Anda di halaman 1dari 14

i

SUMBER KEUNGAN PUBLIK DALAM ISLAM

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Keuangan Islam Publik di Melayu Nusantara Program Pascasarjana
Studi Hukum Keluarga Islam Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Bone

Dosen Pengampu:
Dr. Jasmani, M. HI
Prof. Dr. Syahabuddin, M. Ag

Oleh:
Kelompok III

ROSDIANA
NIM: 741302022008

NUR HIKMAH FITRATUL AWALIAH


NIM: 741302022014

SHAHIBUL KHAIR R.
NIM: 741302022022

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatu

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt yang telah memberikan berbagai nikmat

sampai saat ini. Salawat dan salam tetap tertuju kepada manusia pilihan Allah swt.,Nabi

Muhammad saw. yang telah menuntun manusia, khususnya umat Islam ke jalan yang diridai

oleh Allah.

Penulis telah berhasil menyeleseikan makalah ini, walaupun terdapat banyak

kekurangan, karena kurangnya kemampuan penulis. Kepada semua pihak yang telah

membantu terseleseikannya makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang

sebesar-besarnya.

Harapan besar penulis, makalah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat umum dan

juga bagi para mahaasiswa ataupun mereka yang berkecimpung dalam bidang akademik,

sehingga dapat lebih giat untuk menciptakan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat.

Penulis sangat berharap kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak guna

lebih sempurnanya makalah ini, sehingga dapat menuai manfaat maksimal kepada

masyarakat.

Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Watampone, 4 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1-2

A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 2

C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 3-8

A. Pendapatan dan Belanja Negara Zaman Rasulullah SAW ................................... 3

B. Pengelolaan Keuangan Negara Zaman Rasulullah SAW ..................................... 6

BAB III PENUTUP...................................................................................................... 9

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 9

B. Implikasi .............................................................................................................. 9

DAFTAR RUJUKAN

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Topik keuangan negara dalam Islam sampai sekarang masih menjadi pembahasan yang

langka. Sejauh ini, kajian tentang ekonomi Islam yang banyak dilakukan dikupas oleh para

pemikir dan praktisi ekonomi Islam adalah masalah perbankan syariah -lebih diperkecil lagi

masalah riba, bagi hasil dan akad-akad mualamat yang diterapkan di lembaga keuangan.
Padahal jika ditelusuri sejarah Islam, khususnya era Rasulullah Saw sampai Khalifaurrasyidin

menjadi bagian penting dan perhatian serius Nabi Saw dan Khalifah guna menjamin

berjalannya roda pemerintahan dengan baik dan peningkatan kesejahteraan umat.

Ada beberapa sumber keuangan publik yang dikenal dalam nash Al-Qur’an. Awalnya

sumber keuangan itu dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berasal dari kaum Musliminin

dan yang berasal dari non-Muslimin yang hidup di wilayah kekuasaan Islam. Sumber

keuangan yang berasal dari Muslimin terdiri dari zakat/shadaqah. Sementara itu sumber

keuangan yang berasal dari non-Muslimin didapatkan dari ghanîmah. Berangkat dari kedua

sumber ini, selanjutnya berkembang berbagai macam sumber lainnya, yang merupakan

turunan dari kedua sumber tersebut.


Islam menekankan dalam pencapaian kesejahteraan yang bersumber pada keuangan

publik harus dikelola secara optimal, demi kebutuhan dan kemakmuran generasi yang

berkesinambungan, meningkatkan kemaslahatan umat serta tidak boleh berlebihan. Kebijakan

Negara dalam mencapai segala aspek tujuan kesejahteraan publik maupun non publik haruslah

berjalan secara seimbang.

1
2

B. Rumusan Masalah

Makalah ini mempunyai pokok masalah tentangteori-teori memahami eksistensi

hukum islam serta upaya legislasi hukum islam di bidang hukum keluarga melayu nusantara.

Berdasarkan pokok masalah tersebut, maka penulis mengembangkan menjadi tiga sub

masalah, yaitu:

1. Bagaimana pendapatan dan belanja negara zaman Rasulullah SAW?

2. Bagaimana pengelolaan keuangan negara zaman Rasulullah SAW?


C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pendapatan dan belanja negara zaman Rasulullah SAW.

2. Untuk mendeskripsikan pengelolaan keuangan negara zaman Rasulullah SAW.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendapatan dan Belanja Negara Zaman Rasulullah SAW

1. Zakat

Pusat dari sumber keuangan negara dalam ekonomi Islam adalah zakat.

Pendapatan zakat didistribusikan untuk para mustahik yang meliputi delapan

golongan (asnab). Zakat sebagai sumber penerimaan utama memiliki potensi yang
besar mengingat hukumnya yang wajib. Selain itu objek zakat dalam dunia modern

saat ini bertambah luas dengan dimungkinkannya menarik zakat profesi selain zakat

pertanian dan peternakan, zakat perusahaan dan sebagainya. Ajaran Islam dengan

rinci telah menentukan syarat, kategori harta yang harus dikeluarkan zakatnya, dan

lengkap dengan tarifnya. Pemerintah juga dapat memperluas objek yang wajib

dizakati dengan berpegang pada nash umum yang ada dan pemahaman terhadap

realita modern.1

Implikasi zakat dalam arti khusus, dalam hal ini ekonomi, yaitu: Pertama, zakat

dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mayarakat yang memiliki kekurangan. Kedua,

zakat dapat memperkecil jurang kesenjangan ekonomi, antara si kaya dan si miskin.
Ketiga, zakat secara tidak langsung dapat menekan jumlah permasalahan sosial,

kriminalitas, dan lain-lain. Keempat, zakat dapat menjaga kemampuan daya beli

masyarakat agar dapat memelihara sektor usaha, artinya dengan zakat maka konsumsi

masyarakat terjaga pada tingkat yang minimal (dapat terkontrol), sehingga

1
Rifyal Zuhdi Gultom, Muhammad Rafi Siregar, Masrizal, Keuangan Publik Islam: Zakat
Sebagai Instrumen Utama Keuangan Negara, Jurnal Hukum Islam, Vol. XIX, No. 2, tahun 2019, h.
106

3
4

perekonomian dapat berjalan dengan baik. Zakat juga merupakan sarana untuk

mendekatkan jurang pemisah antara orang kaya dengan fakir dan miskin.1

Selain sebagai dasar pemungutan zakat sebagai pendapatan negara, ayat dan

hadist juga menerangkan ini pos penyaluran dan cara distribusinya. Zakat mesti

didistribusikan ke kelompok yang secara tegas dan pasti disebutkan (almansus) dalam

al-Quran yang berjumlah delapan; fakir, miskin, amil, gharim, muallaf, ibnu sabil, fii

sabililah, hamba sahaya budak. Menurut M.A. Manan perintah al-Quran ini
menetapkan suatu kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi kekayaan

berimbang diantara berbagai lapisan masyarakat.2

Cara distrisbusi zakat adalah dimana lebih diutamakan pada daerah mana zakat

itu dipungut. Zakat tidak ditarik ke pusat pemerintah, Madinah, namun langsung

dibagikan kepada kelompok yang berhak menerimanya. Dengan demikian, zakat

sebagai pemasukan negara tidak dikelola secara sentralistik. Muhammad Saw

memberikan wewenang kepada petugas pemungut untuk mengelola dan

mendistribuskannya kepada masyarakat setempat.

2. Ghanimah

Ghanimah merupakan harta perolehan kaum muslim lewat jalan perperangan.


Awalnya distribusi ghanimah ini dilakukan oleh Rasulullah dengan cara membagi

sama banyak kepada para tentara yang ikut ke medan perang. Namun setelah turun

Surat al-Anfal ayat : 41, maka Rasullah SAW mengikuti petunjukan ayat ini dalam

pembagian harta ghanimah. Menurut Al Qur’an Surat al-Anfal ayat 41, distribusi

harta ghanimah terdiri dari; untuk Allah, Rasul, Karib kerabat anak yatim dan fakir

miskin. Sisanya untuk tentara berkuda dan berjalan kaki.

1
Yusuf Al-Qardhawi, Haruskah Hidup dengan Riba, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996)
2
M. A Manan, Ekonomi Islam Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Intermasa, 2002, hlm. 232
5

Jika dikalkulasikan keseluruhan jumlah harta rampasan perang yang didapat

selama masa Rasul Saw berjumlah tidak lebih dari 6 juta dirham. Jumlah tersebut

dibandingkan dengan jumlah serta biaya hidup di Madinah untuk ratarata jumlah

keluarga enam orang adalah 3.000 dirham pertahun. Kontribusi harta rampasan

perang terhadap pendapatan kaum muslimin selama 10 tahun kepemimpinan

Rasulullah Saw adalah 2 persen.3

3. Jizyah
Secara bahasa al-jizyah diartikan sebagai pajak tanah, sesuatu
pajak yang diambil dari kafir dzimmiy.4 Imam Al-Mawardi menjelaskan

tentang jizyah, bahwa selain membayar jizyah mereka non-muslim harus

memenuhi syarat-syarat perjanjian, yaitu: tidak boleh menyebut-nyebut al-

Qur’an dengan maksud menghina dan mengubahnya, tidak boleh menyebut-

nyebut nama Rasulullah dengan tujuan untuk mendustakan dan melecehkannya,

tidak boleh menyebut agama Islam dengan nada menghina dan

merendahkannya, tidak boleh menuduh zina terhadap wanita muslimah atau

mengakui telah menikahinya, tidak boleh mengganggu umat muslim karena agama

yang dianutnya, mereka tidak boleh membantu pasukan musuh dan melindungi
mereka.5

Jizyah merupakan pajak yang dibayar oleh kalangan non-muslim sebagai

kompensasi atas fasilitas (jaminan) sosial ekonomi, layanan kesejahteraan, serta

jaminan keamanan yang mereka terima dari negara Islam. Jizyah diambil dari orang-

3
Heri Sudarsono, Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Yogyakarta, 2002, hlm. 112
4
Fairuz Abadi, Al-Qamus Al-Muhith, edisi ke-8 (Beirut: Al-Resalah Publisher, 2005), hlm.
1270
5
Imam Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam(Jakarta:
Qisthi Press, 2014), hlm. 255
6

orang non-muslim selama mereka tetap pada kepercayaannya. Namun apabila mereka

telah memeluk agama Islam, maka kewajiban membayar jizyah tersebut gugur.

Jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan

membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya.6

Diantara orang non muslim yang pernah membayar jizyah adalah orang Najran,

orang Ailah, Adhruh dan Adhriat yang membayar pada perang Tabuk.

Pembayarannya tidak mesti dalam bentuk uang tunai tapi dapat juga dalam bentuk
barang atau jasa. Di masa Rasulullah, jizyah ini dipungut sebesar satu dinar pertahun.

Bagi perempuan, anak pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit dibebaskan dari

kewajiban ini. Penarikan jizyah ini berdasarkan surplus (kelebihan) dari pendapatan

setelah sebelumnya dikeluarkan biaya untuk kebutuhan pokok.7

B. Pengelolaan Keuangan Negara Zaman Rasulullah SAW

1. Zakat

Pada masa awal-awal Islam, penerimaan pendapatan negara yang bersumber

dari zakat berupa uang tunai, hasil pertanian dan hasil peternakan. Zakat merupakan

unsur penting karena sistemnya penunaiannya yang bersifat wajib (obligatory zakat

system), sedangkan tugas negara adalah sebagai „âmil dalam mekanismenya. Zakat
merupakan kewajiban bagi golongan kaya untuk memberikan perimbangan harta di

antara sesama masyarakat. Dalam negara yang memiliki sistem pemerintahan Islam,

maka negara berkewajiban untuk mengawasi pemberlakuan zakat. Negara memiliki

hak untuk memaksa bagi mereka yang enggan berzakat jika mereka berada pada taraf

6
Rifyal Zuhdi Gultom, Muhammad Rafi Siregar, Masrizal, Keuangan Publik Islam: Zakat
Sebagai Instrumen Utama Keuangan Negara, Jurnal Hukum Islam, Vol. XIX, No. 2, tahun 2019, h.
107
7
Muhammad Iqbal, Fiqih Syiyasah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001, hlm. 280
7

wajib untuk mengeluarkan zakat. Apalagi jika mempertimbangkan keadaan

masyarakat yang secara umum lemah perekonomiannya.8

Negara Islam tidak berada pada posisi yang terbebani, karena secara mendasar,

sistem zakat telah secara langsung dan signifikan telah mengurangi beban negara dari

spesifikasi syariat yang ada dalam aturan aplikasinya, yaitu menanggulangi

kecenderungan negatif dan pengangguran, kemiskinan dan masalah-masalah sosial

lainnya. Di lain sisi, zakat merupakan ujung tombak pertama dari negara yang
berfungsi untuk menjamin kebutuhan minimal rakyat.

2. Ghanimah

Ghanîmah merupakan pendatan negara yang didapatkan dari hasil kemenangan

dalam peperangan. Distribusi hasil ghanîmah secara khusus diatur langsung dalam

Alquran surah al-Anfâl ayat 41. Empat perlima dibagi kepada para prajurit yang ikut

dalam perang, sedangkan seperlimanya sendiri diberikan kepada Allah, RasulNya,

karib kerabat Nabi, anak-anak yatim, kaum miskin dan ibnu sabil. Dalam konteks

perekonomian modern, pos penerimaan ini boleh saja menggolongkan barang sitaan

akibat pelanggaran hukum antar negara sebagai barang ghanîmah.

3. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang hanya diberlakukan bagi warga negara non-

Muslim yang mampu. Bagi yang tidak mampu seperti mereka yang sudah uzur, cacat,

dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan terbebas dari kewajiban ini.

Bahkan untuk kasus tertentu, negara harus memenuhi kebuhhuhan pendiudik bukan

Muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi kebutuhan minimalnya,

sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal ini berkaitan erat

8
„Alî „Abd al-Rasûl, Mabâdi' al-Iqtishâdî fi al-Islâm, Dâr Fikr al-Arabî, al-Qâhirah, 1980,
Cet. II, hlm 323
8

dengan fungsi pertama dari negara. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas hanya

kepada penduduk Muslim saja.

Jizyah ini bisa disebut pula dengan istilah pajak perlindungan. Ketika non-

Muslim hidup dengan tenang dan mendapat jaminan perlindungan dari pemerintah

Islam, maka dengan jizyah tersebut bisa menjadi imbalannya. Perlindungan yang

dimaksud baik dalam maupun gangguan-gangguan dari pihak luar. Dan ini sejalan

secara adil dengan penduduk Muslim sendiri, yang telah dibebani beberapa instrumen
biaya yang harus dikeluarkan ke negara, seperti zakat. Berkenaan dengan hak

yang menunaikan jizyah, mereka dibebaskan dari wajib militer dan membela

Islam, karena hal ini kewajiban warga negara yang beragama Islam. Adapun

sebagian fuqaha berpendapat bahwa, apabila negara Islam tidak dapat

memberikan hal perlindungan kepada mereka, maka jizyah mereka dikembalikan

lagi. Apabila dari mereka non-muslim ada yang mempunyai tanggungan

membayar jizyah kemudian meninggal dunia, maka kewajiban tersebut gugur

dan tidak jatuh pada ahli waris.9

Kebijakan pemerintah tidak sebatas ketentuan barang jizyah, namun dalam

kriteria orang yang dikenakan jizyah pun dapat ditentukan. Dalam kriteria
yang dikenakan jizyah, terdapat golongan yang dibebaskan karena disesuaikan

dengan kondisi mereka, seperti orang-orang yang tidak mampu berperang, yaitu

kaum perempuan, anak-anak, lanjut usia, cacat, lumpuh, tuna netra, fakir yang tak

mampu berusaha, rahib, dan masih banyak lagi.10

9
Wahyu Nugroho, Syamsuri, Syamsuddin Arif, Dzul Fadli, Zakat dan Jizyah Sebagai
Pengendali Sistem Moneter: Sebuah Kajian Konseptual, Islamic Economics Jurnal, Vol. 5, No. 2,
tahum 2019, h. 70
10
Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah, dan
Harakah (Jakarta: Gema Insani, 1996), hlm. 585
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbagai kebijakan diambil oleh Rasulullah untuk mengelola keuangan negara

dengan menganut berbagi prinsip baik dalam pemasukan keuangan negara; tidak

diskriminatif, proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar, dan pungutan

tidak dipungut berdasarkan sumber daya / input yang digunakan, melainkan atas hasil

usaha, maupun dalam pengeluaran; zakat dioalaksikan berdasarkan kewenangan Allah,

dan belanja negara untuk mewujudkan maslahah.

Islam telah menentukan sektor penerimaan pemerintah seperti zakat, ushr,

ghanimah, fay’, jizyah, kharaj dan lain-lain. Jika diklasifikasikan maka pendapatan

tersebut berifat rutin. Namun yang untuk seorang muslim yang wajib adalah zakat

karena menjadi salah satu rukun dalam Islam. Sedangkan untuk pembagiannya sendiri

zakat memiliki klasifikasi yang khusus. Sedangkan prinsip belanja pemerintah dalam

Islam menurut anNabhani dan al-Maliki, dalam pengambilan kebijakan fiskal yang

sesuai dengan ekonomi Islam adalah setiap kebijakan haruslah memberikan jaminan atas

pemenuhan seluruh kebutuhan pokok bagi setiap individu dan juga pemenuhan berbagai

kebutuhan sekunder sesuai dengan kadar kemampuan individu yang bersangkutan yang
hidup dalam masyarakat.

B. Implikasi

Berdasarkan hasil makalah yang telah dilakukan, penulis menyadari bahwa

masih terdapat kekurangan di dalam proses penyusunan ini. Segala kritik dan saran

dalam penyempurnaan makalah kami sangat diperlukan. Perlunya menambah literature

bagi pembaca dan bisa menjadikan makalah ini salah satu rujukan dalam Makalah.

9
DAFTAR RUJUKAN

Abadi, Fairuz, Al-Qamus Al-Muhith, edisi ke-8, Beirut: Al-Resalah Publisher, 2005

Gultom, Rifyal Zuhdi, Muhammad Rafi Siregar, Masrizal, Keuangan Publik Islam: Zakat
Sebagai Instrumen Utama Keuangan Negara, Jurnal Hukum Islam, Vol. XIX, No. 2,
tahun 2019

Iqbal, Muhammad, Fiqih Syiyasah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001

Mahmud, Ali Abdul Halim, Karakteristik Umat Terbaik Telaah Manhaj, Akidah, dan
Harakah, Jakarta: Gema Insani, 1996

M. A Manan, Ekonomi Islam Dari Teori ke Praktek, Jakarta : Intermasa, 2002

Al-Mawardi, Imam, Ahkam Sulthaniyah: Sistem Pemerintahan Khilafah Islam, Jakarta:


Qisthi Press, 2014

Nugroho, Wahyu, Syamsuri, Syamsuddin Arif, Dzul Fadli, Zakat dan Jizyah Sebagai
Pengendali Sistem Moneter: Sebuah Kajian Konseptual, Islamic Economics Jurnal,
Vol. 5, No. 2, tahum 2019

Al-Qardhawi, Yusuf, Haruskah Hidup dengan Riba, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

al-Rasûl, Alî Abd, Mabâdi' al-Iqtishâdî fi al-Islâm, Dâr Fikr al-Arabî, al-Qâhirah, 1980, Cet.
II

Sudarsono, Heri, Ekonomi Islam Suatu Pengantar , Yogyakarta, 2002

10
11

Anda mungkin juga menyukai