Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

SEJARAH DINAR DIRHAM


KEUANGAN PUBLIK & SOSIAL ISLAM DALAM PEREKONOMIAN
Dosen : Dr. Syahriyah Semaun, S.E., M.M.

OLEH:

SRI FATIMAH RAHMATILLAH 2220203860102005

ULYA HATTA 2220203860102011

MUSTIKA AYU SAFITRI 2220203860102013

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah subhanahu wata’alaa atas Rahmat dan Karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah
Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, Nabi yang telah menjadi suri teladan bagi kita
semua.

Proses pengerjaan makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan
tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar penyusunannya.
Untuk itu, Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Namun, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan dalam


makalah ini, baik dari sisi penyusunan bahasa, substansi pembahasan, maupun sisi
lainnya. Oleh karena itu, kami dengan gembira menyambut saran dan kritik dari pembaca.

Akhirnya, penyusun mengharapkan semoga makalah “Sejarah Dinar Dirham dan


Keuangan Publik Sosial Islam dalam Perekonomian” ini dapat bermanfaat sehingga dapat
memberikan inspirasi bagi pembaca dan masyarakat.

Wassalam.

Penulis

Kelompok IV

i
DAFTAR ISI

SAMPUL ...................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 3

A. Sejarah Dinar dan Dirham ............................................................................... 3


1) Dinar dan Dirham dalam Sejarah Islam .................................................... 3
2) Dinar dan Dirham dalam Fiqih Islam ......................................................... 10
3) Pandangan Riba terhadap Dinar dan Dirham ........................................... 12
B. Keuangan Publik dan Sosial Islam dalam Perekonomian ............................... 15
1) Kepedulian Sosial Keuangan Publik & Implikasinya Pada Ekonomi ........ 15
2) Implikasi Instrumen Keuangan Publik Dan Sosial Islam ......................... 17
3) Implikasi Instrumen Fiskal Non-Zakat Dalam Perekonomian ................... 32
4) Dampak Wakaf Dalam Perekonomian ........................................................ 35

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 39

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 39
B. Saran ............................................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 40

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam membicarakan ekonomi pada umumnya dan ekonomi islam pada
khususnya, pembahasan tentang uang selalu menarik. Uang adalah alat untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sejak peradaban kuni, mata uang logam sudah menjadi alat
pembayaran biasa walaupun belum sesempurna sekarang. Kebutuhan menghendaki
adanya alat pembayaran yang memudahkan pertukaran barang agar lebih mudah.
Uang adalah salah satu pilar ekonomi yang berfungsi untuk memudahkan proses
pertukaran komoditi dan ajas, setiap proses produksi dan distribusi mesti menggunakan
uang. Dari berbagai bentuk proses produksibersekala besar modern, setiap orang dari
komponen masyarakat mengkhususkan diri dalam memproduksi barang komoditas atau
bagian dari barang dan memperoleh nilai dari hasil produksi yang dipasarkan dalam
bentuk uang.
Uang emas dan perak yang dikenal dengan dinar dan dirham digunakan sejak awal
islam, baik kegiatan muamalah maupun ibadah sperti zakat dan diyat sampai berakhirnya
kekhalifahan TurkiUsmaniyah tahun 1924. Pada awal islam yang menekankan dinar dan
dirham pada berat dan kadarnya, bukan pada tulisan atau jumlah, ukuran dan bentuk
kepingannya. Selain emas dan perak , baik di negeri islam maupun non islam juga dikenal
dengan uang logam atau perunggu, dalam fiqih isalam, uang emas dan perak dikenal
sebagai alat tukar yang hakiki (Thaman Haqiqi) sedangkan uang dari tembaga dikenal
sebagai fulus dan menjadi alat tukar berdasar kesepakatan atau thaman istilahi (Iqbal,
2009:10).
Pada masa kini, peran sektor publik dan sosial Islam bagi perekonomian serta
dinamikanya baik berdasarkan instrumen, kelembagaan regulasi dan infrastruktur jiak
dibandingkan antara teori sektor publik dan sosial Islam dengan realita aplikasinya
memberikan gambaran tantangan dan peluang pada beragam aspek. Hal ini untuk
mewujudkan bangunan ekonomi Islam yang lebih tentang filosofi dasar ekonomi dan
keuangan konvensional di mana konsep kapitalisme dan sosialisme menjadi konsep
ekonomi yang dominan diadopsi oleh banyak negara.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dinar dan dirham dalam Islam?
2. Bagaimana fiqih Islam tentang dinar dan dirham?
3. Bagaimana pandangan riba pada dinar dan dirham?
4. Bagaimana tingkat kepedulian sosial keuangan publik dan implikasinya pada
perekonomian?
5. Bagaimana implikasi instrumen keuangan publik dan sosial Islam?
6. Bagaimana implikasi instrumen fiskal non-zakat dalam perekonomian?
7. Bagaimana dampak wakaf dalam perekonomian?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, antara lain :
1. Untuk mempelajari sejarah dinar dan dirham dalam Islam;
2. Untuk mengetahui fiqih Islam tentang dinar dan dirham;
3. Untuk mengetahui pandangan riba pada dinar dan dirham;
4. Untuk mengetahui tingkat kepedulian sosial keuangan publik dan implikasinya
pada perekonomian;
5. Untuk memahami implikasi instrumen keuangan publik dan sosial Islam;
6. Untuk memahami implikasi instrumen fiskal non-zakat dalam perekonomian;
7. Untuk memahami dampak wakaf dalam perekonomian.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Dinar dan Dirham


Dinar dan Dirham merupakan mata uang kuno yang masih digunakan di beberapa
negara sampai saat ini. Uang merupakan alat tukar yang sudah dikenal selama ribuan
tahun. Seperti dalam sejarah mesir kuno, bentuk standar alat tukar adalah uang perak dan
emas yang diperkenalkan oleh Julius Caesar dari Romawi. Pada masa sebelum datangnya
islam, dinar merupakan dinar yang digunakan dalam transaksi perdagangan. Berbagai
jenis emas dan perak dirham beredar dalam perdagangan sebagai akibat dari banyaknya
bangsa arab yang berdagang dengan bangsa Romawi, Byzantium dan para dagang
melewati negeri Arab. Pada saat itu, Makkah menjadi pusat perdagangan dan pertukaran
mata uang, sehingga banyak pedagang dari berbagai negeri datang ke kota Makkah untuk
bertemu dan melakukan transaksi pedagangan.1

1. Dinar dan Dirham Dalam Sejarah Islam

Jauh sebelum kenabian, penduduk Makkah telah biasa berniaga dengan berbagai
negeri dan dari berbagai tempat, dijelaskan dalam firman Allah subhanahu wa ta’alaa
dalam QS. Quraisy. Makkah adalah pusat transit perdagangan dan terhubung antara jalur
sutera laut dan jalur sutera darat sejak berabad-abad. Oleh karena itu mereka telah
mengenal timbangan seperti ratl, uqiyah, nasy, nawah, mitsqal, danaq, qirath dan
habbah. Uang yang digunakan adalah uang emas dan uang perak atau dikenal dengan
sebutan dinar dan dirham. Bahkan Imam Suyuthi dalam Kitab Ad-Durrul Mantsur fi
Tafsir bil Matsur mengutip sebuah riwayat yang menyatakan bahwa manusia pertama
yang menggunakan dinar dan dirham adalah Nabi Adam ‘alaihissalam.

Hakikat uang secara umum merujuk kepada pendapat fuqaha tradisional yang
menyatakan uang adalah dinar dan dirham, mereka berpendapat Allah menciptakan emas
dan perak untuk menjadi dua mata uang yang dapat dijadikan tolok ukur nilai. Iman Al
Ghazali berkata tentang emas dan perak, "Di antara nikmat Allah Ta'ala adalah
penciptaan dinar dan dirham, dan dengan keduanya tegaklah dunia. Keduanya adalah

1 Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 99.

3
batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, tapi manusia sangat membutuhkan kepada
keduanya". Ibn Qudamah berkata, "Sesungguhnya harga emas dan perak adalah nilai
harta dan modal dagang, yang dengan itu terjadilah mudharabah dan syirkah dan ia
diciptakan untuk itu. Maka disebabkan keasliannya dan penciptaannya terjadilah
perdagangan yang dipersiapkan untuknya". 2

Kekuatan uang bersandar kepada pasar dan perdagangan bebas riba, dan sebaliknya
pasar dan perdagangan yang kuat bersandar kepada uang yang kuat, sehingga Islam
menetapkan kaidah-kaidah keuangan yang menjamin interaksi perdagangan dan pasar
yang bebas dari berbagai praktek riba seperti penimbunan, monopoli, manipulasi,
kecurangan timbangan, penipuan, spekulasi dan berbagai bentuk ketidakadilan dalam jual
beli. Sesungguhnya nilai dinar dan dirham adalah nilai harta dan modal dagang yang
dengan itu terjadilah mudharabah dan syarikah dan kedua logam ini diciptakan untuk hal
itu. Maka disebabkan keasliannya dan penciptaan emas dan perak terjadilah perdagangan
yang dipersiapkan untuknya. Islam melarang cara apapun yang berdampak mudharat
terhadap uang, walaupun terjadi perubahan waktu dan tempat.

Muhammad (2018) dalam bukunya berjudul Ekonomi Moneter Islam


mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang tidak yakin kepada Allah menjadikan
fulus sebagai uang adalah bid'ah yang mereka ada-adakan dan kerusakan yang mereka
ciptakan tidak ada dasarnya sama sekali dalam ajaran Nabi, dan dalam menjalankannya
tidak bersandarkan pada sistem syariah. Membuat uang dari selain emas dan perak adalah
yang menjadikan rusaknya segala urusan, kehancuran segala keadaan, dan menyebabkan
manusia kepada ketiadaan dan kebinasaan. Dengan merusak nilai uang (mengganti
kepada selain emas dan perak) merugikan orang yang memiliki hak, mahalnya harga,
terputusnya suplai dan bentuk-bentuk kerusakan yang lain.

Al-Maqrizi mengatakan, "Sesungguhnya uang yang menjadi harga barang-barang


yang dijual dan nilai pekerjaan adalah hanya emas dan perak saja. Tidak diketahui
dalam riwayat yang shahih dan yang lemah dari umat manapun manusia manapun,
bahwa mereka dalam masa lalu dan masa kini selalu menggunakan uang selain
keduanya, dinar dan dirham".

2 Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), h. 71.

4
Sebelum masa Islam datang, orang arab, bangsa Quraisy telah memiliki hubungan
dagang dengan beberapa negara tetangga. Meskipun demikian, mereka tidak memiliki
mata uang sendiri yang dicetak, dimana uang emas berasal dari Romawi dan uang perak
berasal dari Persia dan hanya sedikit dirham yang berasal dari yaman.

Kemudian pada masa Islam, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan


dinar dan dirham sebagai mata uang yang sah dalam perdangangan atau perniagaan (uang
sunnah). Adalah Arqam ibn Abi Arqam, sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
yang ahli menempa emas dan perak membantu beliau dalam penetapan timbangan.

Sanad pencetakan (dan mitsqal) tidak pernah terputus dari masa Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam hingga hari ini, dan sanad tersebut bukan di ambil dari buku.
Dengan adanya sanad tersebut ilmupun menjadi terjaga. Ibnu Mubarak berkata, “Isnad
termasuk agama, tanpa isnad orang akan berkata sehendaknya”. Sufyan ats Tsaury
mengatakan “Sanad adalah senjatahnya orang mukmin”. Adapun para sahabat Nabi
Muhammad yang ahli di bidang mencetak dinar dan dirham adalah Abu bakar Ash-
Shidiq, Umar bin khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurahmman bin Auf,
Sa’ad bin Abi Waqqas, Arqam bin Abil Arqam, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin
Awwam.

Diriwayatakan oleh baladzuriy dari Abdullah bin tsa’lahah bin Sha’ir “Dinar
hiraklius (Romawi) dan Dirham Persia biasa di gunakan oleh penduduk Makkah pada
masa jahiliyah. Mereka sudah mengetahui timbangan mitsqal—timbangan khusus untuk
emas, dengan demikian adalah unit berat atau satuan timbangan sebagai satuan basis
dalam ukuran-ukuran lain, dan diterapkan pada uang emas dan uang perak, sebagai
uang komoditas yang telah dipakai berabad-abad. Dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam menetapkan hal itu. Begitu pula Abu Bakar meneruskannya juga Umar, Utsman
dan ‘Ali. Saat itu kaum muslim telah menggunakan dinar Hiraklius dan dirham Kisra
pada masa Rasulullah, Abu Bakr dan pada permulaan masa Umar. Pada masa Umar
(sekitar tahun 642-651 M), beliau mencetak dirham yang baru berdasrakan dirham
Sasanid di mana bentuknya mengacu kepada dirham Kisra, gambarnya bermotif
Bahwaliyah dengan ditambahkan tulisan Arab kufi, dengan nama Allah dan dengan nama
Allah Tuhanku.

5
Al-Qur'an menyebutkan uang dinar sudah digunakan oleh Kaum Ahli Kitab sebelum
Nabi Muhammad (QS. Ali ‘Imran ayat 75). Demikian pula uang dirham telah dipakai
pada masa Nabi Yusuf (QS. Yusuf ayat 20).

Rasululllah shalallahu alaihi wassalam menetapkan timbangan dinar sama


dengan satu mitsqal dan setiap 10 (sepuluh) dirham itu 7 (tujuh) mitsqal.
‘Umar bin Khattab menselaraskan pelbagai berat dracma menjadi dirham
syar’i (yaitu 6 dawaniq) sesuai timbangan Makkah pada masa Rasulullah
shalallahu alaihi wassalam.

Pada tahun 682 Masehi gubernur Iraq (Mush'ab ibn Az-Zubayr) mencetak dinar. Dan
dua tahun kemudian, 684 M, Abdul Malik ibn Marwan, Khalifah Bani Umayyah di
Damaskus mencetak dinar dengan berat 4,4 gram sesuai timbangan mitsqal (seberat 72
butir gandum). Pada tahun 695 M berat dinarnya dikurangi oleh Hajjaj ibn Yusuf
(Gubernur Iraq) menjadi 4,2 gram (seberat 65-66 butir gandum) dan melakukan reformasi
keuangan. Namun kemudian dikoreksi kembali oleh Khalifah Harun Al Rasyid karena
tidak sesuai timbangan (wazan) yang ditetapkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu mitsqal.

Hal ini diperkuat juga dengan pernyataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
yang mengatakan bahwa dirham buatan Khalifah Abdul Malik bin Marwan
bobotnya kurang, maka perbandingannya bukan 7/10 mitsqal tetapi 7/10,5
mitsqal (disebutkan dalam kitab Adh-Dharaib Fi As Sawad, hal. 65), ini
artinya 7 mitsqal = 10,5 x 2,97 gram 31,1 gr atau 1 troy ounce, artinya berat
1 Dirham adalah 3.11 gram. Dari sini kita dapat tentukan 1 Dinar adalah
31,1 : 7 = 4,44285 gram.

Dinar yang beredar di negeri-negeri muslim berada dalam rentang mitsqal 4,4 –
4,55 gram. Pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani ditemukan juga sistem perdagangan
menggunakan dinar dan dirham beberapa catatan perniagaan Kesultanan Turki Utsmani
mempunyai perdagangan yang kuat dan menjalin hubungan dagang dengan berbagai
negara di Eropa, India, Yaman, Cina dan lain lain. Dan dalam sejarah perdagangan
Kekhalifahan Turki Utsmani beredar berbagai jenis uang emas dan perak seperti Ducat
emas, Gulden emas dan perak, Florin emas, dan Cruzados. Kekhalifahan Turki mencetak

6
koin emas yang disebut Khurus dan koin perak yang disebut Akche (Acke) atau dirhem.
Timbangan dan berat yang umum pada saat itu di gunakan yaitu ratl, okka, ukiya, kirat.

Dan dari hal itu di ketahui berat dirham di masa itu, yaitu rata-rata antara 3,0898 –
3,207 gram, seperti di jelaskan di bawah ini :

1. Dirham atau Dirhem atau Akche = 16 kirat = 64 dang = 3,207 gram


2. Dirham Bizatinum dan awal islam = 3,125 gr
3. Dirham menurut Shariah dan Kanonikal = 3,125 gram
4. Dirham di Kairo = 3,0898 gram
5. Dirham di Dimishki = 3,086 gram
6. Dirham di Tabriz = 3,072 gram.

Hal yang menjadi dasar utama dari kita semua kembali mengamalkan dinar dan
dirham adalah kepada keimanan dan ketakwaan, bukan yang lain, karena ini bagian dari
perintah Allah yang merupakan urusan akidah Islam dan berkaitan erat dengan salah satu
rukun Islam yaitu tiang zakat maal, di mana semua 4 Ulama Madhab menyatakan bahwa
zakat maal harus ditarik sebanyak 20 Mitsqal untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk
Zakat Perak, dan kesemuanya dihitung bahan emas dan perak murni.

Imam Hanafi mengatakan tentang hal ini: "Bahwa ukuran Nisab Zakat
yang disepakati ulama' bagi emas adalah 20 Mitsqal dan telah mencapai
haul (1 tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham.

Imam Asy-Syafi'I berkata dalam Kitab al-Umm, Volume 2: “Rabi”


meriwayatkan bahwasanya Imam Asy-Syafi’i berkata : Tidak ada
perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasanya dalam Zakat Emas itu adalah
20 Mitsqal (Dinar)".

Penggunaan dinar dan dirham sebenarnya sudah terjadi sekian lama, jauh sebelum
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam lahir, yaitu yang pertama kali menggunakan dinar
dan dirham adalah Nabi Adam ‘alaihissalam, dapat di lihat dalam Tafsir ad-Durrul
Mantsur fi Tafsir bil Matsur (Vol. I hal, 326) yang disusun oleh Imam Jalaluddin Suyuthi
mengatakan, (dikeluarkan oleh Ibn Abi Syuibah dalam Kitab Al-Mushonnaf). Pada masa
Nabi Idris 'alaihissalam, 9000 tahun Sebelum Masehi, sebagai Rasul Ke-2 yang pertama
kali hidup menetap, mengenal tambang emas dan perak, dan mengolahnya menjadi

7
sebuah mata uang yang diberi nama raqim untuk mata uang emas, dan wariq untuk mata
uang perak.3

Sejarah mata uang raqim dan wariq ini, berlangsung cukup lama mulai dari
periode Nabi Idris, dilanjutkan ke periode Nabi Nuh, ke periode Hud, ke periode Nabi
Sholih, ke periode Nabi Dzulqarnain, ke periode Ashabulkahfi, ke periode Nabi Ibrahim,
ke periode Nabi Luth, ke periode Nabi Isma'il dan ke periode Nabi Ishaq. Peristiwa
penting ini secara implisit dijelaskan dalam Al-Qur'an di 403 ayat dalam Al-Qur'an.

Penamaan Dinar sebagai mata uang emas, dan Dirham sebagai mata uang perak,
baru terjadi Periode Nabi Ya'qub dan Nabi Yusuf. Hal ini termaksud dalam QS. Ali-Imran
ayat 75, dan QS. Yusuf ayat 20. Standarisasi ukuran dinar dan dirham pada masa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan ukuran raqim dan wariq pada masa
Nabi Idris sampai Nabi Ishaq, dan sama pula ukurannya dengan dinar dan dirham pada
masa Nabi Ya'qub sampai Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi Wa Sallam. Ukuran ini
adalah ukuran yang telah disepakati oleh Jumhur Ulama'. Yaitu: nisab zakat harta yang
harus ditarik sebanyak 20 Dinar untuk Zakat Emas dan 200 Dirham untuk Zakat Perak.

Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, menerapkan kaidah timbangan


dinar dan dirham ini sesuai dengan “(berat) 7 dinar harus setara dengan (berat) 10
dirham”. Sunnah dinar dan dirham ini kemudian diikuti oleh para Khulafaur Rasyidun
yang berlangsung selama 30 tahun yaitu sejak tahun 11 H Sampai 40 H, berlangsung di
Madinah yakni Khalifah Abu Bakr ash-Shiddiq, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah
Utsman bin Affan dan Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib.

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani
Umayyah, berjalan selama 92 tahun, sejak tahun 40 H sampai 132 H, dengan 14 orang
Khalifah yang berpusat di Damaskus. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Mu'awiyah bin Abi
Sufyan, Yazid bin Mu'awiyyah, Mu'awiyyah II bin Yazid, Marwan bin Al-Hakam, Abdul
Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, Umar bin Abdul
Aziz, Yazid II bin Abdul Malik, Hisyam bin Abdul Malik, Walid II bin Yazid, Yazid III
bin Walid, Ibrahim bin Walid dan Marwan II bin Ja'diy.

3 Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), Hal 71.

8
Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Bani
'Abbasiyyah, berjalan selama 518 tahun, sejak tahun 132 H sampai 656 H. dengan 37
orang Khalifah yang berpusat di Baghdad. Khalifah-Khalifah itu yaitu: Abul Abbas As-
Saffah, Abu Ja'far Al-Manshur, Mahdi bin Al-Manshur, Hadi bin Mahdi, Harun ar-Rasyid
bin Mahdi, Al-Amin bin Harun Ar-Rasyid, Al-Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid, Al-
Mu'tashim bin Al-Mutashir bin Al-Mutawakkil, Al-Musta'in bin Mu'tashim, Al-Mu'tazz
bin Harun Ar-Rasyid, Al-Watsiq bin Mu'tasyim, Al-Mutawakkil bin Mu'tashim, bin Al-
Muwaffiq, Muktafi bin Mustadhid, Ar-Radhi bin Muqtadir, Al Mutawakkil, Muhtadi bin
Al-Watsiq, Mu'tamid bin Mutawakkil, Mu'tadid bin Muhammad, Mustazhir bin Muqtadi,
Murtashid bin Mustashir, Ar-At-Ta'bin Al-Mu'thi, Al-Qadir bin Ishaq, Al-Qaim bin Al-
Qadir, Muqtadi Rashid bin Murtasyid, al-Muqtafi bin Mu'atshir, Mustanjid bin Muquafi,
Mustadi bin Al-Muqtadi, An-Nashir bin Muatahdi, Az-Zhahir bin An- Nashir, Mustanshir
bin Az-Zhahir, Musta'sihim bin Mustansir.4

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa kerajaan-
kerajaan kecil (Mulukut Thawaif), baik di benua Timur maupun di benua Barat
(Andalusia) yang masuk menyelusup di masa Bani 'Abbasiyyah, yaitu dari tahun 321 H
sampai 685 H berjalan selama 350 tahun.

Standarisasi dinar dan dirham di atas juga dijaga tradisinya pada masa Turki
Utsmani, berjalan selama 666 tahun, sejak tahun 687 H sampai 1343 H (1924 M) dengan
38 orang Sultan yang berpusat di Istanbul (Kontantinopel). Bahkan pada masa Sultan
Muhammad II Al-Fatah (Sultan Ke-7 dari Kesultanan Turki Utsmani), tahun 855H/
1451M, Dinar dan Dirham dibawa oleh Duta Muballigh Islam yang dikenal dengan
"Walisongo" melalui perdagangan bersistem Dinar Dirham di Wilayah Nusantara (Asia
Tenggara).

Dalam catatan Syekh Muhyiddin Khayyat dalam "Durusut Tarekh Al-Islamiy"


Juz V, dan Catatan Jarji Zaidan dalam Tarekh Tamaddun Al- Iskamiy, Juz III,
menyebutkan bahwa: Standarisasi Dinar dan Dirham di atas juga dijaga tradisinya di
beberapa negara-negara Islam, seperti Kesultanan Umayyah di Adaluzie Eropa, mulai
tahun 138 H = 755M sampai 407 H/ 1016 M. Juga diterapkan di Kesultanan Fathimiyyah
di Afrika Utara dan Mesir sejak tahun 279 H/ 909 M sampai 567H/ 1171M, juga

4 Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), Hal 73-74.

9
diterapkan di Kesultanan Ayyubiyyah di Mesir dan Syiria sejak tahun 567H/1171 M
sampai 657H/1260 M, juga diterapkan di Kerajaan Geznewiyah di Afghanistan dan India
sejak tahun 366 H/976M sampai 579H/1183M. Dan di Kesultanan Mongolia di India
sejak tahun 932H/1526M sampai 1274 H/1857M.5

2. Dinar dan Dirham dalam Fikih Islam (Mitsqal, Timbangan Berat dan Kadar
Dinar dan Dirham)
Berdasarkan rumus “(berat) 7 Dinar harus setara dengan (berat) 10 dirham”. Wahyu
Allah menyebut emas dan perak serta mengaitkan dengan berbagi hukum, misalnya zakat,
perkawinan, hudud, dan lain-lain. Menurut Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, Allamah
Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi dalam fikih 4 Madzhab, menyatakan bahwa
: berdasarkan wahyu allah, emas dan perak harus nyata dan memiliki ukuran dan
penilaian tertentu (untuk zakat dan lainnya) yang mendasari segala ketentuannya, bukan
atas sesuatu yang tak berdasarkan syari'ah (kertas dan logam lainnya). Ketahuilah
bahwa terdapat persetujuan umum (ijma) sejak permulaan Islam dan masa Para Nabi
dan Rasul, masa Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidun, Sahabat serta tabi'in, tabi'it
tabi'in bahwa dirham yang sesuai syariah adalah yang sepuluh kepingnya seberat 7
mitsqal (bobot dinar) emas. Berat 1 mitsqal emas adalah 72 butir gandum, sehingga
dirham yang bobotnya 7/10-nya setara dengan 50-2/5 butir. Ijma telah menetapkan
dengan tegas seluruh ukuran ini.

Ketahuilah bahwa terdapat persetujuan umum (ijma’) sejak permulaan islam dan
masa Para Nabi dan Rasul, masa Nabi Muhammad, Khulafaur Rasyidun, para Sahabat
Nabi serta Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in bahwa dirham yang sesuai syariah adalah yang
sepuluh kepingnya seberat 7 mitsqal (dinar) emas. Berat 1 mitsqal emas adalah 72 butir
gandum, sehingga dirham yang nilainya 7/10 setara dengan 50 dan 2/5 butir. Ijma telah
menetapkan dengan tegas seluruh ukuran ini. (Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah).

Ijma semua madzhab fiih bahwa 1 mitsqal = 1 Dinar. Meskipun demikian banyak
otoritas menyelisihi ijma’ ini sehingga 1 Dinar kurang dari 1 mitsqal. Ibnu Khaldun
menulis dalam Al-Muqaddimah “Maka bersepakat banyak sekali fuqaha, berat (dalam

5 Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), h.74.

10
bentuk emas) dari Dinar syar'i adalah tujuh-puluh-dua ukuran rata-rata biji gandum
sya'ir atau barley dipotong kedua ujungnya”.

Untuk mendapatkan kembali orisininalitas yang paling mendekati mitsqal awal


Islam, maka kita perlu melihat kembali ke sumber awal Islam di Madinah, bukan sumber
lain. Ibn Khaldun menyatakan bahwa sesuai ijma' dan ketetapan Umar ibn Khattab
radhiyallahu’anhu, 1 mitsqal = 72 biji gandum barley (organik) ukuran sedang yang
dipotong kedua ujung. Dapat dikatakan bahwa setara dengan berat sekitar 68-69 biji
gandum utuh. Akan tetapi ada beberapa catatan yang mengatakan mitsqal di bawah berat
72 biji gandum barley, seperti 68 biji gandum barley ukuran sedang dipotong kedua
ujung. Pendapat kedua ini tidak diterima karena sangat tidak populer.

Secara tradisional mengukur berat suatu benda didasarkan pada suatu standar berat
suatu benda atau komoditas yang dianggap memiliki berat stabil secara relatif.
Metodologi ini juga digunakan untuk menentukan berat dalam mitsqal (tradisional atau
sunnah), sebagaimana pula digunakan sebagai standar untuk menghitung berat dalam
gram (modern).

Ibn Khaldun dan banyak kitab fikih menetapkan mitsqal berdasarkan berat biji
gandum barley. Dan banyak otoritas, amir, sultan, parameswara, prabu dan lain-lain
memerintahkan master minter mereka untuk menimbang kembali berat biji gandum
barley untuk menentukan standar mitsqal mereka. Dan mereka akan berkeputusan untuk
menyetak atau tidak sesuai mitsqal tersebut.

Dengan demikian adalah sangat mungkin bagi kita saat ini menimbang biji gandum
barley sebagiamana sunnah mengajarkan demikian. Dan dengan demikian pula
merupakan sesat metodologi apabila menentukan berat mitsqal hanya berdasarkan satu
koin koleksi museum dan serta merta menjadikannya standar. Belum lagi koleksi yang di
maksud hanya satu dan diklaim tertua (padahal bukan) dengan fakta terdapa berbagai
berat berat Dinar yang pernah ada dan beredar di berbagai wilayah negeri-negeri muslim.

Oleh karena itu, secara metodologi atau pendekatan, penimbangan biji gandum
barley adalah metodologi utama, yang niscaya, sebagaimana amal Madinah. Yaitu untuk
mengikuti “timbangan penduduk Madinah dan takaran penduduk Makkah”. Adapun
melakukan riset numismatik dari berbagai koleksi koin, terutama koin-koin tertua adalah

11
metode penunjang. Lebih penting untuk membaca kembali teks-teks fikih salaf (kuno)
yang membahas mengenai nisab zakat, pasar, perdagangan, muamalat, uang dan alat
pembayaran, juga mengenai mahar nikah, diyat dan lain lain. Karena dinar dan dirham
harus berdasarkan syariah Islam bukan berdasarkan pendapat atau bukti numismatik
semata. Ini yang menjadi pembeda dinar dan dirham dengan koin-koin numismatik.

3. Pandangan Riba pada Dinar dan Dirham

Sebagian orang menganggap riba lebih pasti ada pada uang kertas karena
kecenderungan inflasi yang lebih besar. Beda halnya dengan Dinar dan Dirham yang
harganya relatif lebih stabil sehingga sulit terjadi riba. Padahal hakekat riba bukanlah
karena kestabilan nilai dari suatu mata uang. Riba itu dapat terjadi karena adanya
penambahan ketika komoditi ribawi yang sejenis ditukar atau penambahan itu terjadi
karena sebab penundaan.6

Riba seperti telah diketahui berarti ‘tambahan”, sebagaimana makna secara bahasa.
Sedangkan secara istilah berarti tambahan pada sesuatu yang khusus. Pembicaraan
mengenai riba dapat kita lihat pada hadits Aby Sa'id Al Khudri, di mana Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak,
gandum dijual dengan gandum, sya'ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya'it,
kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atta
atau meminta tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil timbangan)
harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah tambahan tersebut dan
orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa” (HR. Muslim No. 1584).

Hadits tersebut menunjukkan jika emas ingin ditukar dengan emas, maka harus dan
harus dengan timbangan yang sama. Jika emas ditukar dengan sesama barang yang masih
memiliki ‘illah yang sama. Yaitu sama-sama sebagai alat untuk jual-beli dan sebagai alat
ukur nilai harta benda. Maka, satu syarat yang mesti dipenuhi yaitu harus tunai (yadan bi
yadin). Mata uang memiliki' illah yang sama dengan emas dan perak. Oleh karenanya,
jika emas ingin ditukar dengan mata uang, atau kita katakan emas ingin dibeli, syarat
yang harus dipenuhi adalah dilaksanakan secara tunai.

6
Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), h.90.

12
Jika syarat yang diberlakukan tersebut tidak terpenuhi, akan terjerumus ke dalam
riba. Jika ada kelebihan timbangan dalam penukaran barang sejenis, semisal emas dan
emas, maka terjerumus dalam riba fadhl. Sedangkan jika emas dibeli secara tidak tunai
atau emas dijual secara online, maka terjerumus dalam riba nasiah karena adanya
penundaan dalam penyerahan emas. Karena sekali lagi syarat dalam penukaran atau
penjualan emas adalah adanya qobdh atau serah terima tunai. Ini syarat yang tidak bisa
ditawar-tawar.

Jelaslah, di sini bahwa riba pada mata uang kertas terjadi bukan karena nilainya
yang fluktuatif. Riba pada uang kertas bisa terjadi karena ia sebagai alat tukar dalam jual-
beli atau alat pengukur kekayaan seseorang. Dan ini pun berlaku pada emas dan perak.
Jadi, emas dan peras pun bisa terdapat riba. Ini yang mesti dipahami. Sekadar
bermodalkan semangat untuk kembali pada Dinar dan Dirham tanpa memperhatikan
aturan dalam sharf (penukaran emas), itu jelas keliru. Inilah yang kurang diperhatikan
oleh para aktivis pendaulat Dinar-Dirham. Semoga Allah senantiasa memberikan kita
semangat untuk membela Islam namun dilandasi dengan ilmu dan bashiroh.

Berbicara mengenai mata uang, bagi kalangan umat Islam sebenarnya bukan
merupakan hal baru. Umat Islam telah akrab dengan mata uang yang terbuat
dari emas, disebut Dinar dan mata uang yang terbuat dari perak disebut
Dirham. Mata uang ini telah digunakan secara praktis sejak kelahiran Islam
hingga runtuhnya Khalifah Utsmaniyah di Turki pasca Perang Dunia I. Oleh
karena, kebanyakan negara Islam dijajah oleh Barat dengan sistem
Kapitalisnya, maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan juga mengikuti
pola-pola kapitalis, termasuk masalah mata uang.

Menurut keterangan Abdul Qadim Zallum, dinar dan dirham telah dikenal oleh
orang Arab sebelum datangnya Islam. Mata uang ini diperoleh dari hasil perdagangan
yang mereka lakukan di negara-negara sekitarnya. Para pedagang kalau pulang dari
Syam, mereka membawa dinar emas Romawi (Byzantium), dan dari Iraq mereka
membawa dirham perak Persia (Sassanid). Juga, terkadang mereka membawa dirham
Himyar dari Yaman. Dengan demikian, sudah banyak mata uang asing yang masuk negeri
Hijaz, berupa dinar emas Romawi dan dirham perak Persia.

13
Dinar dan dirham yang digunakan orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai
nominalnya, melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut hanya
dianggap sebagai kepingan emas dan perak saja. Dinar dan dirham tidak dianggap sebagai
mata uang yang dicetak, mengingat bentuk dan timbangan dirham yang tidak sama dan
karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat peredarannya. Untuk mencegah
terjadinya penipuan atas perilaku transaksi, maka mereka lebih suka menggunakan
standar timbangan khusus yang telah mereka miliki, yaitu: auqiyah, nasy, nuwah, mitsgal,
dirham, daniq, girath, dan habbah. Mitsqal merupakan berat pokok yang sudah diketahui
umum, yaitu setara dengan 22 qirath kurang satu habbah. Di kalangan mereka, berat 10
dirham sama dengan 7 mitsqal.

Datangnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, sebagai tanda kedatangan


Islam, maka beliau mengakui berbagai muamalah yang menggunakan dinar Romawi di
kalangan kaum Quraisy untuk menimbang berat dinar dan dirham Persia. Beliau juga
mengakui standar timbangan yang berlaku Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah pernah
bersabda “Timbangan berat (wazan) adalah timbangan penduduk Makkah, dan takaran
(mikyal) adalah takaran penduduk Madinah”. Kaum muslimin terus menggunakan dinar
Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap, dan gambar aslinya sepanjang hidup
Rasulullah dan dilanjutkan oleh masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan pada
awal kekhalifahan Umar bin Khaththab.

Pada masa pemerintahannya, Khalifah Umar Bin Khattab pada tahun 20 Hijriah,
yaitu tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin Khattab, beliau mencetak uang dirham baru
berdasarkan pola dirham Persia Berat, gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf
Persianya) tetap ada, hanya ditambah dengan lafadz yang ditulis dengan huruf Arab gaya
Kufi, dseperti lafadz Bismillah (Dengan nama Allah) dan Bismillahi Rabbi (Dengan nama
Allah Tuhanku) yang terletak pada tepi lingkaran.

Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 Hijriah (69 Masehi), mencetak
dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz Islam yang ditulis dengan huruf Arab
gaya Kufi. Dengan demikian, dirham Persia tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian,
(tepatnya tahun 77 Hijriah/697 Masehi), Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus
yang bercorak Islam setelah meninggalkan pola dinar Romawi. Gambar-gambar dinar
lama diubah dengan tulisan atau lafaz-lafaz Islam, seperti: Allahu Abad (Allah itu

14
Tunggal), Allah Baqa' (Allah itu Abadi). Sejak saat itulah orang Islam memiliki dinar dan
dirham Islam yang secara resmi digunakan sebaga mata uangnya.7

B. Keuangan Publik dan Sosial Islam dalam Perekonomian


Hadirnya ekonomi dan keuangan syariah di dunia khususnya Indonesia, termasuk
di dalamnya keuangan publik dan sosial Islam dianggap sebagai alternatif dari sistem-
sistem ekonomi konvensional yang ada. Seperti umumnya sebuah alternatif, keuangan
publik dan sosial Islam hadir untuk menawarkan sistem yang lebih baik bagi
kesejahteraan masyarakat.

1. Tingkat Kepedulian Sosial dan Implikasinya pada Perekonomian


Berkembangnya aktivitas ekonomi dan keuangan yang dimotivasi oleh rasa
kepedulian kepada sesama manusia menjadi corak yang sangat menonjol dari aktivitas
ekonomi akhir-akhir ini. Munculnya banyak lembaga kemanusiaan, baik yang berbentuk
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun institusi keuangan mikro yang menyasar
pada masyarakat miskin, menunjukkan besarnya kepedulian masyarakat dan pemerintah
pada aktivitas ekonomi dan keuangan yang bersifat sosial.
Dorongan “memberi” juga membuat saya yakin bahwa hampir setiap
orang—berapapun penghasilannya, berapa pun waktu yang dipunyainya,
berapapun usianya, dan apa pun keterampilan yang dimilikinya—dapat
melakukan sesuatu yang berguna bagi orang lain sehingga memperkuat
jalinan kemanusiaan yang kita miliki bersama. (Bill Clinton)
Sebagai contoh, khusus untuk mengatasi masalah ekonomi yang dialami
masyarakat miskin dan yang terdampak Covid-19, pemerintah telah menggulirkan
sejumlah bantuan sosial (bansos). Pandemi Covid-19 telah membawa dampak signifikan
terhadap sektor ekonomi. Bukan hanya kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat
miskin, tetapi kondisi perekonomian secara nasional juga global turut terdampak. Dengan
adanya bantuan sosial tersebut, diharapkan mampu mengurangi dampak pandemi kepada
masyarakat dan menstabilkan perekonomian negara.8

7 Muhammad, Ekonomi Moneter Islam (Yogyakarta;UII Press, 2018), Hal 89-90


8 https://www.kemenkopmk.go.id/bansos-bantu-percepat-pemulihan-ekonomi diakses pada 03 April 2023

15
Kegiatan di atas merepresentasikan bangkitnya aktivitas-aktivitas kepedulian sosial
yang kemudian memiliki dampak signifikan secara ekonomi. Pada dasarnya kegiatan
tersebut menyasar kepada kelompok masyarakat miskin yang selama ini terpinggirkan
dari program-program pembangunan ekonomi. Hal ini tentu memposisikan kegiatan
sosial sebagai sektor yang cukup penting dalam aktivitas ekonomi dan keuangan karena
mampu memunculkan kesadaran sosial.
Kepedulian sosial adalah kesadaran untuk memberi dalam rangka mengatasi
kesulitan dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Rasa kepedulian ini bisa
datang dari kesadaran spiritual, juga bisa muncul karena panggilan rasa kemanusiaan dan
tentu saja sangat mungkin pula hadir karena seseorang ingin berarti dalam hidup ini dan
turut serta dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. 9
Sumber daya kepedulian sosial datang dari donasi individual, sumbangan dari
perusahaan dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan dari para pemerhati
sosial yang bukan hanya bertindak sebagai donor, tetapi sebagian lainnya juga mendirikan
yayasan untuk mendanai berbagai program kemanusiaan yang dilakukan oleh banyak
organisasi pelaksana bantuan kemanusiaan.
Dalam perkembangannya, gerakan lembaga sosial ini telah menjadi bagian dari
kekuatan sektor ketiga, yaitu sektor masyarakat yang berperan untuk terus meneguhkan
posisi masyarakat sipil (civil society) diantara dua kekuatan lainnya, yaitu kekuatan
pemerintah dan swasta. Gerakan lembaga sosial juga merupakan bagian dari upaya
penciptaan kehidupan yang seimbang antara orang kaya dan orang miskin.10
Perkembangan lembaga sosial akan semakin meningkat secara signifikan manakala
semua pelakunya terdorong untuk selalu inovatif dalam melahirkan karya-karya baru,
senantiasa tergugah untuk menemukan cara baru dalam pengembangan organisasi dan
program, sekaligus mampu menemukan terobosan baru dan pemecahan masalah dalam
menghadapi semua tantangan dan hambatan yang ada. Inovasi adalah salah satu ruh yang
akan menjaga kelangsungan sekaligus melakukan lompatan perkembangan lembaga
sosial ke masa depan.
Sementara dalam dunia Islam kegiatan sosial bukan hanya muncul karena dorongan
kesadaran antarmakhluk manusia tetapi juga muncul sebagai anjuran yang telah

9 Solikin M Juhro dkk, Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 163.
10 Ibid.,

16
diperintahkan dalam agama untuk saling membantu sesama. Tingkat pemahaman umat
Islam pada ajaran agamanya yang semakin tinggi juga berimplikasi pada terlaksananya
aktivitas yang bersifat wajib maupun sukarela.

2. Implikasi Instrumen keuangan publik dan sosial Islam, wajib dan sukarela
a. Peluang dan tantangan pendayagunaan zakat untuk mengatasi kemiskinan
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf adalah dana sosial yang diajarkan Islam untuk
diamalkan oleh kaum muslimin. Zakat adalah instrumen dana sosial Islam yang bersifat
obligatory, sementara infak, sedekah dan wakaf bersifat voluntary. Meskipun zakat,
infak, dan sedekah adalah dana sosial Islam, tetapi peruntukannya memiliki dimensi
ekonomi yang berpengaruh terhadap kesejahteraan umat manusia.
Infak adalah semua pengeluaran atau pemberian yang dilakukan oleh seorang
individu, baik pengeluaran untuk kebaikan, maupun untuk keburukan. Oleh karenanya di
dalam al-Qur’an dikenal istilah infaq fi sabilillah (infak di jalan Allah – infak untuk
kebaikan) dan infaq fi sabilit thagut (infak di jalan setan – infak untuk keburukan).
Sedekah adalah segala pengeluaran atau pemberian untuk kebaikan. Termasuk dalam
lingkup sedekah adalah segala pemberian yang bersifat materiil dan nonmateriil.
Zakat adalah pengeluaran atau pemberian untuk kebaikan yang memiliki
persyaratan dan pengaturan tertentu (nishab, haul, tarif dan penerimanya) dalam
pengalamannya. Zakat ini merupakan proporsi tertentu kekayaan yang wajib dikeluarkan
oleh seorang muslim setiap tahun untuk kepentingan orang miskin pada komunitas
muslim. Pembayaran zakat adalah wajib karena merupakan salah satu dari lima rukun
Islam. Zakat adalah sarana ekonomi utama untuk membangun keadilan sosial dan
mengarahkan masyarakat Muslim menuju kemakmuran dan keamanan.
Wakaf adalah pengeluaran atau pemberian harta kita untuk kebaikan yang nilai
pokok harta wakaf tersebut diupayakan bersifat tetap dan manfaatnya dapat dirasakan
untuk kepentingan sosial dan ekonomi umat. Wakaf diprioritaskan dilakukan dengan cara
produktif yang menghasilkan pendapatan atau keuntungan, di mana pendapatan atau
keuntungan ini akan digunakan untuk kegiatan kebaikan atau maslahat umat.
Sebagian kaum muslimin masih mempraktikkan penggunaan zakat, infak, sedekah,
dan wakaf yang hanya semata-mata bersifat karitas. Umunya penyaluran zakat, infak,
sedekah, dan wakaf hanya digunakan untuk keperluan konsumtif, sosial, dan peribadatan.

17
Masih sedikit umat Islam yang mencoba mendayagunakan dana sosial Islam yang
memiliki manfaat ekonomi yang lebih luas.
Terkait dengan tugas meningkatkan kesejahteraan umat, maka sudah saatnya
apabila dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf bisa didayagunakan untuk membantu
pengembangan ekonomi, khususnya dalam membantu pengusaha kecil. Dana sosial Islam
perlu dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan, pengembangan usaha serta
pengembangan ekonomi syariah melalui industri jasa keuangan syariah.

b. Zakat dan Perilaku Konsumsi


Motif konsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah mashlahah, kebutuhan, dan
kewajiban. Aktivitas konsumsi juga bertujuan dalam rangka meningkatkan ibadah dan
keimanan kepada Allah. Monzer Kahf (1992) memperkenalkan final spending (FS)
sebagai variabel standar dalam melihat kepuasan maksimum yang diperoleh seorang
konsumen muslim untuk mencapai falah. Kahf berasumsi bahwa zakat merupakan sebuah
keharusan dari para muzakki. Dengan demikian, zakat tidak termasuk dalam final
spending. Dari rumus berikut akan terlihat korelasi negatif yang ada antara s dan FS,
semakin tinggi s maka semakin kecil FS. Sehingga didapatkan maksimum kepuasan
berdasarkan jumlah pendapatan dan tingkat kekayaan.
Final spending menurut Kahf bagi seorang individu muslim dijelaskan dalam tiga
golongan yaitu golongan mustahik, golongan middle income, dan golongan muzakki
dalam analisis dua periode menurut Kahf adalah sebagai berikut:

FS = (Y – S) + (S-Sz) Max U = U (FS,s)


FS = (Y – sY) + (sY – zsY), atau Subject to:
FS = Y(1-zs) FS + S = Y dan DW = S ≥ z (W+S)

Keterangan :
FS : Final Spending
Y : Pendapatan
S : Total Tabungan
s : Presentase Y yang ditabung
z : Presentase zakat
U : Kepuasan Konsumen
W : Kekayaan Konsumen

18
D : Turunan waktu
Golongan mustahik:

FS + S = Y
1. FS = Z ; Z = C0
2. FS = Y + Z ; Y + Z = C0

Di mana C0 sama dengan konsumsi kebutuhan pokok, Y sama dengan pendapatan, Z sama
dengan zakat yang diterima. Pada model konsumsi pertama terlihat bahwa konsumsi
sepenuhnya bersumber dari zakat. Hal ini menjelaskan sumber konsumsi golongan
mustahik khususya kategori fakir, ibnu sabil, dan fii sabilillah. Sedangkan model kedua
menggambarkan sumber konsumsi mustahik kategori miskin, golongan yang memiliki
pendapatan tapi tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga harus
dipenuhi oleh zakat. Pada kondisi ini final spending-nya melebihi tingkat pendapatannya.
Menurut Imam Ghazali distribusi zakat memang hendaknya sebesar kebutuhan para
mustahik saja. Maknanya zakat yang didistribusikan pada golongan mustahik ini
sepenuhnya digunakan untuk mengonsumsi kebutuhan primer (khususnya bagi empat
kategori mustahik yang telah disebutkan. Jadi final spending mustahik sebesar
kebutuhannya.
Golongan mid-income:

FS = Y – S
FS = Cm + In + Sh

Di mana Cm berarti total konsumsi golongan mid-income, In berarti Infak, Sh berarti


sedekah. Golongan mid-income ini dapat memenuhi kebutuhan primernya dan masih
memiliki kemampuan untuk berkonsumsi barang sekunder. Meskipun begitu,
kekayaannya belum mencapai nisab. Sehingga untuk memaksimalkan final spending-
nya, golongan ini mengeluarkan infak atau sedekah.

Golongan Muzakki:

FS = Y – S
FS = Cz – (Zy + In + Sh + Wf)

19
Di mana Cz berarti total konsumsi golongan muzakki, Zy sama dengan zakat penghasilan.
Wf berarti wakaf. Pada model di atas diasumsikan bahwa zakat hanya bersumber dari
pendapatan (tidak memperhitungkan zakat harta). Dapat disebutkan bahwa golongan
muzakki mampu mengeluarkan zakat, infak-sedekah, serta memberikan wakaf. Meskipun
zakat merupakan spending yang memberikan falah, namun karena sifatnya yang tetap
(ibadah mahdhah), maka diasumsikan ia diluar final spending.
Sangat jelas terlihat bagaimana zakat memiliki peran yang bertolak belakang pada
dua golongan masyarakat; mustahik dan muzakki. Zakat pada golongan mustahik
menentukan tingkat konsumsinya, yaitu tingkat pemenuhan kebutuhan primernya dan
dapat dikatakan final spending-nya juga sebatas tingkat konsumsi kebutuhan primer
tersebut. Sedangkan pada golongan muzakki, zakat akan mengurangi final spending-nya.
Sementara itu, bagi golongan mid-income, zakat tidak mempunyai pengaruh pada final
spending-nya.
Dalam membahas perilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat
sudah tampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi
mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan
memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan sosial.
Secara logika, zakat terkesan memiliki tingakt korelasi yang negatif terhadap angka
konsumsi. Hal ini terjadi akibat perhatian bahasan zakat terfokus pada mekanisme
golongan masyarakat muzakki, padahal boleh jadi golongan yang sangat dominan dalam
berurusan dengan zakat adalah golongan mustahik, di mana angka konsumsi mereka
sangat bergantung pada distribusi zakat. Dengan kata lain, bahwa zakat memiliki korelasi
positif pada angka konsumsi.
Jika dianalisis lebih spesifik pada sisi mustahik, maka secara jelas bahwa zakat akan
meningkatkan agregat konsumsi dasar, yaitu akumulasi konsumsi pokok. Hal ini secara
logis terjadi akibat akomodasi sistem terhadap pelaku pasar yang tidak memiliki
kemampuan beli atau mereka yang tidak memiliki akses pada ekonomi. Sementara itu,
jika dilihat dari sisi muzakki, terkesan bahwa pengenaan zakat akan menekan jumlah
konsumsi agregat, karena zakat menurunkan jumlah pendapat yang dapat dikonsumsi.
Sehingga wajar jika ada yang berpendapat kalaupun kenaikan konsumsi golongan
mustahik akibat zakat dapa terjadi, namun kenaikan tersebut akan dinetralisir oleh
penurunan konsumsi golongan muzakki, sehingga agregat konsumsi relatif tidak berubah.

20
Perlu diingat bahwa kelebihan harta golongan mustahik memang punya potensi
untuk diterjemahkan menjadi konsumsi jika tidak terkena zakat. Namun, potensi untuk
menjadi konsumsi itu lebih besar jika kelebihan harta (berupa zakat) itu ada di tangan
golongan mustahik. Karena kelebihan harta di tangan golongan muzakki relatif untuk
pembelian barang-barang sekunder atau mewah, sementara jika harta tersebut di tangan
golongan mustahik, hampir pasti harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang
kebutuhan pokok.
Jadi jika dilihat dari potensi konsumsi yang akan terjadi, kelebihan harta berupa
zakat sangat efektif atau potensial sekali berada di tangan mustahik daripada muzakki.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat akan mempengaruhi konsumsi secara positif.
Selain itu, diharapkan sebenarnya dalam jangka panjang zakat akan meningkatkan
ekonomi dan meningkatkan pendapatan per kapita, sehingga kekhawatiran efek negatif
terhadap ekonomi sangat tidak beralasan.
Ada juga beberapa pakar yang berpendapatan bahwa zakat kemudian berpengaruh
positif pada MPC, namun hal ini di bantah karena ada asumsi bahwa perekonomian Islam
menganjurkan perilaku konsumsi yang berhemat dan tidak bermewah-mewah sehingga
MPC ada pada tingkat yang relatif rendah atau wajar. Mungkin selanjutnya ada pula yang
mempertanyakan, bagaimana mungkin zakat mampu meningkatkan demand, ketika
akhlak konsumsi menganjurkan untuk berkonsumsi secara hemat? Hal ini dijawab oleh
motivasi konsumsi dalam Islam tidak hanya digerakkan oleh keinginan atau kebutuhan
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tapi juga digerakkan oleh motivasi berbuat amal salih
(good deeds). Sehingga angka konsumsi tetap saja dapat meningkat, apalagi Islam
mensyaratkan zakat bagi para pelaku ekonomi yang berkecukupan. Dengan demikian,
sistem memaksa harta yang berlebihan (tertahan) pada sebagian orang tersebut berputar
di ekonomi melalui mekanisme zakat.
Jadi dapat dikatakan bahwa pembahasan zakat dan kaitannya dengan
makroekonomi tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama zakat sebagai variabel utama
untuk peningkatan sisi permintaan (demand side) dari sistem ekonomi. Ini juga yang
menjadi karakteristik lain dari perekonomian Islam, yaitu perhatian yang sama besar baik
pada sisi permintaan maupun sisi penawaran, berikut dengan kelengkapan instrumen-
instrumen yang dapat digunakan dalam memastikan keseimbangan diantara keduanya.

21
Peningkatan angka konsumsi ini selanjutnya secara keseluruhan (agregat)
mendorong peningkatan kinerja perekonomian yang otomatis mendukung pertumbuhan
dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian, benarlah apa yang sudah ditegaskan Allah
subhanahu wa ta’alaa dalam firman-Nya yang artinya : “…Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah
orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya” (QS. ar-Rum ayat 39).

c. Zakat dan Perilaku Produksi


Salah satu konsep penting dalam zakat adalah bahwa zakat tersebut akan
memelihara aktivitas perekonomian, yang pada dasarnya akan berpengaruh baik pada
konsumen maupun produsen. Pada sisi produksi, mekanisme zakat pada hakikatnya
menjaga transaksi di pasar agar barang hasil produksi terus dapat diserap oleh pasar.
Dengan prediksi fakta seperti ini, maka para produsen yang notabene sebagai
muzakki dalam mekanisme zakat, akan memastikan diri mereka selalu memberikan hak
kaum miskin berupa zakat. Dengan melakukan itu, berarti para produsen mendorong agar
permintaan meningkat akibat masuknya kelompok mustahik menjadi konsumen di pasar,
karena kini mustahik memiliki daya beli. Hal ini tentu saja sekaligus menjaga permintaan
pasar atas barang-barang hasil produksinya, dan kemudian secara jangka panjang akan
mampu mengembangkan usahanya pada tingkat lebih baik.
Lebih lanjut Monzer Kahf (1999) mengungkapkan bahwa zakat memiliki pengaruh
yang positif pada tingkat tabungan dan investasi. Peningkatan tingkat tabungan akibat
peningkatan pendapatan akan menyebabkan tingkat investasi juga meningkat. Metode
untuk menginvestasikan tabungan adalah qard al-hasan yang sangat dianjurkan oleh
Islam. Anjuran ini menjadi motivasi tersendiri bagi masyarakat muslim untuk
meminjamkan harta dan kekayaannya kepada produsen. Dengan cara ini, efisiensi
produksi dan kesejahteraan konsumen meningkat, kepuasan batin pemberi modal juga
meningkat. Tindakan ini merupakan kegiatan yang produktif mengingat tingkat return
yang tinggi. Bagi seorang muslim, memberikan qard al-hasan merupakan investasi
dengan return yang jelas dan aman.

22
Pemerintah pada masa awal Islam memberikan berbagai fasilitas yang berorientasi
pada investasi untuk memobilisasi dan utilisasi tabungan dengan cara :11
1) Menyediakan berbagai kemudahan untuk produsen memproduksi barang-
barangnya.
2) Memberikan keuntungan pajak bagi unit produksi baru. Metode perpajakan tidak
membahayakan insentif dan efisiensi aktivitas unit ekonomi karena penarikan
pajak dilakukan secara proporsional terhadap keuntungan, pendapatan sewa, dan
quasi rent yang diperoleh dari berbagai kegiatan ekonomi.
3) Meningkat efisiensi produksi sektor swasta dan peran serta masyarakat dan
berinvestasi. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan teknik produksi dan
keahlian baru kepada kaum muslimin.
Karena ada preseden bahwa zakat juga dikenakan pada tabungan yang mencapai
batas minimal terkena zakat (nishab). Dengan tujuan mempertahankan rasio tabungannya
maka tentu investasi menjadi salah satu jalan keluar bagi para muzakki, sehingga secara
otomatis meningkatkan angka investasi secara keseluruhan.
Di samping itu, Kahf juga mengungkapkan bahwa zakat cenderung menurunkan
rasio kredit macet, karena salah satu alokasi dana zakat adalah menolong orang-orang
yang terjebak utang. Sehingga secara riil zakat juga kemudian menekan tingkat
pengangguran. Dan menurut Kahf peningkatan jumlah tenaga kerja yang aktif di ekonomi
melalui dua mekanisme. Pertama, implementasi zakat itu sendiri membutuhkan tenaga
kerja dalam pengelolaannya. Kedua, perubahan golongan mustahik yang awalnya tidak
memiliki akses pada ekonomi menjadi golongan yang lebih baik secara ekonomi, tentu
saja meningkatkan angka partisipasi tenaga kerja.

d. Zakat dan Perilaku Sosial


Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan
si kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme
distribusi zakat yang melalui Baitul Mal. Kerelaan dan keikhlasan golongan kaya
(muzakki) dalam menyisihkan sebagian hartanya bagi saudaranya yang kurang mampu
(mustahik), memberikan suasana pergaulan sosial yang hangat dan terpelihara

11 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2008), h.172.

23
ketenangannya, sehingga tidak akan tercipta suasana yan kurang harmonis diantara
keduanya. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara kaya
dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku
negatif, akan dengan signifikan tereduksi. Dengan kata lain, zakat kemudian memiliki
korelasi yang positif dalam menekan baik gejolak sosial maupun gejala politik.12
Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat
Islam saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat
memperoleh jaminan tersebut. Hal ini telah tergambar dari perjanjian perdamaian untuk
penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu pada masa
pemerintahan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Dalam perjanjian
tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh Baitul Mal kepada setiap orang
tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir miskin dan dihapuskan kewajiban membayar
jizyah sepanjang ia tinggal di negara Islam.

e. Potensi dan Perkembangan Zakat


Zakat merupakan sebuah instrumen dalam ekonomi Islam yang menjadi ciri
khasnya atas sistem ekonomi lainnya. Zakat artinya kewajiban untuk menyisihkan
sebagian pendapatan atau harta seseorang yang syaratnya telah ditetapkan dalam Islam
dan diberikan kepada berbagai kategori masyarakat yang telah diatur pula dalam syariat
Islam. Kegiatan zakat memiliki tujuan utama jika dilihat dari sudut pandang sistem
ekonomi pasar yaitu mewujudkan pemerataan distribusi pendapatan. Hal ini tentu akan
berdampak pada terwujudnya stabilisasi kegiatan ekonomi.13
Secara ekonomi, pelaksanaan pemungutan zakat seharusnya dapat menghilangkan
perbedaan kekayaan yang menonjol, dapat menciptakan distribusi pendapatan yang
merata, meningkatkan konsumsi barang/jasa sebagai akibat meningkatnya pendapatan,
dan menurunkan tingkat pengangguran. Mendayagunakan produktivitas masyarakat dan
kemandiriannya melalui bantuan modal dapat menjadi peluang penciptaan lapangan
kerja. Selain itu, memaksimalkan zakat ini dapat pula membantu mengekang laju inflasi
sebuah negara. Fenomena perkembangan peredaran uang dalam negeri yang tidak

12 Solikin M Juhro dkk, Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 181.
13 Zulkifli Rusby, Ekonomi Islam (Pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017), h.11.

24
menentu, kekurangan barang, distribusi kekayaan yang tidak tepat sasaran dan tidak
merata juga menjadi penyebab timbulnya laju inflasi dan kehancuran pasar.

Gambar 1. Realisasi Pengumpulan Dana ZIS dan DSKL Nasional (2011-2021)

Sumber: Badan Amil Zakat Nasional

Di Indonesia, tercatat bahwa perolehan pengumpulan dana zakat pada tahun 2021 yang
diakumulasikan dengan dana sosial keagamaan lainnya adalah sebesar Rp 14 Triliun
melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Nilai tersebut meningkat 33,8%
dibandingkan pada tahun sebelumnya. Sumber utama kenaikan tersebut adalah dari
pembayaran zakat fitrah yang naik 20% dan zakat hewan kurban tumbuh 130%.
Walaupun, realisasi tersebut baru mencapai 4,28% dari proyeksi potensi zakat yang
mencapai Rp327 triliun pada tahun sebelumnya. Adapun pada tahun 2022, Badan Amil
Zakat Nasional menargetkan pengumpulan Zakat Infak Sedekah (ZIS) dan Dana sosial
keagamaan lain (DSKL) secara Nasional bisa mencapai Rp 26 triliun dengan target
penerima manfaat 57 juta jiwa.14 Jumlah pengumpulan dana zakat yang senantiasa
meningkat dari tahun ke tahun menunjukkan potensi zakat sangat baik sebagai instrumen
pemulihan ekonomi masyarakat.
Untuk memaksimalkan efektivitas zakat, beberapa ekonom Islam memberi
masukan bahwa zakat semestinya menjadi tambahan pendapatan permanen dengan syarat
hanya bagi masyarakat yang tidak mampu menghasilkan pendapatan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini dapat menjadi solusi atas kewajiban pemerintah
dalam mewujudkan penurunan angka kemiskinan. Bentuk lain yang bisa dilakukan dalam

14https://baznas.go.id/Press_Release/baca/BAZNAS_Targetkan_Pengumpulan_Zakat_Nasional_2022_Rp_26_Triliun

/954 diakses pada 30 Maret 2023.

25
pendayagunaan penyaluran zakat seperti menyediakan pelatihan dan modal unggulan,
agar mereka mampu membentuk usaha-usaha kecil sehingga dapat bekerja mandiri dalam
rangka memperbaiki taraf hidupnya.15
Mendayagunakan zakat ini sejalan dengan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia
2019-2024 yang dicanangkan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah
(KNEKS). Dalam Perpres KNEKS, mereka memberi rekomendasi empat strategi utama
mengembangkan ekonomi syariah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi
syariah global. Salah satu strateginya yaitu melalui penguatan usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM). UMKM adalah bagian yang terintegrasi dari dunia usaha,
merupakan kegiatan ekonomi kerakyatan yang memiliki kedudukan, peran dan potensi
vital untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi. UMKM berkontribusi sangat besar terhadap ekonomi Indonesia karena
potensinya tersebar ke berbagai pelosok daerah, merangkul dan menghidupkan
kemandirian masyarakat, sehingga kehidupan mereka dapat berkembang ke arah lebih
baik.16
Berdasarkan hasil penelitian Dewi Purwanti (2020), bahwa penyaluran Zakat Infak
dan Sedekah (ZIS) memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan ekonomi di
Indonesia. Peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,12 persen terjadi atas setiap
kenaikan 1 miliar rupiah zakat yang berhasil dihimpun dengan asumsi variabel lain
konstan. Pengaruh positif atas pendayagunaan zakat, infak, dan sedekah ini perlu
dukungan dari semua kalangan baik individu maupun lembaga/organisasi agar bisa
memberikan energi positif terhadap perekonomian Indonesia.17

f. Kedudukan dan Peran Zakat dalam Ekonomi Islam


Dalam konteks keseluruhan sistem ekonomi Islam, zakat memiliki peran sebagai
berikut.18
1) Memenuhi kebutuhan dasar masyarakat

15 Zulkifli Rusby, Ekonomi Islam (Pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI UIR, 2017)
16 Jaih Mubarok dkk, Ekonomi Syariah bagi Perguruan Tinggi Hukum Strata 1, (Jakarta: Departemen Ekonomi dan
Keuangan Syariah - Bank Indonesia, 2021), h.281.
17 Dewi Purwanti, Pengaruh Zakat, Infak, dan Sedekah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, Jurnal Ilmiah

Ekonomi Islam Vol 6 No. 1 2020.


18 Solikin M Juhro dkk, Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 183.

26
Antara lain untuk memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan dan pendidikan.
2) Mendukung kemandirian
Antara lain untuk melatih keterampilan kerja, mengatasi pengangguran dan
meningkatkan pendidikan atau keahlian (kompetensi) sehingga mampu bekerja
dan mendapatkan penghasilan.
3) Mendukung pengembangan ekonomi melalui dukungan bisnis pada level sosial
dan semi komersial
Antara lain untuk pengembangan kewirausahaan, memberikan modal usaha,
asistensi usaha dan penguatan usaha.
4) Memenuhi kebutuhan sekunder yang penting
Antara lain untuk melakukan pembelaan hukum, pelestarian lingkungan, dakwah
dan advokasi untuk mengurangi kemiskinan dan menolong orang miskin.
Fokus utama pemanfaatan zakat adalah ditujukan untuk mengatasi kemiskinan dan
membangun kemandirian kaum fakir dan miskin sehingga mereka dapat hidup layak.
Khusus dalam rangka pemberdayaan ekonomi, yaitu membantu kelompok usaha mikro
dan kecil, maka kedudukan zakat adalah menumbuhkan dan mendukung pengembangan
usaha mikro dan kecil terutama pada level sosial.
Gambar 2 Level Usaha dan Sumber Pendanannya

Level Sosial Level Semi Level Komersial


Komersial

- Zakat, Infak, - Wakaf; - Perbankan


Sedekah; - Corporate Syariah
- Wakaf; Social
- Corporate Responsibility;
Social - Dana
Responsibility; Pemerintah;
- Subsidi - Keuangan
Pemerintah Mikro Syariah

Dalam rangka mewujudkan upaya menjadikan zakat sebagai salah satu instrumen
penguatan ekonomi Islam, maka langkah-langkah yang bisa dilakukan, antara lain:

27
1) Menjadikan pembiayaan usaha dengan dana dari zakat, sebagai penciptaan
kerangka landasan bagi terciptanya pengusaha tangguh untuk mencapai level
skala komersial yaitu membangun kesiapan bertransaksi dengan perbankan
syariah.
2) Mendirikan dan mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti
koperasi syariah dan Baitul Mal wa Tamwil.
3) Menempatkan dana zakat sementara (sebelum disalurkan) di sektor keuangan
Islam untuk memperkuat likuiditas lembaga keuangan syariah.
4) Melakukan chanelling pembiayaan antara perbankan syariah, lembaga keuangan
mikro syariah dan organisasi komunitas pengusaha binaan organisasi pengelola
zakat (OPZ).
Perluasan peran lembaga keuangan syariah sebagai pengelola dana sosial Islam,
khusunya sebagai penghubung dalam penerimaan zakat.

g. Tantangan dan Hambatan Pengelolaan Zakat di Indonesia


Penghimpunan dana zakat dan pendayagunaan zakat akhir-akhir ini mengalami
perkembangan, dalam pendayagunaannya, zakat yang dulu hanya bersifat konsumtif,
saat ini cenderung produktif, seperti penggunaan untuk pengembangan dan
pemberdayaan UMKM. Sehingga zakat dapat meningkatkan pendapatan, profit, dan
konsumsi masyarakat. Namun, dibalik kemajuan tersebut, juga terdapat beberapa
permasalahan tentang zakat. Ada beberapa hal yang secara umum menjadi masalah
dalam pengumpulan zakat yang maksimal diantaranya: regulasi, ketidakpercayaan
muzakki terhadap lembaga pengelola, dan lain-lain. Adapun masalah-masalah yang
menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat antara lain:19
1) Masalah Regulator
Regulator zakat dinilai oleh kebanyakan orang sebagai lembaga yang paling
bermasalah dalam pengelolaan zakat nasional. Peran-peran yang seharusnya dapat
dilakukan regulator belum dijalankan dengan baik dan optimal. Seharusnya regulator
yang dalam hal ini adalah pemerintah pusat dapat melakukan: pembangunan sistem
jaringan dan membuat standardisasi pengelolaan zakat secara nasional dan

19 Faridatun Najiyah dkk, Manajemen Zakat di Indonesia (Tantangan dan Solusi), Insight Management Journal Vol 2
No. 2 Januari 2022: 45-53.

28
pengawasan pemerintah selaku regulator pengelolaan zakat, memberikan dukungan
dan fasilitas yang diperlukan dalam rangka implementasi undang-undang/peraturan
teknis yang dikeluarkan tentang pengelolaan zakat di tingkat pusat, merealisasikan
anggaran untuk operasional pengelolaan zakat bagi Badan Amil Zakat melalui
APBN, serta mengakomodir usulan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat
berkenaan dengan substansi amandemen undang-undang tentang pengelolaan zakat.
Adapun tantangan pengelolaan zakat terkait dengan masalah regulator ini di
antaranya adalah:
- Rendahnya koordinasi antara regulator dan OPZ. Hal ini merupakan kelemahan
utama dalam regulator zakat, Rendahnya peran Kemenag. Dalam hal ini
kurangnya perhatian Kemenag dalam melakukan fungsi pembinaan dan
pengawasan terhadap OPZ. Sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk
melakukan penataan dan akreditasi, Kementerian Agama terkesan lepas tanggung
jawab terhadap permasalahan zakat nasional dan menyerahkannya kepada
BAZNAS pusat.
- Zakat belum menjadi obligatory system. Zakat yang hanya diposisikan sebagai
kewajiban sukarela oleh negara (voluntary system) memiliki dampak buruk bagi
pengelolaan zakat nasional. Di antara dampak tidak diterapkannya kewajiban
berzakat bagi yang telah wajib zakat (obligatory system) adalah rendahnya
kesadaran berzakat masyarakat yang dalam hal ini adalah muzakki. Meskipun
telah memiliki pengetahuan tentang fikih zakat, muzakki cenderung tidak ingin
menunaikan zakat karena tidak ada sanksi (punishment) yang diterima bila tidak
bayar zakat.
2) Masalah OPZ
OPZ di indonesia telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam beberapa tahun
terakhir. Namun, sayangnya masih banyak hal yang menjadi tantangan dari OPZ
dalam pengelolaan zakat serta masalah system manajemen zakat yang belum terpadu.
Adapun tantangan- tantangan tersebut di antaranya adalah:
- Transparansi
Salah satu tantangan pengelolaan zakat dari segi OPZ adalah masalah
transparansi. Di mana permasalahan ini berdampak pada muzakki karena jika
prinsip transparansi tidak diberlakukan dalam pengelolaan zakat, maka muzakki

29
tentunya tidak akan serta merta untuk mempercayakan hartanya kepada lembaga-
lembaga pengelola zakat. Tantangan dalam hal ini dapat berupa tantangan dalam
hal keterbukaan informasi, komunikasi, dan anggaran dalam suatu OPZ.
Dalam hal ini, Lembaga pengelola zakat harus memiliki sifat amanah atau jujur.
Sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para
muzakki akan dengan rela menyerahkan zakatnya melalui lembaga pengelola
zakat, jika lembaga ini memang patut dan layak dipercaya. Keamanan ini
diwujudkan dalam bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan
laporan pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya
sejalan dengan ketentuan syariah islamiah.
- Akuntabilitas
Bagi muzakki adanya BAZ atau LAZ akan membantu menyalurkan zakat yang
wajib dikeluarkan kepada mustahik, dengan lebih mudah. Namun sebagian dari
muzakki (wajib zakat) masih meragukan keberadaan BAZ atau LAZ, dalam hal
pendistribusian zakat yang berhak, di samping banyaknya keinginan dari
muzakki untuk memberikan zakat secara langsung kepada yang berhak. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar muzakki masih menginginkan pengelolaan
zakat yang lebih baik, yaitu bahwa pengelolaan zakat harus memiliki
profesionalisme, transparansi dalam pelaporan dan penyaluran yang tepat
sasaran.
Sama halnya dengan permasalahan transparansi pengelolaan zakat, masalah
akuntabilitas juga kerap kali menjadi tantangan dalam pengelolaan zakat. Dalam
masalah akuntabilitas ini, lembaga pengelola zakat sangat dituntut untuk
pertanggungjawaban mengenai pengelolaan zakat. Masalah akuntabilitas di sini
adalah terkait dengan bagaimana OPZ itu mampu memberikan laporan
administrasi, pengumpulan serta pendistribusian zakat yang akuntabel dan
dikelola oleh para penagnggungjawab yang professional (Qardhawi, 2005).
- Sumber Daya Manusia
Seiring dengan pertumbuhan OPZ di Indonesia, yang menjadi tantangan
selanjutnya adalah OPZ ini tidak diimbangi dengan adanya pasokan sumber daya
amil yang professional atau minimnya sumber daya manusia yang berkualitas.
Adapun amil zakat adalah orang atau lembaga yang mendapatkan tugas untuk

30
mengambil, memungut, dan menerima zakat dari para muzakki, menjaga dan
memeliharanya untuk kemudian menyalurkannya kepada para mustahik.
Amil zakat yang saat ini ada menghadapi berbagai permasalahan lainnya, antara
lain:
• Minimnya kompetensi yang diakibatkan karena banyak di antara amil zakat
yang direkrut dari anggota masyarakat atau professional yang tidak memiliki
latar belakang pengetahuan atau keahlian tentang pengelolaan zakat.
• Minimnya pengembangan kualitas amil yang berakibat tidak seimbangnya
antara tantangan permasalahan dan tuntutan pelaksanaan tugas dengan
kemampuan amil.
- Sinergi tidak berjalan dengan baik
Sinergi antar OPZ adalah prioritas masalah pengelolaan zakat nasional di OPZ
terpenting. Kurangnya sinergi antar OPZ ini dikarenakan adanya egoisme
lembaga terutama pada OPZ besar. Setiap pengelola zakat memiliki masa lalu
yang panjang dan sulit. Saat ini adalah waktu di mana banyak pengelola zakat,
khususnya lembaga zakat, menikmati hasil dari perjuangannya di masa lampau.
Namun di saat hendak menikmati hasil dari perjuangan panjang tersebut, lahir
sebuah regulasi yang dianggap mengancam eksistensinya.
Kurangnya sinergi antarpengelola zakat sangat tampak pada kurangnya kerja
sama antar BAZNAS dan LAZ. Penyebabnya adalah egoisme yang muncul pada
kedua pihak pengelola zakat tersebut. Di satu sisi badan amil zakat menganggap
bahwa regulasi zakat yang baru, yakni Undang- Undang No. 23 tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat, merupakan undang-undang yang mengancam
eksistensinya. Itulah sebabnya sebagian lembaga zakat mengajukan review
supaya undang-undang tersebut dapat diperbaiki (Huda et al., 2015).
Seharusnya kondisi seperti ini tidak perlu terjadi mengingat seluruh pengelola
zakat pada hakikatnya adalah sebuah lembaga yang berorientasi pada
kemaslahatan umat, khususnya muzakki dan mustahik. Seharusnya persatuan
lebih diutamakan dibandingkan mengedepankan bendera organisasi.
3) Masalah Mustahik dan Muzakki
Selain tantangan yang berasal dari segi regulator dan OPZ, tantangan pengelolaan
zakat juga dapat berasal dari sisi mustahik dan muzakki sendiri. Adapun tantangan-

31
tantangan tersebut adalah sebagai berikut (Alam, 2018):
- Rendahnya kepercayaan terhadap OPZ dan regulator. Dalam hal ini, kredibilitas
OPZ sangat dibutuhkan untuk membangu kepercayaan masyarakat. Biasanya
para muzakki cenderung menyalurkan zakatnya langsung kepada mustahik tanpa
melalui lembaga zakat,karena merasa tidak percaya terhadap OPZ dan regulator.
Sebenarnya, penyaluran zakat yang langsung kepada mustahik boleh-boleh saja,
akan tetapi untuk lebih produktifnya ada baik jika seorang muzakki
membayarkan zakat melalui lembaga zakat, agar pendayagunaan dana zakatnya
bisa lebih terorganisir. Di sini juga dibutuhkan kesadaran OPZ untuk
meningkatkan kredibilitasnya sehingga kepercayaan masyarakat masyarakat
terhadap OPZ pun terbangun.
- Rendahnya kesadaran Muzakki. Tantangan pengelolaan zakat juga bersumber
dari rendahnya kesadaran muzakki untuk membayarkan zakat. Potensi zakat yang
terbilang cukup besar, tidak bisa dioptimalkan.
- Rendahnya pengetahuan muzakki akan fikih zakat. Pengetahuan muzakki tentang
fikih zakat juga menjadi tantangan pengelolaan zakat di Indonesia yang berakibat
pada rendahnya kesadaran untuk menunaikan zakat. Biasanya sebagian muzakki
memandang bahwa zakat hanya terbatas pada zakat fitrah, sebagian lain juga
masih menganggap bahwa zakat hanya dikeluarkan pada bulan Ramadhan, zakat
juga masih dipahami hanya sebagai ibadah ritual, padahal sesungguhnya zakat
merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki dimensi sosial (Huda et al.,
2015).

3. Implikasi Instrumen Fiskal Non-Zakat dalam Perekonomian


Instrumen-instrumen fiskal non zakat seperti kharaj, jizyah, infak, sedekah, dan
wakaf akan terlihat pengaruhnya dalam perekonomian melalui model konsumsi. Model
konsumsi umum makroekonomi adalah sebagai berikut.20

C = C0 + bYd

di mana,
b = MPC = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)

20 Solikin M Juhro dkk, Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 187.

32
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan

Konsumsi mustahik : C = Z = C0
Konsumsi muzakki : C0 + b(Y-Z)
Konsumsi mustahik muslim/non muslim :

C = Za = C0

di mana,
Za = Z + Kh + Jz
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan / harta bagi non muslim)

Dengan demikian, konsumsi muzakki non muslim :

C = C0 + b (Y – Kh – Jz)

Sementara itu, infak, sedekah, dan wakaf juga akan terlihat pengaruhnya dalam
perekonomian melalui perilaku konsumsi yang menggunakan model di bawah ini.

C = C0 + bYd

di mana,
jika b = MPC muzakki; c = MPC riil; d = MPC amal saleh, maka
C = C0 + (c +d) Yd
C = C0 + cYd + dYd

Berdasarkan model di atas, diketahui preferensi konsumsi (d) menggambarkan preferensi


beramal saleh yang dapat berupa infak, sedekah, atau wakaf.
Namun, pengeluaran individu berupa infak (In) dan sedekah (Sh) dalam model
konsumsinya memiliki implikasi pada penambahan belanja pemerintah (G) khususnya
untuk program-program poverty alleviation (belanja pemerintah untuk sosial – Gso).

G = Go + Gso; Gso = In + Sh
G = Go + In + Sh

33
Sementara untuk wakaf memiliki implikasi pada peningkatan investasi (I) khususnya
investasi-investasi yang bersifat sosial (Iso – investai yang berasal dari dana-dana wakaf).

I = Ip + Ig + Iso; Iso = Wq (wakaf)


I = Ip + Ig + Wq

Menggunakan argumentasi di atas, maka dengan mengakomodasi semua variabel


yang ada dalam perekonomian Islam, model makroekonomi Islam menjadi sebagai
berikut:
Y = Ci + Ck + I + G + (X - M)
Y = Co + b (Y – Za) + Co + I + G + (X – M)
Co = Za
Za = Z + Kh + Jz
Y = 2Za + bY – bZa + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
Y – bY = 2Za – bZa + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
Y(1 – b) = Za (2 – b) + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
Y = Za (2 – b) + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M) / (1 – b)
Y = {(Z + Kh + Jz) (2 – b)} + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M) / (1 – b)

Dengan asumsi bahwa 0<b<1; (1-b)>0; (2-b)>0, maka zakat (Z), kharaj (Kh), Jizyah (Jz),
Infak (In), sedekah (Sh) dan wakaf (Wq) memiliki korelasi yang positif terhadap Y.
Artinya, apabila semua instrumen tersebut meningkat, maka Y atau output/pendapatan
nasional juga akan meningkat. Model makroekonomi di atas sekaligus menjelaskan
model penghitungan output atau pendapatan nasional menggunakan pendekatan
pengeluaran.
Dari persamaan akhir ini ada sebuah kesimpulan yang khas dalam perekonomian
Islam, di mana unsur keimanan memiliki korelasi yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pertama, keimanan memastikan setiap muzakki akan membayar kewajibannya
berupa zakat, yang bermakna menghidupkan mekanisme zakat atau menyediakan
kemampuan beli bagi masyarakat mustahik. Kedua, keimanan akan memunculkan dana-
dana sosial yang dapat digunakan untuk program-program pengentasan kemiskinan atau
pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik yang mampu menekan biaya sosial

34
masyarakat bawah. Dengan demikian, keimanan memiliki peran yang tidak kalah penting
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.21
Oleh sebab itu, program-program pemeliharaan dan peningkatan keimanan oleh
pihak yang berwenang (dalam hal ini negara) harus pula menjadi perhatian. Sementara
itu, variabel-variabel yang memiliki korelasi cukup signifikan dengan keimanan tersebut
dapat menjadi indikator kondisi keimanan masyarakat secara umum. Dan jika parameter
kesuksesan sebuah pembangunan ekonomi mengakomodasi tingkat keimanan
masyarakat sebagai objek pembangunan, maka variabel-variabel seperti zakat (Z), MPC
amal saleh (d), Investasi sosial (Iso/Wakaf), belanja sosial pemerintah (Gso; In + Sh)
dapat digunakan.
Variabel-variabel tersebut dapat menjadi indikator kesuksesan ekonomi, baik
secara individual maupun secara akumulatif. Bahkan beberapa variabel dapat
divariasikan untuk mendapat ukuran-ukuran kemajuan ekonomi yang menggambarkan
tingkat keimanan masyarakatnya, seperti rasio pemungutan zakat terhadap muzakki, rasio
pendistribusian zakat terhadap mustahik, dan lain-lain. Mengakomodasi faktor keimanan
dalam pengukuran-pengukuran kemajuan ekonomi pada dasarnya memelihara proses
pembangunan manusia secara individu dan kolektif untuk selalu dekat dengan Allah
subhanahu wa ta’alaa, untuk selalu ada dalam keridhaan-Nya yang menciptakan alam
semesta dan segala kefitrahan kekuasaan-Nya.

4. Dampak Wakaf dalam Perekonomian


Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashi), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Tahbisul ashi adalah menahan barang yang
diwakafkan agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan
sejenisnya. Cara pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai kehendak wakif tanpa
imbalan.22
Wakaf terus mengalami perkembangan bersamaan dengan laju perubahan zaman
dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak atas
Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, saat ini wakaf kian

21 Ibid., h.189.
22 M.Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis, (Bandung: Pustaka Setia, 2017),
hlm. 407.

35
mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya. Pada saat
ini, wakaf mengalami perubahan paradigma yang cukup tajam. Perubahan paradigma ini,
terutama dalam pengelolaan wakaf yang ditujukan sebagai instrumen dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, dilakukan pendekatan bisnis
dan manajemen. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan wakaf produktif.
Wakaf merupakan hal yang sangat penting bagi perekonomian umat. Sejak
datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu adat kebiasaan setempat. Dalam sejarahnya,
wakaf pernah menjadi salah satu penopang penting kehidupan umat Islam. Wakaf pada
masa lalu umumnya berfungsi mendukung penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Bangunan dan tempat seprti mesjid, madrasah, pesantren, panti anak yatim, kuburan,
lapangan dan jalan adalah contoh keperluan masyarakat yang berasal dari wakaf.
Semua pola pengelolaan wakaf seperti disebut di atas adalah pola pengelolaan
wakaf konvensional. Yaitu pengelolaan wakaf yang berorientasi sosial, karena
penggunaan wakaf untuk keperluan masyarakat atau kepentingan publik secara langsung.
Pada model pengelolaan wakaf konvensional ini terjadi kebutuhan biaya untuk
pengelolaan operasional aset wakaf sehari-hari yang harus disubsidi dari dana lain
(seperti infak dan sedekah). Pada model pengelolaan wakaf sosial-konvensional ini tidak
terjadi proses dan manfaat ekonomi atas aset wakaf.23
Gambar 3 Dampak Wakaf Terhadap Perekonomian

Er = Ekspektasi
Keuntungan W0 W1

Ere

I = Investasi
I0 I1

23 Solikin M Juhro dkk, Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2019), h. 191.

36
Gambar di atas menunjukkan bagaimana wakaf sebagai investasi sosial akan
meningkatkan total investasi di perekonomian. Ketika preferensi masyarakat pemilik
harta meningkatkan wakafnya, maka total wakaf akan bergerak dari W0 ke W1 total
investasi bertambah sebesar I0I1. Uniknya pergerakan wakaf ini tidak dipengaruhi tingkat
ekspektasi (Er). Sementara investasi komersial, mungkin memiliki korelasi dengan
tingkat ekspektasi return. Karena memang wakaf bersifat sukarela di mana pergerakannya
dipengaruhi oleh tingkat keimanan masyarakat. Oleh sebab itu, pada tingkat tertentu
untuk meningkatkan investasi sosial ini, keimanan masyarakat memiliki peran yang
signifikan.
Model kedua dalam pengelolaan wakaf adalah ketika terjadi pengembangan wakaf
tunai (cash waqf) yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan dengan Social Investment Bank-
nya yang terkenal di Bangladesh. Di Indonesia, Cash Waqf ini kemudian populer dengan
istilah Wakaf Uang, yaitu upaya pengumpulan wakaf dalam bentuk uang yang
selanjutnya disimpan di lembaga keuangan syariah, dan umumnya disimpan dalam
bentuk deposito. Hasil investasi dari deposito ini kemudian digunakan untuk membiayai
kegiatan sosial, seperti membantu orang-orang miskin, membiayai operasional mesjid
atau operasional pesantren.
Pada model ketiga, pengelolaan wakaf menggunakan mekanisme wakaf produktif.
Salah satu kegunaan wakaf produktif yang potensial adalah untuk memfasilitasi
perkembangan sektor usaha mikro yang mempunyai peran penting dalam pertumbuhan
ekonomi, tenaga kerja, peningkatan produktivitas suatu komunitas dan stabilitas sosial.
Wakaf juga dapat mengurangi pengeluaran pemerintah dalam bidang pendidikan,
kesehatan dan sosial servis lainnya juga membantu distribusi kekayaan yang lebih baik
sehingga pendapatan masyarakat kelas bawah akan meningkat.
Pada model wakaf produktif, aset wakaf diperuntukkan bagi penyediaan aset
komersial untuk kegiatan bisnis atau investasi yang menghasilkan pendapatan atau
keuntungan. Untuk selanjutnya hasil pendapatan atau keuntungan ini dipergunakan untuk
membiayai kegiatan sosial seperti penyelenggaraan pendidikan di sebuah sekolah,
pelayanan kesehatan di rumah sakit atau klinik pengobatan, pemberian bantuan makanan
bagi para pengungsi, atau untuk menyantuni yatim piatu.
Aset wakaf yang bisa dijadikan sebagai investasi wakaf antara lain adalah ruko,
kios, pasar, area parkir, pabrik, lahan perkebunan, pohon tanaman kertas yang

37
menghasilkan dan masih banyak lainnya. Pada masa lalu mungkin banyak investasi wakaf
produktif ini yang belum dipraktikkan. Kini, selain aset wakaf produktif ini berguna
menghasilkan pendapatan atau keuntungan sosial, juga membuka lapangan kerja baru
bagi masyarakat.wakaf produktif memiliki multimanfaat, yaitu mengalirkan pahala
kepada wakif, memberi pekerjaan melalui kegiatan usaha, dan mendatangkan pendapatan
dalam rangka mensubsidi kegiatan sosial.

38
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fakta sejarah dinar dan dirham telah menunjukkan eksistensi dan esensi dari alat
transaksi tersebut dalam perekonomian. Dinar dan dirham membuktikan keunggulannya
sebagai alat transaksi dan manfaatnya untuk pertumbuhan ekonomi walaupun tidak
terlepas dari risiko-risiko kecil yang mendampinginya.
Ekonomi Islam juga hadir dengan berbagai instrumen keuangan publiknya yang
secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara mikro dan makro. Zakat,
infak, sedekah, dan wakaf memiliki peran dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
seperti pengentasan kemiskinan, pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik.
Sehingga variabel-variabel tersebut dapat menjadi indikator kesuksesan ekonomi jika
diterapkan dengan optimal, baik secara individual maupun secara akumulatif.

B. Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan terkait pembahasan pada makalah ini, seperti:
1. Pemerintah dapat mengkaji ulang konsep cadangan emas terhadap uang kertas
sebagai salah satu alternatif kebijakan moneter guna mengendalikan inflasi.
2. Pemerintah dan masyarakat harus secara aktif berpartisipasi dalam program zakat,
infak, dan sedekah. Instrumen-instrumen keuangan publik islam ini jika
diaplikasikan secara optimal akan memiliki dampak yang sangat positif terhadap
perekonomian negara.

39
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M Nur Rianto Al. 2017. Lembaga Keuangan Syariah: Suatu Kajian Teoritis Praktis.
Bandung: Pustaka Setia.

Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia.


https://baznas.go.id/Press_Release/baca/BAZNAS_Targetkan_Pengumpulan_Zak
at_Nasional_2022_Rp_26_Triliun/954 diakses pada 30 Maret 2023.

Huda, Nurul. 2008. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.

Juhro, Solikin M, dkk. 2019. Keuangan Publik dan Sosial Islam Teori dan Praktik.
Depok: Rajawali Press.

Karim, Adiwarman Azwar. 2008. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik


Indonesia. https://www.kemenkopmk.go.id/bansos-bantu-percepat-pemulihan-
ekonomi diakses pada 03 April 2023.

Mubarok, Jaih, dkk. 2021. Ekonomi Syariah bagi Perguruan Tinggi Hukum Strata 1.
Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia.

Muhammad. 2018. Ekonomi Moneter Islam. Yogyakarta: UII Press.

Najiyah, Faridatun, dkk. 2022. Manajemen Zakat di Indonesia (Tantangan dan Solusi),
Insight Management Journal Vol 2 No. 2: 45-53.

Purwanti, Dewi. 2020. Pengaruh Zakat, Infak, dan Sedekah terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol 6 No. 1.

Rusby, Zulkifli. 2017. Ekonomi Islam. Pekanbaru: Pusat Kajian Pendidikan Islam FAI
UIR.

40

Anda mungkin juga menyukai