Anda di halaman 1dari 22

Sejarah Perkembangan Ekonomi Syari’ah

Makalah ini Ditulis Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata kuliah
“Filsafat Ilmu”

Dosen Pengampu :
Dr. Syamsul Huda, M.Ag

Oleh:
Alfiina Rohmatil Aliah (22505010)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI
2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat Ilmu dengan judul “Sejarah
Perkembangan Ekonomi Syari’ah” ini dengan baik.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Syamsul Huda, M.Ag
selaku Dosen Matakuliah Filsafat Ilmu.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu Penulis menerima segala kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat dan inspirasi.

Jombang, 05 Maret 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................1
C. Tujuan Penulisan .........................................................................1

BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah perkembangan ekonomi syari’ah.................................. 3
B. Perkembangan pemikiran teori ekonomi syari’ah...................... 4
C. Perkembangan praktik ekonomi syari’ah……........................... 9
D. Bagaimana perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia...... 12
E. Sejarah Nabi Muhammad mendapat gelar Al-Amin................ 15

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan..............................................................................18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu ekonomi Islam sebagai studi ilmu pengetahuan modern baru muncul
sekitar tahun 1970-an, tetapi pemikiran tentang ekonomi Islam telah muncul
sejak Islam itu diturunkan melalui Nabi Muhammad Saw sebagai master of
economy. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi Islami adalah Al Quran
dan Hadis maka pemikiran ekonomi ini muncul juga bersamaan dengan
diturunkan Al Quran dan masa kehidupan Rasulullah Saw pada abad akhir 6
M hingga awal abad 7 M. Setelah masa tersebut banyak sarjana muslim
berontribusi dengan karya pemikiran ekonomi. Karya- karya mereka sangat
populer, yaitu memiliki dasar argumentasi relijius dan sekaligus intelektual
yang kuat serta kebanyakan didukung oleh fakta empiris pada waktu itu.
Banyak diantaranya juga sangat futuristik dimana pemikir- pemikir Barat baru
mengkajinya ratusan abad kemudian. Pemikiran ekonomi dikalangan pemikir
muslim banyak mengisi khasanah pemikiran ekonomi dunia pada masa
dimana Barat masih dalam kegelapan (dark age) atau dalam bahasa kita dapat
diartikan masa kelam. Pada masa tersebut dunia Islam justru mengalami
puncak kejayaan dalam berbagai bidang diantaranya bidang perekonomian.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan ekonomi syari’ah?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran teori ekonomi syari’ah?
3. Bagaimana perkembangan praktik ekonomi syari’ah?
4. Bagaimana perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia?
5. Sejarah Nabi Muhammad mendapat gelar Al-Amin?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan ekonomi syari’ah
2. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran teori ekonomi syari’ah

1
3. Untuk mengetahui perkembangan praktik ekonomi syari’ah
4. Untuk mengetahui perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia
5. Untuk mengetahui sejarah Nabi Muhammad mendapat gelar Al-Amin

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ekonomi syari’ah


Perkembangan ekonomi syari’ah adalah wujud dari upaya menerjemahkan
visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi
alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara
pekerja dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang
berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya
berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak
ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati
pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan
muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni
dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah
kematian nantinya.
Ekonomi syari’ah yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata
dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam
tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang
belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi
sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut,
saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan
sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai,
berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama
mereka.
Perkembangan ekonomi syari’ah adalah salah satu harapan untuk
mewujudkan visi Islam tersebut. 1 Hal ini karena ekonomi syari’ah adalah satu
bentuk integral dalam mewadahi dua kekuatan besar yang mempengaruhi
kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan
ini dalam satu wadah ekonomi syari’ah adalah merupakan penyatuan kembali
bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT
1
Marshal sebagaimana dikutip oleh Mahmūd Abū Su’ūd, Khutut Ra’isiyyah fī al-Iqtis ād al-
Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, Kuwait,1968), hal. 56.

3
(tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta,
kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan
menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan
kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi
muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana
Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”2
Ekonomi syari’ah adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam
direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi
syari’ah dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi syari’ah menjadi
sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang,
yaitu wujud teori ekonomi syari’ah dan praktik ekonomi syari’ah.

B. Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi syari’ah


Perkembangan teori ekonomi syari’ah dimulai dari diturunkannya ayat-
ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275
dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang
pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat
31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan
membelanjakan harta.3 Ayat-ayat ini, menunjukkan bahwa Islam telah
menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW)
dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin).
Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif,
sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat
2
Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
3
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi syari’ah: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004), hal. 26

4
subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen
terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran
Ekonomi syari’ah dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi
6 tahapan.4
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-
661M), pemikiran ekonomi syari’ah di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap
Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi syari’ah periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik
(798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya
bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal
(855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin
Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al
Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf
Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi
(1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi
syari’ah Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu
Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi
(1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al
Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul
Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu
Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al
Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu
Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl
(1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al
Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal

4
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi syari’ah: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal.
149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef
(1995), dan A. Karim (2001).

5
(1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi
(1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad
Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad
Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad
Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi syari’ah dari beberapa pemikir di atas sebagai
berikut:
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu
komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.5
Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai
imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas
keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal
dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābahah.6
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-
Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu
Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-
gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai
bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik
dalam bentuk tunai atau sejenis.7
Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal
sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum.
Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia
menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar
rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya
mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang
di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di
5
Ibid., hal. 5-7
6
Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410, 432-
442, 539.
7
Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al-
‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.

6
samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam
untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.8
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan
sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli Hakīm)
Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum
serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian.9 Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni
Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang
kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas
permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid,
dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta
mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini
mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-
jawali (al-jizyah).10 Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi
adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam
rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk
mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran
ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk
mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan
yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of
taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang
menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh
penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan
menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk
intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas,
kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan
kapan pemerintah wajib melakukanya.11
8
Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432.
9
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi syari’ah: Teori dan Praktek, h. 24
10
Al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib
11
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk
Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang
diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.

7
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara
lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan
negara; c) perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga
ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia berpendapat
bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh
masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus
dijaga; e) Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil
kerja; f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya
yang sah; g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; h)
pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan
sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan
negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas; i)
setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan
baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.12

C. Perkembangan Praktik Ekonomi syari’ah


Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena
telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama
opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan
uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah,
muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada
istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman
atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang
dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan
ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check
atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan
telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank

12
Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi syari’ah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 242-
250.

8
tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana
dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah
dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan
pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu
individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata
uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian,
diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran
uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid,
sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata
uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara
luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat
Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk
keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk
menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli
ekonomi syari’ah. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka
bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba
mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba
yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local
Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat
pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni
intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr
diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967).
Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan
kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank.
Ilmu ekonomi syari’ah adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah
suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak
seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari
pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi

9
Khilafah tahun 1924.13 dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga
terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk
penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi
syari’ah menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan
diselengarakan Konfrensi Ekonomi syari’ah secara teratur. Pemantapan hati
negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya
masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi syari’ah III yang
diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983. Hasilnya, sejumlah
pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi
syari’ah di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-
Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu
upaya membentuk Sistem Ekonomi syari’ah (SEI) yang mencakup semua
aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The
Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi
syari’ah itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan
Islam. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama,
perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah
transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa
krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri
Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata
menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata
memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam
yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan
minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-
negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara.
Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan pemikiran
untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan syariah.

13
Pasca Perang Dunia II berakahir banyak pemuda mahasiswa Muslim belajar ekonomi di Barat
sehingga mereka mendapat wawasan ekonomi yang luas. Menyadari hal itu mereka berupaya
menghidupkan kembali prinsip, nilai, norma dan hukum ekonomi syari’ahi untuk kemudian
mereka berusaha untuk mengaplikasikannya di tanah air mereka.

10
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang
ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu
dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama,
telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an;
Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan
Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur;
ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka,
pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.14

D. Perkembangan Ekonomi syari’ah di Indonesia


Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi syari’ah Indonesia tak bisa
lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Menurut para pakar,
mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa
Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi
perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang
Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak
kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan
bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah
bercampur dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam
bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan
pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara
khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan
gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek
kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan
gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan
syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20
lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah.

14
Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4-5 dengan mengutip berbagai sumber.

11
Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak
bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi
mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. Gerakan
koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang
relatif sukses.
Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena
beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya,
2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga
keuangandanperbankan syariah, 3) dukungan politik atau political will dari
pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi
dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga
pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru
pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara
individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan
syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada
konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan
terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami
kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan
rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain
pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank
konvensional milik pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan
perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan
konstribusi yang berarti bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan
mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi syari’ah di Indonesia pada tahun 1990-an
yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang
mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem
bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen
yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang

12
perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah
di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru
atau cabank syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan
syari’ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal
pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Perkembangan
berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan
(Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan
syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga
keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi
kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi syari’ah (mu’amalah maliyah)
untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi syari’ah khususnya
perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah
maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh
ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta
menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh
ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab
suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh
karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi syari’ah dari
segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons
masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan
pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada
No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan

13
Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai
subsistem perbankan nasional.
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di
tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah,
BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-
bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI
Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon
Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan
syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu
BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).

E. Sejarah Nabi Muhammad Mendapat Gelar Al-Amin


Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir yang diutus Allah SWT di
muka bumi ini. Nabi Muhammad SAW mengemban tugas untuk menuntun
manusia pada jalan yang benar, yaitu menyembah Allah SWT. Sebagai Nabi
terakhir bagi seluruh umat muslim, Rasulullah SAW memiliki julukan
Khataman Nabiyyin. Artinya menjadi penutup para nabi dan rasul.
Tak hanya itu saja, Rasulullah SAW juga memiliki beberapa julukan
lainnya yang begitu terpuji dan bisa diteladani umat. Salah satunya julukan Al
Amin yang melekat pada diri Nabi Muhammad SAW. Arti Al Amin sendiri
memiliki arti baik dan bisa jadi contoh umat muslim. Arti Al Amin adalah
orang yang dapat dipercaya.
Al Amin tersebut diberikan untuk Rasulullah SAW karena sifat beliau
yang begitu terpuji serta dapat dipercaya. Nabi Muhammad SAW dikenal
dengan kejujuran dan sifat amanahnya yang begitu luar biasa. Baik dalam
berdagang ataupun kepentingan umat. Sehingga Al Amin sendiri bukan hanya
sebagai gelar biasa, namun menjadi sebuah tanda bahwa sifat dan akhlak
Rasulullah SAW bisa dijadikan teladan baik untuk seluruh umat.
Gelar Al Amin yang dimiliki oleh Rasulullah SAW tentu memiliki
sejarahnya. Sifat dan akhlak Rasulullah SAW bisa menjadi suri tauladan untuk

14
seluruh umat terutama umat muslim. Karena itulah Rasulullah memiliki
sejumlah gelar yang mengandung doa dan pujian.
Seperti gelar Al Amin yang diberikan untuk Rasulullah SAW yang terjadi
akibat sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam sebelum masa kenabian.
Arti Al Amin adalah orang yang dapat dipercaya. Diketahui bahwa, gelar ini
diberikan oleh Rasulullah SAW karena sebuah peristiwa pembangunan ulang
Ka'bah dan peletakan Hajar Aswad.
Pada saat 10 tahun menginjak usia pernikahannya dengan Khadijah, terjadi
banjir yang melanda kota Mekkah dan merusak bangunan Ka'bah. Penduduk
Mekkah beramai-ramai memperbaiki bangunan tersebut. Perselisihan mulai
timbul ketika akan meletakkan Hadjar Aswad. Masing-masing suku di
Mekkah merasa berhak untuk meletakkan batu suci itu. Akibatnya terjadi
perkelahian diantaranya. Hingga akhirnya mereka saling berembug dan
sepakat bahwa orang yang pertama kali memasuki Masjidil Haram maka
berhak memutuskan perkara ini.
Diketahui Nabi Muhammad saw adalah orang yang pertama masuk ke
Masjidil Haram. Dengan penuh kebijaksanaannya, Rasulullah meletakkan
Hajar Aswad di atas sorbannya dan meminta perwakilan dari masing-masing
suku di Mekkah untuk memegang ujung sorban dan meletakkannya bersama-
sama. Atas kebijaksanaan Rasulullah dalam memutuskan perkara dengan
penuh kejujuran, sejak saat itu orang-orang Quraisy memberikan gelar
Muhammad "Al Amin". Al Amin artinya dapat dipercaya.
Sebagai nabi terakhir yang membawa kebenaran, Rasulullah selalu
memberikan contoh suri tauladan yang baik kepada seluruh umat. Bahkan
sejak Nabi hidup dengan pamannya, Abu Thalib untuk membantu berdagang
ke Negeri Syam, Rasulullah dikenal dengan kejujurannya dalam berdagang.
Al Amin memiliki makna setiap orang yang hidup di bumi hendaklah
untuk senantiasa berbuat jujur baik dalam lisan maupun perbuatannya. Selain
itu, ketika diberikan tanggung jawab hendaklah menjalankan
tanggungjawabnya dengan baik dan amanah. Sifat jujur dan amanah itu yang
menjadikan orang akan mendapatkan kepercayaan.

15
Allah SWT telah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 58 sebagai berikut,
‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوُأ ۟ولِى ٱَأْل ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَِإن تَ ٰنَ َز ْعتُ ْم فِى َش ْى ٍء فَ ُر ُّدوهُ ِإلَى‬۟ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوَأ ِطيع‬ ۟ ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءامنُ ٓو ۟ا َأ ِطيع‬
َ
‫ٱهَّلل ِ َوٱل َّرسُو ِل ِإن ُكنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ْٱليَوْ ِم ٱلْ َءا ِخ ِر ۚ ٰ َذلِكَ َخ ْي ٌر َوَأحْ َسنُ تَْأ ِوياًل‬

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan


amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat."
Dari firman di atas Allah SWT senantiasa meminta hamba-Nya untuk
menyampaikan amanah dan menetapkan hukum seadil-adilnya. Hal tersebut
sebagaimana yang telah dijalankan oleh Rasulullah ketika memutuskan
perkara atas perselisihan yang terjadi di antara kaum Quraisy.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perkembangan ekonomi syari’ah adalah wujud dari upaya menerjemahkan
visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran
bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.
2. Perkembangan pemikiran ekonomi syari’ah terdapat enam tahap. Tahap
Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M),
pemikiran ekonomi syari’ah di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga
atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi syari’ah periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal
(855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama
bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M),
Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802
M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih
(1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037). Tahap
Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi syari’ah
Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun
(1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093
M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi
(1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul
Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M),
Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857),
Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M),
Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk
Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M). Tahap Kelima atau Periode Ketiga
(1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin
Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti
Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym
(1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M). Tahap

17
Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul
Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad
Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani,
Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
3. Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena
telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama
opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2)
meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk
mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa
pengiriman atau transfer uang.
4. Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi syari’ah Indonesia tak bisa
lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Aktivitas ekonomi
syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah bercampur dengan
kebudayaan. Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir
abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan
perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang
dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena
itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan
pondok pesantren. Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan
pendirian bank syariah yang relatif sukses.
5. Sejarah Nabi Muhammad mendapat gelar al-Amin terjadi akibat sebuah
peristiwa besar dalam sejarah Islam sebelum masa kenabian. Arti Al Amin
adalah orang yang dapat dipercaya. Diketahui bahwa, gelar ini diberikan
oleh Rasulullah SAW karena sebuah peristiwa pembangunan ulang Ka'bah
dan peletakan Hajar Aswad.
6.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Zainal Abidin. 1979. Dasar-dasar Ekonomi syari’ah, Jakarta: Bulan


Bintang.
At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. 2004. Ekonomi syari’ah: Prinsip, Dasar dan
Tujuan. Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Mannan, Muhammad Abdul. 1997. Teori dan Praktek Ekonomi syari’ah.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
Shobhi Mahmashani, al-Awza’i. 1978. Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-
Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in.
Su’ūd, Mahmūd Abū. 1968. Khutut Ra’isiyyah fī al-Iqtis ād al-Islāmiyy. Kuwait:
Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah.
Sudarsono, Heri. 2002. Konsep Ekonomi syari’ah. Yogyakarta: Ekonisia
Syahdeini, Sutan Remy. 1999. Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Zahrah, Muhammad Abu. Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby
.

19

Anda mungkin juga menyukai