Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEUANGAN NEGARA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah
Hadist Ekonomi
Dosen Pengampu : Rabiatun Hadawiyah, MA

Disusun oleh:
1. Tasya Salsabila (0503213098)
2. Soraya Alyya Syam Batubara (0503213068)
3. Azmi Sahid Siahaan (0503213180)

KELAS IV C
PRODI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Hadist Ekonomi ini
dengan baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Keuangan Negara”
itu sangat berarti untuk kita sebagai mahlu sosial dan ekonomi. Semuanya perlu
dibahas pada makalah ini kenapa Pendidikan Karakter itu sangat diperlukan serta
layak dijadikan bagaikan modul pelajaran.

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang keberadaan Pendidikan
Karakter untuk kemajuan bangsa. Mudah-mudahan makalah yang kami buat ini
bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi. Kami menyadari
kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu
Dosen Mata Kuliah Hadist Ekonomi. Kepada pihak yang sudah menolong turut
dan dalam penyelesaian makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami
sampaikan banyak terima kasih.

Medan, 28 Februari 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I .......................................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG .................................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................2

C. TUJUAN ......................................................................................................2

BAB II .....................................................................................................................3

A. Pengertian Keuangan Negara ....................................................................3

B. Kejujuran Dalam Pengelolaan Keuangan Negara ...................................8

C. Rasionalitas Penggunaan Kekayaan Negara ..........................................15

BAB III ..................................................................................................................18

A. KESIMPULAN ......................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesejahteraan ekonomi adalah salah satu tujuan utama sebuah pemerintahan.
Dalam penyelenggaraannya pemerintah memiliki wewenang untuk mengatur dan
mengelola penerimaan serta pengeluaran Negara. Tujuan penerimaan dan
pengeluaran negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya berasaskan prinsip
keadilan.

Islam sebagai agama yang memuat ajaran yang bersifat universal. Universal
memiliki arti bahwa ajaran Islam dapat diterima oleh seluruh manusia atau
masyarakat baik nilai keadilan, musyawarah, dan Amanah dan ajaran Islam
mencakup seluruh dimensi kehidupan baik sosial, ekonomi, politik, budaya,
maupun aspek-aspek lain. Pada dasarnya, Islam mempunyai tiga unsur utama, yaitu
akidah, akhlak, dan syariah. Adapun syariah memiliki dua aspek dasar, yaitu ibadah
dan muamalah. Ibadah merupakan suatu aktivitas yang berkaitan dengan
penghambaan diri kepada Allah, sedangkan muamalah adalah suatu aktivitas yang
berhubungan dengan interaksi antara sesama manusia termasuk untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, termasuk salah satunya aktivitas ekonomi. Begitu banyak
firman Allah yang mengatur manusia tentang bagaimana cara melaksanakan
aktivitas ekonomi dengan baik, yang pada intinya adalah untuk mendapatkan
keridhoan dari Allah SWT.

Makalah ini membahas mengenai keuangan negara dalam konsep Islam Secara
umum, jika berbicara tentang keuangan negara dalam Islam maka secara tidak
langsung berbicara mengenai bagaimana sebuah negara mengelola keuangan baik
dari sisi penerimaan maupun pengeluaran dengan cara yang baik, sesuai dengan
pedoman syariat Islam. Selain itu, juga mengenai kepentingan masyarakat secara
menyeluruh. Untuk itu, dibutuhkan suatu prinsip yang menjadi pedoman atas
pelaksanaan keuangan negara berdasarkan nilai-nilai Islam. Prinsip yang
dilaksanakan tersebut harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh

1
suatu pemerintahan yang Islami sebagaimana yang menjadi tujuan dalam agama
Islam yaitu untuk mencapai falah. Negara merupakan otoritas tertinggi dalam
merumuskan suatu kebijakan.

Keuangan negara dalam konteks syariah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia dalam bermuamalah khususnya hubungan relasi negara dengan
rakyatnya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT, sebab
dalam islam tidak hanya mengkaji mengenai ibadah saja atau hubungan spiritual
tetapi dalam islam mengkaji seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam hal kecil
maupun besar.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu keuangan negara dalam perspektif islam dan implikasinya?
2. Bagaimana penerapan sikap kejujuran dalam pengelolaan keuangan negara
dalam perspektif islam?
3. Rasionalitas dalam pengelolaan keuangan negara dalan perspektif islam?

C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui keuangan negara dalam perspektif islam dan
implikasinya
2. Untuk mengetahui bagaimana menerapkan sikap kejujuran dalam
pengelolaan keuangan negara dalam perspektif islam
3. Untuk mengetahui rasionalitas dalam pengelolaan keuangan negara dalan
perspektif islam

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Keuangan Negara

Keuangan Negara ialah seluruh hak dan kewajiban negara yang ditaksir dengan
uang, dan merupakan segala sesuatu yang berwujud uang atau produk yang dapat
dijadikan milik negara sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban tersebut.
Hak-hak negara adalah setiap hak atau usaha yang dilakukan oleh suatu pemerintah
untuk mengisi perbendaharaannya. Pendanaan negara yang dikelola oleh
pemerintah pusat adalah komponen keuangan negara, yang memperkirakan seluruh
aset negara. Sementara dana pemerintah dikelola langsung dari pemerintah daerah,
anggaran dan pengeluaran pendapatan di wilayah tersebut di rumah tangga regional
dan inventaris daerah terdaftar.

Keterkaitan pada keuangan negara dengan anggaran negara (pemerintah) sangat


erat, karena bertambah ataupun berkurangnya keuangan negara ini berdasarkan
pelaksanaan anggaran negara, sehingga pengurusan keuangan negara dilaksanakan
pada pelaksanaan anggaran negara.1 Anggran negara atau anggaran pemerintah
yang dimaksud adalah APBN dan APBD. APBN dan APBD merupakan inti dari
keuangan pemerintah karena anggaran merupakan informasi keuangan paling
penting yang dihasilkan pemerintah.

Sedangkan Keuangan negara menurut Islam adalah sebuah konsep keuangan yang
berasaskan Islam, yang mana dengan penanaman nilai-nilai religiusitas akan
berdampak pada nilai positif. Sumber dari keuangan negara dalam Islam tentunya
basis perolehan yang terbesar adalah zakat, infak, sadakah, dan wakaf. Tujuan akhir
dari keuangan negara Islam adalah falah.2 Karakteristik yang berbeda dari
konvensional merupakan nilai tersendiri dari keuangan negara Islam, yang mana di
dalamnya terdapat pandangan terhadap zakat dan pajak, penermaan, pengeluaran,
dan kesimbangan di sektor publik. Kekuatan yang terhimpun dari sistem keuangan

1
Nurul Huda, Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah (Jakarta: Prenada Media
Group, 2012)
2
Sayid Sabiq, (1990). Fikih Sunnah. Bandung: PT Alma'arif.

3
negara ini memiliki beberapa landasan prinsip-prinsip yang bernilai Islam, yang
mana dengan prinsip-prinsip ini nantinya akan menjadikan pondasi yang kokoh
dalam mengembangkan keuangan negara Islam.

Dalam mengkaji keuangan negara perspektif Islam, maka tidak dapat dipisahkan
dari pemahaman atas konsep negara dalam kerangka kerja Islam itu sendiri. Para
sarjana Muslim mengartikan negara sebagai entitas politik yang bertanggung jawab
terhadap urusan kolektif masyarakat muslim bukan hanya terkait dengan urusan
duniawi melainkan juga ukhrawi.3 Persoalan keuangan negara yang mencakup
pendapatan negara (public revenues) dan pembelanjaan negara (public expenditure)
memiliki dua kriteria, yaitu (1) untuk melayani dengan baik kepentingan-
kepentingan seluruh anggota komunitas Muslim, dan (2) untuk mengatur
kepentingan tersebut berdasarkan sumber-sumber kewahyuan yaitu Al-Qur’an dan
Hadist.4

ُ‫اّلل َع ْن ُُه َح َّدثَ ُُه َأ َُّن َأ َُب بَ ْكر‬ َُ ‫اّلل قَا َُل َح َّدثَنُ َأبُ قَا َُل َح َّدثَنُ ثُ َما َم ُُه َأ َُّن َأن َ ًسا َر‬
ُُ َّ ‫ض‬ ُ َّ ُ‫َح َّدثَ َنا ُم َح َّمدُُ ْب ُُن َع ْبد‬
ُ‫اّلل عَلَ ْيهُ َو َس ََُّّل َو َم ُْن بَلَغَتُْ َصدَ قَتُ ُُه بنْتَُ َمخَاض‬ ُ َّ ‫ول َص‬
ُُ َّ ‫ّل‬ ُُ َّ ‫ب َُُل الَّتُ َأ َم َُر‬
َُُ ‫اّلل َر ُس‬ َُ َ‫اّلل َع ْن ُُه َكت‬
ُُ َّ ‫ض‬
َُ ‫َر‬
َُ ‫َولَي َْستُْ ع ْندَ ُُه َوع ْندَ ُُه بنْتُُ َأبُونُ فَاَّنَّ َا تَ ْقبَ ُُل منْ ُُه َويُ ْعطيهُ الْ ُم َصد ُ ُق ع ْْش‬
ُ‫ين د ْر َ ََها َأ ُْو شَ ات َْيُ فَا ُْن لَ ْم‬
ِ ِ
ْ َ ‫ْس َم َع ُُه‬
ُ‫َشء‬ ُ َ ‫ّل َو ْْجهَا َوع ْندَ ُُه ا ْب ُُن لَ ُبونُ فَان َُُّه يُ ْق َب ُُل م ْن ُُه َولَي‬
ُ َ َ‫يَ ُك ُْن ع ْندَ ُُه بنْتُُ َمخَاضُ ع‬
ِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdullah berkata, telah
menceritakan kepadaku bapakku berkata, telah menceritakan kepada saya
Tsumaamah bahwa Anas ra menceritakan kepadanya bahwa Abu Bakar ra telah
menulis surat kepadanya (tentang aturan zakat) sebagaimana apa yang telah
diperintahkan Allah dan rasul-Nya, yaitu; "Barangsiapa yang terkena kewajiban
zakat bintu makhadh namun dia tidak memilikinya sedang yang ada dimilikinya
bintu labun, maka zakatnya bisa diterima dengan bintu labun dan dia diberi
(menerima) dua puluh dirham atau dua ekor kambing jadi jika ia tidak memiliki

3
Adiwarman Azwar Karim, 2010, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada), hal. 59-60
4
Monzer Kahf, 1998, Public Finance and Fiscal Policy in Islam, dalam Monzer Kahf (ed.),
Lessons in Islamic Economic, (Qeddah: IDB-IRTI), hal. 455

4
bintu makhadh (yang wajib dizakatkan sesuai ketentuan) sedangkan yang ada
padanya bintu labun maka zakatnya bisa diterima dengan bintu labun itu karena dia
tidak memiliki yang lain".5

Pengertian Pengelolaan Keuangan Negara dalam Islam

Kekayaan Negara merupakan suatu kekayaan khusus, dimana pemerintah berhak


mengatur dan mengelolanya, bahkan mendistribusikannya kepada masyarakat.
Dalam kebijakan pengelolaan keuangan negara juga dikenal dengan kebijakan
fiskal, yaitu kebijakan yang berkenaan dengan pemeliharaan, pembayaran dari
sumber-sumber yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan publik dan
pemerintahan. Kebijakan ini meliputi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam
penerimaan, pengeluaran dan hutang.6

Prinsip Pengelolaan Keuangan Negara dalam Ekonomi Islam

Prinsip islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan untuk
mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkan atas distribusi kekayaan
berimbang dengan menempatkan nilai- nilai material dan spiritual pada tingkat
yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi
perilaku manusia yang dipengaruhi insentif yang disediakan dengan meningkatkan
pemasukan pemerintah. Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan
sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai karena tujuan pokok agama Islam
adalah mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.

Keuangan negara dalam Islam mencakup dua hal yaitu sektor penerimaan dan
pengeluaran. Islam memiliki prinsip-prinsip kebijakan ekonomi Islam yang
menjadi landasan dari aktifitas perekonomian antara lain:7

5
Muhammad Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Prima Yasa, 1997), h. 247.
6
Indayani, H. (2010). Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif
Ekonomi Islam. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, op. cit, hal. 36.

5
1) Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang
absolut atas semua yang ada.
2) Manusia merupakan pemimpin (khalifah) Allah di bumi tetapi bukan
pemilik yang sebenarnya.
3) Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah karena seizin Allah,
oleh karena itu golongan yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian
kekayaan yang dimiliki oleh golongan yang lebih beruntung.
4) Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.
5) Kekayaan harus diputar.
6) Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.
7) Menghilangkan jurang pembeda antar individu dalam perekonomian dapat
menghapus konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan
seseorang setelah kematiannya kepada ahli warisnya.
8) Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua
individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.

Kaum muslimin sangat memegang teguh konsep manusia sebagai pemegang


amanah, bukan sebagai pemegang kuasa penuh dalam mengatur alam semesta,
manusia ditunjuk sebagai khalifah, yang harus mempertanggungjawabkan segala
tindakan yang dilakukannya.8 Firman Allah dalam QS. Thaha ayat 6 disebutkan,
bahwa: "Kepunyaan Allahlah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi
dan yang diantara keduanya, dan semua yang di bawah tanah".

Dalam ayat yang lain disebutkan, bahwa setiap perbuatan yang dilakukan akan
dimintai pertanggung-jawabannya di hari penghisaban kelak, yaitu dalam QS. Al-
Insyiqaaq, ayat 7-12: "Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah
kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan
kembali kepada kaumnya (orang yang beriman) dengan gembira, adapun yang
diberikan kitabnya dari belakang, maka ia akan berteriak, celakalah aku, dan ia akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

8
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2009)

6
Ayat tersebut menunjukkan konsep Islam tentang amanah dan pertanggungjawaban
atas amanah yang diberikan kepada manusia. Istilah hisab atau perhitungan,
pengadilan merupakan saat permintaan pertanggungjawaban oleh Allah kepada
manusia atas manifestasi dalam kehidupannya di hari pembalasan kelak. Keyakinan
akan adanya hari pembalasan bagi seorang muslim sangat besar artinya dalam
memupuk rasa tanggung jawab atas perbuatannya.

ُ‫اّلل ْب ُُن ُم َح َّمدُ الْ ُم ْس نَدي قَا َُل َح َّدثَنَا َأبُو َر ْوحُ الْ َح َرميُ ْب ُُن ُ َُع َار َةُ قَا َُل َح َّدثَنَا ُش ْع َب ُُة َع ُْن َواقد‬
ُ َّ ُُ‫َح َّدثَنَا َع ْبد‬
‫اّلل عَلَ ْيهُ َو َس ََُّّل قَا َُل ُأم ْرتُُ َأ ُْن‬ ُُ َّ ‫ّل‬ ُ َّ ‫اّلل َص‬
ُ َّ ‫ْبنُ ُم َح َّمدُ قَا َُل ََس ْعتُُ َأبُ ُُيَد ُثُ َع ُْن ا ْبنُ ُ َُع َُر َأ َُّن َر ُسو َُل‬
‫الص ََلَُة َويُ ْؤتُوا َّالز ََكَُة‬ َّ ‫اّلل َويُقميُوا‬ ُ َّ ‫ول‬ ُُ َّ ‫ّت ي َْشهَدُ وا َأ ُْن َُل ا ََُل ا َُّل‬
ُُ ‫اّلل َو َأ َُّن ُم َح َّمدً ا َر ُس‬ ُ َ َّ‫ُأقَات َُل الن‬
ُ َّ ‫اس َح‬
ِ ِ
ُ‫ّل َّاّلل‬ُ َ َ‫ل َع َص ُموا منُ د َم َاء ُُْه َو َأ ْم َوالَه ُُْم ُا َّلُ ِبَقُ ْال ْس ََلمُ َوح َساُبُ ُ ُْم ع‬ َُ ‫فَا َذا فَ َعلُوا َذ‬
ِ ِ ِ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Musnadi dia
berkata, Telah menceritakan kepada kami Abu Rauh Al Harami bin Umarah
berkata, telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Waqid bin Muhammad
berkata; aku mendengar bapakku menceritakan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Aku diperintahkan untuk memerangi
manusia hingga mereka bersaksi; tidak ada ilah kecuali Allah dan bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan
zakat. Jika mereka lakukan yang demikian maka mereka telah memelihara darah
dan harta mereka dariku kecuali dengan haq Islam dan perhitungan mereka ada pada
Allah.9

Ibnu Taimiyah dalam bukunya Fatwa sangat mendukung perlunya penyusunan


anggaran dan pengaturan yang keras terhadap keuangan. Dia mengatakan:
“Penerimaan itu berada dalam jaminan kepala pemerintahan, harus diurus sebaik-
baiknya, dalam usaha yang dibenarkan oleh Kitab Allah. Administrator harus
diangkat, jika urusan itu belum ada yang menanganinya seorang inspektur jenderal
harus diangkat untuk mengawasi seluruh administrator dan kolektor, sesuai dengan

9
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah, op.cit., h. 188.

7
kebutuhan. Sesekali pengangkatan petugas menjadi urusan yang sangat penting dan
merupakan kebutuhan yang penting pula jika ketiadaan petugas seperti itu, akan
membuat seluruh penerimaan negara di belanjakan secara tidak semestinya. Sebab,
jika pemenuhan kewajiban itu tergantung kepada suatu hal yang lain, yang terakhir
itu menjadi kewajiban (untuk diadakannya); Sesekali, kepala pemerintahan sendiri
yang memegang portofolio sebagai inspektur jenderal jika pekerjaan itu sendiri
tidak begitu luas dan ia sendiri mampu menangani urusan itu secara efektif”.10

Secara singkat bisa dikatakan, menurut Ibnu Taimiyah, penguasa bebas


menentukan cara mengorganisasi administrasi keuangannya dan mengontrol
barang-barang publik, dengan cara belajar dari pengalamannya sendiri atau
mengambil pengalaman orang lain. yang lebih penting ia harus memilih person
yang jujur dan mampu menangani urusan itu dengan sebaik-baiknya.

Fungsi dan Tujuan Pengelolaan Keuangan Negara dalam Islam

Tujuan dari kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi
konvensional, namun ada kesamaan yaitu dari segi sama-sama menganalisis dan
membuat kebijakan ekonomi. Pada sistem konvensional, konsep kesejahteraan
hidup adalah untuk mendapatkan keuntungan maksismum bagi individu di dunia
ini. Namun dalam Islam, konsep kesejahteraan sangat luas, meliputi kehidupan di
dunia maupun di akhirat serta peningkatan spiritual lebih ditekankan daripada
material.11

B. Kejujuran Dalam Pengelolaan Keuangan Negara

Transparansi keuangan pertama kali disebut dalam Undang- Undang 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara (UU17/2003). Dalam penjelasan UU17/200312
disebutkan bahwa salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat

10
A. A. Islahi. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. h. 271-272
11
Dahlan, A. Keuangan Publik Islam: Teori dan Praktek. STAIN Purwokerto. 2008
12
Pemerintah Republik Indonesia, 2003. Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor 17
tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta.

8
waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah
diterima secara umum.13

Kebutuhan transparansi keuangan pertama kali disebut dalam Undang-Undang 17


tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU17/2003). Dalam UU 17/2003 tersebut
transparansi ditetapkan sebagai salah satu asas bahwa pertanggungjawaban
keuangan negara merupakan keniscayaan. Pemerintah wajib transparan dalam
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara. Penyampain laporan
keuangan kepada publik merupakan wujud ”transparansi” dan ”akuntabilitas”
pengelolaan keuangan negara. Selanjutnya ditetapkan bahwa dalam rangka
transparansi dan akuntabilitas disusun Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) (UU
1/2004 tentang Perbendaharaan Negara).14

Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat


berdasarkan pertimbangan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui
secara terbuka dan menyeluruh atas pertanggungjawaban pemerintah dalam
pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada
peraturan perundang undangan. Definisi ini menegaskan bahwa transparansi
keuangan merupakan wujud keterbukaan informasi keuangan kepada publik.
Makna yang terkandung bahwa pemerintah sebagai badan publik harus
menyediakan informasi kepada publik.15

Regulasi menjelaskan beberapa alasan yang mengharuskan badan publik transparan


dalam hal informasi kepada warga masyarakat. Alasan-alasan ini diatur dalam Pasal
3 UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).16

13
Yusuf Qardhawi, (1997). Norma Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press. (1994), Fatwa-
fatwa Mutakhir, Jakarta: Yayasan Al 2 Hamidiy.
14
Pemerintah Republik Indonesia. 2004a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara. Jakarta.
15
Sofyan Safri Harahap, (1997). Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
16
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta.

9
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan
keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik;
b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik;
c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik
dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan,
efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan;
e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak;
f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
dan/atau
g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan
Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.

Kejujuran Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam Perspektif Islam

Ekonomi sangat erat hubungannya dengan kesejahteraan dan pelayanan publik,


sejalan dengan perkembangan kenegaraan dan pemerintahan, yaitu munculnya
konsep negara hukum yang dianut oleh negara di dunia khususnya setelah perang
dunia kedua yakni negara kesejahteraan (welfare state).17

Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah18


menyebutkan jika Keuangan daerah adalah “Keuangan daerah adalah semua hak
dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang
dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang
berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”.

Hak daerah dalam rangka keuangan daerah adalah segala hak yang melekat pada
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam usaha

17
Ridwan HR, Ridwan, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),14.
18
Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta.

10
pemerintah daerah mengisi kas daerah. Keuangan daerah dituangkan sepenuhnya
kedalam APBD. Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya
pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan
pengawasan keuangan daerah. Dalam konteks ini lebih difokuskan kepada
pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh DPRD.

Sementara itu, beberapa ahli memiliki pengertian masing-masing terkait dengan


keuangan Daerah. Abdul Halim mengartikan sebagai berikut: ”Semua hak dan
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik
berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang
belum dimiliki/dikuasai oleh Negara atau Daerah yang lebih tinggi serta pihak-
pihak lain sesuai ketentuan/ peraturan perundang-undangan yang berlaku”.19

Dari definisi tersebut terdapat dua hal yang perlu dijelaskan, yaitu: Pertama yang
dimaksud dengan semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber
penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, dan lain- lain, dan atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan
lain seperti Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus sesuai peraturan yang
ditetapkan. Hak tersebut akan meningkatkan kekayaan daerah.

Kedua yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk


mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka
penyelenggaraan fungsi pemerintah, infrastruktur, pelayanan umum, dan
pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.

Timbulnya hak akibat penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut menimbulkan


aktivitas yang tidak sedikit. Hal itu harus diikuti dengan adanya suatu sistem
pengelolaan keuangan daerah untuk mengelolanya. Pengelolaan keuangan daerah

19
Abdul Halim, Akuntansi Keuangan Daerah (Jakarta: Salemba Empat, 2008),18.

11
sebagaimana dimaksud, merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan
negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahaan
daerah. Untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah tersebut maka
hendaknya sebuah pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan dari
kegiatan-kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

Undang-undang Dasar 1945 pasal 18 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan


Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu
dibagi atas kabupaten dan kota. Yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut pada pasal 18 A dijelaskan bahwa hubungan keuangan, pelayanan


umum, pemanfaatn sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil
dan selaras berdasarkan undang-undang.Berkaitan dengan pelaksanaan dari pasal
18 dan 18 A tersebut di atas setidaknya terdapat beberapa peraturan perundang-
undangan yang menjelaskan lebih lanjut. adapun Peraturan tersebut antara lain :

1) UU No 17 tahun 2003 tentang Keaungan Negara


2) UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3) UU No 15 tahun 2003 tentang Pemeriksaan atas tanggung jawab
pengelolaan Keuangan Negara
4) UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional
5) UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
6) UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah

Undang-undang tersebut diatas menjadi acuan pengelolaan keuangan daerah.


Peraturan perundang-undangan diatas terbit atas dasar pemikiran adanya keinginan
untuk mengelola keuangan negara dan daerah secara efektif dan efisien. Ide dasar
tersebut kemudian mengilhami suatu pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang

12
baik yang memiliki tiga pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan
partisipatif.

Banyaknya Undang-undang yang menjadi acuan dalam pengelolaan anggaran


mengakibatkan perlunya akomodasi yang baik dalam tingkat pelaksanaan (atau
peraturan dibawahnya yang berwujud peraturan pemerintah)20. Peraturan
pelaksanaan yang berwujud Peraturan Pemerintah tersebut harus komprehensif dan
terpadu (omnibus regulation) dari berbagai undang-undang tersebut diatas. Hal ini
bertujuan agar memudahkan dalam pelaksanaanya dan tidak menimbulkan multi
tafsir dalam penerapanya. Peraturan tersebut memuat barbagai kebijakan terkait
dengan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban
keuangan daerah.21 Bahasan ruang lingkup keuangan daerah meliputi hak daerah,
kewajiban daerah, penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kekayaan daerah dan
kekayaan pihak lain yang dikuasai daerah. secara lebih rinci dapat dijelaskan bahwa
ruang lingkup keuangan daerah meliputi beberapa hal yakni:

1) Hak daerah untuk memungut pajak Daerah dan retribusi daerah serta
melakukan pinjaman
2) Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan daerah
dan membayar tagihan pihak ketiga
3) Penerimaan daerah, adalah keseluruhan uang yang masuk ke kas daerah.
pengertian ini harus dibedakan dengan pengertian pendapatan daerah karena
tidak semua penerimaan merupakan pendapatan daerah. Yang dimaksud
dengan pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayan bersih
4) Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah. Seringkali
istilah pengeluaran daerah tertukar dengan belanja daerah. yang dimaksud
dengan belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui
sebagai pengurang nilai kekayaan bersih

20
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945 (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994) 204.
21
Fauzan, Muhammad Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara
Pusat Dan Daerah (Yogyakarta: PKHD FH.UNSOED),66-67.

13
5) Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uanga, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah
6) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.
UU keuangan Negara menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekayaan

Pihak lain adalah meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain
berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian
negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah. Sebagai sebuah alat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, APBD disusun dengan mengacu pada
norma dan prinsip anggaran. Norma dan prinsip anggaran tersebut adalah :

“Pertama, transparan dan akuntabel. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik


dan bertanggung jawab, diperlukan syarat transparansi dalam penyusunan dan
pengelolaan anggaran daerah. Mengingat anggaran merupakan sarana evaluasi
pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan
masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas dan tentang
tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat. Semua dana yang
diperoleh dan penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan.22

Kedua, tentang disiplin anggaran. Anggaran yang disusun harus didasarkan atas
kebutuhan masyarakat dan tidak boleh meninggalkan keseimbangan antara
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat. Anggaran harus disusun berlandaskan asas efisiensi, tepat guna, tepat
waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga, efisiensi dan efektivitas anggaran, dalam arti dana yang tersedia harus
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan
dan kesejahteraan yang maksimal bagi masyarakat. Keempat, keadilan anggaran.

22
Nugroho, Trilaksono, and Suhadak, Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam
Penyusunan APBD Di Era Otonomi Daerah (Surabaya: Bayu Media, 2007),27.

14
Anggaran harus dialokasikan penggunaannya secara adil untuk kepentingan seluruh
kelompok masyarakat, termasuk dalam pengertian ini adalah adil secara gender”.23

C. Rasionalitas Penggunaan Kekayaan Negara

Aliran Neoklasik menekankan asumsi rasionalitas ekonomi pada dua aspek, yaitu
kepentingan pribadi (self interest) dan maksimisasi fungsi guna (maximization of
utility). Secara teknis manusia selalu melakukan kalkulasi-kalkulasi manfaat dan
biaya dalam setiap keputusan dan tindakannya. Keputusan dan tindakan dianggap
rasional apabila biaya lebih kecil daripada fungsi guna yang diperoleh. Sementara
faktor-faktor eksternal seperti nilai dan aturan yang berlaku di masyarakat,
sekalipun seringkali mempengaruhi keputusan dan tindakan, tidak diperhitungkan
sama sekali.24

Konsep rasionalitas ekonomi konvensional yang dikembangkan atas dasar ideologi


Neoklasik menempatkan individu sebagai homo economicus yang ’beriman’ pada
teori evolusi Darwin survival of the fittest. Faktor utama yang menggerakkan
aktivitas ekonomi setiap individu tidak lain adalah motif memperoleh keuntungan
dan kepuasan yang diukur dengan parameter materi secara kuantitatif.25

Pandangan Islam tentang rasionalitas juga berpusat pada konsepsi manusia sebagai
makhluk rasional. Dalam pengertian yang disepakati mayoritas ulama, ukuran
rasionalitas adalah keberadaan dan fungsi akal yang melekat pada diri manusia
sebagai unsur yang mampu menyerap pengetahuan, mencerna dan mengambil
keputusan. Hanya saja, rasionalitas dalam Islam tidak terisolasi sendirian,
melainkan dibarengi dengan variabel etis. Orang yang berakal adalah mereka yang
mampu menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Karena dengan akal
manusia diasumsikan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang
dihadapinya secara tuntas, tidak terkecuali persoalan-persoalan ekonomi.
Rasionalitas manusia dalam rumusan ekonomi Islam juga berkaitan dengan struktur

23
Abdul Gaffar Karim dkk, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Relajar, 2003),297-298.
24
M. Firmansyah, “Perdebatan”, 71.
25
Hafidz MS., Sya’roni dan Marlina, “Etika Bisnis Al-Ghazali dan Adam Smith dalam Perspektif
Ilmu Bisnis dan Ekonomi“, Jurnal Penelitian, Vol. 9 No. 1 Mei 2021, 21.

15
pengetahuan, dimana dikenal adanya dua level pengetahuan; pengetahuan Allah
dan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah yang bersifat absolut tidak mengenal
batas ruang dan waktu. Sedangkan pengetahuan manusia bersifat relatif.

Ilmu ekonomi menempatkan individu dengan segala tindakannya sebagai pihak


yang terisolasi dari pihak dan tindakan orang lain. Secara otonom, individu yang
memiliki kemampuan untuk membuat keputusan dan melaksanakan keputusan
tersebut dalam alokasi sumber daya yang terbatas dengan mempertimbangkan
kemampuan usaha dan keinginannya.26 Aktifitas ekonomi dipandang sebagai gejala
bagaimana individu-individu di dalam masyarakat memenuhi kebutuhan mereka
terhadap barang dan jasa melalui cara-cara produksi, distribusi, pertukaran dan
konsumsi barang serta jasa yang langka.

Ekonomi Islam menempatkan tindakan manusia tidak terlepas dari kehendak dan
perbuatan Allah. Perdebatan aliran teologis mengenai apakah seluruh tindakan
manusia telah dikehendaki dan dikendalikan oleh Allah, sehingga baik dan buruk
keluar dari konteks dirinya sendiri, menunjukkan pada keharusan untuk selalu
menyelaraskan tindakannya dengan tindakan Allah. Perbedaan dari cara pandang
ekonomi dan sosiologi terhadap tindakan ekonomi adalah, pertama, jika dalam
ekonomi tindakan rasional dianggap sebagai asumsi, maka dalam sosiologi
tindakan rasional hanyalah variabel. Kedua, Secara praktis, ekonomi memandang
tindakan ekonomi selalu berhubungan dengan selera dan kuantitas barang dan jasa,
sementara dalam sosiologi setiap tindakan ekonomi harus dikonstruk secara historis
dan harus diselidiki secara empiris, tidak dapat secara langsung melalui asumsi dan
lingkungan eksternalnya. Oleh karena itu, sosiologi memasukkan tindakan ekonomi
sebagai salah satu bentuk tindakan sosial. Ketiga, ekonomi hanya sedikit
memberikan porsi perhatian pada kekuasaan, karena dalam tindakan ekonomi
kedua individu dipandang sebagai pertukaran sederajat. Sementara dalam sosiologi
memberikan perhatian lebih besar pada kekuasaan pada setiap tindakan ekonomi.27

26
Damsar dan Indrayani, Pengantar Sosiologi Ekonomi,36
Musta’in, “Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam; Pemikiran Para Filosof Muslim tentang
27

Kebahagiaan”, Ulumuna, Jurnal Studi KeIslaman, vol. 17 No. 1 (Juni) 2013, 195.

16
Paparan al-Ghazali tentang tiga-tipe manusia di atas berkaitan langsung dengan
kemampuan manusia menggunakan potensinya dalam bidang ekonomi. Ia
menekankan agar orang memilih pada kelompok yang ketiga (moderat), yaitu yang
dengan potensinya mampu menjaga keseimbangan aspek duniawi dan ukhrawi.
Aspek duniawi harus dikuasai manusia dan selanjutnya dijadikan sebagai sarana
meraih kebahagiaan di akhirat.

17
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keuangan negara meliputi setiap sumber keuangan yang dikelola untuk


kepentingan masyarakat, baik yang dikelola secara individual, kolektif ataupun oleh
pemerintah. Sumber-sumber keuangan publik dalam sejarah Islam selain zakat,
mayoritas adalah bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk infaq, wakaf, dan sedekah.
Dalam konteks syariah keuangan negara menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia dalam bermuamalah khususnya hubungan relasi negara dengan
rakyatnya, yang kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT.
Menurut perspektif Islam ketika mengkaji keuangan negara, maka tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman atas konsep negara dalam kerangka kerja Islam itu
sendiri dimana urusan kolektif masyarakat muslim bukan hanya terkait dengan
urusan duniawi melainkan juga ukhrawi.
Kejujuran Dalam Pengelolaan Keuangan Negara merupakan keniscayaan. Dimana
Memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat karena
masyarakat juga memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh
atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan keuangan.
Dalam Islam tujuan dari pelaporan keuangan yang terpenting adalah
pertanggungjawaban, sehingga informasi keuangan yang disajikan dapat digunakan
sebagai dasar penunaian zakat. Adanya prinsip-prinsip keuangan negara Islam
sangatlah penting, karena dengan prinsip ini dapat dimunculkan beberapa acuan
dalam penerapan kuangan negara Islam yang Islami. Muculnya suatu landasan
pengembangan keuangan negara islam, sebagai dasar pengendalian keuangan
negara Islam, dan lain sebagainya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan. Muhammad Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Tentang Hubungan


Keuangan Antara Pusat Dan Daerah. Yogyakarta: PKHD FH.UNSOED,
2006.
Gaffar Karim, Abdul, dkk. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Relajar, 2003.
Halim, Abdul. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat, 2008.
HR, Ridwan, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006.
Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Nugroho, Trilaksono, and Suhadak. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan
Daerah Dalam Penyusunan APBD Di Era Otonomi Daerah. Surabaya: Bayu
Media, 2007.
Abdul Mannan, M. (1997): Teori dan Praktek Ekonomi islam, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa.
Sayid Sabiq (1990), Fikih Sunnah, Bandung: PT Alma'arif.
Sofyan Safri Harahap (1997), Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Yusuf Qardhawi (1997), Norma Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press.
(1994), Fatwa-fatwa Mutakhir, Jakarta: Yayasan Al-Hamidiy.
Indayani, H. (2010). Pengelolaan Keuangan Publik Di Indonesia Ditinjau Dari
Perspektif Ekonomi Islam. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. ed. 3. (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada. 2006)
Nurul Huda, dkk., Keuangan Publik Islam: Pendekatan Teoritis dan Sejarah.
Kahf, Monzer (1998): Public Finance and Fiscal Policy in Islam, dalam Monzer
Kahf (ed.), Lessons in Islamic Economic, Qeddah: IDB-IRTI.
Karim, Adiwarman Azwar (2010): Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Islahi, A. A.. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. (Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1997).

19
Pemerintah Republik Indonesia, 2003. Undang-Undang Nomor Undang-Undang
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2004a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. 2005. Undang-Undang Nomor 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta.
Dahlan, A. (2008). Keuangan Publik Islam: Teori dan Praktek. STAIN
Purwokerto.
Huda, Nurul 2012. Keuangan Publik Islami: Pendekatan Teoritis dan Sejarah.
Jakarta: Prenada Media Group.
Soemitra, Andri 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Prenada
Media Group.
Firmansyah, M; dkk. 2012. Perdebatan Rasionalitas dalam Menjelaskan
Terbentuknya ada Seleksi Pegawai Negeri. Jurnal Ekonomi dan
Pembangunan Indonesia. Vol. 13 No. 1.
MS., AMH; Sya’roni; Sam’ani; Marlina. 2012. Etika Bisnis Al-Ghazali dan Adam
Smith dalam Perspektif Ilmu Bisnis dan Ekonomi. Jurnal Penelitian, Vol. 9
No. 1.
Damsar dan Indrayani. 2013. Pengantar Sosiologi Ekonomi, ed. 2. cet. 3. Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group.
Musta’in. 2013. Etika dan Ajaran Moral Filsafat Islam; Pemikiran Para Filosof
Muslim tentang Kebahagiaan. Ulumuna: Jurnal Studi KeIslaman. Vol. 17
No. 1.

20

Anda mungkin juga menyukai