Anda di halaman 1dari 370

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)


Kantor: Rektorat UNNES Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang 50229
Rektor: (024)8508081 Fax (024)8508082, Warek I: (024) 8508001 Website:
www.unnes.ac.id - E-mail: rektor@mail.unnes.ac.id

FORMULIR MUTU
BAHAN AJAR/DIKTAT

No. Dokumen No. Revisi Hal Tanggal Terbit


FM-01-AKD-07 02 i dari 243 27 Februari 2017

BAHAN AJAR
MATAKULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KODE MATA KULIAH 20U00001
2 SKS

Disusun Oleh:
Dr. Zaim Elmubarok, S.Ag., M.Ag. | Drs. Khamidun, M.Pd. | Dra. Anirotul Qoriah,
M.Pd. | Dr. Ali Sunarso, M.Pd. | Drs. A. Busyairi, M.Ag.

PUSAT PENGEMBANGAN KURIKULUM, INOVASI PEMBELAJARAN


MKU DAN MKDK
LEMBAGA PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DAN PROFESI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
DAFTAR ISI

Kata
Pengantar ................................................................................................................. v

Prakata
.......................................................................................................... vii

Daftar Isi
....................................................................................................... viii

BAB I AGAMA ISLAM ................................................................................... 1

A. Makna dan Ruang Lingkup .............................................. 1

B. Sumber Ajaran Islam ......................................................... 2

BAB II HAKIKAT MANUSIA MANURUT ISLAM ........................ 12

A. Konsep Manusia ................................................................ 12

B. Penyebutan Nama Manusia Dalam Alquran .................. 14

C. Asal-Usul Kejadian Manusia (Produksi


dan Reproduksi) .............................................................. 16

D. Hal-Hal Yang Berhubungan Dengan Manusia ............... 20

E. Eksistensi dan Martabat Manusia .................................... 30

F. Tanggungjawab Manusia Sebagai Hamba


dan Khalifah Allah ................................................................. 34

BAB III AQIDAH ............................................................... 38

A. Konsepsi Aqidah ............................................................... 38

B. Konsepsi Tauhid ................................................................ 45

BAB IV SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT ....................... 62

A. Syari’ah ............................................................................... 62
ii
B. Ibadah ................................................................................. 64

C. Muammalah ....................................................................... 65

D. Mengenal Mazhab Dalam Hukum Islam ........................ 67

E. Hak Asasi Manusia ........................................................... 74

F. Demokrasi .......................................................................... 81

G. Perubahan Hukum Islam .................................................. 85

BAB V ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN .......................................109

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan ................................................ 109

B. Kedudukan Wahyu, Dan Ilmu Pengetahuan Dalam

Pandangan Islam..................................................................... 111

C. Kewajiban Menuntut Ilmu Pengetahuan ....................... 114

D. Sekitar Sejarah Pertumbuhan Keilmuan Dalam Islam


115

E. Faktor Pendukung Berkembangnya Keilmuan Islam ....


120

F. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Islam ................. 123

G. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan Dalam Islam .....................125

H. Sebab-sebab Kemunduran Sain Dalam Islam.................. 129

I. Kaitan Ilmu, Etika, Iman, Dan Amal Shaleh ....................134

BAB VI AKHLAQ DALAM ISLAM .......................................................... 137

A. Konsep Akhlaq............................................................................. 137

iii
B. Akhlaq dan Aktualisasinya Dalam Kehidupan ............ 145

C. Toleransi Dalam Islam ........................................... 176

BAB VII WAWASAN ISLAM MODERAT ............................. 181

A. Islam Moderat ........................................................ 181

B. Akar Islam Moderat di Indonesia......................... 182

C. Miniatur Islam Moderat ...................................... 187

BAB VIII PERGAULAN DALAM ISLAM ...................... 191

A. Konsep Pergaulan Dalam Islam .......................................... 191

B. Etika Pergaulan Muda-Mudi ................................. 193

C. Munakahat................................................................ 204

iv
BAB I AGAMA ISLAM

A. Makna dan Ruang Lingkup Agama Islam


Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh dan taat
sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt. Kepatuhan dan ketundukan kepada
Allah Swt. tersebut melahirkan keselamatan dan kesejahteraan diri serta
kedamaian kepada sesama manusia dan lingkungannya.
Firman Allah Swt.
“(Tidak demikian) bahwa barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah
sedang ia berbuat kebajikan maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (Q.S. 2: 112).
Secara terminologis, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diberikan oleh Allah Swt. kepada masyarakat manusia melalui para
utusanNya. Jadi Islam adalah agama yang dibawa oleh para nabi pada setiap
zamannya yang berakhir dengan kenabian Muhammad saw.
Secara garis besar ruang lingkup agama Islam menyangkut tiga hal
pokok, yaitu:
1. Aspek keyakinan yang disebut aqidah, aspek credial atau keimanan
terhadap Allah Swt. dan semua ayat-ayat-Nya untuk diimani.
2. Aspek norma atau hukum yang disebut syari’ah, yaitu aturan-aturan
Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan
dengan sesama manusia maupun hubungannya dengan alam semesta.
3. Aspek perilaku yang disebut akhlaq, yaitu sikap-sikap atau perilaku yang
nampak dari pengejawantahan aqidah dan syari’ah.
Islam adalah sebuah agama suci dari Allah Swt. untuk seluruh ummat
manusia yang memiliki tugas sebagai berikut :
a. Mendatangkan perdamaian dunia dengan membentuk persaudaraan
diantara sekian agama di dunia,
b. Menghimpun segala kebenaran yang termuat dalam agama-agama
sebelumnya,
c. Membetulkan kesalahan-kesalahan dalam agama, menyaring mana yang
benar dan mana yang palsu,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 1


d. Mengajarkan kebenaran abadi yang sebelumnya tidak pernah diajarkan,
berhubung keadaan bangsa atau umat pada waktu itu masih dalam
tahap permulaan dari tingkat perkembangan mereka dan
e. Memenuhi segala kebutuhan moral dan rohani bagi umat manusia yang
selalu bergerak maju.

Terdapat beberapa peranan Agama Islam dalam Kehidupan


1) Menentramkan batin
Sesuai dengan asal katanya (salima), Islam berarti sejahtera. Dengan
demikian orang yang menjalankan Islam dengan sebenarnya akan dapat
menikmati kesejahteraan, akan mendapatkan ketentraman batin serta jauh
dari ketakutan dan kekhawatiran dalam menjalani kehidupan.
2) Sebagai landasan peradaban abadi
Islam datang memberikan landasan bagi terbentuknya sebuah
peradaban dengan semangat persatuan dan penghargaan kepada orang
lain yang dilandasi dengan keimanan sepenuhnya kepada Allah Swt.
Dengan landasan inilah sebuah peradaban bisa ditegakkan dan bisa
berdiri kokoh di tengah perubahan zaman yang selalu bergerak maju.
3) Sebagai kekuatan pemersatu.
Islam sebagai agama ‘rahmatan lil‘alamin’ bukan saja menciptaka kesatuan
antar bangsa-bangsa dalam batas wilayah tertentu saja melainkan
merupakan sebuah kekuatan yang mempersatukan seluruh bangsa tanpa
adanya batasan wilayah.
4) Sebagai kekuatan rohani
Islam adalah kekuatan rohani yang amat besar, karena telah mampu
membebaskan manusia dari kekuatan dirinya yang bersumber dari hawa
nafsunya.
5) Menjawab segala problem kehidupan
Islam menjadi pusat perhatian kaum ahli fikir, karena Islam bukan saja
merupakan kekuatan rohani terbesar dan yang memperadabkan
manusia di dunia, melainkan pula Islam memecahkan banyak persoalan
yang rumit-rumit yang pada dewasa ini dihadapi oleh manusia.

2 | AGAMA ISLAM |
B. Sumber Ajaran Islam
Pada hakikatnya, ajaran Islam itu hanya mempunyai satu sumber
hukum, yakni wahyu Ilahi. Selanjutnya wahyu Ilahi itu dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu: pertama, wahyu yang berupa Alquran, dan kedua,
berupa sunnah. Kedua sumber itu disebut sumber pokok.
Seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam serta
kompleksitasnya persoalan yang dihadapi umat mengakibatkan banyak
persoalan baru yang secara eksplisit belum ditetapkan oleh Alquran dan
AsSunnah, maka lahirlah sumber hukum tambahan berupa hasil Ijtihad.
1. Alquran a. Pengertian Alquran
Alquran berarti kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dengan bahasa Arab melalui malaikat Jibril, sebagai mu’jizat
dan argumentasi dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai pedoman
hidup untuk mencapai kedamaian dunia akhirat. Definisi di atas mengandung
beberapa kekhususan sebagai berikut.
1. Alquran sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Alquran adalah wahyu
Allah, tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran
Nabi Muhammad saw.
2. Alquran terhimpun dalam mushaf, artinya Alquran tidak mencakup
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang
kemudian disampaikan dalam bahasa nabi sendiri.
3. Alquran dinukil secara mutawatir, artinya Alquran disampaikan kepada
orang lain secara terus menerus oleh sekelompok orang yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan
berbeda-bedanya tempat tinggal mereka.

b. Nama-nama Alquran
Selain disebut Alquran, wahyu Allah ini juga diberi nama-nama lain
oleh Allah Swt. sebagai berikut :
1) Alkitab, berarti sesuatu yang ditulis yaitu kitab yang ditulis dalam
mushaf. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt.
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab
(Alquran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya” (Q.S. AlKahfi
: 1)
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 3
2) Al-Furqon, artinya sebagai pemisah (Al-Furqon: 1). Sebagai pedoman
hihup dan kehidupan manusia, Alquran menyajikan norma dan etika
secara jelas, tegas dan tuntas terutama dalam masalah kebaikan dan
keburukan, yang hak dengan yang batil.

3) Ar-Rahmah, yang berarti karunia (An-Naml: 77). Segala pemberian dari


Tuhan akan menjadi rahmat di dunia dan akhirat, ketika pemberian itu
diterima, dijalani, dan dikembangkan dengan landasan Alquran.
4) An-Nur, yang artinya cahaya (An-Nisa’: 174). Alquran memantulkan
cahaya Tuhan dan karenanya ia mampu menembus bungkus jasad
manusia dan menyinari rongga dadanya sehingga kegelapan menjadi
sirna. Pantulan cahaya Alquran ini terjadi jika manusia itu sendiri
sanggup merespons Alquran dengan baik.
5) Al-Huda, berarti petunjuk. (At-Taubah: 33). Nama ini menunjukkan
fungsi Alquran sebagai petunjuk yang hanya dengannya manusia dapat
memperoleh keridloannya.
6) Adz-Dzikra, artinya peringatan (Al-Hijr: 9). Yaitu kitab yang berisi
peringata Allah kepada manusia.

c.Cara Alquran Diturunkan


Alquran itu diturunkan sedikit demi sedikit, berangsur-angsur,
bukan sekaligus dalam satu`keseluruhannya.
Hikmah diturunkannya Alquran secara berangsur-angsur adalah
sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Swt. “Sedemikianlah (Kami
menurunkan dia berangsur-angsur) untuk Kami kuatkan dengan dia hati engkau”
(Q.S. 25 : 32). Dari ayat tersebut bisa dipahami bahwa yang demikian itu akan
meneguhkan hati bagi si penerima (Nabi saw.) karena diturunkan sesuai
dengan kejadian tertentu. Di samping itu agar Muhammad dapat
menghafalnya.

4 | AGAMA ISLAM |
d. Periode Turunnya Alquran
Pertama, Masa Nabi bermukim di Makkah, (Makiyah). Ayat-ayat yang
diturunkan di Makkah memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. ayatnya pendek-
pendek
b. mengandung soal tauhid, soal kepercayaan, adanya Allah, hal-hal
‘adzab dan nikmat dihari kemudian serta urusan-urusan kebaikan.
Kedua, Yang diturunkan sesudah di Madinah. Semua yang turun di
Madinah dinamai surat Madaniyyah. Ayat-ayat Madaniyyah memiliki ciri
diantaranya :
a. ayat-ayatnya panjang-panjang
b. berisi mengenai hukum yang jelas dan tegas kandungannya
c. kebanyakan permulaan firman Allah dimulai dengan : “Wahai orang
yang beriman”

e. Pokok-pokok Kandungan Alquran


a. Prinsip-prinsip keimanan,
b. Prinsip-prinsip syari’ah.
c. Janji dan ancaman.
d. Sejarah atau kisah-kisah masa lalu.
e. Ilmu pengetahuan.

f. Fungsi dan Peran Alquran


1) Alquran sebagai petunjuk bagi manusia
2) Alquran memberikan penjelasan terhadap segala sesuatu
3) Alquran Sebagai Penawar Jiwa yang Haus (Syifa)
Menurut Quraisy Shihab tujuan diturunkannya Alquran bisa
disarikan antara lain sebagai berikut.
a. Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik
serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak semata-mata sebagai
suatu konsep teologis, tetapi falsafah hidup dan kehidupan manusia.
b. Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa
umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat bekerja

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 5


sama dalam pengabdian kepada Allah Swt. dan pelaksanaan tugas
kekhalifahan.
c. Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan dan
penderitaan hidup serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang
sosial, ekonomi, politik dan juga agama.
d. Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan satu
peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan panduan dan
paduan nur Ilahi. Demikianlah kehadiran Alquran suci yang kalau
kandungannya diaktualisasikan dalam kehidupan nyata, dijamin oleh
Allah Swt. kedamaian dunia akan terwujud dan kebahagiaan akhirat akan
tercapai.
g. Penulisan Mushaf Alquran
Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat turun, Nabi saw.
lalu memanggil para sahabat yang dikenal pandai menulis untuk menulis
ayat-ayat yang baru saja diterimanya sambil menyampaikan tempat dan
urutan setiap ayat dalam suratnya.
Setelah Rasulullah saw., wafat maka amanat pembukuan Alquran
diserahkan kepada Zaid bin Tsabit.

h. Penafsiran Alquran
Pada saat Alquran diturunkan, Rasul saw. yang berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan), mengenai kandungan ayat-ayat Alquran,
terutama tentang ayat-ayat yang samar artinya. Turunnya Alquran secara
berangsur-angsur menunjukkan bukti bahwa ayat-ayatnya begitu
komunikatif dengan sasarannya, dan kalaupun para sahabat menemukan
kesulitan biasanya langsung bertanya kepada Rasul saw. Keadaan demikian
berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw. Namun perlu dicatat bahwa
tidak semua penjelasan tersebut kita ketahui, karena dua kemungkinan, yaitu
akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya, atau karena Rasul saw.
sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Alquran.

i. Metode-metode dalam penafsiran Alquran


1) Tafsir bil ma’tsur

6 | AGAMA ISLAM |
Metode ini menafsirkan ayat-ayat berdasarkan ayat Alquran dan
riwayat, baik hadis nabi maupun atsar sahabat. Penafsiran semacam ini
dilakukan oleh para ahli tafsir pada masa-masa awal penafsiran Alquran.
2) Tafsir bil ma’qul
Metode ini disebut juga tafsir bil-ra’yi, yaitu menafsirkan ayat
berdasarkan akal (rasio) atau dengan cara ijtihad.
3) Tafsir ijdiwad (campuran)
Yaitu sebuag metode penafsiran Alquran dengan memadukan antara
tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bil ma’qul.
4) Tafsir Tahlili
Metode ini adalah menafsirkan ayat secara berurutan dari surat pertama,
ayat pertama sampai surat terakhir, ayat yang terakhir. Pesan dan
kandungan ayat dijelaskan secara rinci dan luas mencakup aneka macam
persoalan yang muncul dalam pemikiran penafsir, baik yang
berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan ayat yang
ditafsirkannya.
5) Tafsir maudlu’i
Yaitu menafsirkan ayat berdasarkan tema yang telah ditetapkan. Tafsir
ini juga disebut tafsir tematik atau tauhidi. Dalam metode ini ayat
Alquran tidak ditafsirkan secara berurutan dari ayat ke ayat, melainkan
dicari ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang sedang dibahas.
6) Tafsir bil ilmi
Yaitu menafsirkan ayat dengan menggunakan pendekatan ilmu
pengetahuan. Ilmu dijadikan sudut pandang dalam menafsirkan Alquran
dan biasanya bersifat tematik. Misalnya menafsirkan ayat-ayat yang
berkaitan dengan proses kejadian manusia di dalam rahim (Q.S. Al-
Mukminun : 21-22) dengan sudut pandang ilmu kedokteran.

2. Sunnah dan Hadis


Dalam makna aslinya, sunnah berarti perbuatan nabi, sedangkan
hadis berarti laporan atau reportase dari kegiatan sunnah tersebut. a.
Kedudukan Hadis
Alquran menjelaskan pada diri nabi Muhammad terdapat uswah
hasanah (suri tauladan yang baik) yang berlaku sepanjang masa (Q.S AlAhzab
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 7
: 31). Pernyataan Quran ini jelas-jelas menyiratkan arti bahwa kaum muslimin
sejak awal telah memandang perilaku nabi sebagai suatu konsep prilaku.
Dengan demikian maka hadis menjadi prioritas kedua dalam pengambilan
hukum dan prilaku setelah Alquran b. Fungsi hadis terhadap Alquran
1) Menjelaskan Alquran
a) Memberikan rincian, yakni as-sunnah memberikan rincian terhadap ayat
Alquran yang masih bersifat global, seperti rincian tentang pelaksanaan
ibadah shalat, yang meliputi cara, sarat rukunnya, waktunya, jumlahnya
dan sebagainya.
b) Membatasi kemutlakan, yakni sunnah memberi penjelasan dengan
membatasi kemutlakan pengertian yang terkandung dalam redaksi ayat,
misalnya ketetapan Alquran mengenai wasiat :
“Diwajibkan kepada kamu apabila seorang diantara kamu telah kedatangan
tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah kepada
bapak, ibu dan karib kerabatnya secara ma’ruf, sebagai suatu hak atas orang yang
bertaqwa” (Qs.2: 180).
Dalam ayat tersebut wasiat itu diungkapkan secara mutlak (tanpa ada
batasan jumlahnya). As-sunnah membatasi banyaknya wasiat agar tidak
melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Hal ini terdapat
dalam sebuah hadis, ketika Sa’ad bin Abi Waqas ingin berwasiat dengan
2/3 dari kekayaannya, oleh Rasulullah dilarang, kemudian mengajukan
lagi ½-nya, tapi rasul juga menolak dan akhirnya dibolehkan 1/3-nya
saja (Bukhari dan Muslim).
c) Memberikan pengecualian terhadap pernyataan Qur’an yang masih
umum, misalnya Alquran mengharamkan bangkai dan darah dengan
firman-Nya :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, binatang yang
disembelih atas nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang
ditanduk, yang dimakan binatang buas, kecuali kamu sempat menyembelihnya,
dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi
nasib dengan anak panah, karena itu sebagai bentuk kefasikan” (QS. 5 : 3). As-
Sunnah memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan
jenis bangkai tertentu, bangkai ikan, belalang dan darah tertentu (hati
dan limpa) sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad, As-Syafi’I, Ibnu
Majah, Baihaqi dan Daruquthni).
8 | AGAMA ISLAM |
d) As-sunnah menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh
Alquran, misalnya :
“Rasulullah saw. melarang semua yang mempunyai taring dari binatang
dan dari semua burung yang bercakar” (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).

2) Macam-macam
hadis a)Hadis
Mutawatir
Hadis mutwatir adalah hadis yang diriwayatkan sejumlah orang yang
secara terus menerus tanpa putus danc secara adat para perawinya tidak
mungkin berbohong.

b) Hadis masyhur
Hadis masyhur adalah sebuah hadis yang diriwayatkan sejumlah orang
tetapi tidak mencapai derajat mutawatir
c) Hadis ahad
Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih, tetapi
tidak mencapai syarat masyhur dan mutawatir

Dari segi kualitasnya hadis terbagi menjadi :


a) Hadis Shahih, yaitu hadis yang sanadnya tidak terputus, diriwayatkan
oleh orang-orang yang adil, sempurna ingatannya, kuat hafalannya,
tidak cacad, dan tidak betentangan dengan dalil atau periwayatan yang
lebih kuat.
b) Hadis hasan, yaitu hadis yang memenuhi sarat hadis shahih tetapi
perawinya tidak kuat ingatannya atau kurang baik hafalannya.
c) Hadis dhaif, yaitu hadis yang tidak lengkap syaratnya, atau tidak
memenuhi persaratan sebagai hadis shshih dan hasan.

3) Kehujjahan Hadis
Para ulama sepakat bahwa hadis dha’if tidak boleh digunakan sebagai
dalil dalam menentukan hukum. Imam Bukhari dan Muslim sependapat
untuk tidak menggunakan hadis dha’if dalam bidang apapun: Nabi bersabda
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 9
“Barang siapa menceritakan sesuatu hal dari aku, padahal ia tahu bahwa itu bukan
hadisku, maka orang itu termasuk golongan pendusta (HR.
Bukhari Muslim).
Kriteria hadis palsu:
a. Jika hadis itu bertentangan dengan fakta sejarah
b. Jika sifat hadis itu mewajibkan kepada semua orang untuk
mengetahuinya dan mengamalkannya dan hadis itu diriwayatkan oleh
satu orang
c. Jika saat dan keadaan diriwayatkannya hadis itu membuktikan bahwa
hadis itu dibikin-bikin
d. Jika hadis itu bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan ajaran-
ajaran Islam yang terang
e. Jika hadis itu menguraikan sebuah peristiwa, yang jika peristiwa itu
sungguh-sungguh terjadi, niscaya peristiwa itu diketahui dan
diceritakan oleh orang banyak, padahal nyatanya, peristiwa itu tak
diriwayatkan oleh satu orang pun selain orang yang meriwayatkan hadis
itu.
f. Jika masalahnya atau kata-katanya rakik (artinya, tak sehat atau tak
benar); misalnya kata-katanya tak cocok dengan idiom bahasa Arab, atau
masalah yang dibicarakan tak pantas bagi martabat rasulullah.
g. Jika hadis itu berisi ancaman hukuman berat bagi perbuatan dosa biasa,
atau menjanjikan pahala besar bagi perbuatan baik yang tak seberapa.
h. Jika hadis itu menerangkan pemberian ganjaran oleh Nabi saw. dan
Rasul kepada orang yang berbuat baik.
i. Jika yang meriwayatkan hadis itu mengaku bahwa ia membuat-buat
hadis.

3. Ijtihad a. Pengertian
Ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan secara maksimal
dalam mengungkapkan kejelasan hukum Islam atau untuk menjawab dan
menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.
Obyek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam Alquran dan As-sunnah. Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian

10 | AGAMA ISLAM |
ilmiah karena itu bersifat relatif. Relatifitas ijtihad ini menjadikannya sebagai
sumber nilai yang bersifat dinamis. Pemutlakan terhadap produk ijtihad pada
haikatnya merupakanpengingkaran terhadap kemutlakan Allah, karena yang
sesungguhnya mutlak hanyalah Allah Swt.
Satu hal yang telah disepakati para ulama adalah bahwa ijtihad tidak
boleh merambah dimensi ibadah mahdlah.

b. Posisi Ijtihad dalam Syari’at Islam


Ijtihad menggunakan pertimbangan akal secara jelas diundangkan
dalam sebuah hadis, sebagai alat untuk mencapai keputusan, apabila tidak
ada petunjuk dalam Alquran maupun Al-Hadis. Hadis berikut dianggap
sebagai basis ijtihad dalam Islam. “Pada waktu Mu’adz bi Jabal ditetapkan
sebagai gubernur di Yaman, beliau ditanya oleh Nabi saw: ‘Bagaimana
engkasu akan mengadili, jika suatu perkara diajukan kepadamu, Mu’adz bin
Jabal menjawab : “Aku akan mengadili dengan undang-undang Qur’an”, tetapi
jika engkau tidak mnemukan suatu petunjuk dalam Alquran ? tanya Nabi saw.
“maka aku akan mengadili menurut sunnah Nabi, jawabnya.
Tetapi jika engkau tidak menemukan petunjuk dalam sunnah nabi? tanya
nabi, “maka aku akan menggunakan pertimbangan akalku (ajtahidu) dan
mengadili menurut itu”, jawabnya. Nabi saw. lalu menepuk lengan beliau
sambil berkata, “Maha suci kepunyaan Allah, yang telah memberi petunjuk kepada
utusannya, seperti yang Ia kehendaki” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

c. Syarat-syarat mujtahid
a Memiliki integritas keimanan yang kuat terhadap syariah Ilahiyah,
berkeyakinan teguh kepada kebenaran Islam dan mempunyai ketulusan
hati untuk merealisasikan tanpa mencampurasdukkan dengan sumber
yang selain Qur’an dan sunnah.
b Mengetahui isi Alquran dan Hadis yang berkenaan dengan hukum.
c Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai keilmuannya d Mengetahui
kaidah-kaidah ushuliyah yang luas, karena ilmu ini menjadi dasar
berijtihad
e Mengetahui produk-produk ijtihad (hukum) yang diwariskan oleh para ahli
terdahulu untuk melihat kesinambungan hukum, sebab munculnya
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 11
ijtihad baru bukan saja dimaksudkan untuk menghapus produk hukum
lama untuk diganti dengan yang baru.
f Mengetahui ilmu riwayah yang berkenaan dengan kaedah-kedah
kesahihan hadis
g Mengetahui rahasia-rahasia tasyri’, yaitu kaedah yang menerangkan
tujuan syara’ dalam meletakkan beban taklif kepada mukallaf.
Ijtihad pada masa sekarang tidak hanya dilakukan oleh ahli-ahli
agama yang memiliki syarat-syarat di atas melainkan melibatkan juga pakar
yang ahli dalam masalah yang sedang dibahas, sehingga persoalannya
(produk hukumnya) menjadi utuh dan menyeluruh baik dari aspek Qur’ani
maupun kauninya.

12 | AGAMA ISLAM |
BAB II
HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

A. Konsep Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang sangat istimewa, kedudukan dan
tingkatannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah
yang lain, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, bahkan malaikat. Keistimewaan
manusia dari makhluk Allah yang lain terletak pada hal-hal berikut:
1. Manusia memiliki bentuk atau postur dan struktur tubuh yang lebih baik
dan lebih cantik atau lebih tampan dari hewan. Dengan postur dan struktur
tubuh yang baik tersebut memungkinkan manusia mempunyai
kesanggupan dan kemampuan untuk mencapai dan memperoleh berbagai
kemajuan dalam hidupnya. Keunggulan postur dan struktur tubuh ini tela - h
difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Tin ayat 4 yang berbunyi: ٤ َ ‫لَقد‬
~ َ´
َ َ, َ َ- َ
َ -
َ
‫ف ََ أح َس َن‬ ‫خل ق نا ٱ َلََنس َن‬
‫م‬, ‫ت قو َي‬
Artinya: Sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya (QS 95: 4).

2. Manusia memiliki rohani atau jiwa yang sempurna. Jiwa manusia menurut
ahli ilmu jiwa mempunyai tiga daya yaitu daya cipta yang berpusat di akal
pikiran, daya rasa yang berpusat di hati, dan daya karsa atau kemauan yang
berpusat di hawa nafsu. Masing-masing daya mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Dengan daya cipta atau akal pikiran, manusia dapat
mengetahui benar dan salah, dapat menggali dan mempelajari ilmu
pengetahuan dan menghasilkan teknologi. Dengan daya rasa, manusia bisa
memilih dan menimbang baik dan buruk, indah dan tidak indah, patut dan
tidak patut dan sebagainya, sehingga lahir karya-karya manusia di bidang
kesenian. Dengan daya karsa atau hawa nafsu, manusia didorong atau
dimotifasi agar selalu berbuat sesuatu yang bersifat dinamis dan kreatif.
Prestasi manusia dalam berbagai bidang, seperti bidang keilmuan,
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 13
teknologi, kesenian, keolahragaan, dan sebagainya disebabkan adanya

14 | AGAMA ISLAM |
peranan dari daya karsa atau kemauan. Ketiga daya atau potensi (cipta, rasa,
dan karsa) tersebut bekerja secara kolektif sebagai satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Manusia tidak akan mampu menghasilkan suatu karya
ilmiah, tanpa peran perasaan dan kemauan. Demikian juga, manusia
mustahil bisa melahirkan karya-karya kesenian yang berkualitas tinggi
tanpa aktifnya fungsi akal dan kemauan.
Apabila dibandingkan dengan unsur jasmani, maka unsur rohani atau
jiwa lebih penting bagi manusia, sebab ia merupakan motor penggerak lahirnya
segala kreatifitas dan aktifitas hidup, kalau tidak, manusia akan statis, beku dan
tidak ada kemajuan. Oleh karena itu hewan yang tidak mempunyai unsur rohani
hidupnya statis.
Kedua unsur tersebut di atas, yakni postur dan struktur tubuh yang baik,
rohani atau jiwa yang sehat merupakan amanat atau titipan Allah dan akan
dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat. Bagaimana penerapan amanat
dalam kehidupan sehari-hari? Kedua unsur itu harus kita salurkan, arahkan dan
kendalikan sesuai dengan kehendak yang memberi amanat yakni sesuai dengan
kehendak Allah Swt.
Sebagai ilustrasi, misalnya mata (bagian dari unsur jasmani) merupakan
amanat atau titipan Allah, kita salurkan mata itu sesuai dengan fungsinya yakni
melihat; namun tidak semua yang ada di dunia ini kita lihat, kita arahkan mata
itu yakni melihat sesuatu yang dibenarkan oleh agama; walaupun demikian mata
masih harus kita kendalikan yakni tidak terus menerus kita fungsikan mata
tersebut karena ia mempunyai hak untuk istirahat. Demikian pula unsur tubuh
atau jasmani yang lain kita salurkan sesuai fungsinya, kita arahkan, dan kita
kendalikan.
Begitu pula unsur rohani atau jiwa (cipta, rasa, dan karsa) yang ada pada
diri kita merupakan amanat atau titipan Allah. Misalnya daya cipta, kita salurkan
sesuai dengan fungsinya yakni berfikir, namun tidak semuanya kita fikirkan, kita
arahkan daya cipta itu untuk berfikir yang positif dan dibenarkan oleh agama,
walaupun demikian, kita masih butuh mengendalikan daya cipta itu yakni tidak
semua yang ada itu kita pikirkan. Kita hanya diperbolehkan untuk memikirkan
sesuatu yang ada (semua ciptaan Allah) dan yang konkrit saja sedangkan yang
abstrak atau ghaib bukan lapangan daya cipta melainkan langan dari daya rasa

14 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


yakni hati nurani. Demikian pula unsur daya rasa, dan daya karsa kita salurkan,
arahkan dan kendalikan.
3. Manusia diberi beban atau amanat (tugas dan tanggung jawab) oleh Allah
sebagai khalifah di bumi yakni sebagai penguasa yang mengatur,
memakmurkan dan melestarikan bumi dan segala isinya dengan
sebaikbaiknya.
Sebagai pedoman dalam menjalankan tugas kekhalifahan, manusia
di samping diberi dan dibekali dengan potensi dasar sebagaimana tersebut
di atas Allah menurunkan wahyu atau agama melalui para Nabi dan Rasul
agar manusia dapat menjalankan pengabdiannya dengan sebaik-baiknya.

B. Penyebutan Nama Manusia dalam Alquran


Alquran menyebut dan mengundang manusia dengan tiga sebutan atau
nama yaitu:
1. Menggunakan kata al-Insan, atau al-Nas. Kata insan disebut dalam Alquran
sebanyak 65 kali, satu di antaranya surat Al-‘Alaq ayat 5 yang berbunyi:
Allamal insaana maa lam ya’lam (Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya). Konsep insan selalu dihubungkan pada sifat psikologis atau
spiritual manusia sebagai makhluk yang berfikir, diberi ilm, kreatif,
dinamis, dan terus bergerak menuju ke arah kesempurnaan. Kata al-Nas
disebut dalam Alquran sebanyak 240 kali, satu di antaranya surat Al-Zumar
ayat 27 yang berbunyi: walaqad dlarabna linnaasi fii haadzal quraani min kulli
matsal (Sesungguhnya Kami (Allah) buatkan bagi manusia dalam Alquran
ini setiap macam perumpamaan). Konsep al-Nas dipergunakan oleh
Alquran untuk menunjuk kepada semua manusia sebagai makhluk pribadi
dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
2. Menggunakan kata Basyar. Kata Basyar terambil dari akar kata yang pada
mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata
yang sama lahir kata Basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai Basyar
karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Alquran menggunakan kata Basyar sebanyak 37 kali, satu di
antaranya dalam surat Al-Kahfi ayat 110 yang berbunyi: innamaa ana
Basyarun mitslukum yuuhaa ilayya (Aku adalah Basyar ‘manusia’ seperti kamu
yang diberi wahyu). Kata ini untuk menunjuk manusia dari sudut

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 15


lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Di sisi lain,
banyak ayat-ayat Alquran yang menggunakan kata Basyar yang
mengisyaratkan bahwa proses k- ejadian manusia sebagai Basyar, melalui
tahap-tahap sehingga- mencapaiَtaَ
hap kedewasaan. Hal ini sebagaimana

surat Al٠٢
ََ َ 9
‫ون‬ ‫نت ش‬-Rum ayat 20 yang berbunyi: ‫و ََ َم ن‬
dalam

َ ََ r َ rr
ََ
9 َ َ
‫ ا أ ن‬- َ- ‫َذ‬- ‫َۦ أن ب ث م َ إ‬, ََ ‫ََ َه‬- َََ‫ت‬ ‫ءا ي‬
َ َ َ 9 َ 9 َ
َ
9 َ-
‫تم بش َ َ َ ت‬ ‫خلق َ كم من ت ر ا‬
Artinya: Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan
kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi Basyar kamu bertebaran
(QS 30: 20)

Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan


seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua hal ini tidak dilakukan oleh
manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung
jawab. Karena itu pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat
memperoleh anak padahal dia belum pernah disentuh oleh Basyar (manusia
dewasa yang mampu berhubungan seks).
Demikian terlihat Basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam
kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggung
jawab. Dan karena itu pula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada Basyar
(perhatikan QS 15: 28 dan QS 2: 30).
3. Menggunakan kata Bani Adam dan Zurriyat Adam
Kata Bani Adam terulang dalam Alquran sebanyak 6 kali, yakni
dalam surat Al-A’raf ayat 26, 27, 31, 35, 172, dan surat Al-Isra’ ayat 70.
Sedangkan kata Zurriyati Adam terulang dalam Alquran sebanyak dua kali,
yakni dalam surat Maryam ayat 58, dan surat Al-A’raf ayat 172.

16 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Penggunaan kedua kata ini dapat disimpulkan bahwa manusia
secara historisnya adalah keturunan Adam. Hal ini sebagaimana firman

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 17


Allah dalam surat Al-A’raf ayat 31 yang berbunyi:

18 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


-
َ َ
‫د‬, ‫كَ مسج‬ ‫ز َينتكم عند‬ ‫ءادمَ خذو‬ ََ ‫۞يبَ َن‬
َ ‫ا‬
‫وكوا‬
َ ََ َ
‫ولَ تسََ َفوَا‬ ‫وٱش َبوا‬
- - َ
9 ‫ب‬9‫َ َ ي‬ 9
‫َ َ ٱل‬ َ ‫َۥل‬ َ ‫إ َن‬
‫ه‬
٣١ ‫مَسَ َف َين‬9
Artinya: Hai anak Adam (manusia) pakailah pakaianmu yang indah disetiap memasuki
masjid, makan minumlah kamu, dan jangan berlebih-lebihan, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan (QS 7:
31)

Dan dari kedua kata ini pula dapat dipahami bahwa manusia secara
fitrahnya senang dan cinta kepada anak dan cucunya.

C. Asal-Usul Kejadian Manusia (Produksi dan Reproduksi)


Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama (Adam a.s.)
Alquran menunjuk kepada Sang Maha Pencipta dengan menggunakan kata
pengganti nama berbentuk tunggal, seperti firman Allah dalam surat Shad
ayat 71 berbunyi:
-
َ 9 َ َ- ‫َإذ قال رب‬
‫نط‬ ‫ش‬ َ ‫ل~ َ ك ََة خل ق‬ ‫ََل‬ َ
‫َلل‬,
َ -‫م‬
َ
‫َ ن‬
‫ي ن‬, َ
‫ب‬ ََ ‫َإ َ ن‬, َ, َ r ‫َمك ل‬
- َ َ
َ
‫َا‬ ََ,
١١
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 19
Artinya: Sesungguhnya Aku (Allah) akan menciptakan manusia dari tanah (QS 38: 71).

20 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Tetapi ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum (anak
keturunan Adam), Alquran menggunakan kata pengganti nama berbentuk ja- mak َ
َ َ
(naa), seperti firman A llah dalam su rat Al-Tin ayat 4 berbunyi: ٤ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ق‬‫ل‬ ‫خ‬ ‫لقد‬
َ َ ~
َ, َ َ
‫م‬, ‫ٱ َلََنس َن ف ََ أح َس َن ت قو َي‬
Artinya: Sesungguhnya Kami (Allah) telah menjadikan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (QS 95: 4).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 21


Perbedaan penggunaan kata pengganti nama yakni berbentuk tunggal
(nii), dan jamak (naa) menunjukkan perbedaan proses antara kejadian manusia
secara umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum
terjadi adalah atas kerjasama antara Allah dan kedua orang tua yakni ibu dan
bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk
fisik dan psikis anak. Sedangkan dalam penciptaan Adam a.s., tidak terdapat
keterlibatan pihak lain selain Allah Swt, termasuk keterlibatan ibu dan bapak.
Alquran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam a.s., yang
oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama. Dalam konteks proses kejadian
Adam a.s, Alquran hanya menginformasikan tentang bahan awal Adam a.s.
berasal dari tanah, bahan tersebut disempurnakan; setelah proses
penyempurnaan selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi. Perha tikan firman Allah
- َ
dalam surat Al٠٢
‫م‬ ‫َد‬ َ
- -‫ ل‬٠٢‫ون‬, ‫إ مسن‬, َ َ ‫ح‬Hijr ayat 28 –‫ا ع‬
ََ َ ‫ن‬
‫نن‬ ‫ن‬
-
َ َ َ
‫َۥص لس‬- َ ‫موا ل‬29‫ق‬ yang berbunyi
- - ‫ن َ َمن‬ ََ ‫فة َإ َي َه‬
َ َ َ َ
, ‫َ َجص‬ ‫َ َنن‬ َ َ َ ‫فش‬
9
َ َ ََ َ َ َ َ
َ rَ
‫ر لق‬ ‫خ‬: ‫~ل ك‬ ‫ر‬ ‫فإ َذ َ وإ ذا‬
9 - - -
َ
َ, َ r َ َ َ َ َ 9
َ‫َ بوح‬ ََ َ ‫ف َل َل‬ ‫هبۥ ك و‬
, ,
‫ل نل‬
22 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
‫ت‬ ََ
‫ او ل ت‬r ‫َمخقس‬
َ

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 23


Artinya: Dan ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya
Aku (Allah) akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari Lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabilaAku (Allah) telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, maka tunduklah kepadanya dengan bersujud (QS 15: 28 – 29).

Adapun asal usul kejadian Siti Hawa yang oleh kebanyakan ulama sebagai
isteri dari Adam a.s., para ulama merujuk pada firman Allah surat

24 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


r
ََ َ
‫م نف س‬ ‫يأََيها ٱلناس ٱتقوا ربكم ٱلََي خلقكم‬
‫ََن‬
‫و َح َد‬
‫ة‬ ,
َ ََ َ
‫ها‬ ََ
َ ‫ج‬ Al‫ ََ َمنها‬-Nisak ayat 1 yang ‫وخ ل ق‬
َ berbunyi: َ
َ َ ‫زو ََ وبث‬ َ
‫َم‬, 9 َ
-
َ‫ن ه ما‬

r
َ َ َ َ َ 9َ َ َ ‫ََ ل‬
َ
‫ا كث َ َ س َا‬
‫ل َ ل َ َ س َ َا‬
~ - - َo َ
‫ر َج‬
,
َ َ َ َ ‫ٱل‬ ‫ََ وٱتقوا‬ َ
‫َي ت‬ ‫َ َ ٱ‬r ‫يا ون‬
‫َءل‬- , ‫ ء‬c
َ
َ 9 ََ o
‫و ن‬ َ َ
-
َ َ َ َ ‫ك‬ َ َ َ- َ َ َ
١ ‫ع ل َ ي با‬ َ ‫بهۦ ٱو لَر ح َا ن َ ل‬
َ َ
‫ك َم رق‬ َ
َ ََ o
‫ٱل‬ ‫م‬
‫ن‬ - ‫إ‬ َ
َ
َ

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 25
kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya Allah menciptakan
pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan
perempuan yang banyak (QS 4: 1).

Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan Adam
a.s., seperti Jalaludin Al-Sayuthi, Ibnu Katsir, Al-Qyurthubi, Al-Biqa’i. dan

26 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


sebagainya. Sebagai konsekuensi dari pendapatnya itu maka kata zaujahaa yang
arti harfiahnya adalah “pasangannya”, mengacu kepada isteri Adam, yaitu Siti
Hawa.
Agaknya karena ayat di atas menerangkan bahwa pasangan tersebut
diciptakan dari nafs yang berarti Adam, maka isteri Adam diciptakan dari Adam
sendiri. Para mufassir seperti Imam Qurthubi berpendapat bahwa Siti Hawa
diciptakan oleh Allah berasal dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok.
Pandangannya ini agaknya disandarkan kepada sebuah Hadis Nabi yang
berbunyi:

Artinya: Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka
diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok (Hadis Riwayat Thurmudzi dari
Abu Hurairah).

Hadis di atas dipahami oleh kebanyakan ulama secara arti harfiahnya.


Namun ada pula para ulama yang memahami hadis di atas dengan arti secara
metaphor. Mereka berpendapat bahwa hadis di atas sebagai peringatan bagi

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 27


lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter,
dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, jika tidak disadari
akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak wajar. Mereka tidak
mampu mengubah karekter dan sifat bawaan perempuan, kalaupun mereka
berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk
yang bengkok.
Adapun asal usul kejadian manusia setelah Adam dan Hawa (anakcucu
keturunannya), Alquran menginformasikan, bahwa manusia diciptakan oleh
Allah berasal dari sari-pati tanah yakni sari makanan yang dimakan kedua orang
tua. Makanan apabila dimakan oleh bapak sari-patinya bernama sperma, dan
apabila dimakan oleh ibu bernama ovum. Apabila sperma dan ovum bertemu dan
disimpan di rahim ibu, maka ketika itulah berubah namanya menjadi nuthfah
(bibit). Kemudian proses selanjutnya setelah berumur 40 hari nuthfah akan
berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah); kemudian setelah berumur 80 hari
berubah menjadi mudhghah (segumpal daging); kemudian setelah berumur 120
hari (4 bulan) berubah menjadi janin yang berwujud manusia sempurna (terdiri
dari jasad dan ruh); dan setelah berumur 9 bulan 10 hari (kehamilan normal)
maka akan terjadi proses kelahirannya. Perhatikan kedua ayat Alquran dan
Had is Na bi b erikut ini:
َr َ َ ََ -َr َ
‫ ثم‬١٠ ‫ ََََََة من ط َن‬r‫ولقد خلقَنا ٱ َلََنسَن م ََن سلل‬
‫جع لنه‬
َ
‫ ث خ َ ل ق‬١٣ ‫َ ََ ق َر ََا ر َك ن‬
‫ن‬ ‫َن ط ف ة‬
‫نا‬ - َ ‫ف‬
‫م‬ ََ ‫م‬
9
َََ َ َ َ ََ ََ َ َ
‫ة َ فخ َ َ ل ق نا‬, ‫ٱلن طَ ف ة ع ل ق‬
َ َ r َ َ َََ َ َ َ ََ َ
َ َ
َ - ‫ك س ٱلع ظ‬- ‫ظ م‬ ‫ل ق نا غ‬- ‫ٱ لَع ل ق ة غ ة فخ‬
rَ َ
‫م‬ َ َ ََ َ- 9 َ ‫مض‬
َ ‫ون ا‬ َ‫ح‬ ‫ا ن‬ ‫َ لع‬
َ َ
‫س‬ ‫َ ف‬-
28 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
ََ ‫ٱل‬
‫ة‬ ‫م‬
r -
َ ‫ض‬
َ
َ - ‫َبا‬ ‫ٱل‬ ‫ر‬
‫أ‬ َ ‫ك‬
‫ف‬ ‫ت‬
َ

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 29


َ
o َ‫ءاخ َر‬ َ َ r َ َrَ
‫قاخ‬ َ‫ه‬ ‫م أ ن‬ ‫ل‬
َ
o -َ 9 َ-
َ ‫ل‬
‫ث َشأ ن‬ َ-
َ
َ&
‫َم‬
‫ا‬
- - r - r - r
َ
١٤ ‫َق ن‬ - ‫ٱ َلخ‬
َ, َ
َ َ َ‫ل‬
Artinya: Dan sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan manusia dari saripati
(berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan sari-pati itu mrnjadi nuthfah
yang disimpan di tempat yang kokoh (rahim). Kemudian Kami jadikan nuthfah
itu menjadi ‘alaqah (segumpal darah); lalu Kami jadikan segumpal darah itu
menjadi mudhghah (segumpal daging); kemudian Kami jadikan segumpal

30 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


daging itu menjadi janin yang sempurna (jiwa dan raga/tulang yang
dibungkus dengan daging). Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik (QS 23:
12-14)

Pada ayat lain Allah menjelaskan kelanjutan proses penciptaan


manusia m elalui rahim seorang ibu. Sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
َ-
َ
َ ََ 9 َ ‫ي ك‬ َ َ َ
‫ََن َ َن‬ َ‫خلق‬ ‫ش َ هۥ و ب‬ ََ َ َ َ ‫ٱل‬
َ
‫س‬
‫َمن‬, َ ‫ٱ‬ ََ َ َ َ ‫س‬ ‫أح‬
‫دأخ ل ق‬ َ ‫ن‬
‫َل‬ ‫ء‬
َ ‫ث‬ - ََ َ ‫ث‬ ‫ن‬
r - , َ
َ َ
‫وى‬ َ ‫م‬ ‫م‬ ‫س ل‬ ‫ل‬ ‫عل‬ ‫ط ن‬
َ
‫ه‬rَ ََ ‫َه‬ ََ َ ََ 9 ‫نج‬ ََ
٢‫م‬ َ, َ‫ۥ‬ ١‫م‬
‫ي‬
‫ن ءما‬ - ‫ه‬
9 ‫ن‬َ َ‫ل‬
‫س‬َ - r ‫منس‬
َ َ
r
- r
َ َ
-
َ
‫ة‬

َ َ َ ََ
‫خ رو َحه َۦو ج َعل‬ ‫ون ف‬
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 31
َ, ‫ف َيه‬
‫َمن‬,

32 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


& -
َ ََ
‫ل‬ ‫ل‬‫ٱ‬‫و‬ r ‫ٱ‬‫و‬ َ
‫ع‬ ‫س‬‫ل‬ ‫ٱ‬ 9َ‫ل‬
‫م‬
‫ َ ما‬o c َ ‫د‬ َ َ ‫ف‬ ‫ر‬- ‫ص‬ َ ‫ك‬
ََ o َ َ َ َ ‫م‬
‫ة‬ َ َ ‫لَ ب‬,
- َ
َ ‫ق‬
‫َل‬
‫َي‬, َ 9َ َ
٢ َ ‫تش َ ك رو َن‬
Artinya: Yang membuat segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah; kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (sperma), kemudian Ia menyempurnakan danmeniupkan
ke dalam tubuhnya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menganugerahkankepadamu
pendengaran, penglihatan dan hati, tetapi sedikit sekali kamu yang bersyukur
(QS 32: 7-9).

Proses reproduksi manusia sebagaimana tersebut di atas diperkuat oleh


sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang
berbunyi:

Artinya: Sesungguhnya setiap kamu dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya


selama 40 hari sebagai nuthfah, kemudian selama 40 hari dari lagi nuthfah
berubah menjadi ‘alaqah (segumpal darah); lalu dari ‘alaqah berubah menjadi
mudhghah (segumpal daging) juga selama 40 hari; kemudian diutus Malaikat

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 33


kepadanya, lalu Malaikat itu meniupkan ruh ke dalam tubuhnya (HR
Mutafaqqun ‘alaihi).

D. Hal-hal Yang Berhubungan dengan Manusia


1. Potensi Manusia
Alquran ketika membicarakan manusia, yang banyak dijelaskan adalah
sifat-sifat dan potensi yang melekat padanya. Dalam hal ini ditemukan banyak
ayat Alquran yang memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS 95: 4);
dan penegasan tentang dimuliakannya manusia di bandingkan dengan makhluk-
makhluk lainnya (Qs 17: 70). Di lain pihak Alquran memberi celaan kepada
manusia karena ia amat aniaya (dhalim) kepada dirinya dan kepada orang lain,
dan mengingkari nikmat (QS 14: 34), banyak membantah (QS 18: 54), dan bersifat
keluh kesah lagi kikir (QS 70: 19), dan sebagainya.
Hal ini bukan berarti bahwa ayat-ayat Alquran bertentangan satu dengan
lainnya, aka tetapi ayat-ayat tersebut menginformasikan beberapa kelemahan
manusia yang harus dihindarinya. Di samping menunjukkan bahwa manusia
mempunyai potensi/kecenderungan pada hal-hal yang baik dan buruk, manusia
juga bisa mencapai tempat yang terpuji manakala mereka mampu mendaya-
gunakan seluruh potensi yang ada dalam jiwanya, seperti daya cipta, rasa, dan
karsa (akal, hati, dan nafsu)-nya. Sebaliknya manusia bisa mencapai tempat yang
tercela (hina), manakala mereka tidak mampu mendaya-gunakan potensi yang
ada dalam jiwanya tersebut. Sebagaimana kita maklumi bahwa manusia terdiri
dari unsur jasmani dan rohani. Oleh karena itu manusia merupakan satu
kesatuan dari dua unsur pokok yang tidak dapat dipisah-pisahkan, karena bila
dipisah-pisah, maka mereka bukan manusia lagi.
Potensi manusia dijelaskan oleh Alquran antara lain melalui kisah Adam dan
Hawa dalam surat Al-Baqarah ayat 30-32 yang terjemahannya berbunyi:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “sesungguhnya Aku
(Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi”. Mereka(para Malaikat) berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi orang yang membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku (Allah)
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. Dan Dia mengajarkan kepada Adam

34 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada
para malaikat lalu berfirman: “sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu memang orangorang yang benar!”. Mereka menjawab: “Mahasuci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana” (QS 2: 30-32).

Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa sebelum kejadian


Adam, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung jawab
kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping jasmani dan ruh Ilahi,
manusia juga dianugerahi pula:
a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam. Dari sini
dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah
yang berkemampuan untuk menyusun konsep-konsep, mencipta,
mengembangkan, dan mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya.
Potensi ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya
merasa wajar untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka
bersedia sujud kepada Adam.
b. Pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan dan
kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya. Pengalaman di
surga adalah arah yang harus dituju dalam membangun dunia ini,
kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS 20:
116-119), sekaligus arah terakhir bagi kehidupannya di akhirat kelak.
Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat yang sangat fatal itu, adalah
pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia,
sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum masuk surga, yang
sudah masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
c. Petunjuk-petunjuk keagamaan. Walaupun manusia telah dibekali oleh Allah
dengan panca-indera yang sehat, daya cipta, rasa, dan karsa yang kuat dan
hebat, namun kesemuanya itu masih ada keterbatasan dan kelemahan, serta
kekurangannya. Kebenaran yang dihasilkan bagaimanapun akuratnya masih
bersifat nisbi dan relatif. Untuk mencapai kebenaran yang hakiki, manusia
masih memerlukan petunjuk dan bimbingan agama. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 147 yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 23


berbunyi:١٤١ ‫م‬ ‫ٱلَق َ َمن ر بكَ فلَ تكَونن‬
‫ن‬
َ
َ َ َ 9
‫ٱل مَ مت َ َي ن‬
Artinya: Kebenaran itu berasal dari Tuhanmu, oleh karena itu janganlah sekali-kali
kamu termasuk orang-orang yang bimbang dan ragu (QS 2: 147).

2. Fitrah Manusia
Secara etimologi, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathar yang berarti
belahan. Dari kata al-fathar memunculkan beberapa makna antara lain:
“penciptaan atau kejadian”. Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak awal
penciptaan atau bawaan sejak lahirnya.
Dalam Alquran kata al-fathar ini terulang sebanyak 28 kali. Namun yang
berhubungan dengan fitrah manusia sebanyak 14 kali, yakni dalam konteks
penciptaan manusia baik dari segi pengakuan bahwa penciptanya adalah Allah;
maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Pengertian yang terakhirَiniَ
berbunyi:
- -
ditemukan satu ayat yaitu pada surat Al-Rum ayat 30 yang َ ‫فأقم‬
َ َ
‫وجهك ل َ َل ََي َن حن َيفا فط َ َرت ٱللَََ ٱلت ََ فط َر ٱلناس‬
‫َيها‬- ‫عل‬
َ
َ ‫ل‬
‫َدي‬, ‫ت َب‬
‫ل‬
َ 9‫ن‬ َ ََ o َ َ َ َ
‫ََك َ ٱ َل ن ٱ لق‬- ‫ ذل‬- ََ َ َ َ َ ‫ل َ ََ لق ٱلل‬
r َ ََ o َ 9
‫َ و َن‬ َ ‫ي َم‬
24
‫لك‬ | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
- ‫ ن‬- -
ََ َ r َ َ
‫أك َث َ َ ٱل َ َا ل َ ي ع ل‬
َ- 9 ‫س‬
٣٢ ‫مو ن‬
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus, fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya (QS
30: 30).

Merujuk kepada kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik


kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya membawa potensi beragama
yang lurus, yang dipahami oleh para ulama sebagai agama tauhid.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 25


Fitrah dapat juga dipahami sebagai bagian dari penciptaan Allah. Kalau
kita memahami kata laa/ pada ayat tersebut yang berarti “tidak”, maka hal ini
berarti bahwa seseorang tidak dapat menghindar dari fitrahnya. Dalam konteks
ayat ini, ia berarti bahwa fitrah keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk
selama-lamanya, walaupun boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya.
Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas pada fitrah keagamaan?
Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak dalam bentuk pembatasan
tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan tentang
penciptaan potensi manusia, seperti firmanَ Allah dalam surat Ali Imran ayat 14
yang berbunyi: ‫س‬ ‫ن‬ ‫ل‬ ‫ٱ‬ ‫زس حب ٱل َه‬
ََ‫وٱل‬ َ ‫ت‬ ََ َ
َ ‫ي َن‬
َ ََ r ‫و‬ ‫َل‬
‫ن‬ َ, ‫ن‬ َ ‫َل‬,
‫ا‬ ‫َ ش‬ ‫َا‬, ‫ن‬
‫َم‬,
~
َ ‫ن‬
‫َء‬,
‫ن‬- ‫َ م‬ َ,
9 َ -
ََ َ َ
َ
, ‫َ قن‬- ‫ط لٱ م‬ ‫ق‬ َ‫َل‬, ‫وٱل‬ ‫ٱل َ َ هب وٱلف ض‬
َ
َ َ َ‫ط‬ َ َ-
‫ر‬ r َ
‫ي‬ َ
َ ‫َر‬, ‫ن َي‬
‫َ ة‬,
َ َ,
‫ٱو‬ ‫ة‬
‫ل‬

,
َ ‫ٱ‬ َ
‫و‬r َ ‫و‬ ‫ل‬‫ذ‬
9 rَ َ
َ- ‫ ع‬- ‫م ت‬ َ ‫ََك‬ ‫ل‬ َ َ ‫َر‬
26 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
-
ََ r َ
ََ َ
‫َم‬
َ ‫ٱلَ ََ َي‬ ‫ة‬ َ َ, َ
‫ث‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 27


r
َ
‫ع‬ َ َ ‫م‬9 ‫ٱل‬١٤
‫وٱ ل ن‬
‫َ م‬
‫و‬
,
َ
‫ة‬
‫َس‬
› r
ََ َ َ َ َ َ ََََ
َ‫ٱ ل ن يا ا وٱلل َ َ َ عن ده سن ٱل م‬
‫اب‬ ‫ۥح‬9

Artinya: Telah dihiasi kepada manusia kecenderungan hati kepada perempuan, (atau
lelaki), anak laki-laki (dan perempuan), serta harta yang banyak berupa emas,
perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang (QS 3: 14).

Dari pemahaman ayat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa fitrah


adalah bentuk dan system yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah
yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan jasmani, akal dan ruhnya.
Manusia berjalan dengan kakinya adalah fitrah jasadiahnya, sememntara
menarik kesimpulan melalui premis-premis adalah fitrah akliahnya. Senang
menerima nikmat dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.
3. Nafs Manusia
Kata nafs dalam Alquran mempunyai banyak makna, di antaranya
bermakna sebagai totalitas manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 32 yang berbunyi:

28 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


‫َ‬ ‫َ‬ ‫ذل ََك َ َ َ‬ ‫َ‬
‫ل َ بن َ َ َ ‪-‬ءيل‬ ‫ك ت ب نا‬ ‫َ َمن أج َ َل‬
‫‪9‬‬ ‫~ ‪ََ,‬‬ ‫‪-‬‬
‫َ َ‬ ‫َ ‪َ ََ r‬‬ ‫‪-‬‬ ‫َ َ‬
‫َ َ‬
‫َ‬ ‫س َ َ َ َ أن‬ ‫َ َ ع َ َ إ َ‬
‫ه َۥ‬ ‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫‪-‬‬ ‫َ َ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ض‬ ‫س َا س َ س َا ‪,‬د ف ََ‬ ‫من ق تل ن ف‬
‫َ‬ ‫ٱلَ َ‬ ‫َ َ‬ ‫بغ َ َ‬
‫فك ‪َ -‬أ‬ ‫ر‬ ‫َ‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫َ‬ ‫ي‬
‫ََ‬ ‫َ‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫‪-‬‬ ‫ف‬
‫ن َما‬ ‫ف‬ ‫َ‬
‫ن‬
‫َ‬
‫‪r -‬‬
‫ََ َ‬
‫أحيا ٱلنا س جَيعا‬ ‫قتل ٱلناس جََيعا ومن أحَياها فكَأنما‬

‫َ‬ ‫‪-‬‬
‫ََ‬ ‫َ‬ ‫ي‬ ‫‪َ 9‬‬ ‫‪9‬ه َ‬ ‫َ َ َ‬
‫هم ب ع د‬
‫‪9‬‬ ‫‪-‬إن كث‬ ‫‪,‬‬ ‫س َ لنا‬ ‫م‬ ‫و ل ق د‬
‫‪r‬‬ ‫َ‬ ‫‪-‬‬
‫َ َ ‪َ,‬‬ ‫َن‬
‫َت‬
‫َ‬ ‫م َ َ اي‬ ‫ب َٱلَ َ ‪r‬‬ ‫ر‬
‫من‬ ‫َ ‪9‬‬
‫َث‬ ‫َ ~َ ‪َ َ,‬‬
‫ء ت‬ ‫ج‬
‫ا‬
‫‪َ 9‬‬ ‫ض س‬ ‫فل َر‬ ‫ذل َ ك‬
‫ل‬
‫َ َف ن ‪٣٠‬‬ ‫َ ‪-‬‬
‫‪o‬‬ ‫َ‬
‫و‬ ‫‪9-‬م ‪َo‬‬ ‫َ ََ ََ‬
‫َ ََ‬ ‫ٱ‬
‫َ‬ ‫َ‬

‫‪Artinya: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu‬‬
‫| ‪| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‬‬ ‫‪29‬‬
(membunuh) orang lain, atau bukan kerena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (QS 5: 32).

30 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Juga dapat bermakna sesuatu yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam

‫ي َ َن‬ ‫ َ َ ت‬9 َ َ
َ
‫َ خلف َه‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ل َ َۥ م ع‬
َ َ َ َ ‫ب‬
‫ۦ‬ ‫َ ََ ي د َ ََ َمن‬
‫ي‬ ‫نب‬ ‫ق‬
َ, َ َ َ ‫ن‬ َ َ َ 9 َ
َ
َ ‫ن‬-Ra’d ayat 11 yang berbunyi:‫ََ إ‬ َ َ ‫ي َ َ ف ظ ون‬
ََ‫ل‬ ‫أ م‬ َ 9
‫َر ٱل‬, َ , ‫ۥ‬َ ‫ه‬
َ
‫م‬
- - - - r -
9 َ َ َ - َ َ َ
o َ
َ
‫َ يغ‬ َ ‫ غ ير ما ب ق َ حت‬surat Al‫ٱلل َ َ َ ل‬
‫َ ي َرَوا ما‬
َ ‫َو‬ ‫َي‬
9
َ„
‫م‬
- َ, َ
ََ َ ‫َو‬, َ َ َ َ َ ‫ س ه‬9َ
َ
‫فل‬
‫&َ م ر د‬ َ ‫َق‬- ‫ ل‬r - - ‫ب َأ ن ف‬
َ َ ‫ء‬ ‫َو م‬ َ َ َ َ
‫و إذا أراد‬ َ
, ‫َ َب‬ َ ‫م‬
َ‫ا‬ ‫ٱل‬ َ,
‫س‬
ََ,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 31


‫د‬ َ
- َ َ َ َ-
‫م‬ ‫ۥ و ما‬o
١١ ‫َل‬ ‫ا‬,‫ون َه و‬ َ ‫ل‬
َ,
َ‫َم‬, َ َ
‫ن‬ ‫ل‬ َ
َ
-
‫ۦ‬ ‫ن‬ َ 9
‫ه َم‬
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat, sehingga
mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka (QS 13: 11).

Secara umum dapat dikatakan bahwa nafs dalam konteks


pembicaraan tentang manusia, menunjuk kepada sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk.
Dalam pandangan Alquran, nafs diciptakan Allah dalam keadaan
sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat
kebaikan dan keburukan. Oleh sebab itulah sisi dalam manusia ini harus
mendapatkan perhatian yang lebih besar di banding sisi fisiknya. Hal ini
sebagaimana firman Alla- h dala- m s- urat Al-Sy- ams - a yat r 7 - – 8 yang berbun yi:
ََ َ َ َ rَ ََ َ ََ
‫ م ها‬- َ‫ه‬- ‫ أل‬- ‫ َف‬١ - ‫َه َا‬- ‫ى‬- ‫و ن فس و ما س و‬
َ rَ َ َ َ
٢ ‫فجور ه َا و ت ق وى ه َا‬
َ
Artnya: Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya
kefasikan dan ketakwaan (QS 91: 7-8).

Walaupun Alquran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan


negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif
manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat dari daya tarik kebaikan. Oleh karena itulah manusia dituntut agar
memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya. Hal ini sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-Syams ayat 9-10 yang berbunyi:
rَ َ َ
‫ه‬
‫َىس‬ ‫خاب من‬ ‫د‬
‫من وق‬ ‫ق دأ ف ح‬
r
َ
32 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
- -
ََ َ rَ َ َ ََ
‫د‬١٢ ‫ا‬ َ ‫ه‬ ‫ز ىك‬ َ
َ
٢ ‫ا‬ ‫ل‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 33


Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikannya an merugilah
orang-orang yang mengotorinya (QS 91: 9-10).

Alquran juga menginformasikan tentang keanekaragaman nafs serta


peringkat-peringkatnya, secara eksplisit disebutkan tentang
nafs allawwaamah, ammaarah, dan al-muthmainnah.
Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah yang
dapat menampung paling tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat

34 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dahulu apa yang
ada dalam wadah nafs-nya. Yang ada di dalam nafs antara lain adalah gagasan,
dan kemauan atau tekad untuk berubah.

4. Qalb Manusia
Kata qalb terambil dari akar kata qalaba yang bermakna membalik, karena
seringkali ia berbolak-balik, terkadang senang, dan terkadang susah, terkadang
setuju, dan terkadang menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten.
Alquran pun menggambarkan makna demikian yakni ada qalb yang baik dan ada
pula qalb yang buruk. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Qaf ayat 37
yang b un yi:
e َ َ
َ
rb
َ‫ل َم َن َن ََۥ قلبَ أو‬ ‫ذ ل لَكرى‬ ‫إن َف‬
‫ك ل‬
َ‫ألق‬ ‫ََََك‬ ََ َ ََ
َ

٣١ ‫َهيد‬, ‫ٱلسمع وهَو ش‬


Artinya: Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-
orang yang memiliki qalbu, atau yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi
saksi (QS 50: 37).

Dari ayat di atas, dan juga ayat-ayat lain tentang qalb terlihat bahwa qalb
adalah wadah dari pengajaran, kasih sayang, rasa takut, dan keimanan, serta
kekufuran. Dari isi qalb sebagaimana dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa
qalb menampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah
satu perbedaan antara qalb dengan nafs, yakni nafs menampung apa yang ada di
bawah sadar, dan atau sesuatu yang tidak diingat lagi.
Dari sini dapat dipahami mengapa yang
dituntut untuk dipertanggungjawabkan hanya isi qalb bukan isi
nafs. Hal ini sebagima na firman Allah - dalam surat Al- 225 ya9ng
َ َ
Baqarah ayat - َ - r - - -
َ- َ َ َ َ َ
- r -, َr r َ َ َ 9 َ َ َ ‫خذك ل‬9َ ‫ل َ يؤ َا‬
ََ َ َr ‫ف ََ أيمَ ن‬ ‫ب َٱللغو‬ ‫م ٱل‬
‫م‬beَrb‫ك‬
unَ
yiَ
:
32 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
‫ولكََن‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 33


َ 9 َ 9 ‫ َ َ َ ح يل‬9
‫ ي ؤ َا َخ ذ كم‬٠٠٢ َ َ َ َ ‫َ ل‬, َ َ َ 9
َ
َ ََ َ 9 ‫قلوبكم ََ وٱل‬
َ
‫ب َم َا كس بت‬ ‫م‬ ‫غ فو ر‬

Artinya: Allah menuntut tanggung jawab kamu menyangkut apa yang dilakukan oleh
qalbu kamu (QS 2: 225).

34 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Di sisi lain sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa nafs adalah
sisi dalam manusia, qalbu pun demikian, hanya saja qalb berada dalam satu kotak
tersendiri yang berada dalam kotak besar nafs. Dalam keadaannya sebagai kotak,
maka ia dapat d- iisi dan at- au d iam bil isin y a. Hal in i seba gaimana
َ r َ َ firm9an Allahَ َ َ َ
r َ َ
dalam surat ٤١ ‫َر‬ - ‫ عل‬-َ - ‫ و‬Al‫خ‬-‫إ‬Hijr ayat 47 yang
‫م‬
‫تق َغ‬9 َ َََ ‫ن‬
‫ا‬
9
‫َل‬, ََََََ‫ب‬ َ
‫َن س‬ ‫ي‬,
berbunyi: ‫َ من ل‬, ‫ف‬ ‫ونزع َن ا‬
َ َ, ‫ما صدور‬
َ ‫ه‬
‫م‬

Artinya: Kami (Allah) cabut apa yang terdapat dalam qalb mereka rasa iri, sehingga
mereka semua merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipandipan
(QS 15: 47).

Bahkan Alquran menggambarkan ada qalb yang disegel: Allah telah


mengunci mati qalb mereka (QS 2: 7), sehingga wajar jika Alquran menyatakan
bahwa ada kunci-kunci penutup qalb (QS 47: 24). Wadah qalb dapat diperbesar,
diperkecil, atau dipersempit. Ia diperbesar dengan amalamal kebaikan serta olah-
jiwa. Alquran menyatakan: mereka itulah yang diperluas qalbunya untuk menampung
takwa (QS 49: 3).
Membersihkan qalb, adalah salah satu cara untuk memperoleh
pengetahuan. Imam Al-Ghazali memberi contoh mengenai qalb sebagai wadah
pengetahuan serta cara mengisinya. “Kalau kita membayangkan satu kolam yang
digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air
sungai dari atas ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan
menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu dilakukan, maka air akan
mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih
dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam adalah qalb, air adalah pengetahuan,
34 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
sungai adalah panca indera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung
atau ditutup, selama tanah yang berada di kolam (qalb) dibersihkan agar air

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 35


(pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).

5. Ruh Manusia
Berbicara tentang ruh, Allah mengingatkan kita akan firman-Nya dalam
surat Al-Isra’ ayat 85 yang berbunyi:

36 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


9 9
َ ‫ن‬ َ َ َ َ َ ‫ ك‬9 َ َ
َ, ‫َل‬
9‫أوت‬ َ ‫ٱل ر‬ , ‫ٱل ر‬ -
‫ مأ َم ََ ب وما‬9 ‫ق‬z ‫سَ ل ون ََ ن‬ - ‫وي‬
‫َي‬, َ
َ
9 , ََ ‫و ح‬ ‫ع و ح‬ َ
‫تم‬ ‫رر‬ ََ
& َ
َ َ
٢٢ َ ‫ل َ َي‬ ََ ‫م‬
‫ل‬ - َ َ
‫ن‬
‫َ قل‬ ‫ٱل‬
َ
‫َعل م‬,
‫إ‬

Artinya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah, “Ruh adalah urusan
Tuhan-ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS 17: 85).

Apa yang dimaksud dengan pertanyaan tentang ruh di sini? Apakah


substansinya? Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau kesengsaraannya?
Tidak jelas. Selain itu, apa yang dimaksud dengan “Kamu tidak diberi ilmukecuali
sedikit”? Yang dimaksud dengan sedikit itu apa? Apakah yang berkaitandengan
ruh?; Apakah yang sedikit itu adalah ilmu pengetahuan kita dan sebagainya.
Yang menambah sulitnya persoalan adalah bahwa kata ruh terulang di
dalam Alquran sebanyak 24 kali dengan berbagai konteks dan berbagai makna.
Kata ruh yang berkaitan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-
macam, ada yang hanya dianugerahkan Allah kepada manusia pilihan-Nya (Qs
40: 15) yang dipahami sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang
dianugerahkan kepada orang-orang mukmin (QS 58: 22) yang dipahami sebagai
dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin, dan ada juga yang
dianugerahkan kepada seluruh manusia, seperti firman Allah yang terjemahnya
berbunyi: “Kemudian Kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku”.
Apakah ruh itu sama dengan nyawa? Ada pendapat yang mengatakan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 37
bahwa ruh dengan nyawa itu sama. Namun ada pula yang berpendapat
sebaliknya, karena dalam surat Al-Mukminun ayat 14 djelaskan bahwa dengan
ditiupkannya ruh maka menjadilah makhluk ini khalqan aakhar (makhluk unik)

38 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


yang berbeda dengan makhluk lain. Sedangkan nawa juga dimiliki oleh orang
utan, hewan dan sebagainya. Kalau demikian nyawa bukan unsur yang
menjadikan manusia makhluk yang unik.
Demikianlah terlihat bahwa Alquran berbicara tentang ruh dalam makna
yang beraneka raga, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya
apalagi berbicara tentang substansinya. Untuk sekedar mengenal ruh ada

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 39


baiknya mencermati sebuah hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai
berikut:

Artinya: Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisir, yang saling mengenal akan
bergabung, dan yang tidak saling mengenal akan berselisih (HR Bukhari).

Hadis di atas tidak membicarakan apa yang disebut ru itu. Ia hanya


mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, bahwa manusia mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu untuk menjawab berbagai
bentuk pertanyaan tentang ruh sebagaimana tersebut di atas, maka jawaban yang
paling aman adalah mengembalikan masalah itu kepada pemilik-Nya, bahwa
urusan ruh adalah urusan Allah.

6. Akal Manusia
Kata akal secara bahasa berarti tali pengikat, atau penghalang. Alquran
memaknai akal sebagai “sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang
terjerumus dalam kesalahan, atau dosa”. Dari konteks ayat-ayat Alquran yang
menggunakan kata akal dapat dipahami antara lain:
a. Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Hal ini

Artinya: sebaga imfi - rman Allah


َ ana dalam surat Al Demikian it
-َ َ- َ- َ ulah
9
َ َ ‫َقله َا إل‬, - ‫ع‬ -perumpamaan yang Kami ََ ‫َس‬
َ
- r - r - r
‫ ََ َمون‬rََ ََ ‫ٱل َعل‬
perumpamaan٤٣
r- َ َ 9
- ayat - 43 - berbunyi:‫نا‬
َ َ ‫ل َل‬ ‫ ه‬9 َ َ‫ث( ل َ نض‬Allah) berikan
َ
‫‘ و َما ي‬Ankabut ‫َا‬
َ
40 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 41
َ َ
‫وت َلَك ٱل ََ م‬

kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang


alim (berpengetahuan) (QS 29: 43).

Daya manusia dalam hal ini berbeda-beda. Hal ini diisyaratkan oleh
Alquran dengan menggunakan kata-kata sinonimnya di antaranya ulil albab,

42 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


nazhara, tafakur, tadabbur yang semuanya mengandung makna mengantar kepada
pengertian dan kemampuan pemahaman.
b. Dorongan moral. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-

9 r 9
‫ل‬g‫أ‬ bunyi:‫ك‬ ‫عل‬ َ َ ََ 9 ‫ت َعال‬
‫ك‬
- - ‫ر‬ -
ََ ber
َ‫ م‬zَ ََ 9 ‫ر ب‬
َ ‫أتل‬
‫ما‬ َ َ ‫۞قل‬
َ‫و‬
‫مح‬ o
َ َ
‫َم‬ ‫ا‬
z
ََ ََ َ
‫ب َٱ ل و َل‬- ‫ش ا و‬ An’am ayat 151 yan َ َ- ‫ش‬
َ ‫ت‬
َ r َ َ- ‫ه‬ َ 9

‫ۦ‬
َ‫َ َ َين‬ َ َ َ
- 9
َ ‫ب‬ َo َ
َ ‫كو ا‬

r َ َ
‫ََن قََ نََن نرَزقكم‬, ‫م‬ ‫إ َح سنا ولَ تقتلوا أولدَكم‬
‫إ َمَل‬
o
َ 9 ‫ول‬- َ َ َ 9 ‫ول‬- ‫َ ََ ه‬
َ َ ‫َه ن َ َ طن‬- ‫ش‬ - ََ o َ َ ‫وإي ا‬
‫ما‬
‫ما َر ها و ب َ تقتلوا‬
َ- - َ َ z
َ َr َ َ
‫َ م‬,
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 43
‫ظ‬ ‫تقربوا‬ ‫م‬
َ‫ٱلفو َح‬
-
- َr َ ‫ح‬ ََ, َ
‫ت‬ ‫ س‬r
‫رم‬ َ
‫ٱل‬

44 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


َ َr َ
‫ٱل ن ف‬ - -
9 َ َ ََ َ
‫ك‬ ‫ك ص‬ َ, ‫َ ق‬-‫ل‬ َ َ ‫َ إل‬ َ ‫ٱلل‬
‫َ ذ‬o َ
‫َم‬ r
َ
َ َ ََ َ 9 ََ َ
‫ ع‬9 ‫َۦ ل‬, ‫ه‬- َ ‫ب‬ َ ََ‫َ ل‬ َ ‫ب َٱ‬
َ
َ َ َ ََ
‫لك م‬ ‫ى‬ ‫ََ م و‬
r
-r
ََ

١٢١ َ 9 َ
‫ت ع َقل و ن‬
Artinya: …dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, baik yang nampak
atau tersembunyi, dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan sebab yang benar. Demikian itu diwasiatkan Allah kepadamu,
semoga kamu memiliki dorongan moral untuk meninggalkannya (QS 6: 151).

c. Daya untuk mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah. Daya ini
menggabungkan kedua daya di atas, sehingga ia mengandung daya
memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta dorongan moral
yang disertai dengan kematangan berpikir. Seseorang yang memiliki
dorongan moral boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan boleh
jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat, tidak memiliki
dorongan moral. Untuk maksud ini Alquran biasanya menggunakan kata

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 45


rusyd. Seseorang yang memiliki rusyd, maka dia telah menggabungkan
kedua keistimewaan tersebut.

E. Eksistensi dan Martabat Manusia 1. Tujuan Penciptaan Manusia


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah, mengabdi, dan
bersujud kepada Allah Swt. Pengertian menyembah, mengabdi, dan bersujud
kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit, dengan hanya membayangkan
aspek ritual yang tercemin dalam pelaksanaan shalat, puasa, haji, zakat saja;
tetapi juga menyangkut aspek sosial, seperti menolong orang lain yang dalam
sesusahan dsb. Menyembah dan mengabdi kepada Allah berarti kepatuhan dan
ketundukan manusia pada hukum Allah dalam menjalankan kehidupan di muka
bumi, baik yang menyangkut hubungan vertikal atau hablun minallah (hubungan
manusia dengan Allah) maupun horizontal atau hablun minannas (hubungan
manusia dengan manusia lain dan alam semesta).
Penyembahan dan pengabdian manusia pada Allah lebih mencerminkan
kebutuhan manusia terhadap terwujudnya sebuah kehidupan dengan tatanan
yang baik dan adil. Oleh karena itu penyembahan dan pengabdian harus
dilakukan secara sukarela (ikhlash), karena Allah tidak membutuhkan
sedikitpun pada manusia termasuk ritualritual penyembahannya. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-

9 َ َ َ َ َ
٢٥ ‫ب‬ ‫َ ل‬ َ ‫إل‬ َ‫وٱ َل‬ َ ‫و َ ما‬
َ
: ‫ََع‬ ‫س‬ َ
9 ‫َن‬
‫م ا‬ ‫دو َن‬ ‫خ لق ت‬
‫ٱ َلَن‬
َ 9
ayat 56‫ما‬ ‫و‬ ‫ من ر َزق‬-‫م‬58‫ ه‬yang berbunyi‫أ ر َي ن‬
َ, ~َ
َ Zariyat 9
‫د َ َم‬
-
‫ذ‬ َ َ َ َ
‫َ زاق‬ ‫َ َر و‬ َ ‫ه‬ ‫َو ٱل‬ َ َ ‫ٱلل‬ ‫ إن‬٢١ ‫َع َن‬
42 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
َ 9
‫مو‬9 ‫أري د‬
‫أن‬
‫ي‬
‫ط‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 43


r
َ ََ 9َ
٢٢ ‫ٱ ل ق و َة ٱل مَت َين‬ َ
Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat
kokoh (QS 51: 56 – 58).

44 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


َ َ َ َ 99 َ َ 9 ََ
-B ayyinah ayat 5 berbunyi: َََ‫َ َ عبدوا ٱلل‬- ‫ل‬ َ ‫و م ا أَ م‬
َ o َ~, َ 9
ََ َ ‫ل‬ ‫ر وا إ‬
~ - -
َ, َ َ َ َ َ 99
fi‫ء‬ r‫ا‬man Allah dalam -‫َ َ ٱ‬ ‫م َ َلص ََين ل‬
‫َل‬,
surat Al‫ف‬
َ
‫نن‬
‫ن‬
‫ح‬
َ 9 9
-
َ ‫ ٱل صل‬Dan juga‫مو ا‬
‫و ي َقي‬
- -
َ َ
‫و َ ة‬r
- o َ´
‫ك‬ َ َ َ
َ - ‫ل‬‫ذ‬‫و‬ ‫ة‬ ‫ويؤتوا‬
٢ ‫دن ٱلق ي َم َ َة‬
َ o ‫ٱلزكو‬
ََ َ ََ, َ
‫ي‬ َ
o
َ r-
َ
Artinya: Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus
dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang
demikian itulah agama yang lurus (QS 98: 5).

Penyembahan dan pengabdian yang sempurna dan tulus dari seorang


manusia akan menjadikan dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi yang
bertugas untuk mengelola, memakmurkan, dan melestarikan bumi beserta segala
isinya, termasuk alam semesta. Keseimbangan alam semesta dapat terjaga dan
44 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
terpelihara dengan hukum-hukum alam (sunnatullah) yang kokoh.
Keseimbangan pada kehidupan manusia dapat terjaga dan terpelihara dengan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 45


tegaknya hukum-hukum kemanusiaan yang telah Allah tetapkan. Kekacauan
kehidupan manusia, tidak hanya sekedar akan menghancurkan tatanan
kehidupan manusia, tetapi juga dapat menghancurkan bagian-bagian alam
semesta yang lain.

2. Fungsi dan Peranan Manusia


Masalah fungsi dan peranan manusia harus bertolak dari firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 30 – 33 yang berbunyi:
“Ingatlah ketika Allah berfirman kapada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
(Allah) hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka (para
malaikat) berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan, dan suka menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku Mengetahui apa yang tidak

46 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


kamu ketahui”. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang
orang-orang yang benar”. Mereka (Malaikat) menjawab: “Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau
ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda ini”, Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-
nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Aku katakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan
mengetahui apa yang kamu tampakkan dan apa yang kamu sembunyikan”.

Bertitik tolak dari firman Allah sebagaimana tersebut di atas, maka


peranan dan fungsi manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah. Jaka khalifah
diartikan sebagai makhluk penerus ajaran Allah, maka peran yang dilakukan
manusia adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan sekaligus menjadi pelopordalam
membumikan dan membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembumian
dan pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut untuk memulai dari dirinya
sendiri, sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi: ibda’ binafsika (mulailah dari
dirimu sendiri); kemudian ditularkan kepada keluarganya. Setelah dirinya dan
keluarganya memahami dan mau melaksanakan dan membudayakan ajaran
Allah, kemudian ia menyampaikannya kepada orang lain yakni kepada
masyarakat sekitarnya. Adapun peran yang harus dilakukan seorang khalifah
sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah, di antaranya ialah:
a) Belajar; yakni mempelajari segala sesuatu yang tersurat di dalam ayatayat
Alquran dan segala sesuatu yang tercipta pada semesta alam. Hal ini
sebagimana firman Allah dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 47


‫س‬ َ َ َ َ ‫ر‬ ََ َ َ
َ‫ن‬ ‫ٱل َ َ خلق َ خلق َ ََن‬ ‫ٱ ق ر أ َٱ َم‬
َ َ
‫َ َمن‬ ‫ل‬ ١ َ َ ‫ب س بك‬
‫َي‬
‫ٱ‬
r
ََ َ ََ ٣ َ َ berbunyi:‫و‬ ٠ َ
َ
‫بٱ ل ق ل ع ل م‬ َ َ ‫َ َ ٱل ك ر‬ َ ‫عل ق َ ٱق‬
9
َ
َ - َ ‫ٱل‬ ‫ر ب‬
٤ ‫َم‬r- َ ‫مك‬9
ََ ‫َأ‬
‫ر‬
‫ع لَم‬ ‫َي‬

َ َ َ ‫ما‬ ‫س‬
٢ َ ‫عل م‬ ‫ي‬ ََ ‫ٱ َل‬
َ
‫ل م‬ َ َ ‫ن‬
- ‫ن‬
َ
َ

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan; Dia


menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah, dan Tuhanmu yang
paling pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena; Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (QS 96: 1-5).

Dari ayat Alquran sebagaimana tersebut di atas dapat dipahami bahwa


obyek belajar adalah ilmu Allah yang berwujud Alquran, dan segala ciptaan-
Nya yang ada di alam semesta ini.
b) Mengajarkan ilmu. Ilmu yang diajarkan oleh khalifatullah ialah ilmu hasil
analisa dan penelitian manusia dan juga ilmu yang terdapat dalam Alquran.
Dengan kata lain obyek pengajaran adalah alam semesta yakni yang tercipta
atau al-Kaun, dan juga ilmu yang tersurat yakni firman Allah yang terdapat
48 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
dalam Alquran. Alquran adalah aturan hidup dan kehidupan manusia serta
segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia.
c) Membudayakan ilmu. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 49


Mukmin ayat 35 yang terjemahannya berbunyi: “Amat besar murka Allah
bagi mereka yang mengetahui sesuatu tetapi mereka tidak mau
melaksanakan” (QS 40 : 35). Dari ayat Alquran sebagaimana tersebut di atas
dapat dipahami bahwa ilmu Allah yang telah diketahui bukan hanya untuk
disampaikan kepada orang lain, tetapi yang utama adalah untuk diamalkan
oleh diri sendiri terlebih dahulu sehingga membudaya. Kemudian setelah
diri sendiri mengamalkan lalu ilmu itu disampaikan atau diajarkan kepada
keluarganya, kemudian kepada teman dekatnya, dan baru kepada khalayak
ramai atau orang lain. Proses pembudayaan ilmu Allah berjalan seperti
proses pembentukan kepribadian dan proses iman. Mengetahui, mau, dan
melaksanakan apa yang diketahui. Mengetahui berawal dari perkenalan,

50 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


mau bermula dari studi, dan melaksanakan bermula dari latihan. Wujud
pembudayaan ilmu Allah adalah tercapainya situasi dan kondisi pola hidup
dan kehidupan yang ideal yakni pola hidup sebagaimana yang dicontohkan
oleh nabi Muhammad saw. Dengan demikian, sunnah rasul merupakan
contoh perwujudan pembudayaan ilmu Allah.
Memperhatikan prinsip-prinsip di atas, maka sebagai seorang khalifah, apa
yang diketahui dan diyakini kebenarannya tidak boleh hanya untuk
kepentingan diri pribadi, dan dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri
saja, tetapi juga harus dipertanggungjawabkan kepada Allah dan kepada
masyarakat.
Bertanggungjawab pada dirinya sendiri berarti tanggung jawab manusia
terhadap pengambangan kapasitas potensial dan riil manusia yakni
mempelajari fitrah manusia dan kekuatannya serta manfaat bagi manusia
lain dan lingkungannya.
Bertanggungjawab kepada Allah berarti bahwa cipta, rasa, dan karsa yang
terdapat pada dirinya itu merupakan amanat yang harus ditunaikan sesuai
dengan kehendak yang memberi amanat, yakni seluruh potensi manusia itu
harus disalurkan, diarahkan dan dikendalikan.
Bertanggungjawab kepada masyarakat berarti bahwa dirinya tidak lepas
dari keberadaannya sebagai anggota masyarakat, yakni saling bantu-
membantu, tolong-menolong terhadap hal-hal yang baik, dan saling asah,
saling asih, dan saling asuh agar masing-masing menyadari akan
keberadaan dirinya sebagai anggota masyarakat.
Dengan menyadari adanya pertanggungjawaban kepada ketiga hal tersebut
(tanggung jawab kepada dirinya, Allah, dan masyarakatnya), maka fungsi
dan peran manusia sebagai khalifatullah dapat berjalan dengan baik.

F. Tanggungjawab Manusia Sebagai Hamba dan Khalifah Allah 1.


Tanggungjawab Manusia sebagai ‘Abdullah (Hamba Allah)
Makna kata ‘abd (hamba) dari segi kebahasaan berarti: ketaatan,
kepatuhan, ketundukan. Ketiga makna itu hanya layak diberikan kepada Allah
Swt Yang Maha Pencipta. Dalam hubungannya dengan Tuhan, manusia
menempati posisi sebagai ciptaan dan Tuhan sebagai Pencipta. Posisi ini
memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia menghambakan diri pada

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 51


Allah dan dilarang menghamba pada dirinya, serta menghamba pada hawa
nafsunya. Kesediaan manusia untuk menghamba hanya pada Allah dengan
sepenuh hatinya, akan mencegah penghambaan manusia terhadap manusia, baik
terhadap dirina, maupun terhadap sesamanya.
Tanggung jawab ‘abdullah terhadap dirinya adalah memelihara iman
yang telah bersemi di dalam jiwanya; karena iman yang bersemi di dalam
dadanya bersifat fluktuatif (pasang-surut/naik-turun). Ia bisa bertambah
kuat/menebal, dan juga bisa berkurang/menipis. Iman semakin bertambah jika
amal salehnya juga bertambah, dan iman berkurang, apabila amal salehnya
menurun.
Seorang hamba Allah juga mempunyai tanggung jawab terhadap
keluarganya. Tanggung jawab terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggung
jawab terhadap dirinya sendiri, karena memelihara iman keluarga berkaitan erat
dengan memelihara iman terhadap dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana firman Allah
dalam Alquran yang terjemahannya berbunyi: “Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”. Sebagai realisasi memelihara iman keluarga yakni menyuruh
mereka berbuat kebaikan, dan mencegah mereka agar tidak melakukan kejahatan.
Seorang hamba Allah juga diperintah untuk berlaku adil dan berbuat
ihsan baik terhadap dirinya, keluarganya, maupun terhadap orang lain. Oleh
karena itu, tanggungjawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik
terhadap diri sendiri, terhadap keluarga, maupun terhadap orang lain. Dengan
berpegang dan berpedoman kepada ajaran Allah, seorang hamba Allah berupaya
sekuat tenaga mencegah kekejian moral dan kemunkaran yang mengancam
dirinya, keluarganya, dan orang lain. Oleh karena itu, hamba Allah harus
senantiasa melaksanakan dan menegakkan shalat dalam rangka menghindarkan
diri dari kekejian dan kemunkaran. Hal ini

52 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


َ ‫َ ك‬ ََ 9
-Ankabut ayat 45 yang berbunyi: ‫ت‬ ‫ن‬ َ ‫م اأ‬ َ ‫ٱت ل‬
َ, َ -
‫ٱل‬ َ َ ‫وح‬9
, َ, َ
‫َك‬, َ
َ
‫م‬ ‫إ‬
‫َل‬,

- َ -
َ ‫َ َن‬ َ ‫وأق م صل‬ r َ
sebagaimana firman ‫َ صل‬ ‫ن‬ ‫إ‬ ََ ‫ب‬
‫ع َن‬ - ‫ ت‬- - َ
َ r َ r ‫ٱل‬ َ r ‫ََ ٱل‬
َ ‫َ ه‬- ‫و‬ َ ‫و‬
-َ -
َ َ
َ ‫ة‬ ‫ة‬

- ~
َ َr 9 َ َ َ
َ ‫و َل‬ َ ‫ م‬pelakunya dari ‫وٱل‬ ‫ف‬ Allah dalam surat Al
َ َ- َ َ, ‫َء‬,
َ َ
‫َر َ َ ك‬, ‫ٱ حشا‬
‫نك‬
‫ر‬9 ََ
‫ل‬

- - َ
َ َ- ‫ي‬ َ َ
‫َ ََ أ ك ب َ وٱل‬
َ
Artinya: ٤٢ ‫ص مات َ ن‬ َ ‫ل‬ r َ
‫َعل‬ r

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 53


‫ٱلل‬
َ 9 ‫م‬9- ََ
ََ, َ
‫عو ن‬ َ -
َ ََ
َ
َ

54 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah

perbuatan keji dan munkar…(QS 29 : 45).

Di samping itu, sebagian dari hanba Allah ada yang menyediakan diri
untuk senantiasa mengajak orang lain untuk berbuat makruf dan mencegah
kemunkaran. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Ali

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 55


َ َ َ‫ٱل‬ r َ
‫إ ل‬ َ َ ََ 9 ‫ول‬
َ
‫رو‬9 ‫ي ر ويأ‬
َ, ‫ي دن‬ ‫م‬ ‫َ ََن‬9 ‫َك‬
َ َ- ‫عو‬
َ 9 َ
‫ن‬
‫نم‬ َ َ-
َ َ ‫ك َم‬
َ ‫ةأ‬ ‫م‬
- َ 9 َ
َ
‫َن‬ ‫م‬9 ‫ ٱل‬I‫ َن‬mran ayat 104 yang ‫ب َٱل مع روف وينَه‬
‫ك‬r
َ berbunyi: ‫ع‬
َ
‫َر‬, ‫ن‬ ‫و‬
ََ
ََ
َ
-
9 َ ‫م‬9 ‫ ٱل‬9‫ك م‬- َ َ- o
١٢٤ ‫َفل‬ َ َ ‫وأ و ل‬
‫َو‬
‫ه‬ r
‫َ نح‬ َ
َ, َ
َ

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar;
merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3: 104).

Demikianlah tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa taat, patuh,


dan tunduk terhadap ajaran Allah yang digariskan oleh sunnah Nabi Muhammad
saw.

2. Tanggungjawab Manusia sebagai Khalifah Allah


Manusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat dari Allah Swt
56 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang diemban

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 57


manusia di muka bumi adalah tugas kekhalifahan, yakni tugas kepemimpinan,
wakil Allah di muka bumi, serta pengelolaan, pemakmuran, pemeliharaan, dan
pelestarian alam semesta.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan.
Manusia menjadi khalifah memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi serta melestarikannya agar tetap makmur.
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya mengolah dan mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk
kepentingan hidupnya.
Sebagai wakil Allah, Allah mengajarkan kepada manusia kebenaran
dalam segala ciptaan-Nya dan melalui pemahaman serta penguasaan terhadap
hukum-hukum alam yang terkandung dalam ciptaan-Nya, manusia dapat
menyusun konsep baru, serta melakukan rekayasa membentuk wujud baru
dalam kebudayaan.

58 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih
dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis.
Adanya kebebasan manusia di muka bumi adalah karena kedudukannya sebagai
pemimpin, sehingga pemimpin tidak tunduk kepada siapa pun, kecuali kepada
yang di atas yang memberikan kepemimpinan yakni Allah Swt. Oleh karena itu,
kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah,
sehingga kebebasan yang dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak
sewenang-wenang. Kebebasan manusia dengan kekhalifahannya merupakan
implementasi dari ketaatan, kepatuhan, dan ketundukannya. Ia tidak tunduk
kepada siapa pun, kecuali kepada Allah, karena ia hamba Allah yang hanya
tunduk dan taat serta patuh kepada Allah dan kebenaran.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Allah dibatasi oleh aturan-aturan dan
ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-
hukum Allah baik yang tertulis dalam kitab suci Alquran maupun yang tersirat
dalam kandungan alam semesta. Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan
yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kepercayaan yang diwakilinya.
Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan
kewenangannya di hadapan yang diwakilinya. Hal ini sebagaimana firman Allah
dalam surat Fathir ayat 39 yang berbunyi:
َ- َ- َ- ََ ‫لَ ض‬ ََ ََ َ َ َ َ
‫َ من ك ف ر‬ َ َ ‫ف‬ ‫ف‬- َ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ك‬ ‫ل‬ َ َ ‫ل‬ ‫ه وٱ‬
, ‫ََ ر‬ َ r - -
o َ َ
‫ف‬
َ َ
َ
َ
‫ٱ‬
َ َ ‫خج ع‬ ‫َي‬
ََ
َ

- َ 9 َ ََ
َ َ َ 9 9 َ َ
‫د ر به َم َ م ق‬ ‫ه‬ ‫َي د‬ ‫ي‬ َ ‫ل‬ 9 ‫ف ع ل يه ره‬
‫َز‬,
‫ل‬ َ
َ َ ‫إ‬ ‫ َ عن‬9 َََ
‫َ تا‬ ‫م‬ َ r ََ‫ٱ ل ك ف‬ ‫ۥ و‬
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 59
َ َ - r - َ
‫ََ ََ ر ََين‬
‫ا‬ ‫ك فر‬ َ ‫كف‬

60 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |


- -
َ 9 ‫َي‬ َ َ
٣٢ ‫د رب ه ََ َم‬ ‫ه‬ َ ‫ول َ ي‬
‫د‬9 ‫َز‬
‫عن‬ َ 9 َََ
‫َ م‬
‫ََََ َر ََين‬r ََ‫ٱ ل ك ف‬
‫ك‬
‫ف‬
َ
‫ر‬

Artinya: Dialah (Allah) yang menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Barang siapa yang
kafir, maka akibat kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-
orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi
Tuhannya, dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan
menambah kerugian mereka belaka (QS 35: 39).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 61


62 | HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM |
BAB III
AQIDAH
A. Konsepsi Aqidah
1. Pengertian Aqidah.

Secara etimologis, aqidah berarti berakar dari kata ‘aqada-ya’qidu-


‘aqidatan. Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk
menjadi ‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi antara arti kata '‘aqdan dan '‘aqidah
berarti keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat
dan mengandung perjanjian.
Secara terminologis, terdapat beberapa definisi ‘aqidah antara lain:
Menurut Hassan al-Banna dalam kitab Majmu’ al-Rasail:
“Aqa’id (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa menjadi
keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan”.

Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jazairy dalam kitab Aqidah


alMukmin :
“Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
(aksioma) oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu
dipatrikan di dalam hati serta diyakini kesalihan dan keberadannya secara
pasti dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”.

Dari dua definisi diatas terdapat beberapa hal yang mesti


diperhatikan secara seksama agar mendapat pemahaman yang proporsional.
Pertama, setiap manusia memiliki fitrah mengakui kebenaran, indera untuk
mencari kebenaran, akal untuk menguji kebenaran dan wahyu untuk menjadi
pedoman dalam menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Dalam
beraqidah hendaknya manusia menempatkan fungsi masingmasing
instrumen tersebut pada posisi yang sebenarnya.
Kedua, keyakinan yang kokoh itu mengandaikan terbebas dari segala
pecampuradukan dengan keragu-raguan walaupun sedikit. Keyakinan
hendaknya bulat dan penuh, tiada berbaur dengan syak dan kesamaran. Oleh
karena itu untuk sampai kepada keyakinan itu manusia harus memiliki ilmu;
42 | AQIDAH |
yakni sikap menerima suatu kebenaran dengan sepenuh hati setelah meyakini
dalil-dalil kebenarannya.
Ketiga, aqidah tidak boleh tidak harus mampu mendatangkan
ketentraman jiwa kepada orang yang meyakininya. Dengan demikian, hal ini
mensyaratkan adanya keselarasan dan kesejajaran antara keyakinan yang
bersifat lahiriyah dan keyakinan yang bersifat bathiniyah. Sehingga tidak
didapatkan padanya suatu pertentangan antara sikap lahiriah dan bathiniyah.
Keempat, apabila seseorang telah meyakini suatu kebenaran,
konsekwensinya ia harus sanggup membuang jauh-jauh segala hal yang
bertentangan dengan kebenaran yang diyakininya itu.
Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah lain yang semakna atau
hampir semakna dengan istilah aqidah, yaitu: iman dan tauhid. Sedangkan
yang semakna dengan ilmu aqidah adalah ushuluddin, ilmu kalam dan fikih
akbar.

2. Ruang Lingkup Aqidah.


Hassan al-Banna pernah membuat sistematika ruang lingkup
pembahasan aqidah, yaitu :
1) Ilahiyat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilah (Allah), seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah,
perbuatan-perbuatan (Af’al) Allah dan lain-lain.
2) Nubuwat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai Kitab-Kitab
Allah, Mukjizat, Keramat dan sebagainya.
3) Rukhaniyat : Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin iblis, setan, roh
dan lain sebagainya.
4) Sam’iyat : Yaitu pembahasan tentang segal sesuatu yang hanya bisa
diketahui lewat sam’i, yakni dalil naqli berupa Alquran dan al-Sunnah,
seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga,
neraka dan seterusnya.
Disamping sistematika dia atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti
sistematika arkanul iman yaitu : iman kepada Allah Swt., iman

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 43


kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada nabi dan rasul
Allah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadha dan qadar Allah.
a. Iman Kepada Allah Swt.
Iman kepada Allah adalah suatu keniscayaan. Inti dari iman kepada
Allah Swt. Adalah tauhid : mengesakan Allah baik dalam zat, sifat dan af’al-
Nya. Disamping itu Allah memiliki al-asma’ al-husna dan ash-shifah, nama-
nama dan sifat-sifat-Nya sebanyak 99 (sembilan puluh sembilan) macam, dan
semua ini menunjukkan kemahasempurnaan-Nya. Oleh karena itu di sini kita
mengenal ada dua metode untuk mengimani asma’ al-husna dan ash-shifah
Allah yaitu 1) metode itsbat; mengimani bahwa Allah memiliki nama-nama
dan sifat yang menunjukkan kemahasempurnaan-Nya, misalnya Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijkasana dan lain-lain,
dan 2) metode nafy; menafikan atau menolak segala nama-nama dan sifat
yang menunjukkan ketidaksempurnaan-Nya, misal menafikan adanya
makhluk yang menyerupai Allah, menolak anggapan bahwa Allah memiliki
anak atau orang tua dan lain-lain.
Oleh karena itu Islam sangat menganjurkan kepada ummatnya agar
berdoa dan memohon kepada Allah dengan nama-nama dan sifatsifat-Nya
yang agung (Q.S. Al-A’raf: 18). Dalam masalah ini pula kita mengetahui
adanya larangan untuk mentamsilkan atau mentasybihkan (menyerupakan)
Allah dengan sesuatu (Q.S. Asy-Syura: 11). Dengan usaha ini maka ummat
Islam akan beriman kepada Allah dengan semurni-murninya dan seutuh-
utuhnya iman.

b. Iman kepada Malaikat-Malaikat Allah.


Makhluk Allah dapat dikelompokkan menjadi dua macam; makhluk
ghaib dan makhluk syahadah (nyata). Yang membedakan keduanya adalah
dapat dan tak dapat dijangkau oleh panca indera manusia.
Iman kepada malaikat termasuk salah satu perkara beriman kepada
yang ghaib. Untuk mengetahui dan mengimani makhluk yang ghaib ini
ditempuh dua cara: 1) melalui berita atau akhbar dari Rasulullah baik berupa
wahyu Alquran maupun sunnah dan 2) melalui bukti-bukti nyata di alam
semesta, seperti kematian adalah bukti nyata bahwa malaikat maut itu ada.

44 | AQIDAH |
Malaikat merupakan makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari
cahaya (nur) dengan wujud dan sifat-sifat tertentu. Malaikat sangat taat
kepada Allah, tak pernah membangkang dan selalu melaksanakan apa yang
diperintahkan-Nya (Q.S. At-Tahrim: 6). Adapun beberapa malaikat yang
patut diketahui dna diimani beserta tugasnya antara lain:
1) Malaikat Jibril bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi dan
rasul (Q.S. Al-Baqarah: 97)
2) Malaikat Mikail bertugas mengatur hal-hal yang berhubungan dengan
alam (Q.S. Al-Baqarah: 98)
3) Malaikat Israfil bertugas meniup terompet di hari kiamat dan
kebangkitan (Q.S. Al-An’am: 73)
4) Malaikat Maut bertugas mencabut nyawa manusia dan makhluk hidup
(As-Sajada : 11)
5) Malaikat Raqib dan ‘Atid bertugas mencatat amal perbuatan manusia
(Q.S. Al-Infithar: 10-12)
6) Malaikat Munkar dan Nakir bertugas menayai mayat dalam kubur (Q.S.
Ibrahim: 27)
7) Malaikat Ridwan bertugas menjaga syurga (Q.S. Az-Zumar: 73)
8) Malaikat Malik bertuga menjaga neraka (Q.S. Az-Zumar: 71)
9) Malaikat pemikul Arasy (Q.S. Al-Mukminun: 7)
10) Malaikat penggerak hati manusia untuk berbuat kebaikan dan
kebenaran; Malaikat yang bertugas mendoakan orang-orang mukmin
(Q.S. Al-Mukminun: 7-9)

c. Iman Kepada Kitab-Kitab Allah.


Al-Kitab atau kitab Allah adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah
kepada para nabi dan rasul, meliputi kitab yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw. Maupun kitab-kitab yang diturunkan pada para nabi dan
rasul sebelumnya. Kitab-kitab yang patut diimani keberadaannya adalahkitab
Alquran sendiri (Q.S. Al-Baqarah: 2), Kitab Injil yang diturunkan kepadaNabi
Isa a.s. (Q.S. Al-Maidah: 27), Kitab Taurat yang diturunkan yang diturunkan
kepada Nabi Musa a.s. (Q.S. Al-Maidah: 44) dan kitab Zabur yangturun kepada
Nabi Daud a.s. (Q.S. An-Nisa: 163). Di samping kitab-kitab di atas, dikenal juga
dua buah shuhuf, yaitu shuhuf Nabi Ibrahim a.s., dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 45


shuhuf Nabi Musa a.s. (Q.S. Al-A’la: 18-19). Shuhuf ini hany berbentuk
lembaran-lembaran.
Alquran sebagai kitab Allah yang terakhir memiliki beberapa
keistimewaan yang tidak dipunyai kitab-kitab atau shuhuf-shuhuf lainnya,
antara lain; Kitab Alquran berlaku secara universal untuk seluruh umat
manusia hingga akhir zaman (Q.S. Al-Furqon: 1) Kitab Alquran masih
terpelihara secara utuh dan murni hingga sekarang (Q.S. Al-Hijr: 9). Ajaran
Alquran mencakup segala permasalahan dan aspek kehidupan (Q.S. AlAn’am:
38). Alquran mudah untuk dipahami, dihapal dan diamalkan (Q.S. Al-Qomar:
17). Alquran berfungsi sebagai nasikh (penghapus) lafadz dan
hukum dalam kitab-kitab sebelumnya, muhaimin (batu ujian) terhadap
kebenaran kitab-kitab sebelumnya dan mushaddiq (pembenar) atas kitab-kitab
terdahulu (Q.S. Al-Maidah: 48) dan Alquran menjadi mukjizat bagi Nabi
Muhammad saw.
Dalam Alquran secara eksplisit memang hanya disebutkan 4 nama
kitab suci dan 2 shuhuf. Namun demikian Alquran juga menerangkan bahwa
seorang muslim hendaknya tetap beriman kepada seluruh kitab suci Allah,
baik yang disebutkan nama dan penerimanya maupun yang tidak disebutkan
(Q.S. An-Nisa: 136).
Dalam masalah mengimani kitab-kitab Allah ini tentunya ada
perbedaan cara dan konsekuensi. Kepada kitab-kitab Allah sebelum Alquran
seorang muslim hanya diwajibkan mengimani keberadaan dan kebenarannya
semata. Sedangkan kepada Alquran disamping mengimani keberadaan dan
kebenarannya juga diwajibkan mempelajari, menghayati, mengamalkan serta
mendakwahkan atau mengajarkannya.

d. Iman Kepada Nabi dan Rasul


Pada hakekatnya nabi dan rasul adalah manusia biasa seperti
umumnya. Yang membedakannya adalah karena ia menerima wahyu dari
Allah (Q.S. Al-Kahfi: 110). Apabila ia tidak dibebani kewajiban untuk
menyampaikan wahyu itu maka disebut Nabi. Jika ia diikuti dengan tanggung
jawab menyampaikan wahyu maka ia disebut Rasul. Jadi Nabibelum tentu
rasul, sedangkan rasul sudah pasti nabi.

46 | AQIDAH |
Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah nabi dan rasul secara
keseluruhan. Yang jelas setiap umat manusia dalam kurun waktu tertentu
diutus seorang nabi dan atau rasul (Q.S. Yunus: 47). Alquran hanya
menyebutkan sejumlah 25 orang saja dalam ayat-ayatnya. Nabi dan rasul itu
tersebar di beberapa surat seperti: Al-An’am: 83-86 sebanyak 18 orang, 7 orang
lagi disebutkan di ayat yang terpisah; Hud: 50, Hud: 84, Ali Imran: 33, Al-
Anbiya’: 85, dan Al-Fath: 29. Sekalipun secara pasti hanya tersebut 25 orang
saja di dalam Alquran, umat Islam tetap diwajibkan meyakini semua
keberadaan nabi dan rasul yang diterangkan di dalamnya, dan sebagian lagi
dan ini yang terbanyak tidak diceritakan di dalamnya (Q.S. Al-Mukmin: 78).
Seluruh rasul yang diutus pada tiap zaman dan tempat pada dasarnya
mengemban tugas berat yang sama, yakni menegakkan kalimah tauhid la ilaha
illa Allah (Q.S. Al-Anbiya: 25). Dalam mengemban tugas ini ternyata tidak
semua rasul memiliki kesabaran yang sangat tinggi, kecuali mereka yang
diberi gelar ulul azmi; para rasul yang sangat sabar, teguh hati dan tabah
dalam menjalankan misinya (Q.S. Al-Ahqof: 35). Mereka itu adalah
Muhammad, Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa (Q.S. Al-Ahzab: 7).
Umat Islam yang hidup di zaman ini tentu wajib mengimani
Rasulullah Muhammad saw., sebagai rasul terakhir. Dia adalah utusan Allah
untuk menyempurnakan risalah-risalah yang pernah disampaikan oleh rasul-
rasul terdahulu. Risalah penyempurna itu adalah Islam (Q.S. AlMaidah: 3).
Maka hanya Islamlah yang akan diterima sebagai agama yang diridhai di sisi
Allah (Q.S. Ali-Imran: 19). Oleh karena itu kecintaan dan ketaatan kepadanya
harus ditunjukkan bagi siapa saja yang ingin selamat di dunia dan akhirat
(Q.S. Ali-Imran : 31, Al-Ahzab: 21).

e. Iman Kepada Hari Akhir.


Hari akhir adalah kehidupan kekal dan abadi setelah kehidupan
dunia yang fana ini. Alquran menyebut hari akhir dengan berbagai sebutan;
yaumul qiyamah, berakhirnya seluruh kehidupan; Yaumul Ba’ats,
kebangkitan seluruh umat manusia dari alam kubur; Yaumul Hasyr, hari
dikumpulkannya umat manusia dipadang Mahsyar; Yaumul Hisab atau
Yaumul Mizan, hari perhitungan seluruh amal manusia selama hidup didunia;

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 47


Yaumud din, hari pembalasan bagi seluruh amal manusia dengan syurga dan
neraka dan masih banyak lagi sebutan untuk hari akhir ini.
Proses kehancuran dunia dan digantikan dengan alam akherat tentu
saja melalui masa transisi, yakni alam kubur. Alam kubur dikenal juga dengan
sebutan alam barzakh. Di alam inilah manusia akan menyaksikan kebenaran
adanya malaikat Munkar dan Nakir yang bertugas menanyai manusia. Di
alam ini juga manusia akan melihat bagaimana Allah kuasa untuk
membangkitkan kembali tubuh yang telah mati dan hancur sekalipun.
Kenikmatan dan kesengsaraan di alam kubur akan menjadi kenyataan (Q.S.
Ibrahim: 27, Al-Mukmin : 45-46).
Lalu kapan kiamat itu akan terjadi? Alquran menegaskan tak ada
seorang pun yang mengetahuinya, termasuk para nabi dan rasul, kecuali
Allah semata (Q.S. Al-A’raf: 187). Allah hanya memberikan tanda-tanda
kiamat, baik kecil maupun besar.
Ketika kiamat datang maka terjadilah kebinasaan total, kemudian
dengan tiupan kedua terompet Malaikat Israfil terjadilah kebangkitan (Q.S.
Az-Zumar: 68). Setelah itu manusia dikumpulkan di Mahsyar untuk dihisab
amalnya melalui perhitungan dan penimbangan yang akan menentukan
nasib manusia di akhirat (Q.S. Al-Insyiqaq: 7-12), (Q.S. Al-Haaqah: 19-26). Di
sini mereka akan menemukan pembalasan yang setimpal atas perbuatannya
sendiri (Q.S. Al-Qoriah: 6-9) (Q.S. Al-Bayyinah: 6-8).
Beriman kepada hari akhir merupakan keimanan yang pokok, setelah
beriman kepada Allah Swt. (Q.S. Al-Baqarah: 62 dan 177). Sebab bila Allah
adalah tempat asal muasal segala makhluk, maka harus ada suatu masa
tempat perjumpaan dan kembali semua makhluk itu kepada asalnya. Dengan
demikian hari akhir merupakan bukti bagi kenyataan bahwa Allah adalah
Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir. Hari akhir merupakan konsekuensi logis
dari perintah moral yang dibebankan kepada manusia di dunia, agar mereka
melihat bagaimana hasil pekerjaan mereka.

f. Iman Kepada Qadha dan Qadar Allah


Iman kepada qhada dan qadar Allah berarti meyakini akah kehendak,
ketetapan dan ketentuan Allah terhadap segala sesuatu. Allah Swt. berkuasa
untuk menentukan ukuran, susunan, aturan, undang-undang terhadap segala

48 | AQIDAH |
sesuatu, termasuk hukum kausalitas yang berlaku bagi segala yang ada baik
yang hidup maupun yang mati (Q.S. Al-Ra’du :8) (Q.S. Al-Hijr : 21) (Q.S. Al-
Qamar : 49) (Q.S. Al-Hasyr : 3) Iman kepada qhada dan qadar meliputi empat
hal:
1) Al-Ilmu; Keyakinan bahwa Allah Swt. Maha Mengatahui atas segala
sesuatu. Dia mengetahui segala hal yang telah, sedang dan akan terjadi.
Tak ada sesuatupun yang luput dari ilmu-Nya (Q.S. Al-Hajj: 70) (Q.S. Al-
Hasyr: 22) (Q.S. Al-An’am: 59).
2) Al-Kitabah; keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menuliskan segala
sesuatu di Lauh Mahfudz tentang apa saja yang terjadi di masa lalu,
sekarang dan akan datang (Q.S. Al-Hajj : 70) (Q.S. Al-Hadid : 22).
3) Al-Masyi’ah; keyakinan bahwa Allah Swt. Memiliki kehendak penuh atas
segala sesuatu yang ada di alam semsta. Kehendak-Nya bersifat mutlak
(Q.S. Al-Insaan : 30) (Q.S. At-Takwir : 28-29).
4) Al-Khalq; Keyakinan bahwa Allah Swt. Telah menciptakan segala
sesuatu. Di luar Allah Yang Maha Pencipta adalah makhluk (Q.S.
AzZumar: 62) (Q.S. Al-Furqan: 2) (Q.S. Ash-Shaffat: 96).
Ada dua hal yang harus dipahami kaitannya dengan keberadaan
manusia dalam masalah ini. Manusia adalah makhluk musayyar dan
mukhayyar. Sebagai makhluk musayyar manusia tidak mempunyai kebebasan
untuk menolak atau menerima ketentuan Allah, seperti tidak dapat menolak
mengapa ia dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki, warna kulit,
kelahiran dan kematiannya. Dan sebagai makhluk mukhayyar manusia
mempunyai kebebasan untuk menolak dan menerima. Ia memiliki kekuatan
untuk berbuat baik atau buruk (Q.S. Al-Baqarah: 222) (Q.S. atTaubah: 46).
Kemudian bagaimanakah dengan perbuatan baik dan buruk yang
dilakukan manusia? Apakah semua itu juga karena qhada dan qadar Allah?
untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus memahaminya dari
keberadaan manusia sebagai makhluk musayyar dan mukhayyar-nya
sekaligus. Allah Swt. hanyalah menciptakan kecendrungan yang baik dan
buruk pada manusia (Q.S. Asy-Syam: 8) dan sama sekali tidak menciptakan
perbuatan baik atau buruk tersebut. Adapun kecenderungan baik atau buruk
itu akan terwujud sangat tergantung pada kebebasan manusia untuk memilih
melakukannya. Dengan demikian manusia harus bertanggung jawab atas
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 49
segala perbuatan yang telah dilakukannya karena semua berdasarkan
pilihannya. Dengan kata lain pertanggung jawaban yang diminta oleh Allah
adalah keberadannya sebagai makhluk mukhayyar. Dan Allah tidak meminta
pertanggung jawaban tentang keberadaannya sebagai makhluk musayyar.

B. Konsepsi Tauhid 1. Tauhid sebagai Poros Aqidah Islam


Ajaran Islam tidak hanya memfokuskan iman kepada wujud Allah
sebagai suatu keharusan fitrah manusia, namun lebih dari itu memfokuskan
aqidah tauhid yang merupakan dasar aqidah dan jiwa keberadaan Islam.
Islam datang di saat kemusyrikan sedang merajalela di segala penjuru dunia.
Tak ada seorang pun yang menyembah Allah kecuali segelintir manusia dari
golongan hunafa’ (pengikut nabi Ibrahim a.s.) dan sisa-sisa penganut ahli kitab
yang selamat dari pengaruh tahayul animisme dan paganisme yang telah
menodai agama Allah. Sebagai contoh bangsa Arab jahiliyah telah tenggelam
jauh ke dalam paganisme, sehingga Ka’bah yang semula dibangun untuk
menyembah Allah telah dikelilingi oleh 360 berhala. Dan bahkan setiap
rumah penduduk Makkah ditemukan berhala sesembahan penghuninya.
Imam Bukhari sempat merekam suatu peristiwa yang ditelusurinya
lewat Abu Raja’ Al-Atharidy :
“Kami pernah menyembah batu, bila kami menemukan batu yang lebih baik
daripadanya, kami buang batu itu dan mengambil batu yang lain. Bila kami tidak
menemukan batu maka kami menumpukan debu kemudian mengambil seekor
kambing untuk diperas susunya di atas (tumpukan debu itu) kemudian kami thawaf
mengelilinginya”.
Oleh karena itu Alquran mencela paganisme maupun politheisme
yang merupakan simbol dari segmentasi masyarakat. Bahkan secara
keseluruhan risalah-risalah yang diturunkan Allah Swt. pada para nabi dan
rasul pada dasarnya memiliki kesatuan hidayah atau misi, the unity of
guidance, yakni menyeru umat manusia agar mengesakan Allah. Karenanya
tauhid merupakan tugas utama para nabi dan rasul untuk menegakkan dan
menjunjung tinggi paham monotheisme. Hal ini sudah tercermin dalam
beberapa ayat yang merekam inti tugas para nabi tersebut. Berikut adalah
gambaran inti dakwah para nabidan rasul : a. Inti Dakwah Nabi Nuh a.s. :
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia
berkata) : “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar
50 | AQIDAH |
kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa
azab yang sangat menyedihkan. (Q.S. Hud: 25-26). b. Inti Dakwah Nabi Hud a.s:
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud. Ia
berkata: “hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selainNya.
Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?” (Q.S. Al-A’raf: 65). c. Inti Dakwah
Nabi Yusuf a.s:
“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah)
nama-nama kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan
suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan
Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S.
Yusuf : 40).
d. Inti Dakwah Nabi Shaleh a.s:
“Dan (kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka,
Shaleh. Ia berkata : “hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain-nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu
dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah
dia makan dibumi dan janganlah kamu menganggunya dengan gangguan
apapun, (yang karenanya) kamu ditimpa siksaan yang pedih. Q.S. Al-A’raf :
73). e. Inti Dakwah Nabi Syu’aib a.s:
“Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara
mereka Syu’aib. Ia berkata: hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan selainnya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti nyata dari
Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah
kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhanmu
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu betul-
betul orang yang beriman”. Q.S. Al-A’raf: 85). f. Inti Dakwah Nabi Ibrahim
a.s:
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya:
“Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (Q.S. Al-Ankabut: 16). g. Inti
Dakwah Nabi Isa a.s:
Sesungguhnya telah kafir orang yang mengatakan: “Sesungguhnya
Allah ialah Al-Masih putera Maryam”, padahal Al-Masih sendiri berkata:
“hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya
prang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 51
kepadanya syurga, dan tempatnya ialah neraka tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolong pun. (Q.S. Al-Maidah: 72)
h. Inti dakwah nabi Muhammad saw :
Katakanlah: “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama”.
(Q.S. Ali Imran: 64).
Dari kedelapan ayat diatas semuanya mengarah pada penegakan
poros tauhid sebagai acuan utama kehidupan. Allah menciptakan manusia
agar mereka menyembah-Nya semata (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) dan
menghindarkan diri dari thagut (Q.S. An-Nahl: 36). Hanya Allah yang patut
disembah dan jangan sampai kita menyekutukan Allah dengan sesuatu (Q.S.
An-Nisa’: 36), karena menyekutukan Allah adalah sesuatu yang diharamkan
bagi manusia (Q.S. Al-An’am:151). Inilah tauhid, merupakan perintah Allah
yang tertinggi dan terpenting dibuktikan oleh kenyataan adanya janji Allah
untuk mengampuni dosa kecuali pelanggaran terhadap tauhid, karena
pelanggaran ini merupakan dosa besar (Q.S. an-Nisa’: 48). Oleh karena itu
tauhid menjadi pranata yang tertinggi dan menjadi penyebab kebaikan dan
pahala terbesar (Q.S. Al-An’am: 82).

2. Makna Kalimat Syahadat


Secara tradisional dan dalam ungkapan yang sederhana, tauhid
adalah keyakinan dan kesaksian bahwa “Tidak ada Tuhan selain Allah “, la
ilaha illa Allah. Kalimat ini merupakan lambang tauhid. Kalimah ini biasa
disebut kalimah tauhid. Kalimat yang agung ini terdiri dari dua makna yakni
:
a. la ilah atau makna nafi (negasi) yang berarti peniadaan semua ketuhanan
lain selain Allah.
b. illa Allah atau makna itsbat (afirmasi) yang berarti pernyataan bahwa
ketuhanan itu semata-mata hanya untuk Allah. Dia-lah satu-satunya
Tuhan yang sebenarnya sedangkan Tuhan-tuhan lain yang disembah
manusia adalah Tuhan-tuhan palsu dan batil, yang diciptakan oleh
kejahilan dan takhayul.

52 | AQIDAH |
Kalimat ini dimulai dengan pengingkaran la ilaha (tiada Tuhan) dan
disusul oleh illa Allah (kecuali Allah). Pencari kebenaran akan menemui
kebenaran itu apabila ia berusaha menyingkirkan terlebih dahulu segala
macam ide, teori dan data yang tidak benar dari benaknya, persis seperti yang
dilakukan oleh pengucap syahadah tersebut.
Kalimah tauhid disebut juga kalimah thayyibah atau kalimah ikhlas.
Kalimah la ilah illa Allah ini mencakup pengertian komprehensif sebagai
berikut :
a. La Khaliqa illa Allah (tiada pencipta selain Allah).
b. La Raziqa illa Allah (tiada pemberi rizki selain Allah).
c. La Khafidza illa Allah (tiada pemelihara selain Allah).
d. La Mudabbira illa Allah (tiada pengatur selain Allah).
e. La Malika illa Allah (tiada penguasa selain Allah).
f. La Waliya illa Allah (tiada pemimpin kecuali Allah).
g. La Hakima illah Allah (tiada Hakim selain Allah)
h. La Ghayata illa Allah (tiada yang maha menjadi tujuan selain Allah).
i. La Ma’buda illa Allah (tiada yang maha disembah selain Allah)

Tauhid menjadi landasan dasar dan inti ajaran Islam, yang


membedakan manusia menjadi muslim atau kafir, musrik atau dahriyyin
(orang yang tidak percaya adanya Tuhan). Tetapi perbedaan antara yang
percaya dan yang tidak percaya bukan hanya terletak pada kalimah
syahadah. Kekuatan sesungguhnya terletak pada penerimaan secara sadar
dan mutlak terhadap ajaran Islam dan penerapannya di dalam kehidupan
nyata. Tanpa itu manusia tidak akan dapat menyadari pentingnya ajaran
Islam. Jika manusia mengerti makna tauhid, maka akan membuat manusia
dapat menghindari setiap bentuk keingkaran, atheisme dan polytheisme.
Maka tauhid adalah merupakan pengetahuan, kesaksian, keyakinan
dan keimanan manusia terhadap ke-esaan Tuhan dengan segala sifat
kesempurnaan dan ke-Esaan, diikuti dengan keyakinan bahwa ia tidak
berpasangan, sempurna tiada tara, penyandang atribut ke-Tuhanan dan
kekuasaan mutlak atas seluruh makhluk.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 53


3. Tingkatan Tauhid
Tauhid menurut Islam ialah tauhid I’tiqad-‘ilmi (keyakinan teoritis)
dan tauhid amali-suluki (tingkah laku praktis). Dengan kata lain ketauhidan
antara yang teoritis dan praktis tak dapat dipisahkan satu dari yang lain;
yakni tauhid dan bentuk makrifat (pengetahuan). Itsbat (pernyataan), I’tiqad
(keyakinan), qasd (tujuan) dan iradah (kehendak). Dan ini semua tercermin
dalam empat tingkatan atau tahapan tauhid. a. Tauhid Rububiyah.
Secara etimologis kata rububiyah berasal dari akar kata rabb. Kata
rabb ini sebenarnya mempunyai banyak arti antara lain menumbuhkan,
mengembangkan, mencipta, memelihara, memperbaiki, mengelola, memiliki
dna lain-lain. Maka secara terminologis Tauhid Rububiyah ialah keyakinan
bahwa Allah Swt. adalah Tuhan pencipta semua makhluk dan alam semesta.
Dialah yang memelihara makhluk-Nya dan memberikan serta
mengendalikan segala urusan. Dialah yang memberikan manfaat dan
mafsadat, penganugerah kemuliaan dan kehinaan. Tauhid Rububiyah ini
tergambar dalam ayat-ayat Alquran antara lain:
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan
orangorang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan
bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia
menurunkan air (hujan) dari langit lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buahbuahan sebagai rezeki untukmu, karena itu janganlah kamu
mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-
Baqarah:2122).

“katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb manusia” (Q.S. an-Naas : 1).

Coba perhatikan juga urat Luqman : 25 dan Fathir : 3 dan masih


banyak yang lainnya.

b. Tauhid Mulkiyah.
Kata mulkiyah berasal dari akar kata malaka. Isim failnya dapat dibaca
dengan dua macam cara 1) Malik dengan huruf mim dibaca panjang; berarti yang
memiliki. 2) Malik dengan huruf mim dibaca pendek; yang menguasai. Syekh
Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa kata malik
dengan huruf mim panjang berati yang memiliki adalah lebih

54 | AQIDAH |
sempit maknanya dari pada kata malik dengan huruf mim pendek, berarti
yang menguasai. Karena memiliki belum tentu mengasai, sedangkan
menguasai sudah barang tentu juga memiliki.
Maka secara terminologis Tauhid Mulkiyah adalah suatu keyakinan
bahwa Allah Swt. adalah satu-satunya Tuahn yang memliki dan menguasai
seluruh makhluk dan alam semesta. Oleh karena itu Allah disebut sebagai
Raja alam semesta. Ia berhak dan bebas melakukan apa saja yang
dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Keyakinan Tauhid
Mulkiyah terekam dalam ayat-ayat Alquran seperti berikut ini :

“Yang menguasai hari pembalasan” (Q.S. Al-Fatihah: 4).

“Tidaklah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah


kepunyaan Allah? Dan bagimu selain Allah seorang pelindung maupun
seorang penolong” (Q.S. Al-Baqarah: 107).

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
dalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q.S. Al-Maidah: 120).

Dan apabila manusia meyakini bahwa Allah sebagai pemilik dan


Penguasa alam semesta ini maka konsekuensinya ia harus menjadikan Allah
sebagai Pemimpin yang memiliki wewenang untuk menentukan sesuatu.
Firman Allah :
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir
pemimpinya adalah taghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”
(Q.S. Al-Baqarah : 257).

At-Taghut dalam ayat di atas adalah segala sesuatu yang dipertuhan


selain Allah Swt. dan dia suka diperlakukan sebagai Tuhan tersebut. Sayyid
Quthub dalam tafsir Fi Dzilal Alquran menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan at-Taghut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan
melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah Swt. untuk hamba-Nya. At-

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 55


Taghut itu bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-lain yang
tidak berlandaskan ajaran Allah.

c. Tauhid Uluhiya
Kata uluhiyah adalah mashdar dari kata alaha yang mempunyai arti
tentram, tenang, lindungan, cinta dan sembah. Namun makna yang paling
mendasar adalah ‘abada, yang hamba sahaya (‘abdun), patuh dan tunduk
(‘ibadah), yang mulia dan agung (al-ma’bad), selalu mengikutinya (‘abada bih).
Jadi seseorang yang menghambankan diri kepada Allah maka ia harus
mengikuti, mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk kepadaNya
serta bersedia untuk mengorbankan kemerdekaannya. Dengan demikian
Tauhid Uluhiyah merupakan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah satu-
satunya Tuhan yang patut dijadikan ilah yang harus dipatuhi, ditaati, diagungkan
dan dimuliakan. Hal ini tersurat dalam ayat-ayat berikut ini : “Sesungguhnya Aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku” (Q.S. atThaha: 14).

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah


dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin,
laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat tinggalmu” (Q.S. Muhammad: 19)

d. Tauhid Ubudiyah.
Kata ubudiyah berasal dari akar kata ‘abada yang berarti menyembah,
mengabdi, menjadi hamba sahaya, taat, patuh, memuja, yang diagungkan (al-
ma’bud). Dari akar kata di atas maka diketahui bahwa Tauhid ubudiyah
adalah suatu keyakinan bahwasannya Allah Swt. merupakan Tuhan yang
patut disembah, ditaati, dipatuhi, dipuja manusia melainkan Allah semata.
Dia adalah tempat semua makhluk menghambakan diri dan beribadah
kepada-Nya. Tauhid Ubudiyah ini tercermin dalam ayat-ayat di bawah ini :
“hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau (pula)
kami mohon pertolongan” (Q.S. Al-Fatihah : 5).

“dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah taghut itu, maka di antara
56 | AQIDAH |
umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antara orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah
kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (Rasul-rasul)” (Q.S. an-Nahl : 36).

Kemudian untuk memahami keterkaitan keempat tingkatan tauhid di


atas, maka berlaku dua teori atau dalil : 1) Dalil at-Talazum; kemestian. Artinya
bahwa seseorang yang meyakini Tauhid Rububiyah semestinya ia meyakini
Tauhid Mulkiyah, dan meyakini Tauhid Mulkiyah sudah semestinya meyakini
Tauhid Uluhiyah, dan meyakini Tauhid Uluhiyah juga semestinya meyakini
Tauhid Ubudiyah. Dengan kata lain Tauhid Ubudiyah adalah konsekuensi
dari Tauhid Uluhiyah, Tauhid Uluhiyah adalah konsekuensi dari Tauhid
Mulkiyah, dan Tauhid Mulkiyah adalah konsekuensi dari Tauhid Rububiyah.
2) Dalil at-Tadhamun; ketercakupan. Maksudnya setiap orang yang sudah
sampai ke tingkat Tauhid Ubudiyah tentunya sudah melalui tiga tingkatan
sebelumnya. Mengapa ia beribadah kepada Allah semata? Karena Dia adalah
ilah yang patut diagungkan. Mengapa Dia adalah ilah yang patut diagungkan?
Sebab Dia adalah pemilik dan penguasa alam semesta yang harus ditaati dan
dijadikan pimpinan? Tiada lain karena Dia adalah Tuhan yang menciptakan
dan memelihara alam semesta beserta segala isinya.
Apabila kita menyimak ayat-ayat Alquran yang berhubungan dengan
tauhid selalu bergandengan dengan syirik yang merupakan kontradiksi dari
tauhid. Hal ini menandakan bahwa Alquran sendiri langsung turun tangan
untuk membimbing umat manusia agar menjauhi syirik ini sejauh-jauhnya.
Jika daikatakan bahwa tauhid adalah sumbu dalam menggapai ridha Allah,
maka syirik merupakan pemicu keengganan Allah meridhai hambanya. Hal
lain yang dapat dipetik dari permasalahan tersebut adalah bahwa jika kita
membicarakan masalah tauhid maka kita secara reflek harus menjauhkan dari
sikap syirik ini. Itulah makanya gandengan itu menjadi sangat penting
dimunculkan.

4. Tauhid dan Pembebasan Diri


Huston Smith pernah menyinggung permasalahan bahwa
keengganan manusia untuk menerima kebenaran ialah antara lain karena
sikap menutup diri yang timbul dari refleks agnostik atau keengganan untuk
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 57
tahu tentang kebenaran yang diperkirakan justeru akan lebih tinggi nilainya
daripada apa yang sudah ada pada kita. Padahal kalau saja kita membuka diri
untuk kebenaran itu maka mungkin kita akan memperoleh kebaikan dan
energi yang kita perlukan. Halangan kita menerima kebenaran ialah
keangkuhan kita sendiri dan belenggu yang kita ciptakan untuk diri kita
sendiri.
Belenggu itu ialah apa yang kita kenal dengan sebutan “hawa nafsu”
yang berarti ‘keinginan diri sendiri’. Inilah sumber pribadi untuk penolakan
kebenaran, kesombongan dan kecongkakan. Kita menghadapi hal-hal dari
luar yang kita rasakan tidak sejalan dengan kemauan atau pandangan kita
sendiri, betapapun benarnya hal dari luar itu. Hawa nafsu juga menjadi
sumber pandangan-pandangan subyektif dan biased, yang juga menghalangi
kita dari kemungkinan melihat kebenaran. Gambaran ini terlihat jelas pada
redaksi ayat Alquran : “Pernahkah engkau (Muhammad) saksikan orang yang
menjadikan keinginan (hawa nafsu) nya sendiri sebagai Tuhannya, kemudian Allah
membuat mereka sesat secara sadar, lalu Dia tutup pendengaran dan hatinya, dan
dikenakan oleh-Nya penutup pada pandangannya?! Maka siapa yang sanggup
memberi petunjuk selain Allah? Apakah kamu tidak merenungkan hal itu? (Q.S.
AlJatsiyah: 23).
Seorang disebut menuhankan dirinya sendiri jika dia memutlakkan
diri dan pandangan atau pikirannya sendiri. Biasanya orang seperti itu
mudah terseret kepada sikap-sikap tertutup dan fanatik, yang amat cepat
bereaksi negatif kepada sesuatu yang datang dari luar, tanpa sempat bertanya
atau mempertanyakan kemungkinan segi kebenarannya dalam apa yang
datang dari luar itu. Inilah salah satu bentuk kungkungan atau perbudakan
oleh tiranivested interest. Gambaran tentang ini dari masa lalu dapatkan dalam
firman Allah:
“….Apakah setiap kali datang kepadamu sekalian seorang rasul (pembawa
kebenaran) dengan sesuatu yang tidak disukai oleh dirimu sendiri, kamu
menjadi congkak, sehingga sebagian (dari para rasul itu) kamu dustakan, dan
sebagian lagi kamu bunuh?! Mereka (yang menolak kebenaran) itu bertanya,
“hati kami telah tertutup (dengan ilmu)! Sebaliknya, Allah telah mengutuk
mereka karena penolakan mereka (terhadap kebenaran), maka sedikit saja
mereka percaya” (Q.S. Al-Baqarah : 87).

58 | AQIDAH |
Meskipun ayat suci itu menggambarkan kelakuan kalangan tertentu
dari Bani Israil (bangsa Yahudi), namun “the moral behind the story” jelas
berlaku untuk semua golongan. Pelajaran moral itu berada disekitar bahaya
penolakan kebenaran (kufr) karena kecongkakan (istikbar) dan sikap tertutup
karena merasa telah penuh berilmu (ghulf). Hanya dengan melawan itu semua
melalui proses pembebasan diri (self liberation) seseorang akan mampu
menangkap kebenaran itu seseorang akan dapat berproses untuk
pembebasan dirinya. Inilah sesungguhnya salah satu makna esensial kalimat
syahadat yang bersusunan negasi-konfirmasi “la ilah illa Allah” itu dipandang
dari sudut efeknya kepada peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan
pribadi seseorang.
Pembebasan pribadi yang diperolehnya yang membuat seorang
manusia merdeka sejati, akan menghilangkan dari dirinya sendiri setiap
halangan untuk melihat yang benar adalah benar dan yang salah sebagai
salah. Bentuk-bentuk subyektifisme, baik yang positif ataupun negatif, yaitu
perasaan senang ataupun benci kepada kepada sesuatu atau seseorang, tidak
akan menjadikan pandangannya kabur dan kehilangan wawasan tentang apa
yang sungguh-sungguh benar atau salah, dan yang baik atau buruk. Orang
yang serupa itu mampu mengalahkan kekuatan tiranik (taghut), terutama
kecenderungan tiranik diri sendiri pada saat ia menjadi sombong karena
merasa tidak perlu kepada orang lain (Q.S. Al-Alaq: 7). Orang yang terbebas
itu juga selalu sanggup kembali kepada yang benar, tanpa terlalu peduli dari
mana datangnya kebenaran itu. Maka ia termasuk yang mendapatkan “kabar
gembira” (kebahagiaan) dan dinamakan “Ulul Albab”, ‘mereka yang berakal
pikiran’ atau kaum terpelajar
Konsep keesaan Tuhan atau tauhid di dalam Islam mempunyai
kedudukan tersendiri yang sangat penting. Ia mempunyai implikasi yang
sangat luas terhadap konsep dan ajaran Islam yang lain. Untuk dapat
memahami hak ini, kita harus memahami kedudukan Tuhan dalam Agama
Islam, berdasarkan pada keterangan dari kitab Alquran.
Paling tidak terdapat tiga pokok pikiran yang mendasar, sebagai
landasan pijak dalam memahami sentralisasi posisi Tuhan dalam ajaran
Alquran. Pertama bahwa segala sesuatu selain Tuhan, termasuk keseluruhan
alam semesta dengan segala aspek metafisis dan moral adalah tergantung

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 59


kepada Tuhan. Tuhan adalah pangkal yang sekaligus ujung dari keberadaan
alam raya ini. Yang mencipta alam ini dengan firman-Nya : “jadilah” (Q.S. 2:
117; 3: 47, 59; 6: 73; 16: 40; 19: 35; 36: 82; 40: 68). Dalam menciptakan alam,
Tuhan sudah menetapkan ukuran, qadar, dari masing-masing ciptaannya.
Yang dengan itu alam berjalan mengikuti aturan main tertentu yang sangat
rapi. Sehingga seringkali Alquran mengatakan bahwa alam semesta itu
bersifat tunduk, muslim kepada Tuhan (Q.S. 7: 206; 13: 15; 18: 55; 15: 16; 21:
19; 49: 22; 57: 1; 59: 1; 61: 1). Keterangan alam yang seakan cacat itu juga
tergantung kepada daya dan kekuasaan Tuhan, tanpa pemeliharaan dari Tuhan
alam semesta itu akan hancur berantakan (13: 22; 34: 9; 50: 6; 51: 47, danlain-
lain).
Kedua, bahwa Tuhan Yang maha Kuasa dan Maha Pencipta tadi
adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ia memelihara alam
ciptaannya dengan belas kasihnya, sebab alam ini diciptakan dengan tujuan
yang tertentu dan bukan sekedar iseng atau main-main (Q.S. 3: 191; 38: 27),
sebab : “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada
diantaranya sebagai permainan; jika kami menginginkan permainan maka kami dapat
melakukannya sendiri (tanpa melalui penciptaan kami) jika kami menghendaki” (Q.S.
21: 16-17).
Ketiga, bahwa aspek-aspek tersebut tentu saja mensyaratkan
hubungan yang tepat diantara Tuhan dan manusia, hubungan antara yang
diper-Tuhan dengan hamba-Nya dan sebagai konsekuensinya juga
memerlukan hubungan yang tepat antara manusia dengan sesamanya.
Karena Tuhan yang menciptakan alam semesta sekaligus tempat kembali,
sedangkan alam semesta ini tunduk mutlak kepada Tuhan dan hanya
manusia yang mampu melawan hukum Tuhan -hukum alam bagi manusia
bersifat imperatif- maka manusia juga harus mempertanggungjawabkan
segala perbuatannya di hadapan Tuhan.
”Apakah kalian berpikir bahwa kalian kami ciptakan dengan sia-sia dan
bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada kami? Maha Tinggi Allah”
(Q.S. 25: 115).

“Apakah manusia mengira bahwa ia dibiarkan begitu saja (dengan


sekehendak hatinya)” (Q.S. 75 : 36).

60 | AQIDAH |
Konsep tentang keesaan Tuhan ini, selanjutnya menurunkan konsep
tentang kesatuan ummat manusia sebagai sebuah komunitas yang tunggal.
Berulang kali Alquran menyebutkan bahwa manusia seluruhnya adalah
berasal dari satu keturunan, yang tentu saja mengisyaratkan bahwa seantero
umat manusia sebenarnya adalah saudara. Umat manusia itu pada
hakekatnya adalah satu (Q.S. 2: 213), meskipun secara lahiriah kondisi
manusia sangat beragam. Perbedaan yang terdapat bukan saja antar individu,
melainkan juga antar suku, ras dan antar bangsa-bangsa. Namun segala
macam perbedaan tersebut bukanlah menjadi halangan bagi kesatuan umat
manusia, justru, menurut Alquran sendiri, merupakan salah satu tanda
kekuasaan Tuhan yang harus dijadikan sebagai jalan menuju persatuan (Q.S.
30: 22). Sebab, bagaimanapun juga perbedaan yang ada hanyalah faktor luas,
yang perkembangannya lebih banyak disebabkan karena lingkungan yang
ditempati.
Kesatuan dan persaudaraan ini kemudian mensyratkan adanya
kesatuan hukum moral. Karena manusia itu secara keseluruhan adalah satu,
dan punya kedudukan primordial yang sejajar di hadapan Tuhan maka
ukuran-ukuran moral yang diberlakukan di kalangan umat manusia,
seharusnya adalah sama. Itulah sebabnya mengapa Islam sangat menekankan
kesamaan derajad antar umat manusia. Tidak ada orang yang mempunyai
derajad lebih tinggi dibanding yang lain di sisi Allah karena tingkat
ketaqwaannya. Kelebihan-kelebihan berupa wajah, harta, keturunan,
kekuasaan dan lain sebagainya tidak menjadikan hakekat kemanusiaan
seseorang menjadi lebih baik.
Demikianlah, karena kedudukan Tuhan dalam Agama Islam adalah
sentral, maka doktrin tentang ke-Esaan Tuhan menjadi makna yang sangat
mendasar. Keseluruhan bangunan ajaran Islam menjadi ‘Tuhan sentris’, sebab
tuhanlah yang menjadi tempat asal segala sesuatu dan tempat kembalinya.
Konsekuensi logis dari ajaran Islam tersebut adalah segala bentuk
penyimpangan terhadap prinsip dasar ini adalah sebuah kesalahan yang
mendasar. Islam menyebut penyimpangan terhadap prinsip keesaaan
keesaan Tuhan itu sebagai syirik, yaitu menduakan terhadap Tuhan. Syirik
bisa berbentuk tindakan langsung, yaitu dengan mengakui adanya sesuatu
yang mempunyai kedudukan, kekuasaan ataupun peran sejajar dengan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 61


Tuhan. Namun bisa juga dalam wujud tindakan yang tidak langsung, berupa
segala macam penyimpangan terhadap aturan-aturan, prinsi-prinsip dan
tatanan nilai yang merupakan rumus turunan konsep dasar tentang keesaan
Tuhan. Dan Alquran menyatakan bahwa syirik adalah ‘unvorgiven sin’ (dosa
yang tak termaafkan).

5. Bentuk-Bentuk Syirik kepada Allah dalam Alquran


Kalau dikaji ayat-ayat Alquran maka perbuatan syirik merupakan
kontradiksi dari ajaran tauhid (ke-Esaan Tuhan). Dalam Alquran kata syirik
digunakan dalam arti persekutuan Tuhan lain dari Allah, baik dalam dzatNya,
sifat-Nya dan af’al-Nya, maupun seluruh aspek kehidupan dan aktifitas yang
dirujukkan selain daripada-Nya. Alquran menerangkan bahwa syirik
merupakan perbuatan dosa besar yang paling berat sebagaimana dijelaskan
dalam Alquran berikut ini :
“Dan ingatlah tatkala Luqman berkata kepada putranya, dikala dia
mengajarinya: Hai anakku! janganlah mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah sebesar-besar aniaya”. (Q.S.
Luqman : 13).

Dalam surat Luqman ayat 13 tersebut diterangkan bahwa dia telahdiberi


kemuliaan oleh Tuhan berupa hikmah sehingga ia terlepas dari bahwa kesesatan.
Bahwa ini hikmah yang diberikan kepadanya disampaikan kepada anaknya
sebagai pedoman utama dalam kehidupan yaitu: ajaran tauhid (meng-Esakan
Allah karena tidak ada Tuhan selain Allah), karena selain Allah yang ada dalam
alam ini semua ciptaan, dan dalam penciptaan tersebut Tuhan tidak
bekerjasama dengan apapun juga.
Diakhir ayat 13 Allah menerangkan, “sesungguhnya mempersekutukan
itu adalah aniaya yang sangat besar”. Memang aniaya yang sangat besar atas diri
manusia, sebab Tuhan mengajak manusia agar membebaskan dirinya dari
segala sesuatu selain Allah. Jiwa manusia adalah mulia. Manusia dijadikan
Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi, sebab itu hubungan manusia
dengan Allah hendaklah langsung. Apabila jiwa yang dipenuhi tauhid adalah
jiwa merdeka. Apabila manusia mempertuhankan selain Allah, maka
manusia sendirilah yang menjadikan jiwanya sebagai budak. Di dalam surat
as-Sajadah: 9. Allah menerangkan bahwa roh/jiwa adalah Tuhan sendiri yang
62 | AQIDAH |
punya, mengapa roh begitu mulia dapat ditundukan oleh selain Allah. Firman
Allah:
“Kemudian Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuhnya) roh (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagimu pendengaran,
penglihatan dan hati, tetapi sedikit sekali dari kamu yang bersyukur” (Q.S.
as-Sajadah: 9).

Juga lihat firman Allah:


“Sesungguhnya Allah tidak memberi ampun bagi orang yang
mempersekutukan-Nya. Dan Dia akan memberi ampun selain yang demikian
bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang mempersekutukan
Allah, sesungguhnya dia telah berbuat dusta dan dosa yang besar” (Q.S. an-
Nisa’ : 48).

Dosa-dosa yang bukan syirik dalam pernyataan Allah tersebut masih


bisa diampuni bagi yang dikehendaki-Nya. Biasanya seseorang mengerjakan
dosa besar, karena syirik telah bersarang dalam jiwanya. Nabi Muhammad
saw. pernah mengisyaratakan dalam sabdanya: “Tidaklah mencuri seorang
pencuri, melainkan karena musyrik. Tidaklah berzina seorang penzina, melainkan
karena dia syirik”. Kenapa pencuri mencuri penzina berzina, karena ingatannya tidak
satu lagi kepada Allah, telah diduakannya keinginannya yang jahat, sehingga hawa
nafsunyalah yang memerintah dan larangan Allah tiada berarti bagi dirinya, karena
azab Tuhan tidak lagi berpengaruh lagi bagi dirinya.
Walaupun demikian kalau benar-benar bertaubat, dosa syirik
sekalipun dapat diampuni oleh Allah, seperti yang terjadi pada para sahabat.
Maka ayat ini memberi pengertian bahwa perbuatan syirik terlebih dahulu
harus disingkirkan, sebab apabila dosa syirik telah hilang dan jiwa raga
sepenuhnya tertuju kepada Allah, kebaikan, perintah-perintah Allah akan
terlaksana dan larangan-larangannya akan ditinggalkan dengan sendirinya.
Apabila tauhid telah dipegang teguh maka terbukalah hati untuk
menerima wahyu Tuhan. Karena tauhid merupakan jalan kelepasan jiwa dari
segala ikatan dan bebas dari pengaruh alam, juga perhambaan secara total
kepada Sang Pencipta Rabbul ‘Alamin. Sedangkan syirik merupakan
pandangan yang mengakui adanya kekuasaan selain Tuhan, jiwa budak.
Maka setiap masa diutus para rasul untuk meluruskan tauhid umat manusia

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 63


agar terbebas dari dosa besar seperti Ibrahim menghadapi Namrudz, Musa
mengahdapi Fir’aun dan sebagainya.
Berbagai macam bentuk syirik yang diungkap oleh Alquran, bentuk
penyembahan berhala adalah yang paling dicela, disebabkan adanya
kenyataan bahwa penyembahan terhadap berhala adalah bentuk syirik yang
paling mengerikan dan paling merajalela pada waktu datangnya Islam.
Berhala bukan hanya disembah juga dianggap bisa mendatangkan
kemalangan dan keuntungan. Firman Allah :
“Ingatlah hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak
menyembah mereka melainkan mereka supaya mendekatkan kami kepada
Allah sedekat-dekatnya”, “sesungguhnya Allah akan memutuskan diantara
mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada pendusta dan sangat ingkar”. (Q.S. az-Zumar:
3).
Pada zaman sekarang, sebagian kaum menyembah berhala modern
juga mengemukakan dalih seperti di atas, mereka berkata patung itu hanya
digunakan untuk memusatkan perhatian (konsentrasi). Artinya dengan
menghadap patung itu ia dapat memusatkan pikiran dalam tafakurnya
kepada Tuhan. Di samping penyembahan kepada berhala, Alquran juga
melarang memberikan sesaji dengan anggapan bahwa sesaji itu akan sampai
kepada Tuhan, padahal sebenarnya tidak sampai, melainkan hanya kepada
berhala-berhala itu. Firman Allah :
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan
ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan
perkiraan mereka: “ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.
Maka sajian yang diperuntukkan berhala-berhala mereka tidak sampai
kepada Allah dan sesajen yang disampaikan kepada Allah, maka sajian itu
hanya sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan
mereka”. (Q.S. Al-An’am: 136).

Bentuk syirik yang lain juga diungkapkan dalam Alquran, ialah


penyembahan terhadap benda-benda alam. Firman Allah
“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah ialah malam, siang,
matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan bulan, tetapi

64 | AQIDAH |
bersujudlah kepada Allah yang menciptakan-Nya, jika kamu hanya
kepadaNya saja menyembah” (Q.S. Fushilat : 37).

Alquran melarang penyembahan terhadap matahari dan bulan, ini


bukan saja berlaku bagi benda-benda langit, melainkan bagi semua kekuatan
alam yang sebenarnya sering diungkapkan oleh Alquran untuk melayani
kembutuhan manusia, sebagai khalifah di bumi.
Bentuk syirik yang lain dikecam oleh Alquran ialah bahwa Allah
mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Kaum Arab Jahiliyah mengaku
bahwa Allah mempunyai anak perempuan, sedang agama Nasrani
mengajarkan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki . Seperti firman Allah :
“Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci
Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai
(yaitu anak laki-laki)” (Q.S. An-Nahl: 57).

Itulah sebabnya Alquran pada awalnya tidak memperkenalkan


Tuhan kepada nabi Muhammad saw. bukan sebagai Allah., tetapi sebagai
Rabbuka. Hal ini untuk menggaris bawahi wujud Tuhan Yang Maha Esa, yang
dapat dibuktikan melalui ciptaan atau perbuatan-Nya. Lebih jauh lagi, tidak
digunakannya kata “Allah” pada pada wahyu-wahyu pertama itu adalah
dalam rangka meluruskan keyakinan kaum musyrik, karena mereka juga
menggunakan kata “Allah” untuk menunjuk kepada Tuhan, namun keyakinan
mereka tentang Allah berbeda dengan keyakinan yang diajarkan oleh Islam.
Mereka misalnya beranggapan bahwa ada hubungan antara “Allah”
dengan jin (Q.S. Ash-Shafaat: 158), dan bahwa Allah memiliki anak-anak wanita
(Q.S. Al-Isra’: 40) serta manusia tidak mampu berhubungan dan berdialog
dengan Allah, karena Dia demikian tinggi dan suci, sehingga para malaikat dan
berhala-berhala perlu disembah sebagi perantara-perantara mereka dengan
Allah (Q.S. Az-Zumar: 3)

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 65


BAB IV
SYARI’AH, IBADAH, DAN MUAMMALAT

A. SYARI’AH
1. Pengertian dan Ruang Lingkup Syari’ah
a. Arti Syari’ah Menurut Istilah
Syari’ah merupakan aturan atau undang-undang Allah yang berisi
tata cara pengaturan prilaku hidup manusia dalam melakukan hubungan
dengan Allah, sesama manusia dan alam sekitarnya untuk mencapai
keridhaan Allah yaitu keselamatan di dunia dan akherat. b. Ruang Lingkup
Syari’ah Islam mencakup dua persoalan pokok yaitu :
1) Ibadah khusus atau ibadah mahdhoh, yaitu ibadah yang pelaksanaannya
telah dicontohkan langsung oleh Nabi saw, seperti Shalat dan puasa.
2) Ibadah umum atau ibadah Ghairu mahdhah (muammalah) adalah
peribadatan yang pelaksanaannya tidak seluruhnya diberikan contoh
oleh Nabi saw. Beliau hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar
sedangkan pengembangannya diserahkan kepada kemampuan dan
daya jangkau pikiran ummat.

2. Sumber atau Dalil Hukum Islam


Kata-kata sumber hanya mungkin digunakan untuk Alquran dan
Assunnah, karena memang dari keduanya dapat ditimba hukum-hukum
syara’. Dalil syara’ dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok : pertama
dalildalil syara’ yang disepakati yaitu Alquran, as-Sunnah, ijma’, dan qiyas;
sedang dalil syara’ yang tidak disepakati yaitu istihsan, maslahah mursalah,
istishab, urf, syara’ dari agama sebelum Islam dan mazhab sahabi.

3. Asas-Asas Syari’ah Islam


1. Meniadakan kepicikan (kesempitan)
Syari’ah Islam dalam menetapkan hukum sangat
memperhatikan kondisi manusia yang akan menerima ketetapan itu agar

66 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


terhindar dari kesempitan-kesempitan. “Allah menghendaki kemudahan
bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu“.
2. Menyidikitkan beban (taklif)
Syari’ah Islam tidak membanyakan beban kepada para
hambaNya,
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Alquran tidak diturunkan sekaligus melainkan secara
berangsur-angsur. Cara seperti inilah yang disenangi oleh jiwa dan
mendorong manusia untuk mentaatinya sehingga mampu untuk
meninggalkan tuntutan lama dan menerima ketentuan hukum yang
baru.
4. Sejalan dengan kemaslahatan manusia.
Syariat Islam sangat memperhatikan
kemaslahatankemaslahatan manusia. Contoh yang paling dekat
adalah perubahan arah kiblat yang ditunjuki oleh firman Allah dalam
surat AlBaqarahayat 144.
5. Mewujudkan keadilan yang merata.
Dalam Syariat Islam tidak ada penguasa yang dapat dilindungi
oleh kekuasaannya apabila melakukan kedhaliman. Keadilan salah satu
dasar untuk mencapai taqwa adalah menegakkan keadilan dan
ketaqwaan itulah yang mengangkat derajat seseorang untuk mulia di
sisi-Nya.

4. Fungsi Syari’ah
a. Pedoman dan petunjuk bagi manusia didalam mengatur diri dan
masyarakat.
b. Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang buruk dalam diri
manusia.
c. Alat untuk mendidik manusia suci lahir dan batin.

5. Tujuan Dan Ciri Hukum (Syari’ah) Islam


a. Memelihara kemaslahatan Agama
b. Memelihara jiwa
c. Memelihara akal

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 67


d. Memelihara harta benda dan kehormatan.
6. Syari’ah Dan Fikih
Perbedaan antara syari’at Islam dengan fikih Islam adalah sebagai
berikut :
1. Syari’at terdapat dalam Alquran dan kitab-kitab hadits, kalau seseorang
berbicara syari’at yang dimaksud adalah firman Allah dan sunnah Nabi,
sedangkan fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih, kalau seseorang
berbicara tentang fikih yang dimaksud adalah pemahaman manusia
yang memenuhi syarat tentang syari’at.
2. Syari’at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas
dari fikih, fikih bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada
apa yang biasanya disebut perbuatan hukum.
3. Syari’at adalah ketentuan Allah dan ketentuan Rasulnya, karena itu
berlaku abadi, fikih adalah karya manusia yang dapat berubah atau
diubah dari masa ke masa.
4. Syari’at hanya satu, sedangkan fikih lebih dari satu seperti yang terlihat
pada aliran-aliran hukum yang disebut mazhab.
5. Syariat menunjukkan kesatuan dalam, sedangkan fikih menunjukkan
keraga mannya.

B. IBADAH 1. Pengertian Ibadah


Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Ubudiyah menjelaskan bahwa ibadah
bersifat menyeluruh meliputi segenap aktifitas manusia baik lahir maupun
batin, ucapan maupun perbuatan yang diridhai dan dicintai Allah Swt.

2. Tujuan dan Hikmah Ibadah


Tujuan ibadah adalah sebagai perantaraan wasilah untuk meluruskan
akhlak, mendidik diri, membersihkan dan mensucikan jiwa dari penyakit-
penyakit kejiwaan dan kemasyarakatan agar selalu mengenal dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Ibadah sangat berkaitan dengan aqidah (iman), aqidah yang tertanam
dalam jiwa seorang Muslim akan senantiasa menghadirkan dirinya dalam
pengawasan Allah semata sehingga berprilaku sesuai yang dikehendaki
Allah.

68 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


C. MUAMMALAH 1. Pengertian Muammalah
Muammalah atau aturan-aturan dasar hubungan antar manusia
(hablumminannas). Muammalah adalah tuntunan hidup manusia sebagai
makhluk psiko fisik yang berada di tengah manusia lainnya; oleh karena itu
muammalah merangkum seluruh dimensi sosial manusia seperti aturan
pernikahan, pewarisan ekonomi, pidana dan sebagainya yang menyangkut
tata hukum dalam hubungan sosial.

2. Ruang Lingkup Muammalah


a. Hukum keluarga (ahkam al-ahwal al syakhsiyah) yaitu hukum-hukum yang
mengatur tentang hak dan kewajiba suami, istri dan anak. Hukum ini
dimaksudkan untuk memelihara dan membangun keluarga sebagai unit
masyarakat terkecil.
b. Hukum perdata (Al-ahkam al-amaliyah) yaitu hukum tentang perbuatan
usaha perorangan seperti jual beli (al bai al ijarah), pegadaian (rahn),
penanggungan (kafalah), persyarikatan (syirkah), utang piutang (‘udayanah),
perjanjian (uqud). Hukum perdata ini dimaksud untuk
mengatur orang dalam kaitannya dengan kekayaan dan pemeliharaan
hak-haknya.
c. Hukum pidana (al ahkam al jinayah) yaitu huku yang bertalian dengan
tindak kejahatan dan sangsi-sangsinya, adanya hukum-hukum ini untuk
memelihara ketentraman hidup manusia dan harta kekayaannya,
kehormatannya dan hak-haknya.
d. Hukum acara (al ahkam al murafa’ah) yaitu hukum yang berhubungan dengan
peradilan (al aqda), persaksian (al syahadah), dan sumpah (al yamin). Hukum
ini dimaksudkan untuk mengatur proses peradilan guna merealisasikan
keadilan antara manusia.
e. Hukum perundang-undangan (Al-ahkam al dusturiyah) yaitu hukum yang
berhubungan dengan perundang-undangan untuk membatasi
hubungan hakim dan terhukum serta menetapkan hak-hak perorangan
dan kelompok.
f. Hukum-hukum kenegaraan (Al ahkam al dauliyah) yaitu hukum yang
berkaitan dengan hubungan kelompok masyarakat didalam negara dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 69


hubungan antara negara dengan lainnya. Dimaksudkan dengan hukum
ini adalah untuk membatasi hubungan antara negara dalam masa damai

dan masa perang, serta membatasi hubungan antara ummat Islam


dengan yang lain di dalam negara.
g. Hukum ekonomi dan keuangan (Al ahkam al Iqtishadiyah wa almaliyah) yaitu
hukumyang berhubungan dengan hak fakir miskin di dalam harta orang
kaya, mengatur sumber-sumber pendapatan dan masalah pembelanjaan
negara, hal ini untuk mengatur hubungan ekonomi antara orang kaya
(aghniya) dengan orang fakir miskin dan antara hakhak keuangan negara
dengan perseorangan.
Prinsip pokok dalam pelaksanaan muammalah adalah bahwa suatu
bentuk muammalah boleh dilakukan, sepanjang tidak ada naskah (teks
Alquran dan Al hadits) yang melarangnya, ketentua ini dikaitkan dengan
kaidah ibadah ghairu mahdhah bahwa: “semua boleh dilakukan, kecuali yang
dilarang Allah dan Rasul-Nya“.

3. Kerja Sama Umat Beragama


Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah dapat hidup sendiri, ia
selalu berhubungan dengan orang lain dalam maupun antar kelompok
masyarakat. Islam memberikan tuntunan dalam pergaulan intern ummat
islam sendiri dan ummat beragama lainnya. Sering ditemukan penganut
suatu agama memanfaatkan agama untuk tujuan masing-masing dan
menampilkan seolah-olah agama itu adalah kewajiban bagi kita untuk
memahami realitas agama yang kita yakini dalam kerangka menciptakan
suatu semangat kerjasama yang bermakna dengan ummat beragama lain,
tidak terkecuali bagi para penghayat Islam berkewajiban memahami
pluralisme keagamaan yang diajarkannya. a. Hubungan intern ummat
Islam.
Hubungan sesama Muslim digambarkan sebagai sesuatu yang tak
terpisahkan, seperti halnya anggota tubuh yang saling berhubungan antara
satu dengan yang lain, dan apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka
semuanya akan merasakan sakitnya.

70 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


b. Hubungan antar ummat beragama.
Agama Islam diturunkan untuk manusia dengan
segala keberagamannya. Ajaran Islam tidak melarang
ummatnya untuk berhubungan dengan ummat beragama lain.
Islam mengajarkan ummatnya untuk senantiasa berpihak pada kebenaran
dan keadilan terhadap siapa saja, termasuk orang-orang non-Muslim.
Dalam masyarakat sekarang ini hubungan antar para pemeluk agama
yang berbeda-beda tidak bisa dihindarkan, baik dalam bidang sosial, politik,
ekonomi maupun budaya. Bagi ummat Islam hubungan ini tidak menjadi
halangan sepanjang berkaitan dengan masalah sosial kemansiaan atau
muammalah; bakan dalam berhubungan dengan mereka, ummat islam
dituntut untukmenampilkan prilaku yang baik sehingga menarik minat
mereka untuk mengetahui ajaran Islam.
Dalam sejarah Rasul kita dapat menemukan bahwa orang-orang kafir
masuk Islam disebabkan sikap dan tingkah laku Nabi dalam berhubungan
dengan mereka. Karena itu, menampilkan prilaku yang Islami dalam
hubungan dengan pemeluk agama lain merupakan bagian yang tak
terpisahkandari misi yang disebut dakwah bil hal.
Dalam hubungan dengan ummat beragama lain hendaknya seorang
muslim tetap menjaga keyakinannya, yaitu meyakini bahwa agama islamlah
yang diridhai Allah dan berusaha menyucikan aqidahnya. Hal ini berarti
bahwa hubungannya dengan pihak lain tidak sampai membenarkan
keyakinan mereka atau saling tukar keyakinan, tetapi tetap menghormati dan
menghargai keyakinan masing-masing.

D. MENGENAL MAZHAB DALAM HUKUM ISLAM 1. Memahami


fikih Islam
Apabila kita akan mengenal mazhab dalam hukum Islam, maka kita
perlu memahami tentang fikih Islam, Fikih berasal dari akar kata
faqahayafqahu yang artinya memahami atau mengerti sesuatu. Fikih adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syari’at, fikih bersifat
instrumental dan ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur
perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai perbuatan hukum. Fikih
adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dapat berubah dari

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 71


masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Hal ini disebut dengan istilah Mazahib atau mazhab-mazhab. Oleh karena itu
fikih menunjukkan adanya keragaman dalam hukum Islam. M. Daud Ali
(1999).
Fikih berisi rincian dari syari’ah, karena itu ia dapat dikatakan sebagai
elaborasi terhadap syari’ah. Elaborasi yang dimaksud disini merupakan suatu
kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran atau ra’yu, untuk
mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya di
dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Dalam fikih kita akan menemukan
pemikiran-pemikiran para Fuqoha, antara lain adalah para pendiri empat
mazhab yang ada dalam ilmu fikih yang masih berpengaruh di kalangan umat
Islam sedunia.
Di dalam ilmu fikih dikenal beberapa jenis fikih, yaitu sebagai berikut:
1) Fikih Syariah, atau yang dikenal dengan fikih ibadah atau fikih sunnah.
Adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum Islam baik masalah ibadah
maupun masalah muammalah.
2) Fikih Maqashid, yang menjelaskan tentang sasara-sasaran syariat Islam
dalam segala aspek kehidupan. Misal dalam sasaran sosial (maqashid
ijtimaiyah), yaitu: hikmah shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
3) Fikih awlawiyyat, yaitu tentan gmendahulukan mana yang lebih prioritas
dan membelakangkan yang kurang prioritas, mana yang lebih penting
didulukan jika terjadi dua kewajiban dalam waktu yang bersamaan, atau
mana yang lebih berat dihindari jika terjadi dua larangan pada saat yang
bersamaan. Misalnya fardhu ‘ain perorangan harus didahulukan dengan
dari fardhu kifayah perorangan, fardhu ‘ain untuk orang banyak harus
didahulukan dari fardhu ‘ain perorangan, kewajiban yang waktunya
sedikit harus didahulukan dari kewajiban yang waktunya lebih luas, dan
seterusnya.
4) Fikih Muwazanah, yaitu mempertimbangkan antara memilih dua maslahat
yang berbeda mana yang lebih didahulukan, atau mempertimbangkan
diantara dua mafsadat yang berbeda, atau mempertimbangkan antara
maslahat dengan mafsadat dari sesuatu hal yang sama. Seperti
kepentingan pribadi yang khusus digugurkan demi mendapatkan
maslahat umum, mencapai maslahat yang permanen didahulukan dari

72 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


maslahat yang temporal, maslahat yang spekulatif dikorbankan untuk
mendapatkan maslahat yang pasti. Jika ada dua kerugian yang tidak
dapat dihindari, maka dipilih kerugian yang lebih ringan. AlMusawwa.
(2005).
2. Fikih Ikhtilaf
Fikih ikhtilaf adalah cabang ilmu fikih yang mempelajari tentang
perbedaan pendapat dikalangan para Ulama’ dalam masalah-masalah furu’
(cabang syari’at), sebab-sebabnya, dan adab-adab dalam berbeda pendapat.
Ada dua macam ikhtilaf fikih, yaitu: perbedaan dalam masalah pokok-
pokok syari’at (ushul) dan perbedaan pendapat dalam masalah cabang syari’at
(furu’).
Perbedaan pendapat dalam masalah pokok syari’at (akidah dan ushul
ibadah) adalah terlarang dan disepakati keharamannya oleh para ulama’.
Misalnya, jika ada yang menyatakan bahwa ada Nabi yang ke 26, maka
termasuk sudah keluar dari Islam dan harus bertaubat, hukum waris tidak
adil untuk zaman modern, jilbab tidak wajib dan sebagainya.
Perbedaan kedua yang dibolehkan adalah perbedaan dalam masalah
furu’ sepanjang tetap berpegang kepada dalil yang shahih, contohnya seperti
pada:
1) Bab Thaharah (bersuci). Batalkah wudhu bagi orang yang bersentuhan
dengan istrinya?
2) Bab Shalat. Wajibkah membaca surah Al-fatihah, jika menjadi makmum?
3) Bab Puasa. Apakah kita memulai puasa dengan hisab atau dengan ru’yah?
4) Masalah Politik. Apakah boleh menggunakan sistim multi partai atau
bersatu dalam satu partai? Dan sebagainya (Al-Musawwa, 2005).

3. Sejarah terbentuknya Mazhab


Mazhab secara bahasa artinya jalan atau tempat berjalan. Secara
istilah diartikan sebagai cara seorang Mujtahid dalam mengambil (istinbath)
dari dalil Alquran atau As-Sunnah yang berbeda-beda antara seorang
mujtahid dengan mujtahid lainnya.
Pada masa Rasulullah saw masih hidup segala sesuatu Beliau sendiri
yang memimpin, peristiwa-peristiwa yang yang terjadi langsung mendapat
putusan dari Beliau, Sahabat-sahabat senantiasa diberi petunjuk berdasarkan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 73
wahyu yang selalu dituliskan oleh para sahabat, sehingga berbagai
permasalahan yang terjadi pada waktu itu Rasulullah sendiri yang
memutuskannya sehingga tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah
hukum.
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat sebagai penggantinya, banyak
di antara mereka merupakan para ulama’ cerdik pandai; Merekalah yang
menggantikan Beliau memimpin negara dan rakyat, memajukan agama,
memutuskan hukum dengan adil. Dengan sendirinya pengetahuan mereka
tentu tidak sama, sebagian mereka merupakan alim Mutakhassis (spesialis)
dalam suatu ilmu tertentu, seperti ilmu hukum, politik, dan lainlain.
Untuk menghadapi berbagai persoalan yang terjadi, mereka periksa
didalam alqur’an dan hadits yang mereka hafalkan, tetapi kadang-kadang
yang dihadapi tidak dapat dicari nashnya didalam Alquran maupun hadits,
sehingga mereka bertanya satu sama lain, apabila ada di antara mereka yang
mengetahui hadits mengenai peristiwa itu maka hukum diputuskan
berdasarkan nash hadits, namun kadang tidak dijumpai dengan nash yang
terang, maka mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan
memperbandingkan dan meneliti ayat-ayat dan hadits yang umum, serta
mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi;
diqiyaskan dengan hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan
peristiwa yang baru terjadi.
Dalam soa-soal yang penting mereka bermusyawarat, bertukar
pikiran, dalam bermusyawarah semua didasarkan kepada dua pokok yaitu
Alquran dan Al-hadits, sehingga permusyawaratan itu dapat memberi
keputusan, tak segan-segan seorang yang berkedudukan tinggi bertanya
kepada siapapun walaupun lebih rendah kedudukannya.
Agama Islam makin tersiar dan berkembang di timur dan di barat,
banyak para sahabat yang berpindah negeri. Ada didorong karena
penghidupan dan ada pula karena berjihad di jalan Allah untuk menegakkan
agama-Nya yang suci. Perpindahan itu sangat ramai terjadi pada masa Bani
Umayyah karena di zaman itu kedaulatan Islam sudah sangat luasnya, di
daerah-daerah baru yang mereka datangi mempunyai adat, pergaulan,
peraturan-peraturan dan peristiwa-peristiwa yang sungguh berbeda dari
yang mereka alami di daerah kelahirannya. Tiap-tiap daerah mempunyai adat

74 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


pergaulan dan peraturan perundang-undangan sendiri sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan pada waktu itu, seperti Mesir dan Syam
mempunyai peraturan perundang-undangan warisan dari pemerintahan
Romawi, bahkan di daerah-daerah baru tersebut lebih maju dari jazirah Arab.
Dalam menghadapi kejadian itu, perbedaan antara daerah baru dan
daerah lama, atau sesama daerah baru, para Ulama’ waktu itu berusaha agar
semua persoalan yang mereka hadapi dapat disesuaikan dengan agama Islam,
karena Islam bersifat Rahmatallil ‘alamin, bukan untuk meruntuhkan atau
membuang segala yang ada, dan mengganti dengan yang baru, tetapi ia
memperhatikan serta menimbang segala sesuatu dengan dasar baik, serta
melihat manfaat dan madharatnya. Rasjid, Sulaiman (1976).
Para Ulama’ (fuqoha) mendasarkan penetapan hukum terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang pertama didasarkan kepada Alquran
dan Al-hadits, barulah selanjutnya didasarkan kepada Ro’yu melalui ijtihad.
Karena pemahaman antara Ulama (fuqoha) yang satu dengan yang lain
berbeda-beda, kejadian yang berbeda, lingkungan adat istiadat antara daerah
yang satu dengan yang lain berbeda maka akan menghasilkan keputusan
hukum yang berbeda pula. Namun perbedaan tersebut yang diperbolehkan
hanya dalam masalah furu’ (cabang-cabang syari’at).

4. Mazhab dan Pendirinya


Dalam fikih Islam terdapat beberapa mazhab yang berbeda-beda,
diantaranya yang terkenal ada empat, yaitu:
1) Mazhab Hanafi
Didirikan oleh Imam Nu’man bin Tsabit dan bergelar Abu
Hanifah. Dilahirkan pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada tahun
150 H. Ia berasal dari Kufah (Irak). Di sana pula beliau belajar dan mulai
menyusun mazhabnya. Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As
Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Istihsan. Berkata Imam Syafi’i tentang beliau,
“Semua manusia dalam ilmu fikih pasti membutukan Abu Hanifah.”
Menurut riwayat, beliau adalah wadhi’ ilmu fiqih (yang
mulamula menyusun ilmu fiqih sebagai susunan yang sekarang ini).
Beberapa ulama bergaul mempelajari mazhabnya dan membukukan
hukum-hukum yang mereka dapat dari beliau. Ulama-ulama tersebut

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 75


dinamakan “sahabat-sahabat” Abu Hanifah, di antaranya Abu Yusuf,
Muhammad bun Hasan dan Zufar.
2) Mazhab Maliki
Didirikan oleh Malik bin Anas Al Ashbahi. Dilahirkan pada tahun
93 H dan wafat pada bulan Safar 170 H. Beliau berasal dan belajardi
Madinah. Di Madinah pulas beliau menulis kitab Al Muwaththa’.
Dasar-dasar mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’, Qiyas,
perbuatan ulama Madinah, perjkataan sahabat, istihsan, saddu dzarai,
mura’ah al khilaf, istishab, mashalih mursalah dan syariat terdahulu. Berkata
Imam Syafi’i tentang beliau, “Malik adalah guruku, darinya aku mandapatkan
ilmu. Ia adalah hujjah antara aku dan Allah Swt. Tak seorangpunyang lebih
kupercayai daripada beliau. Jika berbicara tentang para ulama, beliau seperti
bintang yang cahayanya paling terang.”
Beliau adalah ahli fiqih dan hadist yang paling berpengaruh di
seluruh Hijaz atau Sayyid Fuqaha al Hijaz. Beliau memiliki murid yang
banyak, seperti Sa’ad Abu Ishaq Al Farazi.
3) Mazhab Syafi’i
Didirikan oleh Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Hasyimi.
Dilahirkan pada tahun 150 H di Palestina dan wafat pada tahun 204 H di
Mesir. Pada umur 2 tahun beliau di bawa ke Mekkah oleh ibunya. Beliau
hafal Al qur’an pada umur 7 tahun dan hafal hadist pada umur 12 tahun.
Beliau berguru pada Imam Malik dan pada umur 10 tahun telah menghafal
kitab Al Muwaththa’. Fatwa pertamanya adalah mazhab al Qodim yang
ditulis pada tahun 195 H. Tahun 200 H, beliau pindah ke Mesir dan menulis
fatwa yang baru berjudul mazhab al Jadid. Beliau mengarang kitab Ar Risalah
dalam ilmu ushul fiqh dan kitab Al Umm dalam ilmu fiqh. Dasar-dasar
mazhab beliau adalah Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Berkata
Imam Ahmad tentang beliau, “Beliau adalah manusia yang paling menguasai
Kitabullah dan Sunnah. Tidaklah seseorang yang mencoba memulai menulis
fikih, kecuali Imam Syafi’i telah mendahuluinya.”
4) Mazhab Hanbali
Didirikan oleh Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani atau Imam Ahmad
(164 – 241 H). Beliau lahir dan wafat di Baghdad. Beliau sangat mencintai
ilmu dan sering bepergian mencari ilmu ke berbagai kota,

76 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


seperti Kuffah, Bashra, Mekkah, Madinah, Yaman, Mesir, Syam, dan
Jazirah Arab. Beliau belajar pada banyak guru, salah satunya adalah
Imam Syafi’i. Berkata Imam Syafi’I tentang beliau, “Aku keluar dari Baghdad
dan tak seorang oun yang kutemui lebih pandai dan lebih takwa dari Ahmad bin
Hambal.”
Dasar dari mazhabnya adalah Al Qur’an, As Sunnah, perkataan
sahabat, Ijma’, Qiyas, Istishab, Mashalih mursalah, dan Adz Dzarai’. Beliau
mengarang kitab Al Musnad mengenai hadist dan berisi sekitar 45. 000
hadist.
5. Hukum Bermazhab
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah mengatur mazhab.
Perbedaan tersebut adalah:
1) Mewajibkan. Semua orang harus mengikuti salah satu di antara
keempat mazhab yang ada karena pintu ijtihad sudah ditutup dan tidak
seorang pun mampu menjadi seorang mujtahid di masa kini. Pendapat
ini menganggap semua manusia sebagai orang awam sehingga harus
taqlid atau mengikuti secara penuh, tanpa boleh sedikitpun
mempertanyakan, mengkritik atau memperbaiki kesalahan para imam.
2) Mengharamkan. Berasal dari kelompok yang menyatakan bahwa
bermazhab itu bid’ah, yaitu mengada-ada apa yang tidak diperintah oleh
Nabi Muhammad saw. Bid’ah dalam agama adalah haram. Mereka
menyatakan bahwa di zaman Rasulullah tidak ada berbagai mazhab,
yang ada hanya satu, yaitu mazhab Rasulullah. Karena itu, kita sekarang
harus kembali berijtihad seluas-luasnya, langsung kepada Al Qur’an dan
Sunnah, tanpa perlu memperhatikan ulama-ulama mazhab.
3) Membolehkan tanpa pemaksaan pada mazhab tertentu dan kita harus
menyempurnakannya sehingga sampai pada taraf mujtahid. Kelompok
ini membagi manusia dalam 3 golongan, yaitu:
a) Kelompok awam yang tidak mengerti dalil sama sekali. Bagi
kelompok ini, mereka wajib memilih dan mengikuti salah satu
mazhab yang ada.
b) Kelompok pencari ilmu. Bagi kelompok ini dipersilakan memilih
salah satu mazhab, tapi boleh mempelajari atau mengambi dari
mazhab lain yang sahih sambil terus menyempurnakan ilmunya.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 77


c) Kelompok para ulama mujtahid (yang memenuhi syarat untuk
mampu berijtihad). Kelompok ini haram bermazhab. Mereka harus
terus berusaha mengembangkan ijtihadnya sehingga memperkaya
dan mengembangkan khazanah ilmu fikih Islam.
6. Contoh perbedaan Pendapat Dalam Masalah Furu’
Perbedaan pendapat dalam masalah furu’ adalah sesuatu yang tak
dapat dihindari karena berbagai sebab, diantaranya:
1) Perbedaan dalam mengartikan bahasa, seperti kata quru’ dalam Alquran
Surat Al-Baqarah :228 bisa bermakna haidh bisa bermakna suci.
2) Perbedaan dalam memahami hadits, seperti membaca Al-Fatihah di
belakang imam (apakah hadits yang melarang membaca di belakang
imam termasuk bacaan Al-Fatihahnya atau bacaan suratnya saja).
3) Perbedaan dalam menilai derajat hadits, seperti hadits “air dua qullah
tidak mengandung najis”, Imam Syafi’i menyatakan hadits ini shahih,
yang lainnya mendhoifkannya.
4) Perbedaan yang sudah ada sejak dari masa Rasululloh saw, seperti
memulai Al-fatihah dengan basmallah atau dengan hamdalah, perbedaan
dalam do’a iftitah, sujud, I’tidal, tasyahud dan sebagainya.
Contoh perbedaan furu’ lainnya adalah hanya diberikan sebagai
contoh karena sangat banyaknya, diantaranya:
1) Fardhu wudhu. Imam Syafi’i berpendapat ada tujuh yaitu: membasuh
lima anggota wudhu, niat dan tertib, (memulai dengan urutan
sebagaimana dalam Alquran surat Al-Maidah : 6. Imam Ahmad
menambahkan niat, tartib dan muwalah (bersambung tidak ada jeda
waktu), sedang Imam Ahmad menambahkan niat, muwalah dan tadlik
(menggosok).
2) Shalat qoshor, Menurut Imam Abu Hanifah hukumnya fardhu ‘ain,
menurut Imam Malik hukumnya sunnah muakkadah, menurut Imam
Ahmad, sunnah, sedang menurut Imam Syafi’i sunnah, jika lebih dari tiga
hari.
3) Shalat jama’, menurut Imam Abu Hanifah hanya boleh di Arafah dan
Muzdalifah. Menurut Imam Malik boleh dalam berpergian walaupun
dekat dalam kondisi kuatir. Menurut Imam Syafi’i boleh dalam

78 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


bepergian, dan hujan. Menurut Imam Ahmad boleh dalam bepergian,
sakit menyusui, tua dan takut melarat.
4) Membaca Al-Fatihah dibelakang imam, menurut Abu Hanifah makruh,
menurut Syafi’I wajib, Menurut Malik dan Ahmad, makruh dalam shalat
jahriyah (shalat shubuh, maghrib, dan isya’) dan, sunnah dalam shalat
siriyah (shalat dhuhur dan asyar).

E. HAK ASASI MANUSIA 1. Pengertian Hak Asasi Manusia


Muhammad Abed Al-Jabiri menyebutkan bahwa para filsuf
pemikiran politik moderen di Eropa Abad 17 dan 18 menghipotesiskan
adanya “kondisi alamiah” bagi manusia. John Locke (1632 – 1704), merupakan
orang yang paling banyak melakukan upaya untuk menjadikan hipotesa ini
sebagai otoritas yang mendasari ‘universalitas” Hak Asasi Manusia (HAM). Ia
berkata: “Agar kita memahami kekuasaan politik dengan benar dan
mengambilnya dari akarnya, kita harus meneliti kondisi alamiah yang
terdapat pada diri setiap individu, yaitu kondisi kebebasan yang sempurna
dalam mengatur perilaku mereka, dan bertindak berdaarkan kepribadian dan
kecakapan mereka yang dianggap sesuai dengan diri mereka dalam ikatan
hukum-hukum alam, tanpa perlu meminta izin atau berpegangan pada
kehendak orang lain. Ia juga adalah kondisi persamaan, dimana kekuasaan
dan pembuatan hukum saling berhadapan dan yang satu tidak mengambil
lebih banyak dari yang lain ……”. Dengan demikian, “kondisi alamiah” adalah
kondisi kebebasan dan persamaan yang ada pada manusia sebelum adanya
kekuasaan yang membatasi mereka menggunakan haknya – yakni kebebasan
dan persaman – selain “hukum alam” itu sendiri, hukum yang bertujuan untuk
“menjaga jenis manusia dan menjamin keselamatannya, serta diserahkan
pelaksanaannya kepada setiap manusia”. Jadi, HAM adalah hak alamiah bagi
manusia. Karena alam merupakan otoritas universal dan mutlak, maka hak-
hak yang dibangun di atasnya adalah hak-hak universal dan mutlak pula.
Selanjutnya, “kondisi alamiah” itu tidak berarti kekacauan, tetapi
kondisi dimana berlaku di dalamnya “hukum alam”. Ketika sangat mungkin
terjadi konflik di antara manusia dalam melaksanakan hak-hak alamiahnya
masing-masing, maka secara alamiah pula mereka akan berusaha

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 79


menafsirkan dan menerapkan “hukum alam” itu, dengan cara yang dapat
merangkul hak-hak individu, dan ini tidak bisa dicapai kecuali “dengan
mendirikan sebuah persatuan di antara mereka, di mana setiap individu
terjamin dan dimungkinkan untuk menjalankan hak-hak, menghormati orang
lain karena dia bersatu dengan keseluruhan, dan bahwa ia hanya akan tunduk
padanya, dan implikasinya ia tetap menikmati kebebasan yang dimilikinya”.
Dari sinilah bermuara hipotesa “kontrak sosial” yang menuju kondisi sipil,
seperti yang dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau (1778 – 1712).
Manusia secara alamiah tidak dapat hidup sendirian, tetapi ia harus
berkelompok dengan orang lain yang sejenis dengannya. Karena keinginan
mereka berbeda dan bertentangan maka kelompok mereka tidak akan
bertahan kecuali jika dibangun di atas “perjanjian” di antara mereka, dimana
masing-masing orang mengundurkan diri dari hak-hak demi kelompok
afiliasinya, dan kelompok itu dipersonifikasikan oleh negara yang dianggap
mewakili semua orang untuk mengatur pelaksanaan hak-hak mereka, dan
dengan cara itulah “hak-hak alamiah” itu berubah menjadi “hak-hak sipil”,
sementara kebebasan dan persamaan tetap menjadi substansi hak-hak
tersebut.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, pengakuan bahwa HAM itu
adalah hak alamiah berarti pula pengakuan bahwa HAM itu adalah anugerah
Tuhan, karena itu tidak ada satu kekuasaanpun di dunia yang dapat
mencabutnya. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa manusia
dengan hak-haknya itu dapat berbuat semena-mena, karena apabila
seseorang melakukan sesuatu yang dikategorikan melanggar hak asasi orang
lain, maka ia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya.

2. Sejarah Singkat Hak Asasi Manusia


Ahmad Kosasih menyatakan bahwa, di Eropa, sejarah HAM itu baru
tumbuh dan berkembang pada waktu hak-hak itu mulai diperhatikan dan
diperjuangkan terhadap serangan-serangan atau bahaya yang timbul dari
kekuasaan suatu masyarakat atau negara. Pada hakekatnya, persoalan mengnai
Ham berkisar pada hubungan antara manusia sebagai individu dan masyarakat.
Ketika suatu negara semakin kuat dan meluas, secara terpaksa akan
mengintervensi lingkungan hak-hak pribadi yang mengakibatkan

80 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


hakhak pribadi itu berkurang. Maka terjadilah persengketan antara individu
dan kekuasaan negara. Pada saat itulah perlindungan terhadap hak-hak
individu yang bersifat asasi sangat dibutuhkan.
Selanjutnya disebutkan bahwa, para ahli di Eropa berpendapat
bahwa cikal bakal HAM telah ada seja lahirnya Magna Charta 1215 di
Kerajaan Inggris. Disebutkan bahwa raja yang memiliki kekuasaan basolut
dapat dibatasi kekuasaannya dan dimintai pertanggungjawabannya di muka
hukum. Semangat Magna Charta ini selanjutnya melahirkan undang-undang
hak (Bill of Right) dalam Kerajaan Inggris. Peristiwa ini memunculkan suatu
adagium yang berintikan “manusia sama di muka hukum”. Paham persamaan
memberikan semangat bagi munculnya deklarasi kemerdekaan Amerika
(Declaration of Independence) tahun 1776, yang di dalamnya menegaskan
“manusia adalah merdeka sejak dalam perut ibunya, sehingga tidak logis bila sesudah
lahir dia harus dibelenggu”.
Pada tahun 1789, di Perancis lahir sebuah deklarasi yang dikenal dengan The
French Declaration, yang menyatakan antara lain: tidak boleh ada
penangkapan dan penahanan yangb semena-mena, termasuk ditangkap
tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh
pejabat yang sah. Pernyataan itu selanjutnya dipertegas lagi dengan
kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, kebebasan menganut keyakinan/
agama, perlindungan terhadap hak milik, dan hak-hak lainnya.
Seiring dengan berjalannya waktu dan terjadinya perkembangan dalam
kehidupan kemasyarakatan, konsepsi HAM terus mengalami perubahan.
Hak-hak yang harus mendapat perlindungan tidak hanya bersifat yuridis-
politik, melainkan juga hak-hak dalam bidang kehidupan lainnya seperti
ekonomi, sosial dan budaya. Pada permulaan abad 20, presiden Amerika,
Franklin D. Rosevelt merumuskan empat macam hak-hak asasi yang dikenal
dengan “The Four Freedom”, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan memilih
agama, kebebasan dari rasa takut, dan kebebasan berkehendak. Ke-empat
macam hak-hak dasar tersebut didasarkan pada argumen bahwa untuk
membahagiakan manusia tidak cukup hanya dengan memberikan pengakuan
hak-hak politik saja. Karena hak-hak politik dan yuridik tidak akan berarti
apa-apa tanpa terpenuhinya kebutuhan manusia yang paling mendasar
seperti sandang, pangan dan papan.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 81


Berdasarkan argumen di atas, perspektif Ham dalam perkembangan
selanjutnya mencakuip bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Dimensi baru
HAM yang dirumuskan oleh F.D. Rosevelt ini menjadi inspirasi dan bagian
yang tidak terpisahkan dari Declaration of Human Right 1948 yang menjadi
podoman pelaksanaan HAM hingga kini. Pernyatan yang disahkan oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ini terdiri dari 30 pasal dan
sangat sarat dengan ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia baik yang
bersifat yuridik maupun politik. Deklarasi ini disebutjuga Universal
Declaration of Human Right (UDHR).
Rumusan-rumusan HAM yang terdapat dalam UDHR, yang muncul
berdasarkan paham yang berkembang di Eropah dan dapat disebut konsep
HAM Barat, ternyata belum mampu mengakomodasi hasrat dan keinginan
seluruh negara yang tergabung dalam PBB, terutama negara-negara yang
mayoritas penduduknya umat Islam. Umat Islam melihat permasalahan yang
sangat prinsipil di dalam pasal-pasal HAM tersebut. Misalnya pasal 16 yang
menyangkut perkawinan antar umat yang berbeda agama; dan pasal 18
tentang hak kebebasan keluar-masuk agama.
Atas dasar itu semua, negara-negara yang tergabung dalam
Organisasi Konferensi Islam sedunia (OKI) membuat suatu rumusan tentang
Ham berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi yang dideklarasikan di Kairo,
Mesir pada tanggal 5 Agustus 1990. Rumusan ini terdiri dari 25 pasal yang
kemudia disebut Cairo Declaration (CD). CD tidak membentuk rumusan HAM
yang baru sama sekali, tetapi mengoreksi pasal-pasal yang dianggap
menyimpang dengan prinsip-prinsip Islam. Bagi pasal-pasal yang tidak
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam diberikan landasan Alquran dan
Sunnah.

3. Hak Asasi Manusia Menurut Ajaran Islam


a. HAM Sebagai Tuntutan Fitrah Manusia
Menurut Islam, manusia adalah puncak ciptaan Tuhan. Ia
dikirim ke bumi untuk menjadi khalifah atau wakilnya (QS 2: 30). Oleh
karena itu, manusia memikul beban serta tanggungjawab sebagai
individu dihadapan Tuhah kelak, tanpa kemungkinan untuk
mendelegasikan kepada pribadi yang lain. Pertanggung-jawaban yang

82 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


dituntut dari seseorang haruslah dimulai dengan kebebasan emilih.
Tanpa adanya kebebasan itu, tuntutan pertanggung-jawaban adalah
suatu kezaliman dan ketidak adilan, yang jelas sekali bertentangan
dengan sifat Allah yang Maha Adil. Dengan demikian, kebebasan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tanggungjawab.
Kebebasan juga harus dipandang sebagai penghormatan terhadap
harkat dan martabat manusia sebaga hamba dan khalifah Allah di bumi.
Sedang pelanggaran dan penindasan terhadap harkat dan martabat
manusia adalah tindakan kejahatan kepada kemanusiaan universal.
Sejalan dengan pemikiran ini, maka Islam memandang bahwa
pembunuhan seseorang tanpa dosa pembunuhan atau tindakan
perusakan di bumi bagaikan ia membunuh seluruh umat manusia, dan
barang siapa menolong hidupnya, bagaikan ia menolong hidup seluruh
umat manusia (QS. 5: 32). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa,
menghormati dan memelihara eksistensi hak-hak individu itu sama
pentingnya dengan menghormati dan memelihara hak-hak masyarakat.
Selanjutnya, jika Islam menyuruh seseorang agar mempertahankan
hakhak pribadinya, bukan berarti bahwa ia punya kebebasan mutlak
dalam menggunakannya, melainkan di dalam kebebasan itu juga
terkandung tanggungjawab untuk memelihara hak dan kepentingan
orang lain. Oleh karena itu, di dalam Alquran banyak terdapat larangan
pelanggran terhadap hak-hak orang lain.
Berkaitan dengan penggunaan hak-hak individu itu, Ahmad Zaki
Yamani seperti yang dikutip oleh Ahmad Kosasih menyatakan bahwa,
individu yang mempunyai hak dianggap menyalah-gunakan haknya
apabila:
1) Dengan perbuatannya, ia merugikan orang lain;
2) Perbuatan yang dilakukan tidak menghasilkan manfaat bagi dirinya,
dan sebaliknya menimbulkan kerugian baginya;
3) Perbuatan yang dilakukan menimbulkan bencana umum bagi
masyarakat.
b. Perimbangan Antara Hak-hak Individu dan Masyarakat
Ahmad Kosasih menyebutkan bahwa, untuk menjaga
keseimbangan antara hak-hak individu dan masyarakat, di dalam Islam

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 83


tidak dikenal adanya kepemilikan mutlak pada diri manusia.
Kepemilikan mutlak hanyalah di tangan Allah. Oleh karena itu, di dalam
syari’at Islam apabila disebut hak Allah, maka yang dimaksud adalah hak
masyarakat atau hak umum. Allah adalah pemilik sesungguhnya
terhadap alam semesta, termasuk apa yang dimiliki oleh manusia itu
sendiri (QS. 10: 55; 2: 29; 24: 33).
Pernyataan Allah bahwa “segala apa yang ada di langit dan bumi
adalah milik-Nya dan diciptakan untukmu (manusia)” menyiratkan bahwa
setiap manusia sama-sama berhak untuk mengambil manfaat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam batas-batas yang telah digariskan
oleh prinsip-prinsip umum syari’at. Dari sinilah muncul ajaran
persamaan (al-musawah), dalam arti setiap individu sama-sama berhak
mengambil manfat dari kekayaan alam yang diciptakan Allah.
Meskipun demikian, di sisi lain, Islam sangat menghargai amal (karya)
seseorang. Setiap orang akan memperoleh ganjaran dari perbuatan
baiknya, dan sebaliknya akan mendapat siksa berdasarkan perbuatan
jahatnya (QS. 2: 286). Ayat-ayat Alquran yang berisi larangan
pelanggran hak-hak orang lain, hakekatnya adalah juga untuk menjaga
keseimbangan antara hak- hak individu dan masyarakat.
c. Perbedaan Pandangan antara Islam dan Barat tentang HAM
Menurut Ahmad Kosasih, terdapat perbedaan yang mendasar
antara konsep HAM dalam Islam dengan konsep HAM yang diterima
oleh perangkat-perangkat internasional atau konsep HAM Barat. HAM
dalam Islam didasarkan pada premis bahwa aktifitas manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi, sedang konsep Barat percaya bahwa pola
tingkah laku manusia hanya ditentukan oleh hukum-hukum negara atau
sejumlah otoritas yang mencukupi untuk tercapainya aturanaturan
politik yang aman dan perdamaian semesta.
Selain itu, perbedaan juga terlihat dari cara pandang terhadap
HAM itu sendiri. Di Barat (kebudayaan Barat), perhatian kepada
individu-individu timbul dari pandangan yang bersifat antroposentris,
dimana manusia adalah ukuran terhadap segala sesuatu. Dengan
demikian, nilai-nilai utama dari Kebudayaan Barat seperti demokrasi,
institusi sosial dan kesejahteraan ekonomi sebagai perangkat yang

84 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


mendukung tegaknya HAM itu berorientasi kepada penghargaan
terhadap manusia. Dengan kata lain, manusia menjadi sasaran akhir dari
pelaksanaan HAM. Karena berorientasi kepada manusia maka,
pertanggung-jawabannya juga hanya kepada manusia semata.
Berbeda dengan Barat yang antroposentris, Islam bersifat
theosentris-dimana Tuhan yang Maha Tinggi dan manusia hanya untuk
mengabdi kepada-Nya – larangan dan perintah lebih didasarkan atas
ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah atau Hadis.
Manusia disuruh hidup dan bekerja di atas dunia dengan kesadaran
penuh bahwa ia harus menunjukkan kepatuhan kepada kehendak Allah.
Mengakui hak-hak dari manusia adalah sebuah kewajiban dalam rangka
kepatuhan kepada-Nya. Karena berorientasi kepada Tuhan, maka
pertanggung-jawabannya selain kepada manusia juga kepada Tuhan.
Dengan demikian, penegakan HAM dalam Islam tidak hanya didasarkan
pada aturan-aturan yang bersifat legal-formal saja, tetapi juga kepada
hukum-hukum moral dan akhlakul karimah sebagai ketaatan kepada
Tuhan.
Selanjutnya, untuk mencegah kemungkinan terjadinya
pelanggaran HAM di dalam masyarakat, Islam mempunyai ajaran yang
disebut “amar ma’ruf nahi munkar” (kerjakan kebaikan dan cegah
kejahatan). Di dalam landasan perumusan Hukum Islam, juga dikenal
kaedah hukum “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih”
(mencegah kerusakan lebih utama dari pada berbuat kebaikan). Juga,
Islam mengajarkan bahwa kepentingan sosial harus diutamakan atas
kepentingan individu.

F. DEMOKRASI 1. Pengertian Demokrasi


Menurut Bonger, seperti yang disebutkan oleh Abdoerraoef tahun
1970, demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan kolektif yang memerintah
diri sendiri, yang sebagian besar anggotanya turut mengambil bagian, baik
langsung maupun tidak langsung, dan terjamin kemerdekaan rohani dan
persamaan dalam hukum, dan dimana anggota-angotanya telah diliputi oleh
semangatnya. Definisi tersebut mengandung beberapa unsur. Pertama,
memerintah diri sendiri; kedua, anggota-anggotnya turut ambil bagian; ketiga,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 85


terjamin kemerdekaan rohasi dan persamaan dalam hukum, dan keempat,
anggota-anggotanya sudah dipenuhi oleh semangat demokrasi itu.
Selanjutnya dijelaskan oleh Abdoerraoef bahwa, unsur pertama
mempunyai arti bahwa golongan yang menjadi pemimpin tidak lebih tinggi
dari pada yang dipimpin. Unsur kedua mempunyai arti bahwa golongan yang
dipimpin memilih sendiri pemimpin-pemimpinnya. Kemerdekaan rohani
dalam unsur ketiga berarti kemerdekaan berfikir dan mengeluarkan
pendapat, kemerdekaan berkumpul dan bersidang, kemerdekaan mengatur
kehidupan. Persamaan dalam hukum berarti tidak ada hak-hak istimewa
untuk golongan-golongan tertentu. Unsur yang keempat mempunyai arti
bahwa unsur-unsur yang tiga tersebut di atas itu sudah menjadi jiwa
golongan yang dipimpin, sehingga bila terjadi pelanggaran-pelanggaran
terhadap unsur-unsur itu, golongan yang dipimpin itu bersedia
mempertahankannya.
Menurut George Sorensen tahun 1993, sampai sekarang masih terjadi
perdebatan apakah demokrasi dan bagaimana seharusnya demokrasi itu.
Demokrasi diberi definisi berbeda-beda; dan pengertian demokrasi tetap
menjadi perdebatan. Disebutkan, menurut Joseph Schumpeter, demokrasi
secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme
untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk
memilih salah satu di antara pemimpin-pemimpin politik yang bersaing
meraih suara. Selanjutnya, disebutkan bahwa pada sisi yang lain, kita
mempunyai pengertian demokrasi yang sangat komprehensif yang diusulkan
oleh David Held. Secara singkat dikatakan bahwa “Orang seharusnya bebas
dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya”.

2. Lahirnya Demokrasi
Mohammad Abed Al-Jabiri, tahun 1997, mengatakan bahwa, secara
historis demokrasi berkaitan erat dengan kehancuran sistem kesukuan dan
pudarnya kekuasaan kepala suku, dan sebagai gantinya muncul fenomena
“masyarakat sipil” dan ide “warga negara”. Fenomena tu pertama kali muncul
di Yunani dan kemudian disusul oleh bangsa Romawi. Konflik terus menerus
terjadi dalam rangka membatasi kekuasaan raja atau kerajaan, dankonflik
kemudian melahirkan dewan-dewan lokal ataupun umum. Meskipun

86 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


dewan ini tidak dipilih oleh semua penduduk, tetapi terbentuk karena
ditunjuk berdasarkan keturunan atau berdaarkan sejenis pemilihan di antara
orang-orang kaya dari kaum feodal atau lainnya. Meskipun demikian, dewan
ini menjalankan sejenis pembatasan terhadap kekuasaan penguasa, raja, atau
kerajaan, sekurang-kurangnya di bidang keuangan, sebab raja atau kerajaa
tidak mungkin menentukan pajak tanpa persetujuan mereka. Demikianlah
sampai Abad Pertengahan, abad sistem feodal, di Eropa terus terjadi konflik
melawan penguasa yang berkuasa secara mutlak dan sewenang-wenang.
Di Abad 17, konflik melawan kekuasaan tiranik semakin meluas dan
mendalam, seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan sipil dan
terbentuknya kelompok-kelompok pedagang dan usahawan sebagai
kekuatan sosial. Di Abad 18, muncul pemisahan tiga kekuasaan legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Trias Politika dari Montesquieu itu, lahir didorong
oleh keinginan kuat untuk mencegah tirani. Dengan pemisahan tiga
kekuasaan itu, diharapkan seorang raja tidak dapat bertindak semena-mena
diluar ketentuan hukum yang berlaku. Kelompok-kelompok pedagang dan
usahawan kemudian menjadi kelas borjuis yang membawa panji demi
demokrasi dalam arti kontemporer, yakni membangun pemerintahan melalui
proses pemilihan bebas, adanya pengawasan terhadap penguasa, dan
pemisahan tiga kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
3. Demokrasi dalam Islam
Demokrasi Islam sebagai sistem yang mengukuhkan konsep-konsep Islami
yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura’). Perlunya musyawarah
merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah
ini dengan jelas juga disebutkan dalam Alquran Surat 3: 159 dan 42: 38.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka,
mohonkan ampun bagi kereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu (berbagai hal urusan kehidupan di dunia seperti politik, ekonomi,
kemasyarakatan, peperangan dan lain-lain). Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (Alquran 3: 159).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 87


Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan
kepada mereka (Alquran 42: 38).

Kedua ayat di atas menunjukkan bahwa salah satu ciri dari orangorang yang
beriman adalah bermusyawarah di antara mereka mengenai apa saja yang
akan mereka lakukan dalam hal urusan dunia, seperti masalah politik,
ekonomi, kemasyarakatan dan lain sebagainya. Selanjutnya, bila musyawarah
telah menghasilkan suatu kesepakatan, maka kita dianjurkan untuk
membulatkan tekad untuk melaksanakan kesepakatan itu.
Apabila kita kembali melihat pada unsur-unsur demokrasi, maka akan
terlihat jelas bagaimana hubungan Islam dengan demokrasi itu. Seperti telah
disebutkan di depan, unsur pertama demokrasi adalah bahwa golongan yang
menjadi pemimpin tidak lebih tinggi dari pada yang dipimpin. Unsur pertama
ini sangat sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan bahwa orang atau
kelompok yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa kepada
Allah (Alquran 49: 13).

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Alquran 49:
13).

Unsur demokrasi yang kedua adalah golongan yang dipimpim


memilih sendiri pemimpin-pemimpinnya. Kebebasan untuk memilih sendiri
pemimpin yang tepat tersirat sangat jelas dalam Alquran surat Al-Maidah
ayat 51. Allah hanya memberikan satu peringatan yang tegas agar kita tidak
memilih pemimpin dari golongan non-muslim, sementara untuk
kriteriakriteria pemimpin yang lain tidak disebutkan. Hal ini menunjukkan

88 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


bahwa kita diberi kebebasan untuk memilih sendiri pemimpin kita,
bagaimana pun kondisinya asalkan sesuai dengan kesepakatan.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi wali (mu); sebahagian meeka adalah wali bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yangzalim
(Alquran 5: 51).

Unsur demokrasi yang ketiga adalah kemerdekan rohani, yang


berarti kemerdekaan berfikir dan mengeluarkan pandapat, kemerdekan
berkumpul dan bersidang, dan kemerdekaan mengatur kehidupan; serta
persamaan hukum. Unsur demokrasi yang ketiga ini sangat tegas dinyatakan
di dalam Islam yang mengajarkan bahwa setiap orang bertanggungjawab atas
perbuatannya (Alquran – 39: 41). Sebagaimana kita ketahui bahwa, syarat dari
suatu permintaan tanggung jawab adalah adanya kebebasan yang diberikan.
Tanpa kebebesan maka tidak ada tanggung jawab yang dapat diminta.
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Alquran) untuk
menusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka
(petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka
sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan
kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka
(Alquran 39: 41).

Unsur demokrasi yang keempat adalah anggota-anggota masyarakat


telah diliputi oleh semangat unsur-unsur demokrasi di atas. Hal ini berarti
bahwa secara automatis demokrasi dapat dijalankan bila umat Islam
benarbenar mau mengamalkan apa-apa yang diajarkan dalam Alquran.
Sebagaimana telah kita lihat bahwa tidak ada satupun unsur demokrasi yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, tidak ada halangan bagi
umat Islam untuk menerima demokrasi sebagai suatu sistem dalam
kehidupan bernegara.
Muhammad Abed Al-Jabiri menyebutkan bahwa tujuan langsung dari
demokrasi adalah mewujudkan bentuk yang paling baik dan memungkinkan,
bagi penyelesaian masalah kekuasaan, yaitu dengan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 89


menjadikan para penguasa tunduk pada kehendak rakyat, atau terpaksa
tunduk berdasarkan aturan dan undang-undang yang mengawasinya, dan
secara aktual menyediakan perangkat-perangkat dan lembaga-lembaga yang
dipilih secara bebas oleh anggota masyarakat yang berhak memilih. Yang
dikehendaki dari demokrasi ini adalah pemerintah yang adil terhadap semua
golongan yang ada di dalam suatu negara. Apabila pemerintahan yang
demokrasi terbentuk dan dapat memenuhi tujuan ideal demokrasi, maka
sesungguhnya hal itu sangat sesuai dengan firman Allah di dalam Alquran
Surat An-Nisaa’ Ayat 58.
Sesungguhnya Allah menyruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengejaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Alquran 4: 58).

G.PERUBAHAN HUKUM ISLAM


Di lihat dari sisi awal pertumbuhannya, kedatangan hukum Islam
dapat dikategorikan pada social engineering dan social control, karena hukum
Islam memberikan makna terhadap tatanan yang masih dianggap relevan
dengan nilai-nilai kemanusiaan (fithrah), mengubah tatanan lama yang sudah
mapan, dan memproklamirkan tatanan baru sesuai dengan kehendak
masyarakat. Dalam proses awal pertumbuhannya (masa Nabi saw), sering
pula terjadi perubahan hukum yang dikategorikan sebagai nâsikh-mansûkh,
sehingga pada posisi ini, hukum berfungsi sebagai social engineering yang
sedikit banyak berkaitan dengan perubahan sosial.
Setelah Nabi saw Wafat, maka di masa sahabat, perubahan hukum
sering pula terjadi dalam bentuk perubahan penerapan seperti yang
dilakukan oleh ‘Umar Ibn Al-Khaththâb yang dipandang kontroversial dan
dalam bentuk jangkauan nash Alquran melalui ijtihad dengan berbagai
metode yang ditempuhnya. Perubahan semacam ini dalam hukum berfungsi
sebagai social control, sedangkan pola nâsikh-mansûkh yang dipandang hukum
sebagai social engineenering sudah tidak terjadi lagi. perubahan ketentuan
hukum terhadap suatu peristiwa hukum, juga dapat dimungkinkan terjadi,
akibat perubahan pada unsur materil atau objek hukum (mâddi). Hal ini
seperti ikan-ikan hasil tangkapan di Muara Angke Jakarta mengandung
90 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |
formalin yang membahayakan kesehatan manusia pada tahun 2006 M. Karena
terdapat objek hukum (manâth al-hukm) keharaman suatu makanan, yaitu obat
formalin yang membahayakan kesehatan manusia, maka memakan ikan-ikan
tersebut ditetapkan haram. Kemudia, pada awal tahun 2008 M, berdasarkan
penelitian para ahli kesehatan yang cermat, formalin tersebut sudah tidak
ditemukan lagi pada ikan-ikan yang diperjualbelikan di Muara Angke,
sehingga ikan-ikan tersebut kembali halal hukumnya, karena manâth al-hukm
–nya sudah hilang.
Perubahan hukum bisa pula terjadi, apabila muncul perubahan pada
unsur moril atau subyek hukum (adabî), seperti setiap laki-laki muslim
dewasa wajib diinjeksi dengan obat anti biotik, agar bertambah daya tahan
tubuhnya. Apabila salah seorang tidak tahan dengan obat anti biotik tersebut,
karena alergi yang dapat membahayakan jiwanya, maka haram hukumnya
bagi orang itu menerima injeksi antibiotik. Kendatipun masalah ini hanya
sebagai pengecualian (istisnâ’) dari ketentuan umum, tetapi tetap dapat
dikategorikan sebagai perubahan hukum, karena mengubah ketentuan
hukum umum yang wajib, menjadi haram. Dengan memperhatika
pertumbuhan hukum Islam, maka terlihat tiga dimensi dan wawasan
pengembangan hukum Islam. Pertama dimensi pemeliharaan, yang bertujuan
untuk memelihara tatanan hukum yang masih dipandang relevan dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Kedua dimensi pembaruan, yang merupakan
perubahan hukum lama untuk ditingkatkan dan disempurnakan. Dan ketiga
dimensi pembuatan hukum baru, yang dikehendaki masyarakat untuk
mewujudkan kemaslahatan. Dalam konteks pembangunan hukum nasional
Indonesia, ketiga dimensi tersebut, dapat dijadikan landasan pembangunan
hukum nasional, karena sistem hukum di Indonesia secara garis besar
meliputi tiga macam: sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem
hukum Barat. (A. Qodri Azizy, 2004: 138-139)
Agama Islam memiliki tatanan hukum yang secara substansi meliputi
dua bidang, yaitu: bidang ibadah dan muamalah. Pengaturan hukum yang
bertalian dengan ibadah bersifat rinci, sedangkan pengaturan mengenai
muamalah, atau mengenai segala aspek kehidupan masyarakat bersifat
global, dan hanya prinsip-prinsip pokok saja yang ditetapkan. Pengembangan
dan aplikasi prinsip-prinip tersebut diserahkan kepada para ulama dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 91


pemerintah sebagai pemegang kekuasaan untuk mengimplementasikan
peraturan yang sudah dirumuskan tersebut. Oleh karena hukum Islam
memegang peranan penting dalam membentuk, membina ketertiban sosial
umat Islam, dan mempengaruhi segala segi kehidupannya, maka jalan terbaik
yang dapat ditempuh adalah mengusahakan secara ilmiah adanya
transformasi asas-asas dan normanorma hukum Islam ke dalam hukum
nasional sepanjang sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku
di Indonesia, serta relevan dengan kebutuhan hidup umat Islam. Ini berarti,
bahwa sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu sumber bahan baku
dalam pembentukan hukum nasional, maka hukum Islam dapat berperan
aktif dalam proses dalam pembangunan hukum nasioanl. (A. Qodri Azizy,
2004: 138-139)
Dalam proses perubahan dan pembaruan hukum Islam, perlu
diperhatikan pernyataan ‘Abd al-Wahhâb Khallâf dan Muhammad ‘Alî alSâyis,
bahwa hukum Islam dilihat dari dalil yang menunjukkannya dapat
dikalsifikasikan menjadi tiga bagian: Pertama, hukum tentang sesuatu yang
bersumber dari nash yang sharîh dan qath’i, terhadap objeknya (unsur materil)
yang tidak tidak memberi peluang kepada akal untuk menemukan hukumnya,
selain hukum yang ditegaskan nash tersebut, atau mengandung ‘illat qâshirah,
terbatas pada hukum asal, sehingga tidak boleh dilakukan ijtihad, tetapi harus
mengikuti ketentuan nash. Kedua, hukum Islam tentang sesuatu yang
ditunjukkan oleh dalil zhanni al-dalâlah, terhadap obyek hukum dan terdapat
peluang bagi akal untuk berijtihad (mencari objek lain yang ditunjuki oleh nash
itu), maka dibolehkan ijtihad untuk mencari sasaran yang tepat, dan tidak boleh
keluar dari koridor proses ijtihad; Ketiga, hukum Islam tentang sesuatu, yang
sudah menjadi konsensus para ulama (ijmâ’), sehingga sedikit peluang untuk
melakukan ijtihad, kecuali mengkaji proses terjadinya konsensus tersebut.
Keempat, hukum Islam tentang sesuatu kejadian di tengah-tengah masyarakat,
yang belum ditunjukkan secara tegas oleh nash Alquran, sunnah dan ijmâ’,
sehingga memberi peluang besar bagi aktifitas ijtihad untuk mengkaji
perubahan hukum selaras dengan perubahan sosial. (Abd al-Wahhâb Khallâf,
1972: 9-13) (Muhammad ‘Alî al-Sâyis, 1970: 20-23) (Bandingkan dengan,
Wahbah al-Zuhayli, 1986: 1052) Dalam kategori ini, termasuk peristiwa-
peristiwa baru yang belum terjamah oleh ijtihad para

92 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


ulama masa lalu, seperti penetapan hukum haram bagi pemakaian alat
kontrasepsi vasektomi dan tubektomi yang mengakibatkan kemandulan
abadi (ta’di al-nasl) dan kemudian mengubah hukumnya, menjadi halal,
apabila alat tersebut tidak lagi mengakibatkan kemandulan abadi.
Dengan demikian, perubahan hukum sangat dimungkinkan dalam
kategori kedua dan keempat, sedangkan terhadap kategori ketiga, sepanjang
rujukannya bukan nash, tetapi mashlahat, maka masih dimungkinkan
dilakukan ijtihad untuk mengkaji ulang apakah mashlahatnya masih
terwujud atau sebaliknya sudah tidak ditemukan kemaslahatan. Di sinilah,
perubahan hukum Islam terjadi, sebagai akibat dari pergeseran sosial dan
perubahan budaya yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat, sehingga
apabila tidak direspon secara serius, maka hukum Islam akan menjadi
kadaluwarsa dan ketinggalan zaman. Karena itu, tidak mengherankan
apabila upaya menemukan hukum Islam terhadap hal-hal yang tidak ditunjuk
langsung oleh nash, terus dilakukan oleh para ulama sepanjang zaman
dengan menggunakan proses berfikir induktif dan deduktif sampai
ditemukan hukumnya secara jelas dan pasti. Dan apabila hasil ijtihad
bertentangan dengan nash yang sharîh, maka ijtihad tersebut menjadi tertolak
dan batal (Ibrahim Hosen, 1988: 27).
Dalam perspektif sejarah, pembaruan hukum Islam menurut Noel J.
Coulson, menampakkan diri dalam tiga bentuk; pertama peng-kodifikasi-an
hukum Islam menjadi undang-undang yang ditetapkan dan diberlakukan
oleh negara secara nasional; kedua ketidakterikatan umat Islam pada salah
satu madzhab hukum secara spesifik, yang kemudian disebut takhayyur,
menyeleksi dan memilih pendapat mana yang paling dominan dalam
masyarakat; ketiga perkembangan hukum Islam dalam mengantisipasi
perkembangan peristiwa hukum yang baru muncul, yang disebut tathbîq,
penerapan hukum terhadap peristiwa baru; dan keempat perubahan hukum
dari yang lama kepada yang baru, dan prosesnya disebut tajdîd, pembaruan
pemikiran hukum Islam (Noel J. Coulson, 1987: 175-215). Pembagian bentuk
di atas menunjukkan bahwa Coulson mengartikan, perubahan identik dengan
pembaruan, padahal Friedmann seperti yang dikutip Soerjono Soekanto,
memandang bahwa kedua term tersebut merupakan dua konsep yang
berbeda. Perubahan hukum adalah tidak mengubah ketentuan formal,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 93


sedangkan pembaruan hukum adalah mengubah ketentuan formal (Soejono
Soekanto, 1984: 140-142).
Konsep perubahan dalam tulisan ini adalah pembaruan hukum Islam
melalui ijtihad, dalam rangka mengembangkan hukum yang ditetapkan Allah
dan Rasul-Nya, dengan menggunakan prosedur ijtihad, sehingga berbagai
persoalan hukum yang muncul, terpecahkan solusinya. Perubahan dan
pembaruan hukum Islam menurut Coulson pada bentuk ke satu, kedua dan
ketiga sudah dimulai sejak dikodifikasikan hukum Islam ke dalam bentuk
undang-undang pada masa modernisasi (tanzimat) di Turki dengan sebutan,
al-Majallah al-Ahkâm Al-‘Adliyyah, kemudian diikuti oleh Syria, Mesir dan
lain-lainnya. Pembaruan hukum bentuk keempat yang dihasilan melalui
prosedur ijtihad sudah dimulai sejak munculnya gerakan pembaruan pada
penghujung abad ke-19 dan nuansanya makin meningkat pada abad ke-20
untuk merespon berbagai tantangan dan problem sosial yang terus
berkembang sebagai akibat pesatnya kemajuan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi serta meningkatnya perkembangan ekonomi. Di sinilah, lalu
muncul pembahasan mengenai reinterpretasi terhadap nash wahyu, ijtihad
kembali, redefinisi bermasdzhab dan sejenisnya. Dengan kata lain, mayoritas
ulama dan pemikir hukum Islam menghendaki keberadaan hukum Islam
yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial,
sehingga upaya ijtihad di masa modern termasuk metodologi yang biasanya
dilakukan dalam masyarakat modern ini terus ditingkatkan dan
dikembangkan kualitasnya (Norman Anderson, 1976: 10-35).
Inti yang hampir disepakati adalah bahwa hukum Islam pada
hakikatnya untuk menciptakan kemashlahatan umat manusia, yang harus
sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad yang
baru. Jangankan perbedaan antara masa sekarang dengan masa lebih dari
seribu tahun lalu; masa hidup Imam al-Syâfi’i saja, memerlukan dua pendapat
berbeda yang disebut dengan qawl qadîm, pendapat Imam al-Syâfi’i ketika di
Jazirah Arab, sebelum pindah ke Mesir, dan qawl jadîd, pendapat Imam al-
Syâfi’i ketika telah berdomisili di Mesir. (Lebih lanjut baca buku, Jaih
Mubarak, 2002, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qawl Qadîm dan
Qawl Jadîd, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada). Oleh karena itu, beberapa
kaidah fiqhiyyah juga telah ditulis sejak awal, seperti kaidah, alhukm yadûru

94 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


ma’a ‘illatih wujudan wa ‘adaman. Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah (w. 1350 M)
mencoba mereduksi perubahan dalam sebuah kaidah fikih yang
menyatakanbahwa fatwa dapat berubah karena perubahan keadaan, dengan
kata-kata: Taghayyur al-fatwâ bi hasab taghayyur al-izminah wa al-amkinah wa
alahwâl wa al- niyyât wa al-‘awâ’id, perubahan fatwa karena perubahan
zaman, tempat, keadaan, niat dan kebiasaan. Dalam pandangan Ibn al-
Qayyim, yang mengalami perubahan adalah fatwa; dan fatwa adalah
termasuk wilayah ijtihad, kemudiani para ulama mencoba melebarkan
perubahan yang tidak hanya dibatasi pada fatwa, tetapi juga kepada hukum,
sehingga disusunlah kaidah yang menyatakan bahwa hukum berubah,
karena perubahan zaman, lâ yunkar taghayyur al-ahkâm bi taghayyur al-zamân
(Ibn al-Qayyim alJawziyyah,
t.t. Juz III: 4) (Alî Ahmad al-Nadwi, 1994: 158) Karena perluasan cakupan
kaidah tersebut, sebagian ulama mempertanyakan apakah setiap hukum
berubah karena perubahan zaman. Subhi Mahmashani menjelaskan bahwa
hukum yang berubah adalah hukum ijtihadiyah yang didasarkan atas
mashlahah, qiyâs dan ‘adat, seperti dalam perkataan berikut ini: al-ahkâm
alijtihâdiyyah al-mabniyyah ‘alâ al-mashlahah aw ‘alâ al-qiyâs aw ‘alâ al-‘urf, hukum
ijtihadiyyah yang dibentuk berdasarkan mashlahah, analogi atau kebiasaan.
(Subhi Mahmashani, 1961: 198) (Bandingkan juga dengan Musthafâ Ahmad
Zarqa, 1968 : 924) (Hal senada dikatakan juga oleh Ali al-Nadwi dengan
menyederhanakan kaidah di atas sebagai berikut: lâ yunkar taghayyur alahkâm al-
mabniyyah ‘alâ al-mashlahah wa al-‘urf bi taghayyur al-zamân, tidak dapat
diingkari bahwa hukum yang didasarkan pada mashlahat dan adat berubah,
karena perubahan zaman (Jaih Mubarak, 2005 M: 29-31).
Hukum berubah karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan
kebiasaan agak sulit dipahamai secara lebih detail, karena dimensi waktu,
tempat dan keadaan merupakan dimensi kosong yang rumit untuk dijadikan
alasan perubahan hukum, akan tetapi, kaidah tersebut akan mudah dipahami,
apabila dihubungkan dengan faktor-faktor yang merupakan bagian dari
proses ijtihad dan secara signifikan berpengaruh terhadap produk ijtihad.
Dan dengan kemungkinan perubahan hukum Islam, maka sangat mungkin
untuk terjadinya eklektisisme dengan sistem hukum yang lain. Salah satu
faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah
pengaruh kemajuan dan pluralisme sosial budaya dan politik dalam sebuah
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 95
masyarakat dan negara. Jika dilihat keadaan yang ada di masa yang awal
pertumbuhan madzhab hukum, maka jelas ada pengaruh elemen-elemen
sosial budaya terhadap ulama untuk menentukan hukum Islam, atau dapat
dikatakan, sebagai pengaruh budaya terhadap hukum Islam. Tidak sedikit
pula para fuqâhâ memberi tafsiran beberapa ayat Alquran dalam bayangan
kondisi sosial budaya yang berkembang di masyarakat.
Pengaruh seperti ini juga akan berlaku dalam pluralisme sosial
politik. Artinya, kondisi masyarakat yang ada akan berpengaruh kepada
pemikiran hukum Islam. Di bawah ini akan dikemukakan dua ilustrasi
pembaruan hukum Islam akibat pengaruh sosial budaya dan politik, yaitu
kedudukan non-Muslim dalam hukum Islam dan kedudukan wanita. Dengan
adanya perubahan kondisi sosial budaya dan politik, hukum Islam dalam
menghadapi tentang dua hal tersebut akan mengalami perubahan atau
pembaruan, atau disebut juga dengan reaktualisasi dan redefinisi,
dibandingkan dengan keadaan di masa-masa lampau.
Pertama kedudukan non-Muslim, atau re-definisi kebebasan
beragama (freedom of religion). Pada dasarnya Islam tidak membenarkan
adanya pemaksaan terhadap seseorang untuk memeluk Islam, seperti
Alquran surat Al-Baqarah 2: 256 secara tegas menyatakan, tidak ada
pemaksaan untuk memeluk agama, sesunggunya sudah jelas jalan yang benar
dari jalan yang sesat (lâ ikrâha fi al-dîn qad tabayyana al-rusydu min alghayy) (Abû
al-Fidâ’ al-Hâfizh Ibn Katsîr al-Dimisqi, 1987: 464-465). Dengan penekanan
pada larangan pemaksaan tersebut, Alquran pada hakekatnya memberi
prinsip, freedom of religion and belief, tetapi dalam beberapa literatur klasik,
seringkali disuguhi pemahaman yang diskriminatif terhadap nonMuslim
yang menyebabkan sulitnya komunikasi antara kaum muslimin dengan
pemeluk agama lain. Kesulitan ini antara lain dipengaruhi oleh beberapa
pemahaman yang dipandang sebagai doktrin Islam, yaitu hukuman terhadap
kemurtadan, kasus sejarah pengislaman orang-orang kafir Arab dan
penerapan pajak (jizyah) terhadap non-Muslim. Kondisi ini bukan saja
berpengaruh terhadap hubungan antara Muslim dan non-Muslim di satu
negara, seperti Indonesia tetapi juga hubungan bilateral dan multilateral di
pentas dunia internasional.

96 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


Beberapa pemikir Islam modern, seperti Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha sudah mencoba untuk menyelesaikan permasalahan ini, namun
gemanya belum menyeluruh ke semua dunia Islam. (Muhammad Rasyid
Ridha, t.t. Juz III: 36-37) Abû Sulaymân mencoba memberi penjelasan lebih
konkrit dengan menyatakan bahwa sikap Islam secara fundamental tentang
hubungan antara sesama manusia, sebagaimana diungkapkan Alquran dan
sunnah, menganjurkan ungkapan-ungkapan kasih sayang (tawadduhum),
membantu (tawdduhum), kebaikan (allatî hiya ahsan), dan pemeliharaan
(dzimmah). Keputusan Nabi untuk perang dengan sebagian kelompok Yahudi
di Madinah adalah keputusan politik, bukan keputusan agama, karena
mereka mencoba untuk mulai menghancurkan komunitas Muslim. Dalam
sistem pertahanan di suatu negara merdeka sekarang ini, pembelaan dalam
rangka untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, wajib dilakukan
oleh pemerintah dan rakyatnya, untuk menjaga harga diri suaru bangsa.
Sementara itu, penaklukan Nabi kepada orang Badawi Arab dan memaksa
mereka untuk ber-Islam (tunduk dan menyerah) adalah dalam konteks untuk
menegakkan human right (HAM) dan kepentingan kaum muslimin serta
bangsa Arab secara keseluruhan. Dalam realitasnya, Nabi tidak pernah meng-
Islam-kan kelompok Nasrani dari qabilah Najran, dan Yahudi di Madinah
dengan cara paksa. Mereka dibiarkan untuk tetap beragama Nasrani dan
agama Yahudi dalam sebuah kehidupan komunitas bersama-sama dengan
Nabi Muhammad saw. (Abdul Hamid Abu Sulayman, 1987: 100-101) Ini
realitas sejarah yang tidak dipungkiri.
Permasalahan kemudian berkaitan dengan konsep jihâd di kalangan
umat Islam. Sebenarnya jika diperhatikan, sikap Alquran berbeda dalam
menghadapi Ahl al-Kitâb di satu pihak, dan ketika menghadapi kaum kafir
(kuffar) serta kelompok musyrik (musyrikîn), di pihak lain. Terhadap kuffâr dan
musyrkiîn, sering dijumpai perintah Alquran untuk berjihad. Namun dalam
memahami istilah Alquran tentang kuffâr dan musyrikîn itu telah terjadi
perbedaan dan perkembangan di antara para ahli fikih dan mujtahid.
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa sikap dan istilah dalam Alquran
tersebut dialamatkan kepada kuffâr dan musyrikîn Quraisy/Arab, tidak untuk
semua bangsa di dunia internasional; sementara ulama lain, menyatakan
bahwa jihad hanya ditujukan kepada kaum Quraisy Arab, tidak kepada yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 97


lain. Menurut al-Awzâ’i, al-Tsawri dan salah satu pendapat Imam Malik,
bahwa jihâd itu hanyalah untuk masa Nabi saw ketika itu, sehingga kini sudah
tidak lagi harus dilaksanakan terhadap kuffâr dan musyrikîn yang ada.
Sedangkan jihâd dalam pengertian yang asli menurut Abû Sulayman, adalah
“the active expression of the Islamic commitmen, responsibility, and sense of duty,
wherever it is required in practical life, ungkapan aktif mengenai komitmen,
tanggung jawab dan rasa memiliki kewajiban yang islami, di mana saja hal itu
diharuskan dalam kehidupan yang riil (Abdul Hamid Abu Sulaymân, 1987:
23).
Dengan pemahaman semacam demikian, maka perang mengangkat
senjata, yang sering menjadi salah arti, karena mengaggap satu-satunya arti,
itu hanya sebagian arti dari konsep jihâd, yakni jika sudah sampai pada titik
mempertahankan diri dari serangan musuh. Oleh karena itu, wajar kalau Abu
Sulaymân menulis dengan kata-kata: “examples of the Qur’an show the real
danger of fanaticism in relations within Muslim society and with non-Muslims as
monorities or foreign entites (Abdul Hamid Abu Sulaymân, 1987: 115). Dengan
reaktualisasi dan redefinisi kedudukan non-Muslim, maka konsep fikih klasik
tentang dâr al-harb, dâr al-Islâm, dâr al-‘ahd, kâfir harbi dan kâfir dzimmi
perlu direvisi dalam teori atau konsep hukum tata negara Islam dan hukum
Internasional Islam yang selama ini telah dihasilakan oleh para yuris klasik.
(Kitab-kitab fikih klasik yang membanas hubungan Muslim dan nonMuslim,
lihat misalnya, taqi al-Dûn Abî Bakr ibn Muhammad al-Husayni, Kifâyah al-
Akhyâr fî Halli Ghâyah al-Ikhtishâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994 M), Juz II, pada
bab, “Kitâb al-Jihâd, Fashl fi al-Riddâh dan Wujûb al-Jizyah”; kemudian ‘Abd
Allâh ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Shâlih Âli Bassâm, Taysîr al‘Allâm Syarh
‘Umdah al-Ahkâm, (Makkah al-Mukarramah: Maktabah wa
Mathba’ah al-Nahdhah al-Hadîtsah, 1978 M), Juz II, pada bab “Kitâb alJihâd”
dan “Fashl Tanâfus al-Shighâr ‘Alâ al-Taqaddum il al-Jihâd”. Hampir semua
kitab fikih klasik memuat bab murtad, jihad dan kedudukan kafir).
Problematika fikih klasik bila diberlakukan tanpa pembaruan, akan
bertabrakan dengan isu-isu global, seperti hak asasi manusia (HAM),
demokrasi yang memberi kebebasan dalam pilihan politik dan pilihan agama,
serta kesetaraan gender dalam struktur dan fungs-fungsi sosialpolitik.

98 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


Kedua, redefinisi kedudukan perempuan. Dengan pluralisme yang muncul,
kemajuan pemikiran masyarakat yang pesat, dan dimotivasi oleh pemikiran
global negara-negara maju yang kuat, maka kedudukan perempuan perlu
dilakukan redifinisi, seperti perempuan menjadi hakim atau pemimpin,
bahkan menjadi kepala negara. Kedudukan perempuan untuk menjadi
hakim dalam wacana fikih klasik, secara garis besar terdapat tiga
pandangan: (i) perempuan tidak boleh menjadi hakim sama sekali. Pendapat
ini dipegang oleh Imam al-Syâfi’i yang dianut oleh mayoritas umat Islam
Indonesia; (ii) perempuan boleh menjadi hakim hanya untuk perkara
transaksi saja dan tidak boleh untuk perkara pidana (jinâyah). Pendapat ini
dipegang Imam Abû Hanifah; dan (iii) perempuan dapat menjadi hakim
untuk semua perkara dan kasus. Ini pendapat Ibnu Jarîr al-Thabâri. (Lihat,
Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthûbi, , 1995 :. 377) Pendapat
ketiga ini dalam dunia fikih dipandang sebagai pendapat yang asing, tidak
populer, yang hampir tidak pernah diikuti umat Islam. Tambahan lagi,
perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin, apalagi menjadi kepala
pemerintahan atau negara. Oleh karena itu, pemahaman seperti itu, tidak
bisa lepas dengan realitas budaya, di samping absennya keterlibatan
perempuan dalam urusan publik, khususnya dunia politik, maka ketika
kondisinya berubah, semestinya ada redefinisi tentang kedudukan
perempuan. Di sisi lain, pemahaman klasik itu sendiri tampak adanya
ambivalensi, seperti tidak sahnya perempuan menjadi saksi di pengadilan,
namun pada sisi lain, perempuan syah menjadi rawi hadis, padahal
konsekwensi peran rawi hadis jauh lebih besar dari sekedar menjadi saksi di
pengadilan.
Berkaitan dengan perempuan menjadi pemimpin politik, para ulama
klasik, bahkan ulama kontemporer yang berfikiran ortodoks, larangan
perempuan menjadi pemimpin politik atau atau jabatan lain yang setara
dengannya, didasarkan kepada sebuah hadis yang berbunyi: Tidak akan sukses
suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memimpin) urusan
mereka kepada perempuan (lan yuflih qawm wallaû amarahum
imra’atan) ( Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al-Bukhâri, al-Jâmi’ t.t.
Juz IV, h. 228) (Abû ‘Abd Allâh Ahmad ibn Hanbal, 1978 Jilid V: 38 dan 47).
Mereka menyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ tersebut,
hanya diberi tanggung jawab untuk menjaga harta suaminya. (Ahmad ibn ‘Ali
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 99
Ibn Hajar al-‘Asqalâni, t.t : Juz IV: 123) Hadis tersebut tidak lepas dari kondisi
sosial politik pada saat itu. Karena itu, untuk memahami hadis itu, perlu dikaji
terlebih dahulu kondisi yang sedang berkembang pada saat hadis itu
disabdakan oleh Nabi saw. Hadis ini disabdakan ketika Nabi saw mendengar
penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan wanita menjadi ratu di
Persia. Peristiwa suksesi terjadi pada tahun 9 H (Abû alFalah ‘Abd al-Hayy ibn
al-‘Imâd al-Hanbali, t.t. 1979, Jilid I: 13).
Menurut tradisi kenegaraan yang berlangsung di Persia sebelum itu,
yang diangkat sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki; sedangkan
yang terjadi pada tahun 9 H, menyalahi tradisi tersebut, karena yang diangkat
sebagai kepala negara bukan seorang laki-laki, melainkan seorang perempuan
yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat
sebagai ratu (kisrâ) di Persia, setelah terjadi pembunuhanpembunuhan dalam
rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak
laki-lakinya, saudara laki-laki Buwaran, telah mati terbunuh ketika
melakukan perebutan kekuasaan. Karena itu, Buwaran lalu dinobatkan
sebagai ratu (kisrâ) (Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il alBukhâri, Juz VIII,
: 128., (Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, 1984: 82-84 ). Kakek Buwaran adalah Kisra bin
Barwaiz bin Anusyirawan. Dia pernah dikirimi surat ajakan menjadi Islam dari
Nabi saw. Kisra menolak ajakan itu dan bahkan merobek-robek surat Nabi
saw. Ketika Nabi saw menerima laporan tersebut, maka Nabi saw bersabda:
“Siapa saja yang telah merobek-robek surat beliau, maka akan dirobek-robek
diri dan kerajaan orang itu”. Tidak berselang lama, Kerajaan Persia dilanda
kekacauan dan berbagai pembunuhan yang dilakukan oleh keluarga dekat
kepala negara (Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ismâ’il al- Bukhâri, VIII: 127-
128).
Pada waktu itu, derajat kaum perempuan dalam tatanan kehidupan
masyarakat berada di bawah kaum laki-laki. Perempuan sama sekali tidak
dipercaya untuk terlibat mengurus kepentingan masyarakat umum, terutama
masalah kenegaraan. Hanya laki-laki yang dipandang mampu mengurus
kepentingan masyarakat dan negara. Keadaan sosial ini tidak hanya terjadi di
Persia saja, tetapi juga di Jazirah Arab pada umumnya. Islam datang untuk
mengubah nasib kaum perempuan. Mereka diberi berbagai hak, kehormatan,
dan kewajiban oleh Islam sesuai dengan harkat dan martabat mereka sebagai

100 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


makhluk yang bertanggung jawab di hadirat Allah, baik terhadap diri sendiri,
keluarga, dan masyarakat maupun negara. (Qasim Amin, t.t. : 25-289) Dalam
kondisi kerajaan Persia dan tatanan sosial tersebut, maka Nabi saw yang
memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang menyerahkan
masalah urusan kemasyarakatan dan kenegaraan kepada seorang
perempuan, tidak akan sukses dalam mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat, karena bagaimana dapat sukses, kalau orang yang
memimpin itu sendiri adalah seorang yang tidak dihargai dan dianggapa
rendah oleh orang-orang yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kewibawaan dan harga diri,
sedangkan perempuan pada saat itu sama sekali tidak memiliki wibawa
untuk menjadi pemimpin bangsa dan negara.
Dalam sejarah peradaban manusia, penghargaan masyarakat kepada
kaum perempuan makin meningkat selaras dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam beberapa jabatan sosil, politik,
ekonomi dan pendidikan, kaum perempuan diberi kedudukan dan peran
yang setara dengan kaum laki-laki. Alquran sendiri memberi peluang sama
kepada kaum perempuan dan laki-laki untuk melakukan segala amal
kebajikan. Dalam kondisi perempuan sudah memiliki kewibawaan,
kecerdasan, keterampilan dan kemampuan menegerial memimpin, serta
masyarakat bersedia menerimanya sebagai pemimpin, maka tidak ada
salahnya seorang perempuan dipilih dan diangkat sebagai pemipin negara.
Dengan demikian hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, karena
kandungan petunjuknya bersifat temporal.
Dengan demikian, dalam kondisi sosial budaya yang semakinterbuka
dan kesempatan perempuan untuk memperoleh pengetahuan dan prestasi
juga semakin terbuka, maka sudah selayaknya, jika hukum Islam mengenai
kedudukan perempuan perlu diperbarui dan diredefenisi selaras dengan
perkembangan zaman. Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas
muslim, tampaknya yang memenuhi kriteria keterbukaan kesempatan
seperti itu. Di sini orientasinya, pada prestasi dan kemampuan menjalankan
pekerjaan sebagai amanah, sehingga tidak akan didiskriminasikan amanah
itu (H.M. Syuhudi Ismail, 1994 : 64-66). Dengan kata lain, yang menjadi ukuran
adalah profesionalisme, bukan formalitas jenis

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 10


kelamin, dalam menduduki jabatan publik tertentu, sehingga diskriminasi
gender dalam kedudukan dan peran di masyarakat serta lembaga-lembaga
publik hilang, selaras dengan tuntutan zaman.

1. Dua Model Pengambilan dan Penetapan Hukum


Karakteristik hukum Islam yang bersendikan nash dan didukung dengan
akal pikiran merupakan ciri khas yang membedakan hukum Islam dengan sistem
hukum lainnya. Ijtihad memegang peranan signifikan dalam pembaruan dan
pengembangan hukum Islam, sebagaimana terpantul dalam suatu ungkapan
terkenal yang dikemukakan al-Syahrastani (w. 1153 M) yang kemudian
berkembang menjadi adagium di kalangan pakar hukum Islam, dengan
perkataan, “teks-teks nash itu terbatas sedangkan problematika hukum yang
memerlukan solusi terus bergulir tanpa dapat ditahan, oleh karena itu
diperlukan ijtihad untuk menginterpretasi nash yang terbatas itu agar berbagai
masalah yang tidak dikemukakan secara eksplisit dalam nash dapat dicari
solusinya” (Abû Fatah Muhammad ibn ‘Abd al-Karîm ibn Abû Bakr, 1967 : 199).
Dengan demikian, ijtihad sebagai suatu prinsip dan gerak dinamis dalam
khazanah Islam merupakan aktifitas daya nalar yang dilakukan oleh para pakar
hukum Islam (fuqahâ/mujtahidîn) dalam menggali hukum Islam. Kegiatan ijtihad
dimulai sejak masa Rasulallah saw dan akan terus berlanjut sesuai dengan
dinamika zaman (Muhammad Amin Suma, 1991 : 62-64).
Term ‘ijtihad’ dalam bentuk mashdar berasal dari fi’il mâdi tsulatsi
mujarrad, jahada-yajhadu, jahdan, bukan juhd, yang berarti upaya, usaha (effort,
endeavor). Dalam pembahasan ilmu usul fikih, ijtihad secara terminologis
biasanya diberi definisi dengan, badzl al-jahd li wushûl al-hukm al-syar’i min dalîl
al-tafsîl min adillah al-syar’iyyah, mencurahkan daya upaya untuk sampai pada
menemukan hukum syar’i dari dalil yang spesifik yang bersumber dari dalil
syar’i; (‘Abd al-Wahhâb Khallâf, 1978 : 216) Sementara itu, definisi yang
diberikan al-Syarazi, ijtihad huwa istifrâgh al-wus’i wa badzlul al-majhûd fî thalab
al-hukm al-syar’i, ijtihad adalah menghabiskan kekuatan kemampuan dan
mencurahkan daya upaya untuk memperoleh atau menemukan hukum syar’i
(Abû Ishâq al-Syîrazi, 1999 : 75) (Ibn Amir al-Hajj, 1996 M), Juz III : 388 ).
Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh al-Amidi, bahwa ijtihad adalah

102 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


mencurahkan kemampuan dalam mendapatkan hukum-hukum syara’ yang
bersifat zhanni, sehingga dirinya tidak mampu lagi mengupayakan lebih dari
itu (Saif al-Dîn Abû al-Hasan ‘Ali ibn Abî ‘Ali ibn Muhammad al-Amidi, 1996,
Juz IV : 309). Dengan mengamati berbagai definisi ijtihad, dapat dikemukakan
bahwa ijtihad itu dalam pelaksanaanya mengandung berbagai unsur sebagai
berikut: Pertama adanya daya upaya dan kesanggupan optimal yang
dilakukan mujtahid dalam usaha menemukan hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia; kedua pelaksanaan ijtihad dalam perumusan hukum itu
dengan menggunakan metoda; dan ketiga pelaksanaan ijtihad dilakukan
terhadap masalah hukum yang belum ada dalilnya secara tegas, baik dari
Alquran maupun sunnah.
Aktifitas ijtihad sesungguhnya telah dimulai sejak masa Nabi, bahkan
tindakan Nabi dalam memberikan fatwa yang kemudian dibenarkan oleh
wahyu dipandang juga sebagai ijtihad. Kemudian aktifitas ijtihad ini
dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi, sesuai dengan pengetahuan,
pengalaman dan kecerdasan mereka masing-masing yang didukung oleh
integritas, kecintaan dan kesetiaan mereka kepada agama. Sepeninggal
sahabat, aktifitas ijtihad semakin besar dan berkembang pesat dalam
menyikapi berbagai persoalan, sehingga diantara mereka ada yang berijtihad
dengan membangun metode sendiri. Selama pembukuan fikih dan kemajuan
ijtihad, para mujtahid menjunjung tinggi sportifitas dengan menghargai karya
dan pendapat mujtahid lain, sebagaimana diutarakan Imam Malik: kullu ahad
yu’khadzu min kalâmih wa yutrak illa al-nabi saw, setiap orang itu dapat diambil
pendapatnya atau ditinggalkan pendapatnya, kecuali pendapat Nabi saw
(Yusuf Qardhâwi, 1980: 12) (‘Abd al-Wahhâb Khallâf, 1968: 29). Akan tetapi,
kegiatan intelektual itu berangsur-angsur surut, dan pelan-pelan aktifitas
ijtihad mulai mundur, kemudian datang periode taqlid, sehingga muncullah
kecenderungan pada periode itu, pandangan yang menyatakan bahwa pintu
ijtihad tertutup, walaupun secara formal pintu ijtihad tidak pernah ditutup
oleh siapa pun juga (Sayyid Muhammad Musa Tiwâna, 1972: 160-204).
Dalam kaitan dengan ijtihad, Mahmûd Syaltut memiliki pendapat
yang tegas bahwa ijtihad untuk selamanya tetap terbuka. Oleh karena itu, ia
menentang sementara pendapat yang menyatakan bahwa pintu ijtihad
tertutup. Menurutnya, salah satu kenikmatan Tuhan yang diberikan kepada

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 10


kaum muslimin itu adalah tetap terbukanya pintu ijtihad. Lebih lanjut, Syaltut
menyatakan, bahwa pengakuan hak berijtihad secara perseorangan (al-ijtihâd al-
fardi), maupun kolektif (al-ijtihâd al-jamâ’i) membuka pintu yang seluas-
luasnya kepada para ulama untuk memilih dan menciptakan aturan atau
undang-undang dalam rangka mengatur urusan-urusan masyarakat Islam,
sesuai perkembangan zaman, selama tidak bertentangan dengan pokok-
pokok syari’ah yang pasti (ushûl al-syarî’ah al-qath’iyyah). Dalam perspektif
pemikiran Syaltut, bahwa melakukan ijtihad dengan al-ra’y adalah
mempersamakan hukum terhadap masalah yang tidak ada nashnya, dengan
masalah yang ada hukumnya dalam nash, termasuk dalam lingkup ra’y
adalah penggunaan kaidah-kaidah kuliyyah yang diserap dari nash terhadap
masalah yang tidak ditunjuk nash (Mahmûd Syaltut, 1979: 207-208 dan 293).
Berijtihad bukanlah persoalan yang sederhana, karena membutuhkan
kemampuan khusus yang memungkinkan dirinya dapat melakukan ijtihad,
sehingga produk ijtihadnya diakui dan diterapkan di kalangan umat Islam.
Pada umumnya. ulama usul mensyaratkan seorang mujtahid harus memiliki
pengetahuan seluk beluk Alquran, sunnah dan ijmâ’ secara luas, menguasai
seluk beluk bahasa Arab dan sastranya, mengetahui secara luas ilmu fikih dan
usul fikih, termasuk maqâshid alsyarî’ah dan ‘illat hukum menuju
kemaslahatan. Di samping itu juga, harus mengetahui temuan-temuan ilmu
yang muncul pada zaman sekarang ini sebagai pendukung dan melengkapi
pengetahuan yang sudah ada, sehingga hasil ijtihadnya dapat
dipertanggungjawabkan (Wahbah al-Zuhayli, 1986, Juz II: 1044-1051, dan
Muhammad Abû Zahrah, t.t: 380-385). Dalam supremasi IPTEK dewasa ini,
keahlian dalam ilmu tertentu sangat diperlukan dalam perkembangan
kebutuhan manusia. Kriteria keahlian tertentu justru berkaitan dengan
pribadi seorang mujtahid, karena aktifitas ijtihad dalam Islam adalah
menyangkut tanggung jawab, baik secara pribadi maupun terhadap umat
Islam.
Dengan melihat kriteria ijtihad yang sulit diwujudkan pada saat ini,
dan berkembangnya ilmu pengetahuan yang beraneka ragam, serta
interdepedensi yang terjadi antara berbagai disiplin ilmu, ditambah dengan
derasnya arus globalisasi, maka menjadikan ketetapan hukum memerlukan
kerjasama antar berbagai disiplin, sehingga ijtihad kolektif (ijtihâd al-jamâ’i)

102 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


yang paling relevan dilakukan untuk sekarang ini. Sebenarnya ijtihad
semacam ini, telah ditempuh jauh oleh Abu Bakar dan ‘Umar ibn alKhaththâb,
bahkan juga anjuran Rasulallah saw kepada ‘Ali ibn Abî Thâlib, ketika ‘Ali
bertanya kepada Nabi saw menyangkut hal-hal yang tidak ditemukan
jawabannya dalam Alquran dan sunnah Nabi, maka kemudian Nabi
menjawab, “jadikanlah syûra di antara ahli fikih (orang yang dalam
pengetahuannya) bersama-sama orang yang tulus ibadahnya di antara kaum
mukminin; jangan menetapkan dengan pendapatmu sendiri.” Demikian yang
diriwayatkan oleh al-Thabrâni dalam kitabnya, al-Awsath.(Quraish Shihab,
“Reaktualisasi Dan Kritik” dalam buku berjudul, Kontekstualisasi Ajaran
Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, dengan editor Muhamad
Wahyu Nafis, dkk, 1995: 330).

Berdasarkan kupasan di atas, secara jelas dinyatakan bahwa ijtihad


dapat dibagi menjadi dua kategori berdasarkan praktik yang sudah
berlangsung sejak masa Nabi Muhammad saw sampai sekarang. Pertama
ijtihad perseorangan (ijtihâd al-fardi), yaitu ijtihad yang dilakukan secara
mandiri oleh seseorang yang memiliki keahlian dan hasil ijtihadnya
mendapat persetujuan dari ulama lain. Ijtihad perseorangan ini diakui dalam
Islam dan merupakan hak setiap muslim yang memiliki keahlian dalam
menganalisa dan mengkaji suatu masalah secara mendalam. Ijtihad semacam
ini tidak menjadi kewajiban bagi orang lain untuk mengikutinya; dan
pengamalan hasil ijtihad fardi tersebut, hanya menjadi kewajiban bagi orang
yang menghasilkannya (Syekh Muhammad al-Ghazali, 1989 : 156-157).
Praktik ijtihad pada masa Nabi dan sahabat sebagai taqrir terhadap
ijtihad fardi, sebagaimana terlihat ketika Nabi membenarkan jawaban Mu’ad
ibn Jabal ketika ditanya oleh beliau, “Apa yang kamu lakukan dalam
memutuskan perkara bila tidak terdapat dalam Alquran dan sunnah? Mu’adz
menjawab, “ajtahidu ra’yî walâ alû” (Abû Dawd Sulaymân ibn Ishâq ibn
‘Asy’ats al-Azdi al-Sijistâni, 1973, Juz IV : 18). Demikian pula instruksi ‘Umar
ibn al-Khththâb kepada Abû Mûsâ al-Asy’ari untuk berijtihad dengan
menggunakan qiyas. Beliau berkata, “gunakanlah pemahaman secara
mendalam menyangkut masalah yang tidak terdapat dalam Alquran dan
sunnah; cari dan upayakanlah untuk mengenal kemiripan dan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 10
keserupaannya, lalu analogikan semua perkara yang semacam dengan itu.”
Pesan ‘Umar ibn al-Khaththâb disampaikan juga kepada Syuraih, hakim yang
baru diangkatnya, “apa yang tidak jelas ketentuan hukumnya bagimu dalam
sunnah, maka berijtihadlah dengan menggunakan akal pikiranmu”. Di
kalangan sahabat sering pula terjadi perbedaan pendapat dalam kasus
tertentu, seperti masalah warisan umariyyatain, misalnya Zayd ibn Tsabit
berbeda pendapat dengan ibn ‘Abbâs (Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, I’ilâm
alMuwaqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Juz I, dan II : 1 dan seterusnya). Ijtihad fardi
merupakan langkah awal atau dasar dalam mewujudkan ijtihad kolektif
(jamâ’i), karena kalau tidak terdapat individu yang mampu dan ahli berijtihad,
maka tidak akan terjadi ijtihad kolektif (ijtihâd jama’i) yang sangat dibutuhkan
keberadannya.
Kedua ijtihad kolektif (ijtihâd al-jamâ’i), yaitu ijtihad yang dilakukan
secara bersama atau musyawarah terhadap suatu masalah, dan pengamalan
hasilnya menjadi tanggung jawab bersama; atau ijtihad yang dilakukan oleh
seorang mujtahid dan hasil-hasilnya mendapat pengakuan dan persetujuan
mujtahid lain. Jadi, ijmâ sebagai salah satu sumber hukum Islam merupakan
hasil ijtihad kolektif. Ijtihad kolektif merupakan salah satu cara yang sering
dilakukan oleh para sahabat ketika memutuskan hukum suatu perkara yang
belum ada penetapannya, baik dari Alquran maupun sunnah, seperti dalam
cerita dialog antara Nabi Muhammad saw dengan ‘Ali ibn Abî Thalib di atas
(Muhmûd Syaltut, al-Islâm, ‘Aqidah wa al-Syarî’a: 300-304). Dengan
demikian, jelaslah ijtihad kolektif yang tercermin dalam bentuk musyawarah
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam upaya pembinaan dan
pelestarian hukum Islam, dengan berupaya mengantisipasi segala
permasalahan secara bersama-sama, terutama dalam mengahdapi kasuskasus
besar dalam dunia ekonomi, politik, dan kedokteran melalui pelibatan
spesialis atau expert disiplin ilmu lain yang dibutuhkan dengan permasalahan
yang dihadapi, sehingga hasil-hasilnya akan lebih valid, kredibel, transparan
dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Namun demikian,
penggunaan ilmu bantu yang diperlukan itu harus ada batasan, yang
memerlukan kajian serius untuk membuat standar dan sekaligus formulasi
penggunaan ilmu dalam prosedur ijtihad itu, agar tidak menimbulkan
dampak negatif yang kontraproduktif.

102 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


Dalam konteks Indonesia, ijtihad kolektif dalam menyelesaikan
berbagai persoalan kehidupan sosial ini, sudah diberlakukan di berabagai
Orma Islam, antara lain: pertama Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Muhamadiyyah (MT-PPI) yang salah satu tugasnya adalah memberi fatwa
dan nasihat, baik atas permintaan atau Majlis Tarjih sendiri memandang
perlu; kedua Lajnah Bahsul Masa’il al-Diniyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang
telah menetapkan 394 ketetapan hukum dengan merujuk kepada kitab-kitab
yang sebagian besar madzhab Syafi’i; ketiga Majlis Fatwa Mathla’ul Anwar
dengan tugas: membahas dan memberikan fatwa keagamaan, pendidikan,
sosial dan ekonomi yang berkembang di masyarakat; kelima Dewan Hisbah
Persatuan Islam (Persis), sebagaimana tertera dalam Qanûn Asasi
menjelaskan bahwa Dewan Hisbah ini bertugas menyelidiki dan menetapkan
hukum-hukum Islam berdasarkan Alquran dan sunnah. Pada tahun 1995 M,
Dewan Hisbah ini telah mengeluarkan 8 ketetapan, yaitu asuransi takaful,
urine dijadikan obat, transplantasi dengan organ tubuh binatang, pengurusan
jenazah yang terkena penyakit AIDS/HIV dan upacara adat dalam
pernikahan; dan keenam Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), yang
salah satu tugasnya adalah memberikan fatwa atau penjelasan hukum
mengenai permasalahan yang dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat
serta merupakan pedoman dalam melaksanakan ajarannya. Keputusan Fatwa
Hasil Musyawarah Nasional VII Majlis Ulama Indonseia (MUI) tahun 2005 M
adalah perlindungan hak kekayaan intelektual, perdukunan dan peramalan
(‘irafah), do’a bersama, perkawinan beda agama, kewarisan beda agama,
kriteria mashlahat, pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama,
pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum, wanita menjadi
imam shalat, hukuman mati dalam tindak pidana tertentu, dan aliran
Ahmadiyah. (Abdul Aziz Masyhuri, 1977: 2-3) (Abu Ghiffâri, dalam Shiddiq
Amin (ed.), 2001 : 4) (Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia
Tahun 2005) Di antara Fatwa MUI ini terdapat pro-kontra di kalangan tokoh
dan intelektual Islam, terutama dalam fatwa Ahmadiyah.
Produk ijtihad kolektif dalam bentuk Fatwa di atas, diputusakan
setelah melalui proses panjang dan pengkajian secara mendalam dengan
melibatkan berbagai expert dan spesialis keilmuan agar semua keputusan
hukum mendekati kebenaran dan dapat diterima oleh semua elemen

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 10


masyarakat. Keputusan fatwa ini biasanya cenderung dinamis, karena
merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi
masyarakat. Meskipun fatwa itu dikeluarkan satu persatu secara kasusistik,
sejumlah fatwa dari berbagai ulama besar juga akhirnya dibukukan, tetapi
sistematikanya tetap berbeda dengan sistematika kitab fikih. Kendatipun
kajian persoalan hukum sudah dilakukan secara mendalam dan melibatkan
berbagai ahli, tetapi dalam realitasnya tetap saja memunculkan pro-kontra,
karena sudut pandang dalam meneliti sesuatu persoalan berbeda, sehingga
tidak mengherankan apabila respon masyarakat beragam. Karena itu, dalam
masalah pro-kontra ijtihad ini, diperlukan lapang dada (tasâmuh) dan kearifan
dari semua pihak, terutama tokoh-tokoh agama, dan menjaga akhlak
Islamiyah dalam memberikan respon.

2. Ijtihad Kontemporer
Ijtihad sebagaimana diutarakan diatas, ‘mencurahkan segala
kemampuan dalam segala perbuatan’; sementara itu, kontemporer berasal ari
kata ‘al-mu’âshir’, yakni masalah-masalah baru dan peoblem-problem sosial
modern. Apabila kata ijtihad dirangkaikan dengan kata ‘al-mu’âshir’, sehingga
menjadi kata majemuk (idhâfi), mengandung pengertian, mencurahkan segala
kemampuan untuk menentukan hukum terhadap masalah-masalah baru dan
problem-problem modern berdasarkan nash-nash hukum pokok dan kaidah-
kaidah hukum yang bersifat umum (Muhammad Ma’rûf al-Dawâlibi, 1959:
52) (Yusuf al-Qardhâwi, 1987: 52).
Ijtihad kontemporer menurut al-Qardhawi dapat dilakukan dengan
salah satu dari dua cara berikut ini: pertama ijtihad intiqâ’i. Ijtihad ini dilakukan
dengan cara menyeleksi pendapat ulama terdahulu yang dipandang lebih
sesuai dan lebih kuat. Para ulama terdahulu telah memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapinya; bukan berarti bahwa apa yang telah mereka
tetapkan atau hasilkan dalam ijtihad itu adalah suatu ketetapan final untuk
sepanjang masa, tetapi perlu diteliti kembali apakah sesuai dengan situasi dan
kondisi zaman sekarang ataukah sebaliknya, sudah tidak relevan lagi.
Sedangkan mujtahid sekarang dituntut untuk mengadakan studi
perbandingan di antara pendapat-pendapat itu dan diteliti dalil-dalil yang
dijadikan landasan, sehingga hal ini dituntut untuk menilai ulang

102 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


argumentasi, dari satu pendapat dan menetapkan yang terbaik berdasarkan
beberapa tolok ukur, antara lain kesesuaian pendapat yang dipilih dengan
kondisi masyarakat. Upaya tersebut bukan berarti menolak pendapat para ulama
terdahulu, melainkan ditransformasi sesuai dengan perkembangan zaman (Lihat
Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukarram alAnshâri, t.t. Juz XX
: 212) Memilih pendapt-pendapat ulama itu tidak harus terbatas dari apa
yang dikemukakan oleh salah satu madzhab yang populer, begitu kesimpulan
yang dinyatakan, Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyyah, di Kairo (al-Jâmi’ah al-
Azhar, 1964 : 394). Memang tidak ada salahnya, memulai pembahasan dengan
merujuk keempat madzhab, tetapi jika pandangan mereka tidak memuaskan,
maka tidak ada salahnya memilih dari siapa saja yang memiliki otoritas,
sehingga boleh jadi, pendapat yang diambil bersumber dari salah seorang
sahabat Nabi, sepertii ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Ali ibn Abî Thâlib, ‘A’isyah, Ibn
Mas’ûd dan Ibn ‘Abbas, dan selain mereka, atau dari kalangan tabi’in
semacam Ibn al-Musayyab, dan lain-lainnya, bahkan ulama sesudah mereka,
walaupun tidak dikenal luas di kalangan masyarakat awam, semacam al-
Laitsi, al-Awzâ’i, al-Tsauri, dan al-Thabâri, yang ternyata mereka pun tidak
jarang saling berbeda pendapat.
Al-Qardhâwi memberi contoh soal Bank Susu. Dalam hal ini, ia memilih
pendapat yang tidak populer. Penyusuan yang mengharamkan,
menurutnya, hanyalah apabila sang anak menyusu dan mengisap langsung
dari puting payudara wanita dan tidak mengharamkan, bila air susu wanita
itu dituangkan ke mulutnya dengan cara ditampung dulu, kemudian baru
diminumkan, atau dengan cara apa pun selain meyusu langsung dari puting
payudara. Pendapat ini sejalan dengan pendapat al-Laits, Dâwud ibn ‘Alî,
Ibn Hazm, dengan alasan bahwa redaksi yang digunakan Alquran dan
sunnah adalah al-radhâ’ah, dan memang kata ‘al-radhâ’ah’ dalam kamus,
berarti ‘mengisap susu langsung dari payudara wanita’ (Yusûf al-Qardhâwi,
1994 : 24).
Kedua ijtihad Insyâ’i. Ijtihad ini dengan cara menetapkan hukum baru
dalam suatu permasalahan, di mana permasalahan tersebut belum pernah
dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalahnya baru atau lama. (Idris
al-Marbawi, t.t. Juz I, : 316) Ijtihad ini sangat diperlukan, karena berbagai
permasalahan yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang belum pernah terbetik dalam hati para mujtahid terdahulu,
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 109
seperti inseminasi buatan, donor mata, akad nikah dalam layar tv,
transksitransaksi bisnis modern, bank sperma dan bak air susu. Kemajuan Iptek
dan ekonomi serta globalisasi dunia telah banyak membawa pengaruh
perubahan pola pikir dan sikap hidup masyarakat. Sikap rasional yang menjadi
ciri utama masyarakat modern membuat praktek – praktek ilmu fikih kurang
mampu lagi menjawab berbagai permasalahan baru tersebut.
Kemudian, jika ada suatu masalah lama yang diperselisihkan oleh
ulama, maka tidaklah menjadi keharusan untuk memilih satu dari
pendapatpendapat mereka, tetapi tidak ada salahnya bagi yang memiliki
otoritas untuk menetapkan pendapat yang sama sekali baru. Perselisihan dan
perbedaan ulama dalam satu masalah menunjukkan bahwa masalah tersebut
dapat menerima sejumlah alternatif pendapat; salah satu di antaranya adalah
pendapat yang dikemukakan oleh mujtahid kontemporer. Kalau dari masalah
lama dapat timbul pendapat baru, maka tentu lebih-lebih lagi pada masalah-
masalah yang belum pernah terjadi pada masa lampau atau bahkan tidak
terlintas dalam benak ulama terdahulu. Sebagai contoh transplantasi organ
tubuh mata, ginjal dan jantung. Dalam kasus ini, para ulama kontemporer
memandang bahwa apabila tranplantasi mata, ginjal dan jantung dari donor
yang telah meninggal secara yuridis dan klinis, maka dapat diperbolehkan,
dengan syarat si penerima donor berada dalam keadaan darurat, yang
mengancam jiwanya, dan secara medis telah ditempuh pengobatan secara
maksimal, tetapi tidak berhasil; dan transplantasi tidak menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi penerima dibandingkan dengan
keadaan sebelum transplantasi. Argumentasi kebolehan transplantasi, di
samping ayat-ayat Alquran dan hadis, juga berdasarkan logika medis yang
dapat membahayakan jiwanya, dan begitu pula, kaidah fikih menyatakan, al-
dharar yuzâlu, bahaya itu dihilangkan (Abd al-Qâdir ‘Audah, 1949, Juz I : 577).
Ketiga gabungan antara ijtihad intiqâ’i dan insyâ’i. Ijtihad ini
dilakukan dengan cara menyeleksi pendapat-pendapat ulama terdahulu,
yang dipandang selaras dan lebih kuat, kemudian ditambahkan dalam
pendapat tersebut unsur-unsur ijtihad baru. Dengan demikian, di samping
untuk menguatkan atau mengkompromikan beberapa pendapat, juga
diupayakan adanya pendapat baru sebagai jalan keluar yang lebih sesuai
dengan tuntutan zaman.[64] (Hasan M. Noer (ed) 2004 : 397) Asjmuni

110 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


Abdurrahman mengkategorikan gabungan dua bentuk ijtihad tersebut ke
dalam pengertian ijtihad isthislahi, yaitu suatu bentuk ijtihad untuk
menemukan hukum yang didasarkan pada kemaslahatan yang tidak
disebutkan secara tegas dalam nash. Pendapat ini dapat dipahami, karena
faktor-faktor yang mempengaruhi dilakukannya ijtihad intiqâ’i dan insyâ’i
sama dengan faktor-faktor yang mendorong fuqâha menggabungkan metode
isthislahi sebagaimana dikemukakan oleh al-Zarqâ ( Asjmuni Abdurrahman,
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 1996 : 13). Faktor-faktor yang dimaksud antara lain adalah kajian
terhadap pengetahuan modern dan ilmu-ilmunya, perubahan sosial, politik
dan tuntutan zaman sesuai yang dihadapi.
Dalam penerapan ijtihad intiqâ’i dan insyâ’i atau gabungan antara
keduanya, biasanya diilustrasikan kepada beberapa aspek hukum keluarga
Islam Indonesia, antara lain: pembatasan umur untuk melangsungkan
perkawinan. Kitab-kitab fikih klasik tidak memberikan batasan umur untuk
melakukan perkawinan, tetapi dalam pasal 7, Undang-Undang Perkawinan,
tahun 1974, diatur secara jelas, umur perkawinan untuk pria 19 tahun dan
pihak wanita 16 tahun. Ketentuan batas umur ini, didasarkan atas
pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Karena itu,
pemerintah dibenarkan membuat ketentuan tersebut; hal ini sejalan dengan
kaidah fikih yang menyatakan: tasyarruf al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûth bi
almashlahah, suatu tindakan atau peraturan pemerintah berintikan
terjaminnya kemaslahatan rakyatnya, dan dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ
jalb almashâlih, menolak bahaya didahulukan, atas mendatangkan
kemaslahatan (Ahmad Rofiq, 1997 : 77; bandingkan dengan penjelasan
Umum UndangUndang Nomor 1, Tahun 1974, tentang Perkawinan. (Lihat
juga Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, t.t. : 62). Demikian pula, mengenai registrasi
perkawinan, yang tidak disebutkan dalam kitab-kitab klasik, sehingga apabila
sudah cukup rukun dan syarat-syaratnya, maka perkawinan sudah dianggap
syah. (Amir Syarifuddin, 1990 : 109-110) Landasan filosofis pencatatan
pernikahan ini, dalam UU No. 1 tahun 1974, pasal 5 dan 7 adalah untuk
mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat dan menjadikan
peristiwa perkawinan menjadi jelas, memperoleh kepastian hukum, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Dengan demikian, pencatatan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 111


perkawinan adalah bentuk baru dan resmi dari pemerintah yang mendapat
legalitas hukum berdasarkan dua kaidah fikih di atas.
Dalam kaitan dengan hukum waris, pasal 185, ayat 1, Buku II, KHI
menyebutkan, “ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka
yang tersebut dalam pasal 173 (kelompok orang yang terlarang menjadi ahli
waris)”. Ketentuan ini tidak hanya berbeda dengan apa yang ditemukan
dalam literatur fikih klasik, misalnya Nihâyh al-Muhtaj dan Khulâshah al-‘Ilm
al-Farâ’id, (Syamsu al-Dîn Muhammad al-Ramli, 1938, Juz IV: 17-18)
(Muhammad Amin al-Asyi, 1937: 25) tetapi juga berbeda dengan apa yang
ditempuh oleh negara-negara Islam yang telah terlebih dahulu
memperbaharui hukum kewarisannya, seperti Mesir, Syiria, Maroko, Tunisia
dan Pakistan. Negara-negara ini pada umumnya menempuh jalan wasiyat
wajibah. (J.N.D. Anderson, 1991: 83-84) (H.M. Atho’ Muzhar dan Khairuddin
Nasution (ed.), 2003: 83-119).
Pergantian tempat yang dimunculkan KHI ini, tampaknya dalam
banyak hal bersesuaian dengan: pertama KUH Perdata pasal 841-848 yang
mengatur mengenai ‘penggantian memberi hak kepada seorang yang
mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam
segala hal orang yang diganti”, yang dikenal dengan istilah plaatsuervulling;
kedua bersesuaian dengan teori Huzairin, yang dikenal dengan istilah mawâli
yang didasarkan kepada surat Al-Nisâ’, ayat 33. Berdasarkan ayat ini,
Huzairin mengatakan, bahwa Alquran meletakkan hubungan kewarisan atas
dasar pertalian darah antara yang meninggal dengan anggota keluarganya
yang masih hidup. Oleh karena itu, pengganti ahli waris yang sebenarnya
harus memiliki hubungan dengan orang yang digantikan itu, di mana ia
adalah seorang yang seharusnya menerima warisan ketika ia masih hidup,
tetapi karena ia sudah meninggal, maka mereka yang menjadi mawâli inilah
keturunan orang yang mengadakan semacam perjuangan mewaris (Hazairin,
1982 : 27). Gagasan baru yang ditempuh KHI ini didasarkan pada keinginan
merevitalisasikan nilai-nilai keadilan yang muncul dalam masyarakat
Indonesia dan sekaligus meredam kelangsungan watak fikih yang serba
khilâfiyyah dalam upaya ri’âyah al-mashâlih.

112 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


Ilustrasi lain adalah masalah ber-ihram dari miqât al-makâni, bagi
mereka yang menggunakan pesawat udara. Selama ini sering kali
didengungkan bahwa ber-ihram bagi yang menggunakan pesawat harus
dilakukan paling tidak di atas pesawat dengan alasan bahwa Jeddah telah
melampaui batas miqât. Tidakkah ini menyulitkan? Dengan demikian,
tidakkah terabaikan sejumlah sunnah yang dianjurkan Nabi saw? Rasulallah
saw ketika menganjurkan tentang miqât bersabda bahwa tempat- tempat yang
beliau tunjuk itu seperti Yulamlam bagi yang datang dariYaman dan yang
sejajar dengannya, termasuk Indonesia adalah miqât bagi siapa pun yang
tiba di sana. Melintasnya pesawat di atas daerah miqât tidakberarti bahwa
penumpangnya telah sampai atau tiba di miqât. Tujuan dari penetapan
miqât itu bahwa daerah-daerah tersebut merupakan pintu gerbang
memasuki kota Mekkah, sedangkan kini Jeddah, atau mungkinsekarang di
‘Aziziyah, adalah pintu gerbang bagi pesawat udara. Di udara, amat sulit
seseorang mengganti pakaiannya dan melaksanakan sunnah- sunnah ber-
ihram; karena itu tidak ada salahnya untuk menjadikan Jeddah sebagai
miqât makâni, sebagaimana dahulu ‘Umar ibn al-Khaththâb menetapkan
“Dzat ‘Araq” sebagai Miqât alMakâni. Dengan demikian jelas, hasil ijtihad
yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu merupakan karya agung
yang tetap utuh, tetapi bukan menjadi patokan mutlak, karena itu,
diperlukan kemampuan meneliti hasil sebuah ijtihad dengan jalan
menggabungkan kedua bentuk ijtihad di atas secara metodologis, ilmiah dan
sistematis (Sayyid Sâbiq, 1983, Juz I : 550).
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka pada
akhir tulisan ini dapat disimpulan sebagai berikut:

a. Perubahan sosial dapat dikenali melalui kependudukan, habitat fisik,


Iptek dan struktur masyarakat serta kebudayaan, yang kesemua faktor
ini akan mempengaruhi terhadap perubahan hokum.
b. Perubahan hukum Islam dalam pengertian pembaruan hukum melalui
proses ijtihad, untuk mengembangkan dan menetapkan hukum baru
terhadap peristiwa yang tidak disebutkan secara tegas dalam nash
Alquran dan sunnah.
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 113
c. Medan ijtihad adalah dali-dalil Alquran dan sunnah yang petunjuknya
interpretatif (zhanni al-dalâlah), dan peristiwa-peristiwa baru yang belum
disinggung secara implisit dalam nash Alquran dan sunnah.
d. Pada prinsipnya, ijtihad terbagi dua bagian: pertama ijtihad jamâ’i dan
kedua ijtihad fardi. Dalam menghadapi peristiwa hukum dewasa ini
yang makin kompleks, sebaiknya menggunakan ijtihad jamâ’i, karena
lebih teliti dan mencakup berbagai aspek keilmuan, sehingga dipandang
mendekati kebenaran.
e. Ijtihad kontemporer dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara,
atau gabungan dari dua cara, yaitu ijtihad intiqâ’i dan insyâ’i, atau
menggabungkan keduanya, sehingga menjadi lebih komprehensif.

114 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


BAB V
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN

A. Pengertian Ilmu Pengetahuan


Ilmu sudah menjadi kata bahasa Indonesia sehari-hari, padahal kata ilmu
itu diambil dari kata Arab yaitu dari kata jadian alima-ya`lamu menjadi ilmun.
Alima sebagai kata kerja yang berarti “mengetahui”. Selanjutnya menurut
Quraish shihab, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam
Alquran. Selanjutnya kata Quraish, ilmu dari segi bahasa berarti “kejelasan” dari
segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai
kejelasan. Jadi ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang segala sesuatu,
sekalipun demikian kata ini berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), ‘arif (yang
mengetahui) dan ma’rifah (pengetahuan). Dalam Alquran Allah tidak
dinamakan ‘arif, tetapi ‘alim yang berkata kerja ya’lamu (dia mengetahui), dan
biasanya Alquran menggunakan kata tersebut untuk Allah yang mengetahui hal-
hal ghaib, tersembunyi dan rahasia. Perhatikan objek pengetahuan berikut
yang dinisbahkan kepada Allah : ya’lamu ma yusirrun (mengetahui apa yang
mereka rahasiakan), ya’lamu ma fi al-arham (mengetahui yang berada di rahim),
ya’lamu ma fi anfusikum (mengetahui yang berada dalam dirimu), ya’lamu ma fi
al-samawaat wa fi al-ardhi (mengetahui yang ada di langit dan bumi), ya’lamu ma
fi khaainat al-‘ayun wa ma tukhfi ash-shudur (mengetahui kedipan mata dan yang
disembunyikan dalam dada). Demikian juga ilmu yang disandarkan kepada
manusia juga mengandung makna kejelasan. Jadi ilmu itu secara lughawi
adalah mengetahui sesuatu secara dalam, hingga menjadi jelas.
Kata ilmu jika diterjemahkan dalam bahasa asing disebut dengan
“science”. Menurut Virginia dalam The New Webster Dictionary English
Langguage, bahwa science berasal dari bahasa Latin “scire” yang artinya juga
mengetahui. Jadi science sebagaimana yang ditafsirkan oleh Virginia adalah
sekumpulan pengetahuan yang telah tersusun secara sistimatis. Sebenarnya
apakah perbedaan antara ilmu dan pengetahuan? Menurut Poeradisastra,
ilmu merupakan salah satu dari sekian pengetahuan, dan kadang disebut

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 115


dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Pengetahuan disini adalah
sekumpulan fakta yang saling berhubungan satu sama lain mengenai suatu

116 | SYARI’AH, IBADAH DAN MUAMMALAT |


hal tertentu, misalnya mengenai jamu-jamuan, sejarah dan sebagainya. Dan
pengetahuan tersebut telah disistimatiskan, artinya telah tersusun rapi,
jelas batasannya, cara kerjanya dan tujuannya. Selanjutnya pengetahuan itu
muncul menurut Roderick M. Chisholm, tidak lepas dari sikap skeptis
terhadap fenomena. Formulasi sikap skeptis ini tertuang dalam bentuk
pertanyaan, apa yang aku tahu? bagaimana aku membedakan benda-benda
tersebut?
Dari keterangan antara ilmu dan pengetahuan, jika disatukan dalam
pemahaman, bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah
dibuktikan kebenarannya, teori-teori ilmiah dengan cara yang ketat dari
faktafakta pengalaman yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen, dan
telah terbukti secara obyektif. Senada dengan keterangan tersebut menurut
Endang Saifudin Anshari, ilmu pengetahuan adalah sekumpulan
pengetahuan yang mempunyai sistem dan metode tertentu. Jadi dapat
disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan menunjukkan kepada serangkaian
aktifitas manusia yang memiliki tujuan, dan tentunya berhubungan dengan
kesadaran, dan dari segi titik pandang internal dan sistimatis. Selanjutnya The
Liang Gie menjelaskan ilmu pengetahuan mengandung tiga hal yaitu proses,
prosedur dan produk. Ilmu bila diperbandingkan sebagai suatu proses, maka
ia menunjukkan pada penelitian ilmiah, bila diperbandingkan sebagai
prosedur, maka ia mengacu pada metode ilmiah, bila diperbandingkan
sebagai produk, maka ia menunjukkan sebagai pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan disebut ilmiah menurut Archi J. Bahm, harus memenuhi enam
komponen yaitu, problem, attitude, methode, activity, conclution, dan effectc.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri tersendiri, Van Nelsen menjelaskan
ciri-ciri tersebut pertama, ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai
suatu keseluruhan yang logis dan koheren, kedua, harus tanpa doktrin, sebab
ilmu berkaitan dengan tanggung jawab. Ketiga, ilmu pengetahuan harus
universal. Universalitas bisa mencakup seluruh dunia atau terbatas menurut
tempat, yang penting universalitas harus ada agar menjadi penting secara
historis. Keempat, ilmu pengetahuan harus obyektif, dan tidak dicampur
adukkan dengan hal-hal yang subyektif, kelima, ilmu pengetahuan harus
memenuhi tuntutan inter-subyektif, sehingga dapat diverifikasi oleh semua
peneliti ilmiah yang sejenis. Keenam, harus dapat dikomunikasikan, artinya

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 117


harus terbuka bagi siapa saja yang ingin menguasainya. Ketujuh harus
progresif dalam arti selalu mengandung pertanyaan yang mendorong
munculnya problem baru. Kedelapan, ilmu pengetahuan harus memeiliki
sikap kritis dalam sikap ilmiah. Kesembilan, ilmu harus dapat digunakan.

B. Kedudukan Wahyu, Akal, dan Ilmu Pengetahuan dalam


Pandangan Islam
Sebenarnya wahyu dan akal adalah memiliki peran yang sama
pentingnya sebagai pendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Dan ilmu
pengetahuan bagi manusia sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan
dunia dan akherat.
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, kata ini berarti suara,
disamping itu juga menurut Harun Nasution al-Wahyu, mengandung arti
bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahyu selanjutnya mengandung arti
pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata tersebut
lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”.
Jadi kata wahyu mengandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang
pilihan-Nya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan
hidup. Wahyu Allah tersebut telah terangkum dalam kitab yaitu Alquran, dan
Alquran inilah sebagai pedoman hidup manusia yang banyak berisi tentang
dorongan untuk berbuat baik sesama manusia dan alam sekitar. Sedangkan
akal secara terminolgi terambil dari kata aqala yang berarti al-hijr yaitu
“menahan”, dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa
nafsu. Seterunya diterangkan pula oleh Ibn Munzir bahwa al-‘aqal
mengandung arti kebijaksanaan dalam bahasa Arab disebut al-Nuha yakni
lawan dari lemah pikiran, lebih lanjut dijelaskan Ibn Munzir, ‘aqal
mengandung arti memahami. Sementara Akal dalam arti aslinya menurut
Harun Nasution adalah mengikat dan menahan, dan akal itu selanjutnya
dijelaskan oleh Harun Nasutin, bukanlah otak, tapi daya pikir yang terdapat
dalam jiwa manusia. senada dengan Harun, akal menurut Amin Syukur, ialah
pengetahuan tentang hakikat segala keadaan, oleh karena itu akal itu ibarat
sifat-sifat ilmu yang tempatnya di hati. Jadi akal bukanlah hanya sekedar
kemampuan berpikir secara rasional tanp pertimbangan hati nurani, tapi akal
menurut defenisi diatas merupakan ikatan dari kemampuan berpikir rasional

118 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


dan ketajaman hati nurani, keduanya berjalan seimbang, sehingga
menghasilkan kebijaksanaan yang diharapkan, jika tidak berfungsi salah
satunya, maka akan melahirkan kebijakan yang kurang memadai bahkan
subyektif. Bagaimanapun Akal merupakan potensi yang hanya dimiliki
manusia, tidak makhluk lain, dengan akal manusia dapat mengenal dan
mengusai makhluk lain yang ada disekitarnya.
Kedua hal diatas antara wahyu dan akal sama-sama memiliki peran
yang besar dalam mendorong manusia untuk berilmu, betapa tidak, banyak
ayat Alquran yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya
mempergunakan akalnya dan banyak berpikir, seperti ungkapan apala
ta’qilun, apala tatafakarun dan apala yanzhuru. kata-kata yang mengandung arti
berpikir, selain dari kata akal, terdapat banyak dalam Alquran seperti dabbara
(merenungkan), faqiha (mengerti), nazara (melihat secara abstrak), tafakkara
(berpikir). Selain itu terdapat pula sebutan yang menggambarkan sifat
berpikir seorang muslim seperti ulul al-bab, ulul abshar (orang yang melihat
dengan akalnya) dan ulul ilm (orang yang mengetahui). Selanjutnya kata ayat
dalam Alquran erat kaitannya dengan berpikir. Arti asli ayat ialah tanda yang
menunjukkan pada sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan
dibelakangnya, untuk mengetahuinya manusia harus memperhatikan tanda
itu dengan menggunakan akalnya.
Jadi peran wahyu disini yang pasti adalah disamping mendorong
kerja akal juga mengarahkan kerja akal agar tidak terpengaruh oleh hawa
yang dibawa oleh setan, karena banyak produk akal namun tidak membawa
kebaikan, hal itu disebabkan akal yang terpengaruh oleh hawa nafsu dan
kepentingan pribadi, sementara akal yang terpengaruh oleh wahyu, akan
berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan, sehingga ia berjalan lurus.
Memang akal dapat menentukan baik buruk suatu perbuatan, namun kadang
baik buruk yang ditetapkan akal cenderung memiliki bias kepada
kepentingan pribadi, atau kelompok, dan biasanya baik buruk hasil dari akal
itu tidak konstan, ia bersifat relatif. Oleh karena itu stabilitas baik buruk itu
harus ditetapkan oleh wahyu.
Sementara itu peran ilmu bagi manusia pertama, sebagai alat
pengembangan daya pikir. Disini ilmu tidak dilihat sebagai produk yang siap
di konsumsi. Oleh karena itu untuk pengertian ilmu sebagai kata benda lebih

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 119


tepat diganti dengan istilah keilmuan sebagai kata kerja yang mencerminkan
aktivitas dan kegiatan berpikir yang dinamis dan tidak statis. Ditinjau dari
segi ini maka setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun,
selama hal itu terbatas pada objek empiris, dan pengetahuan itu diperoleh
dengan menggunakan metode keilmuan adalah sah untuk disebut keilmuan,
asalkan dalam proses pengakajian masalah tersebut, dia memenuhi
persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya tidak semua yang
diasosiasikan dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan. Seorang sarjana
misalnya yang mempunyai profesi bidang ilmu tertentu belum tentu
mendekati masalah ilmu secara keilmuan. Hakikat keilmuan tidak ditentukan
oleh titel, profesi atau kedudukan, tapi ditentukan oleh cara berpikir yang
dilakukan menurut persyaratan keilmuan. Disinilah urgensinya ilmu sebagai
alat untuk pengembangan daya pikir manusia, karena berpikir keilmuan
bukanlah berpikir biasa, tetapi berpikir yang teratur, yang disiplin, yang
bermetode dan bersisitem, dimana setiap idea dan konsep yang sedang
dipikirkan tidak dibiarkan berkelana tanpa arah. Berpikir keilmuan selalu
terarah kepada suatu tujuan yaitu pengetahuan.
Pembiasaan cara berpikir keilmuan merupakan cara yang terbaik
untuk mempertajam ratio (daya nalar). Cara berpikir seseorang yang terdidik
dalam berpikir ilmiah adalah sangat berbeda dengan cara berpikir
orangorang yang tidak atau belum pernah sama sekali terlatih untuk itu,
dengan kata lain berpikir keilmuan menghendaki latihan. Pembiasaan
berpikir seperti itu sangat relevan dengan anjuran Alquran dalam berbagai
variasinya, dalam Q.S: Al-Hasyar: 2 Allah berfirman, … Maka ambillah
(kejadian) itu untuk menjadi I’tibar, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
(ulil abshar). Selanjutnya Allah berfirman dalam Q.S: Shad: 29, ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran (ulil al-bab). Dalam ayat lain Q.S: Al-Baqarah: 242, demikianlah
Allah menerangkan kepadamu ayat-ayatNya, supaya kamu memahaminya
(memikirkannya). Q.S: Al-Zariat 20-21, Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan juga pada dirimu sendiri, maka
apakah kamu tiada memperhatikan. Mengambil i’tibar, tadabbar, berakal,
memandang dengan hati (bashir) dan seterusnya adalah kata-kata yag

120 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


digunakan oleh Alquran untuk merangsang manusia agar senantiasa rajin
membiasakan dirinya berpikir secara keilmuan, dan secara teratur.
Peran ilmu yang kedua, sebagai alat pengelola sumber daya Alam,
karena alam ini diciptakan oleh Allah untuk manusia, maka manusia berhak
untuk mengelolanya dengan baik, agar pengelolaanya berhasil dengan baik,
diperlukan perangkat atau alat berupa ilmu. Dalam mengeksploitasi alam ini
manusia harus mengenal norma-norma yang telah ditetapkan oleh Allah yang
kita sebut sunnatullah. Ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam,
manusia haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Memberi tempat yang wajar kepada makhluk hidup lainnya, dan juga
sesama manusia di bumi (Q.S: 17:20).
2. tidak berlebihan atau rakus (Q.S:7:31).
3. memelihara keseimbangan takaran yang telah ditentukan Allah (Q.S:
15:19), (Q.S: 55:7-8).
4. menggunakan akal (yang menghasilkan ilmu untuk manfaat) dan rasa
(yang mencerminkan keindahan, seni) yang bertujuan membawa
manusia kepada tauhid, sebagai prinsip azas Islam.
5. bersyukur (Q.S: 30:46), (Q.S:31:31), Q.S: 42: 32). Demikian hal-hal yang
perlu diperhatikan oleh seorang yang ingin mengelola alam ini, kalau
tidak alam ini akan hancur binasa, dan yang akan merasakan kerugian
tersebut adalah manusia itu sendiri.

C. Kewajiban Menuntut Ilmu Pengetahuan


Dalam Alquran surat Al-Alaq 1-5 berisi perintah “membaca”.
Membaca sebagai sarana mencari ilmu. Menurut Nurcholis Madjid, membaca
adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dalam membaca orang
dapat melakukan penjelajahan bebas kemana-mana ke daerah ilmu
pengetahuan yang belum dikenal. Dalam ayat lain Allah memberikan
motivasi yang sangat tinggi, agar kaum muslim menuntut ilmu seperti dalam
Q.S: Al-Mujadalah: 11, Allah berjanji akan mengangkat derajat orang yang berilmu.
Motivasi ini juga datang dari rasul, bahwa beliau langsung mewajibkan
menuntut ilmu, menuntut ilmu sebagai kewajiban bagi kaum muslimin dan
muslimat dalam hadsit lain, Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu,
maka Allah memudahkan jalannya ke surga. Karena menuntut ilmu dinyatakan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 121


wajib, maka kaum musliminpun menjalankannya sebagai ibadah. Mengapa
menuntut ilmu menjadi suatu kewajiban? melalui pertanyaan ini, orang mulai
mencari keutamaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar
mengajar yang berlangsung dalam sejarah peradaban Islam telah
menimbulkan perkembangan ilmu, baik yang lama maupun yang baru, dalam
berbagai cabangnya. Ilmu telah menjadi pendorong perubahan dan
perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi karena ilmu telah menjadi suatu
kebudayaan. Dan sebagai kebudayaan, ilmu mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam masyarakat kaum muslim masa lalu. Dalam sejarah
sekitar abad ke 7-11 Masehi, Islam mengalami kejayaan dalam berbagai
bidang ilmu. Menurut Nourrouzzaman, pusat perkembangan kebudayaan
dan peradaban dunia Islam ketika itu berada di Bagdad, Cardova, dan Cairo.
Ketiga kota ini merupakan ibu kota wilayah khalifah muslim. Bagdad ibu kota
Dinasti Abasyiah, Cardova ibu kota Dinasti Umayah, dan Cairo, ibu kota
Dinasti fartimiyah.
Sebagai kesimpulan, bahwa Alquran sendiri menyatakan bahwa
manusia diberi kemampuan untuk menjangkau pengetahuan, dan
menganjurkan kepada manusia untuk melihat keseluruh horizon makrokosmos,
dan kedalam diri manusia sendiri atau horizon mikro-kosmos, agar manusia
memiliki pengetahuan demi kesejahteraan manusia itu sendiri dan alam
sekitar (Q.S: Fushilat:53).

D. Sekilas Sejarah Pertumbuhan Keilmuan Dalam Islam


Rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan ilmiah yang
sistimatis merupakan ciri yang menonjol dalam peradaban Islam, hal ini tidak
mengherankan karena Islam adalah sebuah agama yang rasional, tapi bukan
agama yang rasionalistik. Menurut Ziaudin sardar, Islam telah
mengembangkan sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal
sebagai inti dalam tradisi agama, dan dalam mempertahankan sikap terhadap
ilmu pengetahuan, Islam tidak hanya menghargai dan menyuruh belajar, tapi
juga memberikan metode pengamatan yang rasional. Oleh karena itu Islam
tidak hanya melahirkan ilmuan-ilmuan besar, tapi juga menciptakan tradisi
intelektual.

122 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


Dibawah pengaruh Islam, sain tumbuh subur dan mempuyai bentuk
yang unik, keunikannya tidak hanya dalam metode, tapi juga dalam
epistimologi. Lebih jauh dijelaskan oleh Sardar, epistimologi Islam
mengandung konsep yang holistik mengenai pengetahuan, dalam konsep
tersebut tidak terdapat pemisahan antara pengetahuan denga nilai, bila
dikaitkan dengan fungsi sosial.
Berbicara mengenai permulaan lahirnya ilmu pengetahuan
dikalangan umat Islam. David Pingree menjelaskan, banyak pernyataan yang
tidak masuk akal telah dikemukan mengenai awal ilmu pengetahuan Islam
oleh para ahli sejarah, yang tidak punya waktu atau ambisi untuk menggali
sumber-sumber asli, tapi sudah puas dengan meneruskan tradisi histografis
yang telah dimulai di Spanyol pada abad 12, bahkan al-Nadim menurut C.A.
Qadir telah mengklasifikasikan pengetahuan Arab, dan memasukkan ilmu
pengetahuan ke dalam katagori ‘ulum al-Awail (ilmu-ilmu purba), dengan
demikian mengaburkan asal usul ilmu pengetahuan Islam dan memberi
kesan seolah-seolah ilmu pengetahuan Islam itu lahir setelah bangsa Arab
dapat membaca karya para pemikir dari zaman purba. Menurut C.A. Qadir,
hal ini tidak benar dan tidak sesuai dengan faktanya, seperti yang dikatakan
diatas. Umat Islam maju dalam ilmu pengetahuan karena dilhami oleh sekian
banyak ayat dalam Alquran, yang mempersilahkan orang Islam untuk
mengamati alam sekitar, serta dorongan dari rasul untuk mencari ilmu.
Gerakan pengembangan keilmuan Islam terjadi pada permulaan
ketika Islam mulai mengembangkan sayap. Hasymi mengemukakan, terdapat
tiga bidang keilmuan Islam yaitu, dinniyah, tarikh, dan falsafah. 1. ilmu-ilmu
dinniyah itu antara lain tafsir, Al-Hadist, fiqh dan akhlak. Gerakan
pengembangan ilmu-ilmu Dinniyah (agama) ini didorong oleh rasa kengin-
tahuan dan kebutuhan umat Islam untuk mengkaji dan memahami sumber
ajaran Islam yaitu Alquran dengan cara menafsirkan, menggali hukum, dan
tata bahasa. Pengembang keilmuan Islam bidang dinniyah ini dimulai sejak
zaman rasul.
2. Gerakan tarikh, artinya gerakan pengembangan ilmu dalam bidang
sejarah, yaitu pengumpulan dan pembahasan data-data sejarah,
kisahkisah dan riwayat hidup. Pada masa permulaan Islam memang
belum disusun kitab-kitab sejarah, tapi pengumpulan dan pembenaran

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 123


data sejarah menjadi dasar yang penting bagi pengarang seperti Ibn Ishak.
Gerakan pengembangan ilmu sejarah di motivasi oleh keyakinan para
khalifah untuk mengetahu riwayat raja-raja bangsa lain, sistem organisasi
dan politiknya.
3. Gerakan filasafat yaitu gerakan ilmu dalam bidang mantiq, kimia,
kedokteran (tibbi). Pengembangan ilmu ini belum begitu luas, tapi setelah
Islam berkembang pesat, dan berhasil menaklukkan daerahdaerah lain,
sain Islam terus berkembang.
Pengembangan sain Islam, tidak saja ilmu-ilmu yang membahas telaah
agama, tapi juga berkembang pada sain-sain modern. Perkembangan sain Islam
diawali dengan penaklukkan daerah-daerah sekitar jazirah Arab selama abad
awal Islam (mua’wiyah dan Abasyiah). Kondisi ini membawa mereka kepada
hubungan yang dekat dengan peradaban besar dunia. Diantara daerah-daerah
taklukan Islam terbentang dari Timur sampai Barat, antara lain Yunani,
Aleksanderia, Mesir, India, Cina dan Spanyol. Sebelum penulis menjelaskan
penyebaran sain-sain modern di kalangan muslim, penulis ingin menjelaskan
lebih dahulu potensi-potensi daerah yang telah dicapai sebelum ditaklukkan oleh
kaum muslim. Ditinjau dari teori komposisi ilmu pengetahuan, warisan
kebudayaan Mesir Purba (sejak 5000 tahun SM), India purba (sejak 4000 tahun
SM), Tiongkok (sejak 2000 tahun SM), Persia (sejak 1000 tahun SM), serta Yunani
(sejak 500 tahun SM), semuanya itu belum disebut ilmu, karena kebudayaan
mereka hanya menghasilkan timbunan- timbunan pengetahuan yang
berdasarkan pengamatan, dan perenungan, tapi belum menghasilkan metode
ilmiah yang sistimatis, seperti dalam teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan
mereka masih bercampur baur dengan tahayul, kepercyaaan dan filsafat, yang
berpikir spekulatif.
Mesir Purba telah menghasilkan limas (Piramida) yang hebat, dan sistem
pengairan yang baik serta ilmu perbintangan (astronomi). Tapi ilmu bintang
mereka masih tercampur aduk dengan ilmu peramalan (astrologi). Ahli-ahli
pengetahuan mereka adalah pendeta-pendeta yang tak mengenal batas antara
logika, tahayul dan kepercayaan, yakni penyembahan terhadap tritunggal (Apis-
Isis-Osiris). Tiongkok purba lebih maju lagi dari Mesir, tapi pengetahuan mereka
masih bercorak kudus atau sakral yaitu pemberian dari Thian dan tidak
berdasarkan obyektif, dan empirik, dalam cara berpikir

124 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


mereka juga masih berdasarkan firasat dan renungan. India dengan
kecenderungan semedinya, dengan maksud menunggalnya manusia dengan
dewata (monisme) dan pantheisme (hadirnya dewata dalam segala yang ada).
Agama Hindu menyembah lebih dari 24.000 dewa yang tercakup dalam
Tritunggal, yaitu Brahma, Syiwa dan Wisnu. Warisan positif dari India
terhadap Islam antara lain, tata bahasa sankrit. Islam mengambil dari India
yakni masalah angka dan pengertian nol, dan penggunaan ilmu pasti dalam
ilmu bintang, dan sedikit ilmu ramu-meramu obat dan racun. Persia juga
banyak berjasa dalam mewariskan keahliannya dalam teknik membuat
tembikar, sedangkan Yunani-Rumawi mewarisi filsafat Anthroposentrik
(manusia berada pada pusat segalanya), mereka lebih banyak berlawanan
dengan kecenderungan Mesir Purba, India dan Tiongkok. Orang Yunani
ternyata lebih rasionalistik.
Penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat, pertama tidak
lepas dari peran bangsa Syiria. Syria waktu itu sebagai tempat bertemunya
dua adi kuasa dunia, yaitu Roma dan Persia. Melalui umat Kristen Syiria yang
terdiri dari sekte Nestorian dan Monofisit, ilmu Yunani seperti kedokteran,
filsafat, matematika, astronomi, dan teknologi tersebar ke wilayah persia dan
Arab (dunia muslim). Kedua sekte ini menyebarkan pengetahuan Yunani
melalui sekolah-sekolah mereka, walaupun tujuan sekolah tersebut adalah
untuk menyebarkan pengetahuan Injil, namun pengetahuan modern
terutama kedokteran tidak dapat diabaikan. Menurut Mehdi Nekosten kedua
kaum ini (Nestorian dan Monofisit) dikucilkan oleh gereja induk, karena
perbedaan doktrinal, dan mereka dipaksa untuk pindah ke wilayah yang
lebih bersahabat yakni Persia dan Arab. Perbedaan doktrinal kedua sekte
Kristen ini adalah sangat prinsipil. Sekte Monofisit berpendirian, bahwa hanya
ada satu kodrat dalam diri Yesus Kristus, sementara Nestorian berpendirian
bahwa Kristus terdiri dari dua pribadi, pribadi ketuhanan dan kemanusiaan.
Persentuhan muslim dengan budaya lain menjadikan kaum muslim
maju dalam sain modern. Perkembangan ilmu pengetahuan mengalami masa
keemasan yang terjadi pada masa pemerintaah Abasyiah. Perkembangan
ilmu pengetahuan dalam Islam diawali melalui aktivitas penerjemahan
terhadap buku-buku pengetahuan Yunani. Pekerjaan penerjemaham ini
diawali pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) tetapi kerja

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 125


penerjemahan secara serius baru dimulai pada masa pemerintahan al-
Ma’mun (813-833 M). Khalifah ini kemudian mendirikan lembaga khusus
yang disebut Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah menurut Philip K. Hitty yang
merujuk pada Ibnu Nadhim dalam al-Fihris bahwa ia didirikan oleh Ma’mun
tahun 830M/215 H, sebagai wujud ketertarikannya pada rasionalitas dan
pengakuannya atas kebersamaan jalan antara sosialitas dan ajaran agama. Bait
al-Hikmah didirikan merupakan perpaduan bentuk kelembagaan/institusi
akademi, perpustakaan dan biro penerjemahan.
Sejak aktivitas penerjemahan telah dilembagakan, maka terjadi
penerjemahan besar-besaran. Aktifitas penerjemahan terus berlangsung
sepanjang abad ke-9 dan sebagian abad ke 10. Terjemahan pertama dikerjakan
dari bahasa Syiria, karena sebagian besar karya Yunani telah diterjemahkan
kebahasa Suryani, untuk kepentingan umat Kristen yang berbicara bahasa
Suryani. Keuntungan bagi para penerjema adalah kerena bahasa Suryani masih
serumpun dengan bahasa Arab dan banyak kaum muslim yang pandai berbahasa
Suryani. Lebih lanjut Mahdi Nekosten menjelaskan, bahwa prosedur
penerjemahan memiliki beberapa tahap pertama, materi secara
langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Bahasa Arab, kedua, materi
diterjemahkan ke bahasa Syiria, kemudian ke bahasa Arab, ketiga, materi
diterjemahkan dari bahasa India ke bahasa Pahlevi, kemudian ke bahsa Syiria,
dan selanjutnya ke bahasa Arab. Ada juga materi yang pada dasarnya adalah
ulasan dari karya Yunani dan Persia yang kemudian dikembangkan pada
masa pra-Islam, setelah melalui tahapan yang panjang sampai menjelang
akhir abad 9 sementara pada awal abad 10, kaum muslim mulai lebih mandiri
berkreatifitas dalam pengembagan ilmu pengetahuan.
Pada awalnya sebagian penerjemahan dilakukan kata-perkata,
sehingga agak sulit dimengerti, bahkan ada kata yang sulit dicari
padanannya, maka bahasa aslinya dialihkan apa adanya. Selanjutnya
dijelaskan oleh Franz Rosenthal, bahwa ada dua metode penerjemahan,
pertama, penerjemah (translator) mempelajari tiap-tiap kata dari bahasa
Yunani dan maknanya, kemudian memilih padananya dalam bahsa Arab,
selanjutnya diterjemahkan. Metode ini amat sulit, karena kesulitan
menemukan padanan antara kata Arab dengan Yunani, begitupula
tatabahasanya. Kedua, penerjemah memahami seluruh kalimat, kemudian

126 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


mengekspresikannya dalam bahasa Arab yang maknanya identik dengan teks
aslinya. Metode ini tidak memahami kata perkata, tapi kalimat perkalimat
atau mungkin perpragraf.
Para penerjemah yang datang kemudian, menyalin dan
menyempurnakanya. Dalam usaha penerjemahan ini menurut Nourouzaman
yang merujuk pada Philip K. Hitty, bahwa mereka tidak hanya sekedar
menerjemahkan, akan tetapi juga memasukkan buah pikiran mereka, dengan
cara demikian, maka buku-buku plato, Aristoteles, Galen dan Ptolemeus yang
sulit difahami menurut aslinya, menjadi jelas, selain itu mereka juga mengkaji
hasil-hasil temuan dan kajian asli mereka sendiri. Manuskrif pertama yang
diterjemahkan adalah naskah-naskah yang mengandung minat praktis
bangsa Arab berupa buku-buku kedoteran, Astronomi, Matematika dan
kimia. Penerjemahan ilmu kedokteran karena dilatarbelakangi ketika umat
Islam menduduki Iraq, orang-orang Arab telah mendapatkan pelayanan
medis, menurut Sayyed Hossein Nasr, penerjemahan bidang kedokteran
berawal ketika khalifah Mansur menderita penyakit “dispepsia”, ia meminta
bantuan para dokter Jundishapur, ketika itu pusat medis dan rumah sakit
dikepalai oleh Jirjis Bakhtyishui, karena keberhasilan Jirjis menyembuhkan
penyakit Khalifah, maka merupakan awal pengalihan medis Jundishaphur ke
Bagdad. Sedangkan penerjemahan ilmu Astronomi, menurut Nasim Butt,
karena Astronomi erat kaitannya dengan praktek ibadah dan teknik
perhitungan waktu shalat, dan saat penentuan jadwal puasa. Karya
Astronomi diambil dari tulisan astronomi Yunani yaitu Ptolemeus.
Sedangkan penerjemahan ilmu matematika terhjadi sekitar abad ke 4 H/10
M, para penerjemah yang menonjol abad tersebut seperti Tsabit bin Qurrah,
ia menerjemahkan “kerucut” karya Apollonius dan beberapa naskah
Archimedes dan pengantar Aritmatika. Penerjemahan ilmu matematika
tersebur dilakukan karena ilmu ini berfungsi untuk menyelesaikan persoalan
kehidupan sehari-hari seperti perhitungan zakat, dan warisan.
Dalam keterangan yang lebih rinci, Nekosten mencoba merinci para
penerjemah dan hasil karyanya yang masih tersimpan di berbagai
perpustakaan belahan dunia. Angka dalam kurung menunjukkan jumlah
buku terjemahan. Mereka adalah Ishak bin Hunain (11), Gasta Ibn Luka (7),
Hubaisy ibn Husein al-Asani (5), Isa ibn Yahya (2), Hajjaj ibn Yusuf ibn Metran

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 127


(2), Sabit ibn Qurra al-Harrani (15), Abu Ustman Sai’d ibn Ya’qub al-Dimsyiq (19),
Istifhan ibn Basil (1), Astats (2), Abdul Masih ibn Abdullah al-Hams al-Na’im (ibn
Na’im) (2), Abu Basyar Mala Ibn Yunus al-Ghana’I (3), Abu Zakariyah Yahya ibn
‘Ada (1), Ibn Zara (1), Nadif al-Ghas al-Rumi (1), Ibn Wah-Syiyijat al-Kaldani (2),
Hilal al-Himsi (1), Tadars al-Sanghal (al-Tasteri) (1), Ibrahim ibn Abdullah
alNasrani al-Katib (2), Ishaq ibn Abi al-Hasan ibn Ibrahim (1), Sirjis (sirgilis) Ibn
Hulya (elia) al-Rum dan lain-lain.

E. Faktor Pendukung Bekembangnya Keilmuan Islam


Sebagai makhluk yang termulia, dengan penciptaan manusia yang
disertai berbagai potensi, membuat manusia menjadi makhluk berbudaya
dalam interaksinya dengan lingkungan. Dalam interaksi manusia dengan
lingkungan, manusia membutuhkan agama. Agama menurut Komarudin
Hidayat, diwahyukan kepada manusia untuk kepentingan manusia itu
sendiri, dengan bimbingan agama diharapkan manusia mendapat pegangan
yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan membangun
peradabannya.
Terbukti sejak abad ke I H/7 M sampai abad 4 H/10 M pusat
perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia berada di Bagdad, Cardova
dan Kairo. Di kota inilah para cendikiawan datang untuk belajar atau
berkonsultasi. Ketiga kota ini merupakan ibu kota wilayahwilayah/khilafah
muslim. Bagdad ibu kota Dinasti Abasyiah, Cardova ibukota Dinasti Umayyah,
sedangkan Kairo ibukota Dinasti Fatimiyah.
Berhasilnya pencapaian kegemilangan kebudayaan, khususnya ilmu
pengetahuan, disebabkan oleh dua faktor, pertama, faktor internal yaitu
faktor-faktor yang terdapat dalam nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang
mampu memotivasi pencarian ilmu pengetahuan. Dalam kerangka tersebut,
mungkin relevan bila berani memahami bahwa hal pertama yang diharuskan
dalam ajaran Islam (selain mempercayai kekuasaan Tuhan) yang dibawa oleh
Rasul dalam menuju kebudayaan yang tinggi adalah tuntutan “membaca”.
Secara statistik kemampuan membaca adalah salah satu faktor dalam
memajukan bangsa. Membaca sebagaimna diuraikan oleh Nurcholis Madjis
diatas, adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dalam
membaca, orang dapat melakukan penjelajahan bebas kemana-mana ke
daerah ilmu pengetahuan yang belum dikenal.
128 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |
Perintah membaca pada wahyu pertama merupakan bukti bahwa
Alquran sangat menekankan pentingnya mengamati alam, dan
merenungkanya, disamping itu Alquran juga menekankan kepada kaum
muslimin untuk menerangkan hukum alam. Alquran memberi contoh yang
diambil dari ayat-ayat kosmologi, fisika dan biologi. Dalam Alquran terdapat
750 ayat yang memotivasi untuk menelaah alam, menyelediki dengan akal
untuk memperoleh pengetahuan. Secara faktual menurut Ahmad
Muhammad soliman, Alquran berisi dasar-dasar ilmu pengetahuan, tapi
Alquran bukan buku ilmu pengetahuan, dan perlu difahami bahwa Alquran
bagi manusia hanya sebagai petunjuk sepanjang perjalanan hidup yang
menuju jalan lurus.
Para sejarawan sepakat bahwa Islam berada dibelakang
perkembangan sain dan peradaban muslim. Dua sumber utama yaitu Alquran
dan Al-Hadist sangat menakjubkan, betapa banyak penekanan terhadap ilmu
yang dijumpai dalam kedua sumber tersebut, dan penghormatan yang
setinggi-tingginya kepada orang yang berilmu. Motivasi spirit ini mampu
menciptakan atmosfir yang baik, dan berkompetisi dalam menuntut ilmu.
Dalam Q.S: Al-Zumar: 9, Allah berfirman, katakan apakah sama
antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Dalam Al-
Hadist rasul bersabda, mencari ilmu adalah suatu kewajiban bagi kaum muslimin
dan muslimat. Carilah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat.
Dorongan internal tersebut, melahirkan semangat pengembangan
intelektual kaum muslim yang makin tinggi dan meluas, seiring dengan
perluasan wilayah teritorial yang dikuasai oleh umat Islam, sebagai
konsekwensinya terjadi persentuhan dengan budaya luar. Dengan demikian
persentuhan dengan budaya asing menjadi faktor kedua yaitu faktor eksternal
bagi pengembangan sain Islam klasik. Persentuhan budaya tersebut telah
berlangsung sejak masa Umayyah, namun baru mencapai puncaknya pada
masa Abasyiah.
Senada dengan pernyataan diatas, Sayyed Hosein Nasr yang dikutip
oleh Azyumardi Azra, menyatakan bahwa ilmu Islam muncul dari
perkawinan antara semangat yang terbit dari wahyu Alqurani dengan
ilmuilmu yang ada dari berbagai peradaban, yang diwarisi Islam yang telah
diubah bentuk melalui kekuatan rohaniahnya menjadi suatu substansi baru,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 129


yang berbeda dan sekaligus melanjutkan apa yang telah ada sebelumnya. Sifat
internasional dan kosmopolitansi wahyu Islam (yang bersumber dari karakter
universal wahyu Islam dan tercermin dalam penyebaran geografis Islam)
membuat Islam mampu menciptakan ilmu pertama yang bersifat
internasional dalam sejarah muslim.
Disamping akibat interaksi dengan peradaban luar Islam, juga
didukung oleh kiprah para khalifah muslim, dan ternyata para khalifah
Abasyiah ikut mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam,
dengan mendanai proyek penerjemahan dan pengiriman team pencari
naskah-naskah di wilayah yang diduga menyimpan ilmu-ilmu yang amat
berharga.
Motivasi para khalifah Abasyiah mengembangkan sain Islam
disebabkan kecintaan mereka terhadap ilmu, khalifah al-Mansur misalnya,
telah memerintahkan penerjemahan terhadap naskah-naskah Yunani
mengenai Filsafat, dan ia memberi upah yang sangat besar kepada
penerjemah. Selanjutnya kemajuan ilmu pengetahuan diteruskan oleh
khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M), pada masa pemerintahanya tidak
banyak karya mengenai Astronomi yang diterjemahkan, satu diantaranya
“siddhanta” (sebuah risalah India) yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn
Ibrahim al-Fazari (w. 806 M). Pada tahap berikutnya pengembangan keilmuan
Islam diteruskan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833 M), karya terbesarnya
ialah mendirikan Bait al-Hikmah yang awalnya berfungsi sebagai lembaga
penerjemahan, kemudian dikembangkan menjadi perpustakaan, dan
obsevatorium. Kesemuanya dibawah pengawasan khalifah. Ditambahkan
pula bahwa perkembangan keilmuan Islam disebabkan kebutuhaan kaum
muslim akan ilmu itu sendiri demi meningkatkan kualitas ibadah.

F. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu menjadi suatu kewajiaban.
Secara garis besar ulama membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmuagama
dan umum. Sebelum membicarakan pembagian ilmu, terlebih dahulupenulis
menjelaskan karakteristik ilmu menurut pandangan Alquran dan alHadist,
pertama, ilmu pengetahuan bersumber dari Tuhan, karena Dialah yang
mengajarkan manusia segala sesuatu, sehingga ia mengetahuai

130 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


(Q.S:96:5). Sebagai bukti bahwa seluruh pengetahuan baik yang pasti maupun
sosial bersumber dari Tuhan, dapat dilihat dari proses pengetahuan, sebab
ilmu pengetahuan adalah hasil dari pengamatan terhadap alam dan
pertemuan dari tiap-tiap zat yang ada di alam, dan ilmu pengetahuan itu
adalah hasil persambungan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah pada tiap-
tiap benda.
Karakteristik kedua, adalah penekannya terhadap kebenaran (al-Haq),
dan kepastian (al-yaqin), sebagai antitetis dari kesalahan (al-Bathil), keraguan (al-
Syak),dan dugaan (al-Zhann), sebagaimana firman Allah Q.S 10: 36, Dan
kebanyakan mereka (orang kristen) tidak mengikuti kecuali persangkaan saja,
sesungguhnya prasangka tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, diayat
lain Allah juga berfirman Q.S 4: 157, Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih
paham tentang (yesus disalib) benar-benar penuh dengan keraguan (syak) tanpa
pengetahuan yang pasti,karena sebenarnya mereka tidak membunuhnya.
Ketiga, ilmu pengetahuan menurt katagori Alquran bersifat holistik
atau utuh. Dalam konteks ini berarti, persoalan-persoalan epistimologi harus
selalu diakaitkan dengan etika dan spiritualitas. Ruang lingkup persoalan
epistimologisnya meluas, baik dari wilayah keagamaan maupun wilayah
sekuler, karena pandangan Islam tidak mengakui adanya perbedaan
mendasar antara wilayah-wilayah ini dalam kehidupan nyata. Wujud Tuhan
yang Esa sebagai sumber semua pengetahuan secara langsung meliputi
kesatuan dan integritas semua sumber dan tujuan epistimologi. Alquran
mendorong manusia untuk melakukan perjalanan di bumi untuk mempelajari
nasib pereadaban sebelumnya, hal ini membentuk kajian sejarah, arkeologi,
perbandingan agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh. Masing-masing
cabang pengetahuan tersebut tidak berarti bahwa disiplin- disiplin itu sama,
atau tidak ada prioritas diantara mereka. Sebagai perbandingan, urat dan
anggota tubuh manusia membentuk bagian badan mansia. Tapi kaitannya
sangat dekat, sesuai dengan fungsinya bagi wujud manusia. Mereka tidak
sama dalam kedudukan dan kepentingannya.
Keempat, hubungan pengetahuan dengan perbuatan secara logis,
pengetahuan harus diikuti dengan perbuatan yang baik. ini bukan hanya
karena taqwa kepada Allah atau takut kepada-Nya , tapi juga perbuatan baik
secara individual dan sosial, karena perbuatan baik tersebut termasuk dalam
ruang lingkup ‘alim. Istilah alim itu sendiri adalah kata benda yang bukan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 131
hanya berarti orang yang memiliki sifat pengetahuan, tapi dalam bentuk
gramtisnya berarti orang yang bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
Kelima, pengetahan sebagaimana diuraikan dalam Alquran, bukan
hanya menguraikan persoalan-persoalan intelektual dan kognitif, tetapi juga
menyangkut aspek-aspek spiritual dan praktis persoalan manusia.
Keenam, hubungan pengetahuan dengan perbuatan. Berdasarkan
pembahasan sebelumnya tentang hubungan pengetahuan dengan petunjuk,
kesalehan dan keimanan, maka penekannya pada tanggung jawab sarjana
untuk bertindak sesuai dengan kemaslahatan umat. Dimensi etis ini terdapat
pada sturktur kata ‘alim. Kata ‘alim bukan hanya isim fa’il yang menunjukkan
kesementaraan, kefanaan atau tindakan aksidental suatu wujud, tetapi untuk
menunjukkan kata sifat atau substansi yang mengekspresikan tindakan yang
terus menerus. Oleh karena itu ‘alim dapat dikatakan untuk menunjuk
seseorang yang bertindak secara terencana dan bermuatan kebaikan. Secara
silogistik dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (melalui iman) juga menjadi
sebab positif bagi amal shaleh. Pengetahuan harus menghasilkan keyakinan,
sedangkan iman akan menghasilakan perbuatan baik (amal shaleh), karena
itu pengetahuan juga menghasilkan amal shaleh. Amal shaleh secara singkat
dapat didefenisikan sebagai semua tindakan yang timbul dari dan sesuai
dengan pandangan dunia Islam, semua meliputi kewajiban ibdah ritual dan
kewajiban keagamaan yang lain, juga semua usaha penting individu melalui
garis moral, spirtual, intelektual atau sosial ekonomi.

G. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam


Klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam telah dimulai pada masa
pemerintahan bani Umayyah. Menurut A. Hasyimi, pada masa Umayyah ilmu
terbagi, pertama, al-adab al-al-Hadist (ilmu-ilmu baru), ilmu ini terbagi dua pula
yaitu: 1) al-ulum al-Islam seperti Alquran Al-Hadist, Fiqh dan jugrafiyah
(geografi); 2) al-Ulmu al-Dakhili seperti, ilmu kedokteran, filsafat, ilmu eksekta.
Kedua al-Adab al-Qadimah (ilmu-ilmu konvensional) yaitu ilmu yang telah ada
sejak zaman Jahiliyah dan khulafa Rasyidin, seperti, ilmu lughah (bahasa),
syair, khitabah dan amstal. Sedangkan zaman Abasyiah klasifikasi ilmu
mengalami perkembangan, pertama, kelompok ilmu naqli yang mencakup
ilmu tafsir, tasauf, hukum islam, ilmu lughah (nahwu, sharaf, bayan, badi’ dan

132 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


balaghah), kedua kelompok ilmu aqli, meliputi filsafat, astronomi, bahasa,
kedokteran, eksekta, seni (pahat, sulam dan ukir), farmasi, kimia, tarikh dan
geografi.
Pengklasifikasian ilmu dalam Islam mengalami perkembangan.
Diantara filosof muslim yang peduli terhadap masalah klasifikasi ilmu ini
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Qutub al-Din al-Syirazi, Ibn
Khaldun dan Mulla Sadra. Menurut Sayyed Husein Nasr, klasifikasi ilmuyang
dilakukan oleh mereka merupakan suatu usaha untuk menjelaskan hierarki
ilmu dan mengharmonisasikan hubungan antara akal dan wahyu, atau antara
agama dan ilmu. Dari beberapa filosof diatas hanya akan dipilih empat tokoh
yaitu al-Farabi, al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi dan Ibn Khaldun.
1. Klasifikasi menurut al-Farabi
Al-Farabi mengemukakan klasifikasi ilmu dan perinciannya sebagai
berikut:
A. Ilmu Bahasa, terbagi menjadi tujuh sub bagian :
1. Lafal sederhana
2. Lafal tersusun
3. Kaidah-kaidah yang mengatur lafal sederhana
4. Kaidah yang mengatur lafal tersusun
5. Penulisan yang benar
6. Kaidah yang mengatur pembacaan yang benar
7. Kaidah Puisi
B. Logika dibagi delapan bagian
1. Kaidah-kaidah yang mengatur pengetahuan-pengetahuan atau
gagasan-gagasan dan lafal- lafal sederhana yang menyatakan
pengetahuan-pengetahuan ini, sesuai dengan Categories karya
Aristoteles
2. Kaidah-kaidah yang mengatur pernyataan atau proposisi-proposisi
sederhana yang tersusun dari dua atau lebih pengetahuan sederhana;
dan lafal tersusun, sesuai dengan kitab on Interpretation karya
Aristoteles

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 133


3. Kaidah-kaidah silogisme yang umum bagi lima silogisme :
demonstratif, dialektis, sofistis, retoris, dan puitis, sesuai dengan
naskah Prior Analytics karya Aristoteles
4. Kaidah-kaidah bukti demonstratif dan kaidah yang khusus mengatur
seni filosofik, bersesuaian dengan naskah Posterior Analytics karya
Aristoteles
5. Alat-alat bantu untuk menemukan bukti-bukti dialektika, pertanyaan
dan jawaban serta kaidah-kaidah yang mengatur seni dialektika,
sesuai dengan kitab Topics Aristoteles
6. Kaidah-kaidah yang mengatur masalah-masalah seperti
memalingkan manusia dari kebenaran kepada kesalahan/ kesesatan
dan menjerumuskan manusia ke dalam penipuan, sesuai dengan On
Sophistic Refutation karya Aristoteles
7. Seni retorika, ini berhubungan dengan kaidah-kaidah yang dapat
menguji dan mengevaluasi pertanyaan retoris, sesuai dengan Rhetoric
karya Aritoteles.
8. Seni puisi, sesuai dengan Poetics karya Aristoteles C. Sain
Persiapan meliputi :
1. Aritmatika: praktis dan teoritis 2.
Geometri: praktis dan teoritis
3. Optika, terbagi menjadi :
- apa yang diamati dengan sinar lurus
- apa yang diamati dengan sinar lainnya
4. Sain tentang langit : Astrologi dan Gerak dan sosok benda-benda
langit
5. Musik: praktis dan teoritis
6. Ilmu tentang timbangan
7. Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen
sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sain seperti
astronomi dan music.
D. Fisika (sain kealaman) terbagi delapan :
1. Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam

134 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


2. Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur
kombinasi elemen menjadi benada.
3. Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda
4. Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam
membentuk ikatan
5. Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen
dan sifat-siafatnya
6. Ilmu mineral
7. Ilmu tumbuh-tumbuhan
8. Ilmu hewan, termasuk manusia
E. Metafisika
1. Ilmu tentang hakikat benda
2. Ilmu tentang prinsip-prinsip sain khusus dan sain pengamatan
3. Ilmu tentang benda non jasadi, kualitas dan cirinya, yang akhirnya
menuju kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah, yang
salah satu nama-Nya ialah al-Haq
F. Ilmu kemasyarakatan
1. Jurisprudensi
2. Retorik

2. Klasifikasi menurut al-Ghazali


Al-Ghazali merumuskan klasifikasi ilmu dalam empat sistem :
a. Pembagian ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis. Bagian teoritis
menjadikan keadaan wujud diketahui sebagaimana adanya, sedangkan
bagian praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia bertujuan
mencari aktivitas manusia yang kondusif bagi kesejahteraan manusia
dalam kehidupan ini dan kehidupan nanti.
b. Pembagian ilmu menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan
pengetahuan yang dicapai (hushuli). Pengetahuan yang dihadirkan
bersifat langsung, suprarasional, intuitif, dan kontemplatif yang sering
disebut ilmu laduny dan ilmu al-mukasyafah (pengetahuan tentang
penyingkapan misteri ilahi). Pengetahuan yang dicapai atau
pengetahuan perolehan bersifat tak langsung, rasional, logis dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 135


diskursif. Kedudukan ilmu pengetahuan hudhuri lebih tinggi dari
pengetahuan perolehan.
c. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syaria’ah) dan intelektual (‘aqliyah).
Ilmu religius adalah ilmu yang diperoleh dari nabi dan tidak hadir pada
mereka melalui rasio atau pancaindera. Ilmu religius ini sinonim dengan
ilmu yang ditransmisikan. Sedangkan ilmu intelektual adalah bagian
ilmu yang diperoleh melalui intelek manusia semata. Rincian ilmu ini
identik dengan ilmu-ilmu filosofis dalam klasifikasi al-Farabi.
d. Pembagian ilmu menjadi ilmu fardhu’ian dan fardu kifayah. Istilah fardu
ain merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap individu
muslim, sedang fardu kifayah merujuk pada perintah Allah yang bersifat
mengikat bagi komunitas muslim.

3. Klasifikasi menurut Ibn Khaldun


Klasifikasi ilmu menurut ibn Khaldun yang secara garis besar dapat
dibagi dalam dua golongan yaitu ilmu ‘aqli (tabiat manusia mencari
kebenaran dengan pikirnya) dan ilmu naqli (syari’ah yang berasal dari Allah
yakni Alquran dan Sunnah). Kedua golongan ilmu tersebut dapat dirinci
sebagai berikut :
a. Ilmu Aqli, yang dimaksud ilmu aqli ialah filsafat dan hikmat, yang terdiri
dari empat cabang yaitu :
1) Logika (ilmu mantiq)
2) Ilmu alam (tabi’iy)
3) Ilmu ketuhanan (ilahiyat)
4) Ilmu yang terdiri dari empat cabang yang saling berkaitan yaitu ilmu
ukur (handasah), ilmu hitung, ilmu musik, dan ilmu falak.
b. Ilmu Naqli, yang dimaksud ialah ilmu yang datang dari Allah dan
rasulNya tanpa melalui akal, yakni al-Alquran dan Al-Hadist. Kecuali
pembahasan cabang-cabangnya tetap menggunakan akal. Adapun
cabang-cabang ilmu ialah :
1) Ulum al-Alquran (tafsir dan Qiraatya)
2) Ulum al-Al-Hadist
3) Ilmu al-Fikh
4) Ilmu al-Kalam

136 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


5)Tasauf
Disamping cabang-cabang ilmu tersebut Ibn
Khaldun juga menyebutkan beberapa ilmu yang dipelajari oleh umat
pada masa itu:
a. Ilmu yang berkaitan dengan masalah gaib yaitu mimpi dan ilmu sihir
b. Ilmu yang berkaitan dengan kehidupan praktis seperti ilmu pengobatan,
ilmu kedokteran, dan ilmu pertanian
c. Ilmu bahasa, khususnya bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan kegunaan dan fungsi ilmu, Ibn Khaldun
membedakanya menjadi ilmu pokok (tujuan) dan ilmu alat. Untuk
mempelajari ilmu alat seperti bahasa dan logika jangan sampai
menghabiskan waktu karena ilmu pokok jauh lebih penting dan
memerlukan waktu pendalaman lebih lama.

H.Sebab-Sebab Kemunduran Sain dalam Islam


Berbicara masalah kemunduran keilmuan Islam atau sain Islam
adalah gejala yang sama alamiahnya dengan pertumbuhan. Kemunduran
keilmuan Islam atau sain Islam tidak boleh secara umum dianggap sebagai
berkurangnya jumlah pengetahuan dalam hal mutu karya dan pencapaian
sian, dalam produktivitas sain, dan dalam prekuensi kemunculan sumbangan
orisinil dalam sain. Pada masa itu terjadi penurunan yang bertahap, dalam hal
intensitas produksi karya bermutu maupun kemunculan ilmuan-ilmuan yang
berbobot. Menurut Aydin Sayili yang tampak dalam kemunduran tersebut
pada semangat melakukan kerja sain, dan perhatian terhadap sain.
Kapan sebenarnya secara pasti awal mula kemunduran sain Islam?
Sebagian sejarawan sains menganggap bahwa kepeloporan Islam dalam sain
berlangsung sekitar abad ke 8 M dan abad ke12 M saja. Namun menurut
Ahmad Y. al-Hassan, berpendapat lain, bahwa sementara sains Islam berada
dalam puncak kejayaannya pada masa kekhalifahan selama empat abad
tersebut, sains Islam juga muncul ke permukaan pada sekitar abad ke 13 M
dan ke 16 M, khususnya di Negara-negara Islam bagian Timur. Pada
kesempatan ini tidak mungkin menjelaskan berbagai keberhasilan Islam di
bidang sains meluas hingga pertengahan abad ke 16 M. hanya saja sekedar

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 137


ilustrasi, disini akan diungkap beberapa keberhasilan dalam kasus obsevatorium
dalam Islam antara abad ke 13 M dan abad 16 M.
Obsevatorium sebagai suatu lembaga sains yang terorganisasi dan
spesifik berdiri pertama kali di dunia Islam. Obsevatorium Maragha
didirikan pada paruh kedua abad ke-13 M. Obsevatorium ini berdiri pada
tahun 1259 M dan terus beroperasi hingga sekitar 1304 M sebuah
perpustakaan yang --- menurut laporan--- memiliki 400.000 ribu buku
berdiri bersama obsevatorium itu. Banyak ilmuan terkenal bekerja
bersama-sama pada obsevatorium tersebut, sebut saja Nashir al-Din al-
Tusi, ia adalah salah seorang ilmuan terkemuka yang juga termasuk tim
Quthb al-Din al-Syirazi, Mu’ayid al-Din al-Urdi, Muhyi al-Din al-Maghribi
dan lain-lain. Obsevatorium ini bukan hanya sebuah lembaga riset dalam
bidang astronomi, melainkan juga sebuah akademi ilmiah. Pada abad ke-
15 M, kontinuitas pembangunan obsevatorium terus belanjut. Sebuah
obsevatorium yang lebih maju dari yang ada di Maragha di bangun di
Samarkand oleh pangeran Ulugh Begh yang sadar akan arti pentingnya.
Obsevatorium ini rampung pada 1420 M, dan kemudian beroperasi selama
30 tahun dibawah petronase Ulugh Begh yang menggantikan tahta
ayahnya pada 1477 M. disamping Ulugh Begh yang juga seorang ilmuan,
juga ada ilmuan lain dalam obsevatorium tersebut yang ahli dalam bidang
astronomi dan matematika.
Obsevatorium penting terakhir dibangun di Istambul pada 1577 M
selama masa kekuasaan Sultan Murad III (1547-1595 M). Taqi al-Din
Muhammad Ibn Ma’ruf al-Rasyid al-Dimasqi adalah pendiri sekaligus
pemimpin obsevatorium, ia seorang ahli dalam bidang astronomi,
matematika, dan sekaligus insinyur mesin. Selama abad selanjutnya,
sesudah 1450 M, perekonomian dan kekuasaan dari hampir seluruh
wilayah Islampun mulai melemah dan karya ilmiahpun mulai kehilangan
momentumnya. Mungkin disinilah awal mula kemunduran sain Islam.
Ketika orang berbicara tentang kemunduran keilmuan Islam,
maka secara umum sikap ilmuan akan merujuk pada al-Asy’ari dan al-
Ghazali, karena mereka pernah mengharamkan filsafat yang menurut
mereka telah menyimpang dari konsep teologi. Untuk menelusuri sebab-
sebab kemunduran sain Islam ada baiknya kita membandingkan beberapa

138 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


hal antara Islam dan Eropa pada abad pertengahan yang sama-sama
masyarakat teosentris. Pada abad ini perujukan agama dengan ilmu
Yunani adalah hal yang teramat penting bagi kemajuan sain. Eropa
berhasil mencapainya, namun Islam gagal, hal itu sebagai akibat di Eropa
teologi dipandang sebagai ratu seluruh sain, sementara filsafat sebagai
pelayan agama. Keadaaan ini membawa akibat yang meluas. Sementara di
Eropa para pendeta merasa perlu mempelajari ilmu Yunani, dan hasilnya
dari kalangan itu lahir ilmuan. Sementara dalam Islam otoritas keagamaan
dari kaum teolog justru mencoba memperlemah semangat pengkajian
filsafat dan sain yang kemudian hanya dilakukan oleh perorangan dan
independen. Padahal dalam Islam kaum teolog adalah kelompok yang
paling berpendidikan, sehingga mereka sebenarnya orang-orang yang
memiliki persiapan terbaik untuk melakukan pengkajian sain dan filsafat,
mereka memiliki gairah untuk mengembangkan ilmunya, dan mereka
memiliki waktu senggang yang lebih bila dibandingkan dengan
masyarakat lain, yang akhirnya mereka adalah pemimpin intelektual yang
berkewajiban mendidik masyarakat.
Disamping perbedaan pandangan masalah teologi antara Islam dan
Eropa, dalam teori sain juga berbeda. Dalam tradisi Kristen, sain berfungsi
sebagai pelayan agama, sementara kaum muslim sejak abad kesebelas, telah
menerima pembagian ilmu menjadi dua yaitu ilmu-ilmu Arab atau Islam dan
ilmu-ilmu kuno, yang dimaksud ilmu kuno (awa’il) secara harfiah “ilmu orang
terdahulu” maksudnya ilmu-ilmu Yunani. Dua cabang utama ilmu yang
pertama (ilmu Arab atau Islam) adalah ilmu-ilmu yang berhubungan dengan
Bahasa Arab dan agama, sementara yang belakangan mencakup ilmu filsafat.
Pada masa awal perkembangan ilmu-ilmu tersebut, para pemikir muslim
mengajukan beragam klasifikasi ilmu, namun pembagian besar menjadi dua
kelompok ilmu yang sama sekali terpisah tersebut benarbenar telah tertanam
dalam benak kaum muslim. Istilah ilmu rasional dan ilmu dari wahyu, juga
digunakan untuk menekan perbedaan metodologi kedua kelompok itu,
karena sementara ilmu awa’il adalah hasil pikiran manusia, ilmu-ilmu Islam
didasarkan pada wahyu, yakni ilmu tersebut berasal dari agama Islam.
Pembagian ilmu menjadi dua kelompok secara alamiah juga menyiratkan
perbedaan nilai. Ilmu Islam disebut ilmu terpuji sementara ilmu awa’il

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 139


terkadang disebut ilmu yang tercela. Bahkan dalam hukum ada pernayataan
ulama bahwa menuntut ilmu agama itu wajib sementara ilmu rasional atau
awa’il itu fardu kifayah.
Pandangan kaum muslim terhadap kedua ilmu tersebut membuat
muslim berlomba menuntut dan mengajarkan ilmu agama, sementara ilmu
umum ditinggalkan. Hal itu terlihat peran madrasah (yaitu sekolah tinggi atau
semacam universitas) pada abad ke 13, bahwa madrasah itu sematamata
ditujukan untuk mengembangkan dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam,
sementara ilmu awa’l tidak dimasukkan dalam kurikulum madrasah. Akibat
tidak dimasukanya ilmu awa’il atau ilmu filsafat, maka penyebaran ilmu
awa’il bergantung pada usaha belajar perorangan. Di Eropa situasinya
berbeda sama sekali, pengharaman Aristoteles mulai berakhir pada
pertengahan abad ketiga belas, dan sejak saat itu Aritoteles mulai
memperoleh posisi kuat dalam pengajaran di Universitas. Kemerosotan
pamor ilmu awa’il diperparah oleh sikap para teolog yang mencela ilmu
awa’il, padahal ketika akhir abad kedelapan atau awal abad kesembilan,
ilmuan muslim amat bergairah mempelajari ilmu-ilmu awa’il dan sisa-sisa
filsafat Yunani, tak ada benturan yang serius dengan sentimen keagamaa,
sebaliknya ilmu awa’il tampak menarik bagi mereka karena kegunaannya,
dan filsafat dipandang sebagai memiliki unsur-unsur yang dapat berguna
untuk merumuskan dan mendefenisikan peinsip-prinsip iman dan
membantu menampilkan data-data agama dalam pola suatu bangunan
pemikiran rasional, sehingga Islam mengalami kejayaan dalam bidang
keilmuan. Sebab lain kemunduran keilmuan Islam, sebagaimana dikupas oleh Ibn
Khaldun dalam bukunya Muqaddimah, bahwa sain meningkat seiring dengan
meningkatnya kemakmuran dan besarnya peradaban suatu wilayah. Teori
Ibn Khaldun dapat kita lihat buktiya setelah mengetahui kondisi- kondisi di
Bagdad, Kordova, al-Qayrawan, al-Bashirah dan al-Kufah. Ketika kota ini
menjadi banyak penduduknya dan makmur pada abad pertama Islam dan
peradaban berdiri tegak didalamnya, maka pusat sain pun tumbuh dan
melimpah, tetapi ketika kemakmuran kota ini dan peradabannya mulai
menurun, dan ketika populasinya mulai menyebar, maka permadani itu---
berikut segala sesuatu yang berada diatasnya—pun terbalik sama sekali. Sain
dan pendidikan pun hilang darinya serta berpindah tangan. Gagasan Ibn

140 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


Khaldun diulangi lagi oleh sarjana modern lain, seperti Bernal dalam bukunya
Science in History, menyatakan bahwa priode-priode tumbuh suburnya sain
ternyata sejalan dengan aktivitas perekonomian dan kemajuan teknis.
Kemunduran ilmu pengetahuan dalam Islam terlihat pula pada
mandeknya perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat muslim.
Membicarakan masalah kemandekan ilmu pengetahuan, Komarudin Hidayat
punya catatan kecil, menurutnya, perkembangan ilmu pengetahuan dalam
Islam memang seperti terputus dalam sejarah. Karena segala ilmu dalam
Islam tampaknya bermuara pada tokoh, moral, dan penjagaan ritual. Ilmu
Psikologi misalnya, muaranya dalam Islam adalah menjaga moral, namun
selanjutnya menjadi ritual. Jadi orang Islam baru bicara psikologi yang
dikaitkan dengan penyakit hati, tujuannya agar tidak menghalangi manusia
dan masyarakat dengan Tuhan. Mengapa ilmu pengetahuan dalam
masyarakat muslim tidak berkembang pesat setelah masa keemasan? pertama,
karena daya ijtihadiyah umat telah terpasung. Umat Islam cukup puas dengan
penemuan ilmuan muslim klasik, sehingga daya inovasi tidak berkembang.
Kalau ada masalah umat kembali pada kitab-kitab kuno. Kemudian yang
menarik yang terjadi dalam umat Islam, mereka sangat bangga jika mampu
membaca kitab-kitab kuno, dan terkesan tidak ingin merubah sedikitpun apa
yang menjadi penemuan ulama klasik. Sikap ini akhirnya menutup daya
kritis, bahkan muncul sikap fanatisme tokoh. Kedua,ilmu dalam Islam mandeg
karena fokus kebutuhannya untuk ritual, sehinggaperkembangan ilmu yang
ada dianggap cukup sejajar dengan ibadah. Contohya ilmu falak, hanya untuk
menentukan waktu arah shalat dan sebagainya. Penemuan baru di bidang
ilmu Astronomi seperti kompas juga hanya berguna untuk mencari arah
kiblat, setelah itu selesai.
Dalam sejarah Islam kita dapat melihat Ibn Sina yang berbicara ilmu
kedokteran dan tidak terkait sama sekali dengan pembicaraan tentang Tuhan.
Tetapi semangat ibn Sina sampai sekarang tidak membekas, karena dalam
pandangan orang Islam, ilmu bukan suatu kajian ilmu, tapi untuk tujuan
ritual. Maka ketika sakit, argumen yang dikedepankan adalah bahwa orang
sakit harus sabar, itu cobaan dan taqdir, sehingga ilmu kedokteran tidak
dikembangkan sebagai kemajuan ilmu, tapi malah sebagai pemenuhan
faham. Ilmu kedokteran saat ini tidak dikembangkan secara profesional,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 141


akibatnya kita menghadapi kenyataan ekspor ilmu kedoteran dari Barat.
Dunia Islam akhirnya hanya sebagai konsumen belaka, dan ilmu kedoteran
Islam jauh tertinggal, yang muncul kemudian bukan etos untuk kembali
menguasai ilmu pengetahuan modern, tapi justru menyibukkan diri mencari
hukumnya, seperti kloning pada manusia itu haram atau boleh, transplantasi
itu haram atau halal, dan sebagainya, tidak heran kalau yang berkembang
lebih menonjol adalah fiqh.

I. Kaitan Ilmu, Etika, Iman, dan Amal Shaleh


Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja
sebagai barang yang sudah jadi dan datang dari dunia khayalan. Akan tetapi
ilmu merupakan suatu cara berpikir yang demikian jelimet dan mendalam
tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang handal.
Handal dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat dipertanggung jawabkan
secara terbuka untuk diuji oleh siapapun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengtahuan yang didalamnya memiliki
karakterisik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal itu merupakan
suatu keharusan bagi seorang ilmuan, namun masalah yang paling mendasar
yang dihadapi ilmuan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh dan
kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. memang tak
dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahanyang
cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh dan kuat tersebut
menjadi penyelamat mansia. Disinilah letak tanggung jawab seorang ilmuan,
moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para ilmuan
memiliki sikap ilmiah.
Sikap ilmiah yang harus dimiliki para ilmuan antara lain :
1. Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk
mencapai pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan
pamrih,
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan
mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi,
misalnya hipotesis, metodologi.

142 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun
terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasarkan pada suatu kepercayaan (belief) dan
dengan merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus tidak puas
terhadap penelitian yang telah dilakukan.
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu
berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan
untuk kebahagiaan manusia, lebih khsus untuk pembangunan bangsa.
Dalam kaitan antara ilmu, etika, iman dan amal shaleh maka poin
terakhir ini atau bagian keenam ini amat penting untk dimiliki oleh seluruh
ilmuan, karena manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama
dengan alam dan berada dialam itu. Manusia akan menemukan pribadinya
dan membudayakan dirinya bilamana manusia hidup dalam hubungannya
dengan alamnya. Manusia yang merupakan bagian alam tidak hanya
merupakan bagian yang terlepas darinya. Manusia senantiasa berintegrasi
dengan alam. Sesuai dengan martabatnya maka manusia yang merupakan
bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari alam. Dengan demikian,
tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan yang bersifat
keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu maka manusia harus senantiasa
menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula.
Kewajian ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa
lebih-lebih bagi seorang ilmuaan.
Keterangan bahwa seorang ilmuan harus memiliki moral atau etika,
telah ada dalam Alquran. Dalam wahyu pertama, ditemukan informasi
tentang pemamfaatan ilmu melalui iqra’ bismi rabbika, titk tekan ayat ini,
adalah sebagai motivasi pencarian ilmu, kemudian tujuan akhir dari suatu
ilmu haruslah karena Allah. Syaikh Abdul Halim Mahmud seperti yang
dikutip oleh Quraish Shihab, memahami iqra’bismi rabbika adalah demi
kemaslahatan makhluk. Bukan kah Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan
justru makhluk yang membutuhakn Allah. Selanjutnya semboyan ilmu untuk
ilmu tidak dikenal dan dibenarkan oleh Islam. Apapun ilmunya, materi
pembahasannya harus bismi rabbika, sehingga ilmu yang dalam kenyataannya

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 143


dewasa ini mengikuti sebagian pendapat sebagian ahli, sebagai bebas nilai,
harus diberi identittas rabbani oleh ilmuan muslim. Nilai yang tercakup dalam
ilmu tersebut disebut etika.
Etika dalam ilmu tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling
mendukung kesejahteraan manusia. Manusia apabila dikuasai oleh ilmu dan
tidak menghiasi ilmu dengan etika atau akhlak, maka ia cendrung menjadi
angkuh, bahkan ilmunya dipergunakan untuk merusak alam, dan mungkin
untuk menghancurkan sesama manusia. Oleh karena itu ilmuan muslim
harus menghindari cara berpikir tentang bidang ilmu yang tidak ada
manfaatnya, apalagi tidak menghasilakan kemaslahatan umat, karena rasul
sering berdoa, “wahai Tuhanku, aku berlindung kepadaMu dari ilmu yang
tidak bermanfaat”. Ilmu yang tidak bermanfaat, mana kala ilmu tersebut tidak
meningkatkan iman, dan prilaku shaleh. Satu contoh ilmu yang tidak
meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan adalah teori evolusi yang
dipopulerkan oleh Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. Teori ini
berusaha memutuskan hubungan manusia dengan Tuhan, dimana manusia
tidak mengenal Tuhan. Teori ini adalah teori yang etheisme.
Lebih lanjut dijelaskan pula dalam konsep filasafat Islam yang diurai
oleh Toshihiko Izutsu, bahwa ilmu pada hakekatnya merupakan
perpanjangan dan pegembangan ayat-ayat Allah, dan ayat Allah merupakan
eksistensi kebesarannya dan manusia diwajibkan untuk berfikir tentang ayat
Allah itu, untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan ajarannya, tidak
untuk merusak dan melahirkan kerusakan dalam kehidupan bersama, karena
akibat buruknya akan menipa diri manusia itu sendiri. Oleh karena itu
kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum ilmu atau konsep teoritik
tidak boleh jatuh dibawah kekuasaan hawa nafsu karena akibatnya dapat
merusak alam, sebagaimana firman Allah Q.S 23: 71. Kalau sekiranya
kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah langit dan
bumi dan apa-apa yang ada didalamnya, bahkan Kami telah datangkan
kepada mereka peringatan tetapi mereka berpaling.
BAB VI

144 | ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN |


AKHLAQ DALAM ISLAM

Masalah akhlak merupakan hal yang mendasar dalam ajaran Islam.


Rasulullah saw. menegaskan bahwa misi pokok risalah yang beliau bawa
adalah penyempurnaan akhlaq. Berkaitan dengan pentingnya kedudukan
akhlaq bagi bangsa-bangsa, seorang penyair Mesir terkemuka Ahmad Syauqi
Bek menyatakan bahwa eksistensi sebuah bangsa terletak pada akhlaqnya.
Apabila akhlaq sebuah bangsa itu telah tiada, maka eksistensi bangsa itupun
telah tiada.
Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlaq menempati kedudukan yang
sangat istimewa dan sangat penting. Di dalam Alquran ditemui lebih kurang
1500 ayat yang berbicara tentang akhlak-dua setengah kali lebih banyak
daripada ayat-ayat tentang hukum-baik yang teoritis maupun yang praktis.
Belum lagi hadits-hadits Nabi, baik perkataan maupun perbuatan, yang
memberikan pedoman akhlaq yang mulia dalam seluruh aspek kehidupan.
Akhlaq dalam Islam bukanlah moral yang kondisional dan
situasional, tetapi akhlak yang benar-benar memiliki nilai yang mutlak. Nilai
-nilai baik dan buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan saja, dimana saja dan
bagi siapa saja tanpa pandang bulu. Keadilan terhadap diri dan keluarga
sendiri harus ditegakkan, sebagaimana menegakkan keadilan dan kebenaran
kepada orang lain. Demikian juga kebencian seseorang kepada orang lain
tidak boleh menyebabkan seseorang itu berlaku tidak adil.

A. KONSEP AKHLAQ 1. Pengertian Akhlaq


Kata akhlaq (Bahasa Arab) secara etimologis adalah bentuk jamak dari
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar
dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq
(Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalqun (penciptaan).
Kesamaan akar kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlaq
tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq
(Tuhan) dengan perilaku makhluq (manusia). Dengan perkataan lain, tata

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 145


perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung
nilai akhlaq yang hakiki apabila perilaku manusia itu didsarkan kepada
kehendak Khaliq (Tuhan). Dari pengertian di atas bisa dipahami bahwa akhlaq
bukan saja merupakan sistem nilai yang mengatur hubungan antar sesama
manusia, melainkan mengatur pula hubungan antara manusia dengan Tuhan
dan bahkan hubungan antara manusia dengan alam semesta.
Secara terminologis (istilah), akhlaq atau khuluq adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia akan muncul secara spontan bilamana
diperlukan, tanpa memerlukan pemikiran atau pertimbangan lebih dahulu, serta
tidak memerlukan dorongan dari luar. Menurut Imam Al Ghozalidalam “Ihya’ Ulum
ad-din”, “Akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam jiwa yang darinya lahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran lagi.”
Artinya, perbuatan itu terjadi secara refleks karena persinggungan antara dimensi
batiniah dari pelaku. Sifat spontanitas dari akhlaq tersebut dapat diilustraskan dalam
contoh sebagai berikut. Bila seorang mahasiswa selalu menjaga diri dari pergaulan
bebas dengan lawan jenis, bukan karena takut kalau dilihat oleh teman yang lain
melainkan karena menjaga diri dari pergaulan bebas itu merupakan suatu
kemuliaan. Contoh lain, seorang mahasiswa tidak mencontek dalam sebuah ujian
karena ada panitia pengawas, maka mahasiswa tadi belum dikatakan mempunyai
kedisiplinan, kejujuran dan kesabaran, karena kedisiplinan, kejujuran dan
kesabaran itu belum tentu muncul di saat tidak ada pengawas. Boleh jadi, kalau tidak
ada pengawas kemungkinan mahasiswa tadi akan mencontek.
Akhlaq yang dalam istilah filsafatnya sering disebut sebagai “etika”
merupakan pelaksanaan kewajiban seseorang dan pemberian hak yang harus diberikan
kepada mereka yang berhak. Atau dengan kata lain, orang berakhlaq adalah orang yang
melaksanakan kewajiban terhadap segala yang ada secara seimbang dan harmonis.
Pelaksanaan kewajiban manusia terhadap manusia lainnya akan menjadi
cermin dan tolok ukur untuk menilai apakah seseorang itu berakhlaq atau tidak.
Demikian juga perilakunya terhadap makhluk lain seperti binatang ataupun
alam semesta juga akan menjadi salah satu standar penilaian posisi dan
martabatnya dalam berakhlaq. Kalau dia secara sempurna dan seimbang
melaksanakan kewajibannya pada sesama manusia dan makhluq lain, maka dia

146 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


mempunyai nilai lebih dalam pandangan manusia dan Allah. Sebaliknya, kalau
dia dengan begitu gampangnya menelantarkan kewajibannya terhadap hak
orang lain, maka kedudukan dan martabatnya akan turun drastic sampai level
terendah di mata manusia ayaupun Allah. Inilah pentingnya kedudukan akhlaq
dalam ajaran Islam.
Dari keterangan dan ilustrasi di atas jelaslah bahwa akhlaq itu haruslah
bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan serta dorongan dari luar. Kata akhlaq, meskipun dari beberapa
difinisi di atas bersifat netral, tidak menunjuk kepada baik dan buruk, tetapi pada
umumnya apabila disebut sendirian, tidak dirangkai dengan sifat tertentu, maka
kata akhlaq selalu berkonotasi positif (akhlaq mulia). Orang yang baik sering
disebut orang yang berakhlaq, sementara orang yang tidak berbuat baik sering
disebut orang yang tidak berakhlaq.
Akhlaq bukan sekadar sopan santun dan tata krama yang bersifat
lahiriah dari seseorang kepada orang lain. Makna akhlaq jauh lebih luas daripada itu,
karena akhlaq yang bersifat lahiriah semata tanpa diikuti tekad dan semangat
batiniah ibarat tubuh tanpa roh. Harus ada pemahaman yang benar terhadap
akhlaq. Artinya, bukan hanya semata-mata mengimplementasikan akhlaq tanpa
memahami esensi dan intisari akhlaq tersebut, melainkan harus ada sinergi
antara pelaksanaan akhlaq dengan pemahaman tujuan dari akhlaq tersebut.
Akhlaq Islam memiliki karakteristik diantaranya sesuai dengan fitrah
manusia. Manusia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki apabila
mengikuti nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh Alquran dan Assunnah,
sebagai sumber akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam berfungsi untuk memelihara
keberadaan manusia sebagai makhluk yang terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
Dalam khasanah keislaman, di samping istilah akhlaq, kita mengenal
juga istilah etika dan moral. Istilah akhlaq, etika dan moral, ketiganya
berhubungan dengan penentuan nilai baik dan buruk sikap perbuatan manusia.
Perbedaannya terletak pada standar masing-masing. Akhlaq, standarnya adalah
Alquran dan sunnah, etika standarnya adalah pertimbangan akal pikiran,
sedangkan moral standarnya adalah adat kebiasaan yang umum berlaku di
masyarakat.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 147


Meskipun ketiga istilah tersebut memiliki perbedaan dalam
pengertiannya, namun dalam penggunaan sehari-hari, bahkan dalam beberapa
literatur keislaman sering terjadi tumpang tidih.
Dalam sistematika ajaran Islam, akhlaq secara garis besar dibagi dalam dua
bagian besar, yaitu akhlak terhadap Allah Sang Pencipta (al-akhlaq ma’a al- Khaliq)
dan alkhlaq terhadap sesama makhluk (al-akhlaq ma’a al-khalq). Bagian akhlaq yang
terakhir ini mencakup baik akhlaq terhadap manusia maupun akhlaq terhadap
makhluk selain manusia.

2. Sumber Akhlaq
Sumber akhlaq yang dimaksud di sini adalah standar yang menjadi
ukuran baik dan buruk atau mulia dan tercelanya perilaku manusia.
Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Alquran dan
Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat seperti halnya pada
konsep etika dan moral.
Dalam konsep akhlaq, segala sesuatu dinilai baik atau buruk, terpuji atau
tercela, berdasarkan Alquran dan Sunnah sebagai acuannya. Misalnya sifat sabar,
syukur, pemurah, pemaaf, jujur dan sebagainya dinilai baik, karena syara’
menilai bahwa sifat-sifat yang demikian adalah baik. Demikian pula sebaliknya,
sifat dusta, pemarah, kikir, boros dan sebagainya dinilai dinilai buruk, karena
syara’ sudah menetapkan bahwa sifat-sifat itu adalah tidak baik.
Sekalipun demikian, Islam tidaklah begitu saja menafikan peran hati
nurani, akal dan pandangan masyarakat sebagai ukuran dalam menentukan baik
dan buruk. Dalam bahasa Alquran, hati nurani atau fitrah adalah anugerah Allah
yang memiliki kecenderungan untuk bertauhid, mengakui ke-Esaan-Nya (QS. Ar-
Rum 30:30). Karena fitrah itulah manusia cinta kepada kesucian dan selalu
cenderung kepada kebenaran. Hati nuraninya selalu mendambakan dan
merindukan kebenaran, ingin mengikuti ajran-ajaran Tuhan, karena kebenaran
itu tidak akan didapat kecuali dengan Allah sebagai sumber kebenrana mutlak.
Namun fitrah manusia tidak selalu terjamin dapat berfungsi dengan baik karena
pengaruh dari luar, misalnya pengaruh pendidikan dan lingkungan. Fitrah
hanyalah merupakan potensi dasar yang sudah barang tentu perlu dipelihara
dan dikembangkan. Betapa banyak manusia yang fitrahnya tertutup sehingga
hati nuraninya tidak lagi dapat menerima kebenaran. Oleh karena itu, ukuran

148 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


baik dan buruk tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada hati nurani
atau fitrah manusia semata, melainkan harus dikembalikan kepada penilaian
syara’. Semua keputusan syara’ tidak akan pernah bertentangan dengan hati
nurani dan fitrah manusia, sebab keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu
Allah Swt.
Begitu juga dengan akal fikiran dan pandangan masayarakat, akal
hanyalah salah satu kekuatan yang dimiliki manusia untuk mencari dan menilai
kebaikan atau keburukan berdasarkan pengalaman empiris, yang sudah barang
tentu memiliki keterbatasan. Keputusan akal hanya bersifat spekulatif, tentatif
dan subyektif. Pandangan masyarakat juga bisa dijadikan salah satu ukuran
tentang baik dan buruk, tetapi jusa bersifat relative, tergantung sejauhmana
kesucian hati nurani masyarakat dan kebersihan pikiran mereka dapat terjaga.
Hanya kebiasaan masyarakat yang baiklah yang bisa dijadikan ukuran.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ukuran yang pasti, obyektif,
universal dan komprehensif untuk menentukan baik buruk hanyalah Alquran
dan Sunnah.

3. Ruang Lingkup Akhlaq


Akhlaq Islam adalah sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan
manusia di atas bumi. Dengan demikian pembahasan akhlaq meliputi wilayah
yang sangat luas, mencakup seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal
dengan Allah Swt. maupun secara horisontal dengan sesama ciptaan-Nya. Dalam
tulisan ini cakupan pembahasan akhlaq meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Akhlaq Terhadap Allah Swt.
b. Akhlaq Terhadap Rasulullah saw.
c. Akhlaq Pribadi
d. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia
e. Akhlaq Terhadap Lingkungan

4. Kedudukan Akhlaq dalam Islam


Dalam keseluruhan ajaran Islam, akhlaq menempati kedudukan yang
sangat istimewa dan penting. Bahkan Rasulullah saw. menempatkan
penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Baihaqi).
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 149
Kedudukan akhlaq dalam agama Islam cukup identik dengan
pelaksanaan agama Islam itu sendiri dalam segala aspek kehidupan. Berakhlaq
Islami, berarti melaksanakan ajaran agama Islam secara kaffah (menyeluruh)
dalam seluruh lini kehidupan, baik sebagai hamba Allah maupun sebagai
khalifah di muka bumi ini.
Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga
Rasulullah saw. pernah mendefinisikan agama itu dengan akhlaq yang baik (husn a-
l-khulq). Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw:
“Ya Rasulullah, apakah agama itu? Beliau menjawab: (Agama adalah) Akhlaq yang
mulia). Pemaknaan agama (Islam) dengan akhlaq yang baik tersebut sebanding
dengan pemaknaan ibadah haji dengan wuquf di ‘Arafah. Rasulullah saw.
menyebutkan, “Haji adalah wuquf di ‘Arafah.” Artinya tidak sah haji seseorang
tanpa wuquf di ‘Arafah.
Kedudukan akhlaq dalam kehidupan adalah sebagai barometer/ukuran
kualitas keimanan seseorang. Rasulullah saw. mengaitkan antara rasa malu, adab
berbicara serta sikap terhadap tamu dan tetangga, misalnya dengan eksistensi
dan kualitas iman seseorang. Hal ini terlihat misalnya dalam hadits-hadits di
bawah ini:
a. Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah
yang paling baik akhlaqnya” (HR. Tirmidzi).
b. Rasulullah bersabda: “Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu,
maka bilamana lenyap salah satunya hilang pulalah yang lain” (HR.
Hakim dan Thabrani)
c. Rasulullah bersabda: “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak
beriman! Demi Allah dia tidak beriman! Seorang sahabat bertanya: “Siapa dia (yang
tidak beriman itu) ya Rasulullah? Belau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak
aman dari keburukannya” (HR. Bukhori)
d. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklan ia berkata yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya” (HR.
Bukhori dan Muslim)
Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah
kepada Allah Swt. Misalnya shalat, puasa, zakat dan haji. Di dalam Alquran
banyak terdapat ayat yang berhubungan dengan akhlaq, baik berupa perintah
150 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
untuk berakhlaq yang baik serta pujian dan pahala yang diberikan kepada orang-
orang yang mematuhi perintah itu, maupun larangan berakhlaq yang buruk serta
celaan dan dosa bagi orang-orang yang melanggarnya. Hal ini bisa dilihat dari
a. Firman Allah َ r
beberapa keterangan di bawah ini: ‫ع‬ ‫ٱلصلوَة‬
‫َن‬
- Swt َ
َ ‫ََ إ َلََ ََك‬ ‫أو َح‬ ‫ٱت ل َ م ا‬
ََ‫َكتَ ب‬, ‫َمن ٱل‬
ََ‫تنه‬ ََ ‫وأق َم‬
َ َ َ rَ
َ ‫ٱل صل وَة إ ن‬
r َ
َ َ َ َ َ َ 9 dari ََ
‫ب‬ ‫ل‬ ََ ‫و َل‬ ‫م‬ ‫َ ~َ وٱل‬ ‫ٱلف‬
َ, َ egah
َ, ََ
r ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ر‬9َ
‫ك‬ ‫َنك ر‬ ‫َء‬,
َ ‫ََ أ ك‬ ََ,
َ ‫حشا‬
ََ,
z
Artinya: “…٤٢ dan dirikanlah shalat, ‫َ م َا َنعون‬ ‫وٱلل َََ يعلم‬
‫تص‬
sesungguhnya shalat itu menc

(perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar” (Q.S. Al-‘Ankabut 29: 45).

b. Sabda Rasulullah saw:


“Bukanlah puasa itu hanya menahan makan dan minum saja, tapi puasa itu
menahan diri dari perkataan kotor dan keji. Jika seseorang mencaci atau
menjahilimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu
Khuzaimah).
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 151
َ ‫َ ك َيه‬ ‫ر‬9 َ َ َ ‫ن‬َ ‫ن‬ َ
‫ب ها‬ ‫وتز‬ ‫صد قة‬ ََ ‫ل‬ ‫خ ذ م َم‬
‫وص‬ ‫م‬ 9 9 ‫ط‬ َ& ‫َه‬, َ َ َ
َ
َ َ‫َ ت ه م‬ َ
‫أ م َله م‬
‫ه‬ ‫و‬

ََ َ Firman Allah ‫ل َه‬ َ


c. ‫ك‬ ‫صل‬ ‫ي‬ Swt ‫ َل‬:
َr َz َ
‫وَت‬ ‫م‬
- ‫إ‬
َ
‫نع‬ 9
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ََ
‫م ََ وٱللَ ََ س َمي ع‬ ‫س كن ل ه‬
َ
١٢٣ ‫عل َي م‬
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah 9: 103).

152 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


d. Firman Allah Swt:
َ ََ
‫َهن ل ج‬
َ َ َ َ ََ َ 9 َ َ ََ
‫َي‬, َ‫ٱل ج أش ر و م تَ فمن فر‬
َ ‫ل‬ ‫ف‬
& َ r ‫معل‬
َ ‫ف‬ ‫ٱض‬
َ َ َ ‫ه‬
َ ‫جدا‬
‫َم‬ ‫ج ََ ومَا‬ ََ ‫ف‬ َ‫رفثَ ولَ فسَوق ول‬
‫تفعلوا‬ َ‫ٱل‬ ‫ل‬
‫ن‬ o
َ َ
‫َ ََ وتزَودوا فإنَ خ َي ٱلزاد د‬- - َ~rَََ‫خي يعلمه ٱلل‬
َ َ
َ 9 َ َ
ََ ‫و َل‬o َ‫َن يأ‬, ‫ٱلَ َ ى وٱ ت قو‬
r َ ََ ‫و‬
‫ق‬
١٢١ َ َ‫ٱلَ ل بب‬
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barang siapa yang
menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak

boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan birahi yang tidak


senonoh atau bersetubuh), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam
masa mengerjakan haji…” (QS. Al-Baqarah 2: 197).

Banyaknya ayat Alquran yang berhubungan dengan akhlaq ini


menunjukkan betapa pentingnya kedudukan akhlaq dalam Islam.

5. Ciri-ciri Akhlaq dalam Islam


Akhlaq Islam, di samping memiliki kedudukan dan keistimewaan juga
memiliki ciri-ciri yang khas diantaranya: (1) Rabbani, (2) manusiawi, (3) universal,
(4) seimbang, dan (5) realistik.
Akhlaq Rabbani maksudnya bahwa akhlaq Islam bersumber dari wahyu

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 153


Allah yang termaktub dalam Alquran maupun Sunnah dan memiliki nilai
kebenaranan yang mutlak, bukan situasional dan kondisional serta bertujuan
untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

154 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 155
َ َ َ
‫ه‬ ‫ وأ ن‬Akhlak Rabbani mampu menghindari kekacauan nilai moralitas
َr
‫ذا‬
r
‫ك‬ َr َ َ 9 َ ََ َ َ َ r َ
َ َ
‫َ بع بل فتف‬o‫ت‬ ‫ص َطَ َ ََ ت َقي ما ف ٱت بع لَ ت‬
َ
9 َ ‫ َ س‬9 9 9
َ ‫رقب‬ ‫َو ا ٱل‬ ‫َو ه ومس‬
َ
‫م‬

dalam hidup manusia. Firman Allah:‫عن‬


o
9 َ َ 9 r rَ َ َ o
‫ َ َ ذ لََََََك َ م وصَ ىك َم‬,‫سب َيل َهۦ‬
r r
َ 9ََ َ ََ َ َ
َ
١٢٣ ‫ب َه َۦ لعَ ل َك م ت ت قون‬
Artinya: “Inilah jalan-Ku yang lurus, hendaklah kamu mengikutinya, jangan kamu ikuti
jlan-jalan lain, sehingga kamu bercerai-berai dari jalan-Nya. Demikian
diperintahkan kepadamu, agar kamu bertaqwa” (QS. Al-An’am
6: 153).

Manusiawi, artinya akhlaq Islam sejalan dengan tuntutan fitrah manusia


yaitu bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan yang hakiki, bukan kebahagiaan
yang semu. Akhlaq Islam adalah akhlaq yang benar-benar memelihara eksistensi
manusia sebagai makhluk terhormat, sesuai dengan fitrahnya.
Universal, artinya ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan
yang universal dan mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik yang
berdimensi vertikan maupun horizontal. Misalnya Alquran meyebutkan
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 155
bermacam-macam keburukan yang wajib dijauhi oleh setiap orang, yaitu
menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh anak karena takut
miskin, berbuat keji baik secara terbuka maupun secara tersembunyi, membunuh

156 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


orang tanpa alasan yang sah, makan harta anak yatim, mengurangi takaran dan
timbangan, persaksian tidak adil, menghianati janji dengan Allah, dan
sebagainya (QS. Al-An’am 6: 151-152).
Seimbang, artinya akhlaq Islam memenuhi tuntutan segala kebutuhan
manusia secara seimbang, yaitu antara kebutuhan jasmani dan ruhani,
kebutuhan pribadi dan social serta kebutuhan untuk memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat
Realistik, ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup
manusia. Meskipun manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan makhluk

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 157


lainnya, namun ia juga memiliki kelemahan dan kekurangan. Kekurangan-
kekurangan yang bersifat manusiawi itu memungkinkan manusia untuk
melakukan pelanggaran dan kesalahankesalahan. Oleh karenanya Islam
memberi kesempatan kepada manusia yang melakukan kesalahan itu untuk
memperbaiki diri dengan jalan bertaubat. Dari uraian singkat di atas bisa
dipahami bahwa akhlaq Islam tidak akan pernah bertentangan dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal dan justru dengan akhlaq Islam akan terbangun
sebuah kehidupan yang bermartabat, sesuai dengan fitrah manusia.

B. AKHLAQ DAN AKTUALISASINYA DALAM KEHIDUPAN


Secara garis besar ajaran akhlaq Islam meliputi 2 wilayah pembahasan,
yaitu akhlaq manusia dengan Allah Swt. dan akhlaq manusia dengan sesama
ciptaan-Nya. Akhlaq manusia dengan sesama ciptaan Allah Swt. dibagi menjadi
2 bagian yaitu akhlaq antara manusia dengan manusia dan akhlaq antara
manusia dengan lingkungan hidup.
1. Akhlaq Terhadap Allah Swt
Dalam menjalani kehidupan ini manusia dianugerahi kenikmatan oleh
Allah Swt. yang tiada ternilai harga dan jumlahnya. Diantara kenikmatan itu
adalah nikmat iman, nikmat kesehatan, nikmat akal fikiran, dan sebagainya.
Dengan potensi nikmat itu manusia bisa melakukan aktivitas untuk meraih
tujuan hidup yang dicita-citakan. Untuk itu semuanya Allah tidak pernah
mengharapkan balas jasa terhadap hambahamba-Nya.
Sebagai hamba-Nya yang baik maka sudah semestinya manusia
memiliki kesadaran untuk berinteraksi sebaik mungkin dengan Allah Swt. Di
dalam Alquran dan Sunnah banyak ditemukan informasi mengenai bagaimana
pola hubungan yang harus dibangun antara manusia dengan Allah Swt. Pola
hubungan antara manusia dengan Allah Swt. itu diantaranya adalah:
a. Mentauhidkan Allah, yaitu mengesakan-Nya baik dalam zat, asma’
wasshiffat maupun af’al (perbuatan-Nya) serta menjauhkan diri dari
perbuatan syirik yang bisa menghancurkan sendi-sendi moral dan
kehidupan manusia
b. Bertaqwa, yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala
perintah dan menjauhi segala larangan-Nya Seorang yang bertaqwa akan
hati-hati sekali menjaga segala perintah Allah, supaya tidak

156 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 159
meninggalkannya. Hati-hati menjaga larangan Allah supaya dia tidak
melanggarnya, hingga dia dapat selamat hidup di dunia d an ١٢٠akhirar َ- t.
َ َ rَ َ rَ َ
‫َم‬, َ ََ
Firman Allah ‫م‬9 - َ‫ن إل‬Swt ‫يأََ يها ٱ ل َن‬
9 - َ َ
‫َ َو‬ ‫نت أو‬ ‫ي‬
‫ن‬
‫مسل‬

9 .: َ َ
‫َه َۦول‬ ‫ٱتقوا ٱللََ َ حق تقات‬ ‫ءامنوا‬
‫ت‬
‫موت‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragma Islam” (QS. Ali Imran 3: 102).

Sejalan dengan ayat di atas, Rasulullah bersabda:


“Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada...” (HR. Tirmidzi). c.
Cinta dan Ridha
Bagi seorang mukmin, cinta, pertama dan utama sekali diberikan
kepada Allah Swt. Allah lebih dicintainya daripada segalagalanya.
Seseorang dikatakan dikatakan mencintai Allah jika dia selalu berusaha
melakukan segala sesuatu yang dicintai-Nya, dan meninggalkan segala
sesuatu yang tidak disukai atau dibenci-Nya.
Konsekuensi cinta kepada Allah adalah mengikuti semua yang
r
َ َ َ َ َ َ ََ َ َ
‫ََما‬ ‫ل‬ ‫مص َدقا‬ َ ََ‫ن ز ل ع لَ ٱل َب َ بٱل‬
‫ب‬ ‫َم‬ ََ ‫ك‬
. Allah ‫ق‬
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 155
‫كت‬

َ´

156 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


‫و َٱلَ َنج‬ َ‫دَيه وأنزل ٱلو َرىة‬saw‫ين ي‬berfirman:
diajarkan ََ

٣ ‫يل‬oleh Rasulullah
Artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. ‘Ali Imran 3: 3).

Seorang mukmin yang mencitai Allah, mencintai Rasul dan jihad di


jalan-Nya berarti dia sudah bisa meraih cinta utama. Sedangkan cinta kepada
ibu bapak, anak-anak, sanak saudara, harta benda, kedudukan dan segala
macamnya adalah cinta menengah, yang harus berada di bawah cinta utama.
Artinya, segala sesuatu baru boleh dicintai kalau diizinkan oleh Allah dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 157


Rasul-Nya dan pelaksanaan cinta itu harus pula sesuai dengan syari’at-Nya.
Apabila cinta menengah diangkat melebihi cinta utama maka cintanya akan
jatuh menjadi hina, yaitu cinta paling rendah, tidak ada nilainya.
Sejalan dengan cintanya kepada Allah Swt. seorang muslim
haruslah dapat bersikap ridha dengan segala aturan dan keputusanNya.
Artinya dia dapat menerima dengan sepenuh hati, tanpa penolakan
sedikitpun segala sesuatu yang datang dari Allah dan RasulNya. Dia akan
melaksanakan semua perintah tanpa menghitung-hitung keuntungan yang
bakal diraih, meninggalkan semua larangan tanpa menghitung-hitung
kerugian yang bakal dihadapi.
Dengan keyakinan seperti itu dia juga akan rela menerima segala
qadha dan qadar Allah terhdapnya, akan bersyukur atas segala kenikmatan
dan bersabar dalam menghadapi segala cobaan yang dihadapi. Demikianlah
sikap cinta dan ridha kepada Allah Swt. Dengan cinta kita mengharapkan
ridha-Nya, dan dengan ridha kita mengharapkan cinta-Nya
d. Ikhlas
Dalam bahasa popular, ikhlas adalah berbuat tanpa pamrih, hanya
semata mata mengharapkan ridha Allah Swt. Ikhlas adalah syarat
diterimanya seuatu amalan, baik yang menyangkut amalan dunia maupun
amalan akhirat. Niat yang ikhlas harus diikuti dengan kualitas amal yang
sebaik-baiknya. Seorang muslim yang mengaku ikhlas melakukan suatu
perbuatan harus membuktikannya dengan etos kerja dan profesionalitas
yang tinggi, tidak boleh sembarangan, asal jadi, apalagi acak-acakan.
Kualitas amal atau pekerjaan tidak ada kaitannya dengan honor atau
imbalan materi. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah Swt. menyukai, bila seseorang beramal, dia
melakukannya dengan sebaik-baiknya…” (HR. Baihaqi).

Seorang mukhlis tidak akan sombong ketika meraih keberhasilan


dan tidak akan putus asa ketika mengalami kegagalan. Tidak lupa diriketika
menerima pujian dan tidak mundur ketika mendapatkan cacian, sebab dia
hanya berbuat semata mata karena Allah Swt., Sebaliknya dia akan selalu
bersemangat dalam beramal karena terdorong untuk mendapatkan ridho
dari Allah Swt.

156 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


Lawan dari ikhlas adalah riya, yaitu melakukan pekerjaan bukan
karena Allah melainkan karena ingin dipuji atau karena pamrih lainnya.
Pada asalnya, seorang yang riya adalah orang yang ingin memperlihatkan
kepada orang lain kebaikan yang dia lakukan. Riya akan menghapus pahala
amalan seseorang Rasulullah saw. menamai riya dengan syirik kecil, dan
beliau paling mengkhawatirkan syirik kecil itu terjadi pada umatnya,
Sabdanya:
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian
adalah syirik kecil”. Sahabat bertanya: “Apakah syirik kecil itu ya
Rasulullah?” Rasul menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).

Dalam sebuah hadits Qudsi Allah berfirman:


“Akulah yang paling tidak memerlukan sekutu, barangsiapa yang
melakukan amalan yang menyekutukan Aku dengan yang lain, mka Aku
berlepas diri darinya, maka amalan itu untuk sekutu itu” (HR. Muslim).
e. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan
kepada selain Allah dan menyerahkan segala keputusan hanya kepadaAllah
Swt. Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal
(ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib
sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa.
Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal telah memberi contoh
tentang praktek tawakal ini. Mereka adalah para pekerja keras dalam
berbagai lapangan kehidupan, misalnya perdagangan, pertanian,
perindustrian, keilmuan dan sebagainya. Rasulullah selalu mendorong
umatnya untuk bekerja keras, bahkan beliau selalu berdoa agar dijauhkan
dari sifat lemah dan malas.
Rasulullah juga mengajarkan bagaimana kita harus berusaha
melakukan upaya preventif untuk menghindari suatu bahaya dan penyakit,
dengan sabdanya: “Matikan lampu-lampu di waktu malam sebelum kamu tidur.
Ikatlah pundit-pundi air dan tutuplah makanan dan minuman” (HR. Bukhori)
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti
sunnatullah tentang hukum sebab akibat, tetapi sekalipun demikian kita
tidak boleh tawakal dengan ikhtiar (usaha) yang kita lakukan. Misalnya, kita
sembuh dari sakit setelah berobat ke dokter. Sembuhnya kita dari
158 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
penyakit itu bukan karena pengobatan dari dokter semata, melainan
pengobatan itu hanya sebagai sebabnya. Allah sematalah yang
sesungguhnya memberi kesembuhan itu.
Sikap tawakal sangat bermanfaat ntuk mendapatkan ketenangan
batin. Ketika seseorang berhasil dalam usahanya maka dia tidak lupa
bersyukur, tidak sombong dan tidak membanggakan diri, sebaliknya jika
mengalami kegagalan atau musibah dia tidak akan putus asa dan tetap
bersabar. Orang yang bertawakal akan selalu tenang dalam menghadapi
masa depan yang penuh dengan segala kemungkinan. Orang yang
bertawakal akan selalu dicukupkan oleh Allah segala keperluannya, Firman
Allah: “…Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya” (QS. AtThalaq 65:3).
f. Syukur
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah
dilakukannya. Syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, untuk
ma’rifah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut asma Allah dan
anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana
untuk taat kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
Bersyukur kepada Allah adalah mengetahui dan mengakui bahwa
semua yang didapatkan (misalnya kekayaan, jabatan, kedudukan, dsb.)
adalah karunia dari Allah Swt. Usaha yang yang dia lakukan hanyalah sebab
atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa taufiq dari
Allah tidak akan menghasilkan apa yang diinginkan. Kemudian dia
membuktikan rasa syukur itu dengan amal perbuatan yang nyata, yaitu
memanfaatkan kenikmatan yang diterima itu pada jalan yang diridhoiNya.
Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah Swt. bukanlah
untuk kepentingan Allah itu sendiri, karena Allah tidak memerlukan apa-
apa dari alam semesta ini, melainkan justru untuk kepentingan manusia itu
َ Hal ini sr ebagaima9 na Firman-Nya:
sendiri.
َ َ‫ ش‬- َ َ َ َ َ َ : َ ََ
َoَ ‫ل‬ ‫ك َمة ش ك‬ ‫د ءا ن ٱل‬ 9 ‫و لق‬
َ ‫من‬
‫ك ر‬ ‫يو‬ ََ o َ َ َ ََ َ َ َ
َ َ ‫ر‬ َ ‫أ نٱ‬ ‫ي‬ ‫ل قم‬
ََ َ ‫َل‬,
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 159
‫بَنا‬

160 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


9َ َ َ
‫فإنَما يشَ ك ر‬

160 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


َ َ َ َ َ َ َ َ َ‫َن ف‬, ‫ل‬
َ َ‫ف فإنَ ٱل ل‬- ‫و‬
ََ َ ‫غن‬
َ َ َ َ ‫ر‬َ َ ‫سه من‬
َ
١٠ ‫حَ َي د‬ ‫ۦ‬
‫ك‬

Artinya: “…Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

َ َ َ
9 َ َ 12) َ َ َ َ ََ َ َ َ
QS. ‫ل‬ ََ . َ
َ َ
‫كف ر‬ ‫َ ر لَز َيد‬
‫إو ذ ت أ ذ ك م لش ك‬
‫ َن تَم‬31: ‫مو‬ ‫ن‬ َ 9 ‫ََ ئ َ ن‬
‫ك‬ ‫ن َنرب ت م‬

َ َ ‫ ( َ عذا‬Luqman
١ ‫د‬ ‫بشَ َدي‬ ‫إن‬
َ‫ل‬

Artinya: “Dan ingatlah, ketika Tuhannu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu


bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim 14: 7).
g. Muraqabah
Muraaqabah berakar dari kata raqaba yang berarti menjaga,
mengawal, menanti dan mengamati. Semua pengertian ini tersimpul dalam
satu kata yaitu pengawasan.
Muraqabah yang dimaksud di sini adalah kesadaran seorang
muslim bahwa dia selaluberada dalam pengawasan Allah Swt. Kesadaran
itu lahir dari keimanannya bahwa Allah Swt dengan sifat ‘ilmu, basher dan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 161


sama’ (mengetahui, melihat dan mendengar) Nya mengetahui apa saja yang
dia lakukan kapan dan di mana saja. Dia mengetahui apa yang dipikirkan
dan dirasakan oleh hamba-Nya. Tidak ada satupun dari aktivitas manusia
yang luput dari pengawasan-Nya. Firman Allah:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang baik, tak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan
bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis

162 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


dalam kitab yang nyata (Lauh
”. Fi ~ rman-Nya pula: ١٢
Mahfuzh) َ, َ
َ
9 9 9 َ ‫ ن‬9 َ َ َ 9 َ
ََ ‫ي عل مَ خائ َنَة ٱلََع ن وما ت َ َف‬
‫ٱلصدو ر‬
Artinya: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang
disembunyikan oleh hati.” (QS. Al-Ghafir 40:19)
Kesadaran akan pengawasan Allah Swt. akan mendorong seorang
muslim untuk selanjutnya melakukan muhasabah
(perhitungan, evaluasi) terhadap amal perbuatan, tingkah laku dan sikap
hatinya sendiri. Muhasabah dapat dilakukan baik sebelum maupun setelah
seseorang melakukan suatu tindakan atau beraktivitas. Sebelum berbuat
seseorang harus memperhitungkan dulu segala kemungkinan menyangkut
penilaian baik dan buruknya, manfaat perbuatan itu dan selalu menilai
kembali motivasi yang melandasinya.
h. Taubat
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecenderungan untuk
selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. yaitu kecenderungan untuk
selalu mentaati semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Namun, di
saat yang sama manusia juga berpotensi untuk melakukan penyimpangan
terhadap jalan hidup atau aturan yang telah ditetapkan Allah Swt.
Taubat adalah sebuah kebijakan Allah untuk menerima kembali
hamba-Nya yang telah menjauhkan diri dari-Nya dan menginginkan untuk
kembali ke jalan yang benar setelah melakukan kesalahan-kesalahan.
Bertaubat kepada Allah memiliki makna kembali menuju ketaatan setelah
melakukan kemaksiatan, kembali dari segala yang dibenci oleh Allah
menuju yang diridhai-Nya, kembali pada Allah setelah meninggalkn-Nya
dan kembali taat setelah menentang-Nya.
Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan
kesalahan akan tetapi orang yang baik adalah orang yang bersegera minta maaf
setelah melakukan kesalahan-kesalahan dan berjanji tidak akan m en gulangi
kesalahan yang diperbuatnya serta melakukan َ ََ َ
٢٠ ‫َ وإن لغفا ر ل َ َممن‬
ََ 9 ََ َ َ َ َ َ-
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 163
‫م َ ٱ ه ت دى‬ ‫ت اب وءامن وعَ َمل صل ََحا ث‬
kebaikan untuk menghapus keburukan itu. Firman Allah:

162 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 163
Artinya: “Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat,
beriman dan beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha
20: 82).

“Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, dan iringilah


perbuatan jahat dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan
menghapuskannya dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR.
Tirmidzi).

Dari keterangan di atas bisa dipahami bahwa taubat merupakan jalan


menuju pintu pengampunan Allah Swt. bagi setiap manusia yang telah
melakukan kesalahan dan ingin menggapai kembali kasih sayang dan rahmat-
Nya. Rasulullah saw memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan
menghapuskan keburukan dengan sabdanya:
“Perumpamaan orang yang mengerjakan perbuatan buruk kemudian
mengerjakan perbuatan baik adalah seperti seseorang yang terbelenggu oleh rantai-rantai
lalu dia melakukan kebaikan, maka terlepaslah satu ikatannya, kemudian dia melakukan
kebaikan lagi, maka terlepaslah dia dari rantai lainnya sampai ia benar-benar terlepas.”
(HR. Ahmad dan Thabrani)
Allah Swt. Maha penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang
manusia, apabila dia bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak ada kata
terlambat untuk kembali kepada jalan kebenaran, kecuali kalau nyawa sudah
berada di tenggorokan atau matahari sudah terbit di barat, pintu taubat memang
sudah tertutup. Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supaya
bertaubat orang yang berbuat salah siang hari. Dan Dia membentangkan
tangan-Nya pada siang hari, supaya bertaubat orang yang melakukan kesalahan
malam hari. Keadaan itu tetap terus hingga matahari terbit dari barat.” (HR.
Muslim).

Demikian beberapa contoh cara kita berinteraksi dengan Allah Swt.


yang harus kita bangun dalam keseharian sehingga terjalin kehidupan yang
selaras dan seimbang demi mencapai kebahagiaan yang hakiki.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 161


2. Akhlaq terhadap Rasulullah saw
Akhlaq terhadap Rasulullah adalah cara kita beinteraksi secara tidak
langsung kepada Rasulullah saw. yang meliputi tata cara kita bersikap kepada
beliau dan tata cara kita berinteraksi dengan segala sesuatu yang dibawanya.
Contoh akhlaq terhadap Rasulullah diantaranya adalah mencintai dan
memuliakannya. Mencintai Rasulullah juga berarti mencintai orangorang yang
dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus
lagi mencintai dan memuliakan keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah
melarang umatnya mencela sahabat-sahabat beliau. “Janganlah kamu cela sahabat-
sahabatku. Andaikata seseorang diantara kamu memberikan infaq emas sebesar gunung
Uhud, tidak akan sampai menyamai satu mud (infaq) salah seorang diantara mereka,
bahkan setengah mud pun tidak.” (HR. Bukhori).

Sesudah mencintai Rasulullah, kita juga berkewajiban menghormati dan


memuliakan beliau, lebih daripada menghormati dan memuliakan tokoh
manapun dalam sejarah umat manusia. Di antara bentuk penghormatan dan
pemuliaan terhadap beliau adalah tidak boleh mendahului beliau dalam

‫ي‬ َ‫يد‬ ‫ين ءامنوا ل تق دموا‬Sow9tََ َ ‫ٱل‬ َ


َ
‫ب‬ : ‫يأََيها‬
ََ‫ٱلل‬ ‫ي‬
ََ
r
َ َ َ َ o َ َ َ َ 9
o
َ
men gambil keputusan َ َ َ‫َ ل‬ َ ََ َ‫ورس َو َلَ ََ َۦ وٱتقوا ٱلل‬
َ
‫إنَ ٱل‬
atau menjawab pertanyaan. Firman Allah

١ ‫س َمي َع عل َي َم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-
Nya dan bertaqwalah kepada Allah., Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
162 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat 49: 1).

Para sahabat, jika diajukan pertanyaan di dalam majlis yang dihadiri

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 163


Nabi, mereka tidak mau mendahului beliau menjawab, apabila dihidangkan
makanan mereka tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya, kalau
berjalan bersama Nabi mereka tidak akan berada di depan. Para sahabat, karena
sangat hati-hatinya menjaga jangan sampai mendahului Rasulullah saw,

162 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


apabila ditanya oleh Rasulullah biasanya mereka menjawab dengan mengatakan
“Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu” sekalipun sebenarnya mereka tahu
jawabannya.
Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati
Rasulullah saw. Bagi kita sekarang, Di mana secara fisik Rasulullah tidak lagi
hadir bersama kita, tidak mendahului beliau dimanifestasikan dengan tidak
menetapkan suatu perkara sebelum membahas dan menelitinya terlebih dahulu
dalam Alquran dan Sunnah sebagai dua warisan beliau yang harus selalu
dipedor mr َ ani.
َ َ
‫يأََ ََي َها‬Bentuk lain menghormati dan memuliakan Rasulullah adalah tidak
َ َ َ َ ََ َ َ ‫َ أ‬ ‫اءم‬ َ َ
‫ل‬ َ
‫ كَ مقَ وت ٱلن‬- ‫صو‬ r - r‫وا‬ ‫ن‬ ‫ي‬ َ َ َ‫ٱل‬
‫ص‬ َ َ َ َ ََ ‫ت‬ َ َ َ 9
َ‫ف و‬ ‫ت رَ ف‬ ‫ن و‬
rr o
ََ َ
‫ع‬9 ‫ا‬

َ َ ‫ه‬ َ َ َ َ
berbicara keras di hadapan beliau, Firman ‫لۥ‬ ََ‫ب َََ ولَ ت‬
‫رو‬9
o
َ
‫ا‬

r َ َ ََ َ َ ‫ك‬ َ َ َ ََ
َ ‫ل‬
َ9 ‫ض أن ت َ َ ب ط أ‬ َ 9 ‫ب َٱ لق وَل هَر عض‬Allah:
َ 9 ‫م‬ ‫كج ب َ م َ َل‬
َ
‫ع َ ك‬ َ
‫م‬ ‫ََ ع‬
َ َ ‫َ ت م‬ َ ‫وص‬ َ 9 َ َ َ
164 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
‫عن د‬ َ ‫ي غ نأضو‬ َ‫َ ل‬ ‫َين‬
‫ه‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 165


َ ‫وأنت ل َ ر‬
‫ إن ٱ‬٠ َ‫ش‬
‫و‬ َ
- َ ‫َم‬
َ 9
‫َ ت‬
‫ن‬
‫ع‬
َ
َ َ َ ‫َ َ ٱم‬ َ ََ َ َ 9
ََ َ‫ حن ٱلل‬- َ َ‫لَكَ ٱ ل‬ ََ ‫رس َو َل ٱل ل‬
َ َ r o
‫َي تن‬ َ ‫ََ أ و‬
ََ
َ

َ َ َ r َ oَ r َ9
ََ
َ َ
‫َ وأجَع َظ‬ ‫ىَ َ ل‬ ‫ق لو َبََََ ت‬
٣ ‫َم‬
َ َ
‫ َ مغف رة‬9 َ َ 9
‫ر‬ َ ‫ه َم‬ ‫ه م قو‬
‫َل‬, ‫ل‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu
melebihi dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara
keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang
lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak
menyadari.”
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah
mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk

166 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


bertaqa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Hujurat 49:
2-3).

Sikap penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah dalam


berbicara seperti yang diuraikan di atas, dapat diteruskan oleh umatnya
sekalipun kita sudah tidak berjumpa dengan Nabi secara fisik, yaitu dengan tidak
mengeraskan suara di hadapan para ulama pewaris Nabi, dalam majlis yang
sedang dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (Alquran dan Sunnah), danjuga
masjid Nabawi lebih khusus lagi di kuburan Nabi.
Sikap atau akhlaq kita terhadap Rasulullah yang lain adalah mengikuti
dan mentaati segala yang diajarkan kepada kita. Mengikuti Rasulullah adalah
salah satu b9 ukti kecintaan seoran g hamba terhadap Allah Swt.
َ َ َ 9 ََ - َ َ َ 9 َ َ9
َ َ‫فٱت بع ي َ بَ ك ل‬ َ ‫َونل‬ ‫قل إ َن كن م ت ب‬
َ 9 9 9 َ ‫ت‬
َ ‫م ٱل‬ ‫َو ََ َب‬ َ ‫ٱل‬
‫َن‬ o c
َ َo َ َ 9 َ َ rَ
‫م‬ ‫ويََََََََ ل ك م ذن وب ك‬
‫ر‬r َ ‫غَف‬
َ َ َ,r َ 9 ََ َ
َ
٣١ ‫وٱل لَ َ غ فو ر ر حَ م‬
‫ي‬ َ
َ

Artinya: Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran 3: 31).

Rasulullah saw, sebagaimana rasul-rasul yang lain, diutus oleh Allah

َ َ َ 9 ‫لم‬ َ َ 9 َ َ
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 167
‫ول وَ أ‬ َ ‫بإ َذ َ َن‬ ‫لَ ل َ ََطا‬
‫ه‬
َ
r
ََ َ ‫ٱل‬
‫ن‬ َ ‫ع‬

168 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


-
9 َ َ
‫و م‬
‫س‬
‫َو َل إ‬ ‫~ س‬
َ َ
ََ
‫ا لن‬
َ
‫ا‬ ‫أر‬
َ,
َ
‫م‬
‫نر‬
o
ََ َ, ََ 9َ ‫س‬ ‫م ~وا‬9
‫ء فٱستغفروا‬ َ 9 . untuk diikuti dan dipatuhi.‫ف‬ ‫إ‬
َ
- S‫م‬
‫ه‬ ‫أ َن‬ َ
‫ذ‬
‫و ك‬ wt -
‫جا‬ َ
‫ظ ل‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 169


َ َ o 9 َ
َ 9 9 َ9 ََ َ َ َ َ
‫ٱللَ َ ت ََو‬ َ َ َ ‫ت غ ف ه سو َل‬ ََ َ‫ٱلل‬
& َ ‫َ َ َ لوجَدوا‬ o
‫مل‬9 ‫َر وٱس‬
َ
‫َا با‬ َ
r o
َ ‫َ َلٱ‬
‫ر‬
َ ََ ََ,
٥٤ ‫ر ح ي ما‬
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan
seizing Allah….” (QS. An-Nisa 4: 64).

Apa saja yang datang dari Rasulullah saw. harus diterima, apa yang
َ
diperintahkannya diikuti, dan apa yang dilarangnya ditinggalkan. Allah
r
‫ا‬r‫م‬َ
r ~
ََ ََ َ َ َ َ َ َ, َ َ َ
‫ر‬ ‫َل‬ ‫س‬ ََ َ‫أفَا ء ٱل ل‬
‫َل‬, ‫ىه‬ َ 9 َ‫ع َ ل‬
‫َو َل ََ َۦ َم ََن‬ ‫ر‬
‫سو‬9 ‫فل‬
‫َل‬, ‫و‬ َ9َ ََ
‫َل‬,
‫أ ه َل ٱ ل قر‬
َ َ َ r َ rَ َ ‫ل‬ َ
َ
‫م َََس َكي‬ ‫وٱل ََت‬ َ َ rَ 9 ‫و ل ََ ََي ٱ‬
berfirَ ‫ق َر ب‬
‫َن‬, َ‫وٱل َم‬ man:

-
‫بن‬ 9َ َ َ َ َ
170 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
‫َ‬
‫كََ لَ ي‪9‬ك َ د َول‬
‫َةَ‬ ‫وٱبنَ ٱلسبي ل‬
‫َ~‬ ‫َون‬
‫ٱلَغيَنَي‬
‫َا ‪َ,‬ء‬

‫| ‪| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‬‬ ‫‪171‬‬


‫ي‬
o c
َ ََ 9 َ َ َ َ
‫ءاتىك َم ٱلرسول فخذوه وما نهىك َم عنه فٱنتهوا‬ ‫َ َمنكمَ وما‬
r
9 َ َ َ َ َ َ 9ََ
‫ش َدي د‬ َ َ‫إ ن َ ٱل ل‬ َzَ َ‫ ل‬oَ
َ َ َ َ
١ ‫ٱ ل َعقاب‬ َ َ ‫وٱتقوا ٱل‬

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilrangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” (QS. Al-Hasyr 59: 7).

Ketaatan kepada Rasulullah saw. bersifat mutlak, karena taat kepada

172 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


َ rَ َ rَ َ 9 ‫َحضَ ٱلقَسَ َم َة‬
‫ََت م‬ ‫وٱل‬ ‫ ا ق َر ب‬o‫و‬9 ‫َل‬ ‫وإ َذا‬
َ َ r ََ ََ ‫ٱأل و‬
ََ َ
َ 9 َ
beliau merupakan bagian dari taat ‫وٱلمَس َكن فٱرزقوهم ََنه وقولوا‬
‫م‬ o
َ kepada Allah.
َ 9َ َ َ َ َ َ 9
٢ ‫م ق ول م ع رو فا‬ ‫ل ه‬
Artinya: “Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.
Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. AnNisa 4: 8).

Mengikuti dan mematuhi Rasulullah berarti mengikuti segala aturan


yang dibawa oleh Rasulullah yang terlembagakan dalam Alquran dan Sunnah
yang merupakan dua warisan yang ditinggalkan Rasulullah untuk umat manusia
sebagai pedoman hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bentuk interaksi dengan Rasulullah yang berikutnya adalah
mengucapkan shalawat dan salam untuknya. Sebagaimana diperintahkan

‫ع‬ َ 9َ َ ََ َ َ َ ‫م‬ َ َ َ, َ
‫ٱلن‬ ‫ص‬ ‫هۥ‬ ‫لَ ك َ ت‬ َ َ‫ل‬ ‫إو نس ل‬
r r ‫َ م‬ 9
ََ ‫ي‬ ‫َو‬
ََ َ ‫َ و‬ ‫اٱ ل‬
‫ل‬ ‫لو‬
َ َ, َ
‫ن‬ َ

oleh Allah:
ََ َ َ
‫ب ََََ يأََيها ٱلَََين ءامنوا صلوا‬
َ ‫عليه‬
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 173
َ
٢٥ ‫َما‬ َ ‫تس‬
‫ل َي‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab 33: 56)

Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dalam


ayat diatas menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedudukan beliau di
sisi Allah Swt. Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
mengucapkan shalawat dan salam kepada Nabi bukanlah karena Nabi

174 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


membutuhkannya. Sebab tanpa do’a dari siapapun beliau sudah pasti akan
selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia dan terhormat di sisi Allah
Swt.
Ucapan shalawat dan salam dari orang-orang beriman, disamping
merupakan bukti penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan kita sendiri.
Sabda Nabi saw:
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan shalawatnya
itu Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Ahmad).
“Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada hari kiamat
adalah siapa yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi).

Sebaliknya Nabi menyatakan bahwa orang yang tidak bershalawat


ketika mendengar nama beliau disebut adalah orang yang bakhil.
“Yang benar-benar orang bakhil adalah orang yang ketika disebut namaku
dihadapannya, ia tidak mengucapkan shalawat kepadaku.” (HR. Tirmidzi dan
Ahmad).

Demikian beberapa bentuk interaksi dengan Rasulullah yang masih dan


terus bisa kita lakukan sampai kapanpun, sebagai perwujudan keimanan kita
kepada Allah Swt.

3. Akhlaq Pribadi
Menurut Imam Al Ghozali, “akhlaq adalah sebuah keadaan yang tetap dalam
jiwa yang darinya lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan
pemikiran lagi”. Perilaku seseorang akan mencerminkan akhlaq yang baik manakala
selalu dilandasi dengan nilai-nilai yang secara universal sudah diterima baik
dalam pandangan manusia maupun dalam pandangan Allah Swt. Oleh karenanya
setiap muslim harus menginternalisasi nilai-nilai atau sifat-sifat itu ke dalam dirinya
sehingga menjadi bagian dari kepribadiannya. Nilai-nilai itu diantaranya shidiq,
amanah, istiqamah, iffah, tawadhu’, malu, sabar,
pemaaf dan sebagainya.
a. Shidiq
Shidiq artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong.
Seorang muslim dituntut selalu berada dalam keadaan benar lahir batin,
benar hati, benar perkataan dan benar perbuatan. Rasulullah
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 175
176 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
memerintahkan setiap muslim untuk selalu shidiq, karena sikap shidiq
membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya ke sorga.
Sebaliknya, beliau melarang umatnya berbohong, karena kebohongan akan
membawa kepada kejahatan dan kejahatan akan berakhir di neraka. Sabda
Nabi:
“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran membawa
kepada kebaikan, dan kebaikan membawa ke sorga. Seseorang yang selalu
jujur dan selalu mencari kejujuran akan ditulis oleh Allah sebagai orabf
yang jujur (shidiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena kebohongan
membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang
yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah
sebagai pembohong (kadzdzab) (HR. Bukhori).

Shidiq (benar) meliputi benar pekataan, benar pergaulan, benar


kemauan, benar janji dan benar kenyataan harus ditegakkan sekalipun dengan
musuh, anak kecil dan orang non muslim. Sabda Nabi :
“Barangsiapa yang berkata kepada anak kecil, mari kemari, saya beri korma ini.
Kemudian dia tidak memberinya, maka dia telah membohongi anak itu”. (HR.
Ahmad). Termasuk bagian dari kebohongan, yaitu berkhianat, mungkir
janji, kesaksian palsu, fitnah dan menggunjing.

b. Amanah
Amanah artinya dipercaya, seakar dengan kata iman. Sifat amnah
lahir dari kekuatan iman. Semakin menipis keimanan seseorang semakin pudar
pula sifat amanah pada dirinya. Antara keduanya terdapat kaitan yang sangat
erat, sabda Nabi saw: “Tidak (sempurna) iman seseorang yang tidak amanah, dan
tidak (sempurna) agama orang yang tidak menunaikan janji.” (HR. Ahmad).
Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan
dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula.
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, amanah mencakup beberapa
hal, diantaranya: Menyimpan rahasia orang, menjaga kehormatan orang
lain, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan
kepadanya, termasuk amanah yang paling utama adalah menjalankan
tugas-tugas yang dipikulkan oleh Allah kepada manusia (amanah taklif).

168 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


Termasuk bentuk amanah yang lain adalah tidak
menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan tertentu, menunaikan
kewajiban dengan baik dan memelihara semua nikmat yang diberikan
Allah Swt..
c. Istiqamah
Secara etimologis, istiqamah berarti tegak lurus. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen.
Dalam istilah akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun menghadapi
berbagai tantangan dan godaan. Seorang yang istiqamah laksana batu
karang di tengah-tengah lautan yang tidak bergeser sedikitpun walaupun
dipukul oleh gelombang yang bergulung-gulung. Perintah

َ - o
َ 9 َr َ َ َ َ َ 9 َ َ َ ََ َ َ َ َ
َ
َ ‫ك َ م يلَََ أ ن َم‬ ‫ا شََ مَث‬ ‫قل إن َم ا أن‬
‫َ َ ك َم‬ َ َ, َrَ 9 ‫ل‬ ‫ب‬
‫ا إل‬ ‫و حَ إ‬
‫ه‬

supaya beristiqamah sebgaimana dinyatakan ‫َقيمو‬


‫إ َلَهَ و َحَ َد فٱست‬
َ´ ,
ََ ‫ا إ َل ََه‬oleh Allah:
r
ََ َ, َ 9 9 ََ
َ َ َ‫لل‬
٥ ‫ََكن‬ ‫هَ وو ي‬ ‫وٱست غفر َو‬
‫م‬9 ‫ل‬
‫ش‬
Artinya: “Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu,
diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha
Esa, maka istiqamahlah menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 169


Nya. Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang yang

170 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


‫َ‬
‫َ ك)‪ 6‬ما ولَ تتَب َعَ أ‬ ‫فل َذل ََك فٱدع وٱ ستق ََ‬
‫‪( QS.‬‬ ‫م ‪.‬‬ ‫َ~ َ َ‬
‫َ‬ ‫َ‬
‫َ َ ‪ 9‬أ م َ رَت‬ ‫َ‬ ‫ََ ‪,‬‬
‫َ‬ ‫َ ‪9‬‬
‫”‪-Nya‬م وقلَ ءامنت َ ب َم َا‪me m persukutuka n‬‬ ‫‪Fushshilat 41:‬هواءه‬
‫أنزل‬
‫َ َ َ‬
‫ٱللَ ََ‬

‫| ‪| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‬‬ ‫‪171‬‬


9
َ َ َ َ َ َ َ ‫َ وأم َرت لع َد‬ َ َ
َ
‫ر و‬ َ َ‫ل ب نَ كَ ل‬ َ‫َب‬, َ َ‫َ َ َمَ َن كت‬
َ9 َ َ َ r
َ
‫بنا ر ب‬ َ ‫ م ٱل‬9 َ
َ ََ
‫ك‬ r
َ zَ
‫م‬
- r - r - r
‫لنا أعمل ََ ََ ََنَا‬
َ ‫ولكَم‬ r rَ َ
َ َ َ َ َ َ َ 9 َ ََ 9
‫َ يََمي َبَنن ا ا‬ َ‫َل‬ َ- ‫أعم لََََََك َ م ل‬
َ َ 9 .َ‫َ ي َب‬ َََ َ
‫ع‬9 َ ‫ك‬
‫م ٱل‬ ‫حجة ب نن ا‬
‫نو‬

١٢ ‫ي‬9 ‫َوإل ََه ََ ٱل َمَص‬


Artinya: “Maka beristiqamahlah kamu kepada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan juga orang yang telah taubat beserta kamu dan
janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan” (QS. As-Syura 42: 15).

Iman yang sempurna adalah iman yang mencakup tiga dimensi,


yaitu hati, lisan dan amal perbuatan. Seorang yang beriman haruslah
istiqamah dalam ketiga dimensi tersebut. Dia akan selalu menjaga kesucian
hatinya, kebenaran perkataan dan kesesuaian perbutannya dengan ajaran
Islam.
d. Iffah
Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affa-ya’iffu‘iffah
yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Juga berarti kesucian
172 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
tubuh.
Secara terminologis, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 171


segala hal yang akan merendahkan, merusak dan menjatuhkannya. Untuk
menjaga kehormatan diri tersebut, setiap orang haruslah menjauhkan diri
dari perkataan dan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Dia harus
mengendalikan hawa nafsunya, tidak saja dari hal-hal yang haram, bahkan
kadang-kadang harus juga menjaga dirinya dari hal-hal yang halal karena
bertentangan dengan kehormatan dirinya.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah ditanya tentang amal apakah
yang dapat memasukkan ke dalam sorga? Beliau menjawab, “Taqwa kepada
Allah dan akhlaq yang baik.” Kemudian beliau juga ditanya tentang perbuatan
seperti apa yang dapat menjerumuskan orang masuk neraka? Beliau
menjawab, “Lidah dan kemaluan”. (HR. Tirmidzi)
Berkaitan dengan pernyataan di atas, seorang muslim dan
muslimah diperintahkan untuk menjaga diri dari hal-hal yang dapat

172 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


menjerumuskan, seperti mengunjungi tempat-tempat hiburan yang ada
kemaksiatannya dan tidak melakukan perbuatan yang
dapat mengantarkannya kepada perzinaan. Sebaliknya, diperintahkan
untuk menjaga penglihatan, pergaulan dan cara berpakaiannya. Firman
Allah: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan meme
r َ ََ lih araَ kema luannya…”. ( QS. An-Nur 24 : 30- 31).
9َ َrََ َz َ ~ َ9 َ َ َ
َ َ,َ r َ
‫َح َشة‬ ‫هۥكن ف‬ ‫ََ َ إ َن‬ ََ َ َ‫ولَ تق َرب وا ٱلز َن‬
~
َ‫وس َء سب َيل‬
َ َ, ‫َا‬ ٣٠Dan Firman-Nya pula:
Artinya: “Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra 17:
32).
e. Tawadhu’
Tawadhu’ artinya rendah hati, kebalikan dari sombong atau
takabur. Orang yang rendah hati tidak memandang dirinya lebih hebat dari
orang lain, sementara orang sombong menghargai dirinya secara
berlebihan. Rendah hati berbeda dengan rendah diri, sekalipun dalam
prakteknya orang yang rendah hati cenderung merendahkan dirinya di
hadapan orang lain, tetapi sikap tesebut bukan lahir dari rasa tidak percaya
diri.
Sikap tawadhu’ adalah sifat mulia yang lahir dari kesadaran akan
Kemahakuasaan Allah atas semua hamba-Nya. Manusia adalah makhluk
lemah yang tidak pernah punya arti apa-apa di hadapan Allah Swt. Manusia
dalam kehidupannya selalu membutuhkan karunia, ampunan dan rahmat
dari Allah Swt., manusia tidak akan pernah mampu bertahan hidup kecuali
dengan kasih sayang dan pertolongan Allah Swt. Sikap tawadhu’ akan
melahirkan kesadaran bahwa apa saja yang dimiliki, baik bentuk fisik, ilmu
pengetahuan, harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan adalah

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 171


9
merupakan karunia Allah Swt. ٢٣Allah berfirman: ‫و َما بك َم من‬

172 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


َ َ 9َ َ َ َ ‫َ ن ٱل‬ َ
َ
ََ َ‫َ ل‬- َ 9 ‫ض‬ ‫م‬ ‫ك‬ َ ََ َ9َ r‫ل‬ ‫ة ف َم‬, ‫نعَم‬
َ َ- َ
‫َه‬ ‫َف‬ ‫ٱلمس‬ ‫ث م َ إ َذَا‬
‫إ‬

َ 9 َ َ
‫ت ج رون‬
Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya
kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan”. (QS. An-Nahl 16: 53).

Kesadaran yang demikian akan mengingatkan manusia bahwa


sikap sombong itu sama sekali tidak pantas bagi manusia, apalagi
menyombongkan diri terhadap Allah Swt.
Dengan sikap rendah hati, harkat dan martabat seseorang tidaka
akan menurun, bahkan akan mengangkatnya baik di mata masyarakat
maupun di mata Allah Swt. Nabi bersabda:
“Sedekah tidak akan mengurangi kekayaan seseorang, Allah tidak akan
menambahkan kepada seseorang yang pemaaf kecuali kemuliaan. Dan
tiadalah seseorang yang merendah hati karena Allah, melainkan Allah akan
meninggikan derajatnya”. (HR. Muslim).

Rendah hati adalah akhlaq terpuji di sisi Allah. Allah memerintahkan


Nabi untuk bersikap rendah hati dengan firmN-Nya: “Dan rendahkanlah dirimu
terhadap orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. As-
Syuara: 215).

Jika Nabi yang sudah dijamin masuk surgapun masih


diperintahkan untuk berendah hati, kita sebagai pengikut beliau sudah
barang tentu meneladaninya.
f. Malu
Malu atau dalam bahasa Arab al-hayaa-u, adalah sikap menahan
segala kecenderungan berbuat keburukan, kedzaliman, kekejian,
kesewenang-wenangan dan tindak kemaksiatan lainnya. Orang yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 173


memiliki rasa malu akan mendapatkan banyak kebaikan. Rasulullah
bersabda:
“Sifat malu merupakan kumpulan kebaikan.” (HR. Muslim). Karenanya
siapa saja yang memiliki rasa malu, sungguh dia telah mendapatkan nikmat
yang sempurna dari Allah Swt. perasaan malu merupakan cirri yang sangat

174 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


khas akhlaq mulia dalam pandangan Islam. Sabda Nabi: “Setiap agama
mempunyai akhlaq, dan akhlaq Islam yang fundamental adalah rasa malu.” (HR.
Imam Malik)
Perasaan malu juga merupakan akhlaq yang paling asli dan pokok
pada Rasulullah saw.
Sifat malu merupakan cabang dari perkara keimanan yang sangat
penting, karenanya jika seseorang sudah tidak memiliki rasa malu lagi,
maka kan lepaslah segala sifat baik dan mulia pada dirinya, bahkan akan
tercerabut pula perasaan kemanusiaannya. Seseorang yang tidak memiliki
rasa malu cenderung akan melakukan apa saja, tanpa mempedulikan akibat
buuknya, sekalipun akan menimpa dirinya sendiri maupun menimpa
kehidupan masyarakat. Karenanya, sabda
Nabi yang cukup utama dan pokok adalah “Jika kamu tidak malu, maka
lakukanlah apa saja yang kamu mau.” (HR. Bukhori, Abu Daud dan Imam
Ahmad)
Kehidupan berbasis materialistis talah semakin mengikis sifat malu
dari diri seseorang. Dengan materi sebagai tolok ukur segalagalanya, nilai-
nilai akhlaq, nilai kemanusiaan, kejujuran dan kebaikan lainnya kian
tereliminasi. Budaya malu selayaknya menjadi sikap yang senantiasa
melekat di semua lini kehidupan, baik dia sebagai rakyat biasa, terlebih
sebagai pejabat pemerintahan. Seyogyanya mahasiswa juga menjadikan
sikap malu ini sebagai landasan dalam menjalani kehidupan kesehariannya,
baik di kampus maupun di masyarakat luas. Mahasiswa harus malu jika
mencontek ketika mengikuti ujian karena hal ini akan merugikan diri sendiri
dan mengakibatkan tertutupnya keberkahan ilmu yang didapatkan.
g. Sabar
Sabar, secara etimologis berarti menahan dan mengekang.
Sedangkan secara istilah, sabar bermakna menahan diri dari segala sesuatu
yang tidak disukai karena mengharapkan ridha Allah. Tidak selamanya
sesuatu yang tidak disukai itu terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi,
seperti musibah kematian, sakit, kelaparan, kekurangan dan sebagainya,
melainkan bisa juga berupa hal-hal yang disenangi, misalnya segala
kenikmatan dunia yang sangat disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini
berarti menahan dan mengekang diri dari mempertuhankan hawa nafsu.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 175


Seorang muslim dituntut memiliki sifat sabar dalam berbagai situasi,
seperti sabar dalam menerima cobaan, sabar dari keinginan hawa nafsu, sabar
dalam taat kepada Allah, sabar dalam berdakwah, sabar dalam perang dan sabar
dalam pergaulan.
Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Alquran
mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya, antara
lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah: 24), syukur (QS. Ibrahim 14:
3), tawakkal (QS. An-Nahl 16: 41-42) dan taqwa (QS. Ali Imran 3: 15-17). Hal ini
berarti bahwa sifat sabar adalah sifat yang mulia dan memiliki kedudukan yang
istimewa. Dan oleh karenanya, orang yang memiliki sifat sabar adalah orang
yang memiliki kemuliaan dan memiliki kedudukan yang istimewa.
Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar sudah barang tentu
menjadi suatu kebutuhan manakala seseorang menginginkan kesuksesan
dunia dan akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan pernah berhasil menjadi
sarjana yang sukses kalau tidak memiliki sifat sabar dalam menghadapi
situasi sebagaimana disebutkan di atas.
h. Pemaaf
Pemaaf adalah sikap suka memberi maaf terhadap kesalahan orang
lain tanpa harus menunggu orang yang bersalah meminta maaf kepada
dirinya. Menurut Quraish Shihab, tidak ditemukan satu ayatpun yang
menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk
memberi maaf.
Sekalipun orang yang bersalah sudah menyadari kesalahannya dan
berniat untuk minta maaf, tetapi boleh jadi karena hambatan psikologis
menyebabkan seseorang tidak mau meminta maaf, seperti karena status
sosialnya lebih tinggi dan sebagainya. Tindakan memberi maaf sebaiknya
diikuti deng an tindakan b- erlapang dada, sebagaimana diperintahka- n oleh
َ َ َ ََ َ َ َ َ َ َ ََ
Allah: ‫لعَ ن وجَ لن‬ ‫ثق‬ ‫َم‬ ‫ف ب َم ا‬
َ َ r َ 9 ‫م‬ ‫ضه‬
‫اع‬ ‫هَ َ م‬ َ, ‫م‬ ‫ق‬
‫ه‬
‫ي‬ ‫ن‬

‫ك‬

176 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


‫َ‬ ‫َ‬ ‫‪َ َ9‬‬ ‫َ‬ ‫‪9‬‬ ‫م واضعهۦ‬
‫َ َمَ‬ ‫ي ون ٱ ل‬ ‫قس‬ ‫قل َوب‬
‫عن‬ ‫ََ‬ ‫‪9‬‬ ‫‪َ َ r‬‬ ‫‪َ َ 9‬‬
‫ر ف‬ ‫َية َ َ‬ ‫ه م‬
‫َ‬

‫‪r‬‬ ‫َ‬ ‫‪u‬‬


‫ََ‬ ‫روا‬ ‫‪r -‬‬
‫ك‬
‫ح ظا مَ َ‬ ‫َ‬
‫ول ت زال ت طل‬ ‫َه َ‬ ‫َ‬ ‫ونسَوا‬
‫ََ‬
‫َع‬ ‫َ‬ ‫ب‬ ‫ما ذ‬

‫| ‪| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‬‬ ‫‪177‬‬


َ 9َ َ َ َ َ َ َ َ
‫ل من ه م‬ َ‫ع‬١٣ ‫إلََ َي ل م ََ ن فٱعف ع ن‬
ََ
‫خا ئ َن‬ ‫ه َم‬9 َ ‫ه‬9 ََ ‫قل‬
َ َz
‫ة‬, ‫م‬
o
9 َ َ َ َ َ َ
‫حل ََ ي ب َ ٱل حسن َي‬ ‫ٱوص ف‬
9 َ
‫ن‬ ‫م‬9 َ َ‫إ ن‬
‫ٱل‬

Artinya: “…Maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah


senang kepada orang-orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang
melakukan kesalaan kepadanya”. (QS. Al-Maidah 5: 13).

Kebalikan dari sifat pemaaf adalah dendam, yaitu menahan rasa


permusuhan di dalam hati dan menunggu kesempatan untuk membalas.
Seorang pendendam tidak akan mau memaafkan kesalahan orang lain
sebelum dia bisa melampiaskan sakit hatinya. Orang yang enggan memberi
maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt.
Sifat pendendam tidak hanya merusak pergaulan
bermasyarakat tetapi akan merugikan dirinya sendiri. Orang yang
pendendam hatinya tidak akan pernah tenteram dan dia akan semakin
tersiksa dengan gejolak amarah yang ada dalam dirinya.
Islam mengajarkan, apabila seseorang tidak mampu dengan segera
menguasai amarahnya terhadap orang lain yang menyakitinya, dia boleh
menghindar untuk menenangkan dan menguasai nafsu amarahnya.
Rasulullah memberi batas toleransi selama tiga hari, karena waktu tiga hari
tersebut dianggap sudah cukup untuk meredakan kemarahan. Setelah itu
dia wajib kembali menyambung persaudaraan kembali kepada sesama
muslim. Sabda Nabi:
“Tidaklah halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari
tiga hari, keduanya bertemu tetapi saling memalingkan mukanya. Dan
178 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
yang paling baik diantara keduanya adalah yang memulai lebih dulu

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 179


mengucapkan salam.” (H. Muttafaqun ‘Alaihi).

4. Akhlaq Terhadap Sesama Manusia


Ajaran Islam selain mengatur interaksi manunia dengan Allah Swt.
juga mengatur interaksi antara manusia dengan manusia. Diantara bentukbentuk
interaksi itu adalah interaksi antara anak dengan kedua orang tua, interaksi
dengan keluarga dan interaksi dengan masyarakat. a. Akhlaq kepada Ibu Bapak
Ajaran Islam menempatkan orang tua pada posisi yang sangat
istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang

180 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


sangat mulia dan sebaliknya durhaka kepada keduanya menempati posisi
yang sangat hina.
Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan
perjuangan seorang ibu dalam mengandung, menyusui, merawat dan
mendidik anak-anaknya. Begitu juga bapak, sekalipun tidak ikut
mengandung dan menyusui, tapi dia berperan besar dalam mencari nafkah,
membimbing, melindungi, membesarkan dan mendidika anaknya hingga
mampu berdiri sendiri, bahkan sampai waktu yang tidak terbatas. Firman
Al”lah Swt.:
َ ََ َ َ َ َ َ َ ََ َ
‫ م َن‬- ‫أ‬ َ‫سن ب َو َلَ حََلت‬ ‫َل‬ ‫ووص ينا ٱ‬
‫ا‬ َ
9 َ r
‫ََن‬
‫َهۥو ه‬ ‫ََيه‬
‫ه‬

َ 9 rr ََ َ َ َ
َ
َ‫صَلََََ ََ ه ك ل‬ ‫ن وف‬, َ‫عَلَ وه‬
‫ن َر‬‫ َۥف َ ع ََ َم َ ن‬9
َ َ
‫أ َن ٱ ش‬

9 َ َ َ َ َ َ r َ َ
١٤ ‫ول َوَ َل َََ ََيكَ إلَََ ٱلمَ صي ر‬
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu
bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepadaku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada –Ku-lah
kembalimu.” (QS. Luqman 31: 14).

Dalam ayat diatas Allah menyuruh manusia untuk berbakti kepada ibu
bapak dengan cara mengajak manusia untuk menghayati pengorbanan yang
diberikan ibu ketika mengandung, melahirkan, merawat dan mendidik
a nakn
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 181
ya. Karena itu doa yang diajarkan Allah untuk o ra n g d iun gkapka
tua َ َ َ َn
9 َ

182 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


sedemikian rupa dengan mengenang jasa mereka:
‫وٱخ َفض لهَما جناح‬
r
َ َ ََ َ
َ
‫َة و قل ر‬ َ َ ‫ح‬ َ ‫َل َمن ََمن ٱلر‬ ََ ‫ٱل‬
‫ََبان‬r‫ َب‬- َ َ . َ َ َ َ
‫ي‬ ‫ٱر حَ َهما كم ا ر‬

٠٤ ‫َغ َيا‬, ‫ص‬


Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua (orang tuamu) dengan
penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka
keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik dan merawatku dengan
penuh kasih sayang ketika aku kecil” (Al-israa, 17:24).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 183


Dalam Islam, bentuk konkret hubungan baik antara anak dengan
kedua orang tua disebut dengan “Birrul walidain”.
Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al-birru
artinya kebajikan dan al-walidain artinya dua orang tua atau ibu bapak. Jadi,
birrul walidain adalah berbuat kebajikan kepada kedua orang tua. Semakna
dengan birrul walidain, Alquran menggunakan

َ َ 9 َ َ َ ‫رب‬ َ َ َ َ
ََ ََ~‫ل‬ َ ‫أل ع‬ ‫ك‬ ََ‫۞ وقض‬
-‫اه‬Nya: ‫ََ إي‬
َ ‫وا‬o َ, ‫ َد‬9 ‫ت‬
‫إب‬

َ´ َ َ r َ ََ
ihsan,‫إما‬ ‫ا‬sebagaimana Firman‫إ حس ن‬
َ َ‫وب َٱ لو َلَ ََين‬
9 9
َ َ ‫َ َََ ك َ َل‬ 9 َ َ - -
ََ ََ
َ~ َ -
ََ, َ َ‫ل‬ َ ‫د ك بَ أح د هما أو‬ َ ‫ي ب ل غن‬
istilah
‫تقل لهَما‬ ‫عن ٱل َك‬
َ َ
َ ‫هما ف‬ 9

‫ت‬
‫وقل‬ َ 9
o َ‫أ ف َ ول‬
َ َ o
َ
‫َ َ نه‬
َ 9 َ
‫ر هم ا‬
9
َ
& َ َ َ َ َ َ َ
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 177
‫ول ك َري ما‬ ‫هما ق‬ ‫ل‬

178 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


٠٣
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya…”. (QS. Al-Isra’ 17: 23).

Istilah Birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw.,


sebagaimana sabdanya:
“Diriwayatkan dari AbuAbdirrahman Abdullah ibn Mas’ud ra. Dia berkata: Aku
bertanya kepada Nabi saw.: Apa amalan yang paling disukai oleh Allah Swt? Beliau
menjawab: “Salat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian apa? Beliau
menjawab: “Birrul Walidain”. Kemudian aku bertanya lagi: Seterusnya apa? Beliau
menjawab: “Jihad fi sabilillah” (HR. Muttafaq ‘alaih).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 179


Birrul walidain menempati kedudukan yang istimewa dalam ajaran
Islam. Perintah ihsan kepada ibu –bapak diletakkan oleh Allah Swt. setelah
perintah beribadah kepada Allah Swt. Sebagaimana Firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil yaitu: “Janganlahkamu
menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak…”. (QS. Al-
Baqarah 2: 83).

Firman Allah Swt.:


“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak….” (QS. An-

o 9 َ َo َ
َ . ‫ش‬ َ َ َ َ َ ََ 9 َ
‫ َ ك وا‬9 ‫َل ت‬z ‫ر ب ع ل‬ َ ‫۞قلَ تعالوَا أت ل‬
ََ َ َ َ َ ‫ما رم‬
‫م‬- ‫ك‬ ‫ح ك‬
‫م‬
‫أ‬

َ 9 َ ‫وب َٱ‬ 4: 36) َ َ َ


o َ َ
ََ ‫ول‬ ‫س‬ َ َ‫َ َل‬ َ َ‫ش‬ ‫َۦ‬, ‫َه‬, ‫ب‬
‫تقتلوا‬ & ‫إ‬ َ r ‫ا‬ Nisa’
َ ‫و‬
‫ل‬
‫نا‬ َ, ‫ََي َن‬
َ َ‫ح‬
‫ا‬

َ َ
o9 َ ‫ك وإي ه‬ ََ َ َ َ َ َ َ rَ َ َ
َ َ ‫ول‬ r ‫ر‬ َ ‫ن‬
‫قمن‬
‫تقربوا‬ ََ َ 9 9 َ r ‫إ َمَل‬
َ
180 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
‫أ و ل دَ ك م‬
َ ‫ا‬ ‫َ ز قن ن‬ َ
‫َم‬
‫م‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 181


r o
ََ َ9 َ َ َ َ َ r َ ََ
- َr َ ‫س ٱل‬ ‫َ َ ما ب‬, ‫ظهر‬ َ َ‫ٱ لف َوح‬
َ َ‫َ َ َ ول‬
‫رم‬ ‫تح‬ ‫طنو‬ ‫ش ما‬
ََ َ‫تقتلوا ٱلنف‬ ‫م نه ا‬

9 ‫ك ص‬ َ ََ ‫َ ق‬ َ َ َ َ َ
‫ك َم ب َه‬ ‫ذ‬ َ‫ٱللَ ََ إلََ َٱل‬
‫َۦ‬ r
َََ َ َ َ r 9 ََ
َ
‫َك‬ ‫َ لََََ م ى ل عَ ل‬ ‫ب‬
‫َم‬
‫و‬ r
- r
َ َ
َ9 َ
١٢١ ‫َل و ن‬, ‫ت عق‬

Artinya: “Katankalah: “Marilah kubacakan apa yang diharankan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu

dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak….” (QS. Al-
An’am 6: 151).

182 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


Berbuat baik kepada ibu bapak dibuktikan dalam bentukbentuk
perbuatan antara lain: menyayangi dan mencintai ibu bapak sebagai benuk
terima kasih dengan cara bertutur kata sopan dan lemah lembut, menaati
perintah (bukan maksiat), meringankan beban, serta menyantuni mereka jika
sudah tua dan tidak mampu lagi berusaha.
Berbuat baik kepada orang tua tidak hanya ketika mereka hidup, tetapi
harus berlangsung walaupun mereka telah meninggal dunia dengan cara
mendoakan dan meminta ampunan untuk mereka, menepati janji mereka yang
belum terpenuhi, meneruskan silaturahmi dengan sahabat-sahabat sewaktu mereka
hidup. Hal ini diungkapkan Nabi:
Dari Abi Usaid is berkata: Ketika kami duduk disisi Rasulullah saw, tibatiba
datanglah seorang laki-laki dari Bani Salamah saraya bertanya: “Ya Rasulullah,
apakah masih bisa saya berbuat baik, kepada kedua ibu bapakku sedangkan mereka
telah meninggal dunia?” Rasulullah menjawab: “Ya, (yaitu dengan jalan) mendoakan
keduanya, meminta ampun bagi keduanya, menepati janji keduanya, memelihara
silaturahmi yang pernah dibuat keduanya dan memelihara teman- temannya. (Hadis
riwayat Abu Daud).

Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar, normal dan sangat logis
jika seorang anak dituntut untuk berbuat kebaikan sebaikbaiknya kepada kedua
orang tuanya, dan dilarang keras mendurhakai keduanya. Bahkan orang tua
(lebih-lebih ibu) harus mendapatkan prioritas utama untuk dibantu
dibandingkan dengan orang lain.

Sabda Nabi saw:


“Siapakah yang paling berhak aku Bantu dengan sebaik-baiknya? Jawab Nabi:
“Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi: “Ibumu” Lalu siapa lagi? Jawab Nabi:
“Ibumu”, Lalu siapa lagi? Jawab Nabi: “Bapakmu” (QS. Bukhori dan Muslim).

Kebalikan dari “birrul walidain” adalah “‘Uququl walidain” yang berarti


mendurhakai orang tua. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa Allah Swt.
menempatkan perintah birrul walidain langsung sesudah perintah untuk
beribadah kepada-Nya, maka sebaliknya Allah Swt. pun menempatkan ‘uququl
walidain sebagai dosa besar dalam urutan kedua setelah syirik. Sabda Nabi saw:

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 183


“Dosa-dosa besar adalah: mempersekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh orang dan sumpah palsu”. (HR. Bukhori). Durhaka kepada kedua orang
tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah Swt, sehingga azabnya
disegerakan Allah di dunia ini.
Sabda Nabi saw:
“Semua dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-
Nya kecuali durhaka kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah
menyegerakan (azabnya) untuk pelakunya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia
meninggal.” (HR. Hakim).

Sabdanya pula:
“Keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb
(Allah) ada pada kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi).

Bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan


bertingkat-tingkat, mulai dari mendurhakai dalam hati, mengomel,
mengatakan ah (uffin, berkata kasar, menghardik, tidak menghiraukan
panggilannya, tidak pamit, tidak patuh) dan tindakan-tindakan lain
r
9َ َ َ 9 َ َ َ َ َ َ َ
َ ََ9
‫د‬
‫َي ا‬, ‫إ‬ ََ ‫إل‬ ‫ع‬ ‫أل‬ ‫رك‬ : ‫۞ وق‬
‫ه‬ ~
ََ َ, َ ‫ت‬ ‫ب‬ َ‫ض‬
َ Swt
‫وا‬o
9
َ‫ب‬
9 َ َ َ َ r َ ََ
yang membuat oarng tua ‫سَ نا غ َن‬ ‫إ‬ َ‫وب َٱ لو َلَ ََين‬
‫َح‬
‫يبل‬ َ َ, َ

184 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


‫ما‬ ‫إ‬
َ
‫َ َل‬ 9 َ َ‫َا‬ 9 َ
َ ‫ب أح د هما‬
َ‫ك‬ ‫م ه‬
‫أو‬

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 185


َ ‫َد‬
َ, ‫ك ٱل‬ ‫عن‬
k
‫ك‬ e
c
e
w
a
d
a
n
s
a
k
i
t
h
a
t
i
.
F
i
r
m
a
n
A
l
l
a
h

‫ت‬ َ ‫ف‬ َ 9 َ َ
9
َ َ
‫وقل‬ ‫ول‬ َ, َ َ َ‫فل‬
o 9 َ
َ ََ َ ‫تقل لهَما‬
‫َ نه‬
َ 9 َ ‫أ‬
‫ر هما‬
186 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 187
9
َ َ َ َ َ َ َ َ
‫ل هما ق وَلَ ك َري ما‬
٠٣
Artinya: “…Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan “uh”
dan janganlahkamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra’ 17: 23).
Demikianlah ajaran Islam tentang tata cara berinteraksi dengan
kedua orang tua yang telah diabadikan oleh Allah Swt. dalam Alquran dan
telah dicontohkan oleh Nabi saw. sebagai pedoman bagi manusia dalam
menjalani kehidupan sehari-hari.
b. Akhlaq kepada Keluarga
Akhlak terhadap keluarga adalah mengembangkan kasih sayang di
antara anggota keluarga yang diungkapkan dalam bentuk komonikasi.
Komunikasi dalam keluarga diungkapkan dalam bentuk perhatian baik
melalui kata-kata, isyarat-isyarat maupun prilaku. Komunikasi yang
didorong oleh rasa kasih sayang yang tulus akan dirasakan oleh seluruh
anggota keluarga. Apabila kasih sayang telah mendasari komunikasi orang
tua dan anak, maka akan lahir wibawa pada orang tua. Demikian sebaliknya
akan lahir kepercayaan orang tua pada anak. Oleh karena itu kasih sayang
harus menjadi muatan utama dalam komunikasi semua pihak dalam
keluaraga.
Dari komunikasi semacam itu akan lahir saling keterikatan batin,
keakraban, dan keterbukaan di antara anggota keluarga dan menghapuskan
kesenjangan diantara mereka. Dengan demikian rumah bukan hanya
menjadi tempat menginap (house), tetapi betul-betul menjadi tempat tinggal
(home) yang damai dan menenangkan, menjadi surga bagi para
penghuninya. Melalui komunikasi itu pula dilakukan pendidikan dalam
keluraga, yaitu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak-anak sebagai
landasan bagi pendidikan yang akan mereka terima pada masa-masa
selanjutnya.
Pendidikan yang ditanamkan dalam keluarga akan menjadi ukuran
utama bagi anak dalam menghadapi pengaruh yang datang kepada mereka
188 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
diluar rumah. Dengan dibekali nilai-nilai dari rumah, anak-anak dapat
menjaring segala pengaruh yang datang kepadanya. Sebaliknya anak-anak

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 189


yang tidak dibekali nilai dari rumah, jiwanya kosong dan akan mudah sekali
9
َterp9engaruh o9lehَlingَ kungan d9i luَ ar rumah.َInilah yang d9imaksuَd dengan َ
ََ َ‫َۦ وه َ و يعَ ظ هۥ يب َن‬, َ ‫وإ ذ قال ل قم َن َ ل ََب ن َه‬
ayat: ‫ل‬
َ َ َ َ َ َ9
‫ٱلشََك‬ ‫ن‬َ َ َ ‫ل‬ َ ,
z
َ َ َ‫تش‬
‫َإ‬ ‫كَ بٱل‬
9
َ َ
‫ل ظ ل َم ظ َم‬
١٣ ‫ع‬
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi
pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (Luqman, 31 :13).

Nilai esensial yang didikkan kepada anak di dalam keluarga adalah


aqidah, yaitu keyakinan tentang eksistensi Allah. Apabila keyakinan
terhadap Allah ini telah tertanam dalam diri anak sejak dari rumah, maka
kemanapun ia pergi dan apapun yang dilakukannya akan hati-hati dan
waspada karena selalu merasa diawasi oleh Allah Swt.

c. Akhlaq terhadap Masyarakat


Menurut Alquran, manusia secara fitri adalah makhluk sosial, dan
hidup bermasyarakat merupakan merupakan suatu keniscayaan bagi
mereka. Dalam Surat Al-Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia
diciptakan dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-
bangsa, agar mereka saling mengenal.
Dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim harus dapat
berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di lingkungan
pendidikan, kerja, sosial dan lingkungan lainnya. Baik dengan orang-orang
yang seagama maupun dengan pemeluk agama lainnya.
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 187
Pada dasarnya, tidak ada bedanya antara tata cara pergaulan

188 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


bermasyarakat sesama Muslim dengan non-Muslim. Kalaupun ada
perbedaan, hanya terbatas dalam beberapa hal yang bersifat ritual
keagamaan.
Untuk terciptanya hubungan baik bagi sesama Muslim dalam
masyarakat, setiap orang harus mengetahui hak dan kewajibannya masing-

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 189


masing sebagai anggota masyarakat. Hal ini tercermin dalam sebuah hadits
Nabi saw:
“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima: Menjawab
salam, mengunjungi orang sakit, mengiringkan jnazah, memenuhi
undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah).

Dari hadits yang singkat ini, Rasulullah saw.


telah menerangkan beberapa hal yang terkait dengan etika hubungan
antara seorang muslim dengan Muslim lainnya. Enam hal ini adalah etika
pokok yang harus dijalankan oleh seseorang Muslim dalam kehidupan
sehari-hari dalam berinteraksi dengan Muslim lannya.
Tujuan digariskannya interaksi anta Muslim oleh Rasulullah ini tidak
lain kecuali agar hubungan mereka terjalin dengan baik dan kokoh, sehingga
terciptalah kasih sayang, kedekatan dan cinta kasih mendalam di antara mereka.
Ini sebagaimana tergambar dalam hadits Nabi:
“Perumpamaan arang-orang Muslim dalam cinta dan kasih sayang di antara
mereka adalah seperti halnya stu tubuh. Kalau salah satu anggota tubuh merasa
sakit, maka seluruh tubuh juga merasa panas dan pening”. (HR. Bukhori dan
Muslim).

Selain beberapa etika di atas, kewajiban seorang Muslim dengan Muslim


yang lainnya adalah menghadiri undangan tpat pada waktunya. Dalam buku
Hayatu Muhammad Husain Haikal menceritakan bahwa Nabi saw. selalu
menghadiri setiap undangan yang dilayangkan oleh para sahabatnya. Beliau
tidak pernah pilih-pilih undangan, apakah itu orang kaya atau miskin, semua
kalau tidak ada halangan akan didatanginya.
Salah satu etika yang juga patut diperhatikan dalam berinteraksii dengan
sesama Muslim adalah melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal ini adalah
kewajiban yang melekat pada setiap muslim ketika melihat kemunkaran di tengah-
tengah kehidupan kita. Sabda Nabi saw:
“Barangsiapa salah satu diantara kamu melihat kemunkaran hendaknya dia
mengubahnya dengan tangannya, dan kalau tidak mampu hendaknya dengan
lisannya, dan kalau tidak mampu, hendaknya dengan hatinya, dan mengubah
dengan hati itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

184 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


Walaupun pemberian nasihat sangat ditekankan dalam Islam, tetapi
pemberian nasihat kepada orang lain itu juga ada tata cara atau aturannya.
Diantaranya adalah, nasihat diucapkan dengan lemah lembut tanpa
menyinggung perasaan orang yang dinasihati. Salah satu cara agar sebuah
nasihat bisa diterima adalah penasihat memang melaksanakan apa yang
dinasihatkan. Pemberi nasihat tidak hanya mengucapkan tanpa pernah
melakukannya. Pemberi nasihat harus terlebih dahulu menjadi tauladan bagi
orang lain.

5. Akhlaq Kepada Lingkungan Hidup


Manusia dianugerahi Allah Swt karunia yang melimpah di seluruh
penjuru bumi ini berupa kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik mungkin
bagii kepentingan dan kesejahteraan seluruh makhluq hidup yang ada di
dalamnya. Semua benda yang ada di bumi pada dasarnya boleh dimakan kecuali
yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah Swt.
Misi agama Islam adalah mengembangkan rahmat bukan hanya
kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan hidup, seb~ agaimana
َ َ َ ََ َ َ َ ََ
firman Allah Swt. ١٢١ َ ‫كل رح‬ َ‫و م ا أ ر س‬
َ& ‫َإ‬, َ
‫َ لن‬
‫ة‬

َ
‫ن‬ َ ََ
‫ل َ ل علَ َ م ن‬
Artinya: “Tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya’ 21: 107).

Misi tersebut tidak terlepas dari tujuan diangkatnya manusia sebagaii


khalifah di muka bumi, yaitu sebagai wakil Allah yang bertugas memakmurkan,
mengelola, dan melestarikan alam. Memakmurkan alam adalah mengelola
sumber daya alam sehingga dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan manusia

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 189


tanpa merugikan alam itu sendiri. Allah menyediakan bumi yang subur untuk

184 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


disikapi oleh manusia dengan kerja keras mengolah dan memeliharanya
sehingga melahirkan nilai tambah yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 185


َ َ َ ‫ َ َ َ َ قال‬9 َ َ َ r َ َ
-Nya: ‫دوا‬ ‫م‬ ‫و‬ َ‫يق‬ ‫۞وإل َََ ثم َود أخاه م‬
‫ٱعب‬ َ rr ََ
‫ص َ ل َ َ َ َ َ َح َ ا‬
9 َ
tin ggi, se ba gaimana firman 9‫ٱللَََ ما لكم من إ َلَ َهََ غيرهۥ‬

r
ََ َ َ َ ََ ََ ‫ض و‬ َ َ َ
‫َر‬, ‫ت غف‬ ‫عمر َي‬ ‫ست‬ ‫منل ر‬ ‫هو أن شأ كم‬
‫م‬ 9 9 ‫ها‬ َ َ َoo ‫ٱ‬
9 ‫َو هٱفس‬ ‫ك م‬ َ َ ََ
‫ف‬ َ
‫َث‬ ‫ٱ‬
o
َ َ َ
‫ََه ََ إنَ ر ب ق َرَيب‬ ‫إ َل‬ ‫توبوا‬
٥١ ‫مََيب‬
Artinya: “Dia menciptakan kalian dari bumi dan menjadikan kalian sebagai
pemakmurnya.” (QS. Hud 11: 61).

Kekayaan alam yang berlimpah disediakan Allah untuk disikapi dengan


cara mengambil dan memberi manfaat dari dan kepada alam serta
r
َ -َ َ َ َ َ َ ََ
َ
yang merusakkan alam. ‫ول‬
َ ‫و ٱ ب ت َغَي م ءات ىكَ ٱللَ َ ٱ‬
‫َلر‬ ,
~ ,
َ ‫َٱ‬, َ َ ََ ‫خ‬
‫َل‬ ‫ر‬
َ ‫ة‬
186 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
‫ا‬

‫ف‬

a ng
r
a
se
ga
‫وأ‬
‫ح‬

,
َ
‫س‬
‫ن‬
b
e
n
tu
k
la

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 187


r
َََ َ َ َ ‫سك‬ َ
َ
‫ن ٱ ل نيا ا‬ , ‫ت ن‬
‫م‬ ‫ن‬
َ, Firman
َ Allah :
‫ص‬
‫َي َب‬

َ َ َ, َ
َ َ َ َ َ
ََ ‫ول َ ف د ف‬ , ََ َ, َ َ‫أح ٱلل‬ ‫ كما‬perbuatan
‫ب َ سا‬ ََ َ ََ
‫َ ٱ‬, z ‫ن‬
َ ‫َ ل‬
‫ل‬ ‫س‬
‫غ‬ ‫ك‬ ‫إ‬
‫ت‬
َ 9 ‫َ َ َ ي‬ َ َ
١١ ‫ب َ ٱل َفسن‬ َ‫ٱل ر ََ ََ ض إنَ ٱللَ َ ل‬
‫َدي‬, 9 َ
‫م‬9 َ
َ

Artinya: “…dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. AlQashas 28: 77).

Pengelolaan alam dan lingkungan dengan baik akan dapat memberi


manfaat yang berlipat-lipat, begitu pula sebaliknya alam yang dibiarkan merana
atau hanya diambil manfaatnya secara berlebihan akan mendatangkan
malapetaka bagi kehidupan itu sendiri. Pemanaatan sumber daya alam yang

188 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


hanya mengejar keuntungan ekonomis yang bersifat sementara akan
mendatangkan kerusakan alam yang parah dan tidak bisa direhabilitasi dalam
waktu puluhan bahkan ratusan tahun.
Dalam Islam ada aturan yang mungkin dapat dianggap sebagai latihan
atau cetak biru untuk mengendalikan diri dalam berinteraksi dengan alam, yaitu
ketika sedang melakukan ihram, seseorang dilarang mencabuti tumbuhan dan
berburu binatang.
Rasulullah pernah menegaskan tidak boleh dirusaknya tumbuhan tanpa
ditanam kembali, dan siapa saja yang menanam pohon untuk kelestarian alam
ini atau untuk tempat berteduh manusia, dia akan mendapatkan nilai kebajikan
yang begitu besar. Nabi bersabda: “Tidak seorangpun menanam tanaman kecuali
ditulis baginya pahala sesuai dengan buah yang dihasilkan oleh tanaman itu.” (HR.
Ahmad)
Dari hadits di atas bisa dipahami bahwa setiap orang yang menanam
pohon untuk kelestarian alam, keseimbangan alam, kesejukan hawa, dan
berbagai fungsi positif lainnya, demi menjalankan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi ini, maka dia akan mendapatkan nilai kebajikan dari setiap
perbuatannya itu.
Berakhlaq kepada lingkungan hidup adalah menjalin dan
mengembangkan hubungan yang harmonis dengan alam sekitarnya. Pada
intinya, etika Islam terhadap alam semesta hanya mengajarkan satu hal saja yaitu
perintah jangan membuat kerusakan di muka bumi. Namun, perintah inii
mempunyai derivasi yang cukup luas mulai dari menjaga kebersihan bumi, tidak
bersikap sewenang-wenang terhadap alam, tidak mengeksploitasi sumber daya
alam untuk kepentingan sendiri, dan himbauan untuk memperbaiki kembali
sumber daya alam yang telah rusak oleh ulah pihak yang tidak bertanggung
jawab.
Kerusakan alam dan ekosistem di lautan dan di daratan terjadi akibat
manusia tidak sadar, sombong, egois, rakus dan angkuh dan hal itu merupakan
bentuk akhlaq yang buruk dan sangat tidak terpuji. Seorang ilmuan pernah
mengatakan, “Bumi ini akan cukup memenuhi kebutuhan bermilliar-milliar
manusia, akan tetapi tidak cukup memenuhi keserakahan satu orang saja”.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 189


r
ََ ‫َ َب ت‬ َ‫ب وٱل‬ ََ ‫ ف‬9 َ َ َ َ
‫ح ر بم َ ا‬ ‫ظ ه ر ٱ ل فسا د‬
َ‫أي َد َي ٱل نا‬ ‫ٱل‬
‫كس‬
‫ َس‬:
Firman Allah ‫ب عض‬ ‫َذيقهم‬ Swtَ
َ‫ل‬
9 َ
٤١ ‫لعَلهم جعون‬ ‫ٱلََي ع َملوا‬
‫ي َر‬
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia supaya Allah merasakan (memberi cobaan) kepada mereka
sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang
benar.” (QS. Ar-Rum 30: 41).

Islam mengingatkan, sekalipun alam semesta ini diciptakan untuk


manusia, namun semua yang ada ini adalah milik Allah Swt. Hal ini akan
mengantarkan manusia kepada kesadaran bahwa apapun yang berada di dalam
genggaman tangannya, tidak lain kecuali amanat yang harus
dipertanggungjwabkan. “Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap
angin sepoi yang berhembus di udara, dan setiap tetes hujan yang tercurah dari
langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut
pemeliharaan dan pemanfaatannya” demikian kandungan penjelasan Nabi saw
tentang firman-Nya yang berbunyi: “Kamu sekalian pasti akan diminta untuk
mempertanggungjawabkan nikmat (yang kamu peroleh)” (QS.
At-Takatsur 102: 8)
Dengan demikian manusia bukan saja dituntut agar tidak alpa dan
angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, melainkan juga dituntut untuk
memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh pemilik

َ َ ََ 9َ َ َ َ r َ َ َ َ 9 َ ََ
َ‫ا إل‬ ‫وَتَ َ وٱلَرض وما يبَن هم‬r َ‫س م‬ ‫ ل قن ا ٱل‬:‫ما خ‬
َ
‫ب َٱلَ ق‬
190 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
o
َ َ َ َ َ َ َ َ
Tuhan) menyangkut apa yang berada di sekitar َ‫وٱل‬ ََ ‫ل مس م‬, ‫وأ َج‬
(‫ي ن‬manusia. Firman Allah

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 191


َ َ, َ َo َ َ
َ 9 ‫َ ع‬ ‫كفروا‬
٣ ‫ض و ن‬ o
َ ََ
‫عما ر م‬
‫َذروا‬, ‫أن‬
Artinya: “Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta yang berada diantara keduanya,
kecuali dengan (tujuan) yang hak dan pada waktu yang ditentukan.” (QS. Al-
Ahqaf 46: 3).
Pernyataan Tuhan dalam ayat di atas mengundang seluruh manusia
untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok atau bangsa,
dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demii
kemaslahatan semua pihak. Manusia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam
atau berlaku sewenang-wenang terhadap lingkungan alam.

C. TOLERANSI DALAM ISLAM


Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, pernah mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang bermasyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendiri dalam
kondisi terasing tanpa berinteraksi dengan manusia lainnya. Interaksi dengan
manusia lain merupakan sebuah keniscayaan yang tidak dapat dibantah oleh
siapapun. Sebab tidak ada satupun manusia yang hidup di dunia ini yang tidak
butuh dengan orang lain, baik itu kebutuhan materiil maupun non materiil.
Dengan kata lain, kebutuhan-kebutuhan itulah yang kemudia memaksa manusia
untuk bergaul dan berinteraksi dengan orang lain.
Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang begitu majemuk dan plurall
jenis penduduknya, maka sudah menjadi suatu kenyataan bahwa interaksii
dengan orang lain merupakan kebutuhan yang mendesak. Ada beragam suku
dan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Dengan toleransi sebagai landasan
untuk berinteraksi maka memungkinkan terjalinnya kesatuan dan kerukunan
antar warga di dalamnya.
Demikian juga dengan umat Islam yang menjadi penduduk mayoritas dii
Indonesia, tetapi mereka tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan untuk
berinteraksi dengan agama-agama lain guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Demikian juga sebaliknya, pemeluk agama lain mau tidak mau harus
berinteraksi dengan penganut Islam sebagai salah satu sarana untuk memenuhi
kebutuhannya.
192 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
Masing-masing pemeluk agama memang harus saling mengenal, gotong
royong, saling membantu dan saling menghormati. Sebab tanpa itu kiranya

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 193


kehidupan berbangsa dan bernegara akan mengalami disharmonisasi. Konflik
horizontal antara pemeluk agama di berbagai belahan negeri Indonesia akan
cukup mewarnai perjalanan hidup nusantara tercinta ini.
Dalam interaksi dengan pemeluk agama lain, Islam telah membuat
beberapa garis besar etika yang perlu diterapkan. Dengan tujuan selain
mempertinggi harkat dan martabat Islam itu sendiri, nantinya terwujud
hubungan yang harmonis antara para pemeluk agama.
Sebelum bergerak dalam tindakan etika secara praksis, kiranya perlu
dipahami dulu ketentuan Allah tentang adanya pemeluk agama lain. Alquran
banyak sekali menyinggung mengenai pemeluk agama lain selain Islam. Seperti
ditetapkan oleh Alquran, pada satu sisi umat Islam harus meyakini bahwa agama
Islam adalah agama yang paling benar di sisi Allah, sementara di lain pihak harus
diyakini pula bahwa Allah menciptakan dalam bergam agama. Artinya,
keneradaan pemeluk agama lain merupakan sebuah kehendak dan hukum
Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
Pluralisme adalah sebuah hukum Tuhan yang diterapkan di alam ini

9 mr anusiَ~ r
agar tercipta keseimbangan. Tujuan pluralisme itu sendiri adr ala- h agar a
ََ ََ َ ََ َ َ َ
salin g mengenal satu sama lain, sebagaimana firman Allah:
‫يأََيها ٱلناس إ‬
‫~ َنا‬
َ ََ ‫ش‬ ‫ َ َ َ َ َ ك‬9 ‫من‬ ‫َ َ ك‬
َ,
‫ وقبا ئ‬9 ‫نوثََ وجَ ل‬ َ َ ‫خ ل قَن‬
َ ‫َ عو‬9 َ- َ ‫ك‬ ‫ذ‬ َ
9
‫َل‬ ‫ن‬
‫ع َم َبا‬ ‫ر‬ ‫م‬

َ َ َ
o o
َ َ

َ
‫لَعارفوَا إنَ أكَرمكم عند ٱللََ َ أتقىكَم إن‬
194 | AKHLAQ DALAM ISLAM |
َ َ َ َ َ
‫ٱللَ ََ عل َي م خب َ ي‬
١٣
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu sekalian dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikanmu berbangsabangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal…” (QS. AlHujurat: 13).

Hal ini sebagaimana tujuan Rasulullah diutus ke dunia ini, yang tidak
hanya diperuntukkan bagi sekelompok manusia saja, melainkan diutus untuk
menjadi rahmat bagi sekalian alam.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 195


1. Bentuk-bentuk Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Lain:
a. Dialog secara Baik dan Saling Menghormati
dilakukan -Prilaku dan dialog yang baik dengan penganut agama lain
َ
‫ع إ َل‬ ‫ٱ َد‬dengan tujuan saling menghormati keyakinan masing
َ َ r
َََ

َª َ َ َ َ َ َ
َ
‫ن‬ ‫ٱل‬ َ ‫سبيل ر بكَ بٱلََ ك م وٱلم َو‬
َ‫ة‬, ‫ع‬ ‫َة‬
‫س‬ َ, ‫ظ‬
ََ
‫ة‬

َ َ َ َ َ 9 r َ َ
r r
َ َ
‫ أح سن إنَ ر‬masing. Firman Allah:ََ َ‫ت‬ ‫َٱل‬, ‫وج َد َل ه‬
‫بك‬ َ ‫َم‬
‫ه‬ ‫ب‬
ََ,

َ 9 ‫ضل عن‬ َ 9 َ
‫ َ عل م‬9 َ ‫عل م‬ ‫ه وأ‬
‫ب سب َي َه َۦوه َو أ‬
‫ل‬ ‫َمن‬

َ o َ 9
o
َ
‫ب َٱل مَه ت َد َ َين‬
١٠٢ | AKHLAQ DALAM ISLAM |
196 Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapatkan petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125).
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 195
Dialog dengan cara yang baik juga bertujuan untuk menghindari
terjadinya benturan dan konflik antar pemeluk agama, sehingga hal ini
justru akan merusak kemuliaan dan keluhuran Islam itu sendiri.

b. Tidak Boleh Menghina Sesembahan Mereka


Persoalan yang bersifat teologis sangat rentan untuk
diperdebatkan, karena akan memunculkan konflik antar agama. Islam
melarang praktik penghujatan terhadap sesembahan agama lain, karena

9 9
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
َ
‫ل ََس بو ا‬ ‫دو‬ َ ‫لَ َ ن ي د عون‬ َ‫و ل ت س‬
‫َن‬
‫ََ في‬ ‫َمن‬ َ َ
‫ٱل‬ ‫َي‬ ‫بو ا ٱ‬
َ َ َ َ َ
justru akan menjadi bumerang bagi َ ‫م‬, ‫ب َغ َ عل‬ ‫د‬ ََ َ‫ٱلل‬
,
َ َ-
‫ي َر‬
9
‫و َا‬
‫ع‬

190 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


r
9 َr َ
ََ َ َ
َ َ, َ
َ ‫ك‬
‫أ‬
‫م َ َة‬ 9 ‫ ي‬-‫كذ لك ز‬ ََ َ penghujat sendiri, Firman Allah:
ََ
َ ‫ََ ا‬ ‫ن‬
‫ل‬
r
‫هم‬ ‫َئ‬
‫ب‬ َ 9 ‫َمع‬ َ َ r َ ََ َ َ 9 َ
, ‫ه مر َ ف ن‬ ََ ‫إ َل‬ ‫عمل ه م‬
‫ب‬ 9 9 َ ‫م‬
‫ه‬ ‫ج‬ ‫م‬
‫َم‬, َ
‫رب‬
‫ث‬
َ
-
ََ
‫ا‬ َ َ o َ َ
َ
١٢٢ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ع‬ ‫ي‬ ‫كَنوا‬
َ 9
‫ون‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki berhala-erhala yang mereka sembah selain
Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampauai batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap
baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah, mereka
kembali, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dulu mereka
kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108).

c. Toleransi Pada Keyakinan Masing-masing


Prilaku toleransi atau tenggang rasa terhadap pemeluk agama lain
adalah sebuah kemestian, karena kita tidak dapat memaksakan keyakinan
agama kita kepada mereka. Sebab mereka sudah beragama, dan memang di
Indoneia tidak diperkez na nkan untuk menyerukan agama kepada 9 peme luk
~
َ ََ 9 9 َ َ َ َ َ ‫قَ د‬
Firman Allah: ‫ ء ك َم بصَائ ر َ َ َمن رب ك َ م فمن‬, ‫جا‬
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 191
agama lain.
َ َ َ َ َ َ َ َ َ
َ‫َ م‬ ‫َۦومن‬ ‫أبصَََ فلنَ فسه‬
‫ع‬ o~ c
َ َ َ
, َ ََ َ َ
َ
َ ‫ ع‬o َ
١٢٤ َ, ‫ب‬ ‫ل‬
َ ‫ها‬ ‫ل‬َ
‫ي‬ ‫ف َع‬
َ ‫ا‬‫ن‬‫أ‬ ‫وما‬
‫ظ‬,‫َف‬ 9
َ‫ي‬ َ
‫كم‬
Artinya: “Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang.
Barangiapa yang melihat kebenaran itu, maka manfaatnya bagi dirinya sendiri
dan barangsiapa yang buta (tidak melihat kebenaran tersebut) maka
kemudharatannya kembali kepadanya. Dan aku (Muhammad) sesekali
bukanlah pemeliharamu.” (QS. Al-An’am: 104).

192 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


Toleransi juga perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan
menghormati praktik-praktik peribadatan agama lain. d. Tolong
Menolong
Tolong menolong dalam urusan sosial harus dilakukan sekalipun
kepada orang kafir dzimmi (orang kafir yang hidup berdampingan dengan
umat Islam). Keberadaan mereka sama sekali tidak ingin memerangi umat
Islam tetapi malah ingin hidup bersaudara. Dalam hal ini umat Islam wajib
melindungi dan menolong mereka kalau mereka dalam kesusahan dan
penderitaan.
Tetapi dalam urusan keyakinan umat Islam tidak boleh campur tangan,
karena hal itu merupakan urusan rumah tangga masing-masing pihak.
b. Menepati Janji dengan Mereka Selama Mereka Menepati Janji
Rasulullah pernah mengadakan perjanjian dengan pemeluk agama lain
yang dikenal dengan “Piagam Madinah” agar di Madinah tercipta iklim
keberagamaan yang kondusif dan harmonis, yang intinya mempertahankan
sikap saling menghormati dan tidak saling mengganggu antar pemeluk agama.
Rasulullah berusaha sekuat tenaga menepatii perjanjian itu walaupun pihak-
pihak lawan berusaha melanggarnya.
c. Senantiasa Berbuat Adil
َ
‫ل‬Keadilan adalah sesuatu yang mutlak tanpa mengenal agama

‫ن‬ r rَ َ ‫ن‬ َ َ َ َ 9 r َ ََ
‫َتَ َ ف ٱ َل ن‬ َ َ َ َ‫َن ل‬ َ َ‫ي ن ىه كَ َ َ ل‬
- َ‫َ ل م‬
‫و‬9 ‫َل‬, ََ ‫َي‬
‫ٱع‬ ََ ‫م ٱل‬9
ََ ‫ي‬
9
‫ك مق‬

dan warna kulit. 9 َ َ


‫ي‬ ‫َو كم‬
‫ََ ن‬, ‫م‬ ‫َرج‬
َ9 9
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 193
َ‫ل م‬Firman Allah:‫و‬

194 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


o
َ َ َ
‫َهمَ إ‬, ََ َ‫إ َل‬ ‫دي َرََكم أن تبََوهم وتق سطوا‬
‫ن‬
َََ‫ٱلل‬
َ َ 9 9
٢ ‫ي َ ب َ ٱل َقط نن‬
‫س‬
‫م‬9

Artinya: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 195


negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Mumtahinah: 8).

196 | AKHLAQ DALAM ISLAM |


BAB VII
WAWASAN ISLAM MODERAT

A. ISLAM MODERAT
Dalam Islam, referensi beragama memang satu, yaitu Alquran dan al-
Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada
berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri
dalam praktek dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah
menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab
mencatat, bahwa
“Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang
dikehendaki Alah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan
keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan
keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitabkitab
suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya”. (Quraish
Shihab, 2007 : 52).

Permasalahannya adalah dapatkah mereka yang menjalankan agama


tersebut dapat saling menghormati, dan bersedia berdialog, sehingga muncul
persepsi bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan
dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep “Islam
moderat”. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap
sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang
moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep “Islam moderat” tidak ada
rujukannya secara pasti akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun
dan mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang
sebenarnya, konsep “Islam moderat” tampaknya patut diaktualisasikan.
Syafi’i Ma’arif, dengan ber-“Islam dalam Bingkai Keindonesiaan”. (Lihat
buku Ahmad Syafi’i 2009) Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam
moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.
inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk
mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal
dalam pembumian Islam di Indonesia.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 197


Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud, (Abdurrahman Mas’ud,
2006: 54-58) Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI
yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam
menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosiokultural dan religius
di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the
religion of Java jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak
mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan ajaran Islam
yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh
kedamaian, walaupun terkesan lamban tetapi meyakinkan. Berdasarkan fakta
sejarah, bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya
ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsipprinsip Islam, agama
baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat
Jawa di pesisir utara.
Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan
brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan
jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal,
serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan
pendekatanpendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu
dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa
yang mampu
Sebagaimana dikatakan, ketika sudah memasuki wacana dialog
peradaban, toleransi, dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan
mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran
yang berorientasi kepada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam
keberbagaian, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan
pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan “yang lain” (the other).
Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci
kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan
melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai
rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).

B. AKAR ISLAM MODERAT DI INDONESIA


Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut
proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia

196 | WAWASAN ISLAM MODERAT |


telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan
dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam,
menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan
mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan
identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik
masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara
itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di
Indonesia.
Demikian pula dikatakan, bahwa proses pergumulan Islam dengan
kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo.
Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar
menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat
itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah
yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada
di Nusantra. Hal ini terjadi karena ada kesesuaian antara agama baru (Islam)
dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik
kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan
kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam (Badrus Sholeh
(ed.), 2007: 41).
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam
dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekskan,
tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran, sesuai dengan
kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian
dikenal dengan konsep “pribumisasi Islam”. Gagasan ini dimaksudkan untuk
mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek
keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam “pribumisasi Islam”
tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan
diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa
kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya, kontekstual Islam
dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat.
Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja
penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus
memperbaharui diri dan dinamis dalam merespon perubahan zaman. Selain
itu, Islam dengan lentur mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 197


berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan
beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat
benar-benar shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk setiap zaman dan
tempat) (M. Imdadun Rahmat (et al.), 2003: xx-xxi.).
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek Islam
sebagaimana yang diajarkan Walisongo dan diamalkan oleh sebagian besar
masyarakat Jawa dapat disebut Islam kaffah atau Islam yang benar. Beragam
pandangan pun muncul terkait dengan hal ini, baik dari beberapa golongan
dalam Islam sendiri maupun para pengamat asing dan dalam negeri.
Misalnya, Geertz adalah salah satu tokoh yang menyangsikan ke-Muslim-an
mayoritas orang Jawa, karena fenomena sinkretisme begitu nyata di kalangan
mereka (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2009: 60-61) Cliffort Geertz merupakan tokoh
penting dalam studi Islam Jawa yang mengatakan praktek keagamaan orang
Jawa campur aduk dengan unsur-unsur tradisi-tradisi non-Islam.
Menurutnya, kelompok priyayi dan abangan dengan jelas mencerminkan
tipisnya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa. Bahkan, dalam
pandangannya, kelompok yang diangap paling Islami, yaitu santri tidak
terlepas dari pengaruh tradisi pra-Islam. Identitas ke-Islaman orang Jawa
kurang lebih sama dengan “Islam nominal” (Lihat Hendro Prasetyo, Islamika
No.3, Januari-Maret 1994: 75).
Sebaliknya, pengamat lain menyebutkan, mungkin benar bahwa
Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal, Islam nominal, atau
Islam yang jauh dari bentuk “asli” yang terdapat dan berkembang di pusatnya,
yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi
ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak berarti tradisi intelektual yang
berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya terlepas dari “tradisi besar”
Islam. Bahkan, khususunya sejak abad ke 17, dapat disaksikan semakin tingginya
intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan
Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan “tradisi lokal” Islam
di Asia tenggara dengan “tradisi besar” (tradisi normatif dan idealistik)
sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam Alquran dan
Sunnah (Azyumardi Azra, 2000: 8).
Demikian pula, berdasarkan kesimpulan Mark Woodward, kalau
ditelaah secara mendalam dan ditinjau dari segi perspektif Islam secara luas,

196 | WAWASAN ISLAM MODERAT |


didapati bahwa hampir seluruh ajaran, trdisi, dan penekanan yang bersifat
spiritual yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa, pada dasarnya
bersumber dari ajaran Islam di Timur Tengah. Apa yang dikenal dalam
upacara keagamaan Jawa, seperti grebeg, selametan, kalimasodo, adalah bagian
dari ajaran Islam. Selain itu, doktrin Kawula Gusti Martabat Tujuh dan tradisi
wayang yang dikenal dan dilestarikan dalam masyarakat Jawa, dapat ditelusuri
asal usulnya dari tradisi tasawuf Islam (Alwi Shihab, 1997: 314.)
Sejalan dengan pernyataan Woodward dan Azra, dapatlah
dibenarkan bahwa tidak satu pun budaya di dunia ini yang tidak sikretik,
karena semua budaya pasti memiliki aspek historisnya yang tidak tunggal
dan dengan demikian bersifat sinkretik (Alwi Shihab, 1997: 79). Baik agama
maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin
terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana
tercantum secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti
keadaannya semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami,
ditafsirkan, dan diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting
budaya, politik, dan ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang
didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi
kebudayan (Bambang Pranowo, 1999: 20).
Menurut Fazlur Rahman, memang secara historis sumber utamaIslam
adalah wahyu ilahi yang kemudian termuat dalam kitab yang di sebut Alquran.
Namun, kitab ini tidak turun sekaligus dalam jangka waktu berbarengan,
melainkan turun sedikit demi sedikit dan baru terkumpul setelah beberapa
puluh tahun lamanya. Oleh karena itu, wahyu jenis ini merupakan reaksi dari
kondisi sosial historis yang berlangsung pada saat itu. Hubungan antara pemeluk
dan teks wahyu dimungkinkan oleh aspek normatif wahyu itu, adapun pola
yang berlangsung berjalan melalui cara interpretasi. Teks tidak pernah berbicara
sendiri, dan ia akan bermakna jika dihubungkan dengan manusia. Apa yang
diperbuat, disetujui, dan dikatakan oleh Rasul adalah hasil usaha (ijtihad) Rasul
memahami dimensi normatif wahyu. Sementara itu, upaya interpretasi Rasul
terhadap teks dipengaruhi oleh situasi historis yang bersifat partikular pada
masanya. Bahkan, tidak jarang Rasul sendiri sering mengubah interpretasinya
terhadap Alquran jika diperlukan (Lihat Hendro Prasetyo, Islamika No.3, Januari-
Maret 1994: 80).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 197


Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang sama tidak
mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah begitu
luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam interaksi dan
dialog antara ajaran agama dengan budaya lokal yang lebih bersifat lokal itu,
kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan
sendirinya akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran
agama yang universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah
agama itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama
yang sama terhadap kondisi sosial, budaya, maupun ekonomi yang mereka
hadapi. Dari perspektif inilah dapat diterangkan mengapa, misalnya, gerakan
Islam yang selama ini dikenal sebagai “modernis” yakni Muhammadiyah
cenderung memperoleh dukungan yang kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU
yang sering disebut sebagai golongan “tradisional” memperoleh pengaruh
luas di daerah pedesaan ( Bambang Pranowo, 1999 : 19).
Jadi, yang perlu digarisbawahi adalah meskipun suatu agama itu
diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi semakin
agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganut serta
semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan
wajah dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan
agama yang berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik,
maka mau tidak mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial
budaya yang sering kali tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan ajaran
agama yang hendak dikembangkan (Bambang Pranowo, 1999: 18).
“Tidak ada satu pun agama yang tidak berangkat dari sebuah respon
sosial. Semua bertolak dan bergumul dari, untuk, dan dengannya. Ketika
agama yang merupkan titah suci Tuhan berdialektika dengan relitas sosial,
berarti ia masuk pada kubangan sejarah, atau menyejarah. Sejarah, ruang, dan
waktu adalah penguji kebenaran serta kekokohan eksistensi agama. Sebagai
penguji, sejarah tentu memiliki seperangkat bahan ujian. Bahan itu adalah
unsur-unsur budaya setempat, fenomena dan budaya baru, serta
rasionalitas.” (Said Agiel Siradj, “Tradisi dan Reformasi Keagamaan”,
Republika, 2 Juni 2007).
Sekali lagi, perselingkuhan antara agama dan tradisi adalah
sunatullah. Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan atas teks-teks

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 199


keagamaan yang sakral. Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam
pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan
penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik
kesempurnaan. Namun, tradisi bukanlah segalanya, ia tetap dalam ketidak
sempurnaannya sebagai buah pemikiran yang amat serat nilai. Ia harus
disikapi secara proporsional dan tidak boleh dikurangi atau dilebih-lebihkan
dari kepastian sebenarnya (Said Agiel Siradj, “Tradisi dan Reformasi
Keagamaan”, Republika, 2 Juni 2007).
C.MINIATUR ISLAM MODERAT
Fakta moderasi Islam itu dibentuk oleh pergulatan sejarah Islam
Indonesia yang cukup panjang. Muhammadiyah dan NU adalah dua
organisasi Islam yang sudah malang-melintang dalam memperjuangkan
bentuk-bentuk moderasi Islam, baik lewat institusi pendidikan yang mereka
kelola maupun kiprah sosial-politik-keagamaan yang dimainkan. Olehkarena
itu, kedua organisasi ini patut disebut sebagai dua institusi civil society yang amat
penting bagi proses moderasi negeri ini. Muhammadiyah dan NU merupakan
dua organisasi sosial-keagamaan yang berperan aktif dalam merawat dan
menguatkan jaringan dan institusi-insitusi penyangga moderasi Islam, bahkan
menjadikan Indonesia sebagai proyek percontohan toleransi bagi dunia luar.
Dikatakan pula, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU
selama ini memainkan peran yang signifikan dalam mengusung ide-ide
keislaman yang toleran dan damai (Ahmad Zainul Hamid. Afkar, Edisi No.
21 Tahun 2007: 28).
Muhammadiyah, misalnya, adalah suatu pergerakan
sosialkeagamaan modern yang bertujuan untuk mengadaptasikan ajaran-
ajaran Islam yang murni ke dalam kehidupan dunia modern Indonesia.
Dalam usaha mencapai tujuan tersebut, gerakan ini secara luas telah
mendapatkan inspirasi dari ide-ide pembaruan Syaikh Muhammad Abduh,
yang mengobarkan semangat pembaruan pemahaman dan pembersihan
Islam dari daki-daki sejarah yang selama ini dianggap bagian tak terpisahkan
dari Islam (Alwi Shihab, 1997: 303-304).
Dalam sejarah kolonialisme di Indonesia, Muhammadiyah dapat
disebut moderat, karena lebih menggunakan pendekatan pendidikan dan

200 | WAWASAN ISLAM MODERAT |


transformasi budaya. Karakter gerakan Muhammadiyah terlihat sangat
moderat, terlebih jika dibandingkan dengan gerakan Islam yang
menggunakan kekerasan dalam perjuangan mengusir penjajah, sebagaimana
ditunjukkan oleh gerakan-gerakan kelompok tarekat yang melakukan
pemberontakan dengan kekerasan. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, NU
dan Muhammadiyah adalah organisasi Islam yang paling produktif
membangun dialog di kalangan internal masyarakat Islam, dengan tujuan
membendung gelombang radikalisme. Dengan demikian, agenda Islam
moderat tidak bisa dilepas dari upaya membangun kesaling-pahaman (mutual
understanding) antar peradaban.
Sikap moderasi Muhammadiyah sebenarnya sejak awal telah
dibangun oleh pendiri organisasi ini, yaitu K.H. Ahmad Dahlan. Dikatakan,
bahwa salah satu pelajaran yang paling penting dari kepemimpinan Ahmad
Dahlan adalah komitmen kuatnya kepada sikap moderat dan toleransi
beragama. Selama kepemimpinannya dapat terlihat adanya kerja sama kreatif
dan harmonis dengan hampir semua kelompok masyarakat. Bahkan, dengan
rekan Kristennya, beliau mampu mengilhami rasa hormat dan kekaguman.
Contoh yang paling menarik dari kemampuan K.H. Ahmad Dahlan adalah
mengikat persahabatan erat dengan banyak pemuka agama Kristen.
Kenyataan, bahwa beliau dikenal sebagai orang yang toleran terhadap kaum
misionaris Kristen, akan tetapi tidak berarti lantas beliau mengkompromikan
prinsip-prinsipnya. Dia adalah seorang praktisi dialog antar-agama yang
sejati, dalam pengertian dia mendengar apa yang dikatakan dan
memperhatikan apa yang tersirat di balik kata yang diucapkan (Alwi Shihab,
1997: 311-312). Dalam perkembangan lebih lanjut, Syafi’i mencatat, bahwa

“Gerakan modernis itu, terutama Muhammadiyah semakin


mempertimbangkan dimensi kultural dalam gerak dakwahnya
sehingga terasa menjadi lebih lentur tanpa kehilangan prinsip dan
misi utamanya. Persis dan Al-Irsyad tetap bertahan, tetapi tidak
pernah mengikuti mitranya Muhammadiyah yang terus
berekspansi”. (Ahmad Syafii Maarif, 2009: 62)

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 201


Sementara itu, sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari
akidah Ahlusunnah waljama'ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham
moderat. Dalam Anggaran Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah
Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut paham Ahlussunah waljamaah
dengan mengakui mazhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
Penjabaran secara terperinci, bahwa dalam bidang akidah, NU mengikuti
paham Ahlussunah waljamaah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan
AlAsy'ari, dan Imam Abu Mansyur Al-Maturidi. Dalam bidang fiqih, NU
mengikuti jalan pendekatan (al-mazhab) dari Mazhab Abu Hanifah
AlNu'man, Imam Malik ibn Anas, Imam Muhammad ibn Idris Al-Syafi'i, dan
Ahmad ibn Hanbali. Dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam
alJunaid al-Bagdadi dan Imam al-Ghazali, serta imam-imam yang lain
(Mujamil Qomar, 2002: 62).
Perkataan Ahlusunnah waljama'ah dapat diartikan sebagai "para
pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma (kesepakatan) ulama”. Sementara
itu, watak moderat (tawassuth) merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang
paling menonjol, di samping juga i'tidal (bersikap adil), tawazun (bersikap
seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran), sehingga ia menolak segala bentuk
tindakan dan pemikiran yag ekstrim (tatharruf) yang dapat melahirkan
penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran Islam. Dalam pemikiran
keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah) antara
penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio ('aqliyah) sehingga dimungkinkan
dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan-perubahan di masyarakat
sepanjang tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai
konsekuensinya terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki
sikap-sikap yang lebih toleran terhadap tradisi di banding dengan paham
kelompok-kelompok Islam lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi
memiliki makna penting dalam kehidupan keagamaan. Suatu tradisi tidak
langsung dihapus seluruhnya, juga tidak diterima seluruhnya, tetapi
berusaha secara bertahap di-Islamisasi (diisi dengan nilai-nilai Islam)
(Zamakhsyari Dhofier, 1994: 65).
Pemikiran Aswaja sangat toleransi terhadap pluralisme pemikiran.
Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim mendapatkan
pengakuan yang apresiatif. Dalam hal ini Aswaja sangat responsif terhadap

202 | WAWASAN ISLAM MODERAT |


hasil pemikiran berbagai madzhab, bukan saja yang masih eksis di tengah-
tengah masyarakat (Madzhab Hanafi, Malik, Syafi'i, dan Hanbali), melainkan
juga terhadap madzhab-madzhab yang pernah lahir, seperti imam Daud
alDhahiri, Imam Abdurrahman al-Auza’i, Imam Sufyan al-Tsauri, dan lain-
lain (Imam Baehaqi (ed.), (1999) : 40).
Model keberagamaan NU, sebagaimana disebutkan, mungkin tepat
apabila dikatakan sebagai pewaris para wali di Indonesia. Diketahui, bahwa
usaha para wali untuk menggunakan berbagai unsur non-Islam merupakan
suatu pendekatan yang bijak. Bukankah Alquran menganjurkan sebuah
metode yang bijaksana, yaitu “serulah manusia pada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan nasehat yang baik” (QS. An-Nahl: 125). (Abdurrahman Mas’ud,
2004: 9). Dalam mendinamiskan perkembangan masyarakat, kalangan NU
selalu menghargai budaya dan tradisi lokal. Metode mereka sesuai dengan
ajaran Islam yang lebih toleran pada budaya lokal. Hal yang sama merupakan
cara-cara persuasif yang dikembangkan Walisongo dalam mengIslam-kan
pulau Jawa dan menggantikan kekuatan Hindu-Budha pada abad XVI dan
XVII. Apa yang terjadi bukanlah sebuah intervensi, tetapi lebih merupakan
sebuah akulturasi hidup berdampingan secara damai. Ini merupakan
sebuahekspresi dari “Islam kultural” atau “Islam moderat” yang di dalamnya
ulama berperan sebagai agen perubahan sosial yang dipahami secara luas
telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi
budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam (Abdurrahman Mas’ud, 2004: 10).

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 203


BAB VIII
PERGAULAN DALAM ISLAM

A.KONSEP PERGAULAN DALAM ISLAM


Etika pergaulan antara pria dan wnita itu menurut syariat Islam telah
ditetapkan sebagai berikut:
1. Pria dan wanita harus dapat menjaga dan mengendalikan pandangan
matanya dan memelihara nafsu seksualnya, sebagaimana diperintahkan
oleh Allah dalam firmanNya dalam QS: Al-Nur/24:30: katakanlah kepadalaki-
laki yang beriman, hendaklah mereka memelihara pandangan mata mereka dan
memelihara kemaluannya; cara yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Megetahui segala perbuatanmu.
Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada kaum pria untuk
memandang lawan jenis (kaum wanita), dengan pandangan secara
wajar, tidak boleh memandang dengan penuh nafsu birahi. Jadi ayat
tersebut bukan menyuruh kaum laki-laki untuk memejamkan mata
sewaktu berjalan atau bertemu perempuan, tetapi memelihara diri dari
hal-hal yang dapat merangsang kebangkitan nafsu syahwat terhadap
perempuan yang dipandang itu. Cara semacam itu akan dapat
memelihara kesucian kaum laki-laki dari kemungkinan pelanggaran
seksual seperti hewan.
Perintah menundukkan pandangan dan larangan memandang
lain jenis itu ditujukan kepada kaum wanita sebagaimana dapat dibaca
dalam QS: Al-Nur: 31 yang telah dikutip diatas. Sehubugan dengan
masalah pandang memandang lain jenis, seorang sahabat yanbg
bernama Jarir bin Abdullah al-bajli pernah bertanya kepada Rasulullah
saw.: tentang pandangan yang secara tiba-tiba atau kebetulan, lalu beliau
menyuruhnya segera memalingkan pandangan kearah lain (HR.
Muslim).
Ayat dan Hadis diatas mengharuskan kitaa untuk selalu menjaga
kesucian hubungan pria dan wanita. Sebaliknya mengharuskanpria dan
wanita itu untk menjauhkan diri dari segala kemungkinan yang akan
merangsang kedua belah pihak untuk berbuat keji dan

204 | WAWASAN ISLAM MODERAT |


terlarang. Kesemuanya itu adalah demi untuk menjaga citra manusia
sebagai makhluk terbaik dan paling mulia.
Para muda mudi pasti akan menilai ketentuan semacam itu kolot,
alias tidak modern, ketinggalan zaman, membatasi kebebebasan dan lain
sebagainya. Akan tetapi hendaknya mereka ingat tujuan hidup manusia itu
bukanlah mencari kepuasan, tetapi kebahagiaan dunia dan akherat. Ingatlah
bahwa kepuasan itu belum tentu mendatangkan kebahagiaan; bahkan
banyak orang yang sudah berhasil melampiaskan nafsunya terhadap orang
lain dengan cara pemaksaan, terpaksa meringkuk dalam penajara atau
mendapat hukuman dari masyarakat. Ini baru hukuman di dunia, belum
lagi hukuman di akherat.
2. Larangan berduaan sepasang muda mudi tanpa disertai muhrimnya. Laranga
tersebut berdasarkan hadis berikut ini: Rasulullah s.a.w bersabda: jangan sekali-
kali bersepi-sepian seorang pria dan wanita kecuali bersama muhrimnya (HR:
Muttafaqun alaihi).
Hadis tersebut sebagai landasan untuk menetapkan etika pergaulan
antara pria dan wanita yang halal nikah. Larangan dalam Hadis tersebut
mempunyai tujuan yang sama dengan perintah memelihara pandangan
mata dan lainnya, yaitu demi keselamtan muda mudi itu sendiri.
Kalau saling pandang memandang dengan nafsu syahwat dilarang,
maka berduaan lebih dilaranglagi, karena jelas kemungkinan terjadinya
pelanggaran seksual atau perzinahan. Untuk menjaga akibat buruk semcam
itu agama menetapkan norma, supaya pihak wanita harus disertai
muhrimnya, paling tidak mereka harus disertai orang lain agar tidak
terjerumus dalam noda dan dosa yang lebih besar dari itu.
Norma atau ketentuan seperti itu jelas ditanggapi secara sinis oleh
kaum muda mudi, akan tetapi para orang tua, dan pendidik lainya harus
berusaha meyakinkan mereka, bahwa semua norma iru adalah demi
kebahagiaan mereka. Apabila mereka tetap nekat memperturutkan nafsu
syahwatnya, maka jelas akan merusak masa depan mereka sendiri, masa
depan bangsa dan Negara.
3. Larangan tidur campur laki dan perempuan yang bersaudara bila sudah
bermur 10 tahun, karena pada umur tersebut, anak-anak sudah mulai
timbul nafsu seksualnya, sudah mulai kenal cinta-cintaan. Apabila saudara

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 205


sekandung tersebut dibiarkan tidur bersama, maka dikawatirkan dalam
keadaan tidak sadar saudaranya berbuat tidak senonoh terhadap
saudarinya yang tidur disampingnya, karena dikira kekasihnya. Larangan
ini bisa dikiaskan kepada saudara seibu dan seayah, dan semua keluarga
yang temasuk muhrimnya, termasuk terhadap ayah dengan anak
perawanya dan ibu dengan anak lakilakinya. Peristiwa ayah menzinahi
anak kandung sudah sering terjadi.

B. ETIKA PERGAULAN MUDA MUDI 1. Model Pergaulan Muda Mudi


Masa remaja sering disebut sebagai masa pubertas. Masa pubertas
adalah masa kelenjar-kelenjar seksual seseorang mulai berfungsi dengan baik,
menuju kematangan. Berfungsinya kelenjar-kelenjar tersebut mengakibatkan
seseorang mulai tertarik terhadap lawan jenis. Masa pubertas adalah masa yang
khusus dimana seorang anak merasakan adanya kebutuhan atau keinginan yang
kuat pada lawan jenis atau keinginan yang begitu kuat untuk bercinta, begitu
dalam keinginan seks yang begitu kuat atau hingga pada masa ini mengingat
produksi hormon seks mulai berjalan, yang akiobatnya alat kelamin mulai dapat
difungsikan.
Fase remaja adalah fase terberat, kenapa demikian? karena fase ini
menempatkan remaja pada sisi yang tidak mengenakan. Disatu sisi remaja
menganggap dirinya sudah mampu untuk mengatur dirinya sendiri, tetapi disisi
lain orang tua belum sepenuhnya percaya, karena mereka belum matang,
sehingga mereka tetap diawasi dengan ketat. Hal inilah yang akhirnya
menimbulkan kopnflik antara orang tua dan anak.
Masa remaja dipandang sebagai masa stress, frustasi dan penderitaan,
konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta. Salah satu
perkembangan baru pada usia remaja yang perlu diperhatikan adalah mulai
timbul rasa senang memandang atau bercengkrama dengan lawan jenis, selain
itu pertumbuhan fisik mulai sempurna dan organ seks mulai berfungsi, sehingga
timbl keingian untuk melampiaskan hasrat seksual. Berkaitan dengan organ seks
yang mulai berfungsi dan keinginan untuk melepaskan hasrar seks, remaja
berada pada persimpangan jalan yang berbahaya. Jika remaja tidak mampu
mengendalikan diri, maka mereka akan terjebak dalam perzinahan, perkosaan,
pergaulan bebas, dan ngedrag.

206 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


Bentuk pergaulan muda mudi sekarang yang sangat
menghawatirkan adalah.
a. Nge-Gank
Berkumpulnya seseorang dengan membentuk kelompok sendiri, dengan
criteria tertentu. Macam-macam Gank yang tengah beredar sekarang ini antara
lain Modification Motor Club, Boys Band, Music hous, Brikers, Funk, dan sebagainya.
Gank tersebut tentu memiliki sisi negatif, antara lain adalah:
1) Pergaulan menjadi semakin terbatas
2) Membela teman sendiri walaupun teman tersebut salah
3) Ikut hal-hal yang negatif seperti tawuran, minum-minuman keras dsb
4) Kurang peduli dengan lingkungan di luar Gank sedangkan dari sisi
positifnya antara lain adalah;
1) Membuat hidup lebih kreatif
2) Menolong teman
3) Saling curhat dan menasehati teman yang salah b. Seks Bebas
Seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa biasanya berawal dari
pacaran. Dari niatan pacaran dengan konteks "belajar menarik lawan jenis atau
ditarik lawan jenis" menjadikan seseorang mudah terjerumus dalam seks bebas.
Pacaran menurut sementara mahasiswa dan pelajar merupakan salah satu cara
untuk mengenali calon pasangan, namun pacaran saat ini telah disalahgunakan
untuk melakukan hubungan yang tidak pantas dilakukan yaitu free seks. Seks
bebas dikalangan pelajar dan mahasiswa telah banyak terjadi, terbukti dari
puluhan investigasi dan riset, salah satunya yang dilakukan oleh Iip Wijayanto
dengan Virginity Research-nya yang sempat menghebohkan masyarakat. Iip
wijayanto berkesimpulan 97,05 % mahasiswa di sebuah kota pendidikan sudah
tidak perawan lagi.
Dari penelitian Iip itulah muncul ketakutan para orang tua yang
berencana menguliahkan putra-putrinya di kota tersebut. Bagi masyarakat
awam, berita tersebut tentu menjadi kabar buruk, tapi bagi orang tua yang pintar,
berita tersebut menjadi semacam blessing in disguise (baca; berkah terselubung).
Fenomena pergaulan bebas, khususnya yang berkaitan dengan istilah premarital
intercourse (hubungan seks pranikah) yang merupakan sesuatu yang dianggap
lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang mengalami era
globalisasi. Fenomena seks bebas jika dilihat secara kasat mata tidak banyak,

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 207


akan tetapi apabila dilihat lebih cemat dan mendalam seks bebas sangatlah
mencengangkan.
Abu al-Ghifari dalam buku Pernikahan Dini, Dilema Generasi
Ekstravagansa, mengutip pernyataan dari Romanasari (1996:304) hamper 80%
remaja melakukan seks dengan pacarnya (diluar nikah) dalam jangka kurang
dari satu tahun. Hal ini terjadi karena lemahnya benteng nilai-nilai yang
universal, yaitu nilai agama yang seharusnya menadi alat kontrol bagi para
remaja untuk tidak melakukan seks pranikah. Kemudian para remaja tersebut
terjepit dalam kubangan kehidupan yang justru merayakan kebebasan.
Kebebasan seks tersebut bergumul dengan kebebasan yang lain diantaranya:
mengkonsumsi obat-obat terlarang, terperosok dalam hingar binger musik dan
dunia hiburan, menkonsumsi bacaan yang justru meliarkan fantasi, imajinasi dan
hayalan mereka.

2. Pergaulan melalui Internet


Di era globaisasi ini pergaulan muda mudi memang sudah tidak
mengenal batas, mereka bebas bergaul dengan siapa saja, apalagi muncul media
komunikasi lewat internet. Banyak fasilitas yang ditawarkan oleh internet
diantaranya chatting adalah cara bergaul yang paling digemari oleh muda mudi,
karena dengan chatting kita bisa mengenal orang dimanapun orang itu berada.
Kita seperti berbicara langsung dengan orang yang kita ajak chatting memang hal
yang sangat mengasyikkan, kita bisa lupa waktu dan sangat saying bila harus
meninggalkannya. Hal negatif dari chatting yaitu bila teman chatiting menulis
kalimat yang jorok yang bisa membawa alam pikiran yang tidak-tidak serta
menjurus ke hal-hal negatif. Bila ditanggapi kemungkinan besar akan terbawa ke
arus yang lebih dalam. Dampak positifnya, bisa mengenal orang-orang baru dari
segala daerah bahkan dari Negara lain, dan bisa menambah pengalaman dan
banyak teman.

3. Etika pergaulan muda mudi (Pacaran) dalam Islam


Pergaulan muda mudi saat ini biasanya dibumbui dengan istilah
"pacaran". Apakah pacaran itu? dan mengapa para agamawan dan moralis
menentang praktek pacaran sebagai jembatan menuju pernikahan? menurut Iip
Wijayanto, pacaran adalah sebuah hubungan yang dibangun atas dasar

208 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


komitmen, berangkat dari rasa "cinta" untuk memiliki (memonopoli) seluruh
potensi yang dimiliki pasangannya, sambil berproses menuju ke level yang lebih
serius. Serius menikah atau serius untuk "berpisah". Sebenarnya tidak ada yang
terlalu positif dalam konsep standar pacaran, selain semangat dari pacaran itu
sendiri yang mayoritas ditujukan dalam rangka mengeksploitasi pasangannya
masing-masing. Ini adalah realita, disisi lain bisa jadi pasangannya tidak mau
mengekploitasi secara berlebihan, akan tetapi justru si pelaku minta untuk
dieksploitasi karena "menikmati" eksploitasi tersebut.
Benarkah yang mereka lakukan? menurut Iip Wijayanto, yang mereka
lakukan sangat keliru, karena tanpa ikatan yang sah, maka komitmen itu sama
sekali tidak bernilai. Artinya si anak mutlak hak dari orang tuanya, berarti si anak
wajib mempertanggung jawabkan, berkonsultasi, dan menentukan pilihan
hidupnya bersama orang tuanya, bukan menerima "kekangan" dari pacarnya.
Hal ini berbeda dengan bangunan mahligai pernikahan karena ada aturan yang
harus dihormati (aqad) oleh orang melakukannya dan telah dipersaksikan. Ini
adalah tanggung jawab, berbeda dengan semangat pacaran tadi.
Dikalangan tertentu pacaran tidak dikenal, pun mereka tahu tetapi
cenderung menghindari karena menganggap gaya itu tidak lagi mutlak
dilakukan pada masa pranikah. Selain itu pacaran dinilai tidak sesuai dengan
norma agama, ---ini terbukti dari pengalaman sepanjang sejarah keberadaan
manusia bahwa pacaran cenderung kelewat batas bahkan tidak sedikit yang
amoral--- juga berkembangnya pemikiran bahwa satu kesiasiaan saja berjalan
bersama orang yang belum tentu 100% menjadi pasangannya. Bagaimana
mungkin bisa menyakinkan bahwa orang yang saat ini berjalan bersamanya
memiliki komitmen untuk tetap "setia" sampai kejenjang pernikahan. Banyak
terjadi setelah berpacaran sekian tahun, kemudian putus, la wong pacaran itu
hanya sebatas curhat-curhatan dan take and give yang tak berdasar, tidak
meningkat pada satu tindakan gentle untuk menikah, atau setidaknya
mengajukan surat lamaran ke orang tua si gadis. Berbagai dalih dan argumentasi
pun meluncur untuk mengkamuflasekan ketidak-gentle-annya itu, yang
kemudian semua orang pun tahu itu Cuma lips service dari orang yang tidak
benar-benar dewasa.
Oleh karena banyak terdapat kesia-siaan dalam pacaran tersebut, maka
Islam tidak mengenal pacaran ala anak muda-mudi saat ini, yang mengarah pada

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 209


perzinahan atau eksploitasi seks. Islam mengenal "pacaran" dalam kemasan yang
berbeda. Ustaz Ihsan Tanjung, seorang konsultan keluarga sakinah di situs "era
muslim" sering mengatakan bahwa pacaran akronim dari "pakai cara nikah".
Islam hanya mengajarkan bentuk curahan kasih sayang dan cinta itu setelah
melalui satu proses sakral yakni pernikahan. Sementara proses pranikah yang
dilakukan untuk saling mnegenal antara calon pria dan wanita biasa disebut
ta'arruf (perkenalan). Yang penting dari ta'aruf adalah saling mengenal antara
kedua belah pihak, saling memberitahu keadaan keluarga masing-masing, saling
memberitahu harapan dan prinsip hidup, saling mengungkapkan apa yang
disukai dan tidak disukai. Kaidah yang perlu dijaga dalam proses ini antara lain
nondefensif, tidak bereaksi berlebihan pada feedback negatif, sertaq terbuka
untuk mencoba pengalaman baru, jujur, tidak curang, berbohong dan punya
sense of integrity yang kuat, menghormati batas-batas, prioritas dan tujuan calon
pasangan yang menyangkut diri mereka maupun tidak, pengertian, empati dan
tidak mengubah pasangannya sedemikian rupa serta tidak mengontrol,
manifulatif, apalagi mengancam pasangan dalam bentuk apapun.
Proses ta'aruf dalam pergaulan muda mudi tidak melibatkan orang tua
agar tidak menimbulkan kesan "harga jadi" dan tidak ada lagi proses tawar
menawar, sehingga jikapun gagal/batal tidak ada konsekwensi apaapa. Jika
sudah sampai menemui orang tua berarti secara samar ataupun terang-terangan
seorang pria sudah menunjukkan niat untuk memperistri si wanita. Yang perlu
jadi ingatan, seringkali pasangan-pasangan itu terjebak dalam aktifitas pacaran
yang terbungkus sampul ta'aruf. Apa namanya bukan pacaran kalau ada
rutinitas kunjungan yang melegitimasi silat alrahim dengan embel-embel 'ingin
lebih kenal'. Apalagi antara pria dan wanita terjadi komitmen untuk hidup
bersama, yang pada akhirnya memuculkan batas-batas pada pergaulan pria dan
wanita tersebut. Ta'aruf bisa diartikan "berteman" yang berusaha mengenal
teman secara seksama atau mendalam. Dalam tahap pertemanan tersebut pria
dan wanita bisa saling mengukur apakah cocok satu sama lain atau tidak. Dalam
proses ta'aruf tidak ada komitmen untuk hidup bersama dikemudian hari, atau
rencana-rencana dalam rumah tangga. Ta'aruf merupakan pengenalan karakter
masing-masing. Masing-masing pihak masih harus sama-sama membuka
option/kemungkinan untuk terus ke khitbah atau berhenti/batal.

210 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


Jika sudah menetapkan pilihan dan mantap atas pilihan masingmasing
barulah kemudian melibatkan orang tua dalam proses selanjutnya, lamaran
(khitbah). Untuk khitbah tidak ada aturan yang kaku, yang penting dalam masa
penjajagan keduanya berkenalan dan mengungkap visi, misi dalam pernikahan.
Tentunya khitbah harus tetap mengikuti aturan pergaulan Islami, tidak
berkhalwat, tidak mengumbar pandangan, tidak menimbulkan zina mata, hati
apalagi hubungan badan.
Bagaimana cara menghidari pergaulan yang mengarah pada pergaulan
maksiat menuju pergaulan syar'i? Islam mengajarkan kepada kita bahwa bergaul
dengan lawan jenis termasuk sunnatullah, karena Allah menciptakan laki dan
perempuan untuk saling mengenal, akan bernilai ibadah, jika pergaulan
mengantarkan pada kebaikan. Pergaulan syar'I adalah pergaulan yang
melahirkan keimanan dan amal shaleh serta menggunakan etika islami.
a. Menundukkan Pandangan
Menundukkan pandangan disini mempunyai dua arti, yaitu
pertama, melihat dan menikamati bagian-bagian tubuh yang menarik dan
menggairahkan nafsu birahi, kedua, pandangan batin, yaitu syahwat yang
timbul dalam hati untuk mengadakan seksual atau perbuatan lain yang
erujuk pada perbuatan maksiat setelah melihat lawan jenis, sebagaimana
dalam Quran: Al-Nur:30-31.
b. Berduaan dengan Bukan Mahrom di Tempat Sepi
Islam sebagai rahmatan li al-alamin, sangat arif dalam mengatur
hubungan antara laki-laki dengan perempuan, jangan berzina, mendekatinya
saja dilarang, sebagaimana firman Allah dalam QS:AlIsra':53. Dan janganlah
kamu mendekati zina, sesungguhnya itu suatu perbuatan keji dan jalan yang
buruk. Sabda Rasulullah s.a.w "janganlah seorang laki-laki dengan
seorang perempaun yang tidak halal baginya kecuali muhrimnya, karena yang
ketiganya adalah setan" (HR: Bukhori). Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya
Rasulullah bersabda janganlah kalian bersunyi-sunyi dengan perempuan yanh
bukan muhrim, kecuali disertai muhrimnya. (HR:
Bukhari dan Muslim)
c. Berkhalwat
Khalwat adalah berdua-duaan antara pria dan wnita yang tidak
punya hubungan suami isteri dan tidak pula muhrimnya tanpa ada orang

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 211


ketiga. Rasulullah melarang pria dan wanita berkhalqat baik ditempat sepi
maupun umum. Kenapa Rasulullah sangat melarang berkhalwat? Karena
syaitan akan selalu mencari peluang dan memanfaatkan segala kesempatan
untuk menjerumuskan ana cucu Adam. Jika dua manusia berlainan jenis
yang secara fitrah saling memiliki keterkaitan seksual, dan lupa kepada
Allah Swt., maka setan akan menggoda untuk berbuat zina, tapi jika
terdapat orang ketiga yang mengingatkannya, maka insyaallah tidak terjadi
perzinahan.
Oleh karena itu ada beberapa adab yang mengatur hubungan laki
dan perempuan, agar tidak terjadi perbuatan zina atau maksiat, antara lain,
1) pembatasan tempat pertemuan, 2) menundukkan pandangan, 3) tidak
berjabatan tangan dengan wanita yang membuat birahi naik, 4)
menghindari situasi yang berdesak-desakkan, 5) tidak berkhalwat, 6)
menghindari kencan yang lama, karena hal tersebut dapat melemahkan rasa
malu dan keteguhan jiwa. Sedangkan adab bagi wanita antara lain, 1) tidak
berpakaian yang seronok atau mempertontonkan aurat, berpakaianlah yang
sopan sesuai dengan syariat, atau paling tidak budaya timur, 2) membatasi
diri ketika berbicara, artinya jangan berbicara hal-hal yang menggairahkan
laki, atau mengeluarkan suara-suara yang membangkitkan birahi, 3)
berwibawa ketika beraktifitas.

4. Persiapan Nikah
Kenyataan bahwa perkawinan dalam Islam disebut ikatan,
menunjukkan bahwa sebelum nikah, kedua belah pihak harus merasa senang
bahwa masing-masing akan mendapat jodoh yang diidam-idamkan untuk
seumur hidup. Allah berfirman "kawinilah wanita yang agaknya baik bagi kamu"
(QS: 4:3). Diriwayatkan bahwa nabi Muhammad memberi perintah yang intinya
sebagai berikut: "jika salah seorang diantara kamu mengajukan pinangan untuk
menikah dengan seorang wanita, lihatlah lebih dahulu apa yang menariknya
untuk menikah dengan wanita tersebut".
Kitab Bukhari mencamtumkan pula sebuah bab yang berjudul: "melihat
wanita sebelum dinikahi". Kitab Muslim juga mencantumkan bab seperti itu: "seorang
laki-laki yang berniat kawin dengan seorang wanita hendaklah melihat muka dan
tangannya". Dalam bab itu diuraikan peristiwa seorang sahabat yang

212 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


menghadap Nabi dan menerangkan bahwa ia hendak menikah dengan seorang
wanita dari keturunan Anshar; Nabi Muhammad bertanya ; "apakah engkau telah
melihatnya?" Tatkala dijawab bahwa ia belum melihatnya, Nabi bersabda:
"pergilah dan lihatlah dia, karena dalam penglihatan sebagian sahabat Anshar terdapat
kekurangan". Dalam hadis lain disebutkan bahwa dengan melihat sang calon
maka akan menyebabkan timbulnya kecintaan dan kemesraan yang lebih besar
kedua belah pihak.
Hampir semua ulama fiiqih sependapat bahwa pihak laki-laki yang
hendak menikah dengan seorang wanita, harus melakukan istihbab
(pemeriksaan) lebih dahulu. Dan oleh karena ikatan itu dilakukan atas dasar
persetujuan kedua belah pihak, yaitu pihak calon mempelai laki-laki dan
mempelai perempuan, maka calon mempelai perempuan pun berhak untuk
merasa puas sebelum ia memberikan persetujuannya. Persetujuan antara pihak
calon mempelai pria dan wanita adalah penting sekali bagi perkawinan, dan ini
diuraikan seterang-seterangnya dalam Quran sebagai berikut: "Janganlah kamu
menghalang-halangi mereka untuk menikah dengan suami mereka jika ada
kesepakatan di antara mereka dengan cara yang baik (QS:2:232).

5. Ciri-Ciri Calon Istri/Suami yang Baik


Untuk mengetahui baik atau tidaknya calon istri atau suami itu dapat
dilihat dari keturunannya, apakah ia dari keturunan orang baik-baik, dapat
dilihat dari agamanya dan usaha serta latar belakang pendidikan dan
lingkungannya. Hal semacam ini tercermin dalam hadis Nabi sebagai berikut:
(‫ لمالها ولحسابها ولجمالها ولدينها ف اظفر بذات لا دين ت ربت يد اك )متفق عل يه‬: ‫ تنكح لا مراة لا ربع‬: ‫عن با ي هريرة رضي هال عنه عن لا نبي ص ل عم ق ال‬
Artinya: “dari Abi Hurairah r.a. dari nab s.a.w. beliau bersabda: seorang wanita
dikawini karena empat factor, karena hartanya, karena keturunannya,
karena kecantikannya dan karena agamanya, maka pilihlah yang
beragama, niscaya engkau bahagia. (Muttafaqun alaihi).

Maksudnya, bahwa seorang laki-laki merasa tertarik untuk menikahi


wanita itu karena salah satu dari empat factor tersebut. Dari keempat faktor itu
Rasulullah menyuruh kita untuk memilih calon yang beragama. Pengertian
beragama disini bukan sekedar Islam turunan/Islam KTP, tetapi beragama Islam

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 213


yang tercakup dalam ciri-ciri orang yang beragamadengan baik yaitu: 1)
keimanan dan aqidahnya benar dan baik, 2) ibadahnya benar dan baik, 3)
akhlaknya benar dan baik, yang berarti patuh kepada Allah dan rasul menjaga
dan menghormati suaminya/istrinya, menjaga kehormatana dirinya dikala
suami/istri tidak ada disampingnya.
Bagaimana kita mengetahui calon istri kita baik atau buruk, rasulullahtelah
memberikan ciri-ciri wanita yang baik, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu
Hurairah berikut ini : Dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia berkata: pernah ditanya orang,
wahai Rasulullah .manakah diantara wanita-wanita yang baik, beliau menjawab : ialah
wanita yang menyenangkan suaminya bila suami memandang kepadanya, dia patuh
kepada suaminya bila suaminya menginkan berjimak, tidak menyalahi kehendak
suaminya terhadap penggunaan hartanya dalam hal-hal yang tidak dia sukai (HR. Al-
Nasai)
Hadis diatas menjelaskan tentang ciri-ciri wanita yang shaleh atau
baik dijadikan calon istri, yaitu:
1. Menyenangkan hati suami bila suaminya memandangnya. Ini ada beberapa
kemungkinan; mungkin karena cantiknya, tidak bermuka muram dan tidak
selalu berkerut dahi dikala memandangnya, karena kalau sampai terjadi
sikap sebaliknya, maka jelas tidak menyenangkan hati suaminya walaupun
isitrinya cantik.
2. Mematuhi semua perintah suaminya selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
3. Tidak membangkan terhadap suaminya, bila diajak untuk berbuat baik, dan
memenuhi kewajiban sebagai istri dalam berumah tangga, dan menjaga
kehormatana dirinya dan suaminya serta keluarga.
4. Tidak menentang suaminya dalam penggunaan hartanya dalam hal-hal
yang tidak disukai oleh suaminya. Dalam hal ini dia tidak boros dan
mempergunakannya untuk hal-hal yang dilarang atau mengeluarkan harta
tanpa kompromi dengan suami.
5. Selalu menjaaga kelurusan jalan hidup suaminya, misalnya selalu bertanya
kepada suaminya, darimanakah rizki yang diperoleh suami, jika uang
tersebut haram, istri yang baik akan menengur tindakan suaminya dengan
tegas, bukan menyuruh suaminya berbuat maksiat seperti tindakan
penyelewengan/korupsi, mencuri dan lain sebagainya.

214 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


Islam menganjurkan untuk menitik beratkan penilaian semua faktor
diatas dari sudut agama; misalnya soal harta, bukan hanya dilihat kekayaannya,
akan tetapi harus dilihat dari sudut boros tidaknya membelanjakannya, halal dan
tidaknya cara memperoleh harta itu, sadar dan tidak mengeluarkan zakat
hartanya dansegala kewajiban yang bertalian dengan harta itu. Jadi jangan asal
tertarik karena terpesona dengan kekayaannya saja tanpa memperhatikan
kesadaran agamanya. Kalau tidak, makabesar kemungkinan ia sombing dan
zalim setelah berumah tangga. Inilah yang dimaksud dalam hadis rasulullah
sebagai berikut: Rasulullah bersabda: Janganlah kamu kawini wanita itu karena
kecantikannya, sebab mungkin kecantikannya itu menjadikan dia hina; dan janganlah
kamu kawini karena kekayaannya, sebab mungkin kekayaannya itu menjadikan dia zalim.
Kawinilah dia karena agamanya (HR. Tabrani).
Dalam hadis tersebut terdapat larangan mengawini wanita karena
semata-mata cantiknya, akan tetapi harus diperhatikan juga asal turunannya;
apakah dari turunan orang yang taat beragama atau tidak? apakah lingkungan
pergaulan orang baik-baik atau tidak? karena banyak wanita yang cantiki
ditempat lokalisasi wanita pelacur, atau ternyata wanita panggilan.
Disinilah pentingya menitik beratkan penilaian segi keagamaan seorang
calon suami atau istri, karena dengan menitik beratkansegi agamanya dalam
pengertian luas kita mendapatkan dua keuntungan sekaligus:
a. kita akan selalu mendapatkan kualitas manusia sesuai dengan tuntutan
Allah Swt. dan rasulnya, karena yang dinilai baik oleh Allah dan rasulnya
pasti akan baik akibatnya utuk semua orang walaupun dirasa kurang baik
oleh sementara orang.
b. Dengan mengikuti petunjuk Allah dan raulnya kita termasuk orang yang
bertaqwa kepada Allah, dalam pengertian suci dan bersih dari segala noda
dan dosa. Allah telah menjanjikan bahwa barang siapa yang bertaqwa
kepadaNya maka dia akan memebrikan jalan keluar dan rizki dari jalan
yang diluar dugaannya.
Kebahagiaan hidup berumah tangga itu bukan ditentukan oleh
kecantikan dan kekayaan isteri atau ketampanan suami tapi karena rahmat Allah
jua. Inilah yang dimaksud oleh sabda rasulullah;
Barangsiapa yang mengawini wanita karena hartnya dan kecantikannya
niscaya ia tidak akan bahagia karena hartanya dan kecantikana. dan sebaliknya

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 215


barangsiapa yang mengawininya (wanita) karena agamanya, niscaya Allah akan
mengaruniakan hartanya dan kecantikanya (HR.
Tabrani dari Anas).
6. Ciri Wanita yang Tidak Baik
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa dikalangan orang Arab menilai ada
beberapa ciri lain yang tidak baik bagi wanita selain dari kebalikan ciri-ciri
diatas. Ciri-ciri wanita yang tidak baik untuk dikawini ialah:
1. Wanita yang ananah yaitu wanita setiap saat suka mengeluh. Sakit sedikit
sudah mengeluh; kesulitan sedikit sudah mengeluh dan kurang rezeki
sedikit, ia tidak sabar. Wanita yang mau hidup enak dan mewah saja, yang
tidak tabah menghadapi cobaan tidak baik dikawini, karena kelak akan
dapat merusak kebahagiaan dalam rumah tangga.
2. Wanita yang mananah yaitu wanita suka menyebut-nyebut kebaikannya
kepada suaminya atau kepada orang lain yang pernah meneriama kebaikannya.
Suka menonjolkan jasa baik kepada suaminya. Orang seperti ini akan mudah
pula membesar-besarkan kejelekan suaminya, sehingga sedikit saja suaminya
berbuat kesalahan, hilanglah segala kebaikannya.
3. Wanita yang hananah yaitu wanita yang suka menyatakan kasih sayangnya
kepada bekas kekasihnya dahulu. Jadi wanita yang selalu menyatakan
nostalgia terhadap bekas kekasihnya termasuk wanita yang tidak baik,
sebaliknya laki-laki (suami), bisa di kiaskan kepada wanita itu. Kedua belah
pihak tidak boleh membandingkan istrinya atau suaminya dengan bekas
kekasihnya, karena hal itu jelas akan menyinggung perasaan. Misalnya si
isteri mengatakan: "bekas kekasihku dulu sangat tampan, sangat baik, kaya,
melebihi engkau dalam segala segi. Ucapan-ucapan semacam itu jelas
menyinggung perasaan, bisa mengakibatkan timbul rasa cemburu bahkan
berantakan rumah tangga.
4. Wanita yang hadaqah yaitu wanita yang suka melemparkan pandangan
matanya kepada sesuatu, lalu memaksa suaminya untuk membeli sesuatu
tersebut. Sifat semacam itu tentu memberatkan suami, lebihlebih bila sang
suami termasuk orang yang tidak mampu atau berpenghasilan rendah. Sang
suami bisa berbuat sesuatu diluar kemauannya karena desakan istri, dan
mendorong suami untuk korupsi atau menyalahgunakan jabatan. Wanita
secama itu jelas tidak mau tau dari mana suaminya mendapatkan uang,

216 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


apakah dari jalan yang halal atau haram. Yang penting segala keinginannya
harus dipenuhi.
5. Wanita yang Mubariyah yaitu wanita yang suka membanggakan diri tentang
kecantikan rupanya. Semua orang dicacatinya, tidak ada dinilainya baik,
karena dia merasa hanya dialah yang paling baik. Orang semcam ini tida
akan mamu mengaku salah dihadapan suaminya, apalagi terhadap
tetangganya. Orang semacam ini sulit untuk hidup rukun dengan
tetangganya dan suaminya.
6. Wanita ahirah yaitu wanita suka berbuat serong dengan laki-laki lain dikala
suaminya tidak ada, mudah menjual kehormatan dirinya karena hanya
bujukan dan rayuan sedikit saja.
Semua sifat tersebut merupakan perincian dari akhlak jelek yang jelas
tercela dalam ajaran Islam. Disinilah pentingya menitik beratkan penilaian segi
keagamaan seorang calon suami atau istri

C. MUNAKAHAT 1. Konsep Nikah


Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha- yankihu- nikaahan yang
mempunyai dua arti yakni: pertama berarti al-jam’u yang bermakna berkumpul,
bersebadan atau bersatu; kedua berarti al-wath’u yang bermakna bersetubuh,
atau bersenggama. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah akad atau
perjanjian yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan untuk
memenuhi hajat biologisnya sehingga antara keduanya (suami dan isteri)
mempunyai hak dan kewajiban. Pada hakikatnya pernikahan merupakan suatu
bentuk perjanjian yang harus dipertanggungjawabkan baik terhadap sesama
manusia maupun terhadap Allah Swt. Perjanjian itu muncul dari lubuk hati yang
tulus dan ikhlas, suka rela untuk mewujudkan kebahagiaan hidup yang hakiki,
yakni membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmat di
bawah naungan ridha Allah Swt.
Perjanjian tersebut bukan sekedar perjanjian biasa, melainkan suatu
perjanjian suci, keduanya dihubungkan atau disatukan menjadi pasangan suami
isteri dengan mengatas namakan Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam
surat Al-Nisak ayat 1 yang berbunyi:

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 217


r ~
َ َ َ َ َ َ َ ََ َ rَ
َ ‫نف‬ 9
َ‫ ك م ل َ َ خل ق‬9 ََ َ َ
‫سو‬ o ‫يأََيها ٱلنا‬
‫من‬ ‫كم‬ ‫ي‬ ‫ٱ رب‬
َ‫َح‬ َ
َ r, ‫س ٱتقوا‬
‫َدة‬
َ َ ‫َ َ كث‬ َ َ َ َ ََ َ
َ ‫َ ون‬,َ ‫نل‬
‫سَا‬ ‫ثَ َ َم‬ ‫و خ ل قَ َ جََ ها وب‬
ََ ‫يا‬ َ َ 9 ‫َ َ زو‬
‫ء‬ ‫هما ر َجَا‬ ‫َم نه‬
ََ o
َ َ ‫ا‬

َ
َ
‫َه َۦوٱلرحام‬ ‫ٱللَََ ٱلَََ ي تسََاءلون ب‬ ‫وٱتقوا‬
‫إن‬

َ َََ ‫ك‬ َ َ َ
١ ‫ي ك م ي با‬ ََ َ‫ٱلل‬
‫ن‬
َ-
‫رقع ل‬ َ

Artinya: “Hai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari jenis yang sama, dan dari jenis itu pula Allah menciptakan
pasanganmu(isterimu), dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan nama-Nya kamu saling membutuhkan dan saling meminta satu
sama lain. Dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesunguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS 4: 1)

218 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


َ
َ ‫ءايت ََ َه‬
‫م‬-َ‫ك‬um ay‫ق ل‬at 21 yang berbunyi:‫َ َ خل‬ ‫و َم َنمن‬
َ,
‫ۦأن‬
9
َ 9َ َ َ َ َ
Dan juga firman Allah dalam ‫سَكنوا‬ ‫م‬ ‫ف َس ك‬ ‫من ََن أ ن‬
َ rَ َ َ َ
‫أ زو ج َا لت‬

َ
‫ َ إلَ ََها‬surat Al

َ َ, َ َ َ َ َ َ َ َ ََ ََ َ
r
َ ََ‫ف ذ لك ت‬ c َ‫و ورحَةَن‬
‫عل بن‬ ‫و ج‬
َ
ََ&
‫َي‬ ََ ََ
َ ‫كم‬
o ‫د ة‬
‫ل‬ َ ‫م‬
َ
‫إ‬ َ ‫َ ي‬.
٠١ ‫م يتفكرون‬, ‫لقَو‬
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
umtukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 219


dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi orang yang berpikir” (QS 30: 21).

Juga Hadis Nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan Imam Bukhari Nikah
itu sunnahku (jalan hidupku), barang siapa membenci pernikahan, maka ia
bukan termasuk golongan/umatku (HR Bukhari).

2. Hukum Pernikahan
Hukum dasar/asal hukum nikah adalah mubah atau boleh. Hukum dasar
ini dapat berubah sesuai dengan keadaan dan situasi orang yang
melaksanakannya. Oleh karena itu hukum dasar dapat berubah menjadi sunnat,
makruh, haram, bahkan dapat berubah menjadi wajib.
Hukum nikah dapat berubah menjadi makruh apabila orang yang
melaksanakannya belum mempunyai bekal materi sama sekali, kecuali hanyalah
berbekal kemampuan pisik belaka. Hukum nikah dapat berubah menjadi haram,
apabila orang yang melaksanakannya bertujuan untuk menguasai dan menyakiti
baik pisik maupun mental dari calon pasangannya pasangannya. Hukum nikah
dapat berubah menjadi wajib, apabila orang yang melaksanakannya sudah
mempunyai bekal yang cukup, dan mereka dikhawatirkan terjerumus ke dalam
perzinahan. Umumnya atau kebanyakan hukum nikah itu berubah menjadi
sunnat, apabila orang yang melaksanakannya sudah mempunyai bekal yang
cukup, dan mereka bertujuan untuk mengikuti danmelestarikan sunnah nabi
Muhammad saw.

3. Tujuan Pernikahan
Pernikahan dalam ajaran Islam berada pada tempat yang tinggi, suci, dan
mulia. Oleh karena itu Islam menganjurkan agar pernikahan itu dipersiapkan
secara matang dan sempurna, sebab pernikahan bukan sekedar mengesahkan
hubungan badan antara laki-laki dan perempuan saja, atau hanya untuk
memuaskan hasrat nafsu biologis belaka, namun ia memiliki arti yang luas, tinggi
dan mulia. Dari perkawinan yang sah akan lahir generasi penerus yang shaleh
dan shalehah, yang mampu berbakti kepada kedua orang tuanya, bangsa,
Negara, dan agamanya.

220 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


Ajaran Islam membagi tujuan melaksanakan pernikahan itu kepada dua,
yakni tujuan pokok/primer, dan tujuan antara atau sekunder. Adapun tujuan
pokok dari pernikahan adalah untuk memperoleh keturunan yang shaleh
maupun shalehah. Keturunan merupakan dambaan atau idaman bagi setiap
suami isteri. Anak merupakan investasi dunia dan akhirat yang patut
diperjuangkan dan dilertarikan. Oleh karena itu bagi pasangan suami-isteri yang
sulit memperoleh tujuan utama ini, hendaknya senantiasa memohon kepada
Allah agar berkenan memberikan anamat, berupa anak keturunan yang
menyenangkan hati, pelipur lara baik dalam suka maupun duka. Hal

َ َ َ 9 9 َ َ َ
‫ ا َ َمن‬-‫لن‬Fur’qan ayat 74 yang ‫وٱل ََين قول ون ربنا‬
berbunyi: ‫هب‬ ‫ي‬

َ َ َ َ 9 َ r َ َ َ َ
sebagaimana firman ‫ا‬ ‫ع لن‬ َ‫ع‬ ‫أ زوج َنا و ذ‬
‫ي‬9 َ 9 َr َ rr َ َ
َ
‫ وٱج‬ini ‫َة أ‬ ‫ر‬ ‫ريَتََََ ََ َنا ق‬
‫َن‬
Allah dalam surat Al

” َ
َ َ r
‫ل َلَ م َتق َن إ َم‬
‫ا ما‬
١٤
Artinya: “Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami isteri-isteri, anak, dan
cucu (keturunan) yang akan menjadi cahaya mata (pelipur lara)” (QS
25: 74).

Demikian juga tujuan pokok dari pernikahan ini dipertegas oleh sabda
Nabi Muhammad saw yang
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 221
“Nikahilah perempuan yang engkau cintai dan yang dapa memberikan
keturunan, karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku di

222 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


akhirat” (HR Muslim).

Adapun tujuan antara atau tujuan sekusder dari pernikahan itu antara
lain:
a. Untuk memnuhi hasrat naluriah yakni kebutuhan biologis secara syah.
Sudah menjadi fitrah manusia untuk tertarik dan saling mencintai
pada lawan jenis dan mempunyai keinginan yang kuat untuk mengadakan
hubungan biologis. Karena itu Islam menganjurkan untuk cepat-cepat

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 223


menikah bagi laki-laki atau perempuan yang sudah mampu (baik fisik
maupun materi) untuk menikah, dengan demikian apa yang menjadi
kebutuhan atau hasrat dan keinginannya akan terpenuhi atau tersalurkan
secara syah dan halal. Allah mengibaratkan hubungan keduanya(suami-
isteri) bagaikan selimut atau pakaian yang saling memberi kehangatan, dan
saling menutupi cacat dan kekurangan di antara keduanya. Hal ini
sebagaimana firman r A- llah dalam surat Al Ba qarah ayat 187 yang
َ َ َ َ َ َ َ 9
َ‫صَا َم ٱل ََرفثَ إ َل‬ ‫ل‬‫ٱ‬ ‫ة‬ ‫ل‬ َ
َ َ ‫ل‬ َ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫ل‬َ ‫أ َح‬
َ َ r ‫ي‬ َ
berbunyi: ‫َ َ َ ن‬ َ ‫َم‬
o
َ َ o َ 9 َ, َ ََ
َ
‫س ا ئ ك َم َ ََ هن َ َلَاس‬
َ 9َ ََ
‫ل ك م و أن ت م‬
َ 9 َ َ َ َ َ َ
َ
َ
‫تَ َتاَن‬ ‫كن‬9 ََ‫س علمَ ٱللَ ََ أنك‬ ‫ا‬ ‫َل‬
‫ون‬9 ‫م َت‬ َ َ ََr
‫م‬ َ ‫َه‬, َ ‫ل‬
‫ن‬
َ 9
َ 9 r َ َ َ َ َ َ َ َ َ 9َ
‫بشَ َ ََو‬ ‫فٱ ل‬ ‫عَ ل وعَفا عن‬ ‫أن ف ك فتاب‬
› -
ََ َ ‫ك َم‬
‫ هن‬9 r ‫ك‬
َ
َ
‫م‬
‫ـن‬ o
‫م‬ َ َ
224 | PERGAULAN DALAM ISLAM |
‫َ‬ ‫َ‬ ‫س‬

‫َ‬ ‫َ‬
‫ما ك تب ٱلل َََ لكَم وكَوا‬ ‫وٱبتغوا‬
‫وٱشَبوا‬

‫| ‪| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM‬‬ ‫‪225‬‬


‫َ لَب ي ض َ َ َ َ َ‬ ‫َ َ َ‪9‬‬ ‫َ ‪َ َ r‬‬
‫لَ َ‬ ‫ك مل ََ ي‬ ‫حت َ ََ ََ ي تَ ب‬
‫َ‬ ‫من ٱ‬ ‫‪r‬‬
‫يط‬ ‫‪9‬‬ ‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ط ٱ‬ ‫ٱنل‬
‫َ‬ ‫َ‬ ‫َ‬
‫ٱلصيام إ َلَ‬
‫ٱلسو َد َ َمن ٱلفج َر ََ ثم أتمَوا‬
‫ٱل ََل ‪ َ ََ,‬ولَ‬
‫َ ‪َ 9 r‬‬ ‫‪9‬‬ ‫‪9 َ 9 r َ 9‬‬
‫تب َشَ َ ََو هن وأن ت ‪َr‬م عكَ َ فون ف ََ‬
‫َ ‪َ,‬‬ ‫َ‬
‫ٱل َمَسَ َج َد ََ‬
‫‪9‬‬
‫َا ََ َ يب ين ٱللَََ‬ ‫ت َلَك حدود ٱللََ ََ فل ََ تقربوه‬
‫كذل ك‬
‫‪rr‬‬ ‫ََ‬
‫ءاي تََََ ََ َه‬
‫‪r‬‬
‫َ َََ ‪َ 9‬‬ ‫َ‬
‫‪r‬‬
‫َ‬
‫ن َاس ل ن قو ‪١٢١‬‬ ‫ل ‪َ,‬ل‬
‫‪- r‬‬ ‫ل عَ‬
‫ت‬
‫َي‬
‫‪9‬ه َ‬
‫م‬

‫‪Artinya: “…mereka (isteri-isteri) itu pakaian bagimu (suami), dan kamu‬‬


‫‪(suami) adalah pakaian bagi mereka(isterimu)” (QS 2: 187).‬‬

‫‪226‬‬ ‫| ‪| PERGAULAN DALAM ISLAM‬‬


b. Menjaga manusia dari kerusakan dan kejahatan.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi nafsu biologis atau
nafsu seksual. Nafsu biologis tersebut harus disalurkan, diarahkan, dan
dikendalikan, agar nafsu tersebut dapat bermanfaat bagi dirinya,
keluarganya, dan masyarakatnya. Tanpa adanya upaya untuk menyalurkan,
mengarahkan, dan mengenmdalikan, maka manusia akan rusak, karena
nafsu biologis yang tidak terarah dan tidak terkendali dapat menjadikan
manusia gelap mata dan lupa terhadap aturan, baik aturan agama maupun
aturan Negara, dan menjadikan mereka terjerumus dalam perbuatan
maksiat. Alquran surat Al-Nisak ayat 28 telah mengingatkan bahwa
manusia dijadikan oleh Allah bersifat lemah, yakni lemah dalam
mengandalikan nafsu biologisnya ketika berhadapan dengan lawan
jenisnya.
c. Membentuk keluarga atau rumah tangga dan menumbuhkan semangat
berusaha untuk memperoleh rezeki.
Ikatan pernikahan dalam membentuk keluarga atau rumahtangga
merupakan ikatan yang paling teguh dan kuat. Hal ini dikarenakan ikatan
tersebut terbentuk berdasarkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang yang tulus
ikhlas tanpa pamrih antar suami dan isteri bahkan pasangan yang terbentuk
dengan ikatan yang kokoh ini akan saling memberi dan menerima tanpa
harus diminta. Ikatan perkawinan yang semacam ini akan menumbuhkan
keinginan yang kuat dari para anggota keluarganya untuk berupaya dan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (mencari rezeki) sesuai
dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. Hal ini sebagaimana
firman Allah dalam surat Al-Nur ayat 32 yang berbunyi:
َ َ
‫عبا كم‬ ‫ٱليمََ َ وٱلصَل ح ََين‬ ‫وأن َكح‬
‫َمن‬, َ ‫َمن‬,
َ, ‫كم‬ o ‫وا‬
‫د‬
o
َ َ َ
َ َََ‫ََم ٱلل‬ ‫فقراء يغن َه‬ ‫وَإمائ كَم إ َن يك ˚ََونوا‬
‫َمن‬,
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 227
‫فضَل َه ََ َۦ‬

228 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


َ َ َ َ َ َ ‫وٱل‬
٣٠ ‫عل م‬, ‫س‬ ََ َ ‫ل‬
r ‫و‬
‫َع‬

Artinya: “Dan nikahilah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orangorang
yang layak dinikahi dari hamba-hamba sahayamu (baik laki- laki maupun
perempuan). Jika kamu miskin Allah akan mencukupkan

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 229


(memberi rezeki) mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas
(Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS 24: 32).

4. Hikmah Pernikahan
Allah menciptakan makhluk di dunia ini berpasang-pasangan,
menjadikannya manusia laki-laki dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan
betina, begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya.
Hikmahnya ialah agar supaya manusia itu hidup berpasangpasangan,
hidup bersuami-isteri, membangun dan membentuk rumah tangga yang damai
tenteram, teratur yang dilandasai dengan cinta kasih sayang di antara keduanya.
Untuk itu haruslah diadakan suatu ikatan dan pertalian yang kokokh, kuat dan
tidak mudah putus dan diputuskan, yakni ikatan akad nikah atau ijab qabul
dalam perkawinan.
Bila akad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji
dihadapan Allah dan di hadapan manusia bahwa mereka bersedia membangun
dan membentuk suatu rumah tangga yang harmonis, damai dan teratur; mereka
berjanji akan sehidup dan semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama
bungkuk, melompat sama patah sehingga mereka menjadi satu kesatuan dalam
rumah tangga.
Dalam pada itu, mereka akan melahirkan suatu keturunan yang syah dan
shaleh/shalehah dalam masyarakat. Kemudian keturunan itu akan membangun
pula rumah tangga yang baru dan keluarga yang baru pula, dan begitulah
seterusnya. Dari beberapa keluarga dan rumah tangga itu berdirilah kampung,
dan dari beberapa kampung berdirilah desa, dan dari beberapa desa berdirilah
kecamatan, dan dari beberapa kecamatan berdirilah kabupaten, dan dari
beberapa kabupaten berdirilah propinsi, dan dari beberapa propinsi berdirilah
Negara, dan dari beberapa Negara berdirilah dunia.
Inilah hikmahnya Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka
bumi, sehingga anak cucunya berkembang biak meramaikan, memakmurkan,
dan melestarikan bumi yang luas in. Dalam pada itu Allah menjadikan segala
sesuatu yang ada di muka bumi ini untuk kebaikan dan kemaslahatan anak cucu
Adam tersebut.
Agama Islam mengatur dan menetapkan bahwa untuk membangun dan
membina rumah tangga yang damai dan tenteram, teratur dan harmonis

230 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


haruslah dengan perkawinan dan akad nikah yang syah serta diketahui oleh
sekurang-kurangnya dua orang saksi, bahkan dianjurkan supaya diumumkan
kepada tetangga dan sanak famili, karib kerabat dengan mengadakan pesta
perkawinan (walimah).
Dengan demikian, terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga dan
mengenal tiap-tiak anak akan bapaknya terjauh dari bercampur aduk antara satu
keluarga dengan yang lain, atau anak-anak yang tidak kenal akan bapaknya.
Lain pada itu, kehidupan suami-isteri dengan keturunannya temurun
adalah berhubung rapat dan bersangkut-paut, bahkan bertalitemali laksana
rantai yang sama kuat dan tak ada putusnya.
Ketika anak masih kecil dijaga dan dipelihara oleh orang tuanya, bila
anak sudah dewasa dan orang tuanya sudah lemah dan tak sanggup berusaha,
maka dijaga dan dipelihara pula oleh anak-anaknya. Beitulah seterusnya turun
temurun, sehingga mereka hidup dengan aman dan makmur.
Alangkah malangnya nasib seorang wanita yang menyia-nyiakan
kecantikannya waktu muda dengan berpoya-poya dengan pergaulan bebas yang
tak terbatas. Kemudian setelah habis manis sepah dibuang, maka wanita itu
tinggal sebatang kara, seorang diri, tak ada suami yang memeliharanya dan tak
ada anak yang menyayanginya, bahkan tak ada keluarga yang membujuknya,
seolah-olah ia tinggal di neraka dunia, setelah mebngecap surga dunia beberapa
waktu. Demikian pula alnkah malangnya nasib seorang pria yang menyia-
nyiakan ketampanannya waktu muda dengan berpoya-poya dengan pergaulan
bebas. Kemudian setelah tua, lemah, tinggal sebatang kara, seorang diri, tak ada
isteri yang memelihara dan tidak ada anak yan menjaga dan memeliharanya.
Demikianlah nasib seorang wanita dan pria Barat yang tidak bersuami
dan tidak beristeri di waktu mudanya, dan pemuda-pemudinya mogok berumah
tangga karena mereka berpendapat cukup dengan perpoyapoya dan bergaul
bebas yang tak terbatas itu.
Berbeda sekali dengan nasib seorang wanita yang bersuami dan seorang
pria yang beristeri di waktu mudanya. Setelah tiba masa tuanya, di sampingnya
ada suami ada isteri yang memelihara dan menjaganya, dan ada anak-anak yang
menyayanginya seolah-olah mereka hidup dalam surga dunia sejak dari kecil
sampai waktu tuanya.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 231


Inilah hikmah melangsungkan pernikahan dan itulah manfaat
mendirikan dan membentuk rumah tangga yang damai dan teratur, serta
harmonis. Lain pada itu faedah melangsungkan pernikahan adalah
terpeliharanya seseorang dari terjerumus ke lembah dosa (perzinahan). Karena
apabila ada seorang isteri di sampingnya, maka tentu suami akan terhindar
untuk melakukan pekerjaan keji; begitu pula wanita yang ada di sampingnya
suami, tentu ia tidak akan terjatuh ke dalam maksiat tersebut.

5. Inseminasi Buatan menurut Konsep Islam


Salah satu maksud dan tujuan pokok seseorang melangsungkan
pernikahan atau berumah tangga adalah ingin memperoleh anak atau keturunan
yang shaleh maupun shalehah. Namun kenyataannya, tidak semua pasangan
suami-isteri mendapatkan atau memperoleh keturunan atau anak dengan cepat
dan mudah. Ada pasangan baru satu tahun sudah dikaruniai anak, ada yang lima
tahun, bahkan ada pasangan yang tidak dikaruniai anak. Ini sebagai bukti bahwa
keturunan termasuk salah satu dari sekian banyak rahasia Allah. Ada pasangan
suami-isteri yang amat sangat menginginkan keturunan, sehingga mereka
berusaha dengan berbagai cara, namun Allah belum ataubahkan tidak
mengabulkan usaha dan ikhtiarnya itu. Ada pula pasangan suami-isteri yang
belum menginginkan keturunan karena beberapa alasan seperti mengikuti
program keluarga berencana dsb., namun Allah tidak mengabulkan usahanya
itu, sehingga ia baru dua tahun usia pernikahannya sudah melahirkan anak yang
kedua.
Bagi pasangan yang mengalami kesulitan memperoleh keturunan,
mereka tidak boleh berputus asa, harus berusaha, berikhtiar disertai dengan
berdo’a agar Allah berkenan mengabulkan usaha dan do’anya. Salah satu upaya
untuk memperoleh keturunan adalah melalui inseminasi buatan. Tetapi
masalahnya adalah apakah inseminasi buatan itu sesuai dengan tuntunan Islam
ataukah tidak? Karena inseminasi buatan itu menyangkut tiga permasalahan
pokok yaitu: 1) Apakah inseminasi buatan itu termasuk dalam batasan nikah atau
tidak? 2) Apakah inseminasi buatan itu termasuk dalam batasan zina atau tidak?
3) Bagaimanakah nasab anak yang diperoleh melalui inseminasi buatan itu?
Dalam kenyataannya, inseminasi buatan terdiri atas dua klasifikasi jika
dilihat dari sudut donor spermanya, yaitu: 1) Inseminasi buatan suami (IBS); dan

232 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


2) Inseminasi buatan donor (IBD atau orang lain). Oleh karena itu pembahasan
berikut ini akan difokuskan kepada kedua golongan tersebut. a. Inseminasi
Buatan Suami (IBS)
1) Inseminasi Buatan Suami Kaitannya dengan Batasan Nikah
Dalam masalah IBS suami isteri masih terikat dalam akad nikah
sebagaimana yang didefnisikan dalam konsep nikah. Artinya suami
isteri yang berkeinginan untuk mempunyai keturunan itu adalah
suami isteri yang syah menurut ketentuan Islam. Perbedaannya di sini
adalah kalau suami isteri biasanya memperoleh anak atau keturunan
melalui hubungan badan (bersenggama). Dalam IBS ini mereka
memperoleh keturunan dengan bantuan teknologi kedokteran.
Bantuan teknologi kedokteran dibutuhkan karena salah satu di antara
keduannya mempunyai hambatan untuk dapat membuahi atau
dibuahi, sedangkan sperma dan ovum dalam keadaan sehat dan
memenuhi syarat untuk dapat membuahi atau dibuahi. Caranya adalah
sperma suami disemprotkan atau disuntikkan ke dalam rahim si isteri
ketika si isteri dalam keadaan subur; atau sperma dan ovum diambil
lalu dibuahi di luar, setelah keduanya berbuah dipindahkan ke rahim si
isteri. Jadi interupsi dokter ini pada awal kehamilan yaitu pada proses
pembuahan.
Para ulama fiqih memperbolehkan seorang dokter membantu
kehamilan dengan inseminasi buatan asal dilakukan kepada pasangan
suami isteri yan syah dalam perkawinan. Peran dokter sama sekali
tidak mencederai status hukum nikah dari suami isteri tersebut.
Dengan kata lain, interupsi dokter dalam terjadinya pembuahan pada
seorang isteri dari sperma suami sendiri, tidaklah merusak akad nikah
suami isteri tersebut.
2) Inseminasi Buatan Suami Kaitannya dengan Batasan Zina Berdasarkan
penjelasan sebagaimana tersebut di atas, maka IBS
tidak termasuk kategori perbuatan zina. Karena definisi zina adalah
memasukkan kelamin ke dalam vagina perempuan yang bukan
pasangannya, atau memasukkan sperma ke dalam vagina atau rahim
perempuan yang bukan pasangan syahnya. Dengan demikian IBS tidak
memenuhi syarat ketentuan zina.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 233


b. Inseminasi Buatan Donor (IBD atau orang lain)
1) Kaitan IBD dengan Batasan Nikah
Inseminasi Buatan Donor ialah memasukkan sperma orang lain
(bukan sperma pasangannya) ke dalam rahim isterinya. Dalam kasus
ini jelas ada unsur ketiga yang terlibat (selain dari dokter yang
membantu dan teknologi inseminasi buatan). Unsur ketiga itu ialah
pendonor yang memberikan sperma untuk wanita yang ingin hamil.
Dalam hal ini pendonor sama sekali tak pernah bertemu atau
bersenggama dengan wanita tersebut, dan tidak pernah terjadi ikatan
perkawinan yang sah. Mengingat definisi nikah adalah ikatan
perjanjian untuk memperoleh manfaat dari seluruh anggota suami-
isteri. Maka jelas pendonor dengan wanita tersebut tidak pernah
membuat perjanjian. Oleh karena iru, inseminasi buatan donor yang
diambil dari pasangan yang tidak terikat dengan uikatan perkawinan
yang sah adalah tidak dibenarkan. Oleh karena itu, IBD sama dengan
berzina. Demikian juga mengambil ovum orang lain yang bukan
isterinya kemudian dipertemukan dengan sperma suaminya, setelah
dibuahi dimasukkan ke dalam rahim isterinya, hal ini juga termasuk
IBD.
2) Kaitan IBD dengan Batasan Nasab
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nasab seorang anak
adalah dikaikan dengan seorang bapak dalam ikatan perkawinan.
Dalam hal ini IBD, jika inseminasi buatan donor berhasil, jelas anak
tersebut bukan anak dari pasangan suami yang sah. Oleh karenanya,
Islam melarang hal demikian itu.
Dari uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diambil
kesimpulan bahwa: 1) IBS (Inseminasi Buatan Suami) dilihat dari
batasan nikah, batasan zina, dan batasan nasab menurut Islam
diperbolehkan yakni halal hukumnya; 2) IBD (Inseminasi Buatan
Donor) dilihat dari batasan nikah, batasan zina, dan batasan nasab
dilarang oleh Islam dan hukumnya haram.
Sebagai jalan keluar dari pasangan suami isteri yang tidak
memperoleh keturunan (anak), maka Islam memperbolehkan

234 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


mengambil anak angkat (orang lain). Namun Islam melarang
mengadobsi anak.
Perbadaan antara mengasuh anak dengan mengadobsi anak
adalah terletak pada penghilangan garis keturunan atau nasab
seseorang yang menurut Islam dikaitkan dengan ayah(genitor) si anak
tersebut. Mengasuh anak adalah perbuatan dan pekerjaan terpuji,
sedangkan mengadobsi anak adalah perbuatan tercela. Untuk lebih
jelasnya perhatikan perbandingan berikut ini.
Pasangan suami-isteri bernama Ahmad-Zainab (keduanya
tidak mempunyai anak.
Pasangan Abdullah-Fatimah mempunyai anak
Muhammad. Muhammad diambil anak angkat oleh pasangan
Ahmad-Zainab, namun Muhammad masih tetap Muhammad bin
Abdullah, tetapi diangkat dan diasuh, dipelihara oleh AhmadZainab
(Hal ini diperbolehkan dalam Islam sebab garis keturunan masih tetap
utuh).
Muhammad diadobsi pasangan Ahmad-Zainab, berarti
Muhammad bin Ahmad. Ini menghilangkan garis keturunan yakni ayah
kandung dari Muhammad yang sebenarnya. Oleh karenanya Islam
melarang.

6. Poligami
a. Konsep Poligami
Poligami adalah seorang laki-laki mempunyai isteri lebih dari satu.
Sedangkan kebalikannya adalah poliandri, yaitu seoran wamita
mempunyai suami lebih dari satu.
Pada dasarnya, Islam hanya mengakui monogamy sebagai bentuk
perkawinan yang sah. Hanya dalam keadaan darurat saja seorang laki-laki
boleh mempunyai isteri lebih dari satu. Sedangkan seorang wanita yang
sudah menikah tidak sah melakukan perjanjian atau pernikahan lagi dengan
laki-laki lain. Hal tersebut dengan mudah kita pahami jika kita
memperhatikan kewajiban kaum laki-laki dan kaum wanita dalam
mengelola dan mengasuh anak atau keturunannya. Dalam hal ini kodrat
alam telah membagi sendiri-sendiri kewajiban kaum pria dan kewajiban

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 235


kaum wanita; misalnya, seorang pria dapat menghasilkan beberapa anak
sekaligus dari isteri lebih dari satu, sedankan kaum wanita sudah cukup
memperoleh anak dari seorang suami saja. Oleh sebab itu poligami pada
saat tertentu membantu kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan
kelangsungan umat, tetapi poliandri tidak sedikit pun berguna bagi
manusia.
b. Dasar Hukum Poligami
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat yang amat
ketat sekali, di antaranya ialah mempunyai kesanggupan dan kemampuan
untuk berlaku adil terhadap sesama isteri dan anak-anak keturunannya,
serta mempunyai kemampuan pisik dan materi yang cukup untuk
memberikan nafkah kepada semua isteri dan semua anakanaknya. Hal ini
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Nisak ayat 3 yang
berbunyi: َ
ََ ‫ف‬ ‫أل تقسطوا‬ ‫خفت م‬ ‫وإن‬
ََََ َ‫ٱل‬
‫ََتم‬
َ
‫ما ط اب لكم م َن‬ ‫ٱلن سا مَ ثنَ وثلَثَ فٱنكَحوا‬
ََ ‫َء‬,
َ َ
‫ ورَبعَ فإ َنَ خفتم ألَ فوَ حَدة أو ما‬٣ ‫ملكَت‬
‫تع َدلوا‬
َ o
َ َ
‫أيمَنكمَ ذل ََكَ أدنََ ألَ تعولوا‬
Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuanperempuan yatim bila kamu mengawininya, maka kawinilah
wanitawanita(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yan bersifat
236 | PERGAULAN DALAM ISLAM |
lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 237


budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya (QS 4 : 3).

Ayat Alquran sebagaimana tersebut di atas sebenarnya tidak


memerintahkan poligami, melainkan hanya memberi izin kepada suami
dengan syarat-syarat yang amat ketat. Menurut Alquran, poligami hanya

238 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


diperbolehkan apabila ada anak yatim yang harus dipelihara yang
dikhawatirkan bahwa pemeliharaan itu tidak adil. Jadi jelas sekali bahwa
pensyaratan itu lebih dititik beratkan kepada kesejahteraan masyarakat
daripada kepentingan orang-seorang.
Atas dasar ayat itulah sehingga Nabi Muhammad saw, melarang
menghimpun atau mengumpulkan dalam saat yang sama lebih dari empat orang
isteri bagi seorang pria. Ketika turunnya ayat ini, beliau memerintahkan semua
suami yang memiliki lebih dari empat orang isteri, agar segera menceraikan
isteri-isterinya sehingga maksimal setiap orang suami hanya memperisterikan
empat orang wanita. Imam Malik, Al-Nasai dan Al-Daul Quthni meriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada Sulaiman yang ketika itu
memiliki sepuluh orang isteri: “Pilihlah dari mereka empat orang isteri dan ceraikan
selebihnya” (Hadis Riwayat Bukhari).
Di sisi lain, ayat ini pula yang menjadi dasar diperbolehkannya poligami.
Namun ayat ini sering disalah artikan. Sebab ayat ini turun sebagaimana
dijelaskan Aisyah ra, bahwa orang-orang yang ingin mengawini anak-anak yatim
yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi mereka tidak
ingin memberikan kepadanya mas kawin yang sesuai serta tidak
memperlakukannya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu
susunan kalimat yang sangat tegas. Penyebutan dua, atau tiga, atau empat, pada
hakikatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksi
ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang lain memakan
makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakannya: “jika anda
khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan
selainnya yang ada di hadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu
saja perintah menghabiskan makanan yang lain hanya sekedar untuk
menekankan larangan memakan makanan tertentu.
Perlu digaris bawahi bahwa ayat tersebut tidak membuat satu peraturan
mengenai poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh syariat
agama dan adat istiadat sebelum ayat ini turun. Ayat ini juga tidak mewajibkan
poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami
dan itu pun merupakan pintu darurat, yang hanya boleh dilalui saat amat
diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Dan masalah poligami yang
tersurat dalam Alquran, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 239


buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang pengaturan hukum, dalam
aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Surat Al-Nisa ayat 3 diturunkan dengan sebab antara lain, sejarah telah
mencatat pada saat banyak terjadi peperangan antara kaum muslimin dengan
kaum kafir. Semua kepala rumah tangga harus maju ke medan perang guna
menghadapi serangan lawan, dan banyak di antara kaum lelaki yang gugur
karena jumlah lawan lebih besar daripada jumlah kaum muslimin. Para isteri
banyak yang kehilangan suami yang dicintainya, dan banyak anak yang
kehilangan ayah yang disayanginya, dan akibatnya banyak janda dan yatim piatu
yang harus dipelihara. Jika mereka diserahkan begitu saja kepada nasib, mereka
pasti akan binasa, dan masyarakat akan menjadi lemah, sehingga mereka tidak
mempunyai daya juang lagi. Dalam keadaan demikianlah surat ke empat itu
diturunkan, yakni surat yang memperbolehkan mengambil isteri lebih dari satu,
dengan maksud agar janda dan yatim piatu itu mendapat perlindungan. “Apabila
kamu khawatir bahwa kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, maka
kawinilah wanita (ibu anak yatim itu), dua, atau tiga, atau empat”, dengan syarat
bahwa kamu berlaku adil terhadap mereka, dan dalam keadaan yang luar biasa,
yakni monogami tidak mampu menampung kehidupankeluarga, seperti isteri
tidak dapat melahirkan anak keturunan karena sesuatu hal dsb.
Dengan banyaknya kaum pria yang terbunuh dalam peperangan
menyebabkan jumlah kaum wanita melebihi jumlah kaum pria. Keadaan ini jika
tidak ditanggulangi dengan poligami, akan mengakibatkan kerusakan moral
yang sangat membahayakan bagi peradaban. Peradaban itu harus berlandaskan
moral, seperti halnya agama Islam.
Poligami dalam konsep Islam, baik teori maupun praktek, bukanlah
peraturan yang harus dijalankan, melainkan suatu jalan keluar. Poligami dapat
dibenarkan bukan hanya disebabkan tidak seimbangnya antara jumlah laki-laki
dengan wanita, melainkan poligami kadang-kadang perlu dijalankan guna
kepentingan akhlak dan kesejahteraan masyarakat. Pelacuran yang dalam zaman
kemajuan ini semakin meraja rela, tentu menggerogoti peradaban bagaikan
kanker, dan menyebabkan banyaknya anak tak berbapak.
Alasan lain yang menyebabkan poligami diperbolehkan adalah
mandulnya seorang isteri, atau parahnya penyakit yang diderita seorang

240 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


isteri yang mengakibatkan terhambatnya cita-cita untuk melanjutkan
keturunan. Dan masih banyak lagi kondisi-kondisi lain yang
memungkinkan terbukanya jalan untuk melakukan poligami, hanya saja
dengan syarat yang tidak mudah dan tidak ringan.
Perlu ditegaskan juga bahwa keadilan yang disyaratkan oleh ayat
yang memperbolehkan poligami adalah bukan hanya keadilan dalam bidang
material saja, tetapi juga keadilan dalam bidang rohani dan spiritual. Hal ini
-
sebagaimana firman A llah dalam surat Al-Nisak ayat 129 y ang berbunyi: ‫و‬َ
َ َ ‫حَر َص‬ ‫~ع َ َدل َبَ ٱلن س ول َو‬9 َ َ ‫لن ت‬
‫ي‬ ‫وا‬o َ,
َ َ‫ل‬ ََ َ9 ‫سَ ت‬
َ 9 َ ‫ن‬ ‫أنط و ا‬
‫ت َم‬ َ
‫ا‬ َ
‫ف‬ ~ ‫تع‬
َ َ
َ,
َ ‫ء‬ َ
o r
َ َ
‫فتذروها كٱلمَعلقة َََ وإن ت صَلحَوا‬ ‫ٱلمَي َل‬
َ
َ‫ت َمَيلوا ك‬
9 ‫ك‬ َ َ َ 9 َr َ
‫غ فو َرا‬ َ َ‫ َ فإنَ ٱلل‬o
ََ َ
َ ‫وتتقوا‬ َ ,
‫ن‬ َ ١٠٢ ‫ح َم‬ ‫ر ي‬
ََ
‫ا‬
Artinya: Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu,
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 241
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS 4: 129).

242 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


Keadilan yang dimaksud oleh ayat ini adalah keadilan di bidang
immaterial (cinta). Itulah sebabnya hati seseorang yang poligami dilarang
memperturutkan hatinya dengan selalu cenderung kepada yang dicintai,
dan tidak memperdulikan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat pula
menggunakan ayat ini sebagai dalih menutup pintu poligami serapat-
rapatnya.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 243


7. Homo Seksual
Homo seks adalah hubungan seks antara laki-laki dengan lakilaki.
Sedangkan lesbian adalah hubungan seks antara wanita dengan wanita.
Cara ini tidak dibenarkan dalam Islam sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah dalam surat Al-A’raf ayat 8 - 0 – 81 yang berbunyi:
َ َ r ََ 9َ َ َ َ 9
‫َت ون ٱلفحَ َشة ما س بقكم‬ ‫َ قال‬ ‫ول و طا إ َذ‬
َ َ
‫ب َها َ َمن‬ ‫َ َمه‬َ, َ‫ل ق‬
‫و‬
َ ~
ََ
َ‫َۦأ‬,
‫تأ‬
َ ََ َ َ َ َ
َ ََ َ
‫َ َ كَم‬ َ َ 9 ‫منَ ٱ لعلَ َمين‬ ‫د‬, َ‫أح‬
‫لَأتون ٱل َرجال شهوة م ََن‬
‫ إ َن‬٢٢

َ9 ََ َ
٢١ ‫دون ٱلن سَا َ لَ أن و مسَ َف ون‬
9
‫َ ت َم مق‬r َ, َ~
‫ء‬o
َ َ
َ ََ
‫ب‬

Artinya: “Dan (Kami utus) Luth ketika itu ia berkata kepada kaumnya: Hai kaumku!
Pantaskah kamu berbuat kejahatan yang belum pernah diperbuat oleh orang
terdahulu sebelum kamu di muka bumi ini? Sesungguhnya kamu mencintai
laki-laki dan bukan perempuan, sungguh kamu adalah kaum yang melampaui
batas (QS 7: 80-81).

Demikian juga larangan yang sama termaktub dalam surat AlNaml


244 | PERGAULAN DALAM ISLAM |
ayat 55, dan surat Al-Syuara’ ayat 165.
Yang dimaksud dengan mencintai di sini adalah tidak sekedar kasih-

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 245


sayang sesama makhluk, melainkan cinta dalam arti berhubungan badan untuk
memuaskan hawa nafsu syahwat dengan berhubungan seks secara tidak wajar.
Bila antar laki-laki dilarang, maka demikian juga halnya antar wanita juga
hukumnya haram atau dosa besar.
Para ulama menafsirkan ayat-ayat Alquran sebagaimana tersebut di
atas bahwa perbuatan homo dan lesbian yang diperbuat oleh kaum Nabi Luth
merupakan perbuatan keji dan termasuk perbuatan abnormal, karena hewan
pun tidak ada yang berbuat demikian.
Homoseks sebagaimana dijelaskan oleh Dadang Hawari, adalah salah
satu bentuk perilaku seks yang menyimpang. Homoseks lanjut dadang adalah
rasa tertarik secara perasaan (kasih-sayang, hubungan emosional) atau secara
erotik, terhadap jenis kelamin yang sama. Untuk mendeteksi apakah seseorang
itu mengidap homoseks atau tidak dapat dibuat kreteria sebagai berikut:
pertama, seserang mengeluh bahwa secara terus-menerus kegairahan

246 | PERGAULAN DALAM ISLAM |


heteroseksualnya tidak ada atau melemah, dan secara cukup bermakna
menghalangi upaya dirinya untuk memulai atau mempertahankan hubungan
heteroseksualnya. Kedua, terdapat pola kegairahan homoseksual yang
menetap dan tidak dikehendaki dan merupakan suatu sumber penderitaan
yang terusmenerus. Homoseksual termasuk ketegori perbuatan dosa besar,
karena ia merupakan perbuatan menyimpang dari sunnatullah.

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 247


DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghifari, Abu. 2003. Pernikahan Dini, Dilema Generasi Ekstravagansa. Bandung:


Mujahidin Press.
Ali, Maulana Muhammad. 1996. Islamologi. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.
Ali, Mohammad Daud. 1999. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Islam
di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ali, Mohammad Daud. 2000. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Al-Jabiri, Muhammed Abed. 2003. Syura: Tradisi Partikularitas Universalitas.
Yogyakarta: LKIS.
Al-Maududi, Abul A’la. 1984. Khilafah Dan Kerajaan. Bandung: Mizan.
Almusawa, Nabiel Fuad. 2005. Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan Tinggi.
Bandung: Syaamil Cipta Media.
Amien, Muhammad dkk. 1990. Dasar-Dasar Pendidikan Islam. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1980. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Azhary, Mohammad Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu studi tentang PrinsipPrinsipnya
Dilihat dari segi hukum Islam, implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Darajat, Zakiah. 1971. Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Departemen Agama RI. 1996. Alquran dan Tafsirnya. Jakarta.
Departemen Agama RI. 1986. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta.
Departemen Agama RI. 1996. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan
Politik. Jakarta.
Departemen Agama RI. 1998. Suplemen Buku Daras Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum. Jakarta.
Departemen Agama RI. 2000. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta.
Departemen Agama RI. 2004. Materi Interaksional Pendidikan Aama Islam di Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta.
Dirjen Kelembagaan Agama Islam. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi Umum. Jakarta: Departemen Agama RI.
Ghulsyani, Mahdi, 2001. Filsafat-Sains Menurut Alquran. Bandung: Mizan.
HS, M. Ramli dkk. 2004. Memahami Konsep dasar Islam. Semarang: UNNES Press.
242 | PERGAULAN DALAM ISLAM |

235 |
| DAFTAR PUSTAKA

Iberani. 2003. Mengenal Islam. Jakarta: Elkahfi.

Ilyas, Yunahar. 2005. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI Universitas


Muhammadiyah Yogyakarta.
Kosasih, Ahmad. 2003. HAM dalam Perspektif Islam: Menyingkap persamaan dan perbedaan
antara Islam dan Barat. Jakarta: Salemba Diniyah.
Majid, Norkholis. 1992. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina.
Majid, Norkholis. 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina.
Mansoer, Hamdan dkk. 2004. Materi Instruksional Pendidikan Agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam,
Departemen Agama RI.
Mualim, Amir dan Yusdani. 2001. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII
Press.
Muhammad, Abu Bakar. 1994. Pembinaan Manusia Dalam Islam. Surabaya: AlIkhlas.
Raoef, H. Abdoer. 1970. Alquran dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Rasjid, Sulaiman 1976. Fiqh Islam. Jakarta: Attahiriyah.
Rasyid, Lili dan Arief Sidharta. 1989. Filsafat hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung:
Remaja karya.
Saefuddin, A.M. 1987. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
Salamulloh, M. Alaika. 2003. Menyempurnakan Akhlak: Etika Hidup sehari-hari Pribadii
Muslim. Yogyakarta: Penerbit Cahaya Hikmah.
Sardar, Zianudin. 1989. Sains, Teknologi, dan Pembangunan di Dunia Islam. Bandung:
Penerbit Pustaka.
Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
Shihab, M. Quraisy. 1994. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan.
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syalthut, Mahmud dan Ali As-Sayis. 2000. Fiqih Tujuh Madzhab, Edisi Bahasa Indonesia.
Bandung: Pustaka Setia.
Tim Filsafat Ilmu UGM. 1996. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberti.
Wijayanto, Iip, 2004. Sex in The Cost. Yogyakarta.
Ya’qub, Hamzah. 1996. Etika Islam: Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar).
Bandung: CV. Diponegoro.
Zakiah Darajat. 1971. Membina Nila-Nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
222 | DAFTAR PUSTAKA |

| PENDIDIKAN AGAMA ISLAM | 237

Anda mungkin juga menyukai