditentukan oleh
pemerintah. Meliputi jizyah, kharaj, ushur, nawaib,dan sebagainya.
d) Penerimaan publik sukarela, yaitu yang objek dan besarannya
diserahkan kepada pembayar. Jenis ini seperti halnya infak, sedekah,
wakaf, hadiah, dan sebagainya. 17
D. Prinsip Pengeluaran Publik
Khalifah Umar bin Khattab telah berani melakukan perubahan
distribusi/alokasi pendapatan yang diperoleh, dimana alokasi dana disesuaikan
dengan jenis dan yang masuk, secara umum, belanja negara dapat dikategorikan
menjadi empat:18
1) Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf.
2) Biaya rutin pemerintah. Dana ini pada umumnya diambil dari kharaj, fai’,
jizyah, dan ushr.
3) Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial.
17
Miftahul Huda, “Prinsip-prinsip Keuangan Publik Islam”, dalam Jurnal Al-Intaj edisi
no. 1, Vol. 4, 2018, h. 7.
18
P3EI, Ekonomi Islam ..., h. 508.
9
4) Biaya lainnya, seperti emegancy, pengurusan anak terlantar, dan
sebagaianya.
Pada dasarnya besaran dan skala prioritas alokasi tidaklah selalu sama
dalam setiap negara ataupun waktu. Secara garis besar prinsip yang harus
diterapkan dalam pengeluaran publik adalah:19
1) Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil
atau pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan manajemen zakat
sehingga dapat dicapai pendistribusian yang sesuai ajaran Islam.
2) Penerimaan selain zakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip
pokok, diantaranya:
a) Belanja negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal
mungkin maslahah.
b) Menghindari masyaqqah kesulitan dan mudharat harus di
dahulukan daripada melakukan perbaikan.
c) Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari
mudharat dalam skala yang lebih luas.
d) Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu
dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan
dalam skala umum.
e) Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan
penderitaan atau kerugian yang ditanggung.
f) Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syari’at
Islam, maka belanja tersebut harus diwujudkan.
19
P3EI, Ekonomi Islam, Ed.1, cet. 6, (Jakarta: Raja rafindo Persada, 2014), h. 510.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Huda, Nurul, dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teoritis Dan Sejarah,
Jakarta: Kencana, 2016.
M. Juhro, Solikin, dkk, Keuangan Publik Dan Sosial Islam Teori Dan Praktik,
Depok: Raja Rajawali Pers, 2019.
P3EI, Ekonomi Islam, Ed.1, cet. 6, Jakarta: Raja rafindo Persada, 2014.
Jurnal
12
LAMPIRAN PEMBAGIAN TUGAS KELOMPOK
13