Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH

UANG DAN KEUANGAN PUBLIK DALAM PEMIKIRAN ABU


YUSUF
Dosen : Dr. Syahriyah Semaun, S.E. M.M

OLEH:

NURJANNAH
2220203860102004

SITI ALAM BARKAH


2220203860102014

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas berkah rahmat dan limpahannya

sehingga kita dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah berupa makalah ini dan tak

lupa pula kita kirimkan shalawat serta salam atas junjungan nabi besar

Muhammad SAW nabi yang telah menjadi surih tauladan bagi kita semua.

Adapun proses pembuatan makalah ini telah kami usahakan semaksimal

mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat

memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan

banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam

pembuatan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada

kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena

itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi

pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat

memperbaiki makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari makalah pembiayaan sektor

publik ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya sehingga dapat memberikan

inspirasi terhadap pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Penulis

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Uang.................................................................................................... 4
1. Mata Uang Pada Masa Pemikir Islam .............................................. 4
a. Mata Uang Ibnu Taimiyah .......................................................... 4
b. Mata Uang Menurut Al-Ghazali ................................................. 7
c. Mata Uang Menurut Ibn- Khaldun .............................................. 9
d. Mata Uang Menurut Al-Maqrizi ................................................. 10
2. Fungsi Uang Dalam Ekonomi Islam ................................................ 13
3. Uang Bukan Komuditas Namun Alat Tukar .................................... 17
4. Keseimbangan Sektor Riil Dan Moneter ......................................... 20
B. Keuangan Publik Dalam Pemikiran Abu Yusuf ................................... 24
1. Pendapatan Dalam Tinjaun Al-Kharaj Abu Yusuf ........................... 24
a. Penerimaan Negara (Revenue) Menurut Abu Yusuf ................... 24
b. Perpajakan (Al-Kharaj Dan Ghonimah) ...................................... 25
c. Bidang Aset Produktif Milik Negara........................................... 35
d. Zakat .......................................................................................... 38
1) Zakat Pertanian .................................................................... 39
2) Zakat Perdagangan .............................................................. 41
3) Zakat Binatang Ternak......................................................... 42
2. Pengeluaran Dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf ........................ 44
a. Belanja Pegawai ......................................................................... 44
b. Pertahanan Militer ...................................................................... 45

ii
c. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat .................................. 46
d. Infrastruktur ............................................................................... 46

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 48
B. Saran ................................................................................................... 48

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Uang merupakan inovasi besar dalam peradaban perekonomian dunia. Posisi
uang sangat strategis dalam satu sistem ekonomi, dan sulit digantikan dengan variabel
lainnya. Bisa dikatakan uang merupakan bagian yang terintegrasi dalam satu sistem
ekonomi. Sepanjang sejarah keberadaannya, uang memainkan peranan penting dalam
perjalanan kehidupan modern. Uang berhasil memudahkan dan mempersingkat waktu
transaksi pertukaran barang dan jasa. Uang dalam sistem ekonomi memungkinkan
perdagangan berjalan secara efisien. Ketika jumlah manusia semakin bertambah,
maka peradabannya pun akan semakin maju sehingga kegiatan dan interaksi
antarsesama manusia pun akan meningkat.
Jumlah dan jenis kebutuhan manusia juga akan semakin beragam. Maka dari
itu, diperlukan alat tukar yang dapat diterima semua pihak untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Alat tukar inilah yang disebut dengan uang. Dengan melakukan
penelaan terhadap hukum-hukum syariah yang menyangkut masalah ekonomi,
diketahui bahwa Sistem Ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi lainnya,
seperti kapitalisme, sosialisme, ekonomi campuran, komunisme dan sistem ekonomi
tradisional. Perbedaan itu terdapat dalam berbagai aspek. Salah satu diantaranya
adalah perbedaan pandangan terhadap fungsi uang.
Uang secara umum adalah sesuatu yang diterima secara umum sebagai alat
pembayaran suaut wilayah tertentu atau sebgai alat pembayaran utan, atau sebagai
alat untuk melakukan pembelian barang dan jasa. Dengan kata lain bahwa uang
merupakan suatu alat dapat digunakan dalam wilayah tertentu.1
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada
barter yang lebih kompleks, tidak efisien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem

1
Mujahidin, Akhmad, Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar, (Depok: Rajawali
Pers, 2017). h. 59.

1
ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama
untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai.
Sejara panjang memperlihatkan suatu wawasan analisis ekonomi yang sangat
menarik. Dalam memaparkan hasil pemikiran ekonomi cendekiawan muslim
terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, diantaranya yaitu,
membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer dan
memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat mengenai perjalanan
pemikiran ekonomi Islam selama ini.
Keuangan publik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan peran negara dan
pemerintah dalam setiap pembahasan kebijakan publik. Sedangkan dalam teori
konvensional lebih memfokuskan pada gagasan tujuan sosial berdasarkan
individualisme dan kepentingan pribadi, sedangkan keuangan publik Islam memiliki
pendekatan berdasarkan pandangan atas keseluruhan tujuan hidup setiap Muslim dan
urgensi peran negara dalam masyarakat Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalahnya meliputi:
1. Bagaimana Mata Uang Pada Masa Pemikir Islam?
2. Bagaimana Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam?
3. Mengapa Uang Bukan Komuditas Namun Alat Tukar ?
4. Bagaimana Keseimbangan Sektor Riil Dan Moneter?
5. Bagaimana Pendapatan dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf?
6. Bagaimana Pengeluaran dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf?

C. TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari makalah ini adalah untuk:
1. Mengetahui Mata Uang Pada Masa Pemikir Islam?
2. Mengetahui Fungsi Uang Dalam Ekonomi Islam?
3. Mengetahui sebab Uang Bukan Komuditas Namun Alat Tukar ?
4. Mengetahui Keseimbangan Sektor Riil Dan Moneter?

2
5. Mengetahui Pendapatan dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf?
6. Mengetahui Pengeluaran dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf?

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Uang
Uang dalam ilmu ekonomi konvensional didefinisikan sebagai alat tukar yang
diterima secara umum. Alat tukar itu berupa benda apa saja yang dapat diterima oleh
setiap orang dimasyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa.
Sejarah Islam uang merupakan sesuatu yang diadopsi dari peradaban Romawi
dan Persia. Ini dimungkinkan karena penggunaan dan konsep uang tidak bertentangan
dengan ajaran Islam. Dinar adalah mata uang emas yang diambil dari Romawi dan
dirham adalah mata uang perak warisan peradaban Persia. Perihal dalam Al- Qur’an
dan Hadis dua logam mulia ini, emas dan perak telah disebutkan baik dalam
fungsinya sebagai mata uang sebagai harta dan lambang kekayaan yang disimpan.
1. Mata Uang pada Masa Pemikir Islam
a. Mata Uang Ibnu Taymiyah
Lima ratus tahun sebelum 1263-1328 M, Ibnu Taymiyah seorang ulama
Islam yang hidup pada zaman pemerintahan Raja Mamluk, mengalami situasi
yang banyak jenis mata uang beredar dengan nilai kandungan logam mulia yang
berlainan satu sama lain. Ketika itu beredar tiga jenis mata uang dinar (emas),
dirham (perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran
dirham berfluktuasi, kadang-kadang menghilang, sedangkan yang beredar luas
adalah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan Ibnu Taymiyah bahwa uang
dengan kualitas rendah akan menendang keluar uang kualitas baik.
Pemerintahan pada masa Mamluk ditandai dengan stabilnya sistem moneter
karena banyaknya fulus beredar dan karena meningkatnya jumlah tembaga dalam
mata uang dirham, maka tidaklah aneh bila sistem moneter modern dengan paper
money terutama setelah standar emas dihapuskan, berulang kali mengalami krisis. 2

2
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah suatu kajian teoritis praktis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h. 61.

4
Ibnu Taymiyah (1263-1328 M), lahir, besar dan wafatnya dijaman
pemerintahan Bani Mamluk, ketika itu harga-harga dinyatakan dan dibayar dalam
dirham yang merupakan peninggalan Bani Ayyubi, namun karena desakan
kebutuhan masyarakat akan mata uang dengan pecahan yang lebih kecil, maka
Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru dari tembaga yang disebut
fullus. Dengan demikian dirham digunakan untuk transaksi-transaksi besar dan
untuk transaksi-transaksi kecil digunakan fullus. 3
Diperkenalkan fullus sebagai mata uang memberi inspirasi kepada beberapa
kepala pemerintahan Bani Mamluk untuk menambah jenis uang. Berbeda dengan
dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, maka pencetakan fullus relatif
lebih mudah dilakukan, karena tembaga lebih mudah didapat. Pemerintah mulai
terlena dengan kemudahan pencetakan uang baru. Keadaan memburuk ketika
Kirbugha dan Zakir Barkuk mulai mencetak fullus dalam jumlah uang yang sangat
besar dan dengan nilai nominal yang lebih besar dari nilai kandungan tembaga.
Fullus banyak dicetak namun masyarakat banyak menolak kehadiran fullus
tersebut.
Menyadari kekeliruannya, kemudian Sultan Kirbuha menyatakan fullus
ditentukan dari beratnya dan bukan dari nominasinya. Dengan adanya batasan
tersebut, maka untuk menambah jumlah fullus Sultan Barkuk mulai mengimpor
tembaga dari negara-negara Eropa. Percetakan uang menjadi industri dengan
didirikannya pabrik percetakan fullus di Kairo dan Alexandria.
Fullus digunakan secara luas, dirham hilang dari peredaran dan inflasi
membumbung. Bila diawal pemerintahan Bani Mamluk satu dirham mengandung
dua pertiga perak dan sepertiga tembaga, maka di jaman pemerintahan Natsir satu
dirham mengandung sepertiga tembaga dan sepertiga perak.
Situasi mulai membaik di jaman pemerintahan cucu Natsir yang bernama
Nasir hasan (1358), yaitu ketika pemerintah menyatakan fullus yang beredar tidak

3
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 45.

5
berlaku lagi dan mengeluarkan mata uang baru. Dalam keadaan seperti itulah, Ibnu
Taimiyah memintah sultan untuk menghentikan turunnya nilai uang dan
menentang pencetakan uang yang berlebihan. Beliau lebih lanjut manasehati
Sultan untuk tidak memulai bisnis dengan membeli tembaga dan mencetak fullus
sehingga mendapat keuntungan dari percetakan tersebut. Biaya pencetakan uang
haruslah menjadi APBN yang diambil dari Baitul Mal.
Secara khusus Ibnu Taymiyah juga mengomentari praktek mengimpor
tembaga dari negara-negara Eropa sebagai bagian dari bisnis uang, secara garis
besar Ibnu Taymiyah menyampaikan lima poin penting diantaranya yaitu: 4
1) Perdagangan uang akan memicu inflasi
2) Hilangnya kepercayaan orang akan stabilitas nilai yang akan mencegah orang
melakukan kontrak jangka panjang dan menzalimi golongan masyarakat yang
berpenghasilan tetap sebagai pengawal
3) Perdagangan domestik akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai
uang
4) Perdagangan internasional akan menurun
5) Logam berharga akan mengalir keluar dari negara.
Uang untuk point pertama, Ibnu Qoyyim, salah satu murid Ibnu taimiyah
secara lebih eksplisit menyatakan bahwa riba tidak saja berarti riba yang terang-
teragan, atau riba al-jali, namun juga berarti riba yang terselubung atau riba al-
khafi, lebih lanjut Ibnu Qoyyim megatakan bahwa riba yang terelubung
dimaksudkan untuk mencegah segala bentuk cara yang dapat menimbulkan riba,
beliau kemudian menegaskan bahwa pelarangan kedua jenis riba ini akan
menghantarkan perekonomian yang lebih baik. Dalam kaitannya dengan riba
terselubung ini, Ibnu Taimiyah melarang transaksi bai al-inah yang digolongkan

4
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah suatu kajian teoritis praktis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h.62.

6
tindakan tawarruk yaitu siasat untuk mengambil keuntungan dari perdagangan
uang. 5
Ibnu Taimiyah juga melarang mud ajwab, semua keburukan yang
terkandung dalam pelarangan riba, ada dalam transaksi bahkan mungkin lebih
besar dari tindakan kriminal, penipuan dan kekacauan. Untuk berapa kasus, Ibnu
Taimiyah membolehkannya dengan syarat bahwa tidak ada kesepakatan diawal
baik terang-terangan atau terselubung, atau tidak ada niat untuk bersiasat.
Uraian diatas dengan jelas bahwa segala riba dan transaksi yang mengarah
pada riba tidak dibolehkan dan perdagangan uang merupakan salah satu
diantaranya.
b. Mata Uang Menurut Al-Ghazali
Tujuh ratu tahun sebelum Adam Smith menulis buku the Wealt of Nation,
seorang ulama Islam bernama Abu Hamid al-Ghazali telah membahas uang dalam
perekonomian. Beliau menjelaskan ada kalangan seseorang mempunyai sesuatu
yang tidak dibutuhkannya, dan membutuhkan sesuatu tapi tidak mempunyainya.
Dalam perekonomian barter transaksi hanya terjadi bila dua belah pihak
mempunyai kebetulan sekaligus, yaitu pihak pertama membutuhkan barang dan
pihak kedua sebaliknya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang
dibutuhkan sebagai nilai suatu barang. Misalnya unta bernilai 100 dinar, dan kain
senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai alat tukur nilai barang, maka
uang akan berfungsi pula sebagai pertukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk
uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan
nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al-Ghazali, uang dilibatkan
cermin yang tidak mempunyai warna namun dapat merefleksikan semua warna. 6
Uang tidak mempunyai harga namun merefleksikan harga semua barang.
Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan

5
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 47.
6
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 48

7
langsung ( direct utility function), hanya bila uang itu digunakan untuk membeli
barang, maka barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik
dikatakan kegunaan uang timbul dari daya belinya, jadi uang memberikan
kegunaan tidak langsung (indirect Utility Function). Apapun debat para ekonomi
konvensional, kesimpulannya tetap sama dengan Al-Ghazali, yaitu uang tidak
dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Merujuk pada al-Qur’an al-Ghazali mengecam orang menimbun uang yang
dikatakannya sebagai penjahat. Hal yang lebih buruk lagi adalah orang melebur
dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya
sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Allah SWT. dan kedudukannya lebih
rendah dari orang yang menimbun uang. Menimbun uang dalam hal ini berarti
menarik uang dari peredaran untuk sementara, sedangkan meleburnya berarti
menarik dari peredaran selamanya. Dalam teori moneter modern, penimbunan
uang berarti menghambat atau memperlambat perputaran uang yang juga berarti
semakin kecil transaksi yang terjadi. Sehigga perekonomian menjadi lesu.
Sedangkan peleburan uang sama saja artinya dengan mengurangi jumlah
penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. 7 Meskipun al-
Ghazali dalam memberikan definisi tentang uang tidak menyebutkan harus
disahkan oleh pemerintah/penguasa, tetapi pada bagian lain ia mengharuskan
pencetakan uang, pengesahan, dan penetapan harganya hanya boleh dilakukan
oleh pemerintah atau institusi resmi yang di tunjuk untuk itu. Dan benda yang
tahan lama antara adalah bahan-bahan logam. Maka dibutlah uang dari bahan
emas, perak, dan tembaga.
Peredaran uang palsu sangat kecam dalam konteks zaman ini. Uang palsu
adalah uang yang kandungan uangnya tidak sesuai dengan yang ditetapkan
pemerintah. Al-Ghazali mengatakan, mencetak atau mengedarkan uang sejenis
lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Sebab mencuri adalah suatu dosa

7
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h.48

8
yang tidak berulang, tetapi mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan
terus berulang setiap kali uang itu digunakan dan akan merugikan siapapun yang
menerimanya dalam jangka waktu yang lama.
Al-Ghazali telah membahas mengenai pembolehan peredaran uang yang
sama sekali tidak mengandung emas dan perak asalkan pemerintah
menyatakannya sebagai alat pembayaran yang resmi.
Keadaan riil menunjukkan bahwa perkembangan pasar uang dunia saat ini
sebagian besar uang digunakan untk memperdagangkan uang itu sendiri. Hanya
5% dari transaksi dipasar uang yang berkaitan dengan transaksi barang dan jasa.
Bahkan volume transaksi pasar barang dan jasa hanya 1,5 dibandingkan dengan
turn over transaksi dipasar uang.
c. Mata Uang Menurut Ibnu Khaldun
Dua ratus tahun setelah al-Ghazali menjelaskan peranan uang dalam
perekonomian, di Tunisia seorang ulama bernama Abdurrahman Ibnu Khaldun
alias Abu Zayd, menjelaskan lebih lanjut tentang uang. Keadaan ini menunjukkan
kejelasan tentang tradisi keilmuan ekonomi Islam telah ada sebelum Adam Smith.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara bukanlah
ditentukan dari banyaknya uang dinegara tersebut oleh neraca pembayaran yang
positif . bisa saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, namun bila
hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produki, maka
uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor peroduksilah yang menjadi
motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendaptan pekerja,
menimbulkan permintaan atas faktor-faktor produksi lainnya. Pendapat ini
menunjukkan pula, bahwa perdagangan internasional telah mejadi bahasan utama
para ulama ketika itu. Negara yang banyak mengekspor berarti mempunyai

9
kemampuan berproduksi lebih besar dari kebutuhan domestiknya, sekaligus
menunjukkan bahwa negara tersebut lebih efisien dalam produksinya.8
Sejalan dengan pendapat Al-Ghazali, Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa
uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi
standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan
jaminan pemerintah. Maka harga makanan murah demikian sebaliknya. Inflasi,
yaitu kenaikan hara-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan
terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang.
Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya,
harga turun kembali ketika terjadi penceklik di jalan Umar bin Khathab r.a.
khalifah mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madina, dan selanjutnya harga
gandum turun. Suatu pelajaran berharga bagi para ekonom modern untuk mengkaji
ulang teori ekonomi yang ia bangun.9
d. Mata Uang Menurut Al-Maqrizi
Taqiyuddin Ahmad nin Al-Maqrizi (1364-1442 M) adalah salah satu murid
dari Ibnu Khaldun terkemuka. Spesialisasi beliau adalah uang dan inflasi.
Meskipun di jaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, kedua aspek ini tidak
menimbulkan masalah sama sekali, namun dengan berjalannya waktu banyak
kepala pemerintahan yang meninggalkan nila-nilai Islam sebagaimana yang
dicontohkan rasulullah. Lihat saja, misalnya sistem anggara defisit. Dijaman
rasulullah hanya satu kali dilakukan yaitu sebelum perang Hunain, itupun dibyar
lunas setelah perang usai. Bandingan dengan jaman Wazir Ibn Furot (908- 911)
atau Ali Ibn Isa (912-916) ketika defisit anggaran dilakukan dengan meminjam
dari bankir-banjir Yahudi dan Nasrani dalam jangka panjang, bahkan Hamid bin
Abbas haru pula membayar denda sebesar 20.000 dinar. 10

8
M. Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah suatu kajian teoritis praktis,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h. 63.
9
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 50.
10
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 51.

10
Begitupula dengan mata uang dinar dan dirham yang dijaman Rasulullah
bersal dari Romawi dan Persia. Kalaupun dijaman KhulafaArrasyidin mulai
dicetak mata uang khas Islam, maka nilainya sama dengan nilai kandungan emas
atau perak didalamnya. Bandingkan dengan jaman Sultan Kamil Ayyubi yang
memperkenalkan mata uang fullus (tembaga). Sultan Kitbuha, Zahir Barquq yang
mencetak fullus dalam jumlah besar dengan mengambil keuntungan dari
pencetakkannya (seiniorange). Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa sebelum
maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia untuk
menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan
ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak.
Lihat pula bagaimana hati-hatinya Rasulullah menjaga diri mereka dari
segala bentuk riba, sampai-sampai diriwayatkan, bahwa Umar r.a melarang
seorang sahabat meninggalkan mitra transaksinya, walaupun sekedar masuk rumah
untuk mencegah timbulnya riba. Demikianlah pemahaman dan kehati-hatian Umar
r.a atas sabda Rasul “kecuali setangan dengan setangan tunai dengan tunai”,
bandingkan dengan apa yang berkembang dijaman Bani Mamluk yang sampai-
sampai Ibn Qayyim menegaskan pelarangan kedua jenis riba al-jaly (terang-
terangan) dan riba al-khafy (terselubung).
Akhirnya pula bagaimana rasulullah dan para sahabat hidup dengan
sederhana, bandingkan dengan para Wasir i jaman Abbasiyyah yang mempunyai
simpanan ratusan ribu dinar dibankir-bankir Yahudi dan Nasrani. Tampaknya
inilah yang melatar belakangi al-Maqrizy mengambil spesialisasi uang dan inflasi.
Beliau membagi inflasi menjadi dua: inflasi akibat berkurangnya persediaan
barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia.
Inflasi jenis pertama ini yang terjadi dijaman rasulullah dan khulafaurasyidin
yaitu kekeringan maupun peperangan. Sedangkan inflasi jenis kedua menurut Al-
Maqrizy disebabkan oleh dua hal. Pertama, korupsi dan administrasi yang buruk.

11
Kedua, pajak berlebih yang memberatkan petani. Ketiga, jumlah fullus yang
berlebihan atau yang oleh Milton Friedman disebut inflation is just a monetary
phenomenon, jelaslah teori inflasi Friedman, bapak kaum moneteris hanya
merupakan bagian kecil dari teori inflasi Al-Maqrizy. 11
Penyebab inflasi menurut Al-Maqrizy adalah korupsi dan administrasi yang
buruk. Sekarang kita lihat kaitannya dengan rekapitalisasi perbankan yang
diperkirakan bakal menelan biaya Rp. 256 Trilyun. Jumlah pastinya memang
belum ada, namun yag pasti pemerintah akan membayar bunga obligasinya dari
APBN. Bila saja setelah rekapitulasi itu perbankan tetap saja tidak sehat dan kredit
macet kembali menghantui. Bukan apa-apa, selama budaya ketebelence dan
bentuk KKN lainnya belum hilang ditambah lagi dengan administrasi Bank kredit
acet, semakin besar biaya dana, semakin banyak rupiah yang beredar dan ini
berarti ini inflasi.
Al-maqrizy memberikan perhatiannya yang khusus ketika membicarakan
sebab yang ketiga. Dalam pengamatan beliau ternyata kenaikan harga-harga
(inflasi) yang terjadi adalah dalam bentuk jumlah fullusnya. Misalnya untuk
separuh yang sama diperlukan jumlah fullus yang sama. Namun jarang sekali
harga naik bila diukur dengan dinar dan emas. Untuk itulah al-magrizy dalam
nasehatnya mengatakan agar jumlah fullus dibatasi hanya pada tingkat minimal
yang dibutuhkan untuk transaksi-transaksi pecahan kecil. 12
Sebab ketiga ini ada kaitannya dengan rekapitalisasi perbankan. Apa yang
dilakukan pemerintah dengan program rekapitalisasi adalah menambahkan modal
bank disatu sisi, dan mencatatnya sebagai investai bank dalam bentuk obligasi,
atau dengan kata lain bantuan modal pemerintah harus digunakan oleh bank untuk
membeli obligasi. Tidak ada kucuran dana segar dari pemerintah. Dana segar
harus berasal dari pegang saham bank. Dalam kerangka fikir al-Maqrizy hal ini

11
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, h.67.
12
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2001, h. 68.

12
tentu lebih baik dibandingkan bila pemerintah mengucurkan dana segar, karena
dampak inflasi tidak terjadi sekaligus. Namun, akan lebih baik lagi bila obligasi
tersebut tidak menggunakan instrumen bunga, namun menggunakan instrumen
bagi hasil. Dengan instrumen bagi hasil maka pertambahan rupiah akan mengikuti
pertumbuhan sektor riil, tidak sekedar bertambah.
Tidak aneh bila bank muamalat sebagai bank syariah sebagai contoh
menolak sistem obligasi berbunga ini. Apalagi kalau di ingat bahwa upaya ini,
menambah catatan disisi modal, sekaligus menambah catatan disisi aset dalam
bentuk obligasi, lebih bertujuan menambah CAR secara akuntansi saja. Tepatlah
kiranya langkah yang diambil beberapa bank untuk menambah permodalannya
secara riil daripada menambah catatan saja. Bank BNN dan bank servitia
mendapat suntikan modal. Demikian pula bank muamalat yang lebih dulu
mengambil langkah ini, mendekati calon investor muslim untuk Bank Islam dari
dalam dan luar negeri.
2. Fungsi Uang dalam Ekonomi Islam
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan
semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan
untuk mendapatkannya seorang individu haru menukarnya dengan barang atau
jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal
yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus
menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang
dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang
dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai
media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi.
Jauh sebelum bangsa barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia
Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur niai tersebut, bahkan Al-
Qur’an secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan
perak dalam berbagai ayat. Para fuqahah menafsirkan emas dan perak tersebut
sebagai dinar dan dirham.

13
Menurut konsep ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan modal, sementara
dalam konsep ekonomi konvensioanl, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya
dalam buku “money interset and capital” karya Colin Rogers, uang diartikan
sebagai uang dan capital (modal) secara bergantian. Sedangkan dalam konsep
ekonomi syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan
public goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang
mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi. 13
Dalam sistem perkonomian manapun, fungsi uang adalah sebagai alat tukar
(medium of exchange). Ini adalah fungsi utama uang. Dari fungsi ini, diturunkan
fungsi-fungsi lainnya seperti uang sebagai Standar of value (pembakuan nilai),
Store of value (penyimpan kekayaan), unit of account (satuan penghitungan) dan
standar of defferred payment (pembakuan pembayaran tangguhan). Mata uang
manapun bicara akan berfungi seperti ini. 14
Namun ada satu hal yang sangat berbeda dalam membedakan uang antara
sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam perekonomian kapitalis, uang tidak
hanya sebagai alat tukar yang sah (legal tender) melainkan juga sebagai
komoditas. Menurut sistem kapitalis, uang juga dapat diperjual belikan dengan
kelebihan baik on the spot maupun secara tanggung. Lebih jauh, dengan cara
pandang demikian, maka uang juga dapat disewakan (leasing).
Dalam Islam, apapun yang berfungsi sebagai uang, maka fungsinya hanya
sebagai medium of exchange. Ia bukan suatu komoditas yang bisa dijualbelikan
dengan kelebihan baik secara on the spot maupun bukan. Satu fenomena penting
dari karakteristik uang adalah bahwa ia tidak diperlukan untuk dikonsumsi, ia
tidak diperlukan untuk dirinya sendiri, melainkan diperlukan untuk membeli
barang yang lain sehingga kebutuhan manusia dapat terpenuhi. Inilah yang
dijelaskan oleh Imam Ghazali bahwa emas dan perak hanyalah logam yang

13
Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013), h. 12.
14
Vinna Sri Yuniarti, Ekonomi Mikro Syariah, ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2016), h. 100.

14
didalam substansinya (zat itu sendiri) tidak ada manfaatnya atau tujuan-tujuannya.
Menurut beliau kedua-duanya tidak memiliki apa-apa tetapi keduanya berarti
segala-galanya. Keduanya ibat cermin, ia tidak memiliki warna namun bisa
mencerminkan semua warna. Penjelasan Imam Ghazali tentang hakikat dan fungsi
uang dalam perekonomian, sesungguhnya sangatlah luar biasa cemerlangnya, dan
sangat mendahului zamannya. 15
Dari uraian tersebut jelas bahwa ekonomi islam, uang dipandang sebagai alat
tukar, bukan suatu komoditas. Selain sebagai alat tukar, uang juga berfungsi
sebagai pengukur harga (standar nilai), hal ini sesuai dengan definisi uang yang
dirumuskan Taqyuddin An-Nahbani, menurutnya uang adalah standar nilai pada
barang dan jasa. oleh karena itu, dalam ekonomi Islam, uang didefinisikan sebagai
sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur setiap barang dan jasa.
Diterimanya peranan uang ini, secara luas, dengan maksud untuk
mempermudah proses transaksi, sebagai alat ukur dan menghapuskan
ketidakadilan dan kezaliman dalam ekonomi tukar menukar. Karena ketidakadilan
dalam ekonomi barter, digolongkan sebagai riba fadhal. Barter adalah sebuah
metode pertukaran dalam mekanisme pasar. Jadi, dibutuhkan sebuah sistem
pertukaran tepat guna yang praktis, yakni uang.
Dengan demikian, ajaran Islam sangat mendukung fungsi uang sebagai
media pertukaran karena banyak hadis-hadis rasulullah yang tidak menganjurkan
barter tetapi sangat menganjurkan terjadinya transaksi jual beli antara uang
dihadapkan dengan barang dan jasa. contoh hadis yang secara gamlang dijumpai
pada hadis shaih Muslim, yang artinya :
dari Abu Said r.a katanya: “pada suatu ketika, Bilal datang kepada
rasulullah SAW embawa kurma Bani, lalu rasulullah SAW bertnya
kepadanya, “Kurma dari mana ini?” jawab Bilal, “kurma kita rendah
mutunya. Karena itu kutukar dengan gantangdengan satu gantang kurma
ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka sabda rasulullah SAW, inilah yang

15
Nurul Huda, Mohammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2013),h. 12

15
diebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin
membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang
bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yag lebih
bagus.”16
Ketika Islam mewajibkan hukum potong tangan bagi pelaku pencurian,
Islam juga menentukan ukuran tertentu dalam bentuk emas, yaitu seperempat
dinar. sabda rasulullah SAW. “Tangan itu wajib dipotong apabila mencuri ¼
dinar atau lebih” (H.R. Bukhari dari Aisyah), ketentuan hukum diatas
menunjukkan bahwa dinar, dirham dan maitsqal merupakan satuan uang yang
digunakan untuk mengukur (menghitung) nilai barang dan jasa. satuan dinar dan
dirham inilah yang menjadi uang yang berfungi sebagi ukuran harga barang dan
sekaligus sebagai alat tukar.
Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat
perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga
perekonomian lesu. Adapun peleburan uang, sama saja artinya dengan mengurangi
jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi. Dalam
ekonomi Islam sebagaimana dijelaskan al-Ghazali, fungsi uang adalah sebagai
media pertukaran dan standar harga barang. Siapa yang menggunakan uang tidak
sesuai dengan fungsinya, berarti dia telah kufur nikmat dalam penggunaan uang.
Menimbun uang merupakan tindakan tercela dalam perspektif ekonomi Islam,
karena ia telah memenjarakan uang dan mencegah fungsi sebenarnya. Kata al-
Ghazali, penimbunan uang persis seperti orang memenjarakan hakim kaum
muslimin, sehingga kelancaran persidangan hukum terhambat. Kalau uang itu
disimpan saja, maka hikmat-hikmatnyapun hilang dan tujuan dari adanya uang itu
tidak terwujud.
Fungsi uang sebagai satuan nilai (Unit of account), dimana uang berfungsi
sebagai standar alat ukur atas suatu barang dan jasa menimbulkan konsekuensi
uang mempunyai daya beli. Uang dinar emas dan dirham perak akan tetap
16
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 54.

16
mempunyai daya beli apabila uang-uang tersebut masih tetap dalam standar
khualitasnya. Kualifikasi dinar dan dirham klasik sesuai hukum Islam yang
dikatakan oleh Khlifah Umar bin Khatab adalah emas 22 karat seberat 4,25 gram
dengan diamater 23 mm dan perak murni seberat 3 gram diameter 25 mm. Sedang
nisabnya masing-masing adalah 1untuk dinar berbanding 10 untuk dirham. Untuk
saat sekarang ini standarisasi dinar dan dirham dilakukan oleh World Islamic
Trade Organization (WITO).17
3. Uang Bukan Komoditas Namun Alat Tukar
Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai
komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan
daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan
konvensional dan lembaga keuangan lainnya juga menjadikan uang sebagai
komoditas dalam proes pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga
(interst). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi bagi
banyak orang dimuka bumi ini. Kesalahan konsepsi ini berakibat fatal terhadap
krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, kususnya sejak awal abad 20
sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara dibelahan bumi ini tidak pernah lepas
dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi.
Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange),
bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjual belikan seperti yang
dianut kapitalisme. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperti Ibnu
Taimiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizy, Ibnu Khaldun dan lain-lain. Hal ini dipertegas
lagi oleh Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political
Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada
komoditi, sebab dapat meruak ketabilan moneter sebuah negara. Oleh karena itu
motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi, bukan
untuk spekulasi. Ekonomi kapitalisme menghalalkan spekulasi mata uang,

17
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 56.

17
kegiatan spekulasi ini yang telah merusak ekonomi dunia dalam bentuk krisis
keuangan hebat.18
Islam sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena
rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran dizaman
dahulu yaitu barter (bai’ al muqayadhah), dimana barang saling dipertukarkan.
Menurut Afzalul Rahman, rasulullah SAW menyadari akan kesulitan-kesulitan
dan kelemahan-kelemahan akan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin
menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh sebab itu, beliau
menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam traansaksi-
transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadist-hadist antara lain seperti
yang diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, abu Said dan Abu Hurairah, dan abu Said
Al Khudri.
Rif’at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-turats al-iqtishad li al-Musliin,
bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu tidak bisa dijadikan
komoditas, sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam
ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan
oleh frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of money, Bankin and
financiaal institutional. Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang
popular dengan istilah time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic
value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. 19
Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh barang lebih tinggi dari
pada bayar tunai. Hal yang menarik adalah dibolehkannya penetapan harga
tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money,
namun karena semata-mata karena ditahannya kasi penjualan barang. Sebagai
contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp. 500,- maka penjual dapat
18
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 57

19
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h.58.

18
membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu
keuntungannya Rp. 1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak penjual
jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih
jauh itu, hak dari keluarga dan anak penjual untuk makan malam tertahan ada
pembeli. Alasna inilah yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi
kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih
tinggi daripada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang dalam Islam
adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction).
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demandof speculation, karena
spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang
tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan
bunga atas harta, Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang
adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan
tidak produktif dilarang, karena itu mengurangi jumlah uang yang beredar
dimasyarakat.20
Dari penjelasan diatas maka disimpulkan uang merupakan alat tukar
(medium of exchange) yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar
menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum.
Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum
diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional, uang dijadikan
manusia sebagai “tuhan”, masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai
alat yang penting dan diletakan sebagai nomor satu. Manusia kian berpacu dalam
mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan
kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu
ekonomi konvensional bergerak dengan cepat di sektor keuangan, sebab
memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of wealth value.

20
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 59.

19
Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang
uum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange), bukan
sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth value).
Banyak lagi perbedaan yang prinsipil diantara kedua konsep ekonomi
tersebut, antara lain: bahwa menurut Islam uang adalah public good, sdangkan
dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public goods
berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena
itu uang harus beredar didalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun
(iktinas); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam
bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang
ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali
melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasan, karena
menjadikannya sebagai perhiasan berarti menarik uang itu dari peredaran dan
memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian.
Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept
sebagaimana dalam ekonomi konvensional.
Dalam hal ini ada ungkapan
siapa saja diantara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkana
nak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan
dibiarkan idle (menganggur), sehingga nanti uang itu habis dimakan
sedeqah/zakat. 21
Dalam Islam, uang bagaikan air mengalir. Air yang tidak mengalir akan
menimbulkan penyakit. Untuk itulah senantiasa terus berputar secara alami dalam
perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan
semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat mengaktifkan hartanya , lagi-lagi Islam sangat
menganjurkan untuk dapat melakukan investasi dengan prinsip muharabah atau
musyarakah.
21
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 60.

20
4. Keseimbangan Sektor Riil Dan Moneter
Perbedaan mendasar system ekonomi Islam dan kapitalisme adalah ekonomi
Islam memiliki prinsip real based economy, sedangkan sistem kapitalisme
menganut monetery based economy. Ekonomi Islam yang berbasis sektor riil
selalu terpisah dengan sektor riil.
Dalam ekonomi Islam jumlah uang yang beredar , bukanlah variabel yang
dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel oksigen. Dalam
ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan didalam perekonomian
sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang
disektor riil. Dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan
nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Ibnu Taymiyah pada tahun 1250-an,
sudah menjelaskan dengan canggih teori ini. Menurutnya, penguasa seharusnya
mencetak fulus (mata uang selain emas-perak) sesuai dengan nilai yang adil
(proposional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap
mereka. Di sini Ibnu Taymiyah menjelaskan hubungan jumlah uang yang beredar
dan volume transaksi, dalam rangka menjamin harga yang adil. Dalam kaidah
fikih ekonomi makro disebutkan Ta’alluq al-qitha’i al-maliyah bi qitha’il
wa’qiiyyah (terkait sektor moneter financial dengan sektor riil). 22
Jadi, dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor
riil. Disinilah bedanya dengan ekonomi konvensional yang memisahkan antara
sektor finansial dan sektor riil. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter)
berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang disektor riil semakin jauh
tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang. Peter
Drucker, menyebut gejala ketidak seimbangan antara arus moneter dan arus
barang/jasa sebagai adanya decoping, yakni fenomena keterpuasan antara
maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

22
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 61.

21
Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi
pada kedua pasar keuangan diatas, yaitu dipasar modal dan pasar valas (money
market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon ekonomi
(bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar,
tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia
kosong, jadi buble economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan
kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil
tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.
Sekedar ilustrasi, dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum
krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya
dipasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rataa beredar sekitar 2-3
triliun dollar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus
barang. Hal inilah, fenomena yang terjadi sebelum tahun 2000, belum kita lihat
fakta yang semakin mengerikan pada tahun 2010an.
Konfersi tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998
yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam,
menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor keuangan
yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil. Kegiatan bisnis yang
memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah paktek riba. Istilah
kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini
sesungguhnya telah menyatujui tiga serangkaian riba, maysir dan gharar. Sistem
bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar,
sehingga pelakunya abadi dineraka (Al-Qur’an 2:275), karena dosanya tak
termaafkan. Dampaknya bisa menghancurkan ekonomi banyak negara
sebagaimana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke
jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita. 23

23
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 62.

22
Transaksi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa
meledak dan menciptakan mega catastrophic yang dapat meluluhkan lantaran
sistem finansial global. Hal ini disebabkan oleh ekspansi derivatif telah
menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia. Para ekonom dan
pakar keuangan telah mengindentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif
menjadi puncak dan peyebab utama semua bencana ekonomi yang besar yang
terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gaharar
(derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun
2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan
ditahun 1987.
Bisnis derivatif ini jugalah menjadi penyebab terjadinya krisis keuangan
Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital
Management (LTCM) tahun 1998, ambruknya bank dagang tertua Inggris,
Barrings Bank; Kolapsnya Enrin; pemicu krisis eknomi Argentina; serta menjadi
pematik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena,
menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk
mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi terwujud, malahan
menjadi instrumen spekulasi. 24
Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk
derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang canggih (sophisticated).
Namun, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan
bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistematik akan selalu ada.
Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko
dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi komoditas dan
membuat dapat di transaksikan secara terpisah.

24
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2018), h. 63.

23
Komoditas risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko
terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan
mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan,
penyelesaian pengembilalihan (takeover, cuaca serta risiko lainnya). Bahkan lebih
jauh lagi derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya sehingga lahir option on
futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.
Hal ini membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil.
Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala
maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka
tak mengherankan jika volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat
dibandingkan dengan produk kosmetik bruto (PDB) seluruh dunia.
Akibat pemisahan itu ekonomi dunia dibawah hegemoni kapitalisme sangat
rawan krisis khususnya negara-negara berkembang. Jumlah uang beredar sangat
tidak seimbang dengan jumlah barang disektor riil. Saat ini, peredaran uang untuk
sektor riil dalam satu tahun, sama dengan peredaran uang dalam transaksi maya
(derivatif) dalam satu hari. Demikianlah, mencoloknya perbandingan antara sektor
riil dan sektor keuangan.
B. Keuangan Publik Dalam Pemikiran Abu Yusuf
1. Pendapatan dalam tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf
a. Penerimaan Negara (Revenue) menurut Abu Yusuf
Abu Yusuf menjelaskan pos-pos penerimaan negara secara rinci,
namun tidak berurutan dalam Al-Kharaj. Bahkan beliau sendiri tidak
memberikan judul khusus mengenai pos penerimaan. Hanya saja dari judul
yang beliau tulis, dapat dipahami bahwa hal tersebut adalah bagian dari
pendapatan negara. Pembahasan tentang pos-pos penerimaan negara tersebut

24
dapat ditemukan dalam beberapa halaman, dengan pembagian sebagai
berikut:25
1) Perpajakan dan ghonimah. Dengan rinci, rampasan perang (ghanimah)
merupakan sumber penerimaan yang pertama disebutkan termasuk
ghonimah, menurut Abu Yusuf adalah bidang kelautan dengan segala
kekayaan yang ada didalamnya, serta pertambangan dan harta terpendam
(rikaz), fai, kharaj, pajak tanah atau pertanian, usyur, dan jizyah.
2) Kepemilikan umum. Kepemilikan umum harus dikembalikan kepada
rakyat, baik berupa harta yang dibagikan langsung, maupun berupa
pelayanan negara yang dibiayai dari penjualannya. Dalam hal ini, Abu
Yusuf menjelaskan beberapa bidang yang menjadi sumber pemasukan
negara diantaranya yaitu bidang sungai dan perairan. Selain itu, ada juga
aset negara yang menjadi sumber pendapatan, diantaranya adalah tanah
pertanian yang sebelumnya dibawah kekuasaan Persia (qatha’i), idle
asset berupa tanah mati (maqatuul ardh) yang tidak difungsikan dengan
baik dan tanah milik pemerintah yang disewakan.
3) Sedekah. Yang dimaksud sedekah dalam hal ini adalah zakat. Walaupun
yang menjadi fokus Al-Kharaj adalah masalah perpajakan, namun Abu
Yusuf berbicara cukup panjang lebar tentang sumber pendapatan ini.
Meskipun beliau hanya merinci satu jenis zakat yaitu zakat binatang
ternak, namun ada sumber pendapatan lain yang disimpan dalam pos
zakat, seperti zakat pertanian yang dijelaskan bersamaan dengan
penjelasan pajak pertanian (kharaj),zakat perdagangan bersamaan dengan
usyur (bea cukai).
b. Perpajakan Al-Kharaj dan Ghonimah
Kharaj menurut bahasa bermakna al-kara’ (sewa) dan al-ghullah (hasil),
sedangkan menurut istilah adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada kaum

25
Nurul Huda, dkk, Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, ( Jakarta:
Kharisma Putra utama, 2012), h. 5.

25
muslimin dari kaum kafir. Ia merupakan hak yang dikenakan atas lahan tanah
yang telah dirampas dari kaum kafir, dengan cara perang maupun damai. Dan
jika mereka memeluk Islam, setelah penaklukan tersebut, maka status tanah
mereka kharajiyya (waib dipungut pajak).
Ibnu Rajab mencatat bahwa kharaj pertama kali diberlakukan di Sawad,
Kufah, Irak. Sebelum Islam berkuasa, wilayah ini memang sudah menjadi ardh
kharajiyyah (wilayah yang dipungut pajak pertanian) ketika Persia masih
berkuasa.
Kebijakan pemberlakuan kharaj oleh Abu Yusuf diambil dari kebijakan
yang telah dijelaskan pada masa Umar bin Khatab. Abu Yusuf menuliskan
dalam Al-Kharaj (Abu Yusuf, 1979:24-25)26
Dalam beberapa orang ulamatelah memberitahuku, mereka berkata ;
ketika sekelompok prajurit Irak dari pasukan Saad Abi Waqqos
mendatangi Umar bin Khatab yang sedang bermusyawarah dengan
sahabat Nabi Muhammad yang tentang pembentukan diwan (lembaga
keuangan). Dan saat itu, beliau masih sependapat dengan Abu Bakar
dalam hal pendistribusian harta fai’. Ketika Irak dikuasai, beliau
kembali bermusyawarah tentang perbedaan kondisi, dan beliau
melihat itu adalah sebuah pendapat dan patuh dikonsultasikan
apakah yang lain juga sependapat, lalu bermusyawarah beliau
tentang pendistribusian tanah yang menjadi fai’ bagi kaum muslimin
tersebut. Sekelompok orang berpendapat bahwa mereka
menginginkan tanah tersebut dibagikan. Namun demikian, Umar
berkata: lalu bagaimana dengan orang-orang Islam yang datang
setelah generasi kita? Sementara mereka telah mendapati tanah
sudah ddistribusikan dan diwariskan? Ini bukanlah sebuah pendapat
yang bagus. Jika tanah irak dan syam sibagikan (kepada prajurit
perang sebagai fai’) lalu apa yang dipakai untuk menjaga
perbatasan? Bagaimana pula dengan keturunan dan janda-janda
yang ada dinegeri ini dan sekitar Irak dan Syam?

Dari tulisan diatas menjelaskan bahwa ide kebajikan penarikan pajak


tanah atau pertanian dimulai dari Umar bin Khatab. Beliau lebih mengutamakan

26
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.78.

26
untuk tidak membagikan tanah tersebut kepada kaum muslimin, namun
menjadikannya investasi masa depan untuk keberlangsungan negara dan
jaminan sosial. Yaitu, dengan membiarkan tanah tersebut dikelola oleh
pemiliknya, sementara negara mengambil pajak darinya. Beliau berkata lagi
(Abu Yusuf, 1979: 25):27
Aku berpendapat untuk menahan tanah-tanah tersebut, dan aku akan
mewajibkan kaharj (pajak) atasnya, disamping mereka juga wajib
membayar jizyah (pajak kepala), lalu ia akan menjadi harta fai’ bagi
kaum muslimin; baik yang ikut berperang, keturunan kita maupun
generasi mendatang

Beberapa alasan Umar bin Khatab untuk tidak membagikan tanah Syam
dan Irak adalah bahwa wilayah negara Islam sudah sangat luuas, dengan
wilayah yang luas, maka perbatasannya pun bertambah luas, perangkat
negarapun bertambah banyak. Oleh karenanya, negara membutuhkan sejumlah
dana untuk menyelenggarakan semua itu. Jika tidak demikian, maka dari mana
negara membiayainya. Setelah alasan-alasan tersebut dijelaskan dengan
gamblang oleh Umar bin Khatab, kemudian sahabat yang lain pun mengikuti
pendapatnya tersebut, walaupun sebelumnya ada beberapa sahabat seperti Ubair
bin Awwam dan Bilal bin Rabah bersih keras agar tanah tersebut dibagikan
sebagaimana rasulullah SAW. Membagikan tanah khaibar. Namun, pada
akhirnya semua sahabat ber-ijma’(sepakat)untuk tetap membiarkan tanah itu
dikelola oleh pemiliknya, dan memungut kharaj darinya.
Abu Yusuf mengutip riwayat tentang Umar bin Khatab dengan panjang
lebar, lalu diakhir tulisan beliau menyatakan bahwa, pendpat Umar bin Khatab
merupakan sebuah taufik dari Allah, juga pilihan terbaik bagi kaum muslimin
karena dengan pajak, maka militerpun lebih bersemangat dan bertambah kuat
untuk berjihad dan menjaga perbatasan.

27
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.79.

27
Ibnu Rajab mencatat dalam al-istiharaj li ahkamil kharaj, bahwa jika
tanah terebut didapatkan oleh kaum muslimin dengan cara berdamai dan tidak
dengan pertempuran fisik, maka tanah tersebut milik pemilik aslinya dan dia
berhak menggunakantanah tersebut dengan membayar pajak kepada negara,
sementara jika tanah tersebut didapatkan melalui pertempuran fisik (‘unwah)
maka ia menjadi kekayaan publik, baik dengan istilah fai’ atau wakaf bagi
kaum uslimin, dengan tetap berlakukan pajak atas tanah tersebut dan pada
ulama sepakat bahwa tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan. 28
1) Restrukturisasi mekanisme pemungutan pajak Kharaj
Kondisi tanah Irak dan Syam yang subur, membuat khalifah Harun Ar-
Rasyid berinisiatif untuk membuat aturan pengelolaannya secara benar dan
sesuai dengan syariah melalui qodhi (hakim agung), karena ia akan menjadi
pemasukan yang signifikan bagi negara. Dibuatlah aturan tersebut dengan
mengubah mekanisme pemungutan yang berlaku pada masa sebelumnya, yaitu
dengan mengubah dari sistem masahah (luasnya tanah) kepada sistem
muqosamah.
Ibnu rajab mencatat bahwa sistem masahah diterapkan pada masa Umar
bin Khatab dengan menghitung luas tanah dengan satuan luas yang digunakan
saat itu adalah jarib. Per jarib dikenakan 1 dirham atau 1 qofiz (satua berat
seperti kilo). Dalam sebuah riwayat Abu Ubaid, bahwa Umar bin Khatab
mengutus Usman bin Hanif untuk mengukur luas tanah sawad,beliau
memberitahukan bahwa luasnya adalah 36.000.000, jarih, kemudian Umar
mengenakan pajak untuk setiap jarib sebesar 1 dirham atau qofiz.
Sementara dengan sistem muqosamah, pajak yang didapat setiap Ali
Jibayah (pemungutan) bisa bertambah bisa juga berkurang, dan status
pajaknyapun berubah dari dzimmah (pajak perlindungan) kepada musyarakah
(kerja sama rakyat dengan pemerintah) dalam sektor pertanian. Sistem

28
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 79.

28
muqosamah ini, walaupun tidak dicontohkan oleh umar bin Khatab, namun
mayoritas ulama, termasuk Ibnu Taymiyah membolehkan sistem ini dengan
dasar kemaslahatan, sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW, terhadap tanah khaibar, dengan menjadikan tanah tersebut
dikelola oleh Yahudi dengan hasil dibagi dua (muqosamah).
Perubahan sistem kepada muqosamah ini, bagi Abu Yusuf, mengubah
sistem berarti mengubah tatanan perekonomian yang lama. Sebelum beliau
melakukannya langkah pertama yang dilaksanakan adalah melakukan survey
dan penelitian lapangan, kemudian berdiskusi dengan para petani seputar
kondisi tanah saat itu, dan mekanisme pemungutan yang berlaku apakah masih
relevan atau tidak. Setelah itu dilakukan, beliau kembali bermusyawarah untuk
menghasilkan keputusan terbaik terhadap tanah yang tidak produktif milik
petani yang hasil panennya digunakan hanya untuk keperluan sehari-hari.
Al-Bajari dalam catatan al-‘Ani menyatakan bahwa restrukrisasi
mekanisme jibayah (pemungutan) pajak kharaj dari sistem masahah (dihitung
dari luas tanahnya) kepada sitem muqosamah merupakan refleksi dari kondisi
makro ekonomi pada saat itu, ada beberapa kelebihan yang dimiliki oleh sistem
ini adalah:29
a) Negara akan mendapatkan penghasilan rutin setiap panen.
b) Sistem ini juga mendorong produktifitas sektor pertanian
c) Sistem inipun dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam
mengalokasikan revenue, karena dengan sistem ini, penerimaan negara
bertambah dan belanja negara yang bervariasi pun akan tercukupi
dengannya.
Abu Yusuf berpendapat bahwa kondisi lahan pertanian pada masa Harun
Ar-rasyid berbeda dengan kondisi lahan pertanian pada masa Umar bin Khatab.
Jika pada masa Umar, lahan pertanian yang produktif sangat melimpah,

29
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.82

29
sementara pada masa Ar-Rasyid, luas lahan pertanian yang produktif sangat
sedikit, ditambah lagi dengan bertambahnya lahan yang tidak padat air dari
irigasi pemerintah. Jika pajak dipungut dengan sistem masahah, dengan
pembayaran berupa nilai dari hasil pertanian, dengan realita rendahnya harga
output pertanian karena over supply, maka negara akan sangat sedikit menerima
pendapatan dalam sektor ini, sementara sektor pertanian pada saat itu menjadi
yang paling dominan.ketika jumlah revenue sedikit, sementara expenditure
sangat bervariasi, maka terjadilah defisit anggaran yang mengakibatkan
pemerintah menaikkan tingkat pajak ( tax rate) yang membebani para petani.
Setelah survey lapangan dan diskusi interaktif yang dilakukan degan
orang-orang yang menguasai perpajakan, kemudian Abu Yusuf mengajukan
rekontruksi sistem lama dengan tulisan beliau dalam bukunya (Abu Yusuf,
1979:48):30
aku melihat pajak wadzifah-baik berupa hasil maupun dirham (mata
uang), yang diberlakukan dengan jumlah yang berbeda-beda,
memang menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah dan instruksi
baitul mal, demikian juga bagi yang membayar pajak. Namun
demikian, jika harga hasil pertanian menurun, maka
negara/pemerintah akan mengalami defisit anggaran, maka militer
tidak lagi memiliki kekuatan, perbatasan pun tiak akan terjaga
dengan aman, sementara jika harganya melambung tinggi,
pemerintah tidak akan merasa nyaman untuk mengambil lebih dari
yang seharusnya dibayarkan oleh pembayar pajak kharaj.

Karena pertimbangan maslahat bagi rakyat dan negara, maka kemudian


Abu Yusuf menyarankan khalifah Ar- Rasyid untuk memberlakukan sistem
muqosamah, disamping sistem ini juga mendatangkan pemasukan yang lebih
banyak, seperti dijelaskan diatas, dan seperti yang ditulis Abu Yusuf tentang hal
itu (Abu Yusuf, 1979: 49):31

30
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 83.
31
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.84

30
dan aku tidak menemukan cara yang lebih mendatangkan hasil bagi
baitulmal, dan lebih menjaga diri para pembayaran kharaj, dari
kezaliman satu sama lain, dan lebih meringankan beban mereka, serta
lebih menjaga diri mereka dari siksaan oleh para petugas pajak dan
pegawai dari sistem muqosamah yang adil dan meringankan.
Didalamnya ada kepuasan bagi pemerintah, ketenangan dan hasil
yang lebih bagi para petani. Amirul mukmin-semoga Allah
memanjangkan umurnya lebih tinggi penglihatannya dan lebih baik
pandangannya terhadap kewajiban yang Allah telah tetapkan untuk
agama dan hamba-hambanya. Dan aku meminta taufik kepada Allah
untuk Amirul mukminin dari apa yang diniatkan dan dicintai, dan
semoga Allah memberi pertolongan untuk bimbingan, kebaikan
agama dan rakyat.

Dari ungkapan beliau, jelas bahwa beliau ingin membangun tatanan


perekonomian yang baru dan transparan. Beliau tidak ingin ada kezaliman
yang terjadi antara penguasa dan rakyat. Sejak awal beliau telah menjelaskan
bahwa hendanya seorang khalifah mengadakan pertemuan rutin dengan rakyat,
agar tercipta sebuah keharmonisan. Sebagai contoh adalah, salah satu ungkapan
beliau diatas menyinggung masalah pegawai pajak yang zalim dan tidak
transparan.
Setelah beliau membahas mengenai sistem pemungutan pajak yang baru,
beliau mengatur teknis ukuran ajak yang wajib dikeluarkan oleh pajak (tax
payer) dengan sistem muqosamah, diantaranya yaitu:
Aku berpendapat wahai Amirul Mukminin, bahwa tanah pertanian
pengahasil gandum dan jelai yang irigasinya alami, maka dikenakan
pajak sebesar 2/5, adapun yang teririgasi dengan menggunakan alat
maka dikenai pajak sebesar 1/5,5. Adapun buah kurma, anggur,
ruthab (kurma muda), dan perkebunan, maka dikenai pajak sebesar
1/3, dan perkebunan tersebut di saat musin panas dikenai pajak
sebesar ¼ (dari hasil panen), pengambilan pajak tersebut tidak boleh
dengan dikira-kira. Jika hasil panen tersebut dijual kepada pedagang,
maka pajaknya senilai dengan yang telah ditentukan, jangan sampai
para wajib pajak terbebani, dan pemerintah pun jangan samai rui,
ambillah dari wajib pajak yang sesuai dengan kewajibannya, apapun

31
pilihannya, yang terpenting meringankan bagi wajib pajak. Jika nilai
dari jua hasil panen lebih meringankan, maka lakukanlah.32

Dengan muqosamah ini, pendapatan pada masa Harun Ar- Rasyid dan
setelahnya sangat melimpah. Hal itu dijelaskan oleh At-Thabari bahwa
walaupun pada masa khalifah Al-Makmun telah diturunkan jumlah pajak yang
wajib dikeluarkan dari rasio ½ menjadi 2/5, namun tetap saja kharaj menjadi
sumber penerimaan terbesar. Penerimaan pemerintah yang melimpah tersebut,
sangat bermanfaat bagi peningkatan pembangunan infrastruktur dan
pengembangan sektor industri dan pertanian.
2) Sistem Pemungutan atau Jibayah (Recouvrement) Pajak
Abu Yusuf berpandangan bahwa ada kezaliman yang terjadi terhadap
wajib pajak, sehingga membuat mereka tersiksa dan kesulitan. Hal tersebut
kerena sistem jibayah (pemungutan) pajak yang dilakukan pada masa Ar-
Rasyid dan sebelumnya dengan menggunakan sistem taqbil atau qibalah.
Taqbil atau qibalah dijelaskan dalam Almausu’atul Fiqhiyyah adalah
seorang pemimpin memperkerjakan seseorang dalam jangka waktu sekitar satu
tahun untuk memungut pajak diluar daerahnya. Sistem ini membuka peluang
untuk terjadinya penyalagunaan wewenang dan kezaliman terjadap wajib pajak.
Bahkan menurut Basri, sistem ini munculkan terjadinya KKN (kolusi, Korupsi
dan nepotisme). Jika itu yang terjadi, maka target penerimaan kharaj tidak
tercapai. Kalaupun tercapai hal itu tetap menyisahkan persoalan lain yang tidak
kalah bahayanya, yaitu kezaliman yang menimpa para pembayar pajak.
Selain korupsi yang dilakukan oleh para pelaku taqbil juga melakukan
siksaan fisik terhadap rakyat. Mereka seolah-olah memiliki surat sakti untuk
melakukan cara apapun dalam mengemban tugasya, sekalipun hal itu harus
dibarengi dengan kekejaman terhadap wajib pajak yang profesinya adalah

32
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.84

32
petani, sehingga berakibat menurunnya produktivitas pertanian, dan tentunya
pajak pun berkurang dan negara rugi dalam hal ini.
Kezaliman yang terjadi juga dibahas dalam kitab Ibnu Khaldun, bahwa
hanya akan membawa kehancuran bagi peradaban, kelakuan pemerintah yang
mengambil paksa harta milik rakyatnya mengakibatkan hilangnya semangat
untuk berusaha, mencari dan memperoleh harta yang pada akhirnya berakibat
pada mundurnya iklim usaha rakyat, aktivitas ekonomipun menurun, jika hal itu
dilakukan secara terus menerus dan meluas, maka penurunan aktivitas
perekonomian juga akan merata.
Hal itulah yang tidak diinginkan oleh Abu Yusuf, jika sistem pemungutan
taqbil masih digunakan, maka yang hanya akan ada kerusakan, dan kerusakan
tidak akan menyisakan apa-apa, karena sesungguhnya kehancuran dan
kebinasaan yang dialami oleh umat-umat terdahulu adalah karena mereka
menyembunyikan kebenaran dan menampakkan kezaliman bahkan mereka rela
menjadi pembelanya, dan pengambilan harta dari rakyat diluar kewajiban yang
seharusnya adalah bentuk kezaliman yang teramat jelas. 33
Dengan itu maka beliau mengajukan sistem yang lebih baik yaitu agar
dengan sendiri yang menyelenggarakan penghimpunan kharaj dari para petani.
Pemerintah harus memiliki departeman khusus yang menangani permasalahan
publik, ini dengan aparat yang telatih dan berjiwa profesional.
Walaupun demikian, sitem taqbil ini tidak sepenuhnya dilarang oleh Abu
Yusuf, hal itu bisa saja diperbolehkan dengan beberapa syarat, sebagaimana
dijelaskan olehnya adalah dikenal asal negerinya, direkomendasikan oleh
penduduk setempat, memiliki budi pekerti yang baik, dapat dipercaya, agama
dan amanahnya.

33
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 87

33
3) Kriteria Pegawai Pajak
Pengelolaan pajak yang profesional akan membawa kebaikan bagi negara
maupun rakyat. Istilah yang digunakan Abu Yusuf dalam Al-Kharaj adalah
tawliyatul Kharaj (pengelolaan pajak kharaj), atau dalam istilah kitab amwal
karangan Abu Ubaid dikenal dengan wilayah. Keduanya memiliki arti yang
sama, karena berasal dari suku kata yang sama, yaitu waw, lam, ya.
Menurut Suharto, konsep wilayah memiliki peran signifikan dalam
menentukan bagaimana seharunya pemerintah mengelola kekayaan publik,
pemerintah hanya berhak mengelola dan mengurus wilayahnya demi
kepentingan umum. Hal ini berarti kekayaan publik bukanlah milik pemerintah,
tetapi milik publik (umum). Dengan demikian, keuntungan dari pengelolaannya
harus didistribuikan secara merata kepada rakyat. Pemerintah hanyalah
pengelola yang sah secara hukum, yaitu pemerintah diperbolehkan
menggunakan kekayaan tersebut jika diperlukan, hal ini seperti wali anak yaitm
yang memanfaatkan harta anak yatim ketika membutuhkan.
Beberapa kriteria pengelola pajak, diantaranya sebagai berikut:34
i. Baik agamanya
ii. Amanah
iii. Menguasai ilmu fikih
iv. Pintar
v. Suka bermusyawarah
vi. Menjaga harga diri
vii. Berani membea kebenaran
viii. Orientasi akhirat dalam menjalankan kewajiban
ix. Ujur
x. Tidak zalim.

34
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 88

34
Kemudian dalam tataran implementasi Abu Yusuf menjelaskan hal-hal
yang harus menjadi perilaku pengelola pajak ketika berada dilapangan dan
ketika menghadapi para wajib pajak, beliau berpandangan bahwa para
pemungut pajak hendaklah profesional dalam bekerja, tidak meremehkan
maupun menghina para wajib pajak. Pemungutan pajak harus senantiasa
bersikap lemah lembut, tidak zalim, dan tidak membankan dengan sesuatu yang
bukan menjadi kewajiban wajib pajak. Namun tentu bukan sikap lembut saja
yang harus dimiliki, karena perilaku dan status masyarakat berbeda-beda, ada
yang muslim, ahlu dzimmah, orang jahat dan zalim harus bersikap keras dan
terhadap yang dialimi harus objektif, serta menyamaratakan semua strata
penduduk dalam satu kedudukan, agar semua golongan, baik priyai maupung
abangan adalah sama memperoleh hak, dan yang terakhir tidak mengikuti hawa
nafsu.
c. Bidang Aset Produktif Milik Negara
Islam memerintahkan setiap orang untuk mengoptimalkan tanah yang
mereka miliki, agar tidak ada aset yang menganggur (idle asset). An Nabhani
mencatat bahwa setiap orang yang memiliki tanah dipaksa untuk mengelola
tanahnya secara optimal. Jika ia membutuhkan biaya untuk keperluan terebut,
maka baitul mal akan menanggungnya, namun apabila yang bersangkutan
mengabaikan selama tiga tahun, maka tanah terebut akan diambil dan diberikan
kepada yang lain. Umar berkata: “orang yang memagari tanah tidak berhak lagi
atas tanah tersebut setelah menelantarkannnya selama tiga tahun”.
1. Qatha’i
Qatha’i adalah tanah yang diberikan pemerintah kepada rakyat yang telah
berkontribusi untuk negara. Tanah tersebut pada masa Abu Yusuf merupakan
tanah peninggalan kerajaan Persia yang menjadi milik seseorang. Abu Yusuf
mengisahkan bahwa Umar bin Khatab setelah menguasai wilayah Irak, ia
memiliki sebidang tanah yang dahulu dimiliki raja Persia dan keluarganya yang

35
luasnya mencapai empat juta jarib, kemudian Umar bin Khatab membaginya
kepada rakyat yang ia kehendaki.
Abu Yusuf menyebutkan bahwa ada sepuluh jenis shawafi (tanah yang
dipilih negara) yang Umar pilih saat menguasai wilayah Irak, diantaranya adalah
tanah orang terbunuh dalam peperanganm tanah orang yang kabur, tanah milik
raja Persia, tanah milik keluarga raja Persia, dan lainnya. Status tanah tersebut
adalah milik negara, dan pemerintah berhak memberikannya kepada siapa sja
untuk dimanfaatkan atau dimiliki lalu dioptimalkan dengan baik agar tidak
menganggur.35
Setelah tanah tersebut dikelola dengan baik dan mengadilkan, maka
pemerintah berhak menarik pajaknya dengan besaran antara 10% sampai 20%
tergantung kebijakan pemerintah. Jika pemerintah memandang bahwa petani
tersebut membutuhkan biaya untuk mengelola tanah itu, maka kepadanya
dikenakan 10% untuk menutupi biaya yang dikeluarkan. Jika irigasinya berasal
dari kharaj, maka dikenakan kharaj.
Dalam memberikan status tanah negara Abu Yusuf merinci wilayah mana
yang termasuk tanah yang boleh dibagikan, dipungut usyur, atau dikenakan
kharaj atasnya. Ia mencatat bahwa wilayah Jazirah Arab, seperti Makkah,
Madina, Yaman, dan wilayah Arab lainnya merupakan tanah usyuriyyah, karena
status hukumnya telah berlaku sejak zaman rasulullah SAW. Sementara Irak dan
sekitarnya merupakan tanah kharajiyyah karena tanah terebut didapatkan melalui
pertempuran fisik, maka tanah tersebut menjadi milik negara. 36
Dalam hal ini, An-Nabhani menyimpulka beberapa status tanah dalam Islam
yaitu: pertama; tanah yang dikuasai melalui peperangan, maka tanah tersebut
menjadi milik negara dan statusnya ialah tanah kharajiyyah, selain Jazirah Arab.
Kedua, jika tanah tersebut dikuasai melalui perdamaian dan disepakati bahwa ia

35
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 106
36
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 107

36
menjadi milik pemerintah Islam dengan tetap membiarkan penduduknya
mengelola tanah tersebut dengan membayar kharaj, maka statusnya adalah tanah
kharajiyyah untuk selamanya, walaupun ia telah dijual kepada kaum muslim.
Ketiga, jika tanah tersebut dikuasai dengan cara berdamai dan disepakati bahwa
tanah tersebut tetap menjadi milik negara, dengan dikenakan kharaj, maka status
tanahnya kharajiyyah, namun jika pemiliknya masuk Islam atau menjualnya
kepada umat Islam, maka ia berubah menjadi usyuriyyah.
2. Tanah Mati/ Menganggur (Mawatul Ardh)
Aset produktif lainnya yang disebutkan Abu Yusuf adalah mawatul ardh
(tanah mati) yaitu tanah yang belum pernah terjamah oleh siapapun dengan
aktivitas pertanian, bekas bangunan, pemakaman, tempat mengembala hewan, dan
tidak menjadi milik siapun. Orang yang mengelolanya berhak atasnya, ia boleh
menjualnya atau mewariskannya jika telah meninggal dunia. 37
Pemerintah memiliki hak untuk memberikan tanah mati kepada rakyat yang
ingin mengelolanya. Kemudian dikenakan pajak, baik usyur maupun kharaj atas
tanah tersebut. Itu menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah, disamping
pemberdayaan masyarakat yang belum memiliki pekerjaan. Abu Yusuf mencatat
bahwa pemerintah berhak memberlakukan pajak kharaj jika status tanahnya
adalah kharaj atau irigasinya dari tanah kharaj, seperti tanah sawad di Irak, dan
pajak usyur jika tanah usyuriyyah seperti jazirah Arab.
Ar-Rahbi menjelaskan bahwa perkataan Abu Yusuf mengenai kewajiban
membayar usyur maksudnya ialah jika yang menghidupkannya seorang muslim,
namun jika yang mengelolanya seorang dzimmi, walaupun ditanah usyuriyyah,
tetap baginya dikenakan kharaj karena status yang non-muslim tidak diwajibkan
atasnya usyur karena ia termasuk zakat kaum muslimin.

37
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 107

37
Abu Hanifah dalam Abu Yusuf mewajibkan bagi siapa saja yang ingin
mengelola tanah mati, agar meminta izin kepada pemerintah untuk mengelolanya
dan pemerintah mempertimbangkannya atas dasar maslahat.
Dengan demikian, pemerintah berhak mengelola tanah-tanah menganggur
untuk aktivitas apapun yang mengandung maslahat bagi masyarakat, pertanian,
perdagangan atau apapun yang mengandung shalah (kebaikan). Sebagaimana
qatha’i, tanah mati dalam Islam tidak boleh menganggu selama lebih dari tiga
tahun. Jika seeorang telah diberikan izin oleh pemerintah untuk mengelola harta,
namun setelah itu tidak ada aktivitas dan berlangsung selama tiga tahun, maka
pemerintah berhak mengambilnya kembali.
Pemanfaatan tanah mati dengan berbagai aktivitas yang tidak melanggar
syariat dianjurkan dalam Islam. Abu Yusuf, dalam hal ini cenderung
menganjurkan pemerintah agar mengelola tanah-tanah tersebut untuk sesuatu
yang produktif.
d. Zakat
Dalam masalah zakat, berbeda dengan Abu Ubaid, Abu Yusuf tidak begitu
sistematis membahasnya. Abu Yusuf merinci tentang zakat peternakan. Soeharto
juga mencatat bahwa kitab Al-Amal menjadi bukti bahwa nabi, pada masa
kehidupan beliau telah menjelaskan aturan-aturan zakat secara detail. Ini
membatalkan keraguan yang dikemukakan orientalis, seperti Schact tentang
pendapatnya mengenai ketidakjelasan zakat pada kehidupan.
Abu Yusuf mengenai zakat, yang ia namakan dengan fashhan fish-shadaqol
(pasal tentang zakat) sebagaimana Abu Ubaid, menjelaskan juga bahwa ada
dokumen nabi berisi khusus tentang zakat. Meskipun yang menjadi tema utama
Abu Yusuf adalah masalah perpajakan seuai dengan nama kitabnya Al-Kharaj.
Namun demikian, Abu Yusuf sebenarnya membahas banyak hal mengenai zakat,
walaupun ditempat yang terpisah dan tidak beraturan. Ada beberapa sumber
pendapatan publik yang sebenarnya menurut para ulama seperti Qaradhawi dalam
fiqhuzzakah adalah bagian dari zakat seperti usyur pertanian, zakat harta

38
perdagangan, zakat barang tambang (ma’din) dan zakat harta temuan (rikaz).
Namun demikian, Abu Yusuf tidak secara gamblang menyebutnya sebagai zakat,
hal itu dapat diketahui sebagai sumber pendapatan zakat. Dari pernyataan beliau
tentang penyimpanan hata tersebut, yaitu bahwa harta itu disimpan dalam pos
zakat. Seperti pernyataan beliau tentang zakat barang tambang yang telah sampai
nisab 200 dirham jia berupa perak dan 20 mitsqal jika berupa emas. 38
Mengenai usyur pertanian, Abu Yusuf membahas bersama dengan pajak
pertanian (kharaj). Jika kharaj berlaku bagi kaum minoritas (ahlu dzimmah)
dengan standar yang telah ditentukan yang disesuaiakan dengan kondisi cuaca dan
irigasi, maka usyur pertanian berlaku bagi muslim dengan aturan yang telah
ditentukan pula. Sedangkan zakat perdagangan, Abu Yusuf membahasnya
bersamaan dengan pembahasan mengenai usyur tijaroh ( bea cukai perdagangan),
dimana beliau merinci kewajiban untuk masing-masing kafir harbi, dzimmi dan
muslim. Yang menjadi kewajiban muslim adalah sebesar 2,5%, dari total aset
dagangan yang dimiliki. Oleh karenanya, kebijakan Abu Yusuf dalam hal ini, jika
seorang muslim sudah membayar zakat perdagangan sebesar 2,5%, maka ia tidak
dikenakan pajak bea cukai, karena pada hakekatnya usyur (bea cukai) bagi muslim
adalah zakat perdagangan, sebagaimana telah dijelaskan dipembahasan usyur,
sedangkan mengenai barang tambang (ma’din) dan harta temuan (nikaz), Abu
Yusuf menggolongkannya kedalam ghonimah (rampasan perang) dan tidak masuk
dalam bagian zakat, namun dari sisi penyimpanan, harta-harta tersebut disimpan
dalam baitul maalizzakat (pos khusus zakat).
Ada tiga sumber pendapatan zakat yang menjadi perhatian Abu Yusuf dalam
Al-Kharaj diantaranya yaitu:
1) Zakat pertanian
Zakat pertanian dalam kitab Al-Kharaj, dibahas oleh Abu Yusuf yaitu
pertanian yang diwajibkan atas non muslim. Hal ini karena kharaj dan usyur

38
Martina Nofra Tilopa, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Dalam Kitab Al-Kharaj, Vol.3, No.
1, 2017, h. 162.

39
menjadi sumber pendapatan negara dari sektor yang sama, yaitu pertanian.
Sekalipun Abu Yusuf tidak secara definitif mengistilahkan usyur pertanian sebagai
zakat bagi muslim, namun beliau tetap membedakannya dan menegaskan bahwa
kharaj tidak sama dengan usyur pertanian. Paling tidak, ada dua hal yang
membedakan antara kharaj sebagai pajak pertanian non-muslim dan usyur sebagai
zakat bagi muslim dalam Al-Kharaj, sekaligus menegaskan pembahasan mengenai
zakat pertanian.
Pertama: Abu Yusuf menegaskan sendiri dalam pasal khusus yang berjudul haddu
ardhil usyr min ardhil kharaj (batas tanah usyur dari tanah kharaj).
Disana dituliskan bahwa setiap tanah yang penduduknya masuk Islam,
maka ia termasuk tanah usyur, dan setiap tanah non-muslim yang
dikuasai oleh kaum non-muslim maka ia termasuk tanah Kharaj
Kedua : kutipan Abu Yusuf terhadap hadis rasulullah SAW. Mengenai zakat
pertanian, dimana jelas ditulis shadaqah atau zakat.39
Pembahasan mengenai zakat pertanian dalam al-Kharaj, Abu Yusuf
menuliskannya tentang ukuran yang wajib dikeluarkan dari zakat pertanian sesuai
dengan kondisi irigasi. Dijelaskan bahwa yang wajib dikeluarkan dari zakat
pertanian adalah sebesar 10% jika irigasi alami (saih) atau tiadk membutuhkan
biaya seperti sungai dan mata air yang mengalir dan 5% jika irigasinya
membutuhkan biaya, namun jika menggunakan keduanya maka diliat mana yang
paling dominan antara keduanya atau diambil tengah-tengah antara 5% dan 10%.
Mengenai hasil pertanian apa saja yang wajib dikeluarkan zakatnya Abu
Yusuf mencatat bahwa hasil pertanian yang tidak tahan lama, seperti buah
semangka, mentimun, terong, wortel, dan jenis sayuran hijau lainnya juga
rerumputan (pakan ternak) dan kayu tidak wajib dizakati, sementara yang wajib

39
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 111

40
dizakati adalah makanan yang disimpan dan tahan lama seperti gandum, padi,
jagung dan biji-bijian lainnya yang ditimbang atau ditakar.
Tentang nisab zakat pertanian, Abu Yusuf mencatat bahwa nisabnya adalah
lima wasaq, jika hasil pertanian itu tidak sampai lima wasaq, maka ia tidak wajib
dizakati. Hasil pertanian menurut padangan Abu Yusuf jika telah sampai nisanya,
maka ia wajib dikenakan zakat, walaupun telah terkurangi jumlahnya untuk
makanan keluarga, biaya pekerja, biaya pajak, bahkan meskipun terkurangi karena
hasil pertaniannya dicuri, tetap wajib dikenakan pajak. Abu Yusuf tetap
menyerahkan kebijakan tersebut kepada pemerintah, beliau berpendapat bahwa
hendaknya pemerintah mengambil pendapat yang bisa mendatangkan keuntungan
lebih banyak bagi baitul mal dan lebih mendatangkan maslahat.40
2) Zakat perdagangan
Zakat perdagangan Abu Yusuf lebih banyak menulis tentang bea cukai bagi
produk luar negeri dan kebijakan tentang perdagangan internasional. Hal tersebut
karena Abu Yusuf menggolongkan zakat perdagangan kedalam pembahasan bea
cukai, pada kitab al-Kharaj bahwa usyur bagi kaum muslimin adalah zakat
perdagangan. Ada dua pendapat yang mendukung pendapat ini yaitu: 41
Pertama : Abu Yusuf menyebutkan bahwa jika ada seorang muslim yang
melintasi petugas bea cukai, lalu berkata kepada petugas bahwa ia telah
menunaikan zaatnya (perdagangan), dan bersumpah tentang itu, maka tidak
dikenakan usyur atasnya.
Kedua : catatan Abu Yusuf mengenai penyimpanan harta usyur yang diperoleh
dari perdagang muslim bahwa harta tersebut disimpan dalam pos penyimpanan
zakat, sementara usyur yang diperoleh dari non-muslim baik dzimmi maupun
harbi disimpan dalam pos kharaj.

40
Annisa Eka rahayu, Et al., “Kebijakan Fiskal Dalam Pandangan Al-Kharaj Perspektif
Pemikiran Abu Yusuf”, Vol.8, No. 1, 2018, h. 140.
41
Annisa Eka rahayu, Et al., “Kebijakan Fiskal Dalam Pandangan Al-Kharaj Perspektif
Pemikiran Abu Yusuf”, Vol.8, No. 1, 2018,h. 141.

41
Dengan demikian, maka sebenarnya Abu Yusuf menulis juga tentang
ketentuan zakat perdagangan yaitu, dari sisi nisab sama dengan usyur, yaitu dua
puluh dinar atau dua ratus dirham. Dari sisi jenis harta yaitu harta perdagangan
yang dimaksud untuk diperdagangkan oleh pemiliknya.
Yusuf Qaradhawi mencatat bahwa harta benda perdagangan yang wajib
ditunaikan zakatnya adalah semua yang diperuntukkan untuk dijual selain uang
kontan dalam berbagai jenis, meliputi alat-alat, barang-barang, pakaian, makanan,
perhiasan, binatang, tumbuhan, tanah, rumah, dan barang-barang tidak bergerak
lainnya. Sebagian ulama memberikan batasan tentang yang di maksud dengan
harta benda perdagangan yaitu sesuatu yang dibeli atau dijual untuk tujuan
memperoleh keuntungan, dan yang wajib dikeluarkan adalah 2,5 yang dihitung
dari modal dan keuntungan bukan hanya dari keuntungan.
3) Zakat Binatang Ternak
Abu Yusuf menerankan masalah zakat peternakan beliau namakan pasal
yang membahas hal tersebut dengan fish-shodaqot, beliau menyarankan kepada
khalifah Harun Ar-rayid agar memerintahkan kepada para sahabat untuk menarik
zakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku sesuai Al-Qur’an dan hadist serta
sunnah parah khulafaur rasyidin, beliau menegaskan bahwa yang mentradisikan
kebiasan baik maka akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang
mengikutinya, dan sebaliknya orang yang mentradisikan keburukan akan dapat
dosa dan dosa orang yang mengikutinya.
Dari pernyataan tersebut tercatat bahwa binatang ternak yang wajib dizakati
adalah kambing, sapi atau kerbau, kuda dan unta. Abu Yusuf juga menjelaskan
terdapat perselisihan pendapat para ulama mengenai apakah kuda wajib dizakati
atau tidak. Mengenai hal ini Abu Yusuf mengutip pendapat Abu Hanifah bahwa
kuda yang digembalakan dikarenakan zakat sebanyak satu dirham setiap ekornya,
pendapat tersebut beliau tambah dengan pendapat yang sama menurut riwayat Ali
bin Abi Thalib dari rasulullah SAW. Bahwa sesungguhnya beliau bersabda :”aku
telah mengahapus untuk ummatku zakat kuda dan budak”. Sebagaimana Abu

42
Yusuf meriwayatkan dari perawi-perawi yang dikenal integritasnya dengan lafadz
yang berbeda, namun memiliki arti yang sama.
Ada beberapa kriteria yang Abu Yusuf sebutkan mengenai zakat binatang
ternak yang wajib dizakati dapat disimpulkan bahwa, jika hewan dari jenis
kambing maka usianya tidak boleh kurang dari dua tahun, sehat fisiknya, tidak
cacat dan tidak sedang mengandung, jika hewan dari jenis unta dan sapi maka
tidak boleh dari hewan yang digunakan untuk dipekerjakan untuk membajak
sawah. Syarat yang lain adalah hewan-hewan yang sudah sampai nisab berada
ditangan pemiliknya tidak kurang dari satu tahun. 42
Dari uraian diatas maka sumber penerimaan negara berdasarkan pandangan
Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj dapat dilihat pada tabel berikut:
Jenis Bentuk Pos
Macam-macam pendapatan
pendapatan pendapatan penyimpanan
Pendapatan Zakat peternakan, zakat pertanian,
Zakat zakat
tetap zakat peragangan
Kharaj dan
Kharaj Pajak pertanian
jizyah
Pajak kepala bagi non-muslim yang Kharaj dan
Jizyah
masuk lindungan negara Islam jizyah
Bidang perairan dan sungai, asset milik
Bagian
negara, diantaranya adalah tanah Kharaj dan
kepemilikan
pertanian, (Qatha’i), tanah mati jizyah
umum
(mawatul ardh)
Usyur (bea Pajak bea cukai yang berlaku ata
Kharaj dan jizah
cukai) perdagangan non-muslim dan muslim

42
Martina Nofra Tilopa, Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Dalam Kitab Al-Kharaj, Vol.3, No.
1, 2017, h.170.

43
diwaibkan membyar manakala belum
membayar zakat peragangan
Pendapatan Rampasan perang, kekayaan laut, Ghonimah, jika
tidak tetap barang tambang dan rikaz yang nilainya 20 mitsqal atau
Ghonimah
tidak sampai 200 dirham perak atau 20 200 dirham
mitsqal emas. termasuk zakat.

2. Pengeluaran Dalam Tinjauan Al-Kharaj Abu Yusuf


Barang publik yang mencakup kebutuhan non fisik, seperti kebutuhan akan
kedaulatan dan hukum, pendidikan, pertahanan dan kemanan dan pemerintahan.
Yang membedakan masyarakat Islam dari yang lainnya adalah pengakuan
terhadap kebutuhan religius secara publik. Pengadaan barang publik ini dibiayai
oleh pajak dan zakat.
Bek mencatat bahwa paling tidak ada lima pengeluaran yang ditulis oleh
Abu Yusuf dalam Al-Kharaj, diantaranya ialah pertama ;gaji para pegwai negeri,
hakim, dan pengelola pajak. Kedua, fasilitas tentara untuk pertahanan, ketiga,
memperbaiki irigasi, ke empat membuat saluran air, kelima fasilitas para
narapidana. Jika ditulis lebih jelas pengeluaran pemerintah dalam al-kharaj
meliputi, gaji pegawai, pertahanan militer, pembangunan insfrastruktur dan
memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
a. Belanja pegawai
Pelayanan publik dalam Islam yang harus ditangung oleh negara bukan
hanya mencakup sektor gaji pegawai, namun untuk keseluruhan masyarakat
berhak mendapatkannya seperti pendidikan, kesehatan, keadilan, air minum,
penerangan, dan lain sebagainya. Dan alaokasi anggarannya berasal dari
penerimaan negara, baik zakat jika ada salah satu golongan 8 ataupun penerima

44
lainnya. Negara berkewajiban menggaji semua pegwai yang telah melakukan
tugas pelayanan publik dengan gaji yang layak sesuai kelasnya. 43
b. Pertahanan militer
Dalam catatan Bek, dijelaskan bahwa fasilitas pertahanan militer yang
terdiri dari kaum muslimin secara keseluruhan pada masa rasulullah SAW.
Tidak disediakan, yang diberikan untuk sektor ini hanya berasal dari 4/5 bagian
rampasan perang yang tentara dapatkan dan dari pajak pertanian khaibar.
Fasilitas militer yang lebih banyak dimulai pada masa khalifah Abu Bakar, ia
membagi rata kepada seluruh kaum muslim. Pada masa Umar, pembagian
tersebut disesuaikan dengan konstribusi dan pengorbanan masing-masing
golongan sahabat untuk negara.
Abu Yusuf mencatat bahwa Umar bin Khatab membagikan kekayaan dari
baitul mal untuk sektor militer dengan membedakan antara golongan sahabat
yang dahulu memerangi rasulullah sebelum mereka masuk Islam, dengan
sahabat yang dari awal bersama rasulullah memerangi orang-orang kafir.
Dengan rincian; 12.000 dirham untuk masing-masing istri-istri nabi dan
pamannya Abbas, 5000 dirham untuk masing-masing prajurit perang badar dan
kedua cucu nabi Hasan dan Husain, 4.000 dirham untuk orang-orang yang
masuk Islam sebelum Perang Badar, namun belum sempat mengikuti perang
termasuk yang mendapat bagian tersebut adalah Usamah bin Zaid, 3000 dirham
untuk sebagian anak-anak kaum Muhajirin dan Ansar, termasuk Abdullah bin
Umar, 2000 dirham untuk anak-anak kaum Muhajirin dan Ansar selain diatas,
800 dirham untuk penduduk Makkah, 400 dan 300 dirham untuk semua

43
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 123

45
golongan penduduk, 600,400,300 dan 200 untuk istri-istri kaun Muhajirin dan
Ansar.44
c. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat (minimum level of living)
Pemenuhan kebutuhan dasar merupakan karakteristik ekonomi Islam. Ia
merupakan fondasi kebijakan ekonomi sebuah negara. Berbeda dengan
ekonomi kapitalis yang mementingkan kekayaan sektr swasta, ketika sistem ini
mulai tampak keburukannya, didirikanlah lembaga-lembaga asuransi, charity
(amal) untuk menyantuni kaum fakir miskin. Hal tersebut dilakukan untuk
meringan kezaliman yang telah diakibatkan oleh sistem itu. Karena jaminan
sosial, asuransi dan lainnya bukanlah fondasi dari sistem ekonomi kapitalis,
namun hanya kebijakan temporal untuk meringankan kezaliman yang telah
dilakukannya. Begitupun dengan ekonomi sosialis yang muncul sebagai lawan
dari sistem kapitalis, yang memiliki sistem penyamarataan semua golongan
masyarakat secara berlebihan, sehingga menghilangkan kepemilikan pribadi.
Jikapun ada jaminan sosial yang diberikan, ia hanya merupakan implementasi
penyamarataan tersebut, tanpa peduli apakah jaminan itu dapat memenuhi
kebutuhan dasar atau tidak.
Abu Yusuf dala Al-Kharaj menjelaskan dalam sebuah tulisannya
mengenai hal tersebut yaitu: 45
Dan adapun yang engkau tanyakan wahai amirul mukminin mengenai
para pelacur dan kriminal serta pencuri, jika mereka melakukan
sebuah kejahatan lalu dipenjara, apakah merka semua diberikan
makanan didalam penjara? Orang-orang yang seperti itu dan orang-
orang yang tidak memiliki harta serta tidak mampu untuk bekerja,
maka harus diberikan (jaminan kebutuhan minimal) baik berasal dari
harta zakat ataupun baitul mal. Namun demikian, aku lebih menyukai
mengambilnya dari baitul mal untuk memberi mereka kemakmuran.

44
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 124
45
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h.125

46
Dari pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang tidak
mampu bekerja, baik karena memiliki cacat fisik atau lanjut usia serta orang-
orang yang didalam penjara sekalipun, berhak mendapatkan jaminan kebutuhan
minimal dari negara. Karena Islam mewajibkan negara memenuhi kebutuhan
dasar rakyatnya.
d. Proyek Infrastruktur
Sumber penerimaan yang paling dominan pada masa kahlfah Harun Ar-
Rasyid adalah sektor pertanian, hal ini salash satu yang melatar belakangi
ditulisnya Al-Kharaj sebagai pedoman keuangan negara. Oleh sebab itu, dalam
hal pengeluaran, Abu Yusuf menyarankan agar harta yang dikeluarkan dari
baitul mal, selain pengeluaran tetap dan bermanfaat bagi rakyat, juga harus
memiliki nilai tambah berupa penerimaan pajak yang lebih banyak. Hal itu
dituliskan oleh Abu Yusuf bahwa negara bertanggung jawab membiayai proyek
infrastruktur, seperti perawatan sungai dan penggaliannya agar irigasi lancar
sehingga hasil pertanianpun menjadi lebih melimpah.
Basri menyimpulkan pernyataan Abu Yusuf bahwa:46
1) Sifat-sifat terpuji yang harus melekat pada diri aparat pemerintah yang
ditugaskan dalam bidang perpajakan, sifat-sifat itu antara lain, reputasi
pribadi yang baik, komitmen kegamaan yang kuat, dan sifat amanah.
2) Sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh para petugas pajak, tidak serta merta
membuatnya dapat segera melakukan tugas di lapangan dengan sukses.
Karakter yang baik hanya merupakan necesarry condition. Ia juga diminta
berdiskusi dengan para ahli dari manapun untuk memperoleh hasil yang
objektif tentang kondisi lapangan, agar perannya dapat optimal dalam rangka
meningkatnya pajak.
3) Negara menggunakan anggaran belanja baitul mal untuk mendanai proyek-
proyek infrastruktur yang sisi manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat,

46
Nurul Huda, Ahmad Muti, Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj (Imam Abu
Yusuf), (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 128

47
di samping memiliki nilai tambah berupa peningkatan pendapatan negara,
karena proyek infrastruktur semacam itu memiliki nilai investasi yang akan
menambah penghasilan nasional dan pendapatan negara.
4) Pemerintah harus jeli melihat peluang dan potensi sumber daya yang
menambah pemasukan bagi negara.

48
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Uang dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Peranan uang
ini dimaksudkan untuk melenyapkan ketidakadilan, ketidakjujuran, dan
pengisapan dalam ekonomi tukar-menukar (barter). Karena dalam system barter
ada unsur ketidakadilan yang digolongkan sebagai riba al Fadhl, yang dilarang
dalam Islam.
Dalam Islam tidak dikenal dengan adanya time value of money, yang
dikenal adalah economic value of time. Implikasi konsep Time Value of Money
adalah adanya bunga. Sedangkan bunga erat kaitannya dengan riba, dan riba
adalah haram serta Zulm. Dan agama melarangnya. Sehinga dianggap tidak sesuai
dengan keadilan dimana “al-al-qhumu bi qhurni” (mendapatkan hasil tanpa
mengeluarkan resiko), dan “al-khraj bil adhaman” (memperoleh hasil tanpa
mengeluarkan biaya).
Secara umum penerimaan Negara dalam Daulah Islamiyah yang ditulis
oleh Abu Yusuf yaitu, perpajakan, ghonimah, aset poduktif milik negara dan zakat.
Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai aktivitas
pemerintah. Selain itu dari penerimaan negaa tersebut dalam tinjauan al-Khaaj
Abu Yusuf digunakan untuk membiayai gaji pegawai, kebutuhan militer,
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat berupa kegiatan sosial dan untuk
membangun infrastuktur atau fasilitas umum.

B. SARAN

Dalam pengalokasian keuangan publik konsep dari Abu Yusuf cukup

memberikan pembelajaran buat pemerintah dalam menciptakan keadilan dalam

pengalokasian anggaan belanja negara baik untuk kebutuhan negara atau kepada

masyarakat.

49
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad. Mujahidin. 2017. Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara dan Pasar. Depok:
Rajawali Pers

A.Karim Adiwarman. 2001. Ekonomi Islam : Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta:


Gema Insani Press.

Eka Annisa rahayu, Et al., 2018. “Kebijakan Fiskal Dalam Pandangan Al-Kharaj
Perspektif Pemikiran Abu Yusuf”. Vol.8, No. 1.

Huda Nurul. 2013.Mohammad Heykal. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis


dan Praktis. Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri.

Huda Nurul. Ahmad Muti. 2011 Keuangan Publik Islami : Pendekatan Al-Kharaj
(Imam Abu Yusuf. Bogor: Ghalia Indonesia.

Huda Nurul, dkk. 2012 Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah.
Jakarta: Kharisma Putra utama.

Muhammad. 2018. Ekonomi Moneter Isla, Yogyakarta: UII Press.

Nofra Martina Tilopa. 2017. “Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Dalam Kitab Al-
Kharaj”. Vol.3, No. 1.

Nur M. Rianto Al Arif. 2017. Lembaga Keuangan Syariah suatu kajian teoritis
praktis. Bandung: CV Pustaka Setia

Sri Vinna Yuniarti. 2016. Ekonomi Mikro Syariah. Bandung: CV Pustaka Setia.

50
51

Anda mungkin juga menyukai