Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

AKUNTANSI KEUANGAN PUBLIK

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi Keuangan Publik


Dosen Pengampu : Nani Sumarni, M.Pd

Disusun oleh :
Nama : Noviah
NIM : 170903002
Studi : Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI ILMU SAINS ISLAM (STSI)


BINA CENDEKIA UTAMA CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul
Akuntansi Keuangan Publik dalam rangka memenuhi tugas Individu Mata Kuliah Akuntansi
Keuangan Publik. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan atau
petunjuk maupun pedoman bagi yang membaca makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat kekurangan
dan kesalahan. Saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan hati terbuka
agar dapat meningkatkan kualitas makalah ini.
Demikian yang dapan penulis sampaikan. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima
kasih.
 
 
Cirebon, Februari 2021 

   Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...............................................................................................................i


Daftar Isi......................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulis.................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Keuangan Publik Islam.......................................................................... 2
2.2 Karakteristik Keuangan Publik........................................................................... 8
2.3 Instrumen Pembiayaan Publik............................................................................ 12

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 15
3.2 Saran................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Untuk mencapai falah yang maksimum , tidak seluruh aktivitas ekonomi yang
di serahkan kepada mekanisme pasar. Adakalanya mekanisme pasar gagal
menyediakan barang dan jasa yang di butuhkan oleh masyarakat ataupun mekanisme
pasar tidak bekerja secara secara fair dan adil; fair dalam arti berprinsipkan saling
ridho dan adil dalam arti tidak bertindak zalim kepada pihak lain. Dalam hal ini,
pemerintah atau masyarakat perlu mengambil alih peran mekanisme pasar dalam
penyediaan barang / jasa tersebut.
Permasalahan selanjutnya yang muncul adalah barang / jasa apakah yang perlu
disediakan oleh pemerintah atau masyarakat, dari mana sumber dana yang digunakan
untuk penyediaan barang / jasa tersebut, bagaimana alokasi dan distribusi barang /
jasa yang disediakan oleh pemerintah atau masyarakat tersebut, apakah kriteria yang
digunakan untuk memutuskan barang / jasa tertentu layak disediakan oleh pemerintah
atau masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam tahap awal perlu dikaji
bagaimana keuangan publik ini dipraktikkan oleh Rasulullah Saw. dan para
sahabatnya, prinsip-prinsip apakah yang bias disarikan dari sunah Rasul Saw. dan
sahabat, dan bagaimana implementasi keuangan publik islam yang terbangun sejak
awal, seperti zakat, wakaf, dan infaq akan dibahas secara lebih mendalam.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sejarah Keuangan Publik Islam ?
2. Karakteristik Keuangan Publik ?
3. Instrumen Pembiayaan Publik ?

1.3 Tujuan Penulis


1. Mengetahui sejarah keuangan public islam.
2. Mengetahui karakteristik keuangan publik.
3. Mengetahui instrumen pembiayaan publik.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Keuangan Publik Islam


1. Keuangan Publik pada Masa Rasulullah Saw.
Untuk memahami sejarah keuangan publik pada masa Rasulullah dan
Khulafaurrasyidin, dapat dilihat dari praktik dan kebijakan yang diterapkan oleh
beliau dan para sahabat. Bicara mengenai keuangan publik pada masa Rasulullah
adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala Negara. Sebab, kedudukan
sebagai kepala Negara adalah identik dengan kedudukan melanyani publik.
Setelah selama tiga belas tahun di Mekkah, beliau hijrah ke Madinah
( Yasrib ). Pada saat hijrah ke Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau,
belum memiliki pemimpin ataupun raja yang berdaulat. Di kota ini banyak suku,
salah satunya adalah suku Yahudi yang di pimpin oleh Abdullah ibnu Ubay. Ia
berambisi menjadi raja di Madinah. Suasana kota ini sering terjadi pertikaian
antarkelompok. Kelompok yang terkuat dan kaya adalah Yahudi, namun kondisi
ekonominya masih lemah dan hanya dipotong dari hasil pertanian. Oleh karena
itu, tidak ada hukum dan aturan, maka sistem pajak dan fiskal tidak berlaku.
Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat
mengalami kemajuan yang pesat. Rasulullah berhasil memimpin seluruh pusat
pemerintah Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam pemerintah dan
organisasi, membangun institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri,
membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan
jabatannya secara penuh. Sebagai Negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal
yang segera mendapatkan perhatian beliau, seperti: (1). Membangun masjid utama
sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya. (2).
Merehabilitasi muhajirin Mekkah di Madinah. (3). Menciptakkan kedamaian
dalam Negara. (4). Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya. (5).
Membuat konstitusi Negara. (6). Menyusun sistem pertahanan Madinah. (7).
Meletakkan dasar-dasar sistem keuangan Negara.
a. Sumber Utama Keuangan Negara.
Pada masa-masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan
pengeluaran hamper tidak ada. Rasulullah Saw. sendiri sebagai seorang kepala
Negara, pemimpin dibidang hukum, pemimpin dan penanggungjawab dari

2
keseluruhan administrasi tidak mendapat gaji sedikit pun dari Negara atau
masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan makanan.
Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan yang dikerjakan tidak
mendapatkan upah. Pada masa Rasulullah Saw. tidak ada tentara formal.
Semua Muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak
mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dari
rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak
lainnya.
Situasi berubah setelah turunnya surat Al-Anfal ( rampasan perang ).
Waktu turunnya surat ini adalah masa antara perang badar dan pembagian
rampasan perang, pada tahun kedua setelah Hijrah. Yaitu sebuah ayat yang
artinya : “ seperlima bagian adalah untuk Allah dan Rasul-Nya ( yaitu untuk
Negara digunakan untuk kesejahteraan umum ) dan untuk kerabat Rasul, anak
yatim, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan.”
Jizyah adalah pajak yang bayarkan oleh orang non-Muslim khususnya
ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau kekayaan, ibadah,
bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Pada zaman Rasulullah, besarnya
jizyah adalah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu
membayarnya. Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga
berupa barang atau jasa.
Kharaj adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-Muslim ketika
Khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang Muslim dan pemilik
lamanya mmenawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti
sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada Negara.
Jumlah kharaj dari tanah ini tetap, yaitu setengah dari hasil produksi.
Rasulullah biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam
masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi
sepertiga sebagai kelebihan perkiraan, dua per tiga bagian dibagikan dan
mereka bebas memilih; menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur
yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber
pendapatan yang penting.
Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang,
dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang
nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah berinisiatif mempercepat

3
peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan Negara. Ia
menghapuskan semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan
berbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan
dibebaskan dari bea impor di wilayah Muslim, bila sebelumnya terjadi tukar
menukar barang.
Zakat dan ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi negara
pada masa Rasulullah. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan
termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur
dalam alquran (At-Taubah : 60) sehingga pengeluaran untuk zakat tidak dapat
dibelanjakan untuk pengeluaran umum Negara. Pada masa Rasulullah, zakat
dikenakan pada hal-hal sebagai berikut :
1) Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornamen atau
dalam bentuk lainnya.
2) Benda logam yang terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornament
atau dalam bentuk lainnya.
3) Binatang ternak : unta, sapi, domba, kambing.
4) Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
5) Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
6) Luqatah, harta benda yang ditinggalkan musuh.
7) Barang temuan.
Pencatatan seluruh penerimaan Negara pada masa Rasulullah tidak
ada. Dalam kebanyakan pencatatan diserahkan pada pengumpul zakat, setiap
orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat.
Sumber Sekunder Keuangan Negara.
Disamping sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan sebagai
penerimaan fiskal pemerintah pada masa Rasulullah Saw. ada sumber
pendapatan sekunder. Diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu
tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan.
2) Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Makkah) untuk pembayaran
uang pembebasan kaum Muslimin dari Judhaima atau sebelum
pertempuran Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari)
dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa pakaian dan hewan-

4
hewan tunggangan dari Sofwan bin Umaiyah (sampai waktu itu tidak ada
perubahan).
3) Khumuz atau rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
4) Awmal fadhla (berasal dari harta benda kaum Muslimin yang meninggal
tanpa waris, atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang
meninggalkan negerinya.
5) Wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada umat islam yang
disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di baitul
maal.
6) Nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar dibebankan pada kaum
Muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran Negara selama
masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
7) Zakat fitrah.
8) Bentuk lain sedekah seperti qurban dan kaffarat.
Lembaga Keuangan Negara : Baitul Mall
2. Keuangan Publik pada Masa Khulafaurrasyidin
Masa Kekhalifahan Abu Bakar Siddiq
Abu Bakar Siddiq terpilih sebagai khalifah dalam kondisi miskin,
sebagai pedagang dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
Sejak menjadi khalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan
dari Baitul Maal ini. Menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan
mengambil dua setengah atau tiga perempat dirhamsetiap harinya dari Baitul
Maal dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa.
Setelah berjalan beberapa waktu tersebut kurang mencukupi sehingga
ditetapkan 2.000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan lain 6.000 dirham
per tahun.
Selama sekitar 27 bulan di masa kepemimpinannya, Abu Bakar Siddiq
telah banyak menangani masalah murtad, cukai, dan orang-orang yang
menolak membayar zakat kepada Negara. Abu Bakar Siddiq sangat
memerhatikan keakuratan penghitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan
setiap periode dengan tanpa sisa. System pendistribusian ini tetap dilanjutkan,
bahkan hingga beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam
pembendaharaan keuangan. Sumber pendanaan Negara yang semakin menipis,

5
menjelang mendekati wafatnya menyebabkan kekayaan pribadinya
dipergunakan untuk pembiayaan Negara.
Masa Kekhalifahan Umar bin Khatab Al-Faruqi
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah
kebijakan keuangan Negara pada masa khalifah Umar, diantaranya adalah
masalah ;
1) Baitul Maal
Pada tahun 16 H, Umar mengumpulkan dana kharaj senilai
500.000 dirham, hasil dari Abu Hurairah, untuk disimpan sebagai
cadangan darurat, membiayai angkatan perang, dan kebutuhan lain untuk
umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka Bailtul Mall regular dan
permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota provinsi. Setelah
menaklukkan Syria, Sawad, dan Mesir, penghasilan Bailtul Mall
meningkat (kharaj dari sawad mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir
dua juta dinar).
a) Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar, banyak daerah yang
ditaklukkan melalui perjanjian damai. Di sinilah mulai timbul
permasalahan bagaimana pembagiannya, diantaranya sahabat ada yang
menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang,
sementara yang lainnya menolak. Oleh karena itu, dicarilah suatu
rencana yang baik untuk mereka yang datang pertama maupun yang
datang terakhir.
b) Zakat dan Ushr
Pada masa Umar, Gubernur Taif melaporkan bahwa pemilik
sarang-sarang tawon tidak membayar ushr, tetapi menginginkan
sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar katakana
bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang tawon mereka
akan dilindungi. Apabila tidak, tidak akan mendapat perlindungan.
Menurut laporan Abu Ubayd, Umar membedakan madu yang
diperoleh dari lading. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh
untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua.

6
c) Pembayaran Sedekah oleh non-Muslim
Tidak ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali
orang Kristen Banu Taghlib yang keseluruhan kekayaannya terdiri dari
ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar kaum
Muslim. Banu Taghlib adalah suku Arab Kristen yang menderita
akibat peperangan. Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi
mereka terlalu gengsi sehingga menolak membaya jizyah dan malah
membayar sedekah.
d) Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata
uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti
dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar
adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat
atau seratus grain barley.
e) Klasifikasi Pendapatan Negara
Pada periode awal Islam, para khalifah mendistribusikan semua
pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut berubah pada masa
Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi dalam empat
jenis, yaitu ;
1) Zakat dan Ushr
2) Khums dan Sedekah
3) Kharaj, fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah
4) Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam
anak-anak terlantar, dan dana social lainnya.
2) Pengeluaran
Masa Kekhalifahan Usman
Usman bin Affan adalah khalifah ketiga. Pada enam tahun pertama
kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazni, Kerman, dan Sistan ditaklukkan.
Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah
Negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan
dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan
dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan
dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.

7
Khalifah Usman tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia
meringankan beban pemerintah dalam hal yang serius. Dia bahkan menyimpan
uangnya di bendahara Negara. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman antara
Khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah seorang sahabat Nabi yang
terkemuka, yang berwenang melaksanakan kegiatan Baitul Maal pusat. Beliau
juga berusaha meningkatkan pengeluaran pertahanan dan kelautan,
meningkatkan dana pensiun dan pembangunan wilayah taklukan baru,
Khalifah membuat beberapa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj
dan jizyah dari mesir.
Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Usman, Ali terpilih sebagai khalifah dengan
suara bulat. Ali menjadi khalifah selama lima tahun. Kehidupan Ali sangat
sederhana dan dia sangat ketat dalam menjalankan keuangan Negara.
Gubernur Ray dijebloskan ke penjara oleh khalifah dengan tuduhan
penggelapan uang Negara.
Berbeda dengan khalifah Umar, Khalifah Ali mendistribusikan seluruh
pendapatan di Baitul Maal ke provinsi yang ada di Baitul Maal Madinah,
Busra dan Kufa.sistem distribusi setiap pecan sekali untuk pertama kalinya
diadopsi. Hari Kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Pada
hari itu semua penghitungan diselesaikan dan pada hari Sabtu dimulai
penghitungan baru.

2.2 Karakteristik Keuangan Publik


1. Pandangan Ahli Fiqh terhadap Zakat dan Pajak
Zakat merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang Islam
setelah memenuhi kriteria tertentu. Dalam Alquran terdapat 32 kata zakat, 82 kali
diulang dengan menggunakan istilah yang merupakan sinonim dari kata zakat,
yaitu kata sedekah dan infaq. Pengulangan tersebut mengandung maksud bahwa
zakat mempunyai kedudukan, fungsi, dan peranan yang sangat penting dalam
Islam. Dari 32 ayat dalam Alquran yang memuat ketentuan zakat tersebut, 29 ayat
diantaranya menghubungkan ketentuan zakat dengan shalat.
Nash Alquran tentang zakat diturunkan dalam periode, yaitu periode
Makkah sebanyak delapan ayat (Al-Muzzammil [73]: 20; Al-Bayyinah [98]: 5)
dan periode Madinah sebanyak 24 ayat (misalnya Al-Baqarah [2]:43 ; Al-Maidah

8
[5]: 12). Perintah zakat yang diturunkan pada periode Makkah, sebagaimana
terdapat dalam kedua ayat tersebut di atas, baru merupakan anjuran untuk berbuat
baik kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Sedangakan yang di turunkan pada periode Madinah, merupakan perintah yang
telah menjadi kewajiban mutlak (Ilzami).
2. Prinsip Penerimaan Publik
Dari tinjauan sejarah mengenai penerimaan publik umat islam dapat
ditunjukkan bervariasinya bentuk-bentuk sumber pendanaan publik, baik yang
sudah ditentukan ketentuannya oleh al-quran, yaitu zakat dan ghanimah, maupun
yang ditentukan oleh pemerintah saat itu seperti kharaj, khums, jizya, dan
sebagainya. Dari berbagai bentuk instrumen penerimaan publik diatas, dapat
dianalisis secara ekonomi prinsip dasar pemungutan dana publik pada awal islam
tersebut.
Tabel
Prinsip Pokok Sumber Keuangan Publik Islam Klasik

Sumber Karakteristik Utama


Penerimaan
Zakat  Merupakan kewajiban langsung dari Allah (Al-quran)
 Pembayar zakat adalah:
o   Khusus individu Muslim
o   Mampu secara material, melebihi satu nisab
 Dibebankan atas stok kekayaan atau keuntungan, bukan atas modal
kerja
 Tingginya tariff zakat dipengaruhi oleh:
o   Semakin tinggi peran pengelolaan manusia terhadap alam, semakin kecil tariff
zakatnya
o   Tingginya tarif adalah proporsional
 Dipungut secara berkala sesuai masa perolehan atau panen
Ushr  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah kepada
pedagang, ditujukan untuk meningkatkan perdagangan
 Pembayar ushr adalah pedagang Muslim dan non-Muslim
 Dibebankan atas volume perdagangan
 Besarnya tariff dipengaruhi oleh:
o   Tarif yang dipungut oleh partner dagang
o   Kemampuan bayar (tidak bagi pedagang kecil, 200 dieham)

9
o   Besarnya jasa yang diberikan pemerintah (tariff dzimmi lebih besar karena
butuh jaminan keamanan lebih tinggi
 Temporer, ketika terjadi perdagangan yang tidak fair (tariff dikurangi
untuk meningkatkan perdagangan yang fair)
Kharaj  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah kepada
pengguna lahan Negara atau tanah fa’i
 Tingginya tarif semakin tinggi dengan kondisi:
o   Kualitas tanah & jenis tanaman yang lebih baik
o   Metode produksi /peran SDM lebih rendah
o   Nilai hasil produksi (max 50%)
 Dipungut secara permanen berkala
Jizya (pajak  Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah sebagai
Dzimmi) kompensasi atas perlindungan jiwa, property, ibadah &
tanggungjawab militer
 Dipungut dari non-Muslim dzimmi yang tinggal di Negara islam
 Tingginya tariff dipengaruhi oleh:
o   Kemampuan material membayar jizya
o   Bias dibayar individual atau kolektif
 Dipungut permanen, kecuali jika dzimmi berpindah agama ke islam,
maka terkena kewajiban sebagai Muslim
Ghanimah  Merupakan harta yang diperoleh secara paksa melalui perang
 Ditujukan terutama untuk pembiayaan perang dan kesejahteraan
tentara (80%)
 Sebagian, 20% dialokasikan untuk sabilillah, sebagaimana tarif zakat
yang dikenakan atas harta temuan (rikaz)
Fa’i  Merupakan harta yang diperoleh dari non-Muslim secara damai atau
non-perang
 Prinsipnya adalah pemanfaatan harta yang menganggur
 Dimiliki oleh pemilik asal meninggal atau masuk ke islam, dan
menjadi milik Negara jika pemilik asal meninggal atau tetap non-
Muslim
 Beberapa pendapatan bisa dikategorikan sebagai fa’I, seperti jizyah,
upeti, bea cukai, denda, kharaj, amwal fadhila dsb.
Amwal  Merupakan harta yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki baik
fadhila karena ditinggalkan pemiliknya ataupun tanpa ahli waris
Nawaib  Merupakan pungutan yang dibebankan oleh pemerintah kepada orang
tertentu untuk tujuan Negara tertentu, misalnya untuk pertahanan
Negara

10
 Pemungutan dilakukan secara purposive, untuk kepentingan darurat
(perang)
 Dikenakan atas orang kaya saja
Wakaf  Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan kepemilikannya
oleh seorang Muslim untuk digunakan kemaslahatan umat islam
 Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka panjang
 Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung kemauan waqif
Sedekah  Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan kepemilikannya
oleh seorang Muslim kepada orang lain atau umat islam atau Negara
 Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung kemauan
pemberi sedekah

3. Prinsip Pengeluaran Publik


Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik islam
semasa Rasulullah Saw. dan Khulafaurrasyidin serta kaidah fiqh muamalah, pada
hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasian dana publik adalah peningkatan
maslahat tertinggi. Khalifah Umar telah berani melakukan perubahan
distribusi/alokasi pendapatan yang diperoleh, dimana alokasi dana disesuaikan
dengan jenis dan yang masuk.
4. Keseimbangan Sektor Publik dan Anggaran
Dengan mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran sector
publik, maka dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik (surplus)
ataupun defisit sektor publik. Namun, karena alokasi zakat sudah ditentukan,
maka dimungkinkan terjadi pada suatu waktu ter dapat sisa dana zakat bersamaan
dengan belum terpenihinya kebutuhan yang tidak dimungkinkan dibiayai dengan
zakat. Misalnya, biaya rutin pemerintah dan militer, dalam sepanjang sejarah
islam tidak dibiayai dari zakat, namun dari pendapatan lain jika memungkinkan
seperti ghanimah dan jizyah. Namun disisi lain, hal yang sebaliknya tidak
mungkin terjadi, yaitu ketika terjadi surplus dipenerimaan publik non-zakat, maka
surplus ini bisa digunakan untuk menutupi kekurangan-kekurangan distribusi dari
zakat.
5. Sumber penerimaan publik:
GR = Zakat + Dharibah + Aset + Sedekah
Alokasi sektor publik meliputi:
GE = Miskin + Rutin + Pembangunan + Emergency

11
Meskipun Rasulullah Saw. tidak melakukan estimasi tahanan mengenai berapa
besar belanja yang dibutuhkan dan sumber-sumber penerimaannya, namun beliau
telah melakukan penyeimbangan antara tujuan dan instrumen publik pemerintah,
dalam arti penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Konsep anggaran yang
merupakan suatu rancangan kegiatan dan pendapatan terhadap pengeluaran
pemerintah pada setiap segmen adalah merupakan hal yang relatif baru dalam
sejarah islam. Dengan demikian, tidaklah diperoleh informasi normatif mengenai
bagaimana proses penyusunan anggaran maupun besarannya dalam perspektif
islam.

2.3 Instrumen Pembiayaan Publik


Berbagai instrumen yang bisa digunakan sebagai sumber pembiayaan negara
pada dasarnya dapat dikembangkan karena pada hakikatnya hal ini merupakan aspek
muamalah, kecuali dalam hal zakat. Artinya selama dalam proses penggalian sumber
daya tidak terdapat pelanggaran syariah islam, maka selama itu pula diperkenankan
menurut islam. Oleh karena itu, terdapat beberapa instrumen pembiayaan publik,
yaitu sebagai berikut:
1. Zakat
Pengeluaran/pembiayaan zakat didalam islam mulai efektif dilaksanakan
sejak sejarah hijrah dan terbentuknya negara islam di Madinah. Orang-orang yang
beriman dianjurkan untuk membayar sejumlah tertentu dari hartanya, dalam
bentuk zakat. Pembayan zakat merupakan kewajiban agama dan merupakan salah
satu dari lima rukun islam. kewajiban itu berlaku bagi setiap Muslim yang telah
dewasa, merdeka, berakal sehat, dan telah memiliki harta itu setahun penuh dalam
memenuhi nisab. Zakat dikenakan atas harta kekayaan berupa: emas, perak,
barang dagangan, binatang ternak tertentu, barang tambang, harta karun dan hasil
panen.
Kewajiban zakat secara tegas dinyatakan dalam al-quran, yaitu:
Zakat itu hanyalah untuk orang-orang kafir, orang-orang yang
mengurusnya, orang-orang yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
untuk orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang dalam
perjalanan; merupakan sesuatu ketentuan dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana. (Q.S At-Taubah : 60).

12
2. Aset dan Perusahaan Negara
Disamping negara mendapatkan penerimaan berupa zakat, yang bisa
dibayarkan dalam bentuk barang ataupun uang, negara islam memiliki sumber
pendanaan negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fa’i. Kedua harta ini
diperoleh dari masyarakat non-Muslim, baik melalui pemaksaan perang ataupun
melalui jalan damai. Meskipun demikian, harta ghanimah bukanlah merupakan
tujuan utama peperangan. Sebagian besar harta ghanimah dipergunakan untuk
kesejahteraan tentara dan sebagian kecil untuk umat islam. Anggota pasukan akan
mendapatkan bagian sebesar empat perlima atau delapan puluh persen. Al-quran
telah mengatur hal ini secara jelas dalam Q.S Al-Anfal ayat 41,yaitu:
Katakanlah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan
perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman
kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad) di Hari (Furqan), yaitu hari bertemunya dua pasukan (Q.S Al-Anfal
[8]:41).
3. Kharaj
Kharaj atau bisa disebut dengan pajak tanah. Dalam pelaksanaannya,
kharaj dibedakan menjadi dua, yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional
artinya dikenakan sebagai bagian total dari hasil produksi pertanian, misalnya
seperempat, seperlima, dan sebagainya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah.
Dengan kata lain, kharaj proporsional adalah tidak tetap tergantung pada hasil dan
harga setiap jenis hasil pertanian. Sedangkan kharaj tetap dikenakan pada setahun
sekali.
Kharaj diperkenalkan pertama kali setelah perang Khaibar, ketika
Rasulullah Saw. membolehkan orang-orang Yahudi Khaibar kembali ke tanah
milik mereka dengan syarat mau membayar separuh dari hasil panennya kepada
pemerintah islam, yang disebut kharaj.
4. Jizyah
Salah satu ciri khas masyarakat Muslim adalah menjaga saudaranya
Muslim dan non-Muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada sa Rasulullah,
orang-orang Kristen dan Yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi militer di
Negara islam. Mereka memperoleh konsesi bahwa Negara islam akan menjamin
keamanan pribadi dan hak milik mereka. Sebagai gantinya maka orang-orang non-

13
Muslim diwajibkan mengganti dengan pembayaran jizyah. Dijelaskan dalam
firman-Nya: Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) keada Hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan oleh allah dan rasul-Nya dan tidak beragama yang benar agama Allah,
(yaitu orang-orang) yang diberi Al-kitab kepada mereka, sampai mereka
membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (Q.S Al-
Taubah [9]: 29).
Meskipun jizyah merupakan hak wajib, namun dalam ajaran islam ada
ketentuan, yaitu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non-muslim dewasa,
laki-laki, yang mampu membayarnya. Sedang bagi perempuan, anak-anak, orang
tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur
dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur. Orang-orang miskin, pengangguran,
pengemis, tidak dikenakan pajak. Jumlah jizyah yang harus dibayar, sangat
bervariasi antara 12 dan 48 dirham setahun, sesuai dengan kondisi keuangan
mereka. Jika seseorang memeluk agama islam, kewajiban membayar jizyah itu
ikut gugur. Hasil pengumpulan dana dari jizyah, digunakan untuk membiayai
kesejahteraan umum.
5. Wakaf
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang
tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa
perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai
dengan syariat islam. Harta yang telah di wakafkan keluar dari hak milik yang
diwakafkan (wakif), dan bukan pula hak milik nadzir/lembaga pengelola wakaf,
tetapi menjadi hak milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan
masyarakat. Filsafat yang terkandung dalam amalan wakaf menghendaki agar
harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang dapat dinikmati oleh
mawquf-alaih (pihak yang berhak menerima hasil wakaf). Makin banyak harta
hasil wakaf yang dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala yang
akan mengalir kepada wakif.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa keuangan publik
meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat baik
dikelola secara individual, kolekstif atau pun oleh pemerintah.
Pajak adalah berbeda dengan dharibah. Dharibah merupakan pungutan yang
merupakan menutup devisit negara pungutan yang dibebankan secara sepihak kepada
warga tidak dapat di jadikan sebagai sumber peerimaan jangka panjang sehingga hal
ini akan berperngaruhi dalam perhitungan surplus atau defisit anggaran.

3.2 Saran
Dengan demikian yang dapat kami sampaikan mengenai makalah ini.
Tentunya banyak kesalahan, maka dari itu penulis berharap kepada pembaca untuk
memberikan kritik dan saran untuk memotivasi kami agar lebih baik kedepannya.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat kepada pembaca dan penulis.
Semoga Allah SWT memberikan pemahaman dan kemanfaatan kepada kita. Aamiin.

15
DAFTAR PUSTAKA

Adiwarman Azwan Karim, Sejarah Pemikran Ekonomi Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2008, edisi ke-3.
Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, Jakarta,
Kencana, 2012.

16

Anda mungkin juga menyukai