Anda di halaman 1dari 20

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA MASA PEMANTAPAN KEBIJAKAN

POLITIK

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam

Dosen Pengampu:

Ririn Tri Puspita Ningrum, MSI.

Disusun Oleh:

Muhammad Hafiz K (23403116)


Faiza Maziyatul Aulia (23403080)
Khofifah Indra Fransisca (23403105)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah swt, yang telah memberikan rahmat
serta hidayah-nya. Sehingga kami mampu untuk menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM MASA MASA PEMANTAPAN KEBIJAKAN
POLITIK” .
Shalawat serta salam tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW. yang telah
membimbing umat manusia dari kehidupan yang penuh dengan keburukan menuju
kehidupan yang penuh dengan cahaya keimanan kepada Allah swt.
Kami berterima kasih kepada ibu Ririn Tri Puspita Ningrum, MSI. selaku dosen
pengampu mata kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam mohon maaf apabila dalam
makalah ini terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan, karena kemampuan hanya milik Allah SWT.
dan kekurangan milik kita sebagai manusia. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semuanya.

Kediri, 22 April 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i


DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .........................................................................................................1
C. Tujuan ............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................2
A. Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa Pemantapan Kebijakan Publik .......2
B. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Ubaid..........................................................................3
C. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umair .........................................................................8
D. Pemikiran Ekonomi Al Mawardi ................................................................................ 11
BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 15
KESIMPULAN ....................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 16

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pemikiran ekonomi Islam merupakan bagian yang penting dalam memahami
perkembangan ekonomi dan keuangan di dunia Islam. Salah satu bab yang menarik untuk
diteliti adalah masa-masa pemantapan kebijakan politik, di mana pemikiran ekonomi Islam
mulai menjadi landasan dalam mengatur kebijakan ekonomi dalam masyarakat Muslim. Pada
masa ini, terjadi berbagai peristiwa penting yang mempengaruhi arah dan kebijakan ekonomi
yang dijalankan. Mulai dari masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang dikenal
dengan kebijakan-kebijakan sosial ekonominya yang pro-rakyat, hingga masa kejayaan
peradaban Islam di Andalusia yang menghasilkan pemikiran-pemikiran ekonomi yang maju
dan inovatif. Pemikiran ekonomi Islam pada masa-masa tersebut tidak hanya menjadi
panduan dalam mengatur keuangan negara, tetapi juga dalam mengatur kehidupan ekonomi
masyarakat secara umum. Hal ini tercermin dalam berbagai karya ulama dan cendekiawan
Muslim pada masa itu, yang memberikan kontribusi besar dalam mengembangkan ekonomi
Islam sebagai sebuah sistem ekonomi yang unik dan berkelanjutan. Dengan memahami latar
belakang ini, diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana
pemikiran ekonomi Islam telah mempengaruhi kebijakan politik pada masa-masa tertentu
dan relevansinya dengan kondisi ekonomi saat ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa Pemantapan Kebijakan Publik?
2. Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid?
3. Bagaimana pemikiran ekonomi Yahya bin Umair?
4. Bagaimana pemikiran ekonomi Al Mawardi?

C. Tujuan
1. Memahami Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa Pemantapan Kebijakan Publik.
2. Memahami pemikiran ekonomi Abu Ubaid
3. Memahami pemikiran ekonomi Yahya bin Umair
4. Memahami pemikiran ekonomi Al Mawardi

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pemikiran Ekonomi Islam Masa Pemantapan Kebijakan Publik
Ekonomi Islam adalah sebuah paradigma ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip
Islam, seperti keadilan, keseimbangan, dan keberkahan. Pemikiran ekonomi Islam
mengalami perkembangan yang signifikan selama masa pemantapan kebijakan publik. Pada
masa ini, karakteristik pemikiran ekonomi Islam semakin terdefinisikan dan dipraktikkan
dalam berbagai kebijakan publik.
1. Keadilan
Keadilan merupakan salah satu prinsip utama dalam ekonomi Islam. Pada masa
pemantapan kebijakan publik, karakteristik ini semakin terwujud dalam bentuk kebijakan
distribusi yang merata. Kebijakan tersebut mencakup redistribusi pendapatan, bantuan
sosial bagi yang membutuhkan, dan pemberdayaan ekonomi bagi kelompok yang lemah.
2. Keseimbangan
Konsep keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan kolektif sangat
ditekankan dalam pemikiran ekonomi Islam pada masa ini. Kebijakan publik yang
diambil harus mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
3. Keberkahan
Keberkahan dalam ekonomi Islam mengacu pada berkah yang diperoleh dari
transaksi yang halal dan berpahala. Kebijakan publik pada masa pemantapan ini
diarahkan untuk memastikan bahwa setiap kegiatan ekonomi memberikan manfaat yang
berkelanjutan bagi masyarakat.
4. Transparansi dan Akuntabilitas
Pada masa pemantapan kebijakan publik, pemikiran ekonomi Islam menekankan
pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan yang diambil. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa
kebijakan yang diambil berpihak kepada kepentingan umum.
5. Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Pemikiran ekonomi Islam pada masa ini juga menekankan pentingnya pemberdayaan
ekonomi lokal. Hal ini dilakukan melalui berbagai kebijakan yang mendukung

2
pengembangan potensi ekonomi lokal, seperti pemberian kredit usaha kepada pelaku
usaha kecil dan menengah, serta pengembangan infrastruktur ekonomi lokal.
6. Larangan Riba dan Spekulasi
Pemikiran ekonomi Islam menolak praktik riba (bunga) dan spekulasi yang dianggap
merugikan masyarakat. Hal ini mempengaruhi kebijakan perbankan dan keuangan Islam
serta pengaturan pasar modal yang lebih berorientasi pada kegiatan riil.
7. Kemitraan dan Keberlanjutan
Pemikiran ekonomi Islam mendorong adanya kemitraan dan kerjasama yang
berkelanjutan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan ekonomi.
Prinsip syirkah (kemitraan) dan mudharabah (bagi hasil) menjadi landasan bagi kebijakan
pengembangan usaha bersama.
8. Prioritas pada Kesejahteraan Umum
Pemikiran ekonomi Islam menempatkan prioritas pada kesejahteraan umum daripada
keuntungan pribadi semata. Hal ini tercermin dalam kebijakan redistribusi pendapatan,
perlindungan hak-hak pekerja, dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
Dengan karakteristik-karakteristik tersebut, pemikiran ekonomi Islam telah
memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemantapan kebijakan publik di Indonesia,
terutama dalam upaya mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

B. Pemikiran Ekonomi Islam Abu Ubaid


1. Biografi Abu Ubaid
Abu Ubaid memiliki nama lengkap Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam bin Miskin
bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. Beliau anak seorang keturunan Byzantium,
dimana ayahnya menjadi seorang maula suku Azad. Beliau lahir pada tahun 157H di
sebuah kota bernama Harrah,ProvinsiKhurasan (sebelah Barat laut Afghanistan). Di
kota kelahirannya, beliau banyak menuntut ilmu. Sehingga pada usianya yang
ke 20 tahun beliau pergi berkelana ke berbagai kota seperti kota Kufah,
Basyrah dan Baghdad. Beberapa kajian ilmu yang ditekuninyaantara lain: ilmu tata
bahasa Arab, qira’at, tafsir, hadits dan ilmu fiqh. Latar belakang pendidikannya
yang mumpuni diberbagai bidang keilmuan, membuat dirinya sangat dihargai oleh
orang sezamannya karena kesalehan dan pengetahuannya tentanghukum, sunnah,
sejarah dan sastra arab sangat tinggi.

3
Maka pada tahun 192 H ia diangkat menjadi seorang hakim (qadi) di Kota Tarsus
oleh Tsabit ibn Nasr ibn Malikyang memerintah sebagai gubernurThugur pada masa
kekhalifahan Dinasti Abbasiyyah tepatnyapadamasa kepemimpinan khalifah Harun
Al-Rasyid.4Meskipun tidak mencapai posisi hakim Agung seperti Abu Yusuf.
Namun, pemikirannya sangat monumental karena secara tidak nampak
pemikirannya berasal dari mazhab tertentu. Abu Ubaid mendeskripsikan karyanya
berawal dari akibatmelihat kebiasaan orang-orang Irak yang menganut
Mazhab Hanafi dan juga memperhatikan pendapat Mazhab Maliki, namun
tidak mengadopsi keduanya melainkan memunculkan pendapatnya sendiri
sehingga terlahir sebuah karya yang monumentalbernama Kitab Al-Amwal.
Ini menunjukkan bahwa Abu Ubaid merupakan seorang inovator dari pada
seorang pengikut mazhab. Sehingga banyak karyanya tentang Al-Qur’an,
Sunnah, hukum, dan Syair telah menjadikan dirinya seorang yang selalu
mencurahkan seluruh waktunya untuk menulis. Bahkan gubernur kaya pun
memberi dukungan keuangan dalam mengapresiasi karya dan kemampuan,
kemuliaan dan pengetahuan yang dimiliki Abu Ubaid. Abu Ubaid menjabat
seoranghakim selama 18 tahun. Setelahnya beliau tinggal di Baghdad selama 10
tahun. Pada tahun 219 H beliau melaksanakan Haji dan setelahnya tinggaldi
Makkah sampai beliau wafat pada tahun 224 H dalam usia 67 tahun.
Sebagaimana kita ketahui,karya monumental Abu Ubaid adalah Kitab al-Amwal.
Kitab ini hampir tiga kali lipat ukuran kitab al-Kharaj karya Abu Yusufserta
pembahasannya jauh lebih luas. Buku ini memiliki ciri khas yang tidak pernah ada
pada buku-buku sebelumnya. Dimana Abu Ubaid merangkaiikhtisar tentang
keuangan publik yang bisa disandingkandengan kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf.
Selain itu juga, karyanya banyak dilengkapi dengan buktisejarah yang berkitan
dengan materi ilmu hukum serta sejarah perekonomian diseparuh pertama abad kedua
Islam. Bahkan didalamnya terdapat ringkasan asli Nabi SAW dan jejak kisahpara
sahabat beserta para pengikutnya mengenai permasalahan perekonomian yang di
hadapi mereka pada zamannya.1

1
Muhammad Izazi Nurjaman and Muhammad Danil, “RELEVANSI PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID DI
INDONESIA,” Islamic Circle 1, no. 2 (2020): 6, https://doi.org/10.56874/islamiccircle.v1i2.299.

4
a. Pemikiran Abu Ubaid
1) Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab al-Amwal dikaji dari sisi filosofi hukum, akan
tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip
utama.Bagi Abu Ubaid, implementasi dari prinsip-prinsip ini akan
membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada
dasarnya, Abu Ubaid memiliki pendekatan yang berimbang terhadak hak
individu, publik dan Negara. Jika kepentingan individu berbenturan dengan
kepentingan publik, ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid menitik beratkan pada berbagai
persoalan yang berkaitan dengan hak khalifah dalam mengambil suatu
kebijakan atau wewenang dalam memutuskan suatu perkara selama
tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam dan kepentingan kaum
Muslimin.Di sisi lain, Abu Ubaid juga menekankan bahwa pebendaharaan
Negara tidakboleh disalah gunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa
untuk kepentingan pribadinya. Dengan kata lain, perbendaharaan Negara
harus digunakan untuk kepentingan publik. Kaum Muslimin dilarang
menarik pajak terhadap tanah penduduk non-Nuslim melebihi dari
apayang deperbolehkan dalam perjanjian perdamaian.
Di samping itu, Abu Ubaid menekankan kepada petugas
pengumpul pajak untuk tidak menyiksa masyarakat dandisisi lain,
masyarakat agar memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan
sepantasnya. Dengan kata lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan
terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan
sertamenghindariadanya upaya menghindaripajak.
Bahkan Abu Ubaid dalam kibanya membahas hal tersebutdalam
sebuah bab khusus yang berjudul: Peringatan bagi para pemungut pajak
(‘ashir) dan orang yang memungut pajak illegal (maks) dan yang
dimaksud penindasan atau melebihi batas. Hal tersebut didasarkan pada
hadis Nabi SAW, Rasullullah bersabda: “orang yang bertugas memungut
zakat (Amil) secara benar sama dengan seseorang yang berperang di jalan

5
Allah hingga dia kembali pulang ke rumanya”. Dan dalam hadith yang
lain Rasulallah bersabda: “orang yang melakukan kezaliman dan kecurangan
di dalam zakat, maka dia sama dengan orang yang menolak zakat”.2
2) Sumber Penerimaan Keuangan Publik

Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal menjelaskan secara detil


masalah keuangan publik (public finance). Ia memaparkan dan melakukan
studi secara mendalam terhadap praktek yang dilakukan Rasulullah
dan Umar bin Khattab sebagai maestro pengelola keuangan publik.
Dengan institusi yang dinamakanBaitul Mal, Umar bin Khattab
mengumpulkan anggaran pendapatan belanja negara sepertighanimah,
shadaqah dan fa’i. Sebelum Baitul Mal dibentuk, harta-harta tersebut
disimpan di mesjid.Tak lama kemudian sumber penerimaan keuangan
publik pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus.

Fa'iadalah harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa


melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman Allah dalam
surah al-Hasyr : 6, yang artinya:

“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula)
seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-
Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya”. Fa’I menurut bahasa adalah
ar-Rujuu’ berarti kembali, sedang menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang
diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau
setelah peperangan itu berakhir, disebutfa’ikarena Allah mengembalikan harta
tersebut kepada kaum muslimin.Menurut Abu Ubaid adalah sesuatu yang
diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab

2
Ibid., 10.

6
itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk
kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat.3

3) Kepemilikan Kebijakan Pertanian


Kepemilikan individu maupun kepemilikan umum menjadi salah satu
hal yang penting bagi Abu Ubaid untuk diakui keberadaannya.
Sehingga Abu Ubaid berpendapat tentang hubungan antar kepemilikan
dengan kebijakan perbaikan pertanian, antara lain:
a) Iqtha’merupakan lahan yang diamanahkan oleh kepala negara untuk
dikuasai dan dikelola masyarakat dengan mengabaikan kepemilikan
masyarakat yang lain. Kebijakannya adalah mengambil kembali tanah
yang diberikan, akibat ditinggalkan pemiliknya.
b) Ihya al-Mawatmerupakan mengembalikan fungsi tanah-tanah yang tidak
dikelola, tidak terairi,dan tidak menghasilkan manfaat. Maka negara boleh
mengambil alih tanah tersebut dengan tujuan dapatdipergunakan oleh
kepentingan umum dalam rangkamemberikan kemaslahatan kepada
masyarakat.
c) Hima(Perlindungan) merupakan lahan kosong yang digunakan sebagai tempat
mengembala ternak dan dilindungi oleh negara serta dipergunakan untuk
kemaslahatan masyarakat.
4) Fungsi Uang
Menurut Abu Ubaid terdapat dua fungsi uang antara lain: uang sebagai
standar dari nilai (standard of exchange value) dan uang sebagai media
pertukaran (medium of exchange). Dengan demikian, Abu Ubaid
mendukung teori ekonomi tentang kedudukan uang logamyang
merujukkepada nilai emas dan perak yang sudah menjadi ketentuan umum
dibanding dengan komoditas yang lain. Selain itu, Abu Ubaid secara tidak
langsung mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of
value)ketika adanya wajib zakat pada jumlah tabungan minimum.
5) Ekspor dan Impor

3
Asra Febriani & Jalaluddin, “PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID AL-BAGHDADI (Studi Kitab Al-Amwal),”
Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan Dan Ekonomi Islam 9, no. 2 (2017): 7.

7
Gagasan Abu Ubaid terkait ekspor dan impor ini terbagi kedalam tidak
bagian, antara lain: Pertama, tidak ada nol tarif pada perdagangan
Internasional. Hal ini diperkuat dengan surat-surat rasulullah SAW yang
pernah dikirim kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain,
dan Dawmatul Jandal dan yang lainnya yang telah memeluk Islam, yang
berisi. “Binatang ternakdan barang dagangan impormereka tidak boleh
diambil cukai atasnya.”
Kedua, cukai bahan makanan pokok. Abu Ubaid berpendapat
bahwa cukai minyak dan gandum adalah sebesar 5 % sehingga barang
impor berupa makanan banyak tersedia di Madinah sebagai pusat peradaban
dan pemerintahan.
Ketiga, batas tertentu untuk cukai. Abu Ubaid berpendapat bahwa
tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batasan tertentu
dimana kalau kurang dari batas tertentu, maka cukai tidak dipungut
melainkan di catat. Apabila sudah memenuhi batasan tersebut maka barang
dagangan tersebut harus dikenakan cuka.

C. Pemikiran Ekonomi Islam Yahya bin Umair


1. Biografi Yahya bin Umair
Yahya Bin Umar dengan nama lengkap Abu Bakar Yahya Bin Uma Bin Yusuf Al
Kannani Al Dausi lahir paada tahun 213 H yang besar di Kardova Spanyol, yang
merupakan salah satu fuqaha imam maliki. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia
berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir
dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-
Qasim. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab
Az-Zuhri.
Yahya bin Umar akhirnya menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan
pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin
Sulaiman Al-Farisi dan ide ide yang di kembangkan cukup brilian yang di tuangkan
ke dalam karya tulis ilmiah. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di
Jami’ Al-Qairuwan.

8
Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam
anatar fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah salah satu pemicu hal ini ialah
persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar harus
pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, sebagai salah
satu yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara
membunuh ataupun memenjarakan, atau menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu
‘Abdun turun dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan
jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilih tetap
tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya
bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).
Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak
menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya
yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi ikhtishar al-Mustakhirijah fi al-Fiqh al-
Maliki dan kitab Ahkam al-Suq.
2. Pemikiran Yahya Bin Umair
Siyasah al-Ighraq (dumping) adalah sebuah aktivitas perdagangan yang bertujuan
untuk mencari keuntungan dengan jalan menjual barang pada tingkat harga yang
lebih rendah dari harga yang berlaku di pasaran. Perilaku seperti ini secara tegas
dilarang oleh agama karena dapat menimbulkan kemudlaratan bagi masyarakat.4
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa
ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus faktor utama yang
membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Oleh karena itu, di
samping Alquran, setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti
seluruh perintah Nabi Muhammad saw. dalam melakukan setiap aktivitas
ekonominya. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberkahan akan selalu menyertai
orang-orang yang bertakwa, sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya.: “Jikalau
sekiranya penduduk negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan

4
Moh Subhan, “PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR DALAM PERSPEKTIF EKONOMI MODERN” 1, no. 1 (2015):
7.

9
(ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al-
A‟raf/7:96).
Seperti yang telah disinggung, fokus perhatian Yahya ibn Umar tertuju pada
hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan tentang tas‟ir (penetapan
harga). Penetapan harga (al-tas‟ir) merupakan tema sentral dalam kitab Ahkam al-
Suq. Penyusun buku tersebut, Imam Yahya bin Umar, berulang kali membahasnya di
berbagai tempat yang berbeda. Tampaknya, ia ingin menyatakan bahwa eksistensi
harga merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah transaksi dan pengabaian
terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam kehidupan masyarakat.
Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul tanggung jawab menciptakan
kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas
yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.
Pemerintah, sebagai institusi formal yang memikul tanggung jawab menciptakan
kesejahteraan umum, berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas
yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat luas.
Tentang ihtikar, Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan
terhadap masyarakat merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal
tersebut terjadi, barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan
dari hasil penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar.
Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak mendapatkan modal pokok
mereka. Selanjutnya, pemerintah memperingati para pelaku ihtikar agar tidak
mengulangi perbuatannya. Apabila mereka tidak memedulikan peringatan tersebut,
pemerintah berhak menghukum mereka dengan memukul, mengelilingi kota, dan
memenjarakannya.
Dengan demikian, dalam kasus kenaikan harga akibat ulah manusia, seperti
ihtikar dan dumping, kebijakan yang diambil pemerintah adalah mengembalikan
tingkat harga pada equilibrium price. Hal ini juga berarti bahwa dalam ekonomi
Islam, undang-undang mempunyai peranan sebagai pemelihara dan penjamin
pelaksanaan hak-hak masyarakat yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup

10
mereka secara keseluruhan, bukan sebagai alat kekuasaan untuk memperoleh
kekayaan secara semena-mena. 5

D. Pemikiran Ekonomi Islam Al Mawardi


1. Biografi Al Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-
Mawardi al- Bashri (364-450 H/974-1058 M), dilahirkan di Basrah, Irak. Beliau
dibesarkan dalam keluarga yang mempuyai perhatian yang besar kepada ilmu
pengetahuan. Mawardi berasal dari kata ma’ (air) dan ward (mawar) karena ia adalah
anak seorang penjual air mawar2 . Panggilan al-Mawardi diberikan kepadanya karena
kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat, berargumen dan memiliki
ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang dihadapinya, sedangkan julukan al-
Bashri dinisbatkan pada tempat kelahirannya. Masa kecil Al-Mawardi dihabiskan di
Baghdad hingga tumbuh dewasa. Al- Mawardi hidup pada masa pemerintahan dua
khalifah: al-Qadir Billah (380-422 H) dan al-Qa‟imu Billah (422 H-467 H) . Al-
Mawardi juga mempunyai nama kun-yah (julukan), yaitu: Abu al-Hasan, dengan laqb
(gelar) Qadi Al-Qudhat (semacam hakim agung sekarang). Yaqut al-Hamawî
menyebutkan bahwa gelar Qadi Al-Qudhat ini diterimanya pada tahun 429 H.
Pemberian gelar ini sempat menimbulkan protes dari para fuqaha pada masa itu.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada seoranpun boleh menyandang gelar tersebut.
Hal ini terjadi setelah menetapkan fatwa bolehnya Jalal Ad Daulah ibn Addid Ad
Daulah menyandang gelar Malik Al Muluk sesuai permintaan. Menurut mereka
bahwa yang boleh menyandang gelar tersebut hanya Allah SWT.
Al-Mawardi wafat pada tanggal 30 bulan Rabi’ul Awal tahun 450 hijrah
bersamaan 27 Mei 1058 M. Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Bertindak sebagai
imam pada sholat Jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi. Banyak para pembesar dan
ulama yang menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di
perkuburan Bab Harb Kota Mansur di Baghdad. Kewafatannya terpaut 11 hari dari
kewafatan Qadi Abu Taib.
a. Pemikiran Ekonomi Al Mawardi
1) Negara dan Ekonomi

5
Dr. Abdul Rahim, “Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam,” YAYASAN BARCODE, n.d., 80.

11
Berkaitan dengan ekonomi dan negara al-Mawardi memberikan
pandangan bahwasanya untuk menciptkan pengelolaan yang baik maka
konsep Imamah sebagai pengganti tugas dan fungsi kenabian harus
diterapkan. Adapun jika membahas tentang keuangan yang bersifat publik
maka tidak akan pernah terlepas dari peran sebuah negara dalam kehidupan
ekonomi. Kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Merupakan tanggung
jawab negara yang harus dipenuhi.
Al-Mawardi berpendapat bahwasanya negara memiliki peran penting
dalam terwujudnya tujuan dalam hidup masyarakat baik bersifat spiritual
maupun dari segi materi. Negara berkewajiban menciptkan kesejahteraan dan
kebaikan bersama gunu untuk menujang stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
rakyat. Beliau berpendapat baahwa pemenuhan ekonomi bukan hanya peran
negara dalam bidang ekonomi saja namun juga merupakan peran moral dan
agama. Negara harus menjadi sarana dalam pertumbuhan dan perkembangan
ekonomi bagi kesejahteraan umum.
Negara berkewajiban memenuhi pembiayaan publik karena hal tersebut
merupakan peran negara dan bukan peran individu atau masyarakat secara
pribadi. Layanan public tersebut merupakan kebutuhan sosial yang mana
bersandar pada kepentingan umum bukan kepentingan pribadi penguasa.
Negara memilki tugas dasar dalam melindungi kepentingan warganya yaitu:
1) Melindungi dan menjaga agama, 2) Mewujudkan penegakan hukum yang
adil dan stabilitas, 3)Memelihara seta menjaga batas-batas negara, 4)
Mewujudkan dan memelihara iklim ekonomi yang kondusif, 5) Menyediakan
segala bentuk administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum Islam,
6) Menerapkan pajak baru jika diperlukan dan dituntut oleh situasi, 7)
Menggunakan dana Baitul Maal sesuai fungsi yang telah ditetapkan.
2) Perpajakan
Seperti pemikir ekonomi lainnya, Al-Mawardi juga tidak luput mengatur
tentang pajak atau yang dikenal dengan al-Kharaj. Menurut beliau pajak
dibayarkan sesuai dengan hasil produksi dari tanah serta juga memperhatikan
terkait perawatan tanah, kesuburan serta jenis tanaman yang ditanam pada

12
lahan tersebut. Pentingnya memperhatikan persolan tersebut karena kesuburan
tanah akan sangat berpengaruh tehadap jumlah produksi. Adapun jenis
tanaman yang ditanam juga ikut menjadi faktor penentu dari besarnya pajak,
karena masing-masing tanaman memilki harga yang beerbeda sehingga porsi
pajak yang ditetapkan juga tidak akan sama. Selain itu pembiayaan tambahan
seperti irigasi juga ikut andil dalam penentuan pajak, karena tanaman yang
menggunakan irigasi dan tidak menggunakan irigasi akan mendapat
porposional pajak yang berbeda.
Persolan tersebut juga didukung oleh pemikiran ekonomi Abu Yusuf yang
mana menetapkan pajak setiap lahan itu berbeda-beda tergantung kepada
produktivitas lahan tersebut. Meskipun lahan luas namun penghasilannya
sedikit, maka yang akan menjadi acuan dari pengeluaran pajak adalah
penghasilan dari lahan tersebut.
Al-Mawardi menetapkan tiga metode dalam penetapan pajak yaitu:
pertama, metode mishahah (fixed tax), yaitu penetapan nominal pajak diukur
berdasarkan besaran lahan, baik lahan tersebut ditanami tumbuhan ataupun
tidak ditanami sama sekali. Maka tetap dibayarkan pajaknya jika tanah
tersebut masih layak untuk ditanami.Kedua adalah metode penetapan nominal
pajak berdasarkan ukuran tanah yang ditanami, dengan demikian pajak hanya
bernilai bagi tanah yang ditanami saja berbeda dengan metode mishahah yang
juga mengenakan pajak terhadap tanah yang tidak ditanami. Ketiga adalah
metode musaqoh, yaitu penetapan pajak berdasarkan kepada persentase hasil
produksi tanaman (proporsonal tax).
3) Baitul Maal
Al-Mawardi berpendapat bahwa negara membutuhkan baitul maal untuk
mengatur pendapatan ataupun pengeluaran negara. Baitul Mal ini terletak di
setiap provinsi dan dibagi dalam beberapa pos serta dibelanjakan sesuai
alokasi pos masingmasing. Namun, jika terdapat kekurangan antara satu pos,
maka al-Mawardi memperbolehkan untuk meminjam dana pos yang lain.
Baitul Maal memilki tanggungjawab terhadap publik yaitu: 1)
Tanggungjawab yang timbul dari dana yang disimpan dalam Baitul Mall

13
untuk dialokasikan kepada masyarakat yang berhak. 2) tanggungjawab yang
timbul seiring dengan bertambahnya asset baitul mall itu sendiri. Berdasarkan
kategori yang pertama, baitul mall memiliki tanggungjawab memberikan dana
yang berasal dari sedekah kepada para pihak yang berhak. Sedangkan kategori
yang kedua pendapatan baitul maal tersebut didapati dari fa’i yang mana
merupakan milik umat muslim secara umum bukan terkhusus kepada sebagian
orang saja.
Al-Mawardi berpendapat bahwasanya perbelanjaan publik yang
diperbolehkan adalah untuk kemaslahtan bersama. Oleh karena itu, negara
berkewajiban untuk membelanjakan harta baitul mal untuk kepentingan
pemeliharaan kemaslhatan umum. Adapun terkait dengan zakat, Al-Mawardi
memaparkan bahwa zakat yang di ambil dari suatu daerah harus dibagikan
kepada musthiq yang juga berada di daerah tersebut. Zakat bisa dialokasikan
ke daerah lain apabila sudah terpenuhi kebutuhan zakat dalam daerah
tersebut.6

6
Sisi Ade Linda, “PEMIKIRAN AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI TENTANG PERAN NEGARA DALAM HUKUM EKONOMI
ISLAM” 5 (June 1, 2022): 7.

14
BAB III
KESIMPULAN
Ekonomi Islam adalah sebuah paradigma ekonomi yang didasarkan pada
prinsip-prinsip Islam, seperti keadilan, keseimbangan, dan keberkahan.
Pemikiran ekonomi Islam mengalami perkembangan yang signifikan selama
masa pemantapan kebijakan publik. Pada masa ini, karakteristik pemikiran
ekonomi Islam semakin terdefinisikan dan dipraktikkan dalam berbagai
kebijakan publik. Keadilan merupakan salah satu prinsip utama dalam
ekonomi Islam. Konsep keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan kolektif sangat ditekankan dalam pemikiran ekonomi Islam pada
masa ini. Keberkahan dalam ekonomi Islam mengacu pada berkah yang
diperoleh dari transaksi yang halal dan berpahala. Pada masa pemantapan
kebijakan publik, pemikiran ekonomi Islam menekankan pentingnya
transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan yang diambil. Pemikiran
ekonomi Islam pada masa ini juga menekankan pentingnya pemberdayaan
ekonomi lokal. Pemikiran ekonomi Islam menolak praktik riba (bunga) dan
spekulasi yang dianggap merugikan masyarakat. Pemikiran ekonomi Islam
mendorong adanya kemitraan dan kerjasama yang berkelanjutan antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam pengembangan ekonomi.
Pemikiran ekonomi Islam menempatkan prioritas pada kesejahteraan umum
daripada keuntungan pribadi semata.

15
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Abdul Rahim. “Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam.” YAYASAN BARCODE, n.d.
Jalaluddin, Asra Febriani &. “PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID AL-BAGHDADI (Studi
Kitab Al-Amwal).” Jurisprudensi: Jurnal Ilmu Syariah, Perundang-Undangan Dan
Ekonomi Islam 9, no. 2 (2017): 128–49.
Nurjaman, Muhammad Izazi, and Muhammad Danil. “RELEVANSI PEMIKIRAN EKONOMI
ABU UBAID DI INDONESIA.” Islamic Circle 1, no. 2 (2020): 47–65.
https://doi.org/10.56874/islamiccircle.v1i2.299.
Sisi Ade Linda. “PEMIKIRAN AL-MAWARDI DAN AL-GHAZALI TENTANG PERAN
NEGARA DALAM HUKUM EKONOMI ISLAM” 5 (June 1, 2022): 1–13.
Subhan, Moh. “PEMIKIRAN EKONOMI YAHYA BIN UMAR DALAM PERSPEKTIF
EKONOMI MODERN” 1, no. 1 (2015).

16

Anda mungkin juga menyukai