Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM

DAN SISTEM KEUANGAN EKONOMI ISLAM

DOSEN PENGAMPU:

ARY DEAN AMRI S.E., M.E

DISUSUN OLEH:

IDA RUSMITA

CIB018134

MANAJEMEN R-008

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS JAMBI

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Allah SWT, karena
dengan hidayah dan taufik-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah tentang pemikiran
ekonomi dimasa Rasulullah.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan dan kekhilafan. Oleh
karena itu, kepada para pembaca, penulis ucapkan mohon maaf apabila banyak kekurangan
dalam makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis khususnya, dan
memberikan banyak manfaat kepada para pembaca.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 5


1. SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM........................................................ 5
1.1 Sejarah Ekonomi Islam ..................................................................................................... 5
1.2 Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam .............................................................. 6
1.3 Perkembangan Praktik Ekonomi Islam............................................................................. 11
1.4 Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia .............................................................................. 13
1.5 Perkembangan Studi Ekonomi Islam ................................................................................ 15
1.6 Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia.................................................................... 20
1.7 Perkembangan Ekonomi Islam pada Awal Masuknya Islam ........................................... 22
2. SISTEM KEUANGAN ISLAM ......................................................................................... 23
2.1 Pengertian Sistem Keuangan Islam .................................................................................. 23
2.2 Ciri-ciri sistem keuangan Islam ........................................................................................ 24
2.3 Prinsip-prinsip Islam dalam sistem keuangan ................................................................. 24
2.4 Prinsip-prinsip dalam keuangan Islam .............................................................................. 25
2.5 Karakteristik sistem keuangan Islam ................................................................................ 26
2.6 Instrumen sistem keuangan Islam ..................................................................................... 29
2.7 Strategis Optimalisasi Sistem Keuangan Islam ................................................................ 30

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 33

Kesimpulan .............................................................................................................................. 33

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Munculnya islam membuka zaman baru dalam sejarah kehidupan manusia. Kelahiran
nabi muhammad adalah suatu peristiwa yang tiada tandingan nya. Beliau adalah utusan Allah
SWT yang terakhir dan sebagai pembawa kebaikan bagi seluruh ummat manusia. Rasulullah
mengubah sistem ekonomi dan keuangan negara sesuai dengan ketentuan al-qur’an dan hadis.

Ilmu ekonomi islam sebagai sebuah study ilmu pengetahuan modern baru muncul pada
tahun 1970 an, tetapi pemikiran tentang ekonomi islam telah muncul sejak islam itu diturunkan
melalui nabi Muhammad SAW. Karena rujukan utama pemikiran ekonomi islami adalah al-
qur’an dan hadist maka pemikiran ekonomi ini munculnya juga bersamaan dengan
diturunkannya dengan al-qur’an dan masa kehidupan Rasulullah. Pada abad akhir enam masehi
hingga abad awal tujuh masehi. Setelah masa tersebut banyak sarjana muslim yang memberikan
kontribusi karya pemikiran ekonomi. Karya-karya mereka sangat berbobot yaitu memiliki dasar
argumentasi religius dan sekaligus intelektual yang kuat serta kebanyakan didukung oleh fakta
empiris pada waktu itu. Banyak diantaranya juga sangat futuristik dimana pemikir-pemikir barat
baru mengkaji nya ratusan abad kemudian.

Pemikiran ekonomi dikalangan pemikir muslim banyak mengisi hasanah pemikiran


ekonomi dunia pada masa dimana barat masih dalam kegelapan. Pada masa itu dunia islam justru
mengalami puncak kejayaan dalam berbagai bidang.

1.2. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Sejarah Ekonomi Islam?


2. Bagaimana perkembangan Ekonomi Islam?
3. Bagaimana Sistem Keuangan Islam?

1.3 TUJUAN PENULISAN MAKALAH

1. Mengetahui Sejarah dan Perkembangan Ekonomi Islam


2. Mengetahui Sistem Keuangan ekonomi Islam

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM


1.1 Sejarah Ekonomi Islam

Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam
rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk
manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada
eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang
hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada
konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga
trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi
tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah
di kehidupan sesudah kematian nantinya.

Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya
operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan.
Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu
sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi
tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat
Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan
saling mengkafirkan antarsesama mereka.

Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam
tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi,
sebagaimana dinyatakan Masrhal[1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia,
yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi
Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada
satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam
semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah
SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang
apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).

5
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses
realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses
mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini
sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.

1.2 Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam

Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi
dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-
Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-
A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan
membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah
menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan
secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan
perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam.
Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud
komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi
Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.

Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran
ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037),
Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai
(774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin
Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin
Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi
(1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin

6
Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al
Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).

Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al
Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi
(1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993),
fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul
Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi
(1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani
(1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138
M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).

Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad
Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836),
Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).

Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938),
Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf,
Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.

Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut :

1. Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara
kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.

2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum
yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli
dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan ah%al-murābah.

3. Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal


dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam
ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem
muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik
dalam bentuk tunai atau sejenis.

7
4. Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis
pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki
pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa
bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap
pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang
diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang
di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia
pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama.

5. Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu
Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim
dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan
umum, dan perkembangan pertanian. Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan,
yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian.
Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa
pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman
yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu,
buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-
jizyah). Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang
pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah
memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah
sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas,
kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah
wajib melakukanya.

6. Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat


pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau
negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu
adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu
A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara

8
kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; Madinatu al
fadhilah, Negara utama.

7. Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam
karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-
ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan
hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang
ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-
Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip
hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang
menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas
gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya
dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni
keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya
dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.

8. Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:

a. manusia adalah makhluk berekonomi;


b. ekonomi membutukan negara;
c. perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat,
dan ekonomi negara;
d. ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan kepada
keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan
ekonomi harus dijaga;
e. Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja;
f. wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah;
g. pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
h. pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat
mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya
wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas;
i. setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat
kesukaran atau saat diperlukan.

9
9. Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan
filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa:

a. perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi,
manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b. perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;
c. uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;
d. perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara
manusia;
e. perlu adanya pemerintah;
f. mata uang negara Islam;
g. perlunya institut perbankan;
h. hati-hati terhadap riba;
i. Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.

10. Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah, adalah pakar dari kubu
Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk
memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-
umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya,
maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di
atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara
spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang
dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta,
lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta
konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.

11. Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yang
menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan
alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai
makanan yang cukup untuk jangka lama.

12. Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi`
Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai
pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan

10
negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-
syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum
publik dan privat).

13. Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu
sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi.
Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[17] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun
ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas
daripada definisi TusiDi Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh
elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya
adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal
ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.

Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi
Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam
yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam
Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi
Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi
Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi
Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah
dengan Jurusan Muamalahnya (1997).

1.3 Perkembangan Praktik Ekonomi Islam

Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada
lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:

1. menerima simpanan uang;


2. meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah,
musyarakah, muzara’ah dan musaqah;
3. memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.

11
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis
perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris
credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser
menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi
check atau cheque dalam bahasa Prancis.

Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan
sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi
pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman
Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada
zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan
berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang
pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan
jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.

Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-
Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran.
Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang
menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).

Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda
perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an
Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an
Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba
yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank
tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan
ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian,
operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir
(1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan
dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga
akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975

12
1.4 Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia

Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal
sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak
terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi
bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam
berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang
Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang
berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam
kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk
formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam
bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah
nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak
kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam
kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal
dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di
Indonesia tak pernah surut.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya
adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok
pesantren.

Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:

1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;


2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah;
3) dukungan politik atau political will dari pemerintah.

Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga
Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah
mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan

13
institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha
maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi
dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.

Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang
memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya.
Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika
transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja
ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat
bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka
“mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara
sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank
syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik
pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual
adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan
roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.

DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-
fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku
ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang
mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama
suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu
sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.

Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam
mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang
bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu
dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari
segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap
fatwa-fatwa itu.

Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim
sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang
sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun

14
1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun
1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem
perbankan nasional.

Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun
1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional.
Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999
pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu
melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi terjadi lagi
satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240
bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan
pemerintah.

Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem
perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah
berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan
munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon
Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat
mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).

1.5 Perkembangan Studi Ekonomi Islam

Sejarah perkembangan studi ekonomi Islam dapat dibagi pada empat fase:

3.1. Masa Pertumbuhan

Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah.
Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan
benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar
dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya
dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank
dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di

15
tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah
dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.

3.2. Masa Keemasan

Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah
para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di
sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad),
pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain
sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang
tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekonomi Islam.

Beberapa karya fiqih yang mengetengahkan persoalan ekonomi, antara lain:

1 Fiqih Mazdhab Maliki:


2 Al-Mudawwanah al-Kubrto, karya Imam Malik (93-179 H)
3 Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (wafat 595 H)
4 Al-Jami’ Li Ahkam al-Quran, karya Imam al-Quirthubi (wafat 671 H)
5 Al-Syarhu al-Kabir, karya Imam Ahmad al-Dardir (wafat 1201 H)
6 Fiqih Mazdhab Hanafi:
7 Ahkam al-Quran, karya Imam Abu Bakar Al-Jassos (wafat 370 H)
8 Al-Mabsut, karya Imam Syamsuddin al-Syarkhsi (wafat 483 H)
9 Tuhfah al-Fuqoha, karya Imam Alauddin al-Samarqandu (wafat 540 H)
10 Bada’i al-Sona’i, karya Imam Alauddin Al-Kasani (wafat 587 H)
11 Fiqih Mazdhab Syafi’I:
12 Al-Umm, karya Imam Syafi’I (150-204 H)
13 Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Al-Mawardi (wafat 450 H)
14 Al-Majmu’, karya Imam An-Nawawi (wafat 657 H)
15 Al-Asybah Wa al-Nadzoir, karya Jalaluddin al-Suyuthi (wafat 911 H)
16 Nihayah al-Muhtaj, karya Syamsuddin al-Romli (wafat 1004 H)
17 Fiqih Mazdhab Hambali:
18 Al-Ahkam al-Sulthoniyah, karya Qodhi Abu Ya’la (wafat 458 H)
19 Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H)
20 Al-Fatawa al-Kubro, karya Ibnu Taimiyah (wafat 728 H)

16
21 A’lamul Muwaqi’in, karya Ibnu qoyim al-Jauziyah (wafat 751 H)

Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-
masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun
keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.

Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang


kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini
telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya
fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan
batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep
pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.

• Karya-karya Khusus Tentang Ekonomi

Meskipun permasalahan ekonomi telah dibahas secara acak pada buku-buku fiqih, namun
pada pase ini terdapat juga karya-karya tentang ekonomi Islam yang membahas secara khusus
tentang ekonomi. Karya-karya ini tentunya telah mendahului karya-karya ahli ekonomi Barat
saat ini, sebab karya-karya kaum muslimin dalam bidang ini telah ada sejak abad ke 7 M.

3.3. Masa Kemunduran

Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-
prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal,
karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli
tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada
pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-
ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.

Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru,
khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber
kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika
ditutupnya pintu ijtihad tersebut.

3.4. Masa Kesadaran Kembali

17
Sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad 15 H, hubungan antara sebagian masyarakat
dengan penerapan syariat Islam yang sahih menjadi renggang. Sebagaimana juga telah
terhentinya studi-studi tentang ekonomi Islam, hingga sebagian orang telah lupa sama sekali,
bahkan ada sebagian pihak yang mengingkari istilah “ekonomi Islam”. Ajaran Islam akhirnya
terpojok pada hal-hal ibadah mahdloh dan persoalan perdata saja. Lebih ironis lagi sebagian
hal itu pun masih jauh dari ajaran Islam yang benar.

Namun demikian, meskipun studi ilmiah modern dalam bidang ekonomi masih sangat
terbatas, namun usaha-usaha telah dilakukan, antara lain:

Pertama, studi ekonomi mikro. Dalam hal ini studi terfokus pada masalah-masalah yang
terpisah, seperti pembahasan tentang riba, monopoli, penentuan harga, perbankan, asuransi
kebebasan dan intervensi pemerintah pada kegiatan ekonomi dan lain-lain. Langkah ini
terlihat dari diadakannya beberapa seminar dan muktamar, antara lain:

Muktamar Internasional tentang fiqih Islam:

Pada Muktamar Fiqih Islam pertama yang diadakan di Paris tahun 1951 dibahas masalah-
masalah yang berhubungan dengan ekonomi, riba dan konsep pemilikan.

Muktamarr Fiqih Islam kedua diadakan di Damaskus pada bulan April 1961. Dalam
muktamar tersebut dibahas tentang asuransi dan sistem hisbah (pengawasan) menurut Islam.

Muktamar Fiqih Islam ketiga diadakan di Kairo pada Mei 1967, membahas tentang asuransi
sosial (takaful) menurut Islam

Muktamar Fiqih Islam keempat diadakan di Tunis pada bulan Januari 1975, membahas
masalah pemalsuan dan monopoli.

Muktamar Fiqih Islam kelima diadakan di Riyadh pada bulan Nopember 1977 membahas
tentang sistem pemilikan dan status sosial menurut Islam.

Muktamar Fiqih Islam sedunia, diadakan di Riyadh juga yang diorganisir oleh Universitas
Imam Muhammad bin Saud pada tanggal 23 Oktober hingga Nopemebr 1976, membahas
tentang perbankan Islam antara teori dan praktek dan pengaruh penerapan ekonomi Islam di
tengah-tengah masyarakat.

18
Muktamar Lembaga Riset Islam di Kairo. Dalam hal ini sedikitnya telah delapan kali
mengadakan muktamar yang membahas tentang ekonomi Islam.

Pertemuan studi sosiologi negara-negara Arab.

Seminar Dewan Pembinaan Ilmu Pengetahuan, satra dan sosial (seksi ekonomi dan
keuangan).

Muktamar Ekonomi Islam Internasional, antara lain:

Muktamar Ekonomi Islam Sedunia pertama , diadakan di Makkah pada tanggal 21-26
Pebruari 1976 dan Muktamar ekonomi Islam, diadakan di London pada bulan Juli 1977.

Hingga saat ini buku-buku tentang ekonomi Islam, baik dalam bahasa Arab dan bahasa
Inggris serta bahasa lainnya dapat kita temukan di toko-toko buku. Buah dari semaraknya
studi-studi ekonomi Islam ini membuahkan berdirinya bank-bank Islam, baik dalam skala
nasional maupun internasional. Dalam skala internasional misalnya, telah berdiri Islamic
Development Bank (IDB/Bank Pembangunan Islam) yang kantornya berkedudukan di Jeddah
Saudi Arabia. Dalam agreemen establishing the islamic Development Bank (anggaran dasar
IDB) pada article 2 disebutkan bahwa salah satu fungsi dan kekuatan IDB pada ayat (xi)
adalah melaksanakan penelitian untuk kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan di negara-
negara muslim dapat sejalan dengan syari’ah. IDB juga telah memberikan bantuan teknis,
baik dalam bentuk mensponsori penyelenggaraan seminar-seminar ekonomi dan perbankan
Islam di seluruh dunia maupun dalam bentuk pembiayaan untuk tenaga perbankan yang
belajar di bank Islam serta tenaga ahli bank yang ditempatkan di bank Islam yang baru
berdiri. Bukti lain maraknya pelaksanaan ekonomi Islam adalah laporan dari data yang
diambil dari Directory Of Islamic Financial Institutions tahun 1988 terbitan IRTI/IDB bahwa
sedikitnya telah 32 bank Islam berdiri (sebelum Bank Muamalat Indonesia berdiri) di seluruh
dunia, termasuk di Eropa. Bila di Indoneisa banyak bank konvensional beralih bentuk ke bank
syari’ah, berarti pertumbuhan bank syari’ah semakin cepat dan diminati oleh kalangan
usahawan, belum lagi pertumbuhan bank syari’ah di negara lain dalam dekade ini, seperti di
Malaysia dan negara-negara Islam lainnya

19
1.6 Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia

Global Islamic Finance Report 2011 yang baru diterbitkan di London menarik untuk
dicermati. Dengan metode factor analysis yang digagas oleh Kaiser-Meyer-Olkin,
pengamatan di 36 negara dengan delapan variabel, disusunlah Islamic Finance Country Index.
Menurut indeks ini, Indonesia menempati peringkat pertama di antara negara-negara non-
Islam dan peringkat keempat di antara seluruh negara. Secara keseluruhan, Iran menempati
peringkat pertama diikuti Malaysia dan Arab Saudi di peringkat kedua dan ketiga.

Hal ini tidak mengejutkan karena ketiganya adalah negara yang menyatakan diri sebagai
negara Islam. Iran memang negara yang melarang adanya lembaga keuangan non syariah di
negaranya. Malaysia sangat ambisius dengan berbagai insentif yang diberikan pemerintahnya.
Sedangkan, Arab Saudi tidak jauh berbeda dengan Iran dan Malaysia dalam pengembangan
industri keuangan syariahnya.

Kapasitas ekonomi Indonesia yang jauh lebih besar dari Malaysia, Iran, dan bahkan
Saudi diperkirakan menempatkan Indonesia menjadi satu-satunya negara yang dianggap
mewakili nilai-nilai ekonomi syariah di antara lima besar ekonomi dunia pada dua dekade ke
depan. Empat negara lainnya adalah Cina, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat.

Diperkirakan, Indonesia akan menjadi kiblat beberapa industri syariah dunia. Pertama,
industri makanan dan minuman halal. Saat ini standar kehalalan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) telah diadopsi luas di berbagai negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Kedua,
industri busana Muslim/Muslimah. Talenta dan kreativitas anak bangsa di industri kreatif ini
sulit ditandingi negara lain. Ketiga, industri media dengan materi terkait syariah. Besarnya
populasi Indonesia dan kreativitas program menjadi pilar utama industri ini. Keempat, industri
ritel konsumer dan usaha mikro juga akan menjadi kiblat dunia.

Lalu jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak
bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah
di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa
Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer
dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi
pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu

20
memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
ekonomi syariah tidak dalambentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan
Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus
tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya
secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang
dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum.
Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi
dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.

Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya
adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam.
Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok
pesantren.

Di Indonesia sendiri, pemikiran ke arah sistem ekonomi syariah secara historis telah
berakar sejak periode kemerdekaan. Namun mencuatnya kebutuhan akan lembaga perbankan
islami di tengah praktek ekonomi kontemporer tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
pemikiran dan gagasan tentang konsep ekonomi islam. Gagasan dan pemikiran ini baru
belakangan dapat diwujudkan, yakni berawal dari berdirinya Bank Muammalat
Indonesia(BMI) yang dioperasikan sejak tanggal 1 Mei 1992. kendatipun benih-benih
pemikiran ekonomi dan keuangan Islam telah muncul jauh sebelum masa tersebut. Sepanjang
tahun 1990an perkembangan ekonomi syariah di Indonesia relatif lambat. Tetapi pada tahun
2000an terjadi gelombang perkembangan yang sangat pesat ditinjan dari sisi pertumbuhan
asset, omzet dan jaringa kantor lembaga perbankan dan keuangan syariah. Pada saat yang
bersamaan juga mulai muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam,
walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di Yogyakarta , IAIN-
SU di Medan, STEI SEBI , STIE Tazkia, dan PSTTI UI yang membuka konsentrasi Ekonomi
dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.

Di sektor keuangan dan perbankan sendiri selama periode tahun 2012 menuju 2013,
perbankan syariah Indonesia mengalami tantangan yang cukup berat dengan mulai

21
dirasakannya dampak melambatnya pertumbuhan perekononomian dunia yang
mengakibatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak setinggi yang diharapkan, walaupun
Indonesia termasuk negara yang masih mengalami pertumbuhan ekonomi yang stabil di
dunia. Selain itu, faktor lain seperti dampak penurunan DPK antara lain karena penarikan
dana haji dari perbaang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syariah. Oleh
karena itu pertumbuhan aset perbankan syariah tidak setinggi pertumbuhan pada periode
yang sama di tahun sebelumnya.

Meskipun demikian Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan perbankan syariah


tahun 2013 tetap mengalami pertumbuhan yang relatif cukup tinggi berkisar antara 36% -
58% (skenario pesimis – optimis). Sementara perekonomian Indonesia di tahun depan masih
tetap mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi dalam kisaran 6,3% - 6,7%.

1.7 Perkembangan Ekonomi Islam pada Awal Masuknya Islam

Ketika Islam masuk ke Indonesia pertama kali, kita tahu bersama bahwa jalur
perdaganganlah yang digunakan sebagai jalur masuknya para pedagang muslim dari Gujarat,
Persia, Yaman, Cina dan beberapa negara lainnya. Kearifan akhlak dan santunnya tata dagang
dan penyelesaian akad yang dilakukan para pedagang muslim memberikan referensi tersendiri
bagi masyarakat pesisir kala itu.

Keterpikatan awal tersebut menghantarkan ketertarikan tersendiri bagi masyarakat


untuk lebih kenal dengan ajaran Islam. Masalah-masalah ekonomi sederhana yang terjadi di
masyarakat pun secara alami memperoleh solusi bijak dari para pedagang muslim perantau
maupun para ulama yang menyertainya. Perselisihan dagang, hak monopoli, kesantunan
dagang, bagi waris bahkan hingga masalah pembagian harta kala terjadi perceraian.

Ketika para pedagang perantau ini mulai menetap dan membaur dengan warga, secara
otomatis kajian ekonomi sederhana ini menjadi kajian umum dengan sendirinya. Masalah-
masalah ekonomi dan pemecahannya pun semakin kompleks beriring dengan berkembangnya
tata dan sistem masyarakat.

22
2. SISTEM KEUANGAN ISLAM
2.1 Pengertian Sistem Keuangan Islam

Keuangan adalah senjata politik, sosial, dan ekonomi yang ampuh di dunia modern. Ia
berperan penting tidak hanya dalam alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, tetapi
juga dalam stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Karena sumber-sumber lembaga keuangan
berasal dari deposit yang diletakkan oleh bagian yang representative mewakili seluruh
penduduk, cukup rasional kalau ia juga dianggap sebagai sumber nasional. Seluruhnya harus
digunakan untuk kesejahteraan bagi masyarakat. Namun karena sumber-sumber keuangan itu
sangat langka maka perlu digunakan dengan keadilan dan efesiensi yang optimal.

Sistem keuangan adalah suatu aturan yang menjelaskan sumber-sumber dana keuangan
bagi negara dalam proses alokasi dana tersebut bagi kehidupan masyarakat. Peran utama
sistem keuangan adalah mendorong alokasi efesiensi sumber daya keuangan dan sumber daya
riil untuk berbagai tujuan dan sasaran yang beraneka ragam.

Sistem keuangan merupakan tatanan perekonomian dalam suatu negara yang berperan
melakukan aktifitas jasa keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga keuangan. Tugas
utama sistem keuangan adalah sebagai mediator antara pemilik dana dengan pengguna dana
yang digunakan untuk membeli barang atau jasa serta investasi. Oleh karena itu peranan
sistem keuangan sangat vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, serta mampu
memprediksi perkembangan perekonomian dimasa yang akan datang.

Keuangan Islam adalah sebuah sistem yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta
dari penafsiran para ulama terhadap sumber-sumber wahyu tersebut. Dalam berbagai
bentuknya, struktur keuangan Islam telah menjadi sebuah peradaban yang tidak berubah
selama empat belas abad. Selama tiga dasawarsa terakhir, struktur keuangan Islam telah
tampil sebagai salah satu implementasi modern dari sistem hukum Islam yang paling penting
dan berhasil, dan sebagai ujicoba bagi pembaruan dan perkembangan hukum Islam pada masa
mendatang

23
2.2. Ciri-ciri sistem keuangan Islam

1. Harta publik dalam sistem keuangan Negara Islam adalah harta Allah.
2. Rasul adalah orang pertama yang melakukan praktik keuangan Islam.
3. Al-Qur’an dan sunah merupakan sumber yang mendasar bagi keuangan Islam.
4. System keuangan Islam adalah system keuagan yang universal.
5. Keuangan khusus dalam Islam menopaang system keuagan Negara Islam.
6. Sistem keuangan Islam mengambil prinsip olokasi terhadap layanan sebagai sumber
sumber pendapatan Negara.
7. Sistem keuangan Islam ditandai dengan traspransi.
8. Sistem keuangan Islam adalah modal toleransi umat Islam.

Pengertian sistem keuangan Islam merupakan sistem keuangan yang menjembatani


antara pihak yang membutuhkan dana dengan pihak yang kelebihan dana melalui produk dan
jasa keuangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

2.3 Prinsip-prinsip Islam dalam sistem keuangan

1. Kebebasan bertransaksi, namun harus didasari dengan prinsip suka sama suka dan
tidak ada yang dizalimi, dengan didasari dengan akad yang sah. Dan transaksi tidak
boleh pada produk yang haram. Asas suka sama suka untuk melakukan kegiatan bisnis
atau perniagaan sangat penting. Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini yang dapat
menimbulkan kerugian masing-masing.
2. Bebas dari maghrib (maysir yaitu judi atau spekulatif yang berfungsi mengurangi
konflik dalam sistem keuangan, gharar yaitu penipuan atau ketidak jelasan, riba
pengambilan tambahan dengan cara batil).
3. Bebas dari upaya mengendalikan, merekayasa dan memanipulasi harga.
4. Semua orang berhak mendapatkan informasi yang berimbang, memadai, akurat agar
bebas dari ketidaktahuan bertransaksi.
5. Pihak-pihak yang bertransaksi harus mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga
yang mungkin dapat terganggu, oleh karenanya pihak ketiga diberikan hak atau
pilihan.

24
2.4 Prinsip-prinsip dalam Keuangan Islam

1. Larangan menerapkan bunga pada semua bentuk dan jenis transaksi


2. Menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangan berdasarkan pada kewajaran dan
keuntungan yang halal.
3. Mengeluarkan zakat dari hasil kegiatannya.
4. Larangan menjalankan monopoli.
5. Bekerja sama dalam membangun masyarakat, melalui aktivitas bisnis dan
perdagangan yang tidak dilarang oleh Islam

Tujuan utama sistem keuangan Islam adalah: menghapus bunga dari semua transaksi
keuangan dan menjalankan aktifitasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, distribusi
kekayaan yang adil dan merata, kemajuan pembangunan ekonomi.

Sistem keuangan Islam bertujuan untuk memberikan jasa keuangan yang halal kepada
komunitas muslim, di samping itu juga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang layak
bagi tercapainya tujuan sosio-ekonomi Islam. Target utamanya adalah kesejahteraan ekonomi,
perluasan kesempatan kerja, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keadilan sosio-
ekonomi dan distribusi pendapatan, kekayaan yang wajar, stabilitas nilai uang, dan mobilisasi
serta investasi tabungan untuk pembangunan ekonomi yang mampu memberikan jaminan
keuntungan (bagi hasil) kepada semua pihak yang terlibat.

Sistem keuangan Islam diharapkan mampu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai
kesejahteraan masyarakat. Penghapusan prinsip bunga dalam sistem keuangan Islam memiliki
dampak makro yang cukup signifikan, karena bukan hanya prinsip investasi langsung saja
yang harus bebas dari bunga, namun prinsip investasi tak langsung juga harus bebas dari
bunga. Perbankan sebagai lembaga keuangan utama dalam sistem keuangan dewasa ini tidak
hanya berperan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary), namun juga
sebagai industri penyedia jasa keuangan (financial industry) dan instrumen kebijakan moneter
yang utama.

25
3.5 Karakteristik sistem keuangan Islam

Pertama, Nilai Ketuhanan. Menurut Yûsuf Qaradhawî, ekonomi Islam adalah ekonomi
yang bercirikan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah.
Penggunaan sarana dan fasilitas dari Allah ini dilakukan melalui hukum dan syari’at Allah
SWT. Ketika seorang muslim menggunakan atau menikmati sesuatu di dunia ini, secara
langsung ia telah melakukan ibadah kepada Allah, dan merupakan sebuah kewajiban baginya
untuk mensyukuri segala nikmat-Nya yang telah diberikan kepadanya. Berdasarkan nilai
filosofis ini, dalam ekonomi syariah muncul sebuah norma yang disebut norma al-istikhlâf.
Adanya norma istikhlâf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi syariah.
Sebab, seorang muslim wajib percaya bahwa ia makhluk Allah, ia bekerja di bumi Allah,
dengan kekuatan dari Allah, dan melalui sarana dan prasarana dari Allah. Seorang muslim
bekerja sesuai dengan hukum kausalitas. Jika ia memperoleh harta, maka pada hakikatnya itu
adalah harta Allah yang dititipkan kepadanya. Allah-lah yang menciptakan harta itu, dan Dia-
lah pemilik sejati. Sementara itu, manusia hanya sebagai penjaga amanah yang telah diberikan
kepadanya.

Kedua, Nilai Dasar Kepemilikan (al-milkiyah). Konsep kepemilikan dalam Islam tidak
sama dengan konsep kepemilikan dalam faham liberalisme seperti yang dikemukakan oleh
Jhon Locke. Menurut Jhon Locke, setiap manusia adalah tuan serta penguasa penuh atas
kepribadiannya, atas tubuhnya, dan atas tenaga kerja yang berasal dari tubuhnya. Artinya,
kepemilikan yang ada pada diri seseorang adalah bersifat absolut. Oleh karena itu untuk apa
dan bagaimana dia menggunakan harta tersebut adalah mutlak tergantung kepada kehendak
dirinya. Hal ini tidak disetujui oleh Karl Marx. Marx berpendapat bahwa hal yang seperti itu
adalah sangat berbahaya karena akan membawa kepada kehidupan yang eksploitatif dan
penuh konflik. Berbeda dengan dua pandangan tersebut di atas, Islam mengakui kepemilikan
individual. Di samping itu, Islam pun mengakui akan adanya kepemilikan oleh masyarakat
dan oleh negara. Akan tetapi, kepemilikan tersebut tidak bersifat absolut, tetapi bersifat
relatif. Artinya, bahwa kepemilikan yang ada pada seseorang atau masyarakat atau negara
tersebut bukanlah sepenuhnya milik dan hasil dari usaha mereka. Akan tetapi, semua itu
merupakan amanat dan titipan dari Allah SWT. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh
menghambur-hamburkan hartanya, atau bahkan menuhankan hartanya. Jika demikian, berarti

26
harta tersebut akan kehilangan fungsi sosial dan nilai manfaatnya. Sehingga dalam ajaran
Islam, kepemilikan manusia bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi,
karena pemilik mutlaknya adalah Allah, manusia hanya diberi amanat dan kemampuan untuk
memanfaatkan sumber-sumber yang diamanatkan tersebut.

Ketiga, Keseimbangan (al-Muwâzanah). Sistem ekonomi kapitalis lebih mementingkan


individu dibanding dengan masyarakat. Pada sistem ini seseorang merasakan harga diri dan
eksistensinya. Orang diberi kesempatan untuk mengembangkan segala potensi dan
kepribadiannya. Namun, akhirnya seseorang terkena penyakit egoistis, materialistis,
pragmatis, dan rakus untuk memiliki segala sesuatu, dan orientasi kehidupannya merupakan
profit motif. Dalam ajaran Islam, masalah keseimbangan mendapat penekanan dan perhatian
secara khusus. Tidak hanya adanya keseimbangan antara kepentingan seseorang dengan
kepentingan bersama, antara kepentingan dunia dan akhirat, antara kepentingan jasmani dan
rohani, antara idealisme dan realita. Akan tetapi juga, keseimbangan antara modal dan
aktifitas, antara produksi dan konsumsi, serta adanya sirkulasi kekayaan. Oleh karena itu,
Islam mencegah dan melarang terjadinya akumulasi dan konsentrasi kekayaan hanya pada
segelintir orang. (QS. 59 (al-Hasyr): 7) ....supaya harta itu jangan hanya beredar di antara
orang-orang yang kaya saja di antara kamu... (QS. 59 (al-Hasyr): 7).

Sebaliknya jika terjadi kesenjangan kepemilikan yang tajam antar individu, berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, berarti telah terjadi praktek kezaliman. Untuk
mengantisipasinya, Islam telah menawarkan solusi pemecahan melalui instrumen zakat, infaq
dan sadaqah yang dapat menyentuh dan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Keseimbangan
merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek tingkah laku seorang muslim.
Nilai dasar keseimbangan ini harus dijaga sebaik-baiknya, bukan saja antara kepentingan
dunia dengan kepentingan akhirat dalam ekonomi, tetapi juga keseimbangan antara hak dan
kewajiban antara kepentingan individu, masyarakat dan lain sebagainya.

Keempat, Nilai Dasar Persaudaraan dan Kebersamaan (al-Ukhuwwâh wa al-


Isytirâkiyyah wa al-jamâ’ah). Pada paham sosialisme dan komunisme, persaudaraan dan
kebersamaan merupakan nilai yang utama dan pertama. Untuk itu, agar nilai-nilai tersebut
tidak rusak dan tidak terganggu maka kepemilikan individual yang menjadi penyebab
terjadinya perselisihan dan persengketaan harus dihapuskan dan digantikan oleh negara.

27
Negaralah yang mengatur produksi, konsumsi dan distribusi masyarakat. Dalam paham
kapitalisme, hal ini tidaklah terlalu menjadi perhatian. Bagi mereka persaudaraan akan dapat
terjadi secara otomatis diluar maksud para pelaku ekonomi itu sendiri, karena perekat
persaudaraan, menurut paham ini adalah kepentingan.

Kedua paham di atas, berbeda dengan ajaran Islam. Dalam Islam, kebersamaan
merupakan indikator atas keimanan seorang muslim. Nilai-nilai persaudaraan merupakan
konsekuensi logis dari penunjukan manusia sebagai khalîfah fi al-ard, karena penunjukan
tersebut bukan hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, ditujukan
kepada setiap hamba-Nya yang beriman. Oleh sebab itu, perbedaan ras, etnik, dan bahasa
bukanlah menjadi variabel pembeda di mata Allah SWT.

Kelima, Nilai Dasar Kebebasan (al-Istiqlâliyyah). Dalam sistem ekonomi kapitalisme,


setiap individu diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memanfaatkan atau tidak
memanfaatkan harta yang dimilikinya. Juga untuk masuk atau tidak masuk ke dalam pasar,
baik sebagai produsen, distributor, atau konsumen. Atau dengan perkataan lain, tidak ada
yang bisa mengatasi kebebasan seseorang individu kecuali dirinya sendiri. Hal ini tidak dapat
diterima oleh paham sosialis-komunis. Mereka melihat bahwa kebebasan seperti itu akan
membawa kepada tindakan anarkis. Oleh sebab itu, kebebasan tersebut harus ditundukkan
kepada kepentingan bersama.

Keenam, Nilai Dasar Keadilan (al-‘adâlah). Keadilan yaitu memberikan setiap hak
kepada para pemiliknya masing-masing tanpa melebihkan dan mengurangi. Persoalannya
sekarang adalah siapakah yang berkompeten untuk menentukan keadilan tersebut? Pada
sistem sosialisme dan komunisme, yang menentukan keadilan itu merupakan otoritas negara,
sedang dalam sistem kapitalisme yang berkompeten adalah otoritas individu. Sementara itu,
menurut persepsi Islam yang menetapkan keadilan itu merupakan otoritas dan kewenangan
dari Allah SWT. Dalam masyarakat sosialisme dan komunisme, yang menjadikan
kebersamaan dan kesamarataan sebagai nilai utama, maka faktor kebutuhan dijadikan dasar
untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak. Menurut paham ini, suatu masyarakat baru
dikatakan adil jika semua kebutuhan warganya telah terpenuhi, terutama kebutuhan sandang,
pangan dan papan. Sebaliknya, jika tidak, maka telah terjadi praktek kedzaliman.

28
2.6 Instrumen Sistem Keuangan Islam

Tiap sistem ekonomi memiliki nilai instrumental tersendiri. Adapun nilai instrumental
sistem ekonomi kapitalis adalah: persaingan sempurna, kebebasan keluar masuk pasar tanpa
restriksi, serta informasi dan bentuk pasar yang atomistik monopolistik. Sedangkan nilai
instrumental sistem ekonomi Marxis, antara lain adalah: adanya perencanaan ekonomi yang
bersifat sentral dan mekanistik, serta pemilikan faktor-faktor produksi oleh kaum proletar
secara kolektif.

Dalam sistem ekonomi syariah, nilai instrumental yang strategis yang mempengaruhi
tingkah laku ekonomi seorang muslim, adalah:

Pertama; Zakat. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang merupakan kewajiban agama
yang dibebankan atas harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu dalam sistem
ekonomi syariah. Zakat merupakan sumber pendapatan negara. Di samping pajak, al-fay,
ghanîmah dan harus dibagikan kepada yang berhak menerimanya.

Kedua; Pelarangan riba. Secara harfiah, arti riba adalah bertambah atau mengembang.
Sedangkan menurut istilah, riba adalah tambahan dalam pembayaran hutang sebagai imbalan
jangka waktu yang terpakai selama hutang belum dibayar.

Ketiga; Kerjasama ekonomi. Kerjasama merupakan watak masyarakat ekonomi


menurut ajaran Islam. Kerjasama harus tercermin dalam segala tingkat kegiatan ekonomi,
produksi, distribusi baik barang maupun jasa. Bentuk-bentuk kerjasama tersebut diantaranya
berupa muzâra’ah dan musâqah dalam bidang pertanian, mudhârabah dan musyârakah dalam
perdagangan. Prinsip kerjasama tersebut dijunjung oleh ajaran Islam karena kerjasama
tersebut akan dapat: a). Menciptakan kerja produktif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
b). Meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan masyarakat. c). Mencegah
penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata. d). Melindungi kepentingan
golongan ekonomi lemah.

Keempat, Jaminan sosial. Di dalam al-Quran banyak dijumpai ajaran yang menjamin
tingkat dan kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat.

29
Kelima, Pelarangan terhadap praktek-praktek usaha yang kotor. Ada beberapa praktek
bisnis yang dilarang dalam Islam seperti pelarangan terhadap praktek penimbunan, takhfîf
(curang dalam timbangan), tidak jujur, tidak menghargai prestasi, proteksionisme, monopoli,
spekulasi, pemaksaan dan lainlain. Hal ini dilarang karena bila ditolerir akan dapat merusak
pasar sehingga kealamiahan pasar menjadi rusak dan terganggu.

Keenam, Peranan Negara. Untuk tegaknya tujuan dan nilai-nilai sistem ekonomi syariah
diatas diperlukan power atau peranan negara terutama dalam aspek hukum, perencanaan dan
pengawasan alokasi atau distribusi sumber daya dan dana, pemerataan pendapatan dan
kekayaan serta pertumbuhan dan stabilitas ekonomi.

2.7 Strategis Optimalisasi Sistem Keuangan Islam

Tujuan dan fungsi paling fundamental dari sistem keuangan Islam

1. Kesejahteraan ekonomi yang menyeluruh berdasarkan full employment dan tingkat


pertumbuhan ekonomi optimum.
2. Keadilan sosio-ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan dan kesejahteraan.
3. Stabilitas dalam nilai uang sehingga memungkinkan medium of change dapat
dipergunakan sebagai satuan perhitungan, patokan yang adil dalam penangguhan
pembayaran dan nilai tukar yang stabil.
4. Mobilitas dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan jaminan
pengembalian yang adil dan prospektif.
5. Penagihan yang efektif dari semua jasa dan produk perbankan.

Untuk memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap ekonomi, sistem keuangan
Islam perlu memiliki porsi yang lebih signifikan terhadap total asset keuangan, yakni
setidaknya 20 persen. Oleh karena itu, pemerintah, bank sentral, dan agen-agen ekonomi yang
peduli pada sistem keuangan Islam perlu bekerja lebih keras. Terkait dengan itu, setidaknya
ada lima langkah dalam mempercepat perkembangan sistem keuangan syariah, baik secara
nasional maupun internasional.

30
Pertama, perlunya memperkuat sistem pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan
Islam. Tingkat pertumbuhan keuangan Islam sangatlah beragam di berbagai negara. Tingkat
perkembangan ini memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat pengaturan dan
pengawasan. Sistem keuangan yang kurang baik di berbagai negara terkadang disebabkan
tidak layaknya peraturan dan pengawasan yang ada, sehingga diperlukan kolaborasi dalam
mengisi kesenjangan pengaturan yang ada.

Kedua, perlunya koordinasi dan kerjasama internasional. Berdasarkan kodratnya, sistem


keuangan Islam lebih tahan dan lebih stabil dari guncangan keuangan. Namun demikian, pada
kenyataannya, harus disadari bahwa operasional dari sistem keuangan Islam tidaklah terisolasi
dari sistem keuangan konvensional. Dalam situasi demikian, diperlukan kerja sama dan
koordinasi internasional. Saat ini, sudah terdapat beberapa lembaga internasional, seperti
internasional Financial Services Board (IFSB) di Malaysia, International Islamic Financial
Markets (IIFM), dan Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institutions
(AAOIFI) di Bahrain. Peran dari institusi-institusi tersebut sebaiknya diperkuat dan
ditingkatkan.

Ketiga, perlunya kolaborasi di tingkat pengawasan sistem keuangan Islam lintas negara.
Saat ini, telah terlihat banyak lembaga keuangan Islam yang beroperasi secara global, namun
memiliki kekurangan kolaborasi di dalam pengawasan lintas negara. Hampir seluruh
kolaborasi pada sistem keuangan Islam fokus terhadap standar regulasi dan manajemen
likuiditas.

Keempat, perlunya model bisnis sistem keuangan Islam khususnya di perbankan


syariah, dengan memberikan penekanan pada bisnis di sektor rill ketimbang pasar keuangan.
Selain lebih mempromosikan pertumbuhan yang berkesinambungan. Model seperti ini lebih
mampu menahan tekanan krisis keuangan. Perkembangan keuangan ekonomi Islam di
Indonesia sampai saat ini masih sejalan dengan model bisnis. Hal ini disebabkan adanya
perkembangan produk sistem keuangan Islam yang didorong oleh pasar dalam memenuhi
permintaan di sektor riil. Namun demikian, strategi ini bukan berarti melupakan upaya
perkembangan produk-produk keuangan Islam di Indonesia yang terhitung masih agak
tertinggal.

31
Kelima, perlunya penetapan acuan rate of return berdasarkan prinsip Islam yang
sesungguhnya. Prinsip berbagi keuntungan dan kerugian merupakan semangat terciptanya
sistem keuangan Islam. Namun demikian, sampat saat ini, lembaga keuangan Islam sepertinya
cenderung mengacu pada rate of return sistem perbankan konvensional, yakni suku bunga.
Perilaku seperti ini membawa risiko bagi reputasi lembaga keuangan Islam itu sendiri.

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kehidupan Rasulullah dan masyarakat muslim dimasa beliau adalah teladan yang

paling baik implementasi islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Pada periode mekkah

masyarakat muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh

dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang quraisy.

Barulah pada periode madinah, Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat

madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian

pada masa beliau relatif masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsib-prinsib

yang mendasar bai pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa

itu adalah konmitmennya yang tinggi terhadap erika dan norma serta perhatiyannya yang

besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan

secara etis dalam bingkai syariah islam sementara sumber daya ekonomi tida boleh

menumpuk segelintir orang melaikan harus berendar bagi kesajahteraan seluruh umat.

Pasar menduduki peranan penting sebagai makanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan

masyarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesahteraan dan menegakkan

keadilan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Azwar Karim, Adi Warman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2004.

Chamid, Nur, jejak langkah sejarah pemikiran ekonomi islam, (yogyakarta: Pustaka pelajar,

2010)

Abdullah, Abdul Husain, Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra
Insania Press, 2004)

Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2002)

Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, Pengantar Keuangan Islam: Teori dan Praktek, terj. Oleh

A.K. Anwar, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008)

34

Anda mungkin juga menyukai