Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PAJAK DAN ZAKAT


Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah Masailul
Fiqhiyyah 2
Dosen Pengampu : Saepul Milah M.pd.I

Disusun Oleh
Hambali Mahesa Putra (2103003898)
Asep Padilah (2103003997)

FAKULTAS TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUSSALAM CIAMIS
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
perlindungan dan bimbingan kasih-Nya, sehingga pembuatan makalah tentang
“Pajak dan Zakat” dapat terselesaikan dengan baik, penuh dengan campur tangan
Allah SWT. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas mata
kuliah Masailul Fiqhiyyah II. Dalam pelaksanaan pembelajaran maupun saat
pembuatan makalah ini, kami menyadari masih banyak masalah dan kendala yang
kami hadapi, Sehingga pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada bapak Saepul Milah, M. Pd. I selaku dosen pembimbing
mata kuliah Masailul Fiqhiyyah II dan semua pihak yang turut membantu, yang
tidak dapat kami sebutkan satu persatu, demikian makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, dan tak lepas dari keterbatasan ilmu pengetahuan yang kami miliki. Maka dari
itu, kami tetap menerima kritik dan saran dari berbagai pihak guna kesempurnaan
laporan ini. Semoga bermanfaat bagi kami kedepannya dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan.

Penulis

Ciamis, 18 Maret 2024

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................I

DAFTAR ISI.................................................................................................II

BAB I.............................................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................................1

A. Latar Belakang...................................................................................1

B. Rumusan Masalah..............................................................................2

C. Tujuan................................................................................................2

BAB II............................................................................................................3

PEMBAHASAN............................................................................................3

A. Definisi Pajak.....................................................................................3

B. Definisi Zakat.....................................................................................4

C. Perbedaan Pajak Dengan Zakat..........................................................5

D. Pedapat Ulama’ Tentang Pajak dan Zakat.........................................6

BAB III.........................................................................................................10

PENUTUP....................................................................................................10

A. Kesimpulan......................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................11

II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zakat merupakan salah satu kewajiban agama dalam Islam yang
diberlakukan kepada umat muslim. Kewajiban ini telah diatur dalam Al-Qur'an
dan merupakan salah satu dari lima rukun Islam. Zakat bukan hanya sebagai
kewajiban sosial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam dalam
memperkuat solidaritas dan keadilan dalam masyarakat. Zakat bertujuan untuk
menyebarkan kekayaan dan mengurangi kesenjangan sosial. Namun, dalam
praktiknya, implementasi zakat sering kali tidak optimal, yang dapat
mempengaruhi distribusi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks ekonomi modern, negara-negara dengan mayoritas
penduduk Muslim juga bergantung pada pendapatan pajak untuk membiayai
berbagai program pembangunan dan sosial. Oleh karena itu, penting untuk
memahami bagaimana zakat dan sistem pajak dapat diintegrasikan atau sejauh
mana mereka dapat saling melengkapi. Sistem pajak modern yang umumnya
diterapkan di negara-negara dengan mayoritas Muslim tidak selalu selaras dengan
prinsip-prinsip Islam. Misalnya, aspek-aspek seperti bunga bank dan pajak atas
pendapatan dapat bertentangan dengan ajaran Islam, yang menimbulkan
pertanyaan tentang sejauh mana prinsip-prinsip tersebut dapat diintegrasikan atau
disesuaikan.
Implementasi zakat dan pajak sering kali dihadapkan pada sejumlah
tantangan, termasuk kurangnya kesadaran, kecurangan, dan kurangnya
transparansi dalam pengelolaan dana. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang
bagaimana meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari sistem zakat dan pajak
dalam konteks Islam.
Dalam menangani masalah ini, penting untuk mengetahui pendangan ulama
sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam sambil mempertimbangkan kebutuhan
ekonomi dan sosial masyarakat. Dengan memperhatikan latar belakang masalah
yang kompleks ini, maka pembahasan ini, kami bertujuan untuk lebih memahami
tentang hukum pajak dan zakat dalam Islam sehingga dapat menjadi lebih terarah

1
dan mendalam, menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang tantangan,
solusi, dan implikasi dalam konteks masyarakat modern.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Definisi Pajak
2. Bagaimana Definisi Zakat
3. Bagaimana Perbedaan Definisi Zakat
4. Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Pajak dan Zakat
C. Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut penulis bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan Memahami Definisi Pajak
2. Mengetahui dan Memahami Definisi Zakat
3. Mengetahui dan Memahami Perbedaan Pajak Dengan Zakat
4. Mengetahui dan Memahami Pendapat Ulama Tentang Pajak dan
Zakat
5.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pajak
Pajak (dharibah) merupakan salah satubentuk mu’amlah dalam bidang
ekonomi, sebagai alat pemenuhan kebutuhan negara dan masyarakat untuk
membiayai berbagai kebutuhan bersama (kolektif).
Secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan istilah
Dharibah, yang berasal dari kata ( ‫ )َض َر َب – َي ْض ِر ُب – َض ْر ًبا‬yang artinya: mewajibkan,
menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau membebankan, dan lain-
lain. Gusfahmi (2007) mengatakan bahwa Dharaba adalah bentuk kata kerja
(fi’il), sedangkan bentuk kata bendanya (isim) adalah dharibah (‫)َض ِر ْي َب ة‬, yang dapat
berarti beban. Dharibah adalah isim mufrad (kata benda tunggal) dengan bentuk
jamaknya adalah dharaib (‫)َض َر اِئب‬. Pajak disebut beban, karena merupakan
kewajiban tambahan atas harta setelah zakat, sehingga dalam pelaksanaannya
akan dirasa sebagai sebuah beban (pikulan yang berat). Dalam contoh pemakaian,
jawatan perpajakan disebut dengan maslahah adh-daraaib (‫( )َم ْس َلَح ة َض َر اِئب‬Arifin,
2024).
Sedangkan pajak dalam pasal 23 A UUD 1945 pajak dedefinisikan
kontribusi yang dikenakan kepada seluruh Warga Negara Indonesia, warga negara
asing dan warga yang tinggal secara kumulatif 120 hari di wilayah Indonesia
dalam jangka waktu dua belas bulan (Hidayatulloh, 2019). Sedangkan menurut
Pengertian hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur hubung anntara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai
pihak yang dipungut/pembayar pajak (Fakhruzy, 2020).
Dari definisi yang telah dipaparkan diatas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa pajak merupakan iuran wajib bagi warga negara yang dipungut sesuai
dengan jenis dan tarifnya yang telah diatur dalam UUD 1945 yang nantinya hasil
dari pungutan tersebut akan digunakan untuk penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan ataupun untuk pembangunan negara.

3
B. Definisi Zakat
Zakat sebagai satu bagian dari rukun Islam merupakan salah satu pilar
dalam membangun perekonomian ummat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja,
tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan
manusia.
Dalam tinjauan secara bahasa, zakat berasal dari kata “zaka” dengan arti
tumbuh dan berkembang. Sedangkan secara istilah zakat dapat dirtikan sebagai
sebagian harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh seseorang (muzakki) dan
diberikan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat (mustahik)
(Hidayatulloh, 2019).
Menurut al-Azhary sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf Qardhawi, yang
berkembang bukan hanya harta dan kejiwaan orang kaya, akan tetapi juga harta
dan kejiwaan orang miskin. Imam al-Syaukany menjelaskan mengapa zakat
bermakna an-nima’ (berkembang), dan al-Tathir (pensucian), sebagai berikut:
‛Adapun makna pertama, karena mengeluarkannya menjadi sebab berkembangnya
harta, atau karena pahala menjadi banyak karena sebab mengeluarkannya, atau
karena terkait dengan harta yang berkembang. Adapun makna kedua, karena zakat
mensucikan jiwa dari sifat buruk kikir, dan mensucikan dari dosa-dosa. (Maharani
et al., 2023)
Dalam konsep hukum Islam, kewajiban zakat telah dipatok dan bersyarat
sesuai dengan ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Sehingga kewajiban zakat
tersebut ada waktu dan ukurannya. Begitu juga dengan orang yang menerima
zakat, telah ditetapkan dan tidak bisa ditambahi lagi. Sebagaimana firman Allah
SWT. dalam al-Qur’an surah At-taubah : 60.

‫ِإَّنَم ا ٱلَّص َد َٰق ُت ِلۡل ُفَقَر ٓاِء َو ٱۡل َم َٰس ِكيِن َو ٱۡل َٰع ِمِليَن َع َلۡي َها َو ٱۡل ُم َؤ َّلَفِة ُقُلوُبُهۡم َو ِفي ٱلِّر َقاِب‬
٦٠ ‫م‬ٞ‫َو ٱۡل َٰغ ِر ِم يَن َو ِفي َس ِبيِل ٱِهَّلل َو ٱۡب ِن ٱلَّس ِبيِۖل َفِر يَض ٗة ِّم َن ٱِۗهَّلل َو ٱُهَّلل َع ِليٌم َحِكي‬
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

4
Pada dasarnya zakat dibagi menjadi dua macam yaitu pertama, Zakat mal
yaitu zakat yang berkaitan dengan kepemilikan harta tertentu dan memenuhi
syarat tertentu. Zakat ini meliputi zakat tumbuh-tumbuhan, zakat binatang ternak,
zakat perniagaan, zakat barang tambang, dan zakat emas dan perak. Kedua, Zakat
fitrah adalah zakat yang diperintahkan Nabi Muhammad kepada umat Islam pada
tahun diwajibkan Puasa Ramadhan sampai hari terakhir Bulan Ramadhan sebelum
sholat idhul fitri.
C. Perbedaan Pajak Dengan Zakat
Dari definisi pajak dan zakat yang telah dijelaskan diatas, kita dapat
mengetahui terdapat perbedaan antara keduanya. Pajak adalah bagian dari harta
kekayaan seseorang atau badan yang dikeluarkan untuk Negara oleh Wajib Pajak
dalam setiap tahun. Pendayagunaan pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi
pemerintah dalam membiayai pengeluaran-pengeluaran dan berfungsi untuk
mengatur (Regulerend) yaitu sebagai alat untuk melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam sosial ekonomi.
Sedangkan zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang merupakan
ibadah maliyah yang berfungsi sebagai sarana untuk mensucikan (tathahhur),
pembersih (nadhafah), pengembang (nama’), dan penambah (ziyadah). Melalui
pengeluaran sebagian dari kelebihan harta yang kita miliki kepada orang yang
berhak menerimanya (mustahiq), seperti kepada kaum fakir, miskin dan selainnya,
diharapkan harta kita menjadi bersih, berkembang, penuh keberkahan dengan
seizin Allah SWT.
Perbedaan lain yang sangat jelas antara pajak dan zakat di antaranya.
1. Zakat adalah memberikan sebagian harta menurut kadar yang ditentukan
oleh Allah bagi orang yang mempunyai harta yang telah sampai
nishabnya. Sedangkan pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali
ditentukan oleh penguasaa di suatu tempat.
2. Zakat berlaku bagi kaum muslimin saja, hal itu lantaran zakat berfungsi
untuk menyucikan pelakunya, dan hal itu tidak mungkin kita katakan
kepada orang non muslim, karena orang kafir tidak akan menjadi suci
malainkan harus beriman terlebih dahulu. Sedangkan pajak berlaku bagi
orang-orang kafir yang tinggal di tanah kekuasaan kaum muslimin

5
D. Pedapat Ulama’ Tentang Pajak dan Zakat
1. Pendapat Ulama’ Tentang Pajak
Untuk memenuhi kebutuhan negara akan berbagai hal, seperti
menanggulangi kemiskinan, menggagi tentara, dan lain- lain yang tidak
terpenuhi dari zakat dan sedekah, maka harus muncul alternatif sumber
baru. Pilihan kewajiban pajak ini sebagai solusi telah melahirkan perdebatan
di perbedaan pendapat di kalangan fuqaha (ahli hukum Islam).
a. Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Boleh
Abu Yusuf, dalam kitabnya al-Kharaj, menyebutkan bahwa semua
khulafa ar-rasyidin, terutama Umar, Ali dan Umar bin Abdul Aziz
dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus dikumpulakan dengan
keadilan dan kemakmuran, tidak diperbolehkan melebihi kemampuan
rakyat untuk membayar, juga jangan sampai membuat mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka sehari-hari. Abu Yusuf
mendukung hak penguasa untuk meningkatkan atau menurunkan pajak
menurut kemampuan rakyat yang terbebani. (Arifin, 2024)
Ibn Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, dengan cara yang
sangat bagus merefleksikan arus pemikiran para sarjana Muslim yang
hidup pada zamannya berkenaan dengan distribusi beban pajak yang
merata dengan mengutip sebuah surat dari Thahir Ibn Husain kepada
anaknya yang menjadi seseorang gubernur di salah satu provinsi. Oleh
karena itu, sebarkanlah pajak oada semua orang dengan keadilan dan
pemerataan, perlakuan semua orang sama dan jangan memberi
perkecualian kepada siapa saja pun karena kedudukannya di masyarakat
atau kekayaan, dan jangan mengecualikan kepada siapa pun sekalipun
petugasmu sendiri atau kawan akrabmu atau pengikutmu. Dan jangan
kamu menarik pajak dari orang melebihi kemampuan membayarnya.
(Arifin, 2024)
Marghinani dalam kitabnya al-Hidayah, berpendapat bahwa Jika
sumber-sumber negara tidak mencukupi, negara harus menghimpun
dana dari rakyat untuk memenuhi kepentingan umum. Jika manfaat itu

6
memang dinikmati rakyat, kewajiban mereka membayar ongkosnya.
(Arifin, 2024)
Jika kita ikuti pendapat ulama yang membolehkan, pajak
dibolehkan karena alasan kemaslahatan umat. Zallum berpendapat
bahwa anggaran belanja negara pada saat ini sangat berat dan besar,
setelah meluasnya tanggng jawab ulil amri dan bertambahnya perkara-
perkara yang harus disubsidi. kadangkala pendapatan umum negara
tidak memadai untuk anggaran belanja negara, seperti yang pernah
terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan cara
lain yang mampu menutupi kebutuhan pembelanjaan negara baik dalam
kondisi ada harta maupun tidak.
Maka pajak saat ini memang merupakan sudah menjadi kewajiban
warga negara dalam sebuah negara Muslim, dengan alasan dana
pemerintah tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”,
yang jika pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul
kemudharatan. Sedangkan mencegah suatu kemudaratan adalah juga
kewajiban, sebagaimana kaidah ushul fikih mengatakan:

‫ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب‬


“Segala sesuatu yang tidak bisa ditinggalkan demi terlaksananya
kewajiban selain harus dengannya, maka sesuatu itu pun wajib
hukumnya.”
Oleh karena itu, pajak itu tidak boleh dipungut dengan cara paksa
dan kekuasaan semata, melainkan karena adanya kewajiban kaum
Muslimin yang dipikulkan kepada negara.
b. Ulama Yang Berpendapat Bahwa Pajak Itu Tidak Boleh
Di samping sejumlah fuqaha menyatakan pajak itu boleh dipungut,
sebagian lagi fuqaha mempertanyakan (menolak) hak negara untuk
meningkatkan sumber-sumber daya melalui pajak selain zakat. Antara
lain: Dr. Hasan Turabi dari Sudan, dalam bukunya Principle of
Governance, Freedom, and Responsibility in Islam, menyatakan bahwa
pemerintah yang ada di dunia muslim dalam sejarah yang begitu lama
“pada umumnya tidak sah”. Karena itu, para fuqaha khawatir jika

7
diperbolehkan menarik pajak akan disalahgunakan dan menjadi suatu
alat penindasan. (Arifin, 2024)
Dari berbagai pendapat di atas dapat kita simpulkan, bahwa para
ulama' membolehkan pajak karena adanya kondisi tertentu, dan juga
syarat tertentu, misalnya harus adil, merata, tidak membebani rakyat,
dan lain-lain. Jika melanggar ketiga hal di atas, maka pajak seharusnya
dihapus, dan pemerintah mencukupkan diri dengan sumber-sumbert
pendapatan yang jelas adanya nashnya.
2. Pendapat Ulama’ Tentang Zakat
Zakat adalah salah satu tiang pokok ajaran islam yang harus ditegakkan
ditengah-tengah kehidupan kaum muslimin dari empat tiang pokok lainnya
yakni syahadat, shalat, puasa dan haji. Zakat merupakan ibadah yang
diwajibkan kepada umat sebagai tanda bersyukur kepada Allah dan
mendekatkan diri kepada-Nya.
Yusuf Qardhawi juga menjelaskan tentang zakat dimana zakat
merupakan sebutan bagi harta yang diperintahkan Allah SWT untuk
diberikan kepada yang berhak menerima. Pendapat berikutnya tentang zakat
juga dikemukakan oleh Wahbah al-Zuhayli dalam kitab al-Fiqh al-Islami
wa-Adillatuhu, dimana zakat menurutnya merupakan kewajiban bagi
pemilik harta untuk mengeluarkannya sesuai ketentuan Allah SWT dengan
tujuan menjalankan perintah Allah SWT dan berharap mendapatkan ridha-
Nya. (Adiyes Putra et al., 2023)
Jumhur ulama' pun sepakat bahwa zakat merupakan suatukewajiban
dalam agama yang tidak boleh diingkari. Adapun Ijma’, ulama maka kaum
muslimin disetiap masa telah ijma' (sepakat) akan wajibnya zakat. Juga para
sahabat telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau
membayarnya dan menghalalkan darah dan harta mereka karena zakat
termasuk dari syi’ar Islam yang agung (al-Mughni, karya Ibn Qadamah 4:5).
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, didapatkan kesimpulan
bahwa zakat ialah kewajiban seorang muslim dalam mengeluarkan sebagain
harta yang dimilikinya untuk dibagikan kepada yang berhak menerima

8
sesuai tuntutanan syariah. Adapun landasan dari kewajiban itu bersumber
dari al-Qur’an dan Sunnah

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Pajak merupakan iuran wajib bagi warga negara yang dipungut
sesuai dengan jenis dan tarifnya yang telah diatur dalam UUD 1945
yang nantinya hasil dari pungutan tersebut akan digunakan untuk
penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ataupun untuk
pembangunan negara.
2. Zakat dapat dirtikan sebagai sebagian harta tertentu yang wajib
dikeluarkan oleh seseorang (muzakki) dan diberikan kepada orang-
orang yang berhak menerima zakat (mustahik) sebagai bentuk
ibadah kepada Allah SWT.
3. Perbedaan pajak dan zakat yaitu: Pertama, Zakat adalah memberikan
sebagian harta menurut kadar yang ditentukan oleh Allah bagi orang
yang mempunyai harta yang telah sampai nishabynya. Sedangkan
pajak tidak ada ketentuan yang jelas kecuali ditentukan oleh
penguasaa di suatu tempat. Kedua, Zakat berlaku bagi kaum
muslimin saja, sedangkan pajak berlaku kepada seluruh masyarakat
baik seorang muslim maupun non muslim.
4. pajak dalam Islam merupakan hasil bentuk ijtihad dari para ulama
maka hal ini berimplikasi kepada terjadinya ikhtilaf perbedaan
pendapat dikalangan para ulam mengenai konsep pajak dalam Islam.
Terdapat dua pendapat dalam hal ini, pihak yang berpendapat bahwa
pajak dibolehkan dalam Islam setelah kewajiban zakat. Pihak lain
berpendapat bahwa pajak tidak dibolehkan dalam Islam, karena
dalam Islam kewajiban seorang Muslim dalam hal harta hanya ada
pada zakat.

10
DAFTAR PUSTAKA
Adiyes Putra, P., Marliyah, M., & Siregar, P. A. (2023). Zakat dan Pajak dalam
Perspektif Syariah. Al-Mutharahah: Jurnal Penelitian Dan Kajian Sosial
Keagamaan, 20(1), 79–92. https://doi.org/10.46781/al-mutharahah.v20i1.610
Arifin, G. (2024). Pajak Menurut Syari’ah. Advances In Social Humanities
Research, 2(1), 63–82. https://doi.org/10.46799/adv.v2i1.142
Fakhruzy, A. (2020). Peranan Hukum Pajak Dalam Upaya Mewujudkan Tujuan
Negara. Mizan: Jurnal Ilmu Hukum, 9(2), 84–94. https://ejournal.uniska-
kediri.ac.id/index.php/Mizan/article/view/1059
Hidayatulloh, M. H. (2019). Peran zakat dan pajak dalam menyelesaikan masalah
perekonomian Indonesia. Al-Huquq: Journal of Indonesian Islamic
Economic Law, 1(2), 102. https://doi.org/10.19105/alhuquq.v1i2.3087
Maharani, I. P., Pebrina, K., & Nabila. (2023). PAJAK DALAM ISLAM. 1, 27–32.

11

Anda mungkin juga menyukai