Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MAKALAH

Kontribusi Pemikir Islam Terhadap Pemikiran Ekonomi

Dosen Pengampu:
Dr. Hj. Muzdalifah, SE, M.Si

Oleh :
Pinnehas Juliano (2210311210078)
Reffiga Agustian Sanjaya
Fadlullah (2210311310040)
Asrul (2210311210058)

Ekonomi Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Lambung Mangkurat
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 24 September 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 4

A. Pendahuluan.......................................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................................. 5
C. Tujuan ................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 6
A. Pemikiran Tokoh-Tokoh Ekonomi Islam ............................................................. 6
a. Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi (450H) ......................................................... 6
b. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah (1262-1328) .......................................... 10
BAB 3 PENUTUP ......................................................................................................... 18

Kesimpulan ................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Ekonomi adalah kegiatan yang diawali dari sebuah pemikiran tentang
bagaimana mencukupi kebutuhan atau keinginan manusia yang tidak terbatas,
dengan melakukan berbagai cara dan upaya agar hal tersebut dapat terpenuhi.
Pemikiran ini dimulai sejak beberapa abad yang lalu dimana manusia mulai
mencetuskan ide atau pemikirannya dengan lebih obyektif, efektif dan inovasi untuk
mencapai sebuah tujuan untuk keberlangsungan kehidupan manusia. Sejarah ini
menjadi cikal bakal lahirnya pemikiran ekonomi pada masa setelahnya dan hingga
kini, maka keberadaannya tidak akan pernah lepas dari pemikiran ekonomi yang ada
pada saat ini dan masa yang akan datang.

Berbeda dengan tradisi intelektual Kristen-Barat yang mengalami proses


sekularisasi bertahap sejak dimulai gerakan Renaissance dan Reformasi abad kelima
belas dan keenam belas serta kemudian berlanjut sebagai dampak dari revolusi
Perancis dan Industri pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, tradisi
intelektual dunia Islam tetap kaku mengikatkan diri pada corpus keagamaannya.
Kekakuan ini menunjukkan tanda-tanda relaksasi yang sekarang ini mulai semakin
berkembang. Jadi diskusi pada salah satu disiplin intelektual harus dimulai dengan
acuan dasar pada Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber-sumber agama Islam. Dalam
Al-Qur'an ini ditemukan petunjuk dan tafsirnya dalam kaitannya dengan perilaku
ekonomi manusia. Di bidang produksi, konsumsi dan pertukaran petunjuk Al-
Qur'an telah dan sedang ditafsirkan serta ditafsirkan kembali dengan bantuan Hadits
untuk sampai pada kode normatif perilaku ekonomi. Pada dasarnya, tujuan utama
dari pedoman tersebut adalah untuk memberikan panduan praktis bagi umat Islam
sehingga kehidupan material mereka tidak bertentangan dengan tujuan akhir
mencapai kebahagiaan di akhirat.
B. Rumusan Masalah

1) Menjelaskan Pengaruh Tokoh Ekonomi Islam dalam Perkembangan Ekonomi.

2) Menjelaskan Pemikiran Tokoh Ekonomi Islam.

C. Tujuan Penulisan

1) Untuk mengetahui pemikiran ekonomi Al-Mawardi.

2) Untuk mengetahui pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Tokoh-Tokoh Ekonomi Islam


a.Pemikiran Ekonomi menurut Al-Mawardi
1. Biografi Al-Mawardi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib
al-Bagdhadi, yang lebih dikenal dengan nama al-Mawardi. Ia lahir di basrah 6 pada
tahun 364 H/974 M. Al-Mawardi merupakan salah satu dari sekian banyak pemikir
Islam periode awal Islam yang berhasil membangun pondasi ekonomi Islam.
Konstribusi pemikiran ekonomi al-Mawardi terutama lewat tiga karya monumentalnya
Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyahmasih dapat
dirasakan sampai sekarang terutama pemikiran tentang negara dan aktivitas ekonomi,
konsep pinjaman publik, perpajakan, urgensi keuangan negara (baitul maal) dan
konsep ekonomi.
2. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Al Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan imamah atau kepemimpinan
politik keagamaan merupakan kekuasaan mutlak dan pembentukannya adalah hal yang
wajib karena demi terjaganya agama dan tata kelola dunia. Teori keuangan publik
sangat terkait dengan peran Negara dalam aktivitas ekonomi. Negara hadir berperan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Al-Mawardi
menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah) merupakan instrumen untuk
meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan
agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namum
berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Oleh karenanya, pelembagaanImamah (kepemimpinan politik keagamaan),
menurutnya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ulama (Al-Mawardi, t.th: 5).
Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar
setiap warga negara sebagai berikut:
a. Melindungi agama
b. Menegakkan hukum dan stabilitas
c. Memelihara batas Negara Islam
d. Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e. Menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum Islam
f. Mengumpulkan pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya
dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya
g. Membelanjakan dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi
kewajibannya.
Menurut al-Mawardi, pinjaman publik harus dikaitkan dengan kepentingan
publik. Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman publik hanya dibolehkan
untuk membiayai kewajiban Negara. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat
lebih 7 kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan
pembiayaan yang berasal dari danadana lain, seperti pajak.

3. Perpajakan menurut Al-Mawardi


Menurut al-Mawardi penilaian atas Kharaj atau pajak harus berfariasi sesuai
dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak,
yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman dan sisitem irigasi. Dijelaskan sebagai berikut
a. Kesuburan tanah.
Karena kesuburan tanah sedikit banyaknya mempengaruhi jumlah produksi.
b. Jenis tanaman.
Hal ini terjadi karena tanaman ada berbagai jenis dengan variasi harga yang berbeda-
beda.
c. Sistem irigasi.
Tanaman yang menggunakan sistem irigasi manual tidak dapat dikenai pajak yang
sama dengan tanaman yang menggunakan system irigasi alamiah.
d. Jarak antara tanah yang menjadi obyek kharaj dengan pasar. Hal ini penting
karenatinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari
pasar. (Karim, 2014: 307).
4. Lembaga Keuangan Negara (Baitul Maal)
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar setiap negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar
setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang
didirikan secara permanen direncanakannya, Untuk menjamin pendistribusian harta
baitul maal berjalan lancar dan tepat sasaran, negara harus memberdayakan Dewan
Hisbah semaksimal mungkin (Karim, 2014: 309-312). Dewan Hisbah (Wilayah
alHisbah) adalah suatu kekuasaan atau wewenang untuk menjalankan amal ma’ruf
ketika yang ma’ruf itu mulai ditinggalkan orang dan mencegah yang mungkar ketika
mulai dikerjakan orang. Wilayah al-Hisbah disebut juga suatu kekuasaan peradilan,
yang memiliki wewenang lebih luas dari dua peradilan lainnya, yakni wilayah al-qada’
(peradilan biasa), dan wilayah al-mazalim (peradilan khusus kejahatan penguasa dan
keluarganya). Adapun wewenang wilayah al-Hisbah adalah berkaitan dengan
pelanggaran esensi dan pelaksanaan ibadah maupun akidah. Kemudian dilihat dari
tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan publik. Al-Mawardi membagi
tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua hal, yaitu:
a. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal
8 sebagai amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b. Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset
kekayaan baitul Mal itu sendiri. Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut,
kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara
yang berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi
kelompok masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-
tujuan umum, Negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan
berdasarkan ajaran Islam. Dengan demikian kategori tanggung jawab yang pertama
merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum. Kemudian kategori
tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari pendapatan Negara yang berasal dari
Fai. Sedangkan kelompok yang berhak (mustahik) atas harta baitul maal ada dua.
Pertama,, orang yang berhak atas harta baitulmaal karena harta tersebut sebagai alat
pemelihara dirinya. Hak dalam bentuk ini akan hilang bila baitulmaal sedang
kekosongan dana. Misalnya, seseorang yang dikenai diat (denda) karena suatu
pelanggaran hukum sedang ia atau keluarganya tidak mampu membayarnya. Ia berhak
mendapatkan harta baitulmaal selama baitulmaal memiliki dana. Kedua, orang yang
berhak atas harta baitulmaal karena memang itu adalah haknya. Kelompok kedua ini
terbagi menjadi dua. Pertama, orang yang berhak terhadap harta baitulmaal secara
badal (penggantian), seperti hak tentara yang berjuang di jalan Allah SWT, untuk
pembelian senjata dan perlengkapan negara lainnya, dan sebagainya. Dalam hal ini,
kendati kas baitulmaal sedang kosong, hak itu tidak gugur. Hak itu akan dibayar ketika
harta baitulmaal telah tersedia. Kedua, orang yang berhak atas harta baitulmaal karena
suatu kemaslahatan umum. Misalnya, seseorang yang telah membantu memberi utang
berupa makanan untuk para pejuang muslim dalam suatu peperangan berhak menerima
harta baitulmaal dan baitulmaal wajib memberinya harta tersebut. Jika kas baitulmaal
sedang kosong, maka baitulmaal tidak wajib memberinya.

5. Relevansinya Pada Ekonomi Modern


Relevansi pemikiran Al-Mawardi dengan ekonomi modern dapat dijabarkan
melalui tiga konsep ekonomi publik yang terdiri dari konsep ekonomi dalam sistem
negara, konsep perpajakan dan konsep Baitul mal. Konsep Ekonomi sebuah negara
berdasarkan pemikiran Al-Mawardi jika dikaitkan dengan ekonomi modern saat ini
adalah konsep negara yang memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas yang 9
diperlukan oleh publik melalui anggaran yang dimiliki. Konsep kedua dari Al-Mawardi
adalah konsep perpajakan yang meiliki relevansi dengan ekonomi modern saat ini.
Seperti pada konsep ekonomi negara pajak merupakan alat yang dapat digunakan oleh
sebuah pemerintahan untuk melaksanakan tugas negara untuk mensejahterakan
rakyatnya. Konsep ketiga adalah konsep Baitul mal, pada konsep tersebut di Indonesia
sendiri sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia memiliki potensi
zakat yang sangat besar. Konsep Baitu Mal yang dilaksanakan di Indonesia sendiri
diaplikasikan melalui adanya Lembaga negara Badan Zakat Nasional (Baznas) yang
khusus ditugasi untuk menghimpun dan mengelola pelaksanaan zakat serta
memaksimalkan dana zakat tersebut untuk kesejahteraan umat Islam.
b. Pemikiran Ekonomi menurut Ibnu Taimiyah

1. Biografi Ibnu Taimiyah

Satu di antara pemikir yang diberi gelar dengan Syaikh al Islam adalah Ahmad bin
Abd al-Halim bin Abd al Salam atau yang biasa dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah.
Sebagai seorang mujadid beliau memiliki berbagai ide dan gagasan mengenai
pembaharuan Islam, termasuk dalam hal ekonomi. Latar politik, ekonomi, social dan
budaya menjadi pemantik bagi ide dan gagasannya mengenai ekonomi dengan tetap
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyyudin Ahmad bin Abdu Halim lahir di kota
Harran, sebuah kota kecil di bagian utara Mesopotamia, dekat Urfa, di bagian tenggara
Turki sekarang26 pada hari Senin, tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabbiul Awwal 661
H). Para Ulama berbeda pendapat tentang sandaran penasaban Ibn Taimiyah. Satu
pendapat mengatakan bahwa Kakek dari Ibn Taimiyah pernah mengadakan
perjalanan haji dan dalam perjalanan bertemu dengan seorang anak yang bernama
Taimiyah, dan sekembalinya dari perjalannannya itu ia menemukan putrinya telah
melahirkan seorang bayi dan kemudian bayi itu dinamakan Ibn Taimiyah. Sedangkan
versi lain mengatakan bahwa penasaban Ibn Taimiyah adalah mengambil dari nama Ibu
dari kakeknya yaitu Taimiyah Ibnu Taimiyah berasal dari kelurga yang berpendidikan
tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan
penulis sejumlah buku30 . Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan
kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadis, fiqih,
matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal
sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Pada masa
mudanya ia mengungsi karena perbuatan suku Mongol, dan tiba di Damaskus bersama
orang tuanya pada 1268 M pada waktu itu ia hampir berusia enam tahun. Pada tahun
1282 M ketika ayahnya meninggal, Ibnu Taimiyah menggantikan kedudukan sang ayah
sebagai Guru Besar Hukum Hambali dan memangku jabatan ini selama 17 tahun31
.Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang
dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya,
seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar- Ra’i
wa Ar-Ra’iyah, serta Al- Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak
pada wilayah Makro Ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga,
uang dan kebijakan moneter.

Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah banyak


terfokus kepada Ekonomi Makro, khususnya terkait dengan pemerintah dan mekanisme
pasar. Asas keadilan dan kemashlahatan menjadi hal penting dalam pemikirannya,
demikian pula fungsi dari negara sebagai lembaga yang mengayomi warga negaranya
harus berjalan secara optimal. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat mampu untuk
melaksanakan aktifitas ekonomi dengan baik dan terpenuhi seluruh kebutuhannya serta
tidak ada kedzaliman yang terjadi di tengah masyarakat.

2. Mekanisme Pasar

Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan


dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun
mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran
(supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang) . Ibnu Taimiyah juga
memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh
kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan; “naik turunnya harga tak
selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali
alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor
dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang
meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun, harga dengan
sendirinya akan naik. Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni
produksi lokal dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min
dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang
tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap
sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam
permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu
Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau
penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor,
yakni produksi lokal dan impor . Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas menunjuk pada
apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan,
yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan
pada harga yang sama atau sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang
sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi
penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan
akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya. Namun demikian, kedua
perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat
sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan.

3.Mekanisme Harga

Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik
antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input
(faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang
menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu. Ada dua tema yang sering kali
ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni
kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-
mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal
yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”. ‘Iwad al-mitsl adalah
penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda
menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan
pengurangan, disinilah esensi dari keadilan. Sedang tsaman al-mitsl adalah nilai
harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum
sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang
sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu. Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu
Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan tidak
merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya
kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang
adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda. Dalam mendefinisikan
“kompensasi yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan
adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga
berkait dengan nilai dasar (rate / si’r) dan kebiasaan”. Lebih dari itu ia
menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan
atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara
(ekuvalen)”. Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam
penggunaannya. Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar
masalah moral dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang).
Adapun prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus- kasus berikut: a. Ketika
seseorang bertanggung jawab terhadap luka atau rusaknya orang lain, terhadap hak
milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi) b. Ketika seseorang
mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau
membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya c.
Ketika seseorang dipertanyakan telah membuat kontrak tidak sah ataupun kontrak
yang sah pada peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik.
Jadi yang melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil tersebut
disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa itu, dimana
kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka
dengan melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah memberikan perbedaan yang
signfikan antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya, konsep
kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dan para
hakim dalam melaksanakan tugasnya di pengadilan

4.Perencanaan Ekonomi

Tak ada satupun pemerintahan yang menolak kebutuhan pengembangan


ekonomi secara menyeluruh. Sebagai salah satu cara yang efektif mencapainya adalah
melalui perencanaan ekonomi. Salah satu pemikiran penting adalah konsep Ibnu
Taimiyah terhadap industri pertanian, pemintalan dan sebagainya. Jika kegiatan secara
sukarela gagal untuk memenuhi persediaan barang-barang yang dibutuhkan penduduk,
maka Negara harus mengambil alih tugas tersebut untuk mengatur kebutuhan suplai
yang layak. Dalam kitab alFatawa, disebutkan bahwa sebuah pertimbangan untuk
menjadikan bagian dari pembiayaan publi diperlukan untuk membangun jembatan, jalan
dan sebagainya. Disebutkan juga bahwa kekayaan yang tak mempunyai ahli waris dan
barang hilang, yang tak jelas pemiliknya dapat dijadikan sumber pendapatan Negara
untuk membiayai utilitas umum. (Islahi, 227-235). Pembahasan Ibnu Taimiyah
tentang anggaran belanja lebih lengkap ketimbang tentang penerimaan. Pembagiannya
atas penerimaan publik menjadi tiga kategori, yaitu: ghanimah, shadaqah dan fa’i; yang
berkaitan pula dengan pembagian kategori serupa dalam pengeluaran publik. Ia
melarang pengelakan pajak dan menasehati para pedagang untuk bersikap adil dalam
pengenaan dan pengumpulan pajak meskipun itu atas pajak ilegal. Ia mengingatkan
konsekuensi dari pengenaan pajak yang diskriminatif dan tak adil. (Islahi, 280). Sumber
pendapatan yang paling penting adalah zakat. Tetapi jumlah pokok kepentingan yang
bisa dibiayai dari dana zakat itu sangat terbatas. Penerimaan dari ghanimah adalah tak
menentu, hanya bisa diharapkan jika terjadi perang melawan orang-orang kafir. Sumber
ketiga penerimaan, yaitu fa’i termasuk di dalamnya jizyah, pajak atas tanah dan
berbagai jenis pajak lainnya, tidak bisa digunakan untuk mencukupi seluruh kebutuhan
pembiayaan untuk pertahanan keamanan dan pengembangan sepanjang waktu.

5. Relevansi Pemikiran Ibnu Taimiyah Dengan Ekonomi Modern

Sejatinya pemikiran Ibnu Taimiyah terkait dengan ilmu ekonomi sangat relevan
dengan keadaan saat ini. Terkait dengan penetapan harga oleh pemerintah maka
menurutnya hal ini adalah baik, tapi tidak bersifat absolut, karena sebenarnya harga
ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Lain halnya, apabila kenaikan
harga terjadi akibat ketidakadilan mekanisme pasar, pemerintah boleh campur tangan
dalam menetapkan harga. Maka pemikiran ini bisa menjadi pertimbangan bagi
pemerintah ketika harga-harga naik dengan tidak wajar. Maka dalam hal ini pemerintah
berhak untuk menetapkan harga agar terjangkau oleh masyarakat dan tidak
memunculkan kedzaliman. Terkait dengan mekanisme pasar, maka pernyataan Ibnu
Taimiyah mengenai hal ini menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai
perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan
permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang samaatau sebaliknya,
penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga
yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan,
harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya. (Karim,
365) Regulasi harga menurut Ibnu Taimiyah mengharuskan pemegang otoritas publik
untuk melakukan musyawarah dengan perwakilan pasar, dalam hal ini adalah mereka
yang terlibat langsung dengan semua aktifitas pasar seperti produsen, penjual dan
pembeli. Kontekstualisasi di masa sekarang adalah bahwa musyawarah menjadi syarat
terpenting sebelum melakukan regulasi harga. Tidak boleh menetapkan sebuah
regulasi tanpa musyawarah terlebih dahulu, artinya pemerintah harus melibatkan semua
pihak dalam penetapan berbagai komoditas yang ada di masyarakat khususnya barang
atau jasa yang menjadi kebutuhan primer. Pemikiran Ibnu Taimiyah selanjutnya yang
sangat relevan yaitu terkait dengan uang sebagai alat tukar. Menurutnya uang sebagai
alat tukar bahannya bisa diambil dari apa saja yang disepakati oleh adat yang berlaku
(urf) dan istilah yang dibuat oleh manusia. Ia tidak harus terbatas dari emas dan perak.
Misalnya, istilah dinar dan dirham itu sendiri tidak memiliki batas alami atau syari‟.
Dinar dan dirham tidak diperlukan untuk dirinya sendiri melainkan sebagai wasilah
(medium of exchange). Fungsi medium of exchange ini tidak berhubungan dengan
tujuan apapun, tidak berhubungan dengan materi yang menyusunnya, juga tidak
berhubungan dengan gambar cetakannya, namun dengan fungsi ini tujuan dari keperluan
manusia dapat dipenuhi. Maka munculnya digital money atau uang digital saat ini telah
terjawab olrh pendapat Ibnu Taimiyah tersebut, bahwa selama masyarakat menerimanya
dan adanya jaminan dari pemerintah maka suatu mata uang sah digunakan. Pemikiran
Ibnu Taimiyah menawarkan solusi kepada negara, yaitu hendaknya menjadi supervisor
moralitas pembangunan untuk menyadarkan rakyatnya bahwa betapa pentingnya norma
moral dan nilai etika sebagai asas pembangunan dan dapat mewujudkannya dalam
kehidupan perekonomian. Negara harus hadir menjadi pengayom dalam
mensejahterakan rakyatnya, mengurangi kemiskinan serta melakukan berbagai
kebijakan yang membawa kepada kemashlahatan seluruh warga negara. Kebijakan ini
mencakup yang bersifat fiskal, moneter maupun sektor real yang memang menjadi
kebutuhan utama dari seluruh warga negara.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Menurut pemikiran Al-Mawardi dengan ekonomi modern dapat dijabarkan


melalui tiga konsep ekonomi publik yang terdiri dari konsep ekonomi dalam sistem
negara, konsep perpajakan dan konsep Baitul mal. Konsep Ekonomi sebuah negara
berdasarkan pemikiran Al-Mawardi jika dikaitkan dengan ekonomi modern saat ini
adalah konsep negara yang memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas yang
diperlukan oleh publik melalui anggaran yang dimiliki. Konsep kedua dari Al-
Mawardi adalah konsep perpajakan yang meiliki relevansi dengan ekonomi modern
saat ini. Seperti pada konsep ekonomi negara pajak merupakan alat yang dapat
digunakan oleh sebuah pemerintahan untuk melaksanakan tugas negara untuk
mensejahterakan rakyatnya. Konsep ketiga adalah konsep Baitul mal, pada konsep
tersebut di Indonesia sendiri sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia memiliki potensi zakat yang sangat besar.

Menurut pemikiran Ibnu Taimiyah terkait dengan ilmu ekonomi sangat


relevan dengan keadaan saat ini. Terkait dengan penetapan harga oleh pemerintah
maka menurutnya hal ini adalah baik, tapi tidak bersifat absolut, karena sebenarnya
harga ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Lain halnya, apabila
kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan mekanisme pasar, pemerintah boleh
campur tangan dalam menetapkan harga. Maka pemikiran ini bisa menjadi
pertimbangan bagi pemerintah ketika harga-harga naik dengan tidak wajar. Maka
dalam hal ini pemerintah berhak untuk menetapkan harga agar terjangkau oleh
masyarakat dan tidak memunculkan kedzaliman
DAFTAR PUSTAKA

Amri, H. (2016). Konstribusi Pemikiran Ekonomi Abu Hasan Al-Mawardi. Ekonomica


Sharia: Jurnal Pemikiran dan Pengembangan Ekonomi Syariah, 2(1), 9-18.

Subhan, M. (2015). Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar Dalam Perspektif Ekonomi
Modern. Ulumuna: Jurnal Studi KeIslaman, 1(1), 84-97.

Subhan, M. (2017). Relevansi Pemikiran Ekonomi Yahya Bin Umar Dalam Perspektif
Ekonomi Modern. JES (Jurnal Ekonomi Syariah), 2(1).

Sheila, A. D. P. (2022). Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Imam Al-Ghazali.


Rofiq, M. K. (2019). Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyah. An-Nawa: Jurnal
Studi Islam, 1(1), 28-60.

Awalia, R. (2022). Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah. Al Iqtishod: Jurnal Pemikiran


dan Penelitian Ekonomi Islam, 10(1), 63-78.

Anda mungkin juga menyukai