Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN FISKAL DAN UPAH DALAM ISLAM

A. PENDAHULUAN Kebijakan fiskal adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum melalui kebijakan penerimaan dan pengeluaran pemerintah, mobilisasi sumberdaya, dan penentuan harga barang dan jasa dari perusahaan. Menurut Samuelson dan Nordhaus, kebijakan fiskal dinyatakan sebagai suatu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi, bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Dalam konteks ekonomi kapitalis, kebijakan fiskal sangat erat kaitannya dengan target keuangan negara yang ingin dicapai. Dengan kata lain, target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ingin dicapai oleh pemerintah, karena instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran negara Kebijakan fiskal yang dilakukan oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat baru muncul pada tahun 1930-an. Sebelum tahun tersebut, pemerintah negara-negara Kapitalis, hanya menjadikan pajak sebagai sumber pembiayaan negara sedangkan pengeluaran pemerintah hanya dijadikan sebagai alat untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah tanpa melihat dampaknya terhadap perekonomian nasional baik secara mikro maupun makro. Sejak terjadinya depresi ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1930, negara-negara Kapitalis menghadapi permasalahan yang besar dengan turunnya pendapatan pemerintah, perekonomian yang lesu, pengangguran yang meluas, dan inflasi. Kebijakan moneter yang selama ini digunakan pemerintah untuk menstabilkan ekonomi tidak dapat mengatasi depresi ekonomi. Sampai akhirnya John M. Keynes pada tahun 1936 menerbitkan bukunya yang terkenal The General Theory of Employment Interest and Money. Buku Keynes ini merupakan peletak dasar diberlakukannya kebijakan fiskal oleh negara yang pada saat itu digunakan untuk mengatasi depresi ekonomi terutama di Amerika Serikat. Jadi kebijakan fiskal dalam perekonomian Kapitalis baru muncul sejak abad 20. Jika dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, kebijakan fiskal baru diberlakukan pada abad 20, maka bagaimanakah kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam?

B. SYARA MEWAJIBKAN NEGARA MELAYANI UMAT Kewajiban negara atas rakyatnya adalah melayani dan mengurusi urusan umat. Hal ini ditegaskan Nabi SAW dalam sabdanya: Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya. (HR Bukhari dan Muslim). Salah satu urusan umat yang wajib dilaksanakan oleh negara (Daulah Islamiyah) adalah mengatur ekonomi dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga pada akhirnya negara menjadi kuat. Bentuk kewajiban negara atas masalah ini diatur melalui institusi Baitul Mal, disamping penegakkan syariat lainnya oleh negara seperti syariat yang mengatur mekanisme dan transaksi ekonomi (caracara memperoleh harta dan mengembangkannya atau investasi, membelanjakan harta atau konsumsi), penerapan sanksi (uqubat) atas pelanggaran hukum, dan penegakkan keamanan yang akan mengayomi aktivitas ekonomi masyarakat sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar. Baitul Mal merupakan suatu institusi khusus di bawah Khalifah yang mengatur sumber-sumber pemasukan harta (pendapatan) negara baik dari sumbersumber pemasukan tetap (rutin) maupun yang bersifat temporal. Kemudian mengalokasikannya sebagai pengeluaran yang bersifat rutin maupun temporal. Harta yang dikumpulkan Khalifah dan para walinya di dalam Baitul Mal menjadi hak kaum Muslimin dan syara mewajibkan negara membelanjakannya secara syari untuk membayar jasa yang diberikan individu kepada negara, mengatasi kemiskinan dan kelaparan, tunjangan dan penyediaan lapangan kerja, modal usaha bagi masyarakat, pembangunan infrastruktur dan pelayan publik, dan lain-lainnya. Kebijakan Khalifah atas Baitul Mal baik dari sisi pemasukan maupun belanja negara yang ditentukan secara syari, merupakan bagian dari penerapan syariat Islam sehingga tujuan-tujuan Baitul Mal adalah juga tujuan-tujuan syariat Islam.

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiyaa: 107) Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Katsir menerangkan bahwa, Allah Ta'ala mengabarkan bahwa Dia telah menjadikan Muhammad sebagai rahmat bagi semesta alam- Yaitu, Dia mengutusnya sebagai rahmat untuk kalian semua. Barangsiapa yang menerima rahmat dan mensyukuri nikmat ini, niscaya dia akan berbahagia didunia dan di akhirat, sedangkan barangsiapa yang menolak dan menentangnya niscaya dia akan merugi di dunia dan di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan kebijakan Baitul Mal terhadap pemasukan dan pengeluaran negara harus selaras dengan menyelamatkan rakyat (Muslim maupun non-Muslim) dari yang menyebabkan kesengsaraan seperti kemiskinan, hutang yang tidak dapat dibayar, kelaparan, pengangguran, bencana alam, kebodohan, gejolak harga (inflasi maupun deflasi) karena ketidakseimbangan pasar, yang secara umum dapat dikatakan sebagai kebijakan untuk mengeluarkan negara dan masyarakat dari resesi ataupun depresi ekonomi. Juga kebijakan atas Baitul Mal bertujuan untuk menciptakan kebahagian bagi setiap rakyatnya dengan melakukan suatu kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan baik dari sisi kesadaran ruhiyah antara lain melalui pendidikan, maupun dari sisi kemampuan dan kekayaan materi dengan mengupayakan suatu perekonomian yang tumbuh, bahkan tumbuh pesat (booming), tanpa mengabaikan mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Tujuan-tujuan dari kebijakan pengelolaan harta negara tersebut, sudah dilakukan oleh Daulah Islamiyah yakni sejak Rasulullah bersama para sahabat mendirikan negara Islam (Islamic State) di Madinah, dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, para Khalifah di masa Khilafah Umayyah, Khilafah Abasiyyah, hingga Khilafah Utsmaniyyah. Jadi kebijakan-kebijakan atas pemasukan dan pengeluaran harta negara yang disertai dengan tujuan (dampak) yang diinginkan terhadap perekonomian bukanlah sesuatu hal yang baru di dalam Islam dan ia merupakan bagian dari Sistem Ekonomi Islam sebagai suatu kewajiban negara. Dengan kata lain kebijakan fiskal sebagai suatu istilah yang baru, sebenarnya sudah dilakukan sejak tegaknya negara Islam di Madinah.

C. KEBIJAKAN FISKAL DAN DISTRIBUSI EKONOMI Secara umum fungsi kebijakan fiskal adalah fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi perekonomian. Dalam hal alokasi, maka digunakan untuk apa sajakah sumber-sumber keuangan negara, sedangkan distribusi menyangkut bagaimana kebijakan negara mengelola pengeluarannya untuk menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil di masyarakat, dan stabilisasi adalah bagaimana negara menciptakan perekonomian yang stabil. Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Kapitalis, hanyalah merupakan suatu kebutuhan untuk pemulihan ekonomi (economy recovery) akibat krisis dan untuk menggenjot perekonomian agar dapat mencapai pertumbuhan yang positif sehingga tumpuan utama kebijakan fiskal Negara Kapitalis adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Dalam Sistem Ekonomi Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat, sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Juga kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil, karena hakikat permasalahan ekonomi yang melanda umat manusia adalah berasal dari bagaimana distribusi harta di tengah-tengah masyarakat terjadi.

1. Pos pemasukan dan pengeluaran negara Islam (daulah Islamiyah) Abdul Qadim Zallum dalam bukunya al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, membagi sumber-sumber pendapatan negara dalam 3 kelompok yaitu : 1. Bagian Fai dan Kharaj; meliputi harta yang tergolong fai bagi seluruh kaum Musliminin dan pajak (dlaribah) terhadap kaum Musliminin sebagai kewajiban mereka ketika negara mengalami krisis keuangan sehingga tidak mampu membiayai belanja negara terutama yang berifat wajib. Kelompok ini terdiri atas:

a. b.

ghanimah, mencakup ghanimah, anfal, fai, dan khumus. kharaj.

c. status tanah, mencakup tanah-tanah yang ditaklukkan secara paksa


(uswah), tanah usyriyah, as shawafi, dan tanah-tanah yang dimiliki oleh negara, tanah-tanah milik umum dan tanah-tanah yang dipagar dan dikuasai negara.

d.

jizyah.

e. fai, yang meliputi data-data pemasukan dari (harta) as shawafi, usyur,


1/5 harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual atau disewakan, harta as shawafi dan harta waris yang tidak ada pewarisnya.

f.

pajak (dlaribah) 2. Bagian Pemilikan Umum; harta dari kepemilikan umum ini adalah milik seluruh kaum Musliminin, sedangkan negara berfungsi mewakili ummat dalam mengelola harta jenis kepemilikan umum ini, untuk kemudian digunakan bagi kemaslahatan kaum Musliminin dan seluruh warga negara (termasuk non muslim). An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah: a. Fasilitas/ Sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/ komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, jalan-jalan umum. b. Barang tambang yang jumlahnya tak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya. c. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, danau. 3. Bagian Shadaqah; bagian ini menyimpan harta-harta zakat yang wajib beserta catatannya. Kelompok ini berdasarkan jenis harta zakat, yaitu: a. zakat (harta) uang dan perdagangan. b. zakat pertanian dan buah-buahan. c. zakat (ternak) unta, sapi, dan kambing. Kemudian untuk pengeluaran (belanja) negara, Abdul Qadim Zallum

mengelompokkannya menjadi 8 bagian yang meliputi pembiayaan bagian-bagian Baitul Mal itu sendiri, seksi-seksinya, dan biro-biro. 1. Seksi dar al Khilafah, yang terdiri dari: a. Kantor Khilafah. b. Kantor Penasihat (Mustasyaarin) c. Kantor Muawin Tafwidl. d. Kantor Muawin Tanfidz. 2. Seksi Mashalih ad Daulah, yang terdiri dari: a. Biro Amir Jihad.

b. Biro para Wali (gubernur) c. Biro para Qadli. d. Biro Mashalih ad Daulah, seksi-seksi dan biro-biro lain, serta fasilitas umum. 3. Seksi Santunan; seksi ini bertugas memberikan santunan kepada yang berhak menerimanya, seperti orang-orang fakir, miskin, yang dalam keadaan membutuhkan, yang berhutang, yang sedang dalam perjalanan, para petani, para pemilik industri, dan lain-lain yang menurut Khalifah mendatangkan kemaslahatan bagi kaum Muslimin serta layak diberi subsidi. 4. Seksi Jihad, meliputi: a. Biro pasukan, yang mengurus pengadaan, pembentukan, penyiapan dan pelatihan pasukan. b. Biro persenjataan (amunisi). c. Biro industri militer. 5. Seksi Penyimpanan Harta Zakat; bagian ini menyalurkan zakat kepada hanya 8 golongan yang berhak menerima zakat, selama masih ada harta zakat yang di dalam Baitul Mal, dan jika tidak terdapat lagi harta zakat di dalam Baitul Mal maka seksi ini tidak dibiayai. 6. Seksi Penyimpanan Harta Pemilikan Umum. 7. Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari). 8. Seksi Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah). 2. Kebijakan fiskal dari sisi penerimaan negara Dalam perekonomian Kapitalis, sumber utama penerimaan negara berupa pajak dan hutang. Di luar kedua sumber utama penerimaan negara tersebut, negara juga memperoleh pendapatannya dari restribusi (pungutan/ semacam pajak yang berlaku di tingkat daerah), keuntungan BUMN, denda-denda dan perampasan yang dijalankan pemerintah, pencetakan uang, dan hadiah (hibah). Hal tersebut berbeda dengan kebijakan fiskal dari sisi penerimaan Baitul Mal. Pertama dilihat dari pos Bagian Fai dan Kharaj. Dalam bagian ini, sebagian seksiseksi penerimaan Baitul Mal berhubungan langsung dengan dakwah dan jihad. Daulah Khilafah yang menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dan jika berhasil melakukan penaklukan (futuhat) baik di negeri-negeri Islam yang sebelumnya berada dalam kekuasaan bangsa-bangsa kafir, maupun di negeri-negeri bangsa kafir itu sendiri, maka akan banyak pemasukan Baitul Mal dari anfal atau ghanimah, fai,

dan khumus. Jadi semakin Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad semakin banyak harta pemasukan bagi Baitul Mal dari harta rampasan perang. Pemasukan lainnya adalah kharaj (the land tax). Kharaj merupakan hak kaum Muslimin atas tanah yang diperoleh (dan menjadi bagian dari ghanimah) dari orang-orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui perjanjian damai. Setiap penduduk (Muslim dan non Muslim) yang memanfaatkan tanah kharaj diwajibkan membayar kharaj kepada negara. Nilai kharaj yang diambil oleh negara atas tanah tersebut dihitung berdasarkan kandungan tanahnya dengan memperhatikan kondisi lingkungan tanah tersebut. Sedangkan terhadap negeri yang penduduknya masuk Islam seperti Indonesia, atau tanah yang statusnya bukan tanah kharaj, maka kharaj tidak berlaku, karena tanah tersebut merupakan tanah usyuriyah yang wajib dikeluarkan zakatnya. Pemasukan lainnya adalah jizyah (the head tax). Jizyah merupakan hak Allah yang diberikan kepada kaum Muslimin dari orang-orang kafir sebagai tanda tunduknya mereka kepada Islam. Jizyah masih terkait dengan hasil dakwah dan jihad kaum Muslimin dalam Daulah Khilafah. Pihak yang wajib membayar jizyah adalah para ahli kitab yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani dan yang bukan ahli kitab seperti orang-orang Majusi, Hindu, Budha dan Komunis yang telah menjadi warga negara Islam. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, telah baligh dan berakal sehat. Jizyah tidak wajib atas wanita, anak-anak dan orang gila. Jizyah akan berhenti dipungut oleh negara jika orang kafir tersebut telah masuk Islam. Juga jizyah tidak wajib jika orang kafir yang bersangkutan tidak mempunyai kemampuan membayarnya karena kefakiran atau kemiskinannya. Sumber penerimaan lainnya dalam bagian ini adalah Usyur. Usyur dipungut terhadap pedagang penduduk kafir harby atas barang dagangan mereka yang melewati perbatasan negara. Tindakan ini dilakukan sebagai perlakuan setara karena negara mereka telah melakukan pungutan (cukai) atas pedagang Muslim yang melewati perbatasan negara mereka. Usyur juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan, disebabkan adanya perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan mereka yang salah satu poinnya menyebutkan tentang usyur ini, tetapi jika usyur tidak disebutkan dalam perjanjian damai maka tidak boleh mengambil usyur dari pedagang kafir dzimmi. Jadi Usyur dipungut karena adanya sebab-sebab syara. Sedangkan jika tidak ada sebab-sebab seperti di atas, maka pungutan terhadap perdagangan lintas negara (cukai) hukumnya haram,

sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Uqbah bin Amir, Nabi SAW bersabda: Tidak akan masuk surga orang yang memungut bea cukai (pajak) Selain itu, jika negara mengalami suatu kondisi sehingga Baitul Mal tidak mampu membiayai kewajiban-kewajibannya, maka kewajiban ini beralih kepada kaum Muslimin. Dengan kondisi seperti ini, negara berhak memungut pajak (dlaribah/ taxes) terhadap kaum Muslimin.

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (QS. Adz-Dzariyaat: 19) Pajak ini hanya dikenakan terhadap kaum Muslimin, dan tidak boleh terhadap warga negara non Muslim. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang maruf. Jumlah pajak yang dipungut secara makro harus ekuivalen dengan jumlah kebutuhan Baitul Mal yang dipergunakan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban Baitul Mal, sehingga pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Kemudian jika kebutuhan Baitul Mal telah terpenuhi dan Baitul Mal sudah mampu memenuhi kewajibankewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, maka pungutan pajak harus dihentikan. Negara juga mendapatkan penerimaan dari 1/5 harta rikaz, harta warisan yang tidak ada lagi ahli warisnya, harta tidak sah yang dimiliki pejabat negara dan harta orang murtad. Sistem Ekonomi Kapitalis tidak memiliki sumber penerimaan dari pemilikan umum karena sistem ini hanya mengakui dua macam kepemilikan, yaitu pemilikan individu (private proverty) dan pemilikan negara (state proverty). Sistem ini juga menempatkan kebebasan individu dalam hal kepemilikan selama diperoleh dengan cara-cara yang sah menurut hukum Kapitalisme.

Pengakuan Islam akan kepemilikan umum (Al Milkiyyah al Ammah/ collective proverty) selain kepemilikan individu dan kepemilikan negara, didasarkan pada dalil syara berikut: Dari Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi SAW, Rasulullah bersabda:

Kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api

Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasulnya. Sumber penerimaan Baitul Mal dari Bagian Pemilikan Umum yang mempunyai potensi sangat besar dalam membiayai pengeluaran Baitul Mal adalah dari barang tambang dan sumber daya alam. Negeri-negeri Islam yang sebagian besar terletak di bagian Selatan bumi ini telah dianugerahi Allah SWT dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Anugerah ini merupakan suatu potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kekuatan negara. Sumber pemasukan Baitul Mal berikutnya adalah Bagian Shadaqah. Bagian ini meliputi, pertama; zakat ternak unta, sapi dan kambing. Kedua; zakat tanaman (hasil pertanian) dan buah-buahan. Ketiga; zakat nuqud/mata uang (emas dan perak), dan keempat; zakat atas keuntungan dari perdagangan. Zakat merupakan suatu kewajiban kaum Muslimin dan salah satu pilar dari rukun Islam. Seorang Muslim yang membayar zakat merupakan implimentasi (ibadah ritual) hubungannya dengan Allah SWT seperti halnya seorang Muslim yang melaksanakan kewajiban shalat, puasa dan ibadah haji.

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku lah beserta orang-orang yang ruku. (QS. Al-Baqarah: 43) Tugas negara di adalah Baitul memungut Mal pada zakat pos dari Bagian kaum Muslimin dan

mengumpulkannya

Shadaqah,

kemudian

menyalurkannya sesuai ketentuan syara. Jika wajib zakat menolak membayar zakat, maka negara berhak memaksanya agar memenuhi kewajibannya.

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS. At-Taubah: 103) Zakat tetap dipungut oleh negara selama masih ada orang yang wajib zakat, dan tidak akan dihentikan kewajiban ini meskipun harta zakat yang terkumpul di Baitul Mal melimpah sedangkan orang yang berhak menerimanya tidak terdapat lagi di dalam negeri. Jadi fungsi negara dalam mengelola zakat semata-mata karena implimentasi ibadah ritual kaum Muslimin terhadap Allah SWT, bukan karena alasan ekonomi. 3. Kebijakan fiskal dan distribusi ekonomi dari sisi pengeluaran negara Setiap pos pemasukan di dalam Baitul Mal mempunyai mekanisme masingmasing untuk dikeluarkan atau dibelanjakan oleh negara, sehingga akan mempunyai variasi dampak positif terhadap perekonomian negara dan masyarakat. Pos penerimaan Baitul Mal dari Bagian Fai dan Kharaj harus dikeluarkan negara untuk pos pengeluaran dar al Khilafah, Mashalih ad Daulah, Santunan, Jihad, Urusan Darurat/ Bencana Alam (ath Thawaari), dan Anggaran Belanja Negara (al Muwazanah al Ammah), Pengendali Umum (al Muhasabah al Ammah), dan Badan Pengawas (al Muraqabah). Kemudian pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum harus dikeluarkan untuk Jihad, Penyimpanan Pemilikan Umum dani Urusan Darurat/ Bencana Alam. Sedangkan pos penerimaan dari Bagian Shadaqah harus dikeluarkan hanya untuk Penyimpanan Harta Zakat dan Jihad. Di dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tidak mengenal mekanisme pemasukan dan pengeluaran keuangan dan harta negara seperti yang ada pada Baitul Mal. Setiap sumber pemasukan APBN (budget of state) tidak ada pengaturan harus dikeluarkan untuk anggaran apa saja, sebaliknya setiap sumber pemasukan penggunaannya terserah kepada pemerintah dalam membiayai belanja negara dari

10

besaran anggaran yang sudah disetujui parlemen (DPR). Dilihat dari sisi ini saja sudah muncul kerancuan penggunaan keuangan negara dalam hal alokasi anggaran. Aspek politik dari kebijakan fiskal yang dilakukan oleh khalifah adalah dalam rangka mengurusi dan melayani umat. Kemudian dilihat dari bagaimana Islam memecahkan problematika ekonomi, maka berdasarkan kajian fakta permasalahan ekonomi secara mendalam terungkap bahwa hakikat permasalahan ekonomi terletak pada bagaimana distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan suatu mekanisme distribusi ekonomi yang adil. Allah SWT mengingatkan kita tentang betapa sangat urgennya masalah distribusi harta ini dalam firman-Nya:

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr: 7)

Asbabun Nuzul (Fai ialah harta rampasan perang yang diperoleh dari musuh tanpa melalui pertempuran. Pembagiannya berlainan dengan pembagian ghanimah. Sedangkan ghanimah harta rampasan yang diperoleh dari musuh setelah terjadi pertempuran. Pembagian fai sebagai yang tersebut pada ayat ke-7 di surat al-Hasyr. Sedang pembagian ghanimah tersebut pada ayat ke41 surat al-Anfaal.)

11

Dalam

firman-Nya,

Allah

menjelaskan

makna

al-fai

(harta

rampasan),

bagaimana sifatnya dan apa hukum ketetapannya. Al-Fai adalah semua harta yang diambil dari orang kafir tanpa pertempuran seperti harta benda milik Bani Nadhir ini. Oleh karena itulah Allah SWT memberikan harta yang mereka tinggalkan itu untuk Rasul-Nya saw. Dan oleh karenanya Rasulullah saw membagi-bagikannya sesuka hati beliau. Beliau pun menyalurkannya kepada kaum muslimin untuk berbagai jalan kebaikan dan kemaslahatan yang Allah sebutkan pada ayat-ayat berikutnya. Itulah cara pengalokasian dan pendistribusian harta fai. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 16, Pustaka Ibnu Katsir:2006) Imam Ahamd telah meriwayatkan dari Umar r.a., ia berkata, Harta benda Bani Nadhir termasuk harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya tanpa sebuah penyerbuan dengan mengerahkan kuda ataupun unta, maka harta itu khusus untuk Rasulullah. Beliau gunakan sebagai nafkah untuk satu tahun-dalam satu kesempatan ia berkata: untuk makanan pokok keluarganya selama setahun- dan sisanya beliau gunakan untuk kuda dan peralatan jihad dijalan Allah. [Ahmad (I/25)] (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 16, Pustaka Ibnu Katsir:2006) Mengenai ayat: Supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu. Yakni, Kami jadikan pengaturan distribusi harta fai tersebut sedemikian rupa, agar harta itu tidak hanya dimonopoli oleh orang-orang kaya, lalu mereka mempergunakannya untuk melampiaskan hawa nafsu dan keinginan mereka saja tanpa memperhatikan orang-orang fakir. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 19, Pustaka Ibnu Katsir:2006) Mengenai ayat: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Yakni, walau bagaimanapun perintah beliau maka laksanakanlah dan walau bagaimanapun larangan beliau maka jauhkanlah, karena beiau pasti memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk. Juga tercantum dalam ash-Shahiihain, dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw telah bersabda: Apabila saya telah memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah semampu kalian, dan apa yang saya larang maka hindarilah. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 9, Hal. 20-21, Pustaka Ibnu Katsir:2006)

12

Mengenai ayat: Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNya. Yakni, bertakwalah dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan dalam menghindari larangan-larangan-Nya karena hukuman-Nya sangat keras bagi orang yang melanggar larangan-Nya.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orangorang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. At-Taubah: 34) Juga dalam hadits Nabi SAW: Jika pada suatu pagi di suatu kampung terdapat seseorang yang kelaparan, maka Allah berlepas diri dari mereka. Tidak beriman pada-Ku, tidak beriman pada-Ku, orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara ia tahu tetangganya kelaparan. (Hadits Qudsi) Karena itu, kebijakan fiskal di dalam Islam didasari oleh suatu politik ekonomi (as siyasatu al iqtishadi) yang bertujuan mencapai distribusi ekonomi yang adil, sebagaimana yang dikemukakan Abdurrahman Al Maliki, yaitu menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah/ basic needs) perindividu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya.

13

Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer ini meliputi; pertama, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu dan kedua, jaminan kebutuhan-kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori pertama adalah jaminan akan sandang, pangan dan papan dan merupakan jaminan secara langsung terhadap setiap individu yang mempunyai penghasilan tetapi tidak mencukupi untuk memberikan nafkah kebutuhan-kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya, atau terhadap setiap individu yang tidak memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah kebutuhan pokok terhadap diri dan keluarganya. Kebijakan ini termasuk kebijakan transfer payment karena negara memberikan secara cuma-cuma harta berupa uang atau barang kepada seseorang. Sedangkan pembiayaan pemenuhan kebutuhan primer katagori pertama ini oleh negara dianggarkan pada Seksi Santunan. Jaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer katagori kedua meliputi keamanan, pendidikan dan kesehatan. Tiga perkara ini, merupakan unsur penting bagi perekonomian. Keamanan berfungsi melindungi dan mengayomi aktivitas perekonomian masyarakat sehingga kegiatan ekonomi menjadi lancar. Pendidikan merupakan pilar yang melahirkan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan fasilitas-fasilitas negara dan fasilitas-fasilitas umum yang dibutuhkan rakyat termasuk yang dibutuhkan bagi aktifitas perekonomian, untuk membangun sistem pertanian, industri (termasuk industri senjata), perdagangan dan jasa yang tangguh, berkualitas dan efisien. Kesehatan merupakan unsur yang sangat mempengaruhi kinerja seseorang bagi ekonomi dirinya dan keluarganya, bagi syirkah tempat dia bekerja, bagi perekonomian masyarakat dan negara. Dalam menjamin keamanan di dalam negeri, dilakukan dengan cara menegakkan syariat yang berkaitan dengan sanksi terhadap orang yang melanggar dan memperkosa hak-hak asasi manusia. Sedangkan jaminan keamanan dari ancaman musuh di luar negeri dilakukan dengan menegakkan jihad. Pembiayaan terhadap jaminan keamanan ini terletak pada anggaran belanja negara Mashalih adDaulah dan Jihad. Negara menjamin pendidikan dari tenaga pengajar (guru/dosen), tempat pendidikan dan berbagai fasilitas yang dibutuhkan untuk penyelenggaraannya. Jaminan akan pendidikan ini juga termasuk jaminan hidup yang layak bagi para guru. Pembiayaan anggaran pendidikan ini terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah.

14

Dari aspek kesehatan, negara berkewajiban menyediakan dokter, obatobatan, rumah sakit dan tempat pelayanan kesehatan lainnya, serta berbagai sarana kesehatan, termasuk riset di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan ini diberikan secara cuma-cuma (gratis) kepada seluruh masyarakat sehingga negaralah (Baitul Mal) yang menanggung seluruh biaya kesehatan ini bukan masyarakat. Anggaran yang menangani pembiayaan kesehatan terdapat pada Seksi Mashalih ad-Daulah. Pemenuhan atas tiga kebutuhan primer katagori kedua ini bersifat menyeluruh, artinya seluruh rakyat apakah orang miskin atau kaya, dari keluarga pengusaha atau bukan, pria atau wanita, tua atau muda, kulit hitam atau putih, Muslim atau non Muslim, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan secara gratis. Karena perkara pemenuhan kebutuhan primer ini menjadi sasaran utama kebijakan fiskal dibandingkan anggaran yang lainnya, maka khalifah tidak boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab ia merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan negara dan merupakan hak setiap individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan. Juga hak seluruh rakyat untuk mendapatkan jaminan keamanan, pendidikan dan pelayan kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal tidak mampu lagi membiayai anggaran ini, sedangkan perkara ini merupakan kewajiban negara terlepas apakah ada harta di dalam Baitul Mal ataukah tidak, maka kewajiban untuk membiayai anggaran perkara tersebut beralih kepada kaum Muslimin, yakni dengan berhaknya negara memungut pajak (dlaribah) terhadap kaum Muslimin yang mempunyai kelebihan harta. Dengan satu langkah kebijakan fiskal dalam penjaminan kebutuhan primer di atas, maka negara telah membangun suatu infrastruktur ekonomi dan dengan itu terbentuklah suatu karakteristik struktur perekonomian sehingga negara telah membuka satu pintu distribusi ekonomi yang adil, karena orang-orang yang kurang memiliki kemampuan dari sisi ekonomi disantuni oleh negara dengan penjaminan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Juga setiap orang mendapatkan hak yang sama dalam keamanan akan hartanya, akan usahanya (pertanian, industri dan perdagangan, jasa, dan lain-lain), jiwanya dan keluarganya. Hak yang sama akan pendidikan, sehingga semua orang pada hakikatnya memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh ilmu dan keahlian (skill). Dengan ilmu dan keahlian inilah modal dasar bagi seseorang mencari nafkah bagi diri dan keluarganya, serta untuk meningkatkan kekayaannya.

15

Baitul Mal masih memiliki dua instrumen dari dua sumber pemasukan negara untuk semakin mempertajam distribusi harta di tengah-tengah masyarakat. Yaitu instrumen Penyimpanan Harta Kepemilikan Umum dan instrumen Harta Zakat. Harta yang termasuk kepemilikan umum merupakan harta milik umat sehingga umat berhak mendapatkan manfaat dari harta milik umum dan tidak seorangpun yang berhak menguasai harta milik umum tersebut. Dalam memanfaatkan harta milik umum ada yang bisa dimanfaatkan secara langsung oleh umat seperti air, padang rumput, api, jalan-jalan umum, laut, sungai, danau dan terusan yang besar, dan ada juga yang tidak mudah memanfaatkannya secara langsung seperti minyak bumi, gas, dan barang-barang tambang. Untuk dapat memanfaatkannya, aset milik umum tersebut harus dieksplorasi dan diolah dengan usaha yang keras dan biaya yang besar. Maka pihak yang wajib untuk mengelola kepemilikan seperti ini adalah negara selaku wakil umat. Pendapatan yang diperoleh dari eksplorasi dan produksi (pengolahan) atas harta milik umum tersebut digunakan untuk menutupi seluruh biaya operasional pengelolaannya serta dibelanjakan untuk kepentingan umat sebagai bagian dari kebijakan ekonomi negara. Pembelanjaan dari harta milik umum ini dianggarkan dalam pos pengeluaran Penyimpanan Harta Pemilikan Umum. Pada sisi kebijakan negara atas pemanfaatan hasil pengelolaan harta milik umum untuk kepentingan umat inilah diatur mengenai mekanisme distribusi ekonomi. Kebijakan ekonomi negara ini dilakukan berdasarkan aspek strategis dari sisi sosial ekonomi masyarakat dan keuangan negara. Bisa saja khalifah melakukan kebijakan membagikan harta milik umum seperti air ledeng, listrik, BBM, gas elpiji secara gratis (transfer payment) ke tempat-tempat tinggal ataupun tempat usaha masyarakat, atau menjualnya dengan harga yang murah (subsidi) atau dengan harga pasar. Dengan harta milik umum ini pula negara melakukan transfer payment terhadap penduduk yang mengalami musibah atau bencana alam dan dialokasikan dalam anggaran Urusan Darurat/ Bencana Alam. Perkembangan zaman dari sisi sains dan teknologi, luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk serta ancaman dari luar negeri berpotensi besar menambah beban keuangan negara sehingga bisa jadi sumber-sumber penerimaan negara dari pos penerimaan Bagian Fai dan Kharaj tidak mencukupi untuk menutupi seluruh kewajiban-kewajiban Baitul Mal. Untuk menutupi kekurangan anggaran ini, sebelum khalifah melakukan kebijakan penarikan pajak atas kaum Muslimin, maka Penyimpanan

16

negara boleh menutupinya dari penerimaan harta milik umum sehingga jika mencukupi belanja negara, penarikan pajak tidak boleh dilakukan. Dengan mengambil kebijakan ini, pos penerimaan dari Bagian Pemilikan Umum sebagian digunakan untuk membiayai pos pengeluaran lainnya seperti pos Dar al-Khilafah, Mashalih ad-Daulah, Santunan, dan Jihad. Dari penerimaan harta pemilikan umum, negara dapat membelanjakannya untuk membangun fasilitasfasilitas umum yang dianggarkan dalam Seksi Mashalih ad-Daulah dan membantu perekonomian masyarakat dalam bentuk subsidi ataupun pinjaman modal di sektor pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, industri, perdagangan dan jasa yang dianggarkan dalam Seksi Santunan. Instrumen terakhir Baitul Mal yang berfungsi pula dalam menciptakan mekanisme distribusi ekonomi adalah zakat. Akan tetapi zakat tidak murni sebagai kebijakan ekonomi. Zakat semata-mata merupakan implimentasi ibadah ritual seorang Muslim kepada Tuhannya yang mempunyai dampak sosial ekonomi di masyarakat. Penyaluran harta zakat dari anggaran Penyimpanan Harta Zakat harus dilakukan hanya terhadap 8 golongan yang disebutkan dalam firman Allah SWT:

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 60) Asbabun Nuzul Setelah sebelumnya Allah SWT mengungkapkan bantahan-bantahan kaum munafik kepada Nabi saw dan celaan mereka terhadap Beliau dalam pendistribusian zakat, kemudian Allah SWT menjelaskan bahwa sesungguhnya Dia-lah yang membagikannya, menjelaskan hukumnya dan menyelesaikan masalahnya. Dia tidak

17

menyerahkan urusan pembagiannya

kepada

siapapun

selain-Nya. Allah SWT

membagikannya kepada mereka yang telah ditentukan. Kaum fakir didahulukan dari golongan lain dalam ayat ini, sebab merekalah yang paling membutuhkan dibanding yang lain, menurut pendapat yang cukup terkenal. Selain itu karena kebutuhan mereka yang sangat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., Mujahid, al-Hasan alBashri dan Ibnu Zaid. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 4, Hal. 237, Pustaka Ibnu Katsir:2006) Karena itu, menurut Abdul Qadim Zallum, zakat tidak boleh dikeluarkan di luar delapan golongan tersebut sehingga tidak boleh harta zakat digunakan misalnya untuk membangun sarana-sarana umum, digunakan untuk kebijakan ekonomi. D. UPAH DALAM PERSPEKTIF ISLAM Upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu (Idris Ahmad : 1986). Kebijakan fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam tidak bertumpu pada pertumbuhan ekonomi seperti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis tetapi mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.

Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS At-Thalaq : 6). Selanjutntya dalam surat Al-Anfal ayat 27 Allah menegaskan

18

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. (QS Al-Anfal : 27).

Asbabun Nuzul Dalam Shahiih al-Bukhari dan Muslim disebutkan kisah Hathib bin Abi Baltaah, ketika ia menulis surat kepada orang-orang Quraisy, menginformasikan kepada mereka rencana yang akan dilakukan Rasulullah saw terhadap mereka di tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah). Allah memberitahukan hal ini kepada Rasul-Nya. Maka Beliau pun mengutus utusan untuk menyusul orang yang membawa surat itu, sekaligus untuk membawanya kembali ke Madinah. Hathib pun diminta untuk dihadirkan, dan ia mengakui apa yang diperbuatnya. Umar bin Khaththab bangkit seraya berkata: Wahai Rasulullah, izinkanlah saya memenggal lehernya, sebab ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman! Rasulullah saw bersabda: Biarkanlah ia. Sesungguhnya ia telah ikut menghadiri perang Badar, dan engkau tidak tahu. Semoga Allah telah melihat dan mengetahui keadaan orang-orang yang ikut perang Badar.

Ali bin Abi Thalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Amanat adalah amal-amal perbuatan yang diamanatkan oleh Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, berupa amal-amal yang wajib. Abdurrahman bin Zaid berkata: Allah melarang mereka berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang munafik. (Shahih Tafsir Ibnu Katsir, JIlid 4, Hal. 52-53, Pustaka Ibnu Katsir:2006)

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah yang mengatakan Nabi Saw bersabda : Allah SWT berfirman: Tiga orang yang Aku musuhi pada hari kiamat nanti, adalah orang yang telah memberikan karena Aku, lalu berkhianat; dan orang yang membeli barang pilihan, lalu ia makan kelebihan harganya; serta orang yang mengontrak

19

pekerja kemudian pekerja tersebut menunaikan transaksinya sedangkan upahnya tidak diberikan. Dari Ibnu Masud, Nabi Saw bersabda : Apabila salah seorang diantara kalian, mengontrak (tenaga) seorang ajir (pekerja), maka hendaklah diberitahu tentang upahnya. Dari Ibnu Majah, Nabi Saw bersabda : Berikanlah olehmu upah orang sewaan (pekerja) sebelum keringatnya kering DAFTAR PUSTAKA Al-Quran Muttaqin, Hidayatullah, Kebijakan Fiskal Islam ,KUMPULAN ARSIP e-SYARIAH, SISTEM EKONOMI SYARIAH Katsir, Ibnu, Shahih Tafsir

20

Anda mungkin juga menyukai