Anda di halaman 1dari 24

KEBIJAKAN FISKAL DALAM EKONOMI ISLAM

Disusun Oleh :
EKA OCTAVIAN PRANATA 1636200066

JURUSAN EKONOMI ISLAM


FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini.
Harapan penulis adalah, semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat. Selain
itu, demi penyempurnaan makalah ini, penulis mengharapkan kritikan yang bersifat
membangun.
Akhir kata, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dosen pembimbing mata
kuliah Ekomoni islam dasar Ibu Zuul Fitriani Umari MH.i yang telah memberikan tugas
makalah ini sebagai prasyarat UAS, sehingga penulis dapat mengetahui lebih jauh tentang
Kebijakan Fiskal, dan kepada semua pihak yang turut membantu, penulis sampaikan terima
kasih atas bantuannya. Kepada pihak pihak yang tulisannya penulis jadikan rujukan, penulis
sampaikan terima kasih dan pernyataan maaf bila kurang berkenan.

Palembang, 13 Desember 2016

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Umat Islam dihadapkan pada harapan-harapan historis, sekaligus tantangan yang
cukup besar khususnya berkenaan dengan sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Global
yang digunakan saat ini membuat umat Islam di belahan manapun mengalami masa yang
menentukan. Bukan saja karena kondisi ekonomi dan politiknya yang masih dipengaruhi oleh
Negara-negara maju, tetapi suatu nasib apakah umat Islam memiliki kekuatan baru untuk
mempengaruhi sistem ekonomi Dunia atau sebaliknya, namun umat Islam tidak bisa menutup
mata bahwa ekonomi Islam mempunyai prinsip dasar mendapatkan keuntungan semaksimal
mungkin dengan sumber daya yang tidak terbatas, umat Islam yang selama ini sebagian Besar
berada di bawah garis kemakmuran, justru semakin terpuruk sebagai konsumen produksi
negara-negara maju.
Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan suatu kewajiban negara dan menjadi hak
rakyat sehingga kebijakan fiskal bukanlah semata-mata sebagai suatu kebutuhan untuk
perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, tetapi lebih pada
penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
1.2 Rumusan Masalah
1. kebijakan fiskal islami
2. kebijakan fiskal
3. kebijakan anggaran negara
4. pendapan negara, pajak dan zakat
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
ekonomi islam dasar sebagai pra syarat sebelum uas

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI KEBIJAKAN FISKAL
Terdapat beberapa pengertian tentang kebijakan fiskal yang dapat kita temui. Definisi yang
paling populer menyebutkan bahwa kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintah dalam rangka mendapatkan dana dan kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah
untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan.
Singkatnya, kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang terkait dengan penerimaan
atau pengeluaran negara.
Samuel dan Nordhaus mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai proses pembentukan
perpajakan dan pengeluaran masyarakat dalam upaya menekan fluktuasi siklus bisnis, dan
ikut berperan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi, penggunaan tenaga kerja yang tinggi,
bebas dari laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah.
Sementara menurut Tulus TH Tambunan, kebijakan fiskal memiliki dua prioritas, prioritas
pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan
masalah-masalah APBN lainnya seperti defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah
lebih kecil dari pengeluarannya, serta prioritas kedua untuk mengatasi stabilitas ekonomi
makro, yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja dan
neraca pembayaran.
Sedangkan menurut Nopirin, kebijakan fiskal terdiri dari perubahan pengeluaran
pemerintah atau perpajakan dengan tujuan untuk mempengaruhi besar serta susunan
permintaan agregat. Indikator yang biasa dipakai adalah budget defisit yakni selisih antara
pengeluaran pemerintah (dan juga pembayaran transfer) dengan penerimaan terutama dari
pajak.
Pengertian lainnya menyatakan bahwa kebijakan fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi
dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan
mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif
pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan
daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output.
Sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output
industri secara umum.

Tentu di luar beberapa pendapat di atas masih dapat kita temui berbagai definisi lain
tentang kebijakan fiskal, namun demikian konsep yang harus kita pahami adalah bahwa
kebijakan fiskal meliputi suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi
perekonomian untuk menjadi lebih baik melalui penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
2.2 JENIS KEBIJAKAN FISKAL

Kebijakan Fiskal yang Disengaja (discretionary)

Kebijakan fiskal yang disengaja adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
menanggulangi tingkat naik turunnya kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu (gelombang
konjungtur), dengan memanipulasi anggaran belanja secara sengaja, baik melalui pengubahan
perpajkaan atau pengubahan pengeluaran pemerintah. Dengan usaha ini dapat terlihat
seberapa jauh peranan pemerintah dalam melakukan campur tangannya dalam pengaturan
jalannya roda perekonomian.

Kebijakan Fiskal Pasif (automatic stabilizers atau built-in stabilizer)

Kebijakan pasif adalah kebijakan yang erat kaitannya dengan penerapan berbagai pajak.
Dalam realitanya sebagian besar dari pajak-pajak yang dikenakan pada masyarakat, baik
langsung maupun tak langsung, berhubungan erat dengan tingginya arus pendapatan nasional.
Semakin tingi arus pendapatan nasional, semakin tinggi pula penerimanan yang diperoleh
dari sektor pajak, baik langsung maupun tak langsung. Pajak pendapatan, pajak perseroan,
pajak kekayaan dan sebagainya adalah pajak langsung yang jelas sekali berhubungan dengan
tingkat pendapatan negara.
Dari sudut ekonomi makro, kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
kebijakan fiskal ekspansif dan kebijakan fiskal kontraktif.

Kebijakan fiskal ekspansif, adalah kebijakan menaikkan belanja negara dan


menurunkan tingkat pajak netto. Kebijakan ini untuk meningkatkan daya beli
masyarakat. Kebijakan fiskal ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami

resesi/depresi dan pengangguran yang tinggi


Kebijakan fiskal kontraktif, adalah kebijakan untuk menurunkan belanja negara dan
menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli
masyarakat dan mengatasi inflasi.

Kebijakan fiskal dapat dinilai dari dua aspek, yaitu :


1. Aspek kuantitatif artinya berhubungan dengan jumlah uang yang harus ditarik dan
dibelanjakan.
2. Aspek kualitatif artinya berhubungan dengan peningkatan jenis-jenis pajak, pembayaranpembayaran, dan subsidi-subsidi
2.3 Kebijakan Fiskal dalam Islam Menjelaskan Sebagai Berikut:
Manusia Mempunyai kebebasan yang luas untuk memiliki harta. Prinsip-prinsip
tersebut mengakibatkan ketimpangan sosial yang secara tidak langsung telah membuat
polarisasi yang cukup tajam antara kaya dan miskin. Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang
mengakui kebebasan manusia atas nilai-nilai tauhid, hak memiliki harta atas dasar
kemaslahatan, melarang penumpukan harta, serta distribusi kekayaan justru yang sesuai
dengan sifat dasar dan kebutuhan manusia. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan manusia,
maka dalam Islam telah diatur mekanismenya dalam suatu negara.
Peran Negara Islam sangat signifikan dalam menjamin kesejahteraan dan kebutuhan
rakyatnya. Dalam rangka menjamin kesejahteraan rakyat, negara akan melakukan berbagai
kebijakan. Kebijakan tersebut dinamakan kebijakan fiskal.
Selanjutnya, instrumen yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah penerimaan dan
pengeluaran negara, maka kebijakan fiskal dalam konteks Sistem Ekonomi Kapitalis sangat
erat kaitannya dengan target keuangan negara yang ingin dicapai. Dengan target Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ingin dicapai oleh pemerintah yang sesuai
dengan jumlah pendapatan dan bagaimana distribusi harta ditengah-tengah masyarakat, serta
pada halnya umat manusia kebutuhan akan bahan barang dan jasa tidak terbatas pada sistem
ekononi islam.
2.4 Perkembangan Kebijakan Fiskal dalam Islam
Lahirnya kebijakan fiskal di dalam dunia Islam dipenngaruhi oleh banyak faktor.
Salah satu factor yang paling dominan adalah karena fiskal merupakan bagian dari
instrumen ekonomi publik. Untuk itu faktor-faktor seperti sosial, budaya dan politik inklud
di dalamnya. Tantangan Rasulullah sangat besar dimana beliau dihadapkan pada kehidupan
yang tidak menentu baik dari kelompok internal maupun kelompok eksternal.
Kelompok internal yang harus diselesaikan oleh Rasulullah yaitu bagaimana menyatukan
antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin pasca hijrah dari mekah ke Madinaha (Yastrib).
Sementara tantangan dari kelompok eksternal yaitu bagaiman Rasul mampu

mengimbangi rongrongan dan serbuan dari kaum kafir Kuraisy.


Di sisi lain Rasulullah harus melakukan pembenahan di sektor ekonomi. Dalam kondisi
yang tidak menentu tersebut dimana kondisi alam yang tidak mendukung ditambah kondisi
ekonomi masyarakat yang masih lemah maka salah satu sumber daya alam yang bisa
diandalkan adalah pertanian. Sektor pertanian yang menjadi satu- satunya harapan
tersebut terkelola dengan cara-cara tradisional sehingga terkesan apa adanya.
Banyaknya problematika yang dihadapi oleh beliau tentunya diperlukan kejeniusan,
ketegaran dan kesabaran sehingga kebijakan yang dibuatnya bersifat menguntungkan
semua pihak. Di dalam sejarah Islam keuangan publik berkembang bersamaan dengan
pengembangan masyarakat Muslim dan pembentukan negara berkeadilan yang diilhami
oleh semangat ajaran Islam. Itu semua dilakukan oleh Rasulullah Saw pasca hijrah,
kemudian diteruskan oleh Khulafaul Rasyidun.
a. Masa Pemerintahan Rasulullah s.a.w
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa tantangan yang dihadapi oleh
Rasulullah Saw sangat berat. Sebagai seorang perintis sebuah keberadaan negara Islam
tentunya dimulai dari serba nol. Mulai dari tatanan politik, kondisi ekonomi, sosial
maupun budaya semuanya ditata dari awal. Dari kondisi nol tersebut membutuhkan
jiwa seorang pejuang dan jiwa seorang yang ikhlas dalam menata sebuah rumah
tangga pemerintahan, menyatukan kelompok-kelpompok masyarakat yang sebelumnya
terkenal dengan perpecahan yang mana masing-masing kelompok menonjolkan
karakter dan budayanya. Di sisi lain Rasulullah s.a.w. harus mengendalikan depresi
yang dialami oleh kaum muslimin melaui strategi dakwahnya agar ummat
muslim mempunyai keteguhan hati (beriman) dalam berjuang, mentata perekonomian
yang carut marut dengan menyuruh kaum muslimin bekerja tanpa pamrih dan lain
sebagainya.
Upaya Rasulullah s.a.w dalam mencegah terjadinya perpecahan di kalangan
kaum muslimin maka beliau mempersatukan kaum Anhsor (sebagai tuan rumah)
dengan kaum Muhajirin (sebagai kelompok pendatang). Rasulullah menganjurkan agar
kaum Anshor yang memiliki kekayaan dapat membantu saudara-saudaranya dari kaum
Muhajirin. Maka hasil dari upaya tersebut terjadilah akulturasi budaya antara kaum
Anshor dengan kaum Muhajirin sehingga kekuatan kaum Muslim bertambah.
Untuk mengantisipasi kondisi keamanan yang selalu mengancam maka Rasulullah
s.w.a. mengeluarkan kebijakan bahwa daerah Madinah dipimpim oleh beliau sendiri
dengan sebuah sistem pemerintahan ala-Rasul. Dari kepemimpinan beliau maka
lahirlah berbagai macam kreativitas kebijakan yang dapat menguntungkan bagi kaum
muslim. Kebijakan utama beliau adalah membangun masjid sebagai pusat aktivitas
kaum muslimin. Istilah yang populernya penulis sebut dengan istilah Madinah
Muslims Center (MMC). Menurut Sabzwari (Sabwari, 2003: 173-174), terdapat
tujuh kebijakan yang dihasilkan oleh Rasulullah sebagai kepala negara, diantaranya
ialah (i) Membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum
bagi para pengikutnya. (ii) Merehabilitasi Muhajirin Mekkah di Madinah. (iii)

Meciptakan kedamaian dalam negara. (iv) Mengeluarkan hak dan kewajiban bagi
warga negaranya. (v) Membuat konstitusi negara. (vi) Menyusun sistem pertahanan
Madinah. Dan (vii) Meletakkan dasar- dasar sistem keuangan negara.
Namun yang paling utama dibangun oleh Rasulullah s.a.w. adalah masjid karena
dengan adanya masjid menandakan perjungan beliau tidak hanya berada pada
tataran duniawi saja akan tetapi berdimensi akhirat. Jika ini ditafsirkan dengan akal
(tafsir bil rayi) maka sesungguhnya terdapat sesuatu ajaran yang cukup dalam dimana
Rasulullah s.a.w. meletakkan dasar ideologi perjuangan yang selalu bergandengan
antara kepentingan dunia dengan kepentingan akhirat. Sebagai mediasinya adalah
dibangunlah masjid.
Bersamaan dengan perjuangan agar semua komponen perjuangan seperti politik,
sosial dan budaya mempunyai ideologi dalam gerakannya, maka disisi lain Rasulullah
s.a.w berjuang mereformasi ekonomi yang sebelumnya tanpa ideologi berubah
berideologi dengan beberapa argumentasi beliau sebagai berikut: (i) Kekuasaan
tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolud atas semua yang
ada (QS:3:26; 15:2; 67:1). (ii) Manusia merupakan pemimpin (khalifah) Allah di
muka bumi yang wajib memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam tanpa harus
merusaknya (QS:2:30; 7:10). (iii) Kekayaan yang dimiliki seseorang tidak boleh
ditumpuk terus menerus atau ditimbun. Argumentasi ini sejalan dengan teori
pendapatan yaitu semakin tinggi produktivitas maka tingkat pendapatan atau kekayaan
sebuah negara semakin meningkat. Untuk itu tidak dibenarkan menimbun harta karena
disamping perekonomian akan mandeg disisi lain akan mendholimi saudaranya yang
lain (QS: 104:1-3). (iv) Kekayaan harus berputar (QS: Al-Hasr: 7). (v) Eksploitasi
ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan. (vi) Menghilangkan jurang
peredaan antara individu, dalam perekonomian dapat menghapuskan konflik antar
golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya
kepada para ahli warisannya. Inilah ideologi pertama yang dipaparkan oleh Raulullah
yang diilhami oleh wahyu.
Perjuangan dalam tataran ideologi sudah dibenahi, maka rasulullah s.a.w.
melangkah pada tahap berikutnya yaitu dengan mereformasi bidang ekonomi
dengan berbagai macam kebijakan beliau. Seperti diulas panjang di atas bahwa kondisi
ekonomi dalam keadaan nol. Kas negara kosong, kondisi gegrafis tidak
menguntungkan dan aktivitas ekonomi berlajan secara tradisional. Melihat kondisi
yang tidak menentu seperti ini maka Rasulullah s.a.w. melakukan upaya-upaya
yang terkenal dengan Kebijakan Fiskal beliau sebagai pemimpin di Madinah yaitu
dengan meletakkan dasar-dasar ekonomi. Diantara kebijakan tersebut adalah:
1. Memfungsikan Baitul Maal
Baitul maal sengaja dibentuk oleh Rasulullah s.a.w sebagai tempat pengumpulan
dana atau pusat pengumpulan kekayaan negara Islam yang digunakan untuk
pengeluaran tertentu. Karena pada awal pemerintahan Islam sumber utama

pendapatannya adalah Khums, zakat, kharaj, dan jizya (bagian ini akan dijelaskan
secara mendetail pada bagian komponen-komponen penerimaan negara Islam)
(Perwataatmajda, 2006: 14).
Pendirian Baitul Maal ini masih banyak sumber yang berbeda pendapat, ada
yang mengatakan didirikan oleh Rasulullah s.a.w. dan ada sumber yang mengatakan
bahwa secara resmi baitul maal didirikan oleh Sayidina Umar ibn Khaththab r.a.
Di dalam buku Kebijakan Ekonomi Umar Bin Khaththab dikatakan bahwa
salah satu keberhasilan beliau adalah mampu mendirikan Baitul
Maal
(Muhammad, 2002: 23). Namun disisi lain penulis dapat menemukan
benang merahnya bahwa secara implisit fungsi akan Baitul Maal sudah dibentuk
oleh Rasulullah s.a.w terbukti dengan membangun masjid bersama kekayaan fungsi
di dalamnya (Muslims Centre). Akan tetapi secara eksplisit pendirian Baitul Maal
dilakakan dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Khaththab r.a. Kesimpulannya, tidak
ada perbedaan yang mendasar dari semua pendapat, hanya saja dikompromikan
kapan fungsi secara implisit dari Baitul Maal dan kapan pendirian secara ekspilisit.
Untuk itu fungsi dari Baitul Maal disini adalah sebagai mediasi kebiajakan fiskal
Rasulullah s.a.w. dari pendapat negara Islam hingga penyalurannya. Tidak sampai
lama
harta
yang
mengendap
di
dalam
Baitul
Maal,
ketika
mendapatkannya maka langsung disalurkan kepada yang berhak menerimanya yaitu
kepada Rasul dan kerabatnya, prajurt, petugas Baitul Maal dan fakir miskin.
2. Pendapatan Nasional dan Partisipasi Kerja
Salah satu kebijakan Rasulullah s.a.w dalam pengaturan perekonomian yaitu
peningkatan pendaptan dan kesempatan kerja dengan mempekerjakan kaum
Muhajirin dan Anshor (Majid, 2003:223).
Upaya tersebut tentu saja menimbulkan mekanisme distrubusi pendapatan
dan kekayaan sehingga meningkatkan permintaan agregat terhadap output yang
akan diproduksi. Disi lain Rasullah membagikan tanah sebagai modal kerja.
Kebijakan ini dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. karena kaum Muhajirin dan Anshor
keahliannnya bertani dan hanya pertanian satu-satunya pekerjaan yang
menghasilkan. Kebijakan beliau sesuai dengan teori basis, yaitu bahwa jika
suatu negara atau daerah ingin ekonominya maju maka jangan melupakan
potensi basis yang ada di negara atau daerah tersebut.
3. Kebijakan Pajak
Kebijakan pajak ini adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah muslim
berdasarkan atas jenis dan jumlahnya (pajak proposional). Misalnya jika terkait
dengan pajak tanah, maka tergantung dari produktivitas dari tanah tersebut atau
juga bisa didasarkan atas zonanya.
4. Kebijakan Fiskal Berimbang
Untuk kasus ini pada masa pemerintahan Rasulullah s.a.w dengan metode hanya
mengalami sekali defisit neraca Anggaran Belanja yaitu setelah terjadinya Fathul

Makkah, namun kemudian kembali membaik (surplus) setelah perang Hunain


(Majid, 2003:224).
5. Kebijakan Fiskal Khusus
Kebijakan ini dikenakan dari sektor voulentair (sukarela) dengan cara
meminta bantuan Muslim kaya. Jalan yang ditempuh yaitu dengan memberikan
pijaman kepada orang-orang tertentu yang baru masuk Islam serta menerapkan
kebijakan insentif.
b. Masa Pemerintahan Abu Bakar
Abu Bakar Ash-Shiddiq mendapat kepercayaan pertama dari kalangan muslim
untuk menggantikan posisi Rasulullah saw setelah beliau wafat. Konon ada
beberapa kreteria yang melekat pada diri Abu Bakar sehingga kaum muslimin
mempercayai puncak kepemimpinan Islam diantaranya adalah terdapat ketaatan
dan keimanan beliau yang luar biasa, faktor kesenioran diantara yang lain sehingga
wibawa menjadi penentu. Juga faktor kesetiaan dalam mengikuti dan mendapingi
Rasulullah dalam berdakwah menyadarkan kaum muslim bahwa beliau memang
pantas menjadi pengganti raululllah saw. Pemilihan tersebut berlangsung secara alami
tanpa ada interpensi dari Rasulullah saw.
Selama kurang lebih 27 bulan masa kepemimpinan beliau ada beberapa
problematikan sosial dalam negara Islam yang menjadi tantangan berat beliau. Beliau
dihadapkan pada pembangkang-pembangkang seperti kaum yang murtad, cukai dan
kelompok yang tidak mau membayar zakat kepada negara. Akhirnya Abu Bakar
mampu mengatasinya dengan sebuah kebijakan disertai dengan pasukan lini terdepan
untuk melakukan pemungutan zakat.
Abu Bakar terkenal dengan keakuratan dan ketelitiannya adalam mengelola dan
menghitung zakat. Tebukti dengan ketelitian dan kehatia-hatiannya beliau mengangkat
seorang amil zakat yaitu Anas.
Pada awal kepemimpinannya beliau mengalami kesulitan di dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga dengan penuh keterbukaan dan
keterusterangan beliau mengatakan kepada ummatnya bahwa perdagangan beliau
tidak mencukupi untuk memenuhi kebtuhan keluarganya. Tentunya dengan adanya
beban sebagai kepala negara akan mengurangi aktivitas dagangnya karena sibuk
mengurus negara.
Kesulitan beliau diketahui oleh khalayak ramai terutama oleh Siti Aisyah dan
dengan kesepakatan bersama selama kepemimpinan beliau baitul maal
mengeluarkan kebutuhan khalifah Abu Bakar yaitu sebesar dua setengah atau dua tiga
perempat dirham setiap harinya dengan tambahan makanan berupa daging domba
dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut
kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut
keterangan yang lain mencapai 6.000 dirham pertahun.
Namun yang menarik dari kepemimpinan beliau adalah ketika beliau mendekati

wafatnya, yaitu kebijakan internal dengan mengembalikan kekayaan kepada negara


karena melihat kondisi negara yang belum pulih dari krisis ekonomi. Beliau lebih
mementingkan kondisi rakyatnya dari pada kepentingan inividu dan keluarganya. Gaji
yang selama ini diambil dari baitul maal yang ketika dikalkulasi berjumlah
8.000 dirham, mengganti dengan menjual sebagain besar tanah yang dimikinya dan
seluruh penjualannya diberikan untuk pendanaan negara. Sikap tegas seperti ini belum
kita temukan di negara kita tercinta ini. Bahkan yang terjadi sebaliknya, yaitu
dipenghujung jabatannya justru mengeluarkan kebijakan yang dapat menguntungakan
dirinya. Enggan mempublikasi kekayaan pribadi ketika KPK memeriksanya.
Berkaitan dengan kebijakan fiskal masa kekhalifahan Abu Bakar yaitu
melanjutkan kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh Rasulullah saw. Hanya
ada beberapa kebijakan fiskal beliau yang cukup dominan dibandingkan yang lain
yaitu pemberlakuan kembali kewajiaban zakat setelah banyak yang membangkangnya.
Kebijakan berikutnya adalah selektif dan kehati-hatian dalam pengelolaan zakat
sehingga tidak ditemukan penyimpangan di dalam pengelolaannya.
c. Masa Pemerintahan Umar Ibn Khaththab ra
Ketika dilantik menjadi khalifah, Umar bin Khaththab mengumumkan kepada
rakyat tentang pengaturan kekayaan negara Islam. Beliau berkata Barang siapa ingin
bertanya tentang Al-Quran, maka datanglah kepada Ubay bin Kaab. Barang siapa
ingin bertanya tentang ilmu faraidh (ilmu waris), maka datanglah kepada Zaid bin
Tsabit. Barang siapa bertanya tentang harta, maka datanglah kepadaku, karena Allah
SWT telah menjadikanku sebagai penjaga harta dan pembagi (distributor)
(Muhammad, 2002: 19).
Strategi yang dipakai oleh Amirul Mukminin Umar Ibn Khaththab adalah
dengan cara penanganan urusan kekayaan negara, di samping urusan pemerintahan.
Khalifah adalah penanggung jawab rakyat, sedangkan rakyat adalah sumber
pemasukan kekayaan negara yang manfaatnya kembali kepada mereka dalam
bentuk jasa dan fasilitas umum yang diberikan negara.
Apa yang telah diterapkan oleh Umar Ibn Khaththab pada masa dahulu adalah
serupa dengan apa yang diterapkan oleh pemerintahan Amerika sekarang, dimana
pemimpin negara langsung memeriksa kantor strategi pertahanan negara. Juga kepala
negara mengikuti proses restrukturisasi stabilitas umum dan program ekonomi negara.
Ia diberi kesempatan untuk memberi perhatian dan pengawasan atas sirkulasi
ekonomi.
Dalam sambutannya ketika diangkat menjadi khalifah, beliau mengumumkan
kebijakan ekonominya yang berkaitan dengan fiskal yang akan dijalankannya. Dari
pidato yang beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai sebagai dasar-dasar beliau
dalam menjalankan kepemimpinannya yang terkenal dengan sebutan 3 dasar
sebagai berikut (Muhammad, 2002: 34): (i) Negara Islam mengambil kekayaan umum
dengan benar, dan tidak mengambil hasil dari kharaj atau harta fai yang diberikan
Allah kecuali dengan mekanisme yang benar. (ii) Negara memberikan hak atas
kekayaan umum, dan tidak ada pengeluaran kecuali sesuai dengan haknya; dan negara

menambahkan subsidi serta menutup hutang. (iii) Negara tidak menerima harta
kekayaan dari hasil yang kotor. Seorang penguasa tidak mengambil harta umum
kecuali seperti pemungutan harta anak yatim. Jika dia berkecukupan, dia tidak
mendapat bagian apapun. Kalau dia membutuhkan maka dia memakai dengan jalan
yang benar.
Adapun kebijakan Umar mengenai Subsidi Negara sebagai berikut: Negara
harus memperhatikan apa yang dibelanjakan. Untuk merealisasikan hal tersebut, maka
hendaknya memperhatikan beberapa kaidah berikut ini: (i) Seharusnya tujuan dari
pembelanjaan umum sudah direncanakan. Kekayaan umum tidak digunakan untuk
kebathilan seperti penjajahan, memunculkan fitnah, melontarkan ide yang bertentangan
dengan kebenaran, atau menanamkan modal dalam tindakan haram. (ii) Negara juga
harus melaksanakan dengan baik apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Zakat diberikan
kepada mereka yang berhak sebagaimana yang diterangkan oleh Allah SWT di dalam
al-Quran: 9:60. (iii) Pembagian harta hasil rampasan perang yang berjumlah 1/5
diberikan susuai dengan yang telah ditetapkan Allah SWT di dalam al-Quran: 59:7.
(iv) Seharusnya penggunaan harta umum sesuai dengan kadar yang diperlukan dan
telah direncanakan, tanpa pemborosan dan tidak terlalu
mengirit,
karena
pemborosan hanya menyia-nyiakan harta negara. Sementara kalau terlalu ditahantahan pengeluarannya, maka akan membuat proyek negara macet. Apabila dana
pelayanan umum terlalu diirit, maka fasilitas umum akan memburuk. Semua itu
mengikuti petunjuk Allah SWT. Al-Quran: 25:67. (v) Seharusnya manfaat
penggunaan kekayaan negara dkembalikan kepada rakyat, dan bukan kepada
pribadipenguasa atau pejabat. Tidak pula dikhususkan untuk golongan atau
kepentingan pribadi dengan mengesampingkan golongan lainnya.
Pembelanjaan negara juga harus memberi manfaat kepada Ahlul kitab, selama mereka
masih membayar kewajiban harta yang ditetapkan oleh negara Islamsesuai perintah
Allah SWT: al-Quran: 60:8.
d. Masa Pemerintahan Utsman Ibn Affan ra
Enam tahun pertama kepemimpinannya, Balkh, Kabul, Ghazani, Kerman dan
Sistan ditaklukkan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan khalifah sebelumnya
yaitu Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara ditaklukkan, kemudian tindakan
efektif diterapkan dalam rangka mengembangkan sumber daya alam. Aliran air
digali, jalan dibangun, pepohonan ditanam serta kemanan perdagangan diberikan
dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Pada masa Usman tidak ada perubahan yang signifikan pada kondisi ekonomi
secara keseluruhan. Kebanyakan kebijakan ekonomi mengikuti khalifah
sebelumnya yang kebanyakan pakar mengatakan bahwa khalifah sebelumnya
(Umar) adalah sang reformis dalam bidang ekonomi.

e. Masa Pemerintahan Ali Ibn Thalib r.a

Ali berkuasa selama lima tahun. Sejak awal kepemimpinannya, beliau selalu
mendapatkan rongrongan dari kelompok umat Islam sendiri yaitu kaum khawarij serta
peperangan berkepanjangan dengan kelompok Muawiyah yang memproklamirkan
dirinya sebagai penguasa yang independen di daerah Syiria dan Mesir.
Ketegasan dan kebersihan Ali dari unsur-unsur Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme nampak dengan menolak saudaranya yang meminta bantuan kepada Ali
sebagai kepala negara. Suatu hari saudaranya, Aqil datang kepadanya meminta
bantuan uang, akan tetapi Ali menolok karena hal itu sama dengan mencuri uang
milik masyarakat. Kemudian Aqil pergi menemui Muawiyah mengajukan
permohonan yang sama dan dia diberi uang dalam jumlah yang besar.
Untuk itu awal-awal kepemimpinan beliau adalah dengan sebuah kebijakan
membersihkan kalangan pejabat yang korup yang dilakukan sebelumnya. Maka
tidak sedikit pejabat sebelumnya yang dijebloskan ke dalam penjara. Salah satu
yang berhasil dijebloskan ke dalam penjara adalah Gubernur Ray dengan tuduhan
penggelapan uang.
Mengenai kebijakan fiskalnya, Ali tetap mengacu pada khalifah sebelumnya.
Bahkan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Umar banyak diteruskan oleh Ali,
bukan Ustman.
Pernah pada suatu saat Ali bertentangan pendapat dengan hasil rapat yang
dilakukan oleh Umar yaitu mengenai keuangan Baitul Maal. Pada waktu itu Ali tidak
hadir pada pertemuan Majelis Syuro di Jabiya (masuk wilayah Madinah) yang
diadakan oleh Umar untuk menyepakati peraturan-peraturan yang sangat penting yang
berkaitan dengan daerah taklukan. Pertemuan itu juga menyepakati untuk tidak
mendistribusikan seluruh pendapatan Baitul Maal, tetapi menyimpan sebagian untuk
cadangan. Ternyata semua kesepakatan itu berlawanan dengan pendapat Ali. Oleh
karena itu ketika menjabat sebagai khalifah beliau mendistribusikan seluruh
pendapatan dan propinsi yang ada di Baitul Maal di Madinah, Busra dan Kufa.

2.5 Pendapatan dan Pengeluaran Pemerintah Islam


Pemerintah Islam memerlukan dana untuk berbagai jenis pembiayaan. Di dunia Islam,
pemerintahan memerlukan dana untuk menggunakan APBN dalam rangka mengendalikan
pengeluaran pemerintah yang sesuai dengan jumlah pendapatannya. Tujuan dari anggaran
pemerintah adalah menopang tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah. Tujuan pokok dari
setiap pemerintahan Islam adalah memaksimalkan kesejahteraan seluruh warga negara
dengan tidak mengabaikan prinsip-prinsip keadilan. Dalam Islam yang dimaksud dengan
kesejahteraan bukanlah semata-mata diperoleh dari kekayaan material, yang setiap tahun

dapat diukur dengan statistik pendapatan nasional, tetapi termasuk juga kesejahteraan rohani
di dunia dan akhirat.
Dalam sistem ekonomi konvensional, sumber penerimaan pemerintah terdiri dari :
1. Merupakan sumber penerimaan primer, berasal dari pungutan pajak.
2. Penerimaan negara bukan pajak
3. Hibah atau bantuan dan pinjaman luar negeri.
Lebih sistematis dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Pada Tabel di bawah menjelaskan Penerimaan Pemerintah Indonesia

1. Penerimaan pajak

Penerimaan Negara
a. Pajak

dalam

Negeri

(pajak

penghasilan, perseroan, pertambahan


nilai, penjualan, dsb)
2. Penerimaan Negara Bukan Pajak

b. Pajak perdagangan internasional


a. Penerimaan sumber daya alam
b. Bagain pemerintah atas laba BUMN
c. Peneriman

negara

bukan

lainnya
3. Hibah dan Bantuan Luar Negeri

Pada Tabel di bawah menjelaskan Pengeluaran Pemerintah Indonesia


Pengeluaran Negara
1.

a. Belanja Negara
b. Belanja Pemerintah Pusat

2.

c. Belanja Daerah
Pembiayaan
a. Dalam Negeri
b. Luar Negeri
c. Tambahan Tambah Utang

pajak

Dalam APBN sistem ekonomi konvensional sangat mengandalkan pajak dari rakyat
dan hutang, terutama dari luar negeri jika tidak mencukupi, hal ini bisa dilihat

dari

Pendapatan Negara dan Hibah dalam APBN-P 2009 Indonesia sebesar Rp. 848 triliun, di
mana 68 persennya adalah dari pajak yaitu sebesar Rp.609,2 triliun. Dalam APBN
pemasukan dari berbagai sumber

dari pendapatan dan pengeluaran menjadi satu tanpa

melihat dari mana asalnya dari kepemilikan umum atau negara, dengan peraturan demikian
adanya.
Sedangkan dalam Islam, walaupun pola anggaran pendapatan negara hampir sama
dengan perekonomian konvensional namun sumber-sumber dana tersebut didasarkan pada
syariah. Terhadap pengaturan pendapatan publik bidang keuangan negara degan semua hasil
pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu kemudian dibelanjakan sesuai
dengan kebutuhan negara. Status harta tersebut adalah milik negara dan bukan milik individu.
Tempat pengumpulan dana disebut Baitul Mal atau bendahara negara.
Mengenai sumber pendapatan Negara (Baitul Mal) menjadi tiga kelompok :
1. Bersumber dari kalangan muslim (zakat, zakat fitrah, wakaf, nawa dan sedekah, dan
amwa)
2. Penerimaan yang bersumber dari kalangan nonmuslim seperti jizyah, kharaj, dan
ushur.
3. Penerimaan sari sumber lain misalnya ghani, uang tebusan, hadiah dari pimpinan
Negara lain dan pinjaman pemerintah baik kalangan muslim maupun non muslim

Sumber penerimaan yang cukup penting dalam pemerintahan Islam yaitu :


1. Zakat
Dari sumber keuangan negara dalam ekonomi yang islami. Zakat sebagai
sumber penerimaan utama memiliki potensi yang besar mengingat hukumnya yang
wajib.
2. Wakaf
Wakaf dari pandangan hukum syara berarti menahan harta yang mungkin
diambil manfaatnya. Kepemilikan wakaf dikembalikan pada Allah swt. Oleh karena

itu, barang yang diwakafkan tidak boleh dihabiskan, diberikan atau dijual kepada
pihak lain.
3. Nawaib/Daraib
Nawaib yaitu merupakan pajak umum yang dibebankan atas warga negara
untuk menanggung kesejahteraan sosial atau kebutuhan dana untuk situasi darurat.
Pajak ini dibebankan pada kaum muslim kaya dalam rangka menutupi pengeluaran
Negara selama masa darurat.
4. Jizyah
Jizyah merupakan pajak yang dibayar oleh kalangan non muslim sebagai
kompensasi atas fasilitas sosial-ekonomi, layanan kesejahteraan, serta

jaminan

keamanan yang mereka terima dari Negara Islam.


5. Kharaj (Pajak atas tanah) dan Ushur
Kharaj adalah pajak atas tanah yang dimiliki kalangan non muslim di wilayah
negara muslim.
6. Khums
Khums adalah dana yang diperoleh dari seperlima bagian rampasan perang.
Khums juga merupakan suatu sistem pajak proporsional, karena ia adalah persentase
tertentu dari rampasan perang yang diperoleh tentara Islam.
7. Ushur (pajak perdagangan)
ushur adalah pajak yang dikenakan atas barang-barang dagangan yang masuk
negara Islam, atau datang dari negara Islam sendiri. Pajak ini berbentuk bea impor
yang dikenakan pada semua pedagang, dibayar sekali dalam setahun dan hanya
berlaku bagi barang yang nilainya lebih dari 200 dirham.
8. Kaffarah
Kaffarah merupakan denda yang dulu dikenakan kepada suami istri yang
melakukan hubungan di siang hari pada bulan puasa (Ramadhan). Denda tersebut
dimasukkan dalam pendapatan negara.
9. Pinjaman
Pinjaman atau utang baik luar negeri maupun dalam negeri dalam Islam
sifatnya adalah hanya sebagai penerimaan sekunder. Alasannya, ekonomi Islam tidak

mengenal bunga, demikian pula untuk pinjaman dalam Islam haruslah bebas bunga,
sehingga pengeluaran pemerintah akan dibiayai dari pengumpulan pajak atau bagi
hasil.
10. Amwal Fadla
Amwal Fadla merupakan harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa
ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang Muslim yang meninggalkan
negerinya

2.6 Kebijakan Fiskal Sebagai Fungsi Alokasi, Distribusi, dan Stabilisasi Perekonomian
Dalam alokasi, digunakan dalam sistem keuangan Negara, sedangkan distribusinya
menyangkut kebijakan Negara untuk mengelola pengeluarannya serta

menciptakan

mekanisme distribusi ekonomi. Stabilisasi adalah bagaimana negara menciptakan


perekonomian yang stabil. Terkait kebijakan pengeluaran pemerintah anggaran yang efisien
dan efektif merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluaran pemerintah dalam ajaran
Islam dipandu oleh kaidah-kaidah Syariah dan skala prioritas. Pengeluaran dalam negara
Islam harus diupayakan untuk mendukung ekonomi masyarakat muslim. Jadi pengeluaran
pemerintah akan diarahkan pada kegiatan-kegiatan pemahaman terhadap Islam dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan fiskal dengan dibandingkan anggaran yang lainnya, maka Negara tidak
boleh melalaikan anggarannya di dalam Baitul Mal, sebab merupakan suatu kewajiban yang
harus dilaksanakan dan merupakan hak setiap individu yang tidak mampu memenuhi
kebutuhannya akan pangan, sandang dan papan. Juga hak seluruh rakyat untuk mendapatkan
jaminan keamanan, pendidikan dan pelayan kesehatan secara gratis. Bahkan jika Baitul Mal
tidak mampu lagi membiayai anggaran ini, padahal merupakan kewajiban negara terlepas
dengan adanya harta di dalam Baitul Mal, maka kewajiban untuk membiayai anggaran
tersebut beralih kepada kaum Muslimin.

Kebutuhan-kebutuhan Pokok yang disyariatkan oleh islam yaitu :


1. Kebutuhan Primer bagi setiap individu secara menyeluruh.

2. Kebutuhan-kebutuhan pokok bagi seluruh rakyat secara keseluruhan.

Kebijakan belanja umum pemerintah dalam sistem ekonomi syariah dapat dibagi
menjadi tiga bagian:
1. Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.
2. Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.
3. Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut
sistem pendanaannya.
2.7 Dilihat dari Fungsi dari Pemerintah Islam
Fungsi dari Pemerintah Islam yang modern tidak lagi terbatas pada fungsi seperti
yang dijalankan oleh pemerintah Islam terdahulu yang bertumpu pada pertanian. Corak
perekonomian sekarang telah berubah dan

sumber pendapatan yang relatif lebih layak dan

lebih tersedia bagi pemerintah modern. Pemerintahan Islam yang modern semestinya
menggali dari sumber-sumber lain serta melakukan kebijakan-kebijakan strategis yang sesuai
dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam dan dalam operasionalnya tetap patuh pada syariah.
Dengan melakukan terobosan syariah diharapkan pendapatan negara akan optimal serta
kesejahteraan rakyat akan terjamin.
2.8 Pajak dan Zakat Sebagai Instrumen Kebijakan Fiskal
Salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme
zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Hal ini telah mengundang
perdebabatan yang berlarut-larut hampir sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Sebagian besar
ulama fiqh memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak
mungkin dipersatukan. Menurut mereka, zakat adalah kewajiban spiritual seorang Muslim
terhadap Tuhannya, sedangkan pajak adalah kewajibannya terhadap negara.
Untuk itu, perlu diadakan kajian kritis untuk mengintegrasikan kedua kewajiban itu
sehingga kewajiban seorang Muslim terhadap agama dan negaranya dapat terlaksana secara
simultan. Sebaliknya negara juga diuntungkan karena penerimaan negara dari sektor pajak
sesuai dengan yang diharapkan. Pada gilirannya, pengintegrasian itu perlu diwujudkan dalam
kebijakan fiskal negara.

Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan bagaimana landasan pengintegrasikan


zakat ke dalam kebijakan fiskal. Hal ini membawa kepada pertanyaan selanjutnya yaitu
bagaimana pengaruh teori-teori tentang kebijakan fiskal terhadap hukum zakat. Pembahasan
ini menjadi penting karena kebanyakan penulisan tentang zakat selalu dihadapkan secara
diametral dengan pajak sehingga persoalan dikotomi zakat dan pajak terus berlarut-larut.
Sementara bagi yang telah mencoba mengintegrasikannya, belum mencoba melihat zakat
dalam kerangka teori kebijakan fiskal dan melihat pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya
terhadap hukum zakat dan mendiskusikan bagaimana perubahan-perubahan tersebut menjadi
mungkin. Halaman-halaman berikut akan mendiskusikan kedudukan zakat jika diadopsi
sebagai salah satu instrumen dalam kebijakan fiskal, terutama pengaruhnya terhadap hukum
(fiqh) zakat. Terlebih dahulu akan dibahas sekilas mengenai kebijakan fiskal dan kedudukan
pajak di dalamnya.
Contoh menjalankan instrumen kebijakan fiskal, yaitu antara lain :
1. Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation)
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan
menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government securities). Jika ingin
menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan membeli surat berharga pemerintah.
Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar berkurang, maka pemerintah akan menjual
surat berharga pemerintah kepada masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain
diantaranya adalah SBI atau singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau
singkatan atas Surat Berharga Pasar Uang.
2. Fasilitas Diskonto (Discount Rate)
Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan
tingkat bunga bank sentral pada bank umum. Bank umum terkadang mengalami
kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank sentral. Untuk membuat jumlah
uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat bunga bank sentral, serta sebaliknya
menaikkan tingkat bunga demi membuat uang yang beredar berkurang.
3. Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan
memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.
Untuk menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.

4. Himbauan Moral (Moral Persuasion)


Himbauan moral adalah kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar
dengan jalan memberi imbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau
perbankan pemberi kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk
mengurangi jumlah uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke
bank sentral untuk memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
2.9 Risiko Fiskal dan Penganggaran Tradisional
Ada beberapa faktor yang menyebabkan risiko fiskal selalu ada, salah satunya adalah
penerapan pendekatan anggaran konvensional atau tradisional. Allen Schick (2006)
menyatakan bahwa anggaran konvensional sudah tidak memadai lagi, karena:
1. Masih menggunakan basis kas, dimana pengeluaran (expenditures) dicatat ketika
pembayaran dilakukan, tidak ketika kewajiban (liabilities) timbul.
2. Definisi dan kriteria pengakuan. Aturan dalam akuntansi tradisional menghalangi
pengakuan risiko yang belum pasti.
3. kewajiban implisit: banyak risiko yang masih implisit (moral atau politis), bukan
kewajiban yang legal (legal obligations)
4. Anggaran sering menyalahi kondisi fiskal pemerintah: kewajiban (seperti tunggakan2)
dikeluarkan, seperti dilakukan terhadap dana-dana off-budget dan extra-budgetary.
5. Anggaran tidak melihat ke depan (the budget is not forward looking). Horison waktu
terbatas pada satu tahun dan kebputusan pengeluaran dibuat tanpa melihat implikasi
ke depan.
6. Anggaran tidak memasukkan contingent liabilities: Pembayaran-pembayaran pada
masa yang akan datang untuk skema penjaminan dan asuransi hanya dimasukkan
dalam tahun dimana pembayaran dilakukan.
2.10 Mengendalikan Risiko Fiskal
Menurut Schick (2006), ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk membatasi
risiko fiskal pemerintah (limiting the governments fiscal risk), yakni:
1. Melakukan penilaian atas risiko (risk assessment) sebelum komitmen dibuat. Waktu

paling tepat untuk mengontrol risiko adalah sebelum pemerintah menerimanya.


2. Risk assessment dipisahkan dengan risk commitment. Di pemerintah, assessment dan
commitment ditangani oleh entitas yang sama. Sementara di bisnis, keduanya
dipisahkan.
3. Kewajiban yang diperkirakan akan terjadi dilaporkan dalam lampiran laporan
keuangan. IMF code of good practice on fiscal transparency merekomendasikan
pelaporan secara eksplisit atas contingent liabilities.
4. pemerintah berbagi risiko dengan perusahaan atau rumah tangga. Para pengambil
risiko (risk-takers) biaya-biaya yang timbul sebagai konsekuensi yang telah diambil
bersama.
2.11 Pengaruh Kebijakan Fiskal terhadap Hukum (Fiqh) zakat
salah satu persoalan laten dalam konsep ekonomi Islam adalah persoalan dualisme
zakat dan pajak yang harus ditunaikan warga negara yang Muslim. Sebagian besar ulama fiqh
memandang bahwa zakat dan pajak adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin
dipersatukan. Penelitian ini berusaha untuk menjawab bagaimana landasan pengintegrasian
zakat dan pajak tersebut. Dan bagaimana pengaruh teori-teori tentang kebijakan fiskal
terhadap hukum zakat. Karena itu, upaya pengintegrasian zakat dan pajak tersebut adalah
dengan melakukan rekonstruksi sejarah terhadap pelaksanaan zakat pada masa awal Islam.
Sehingga pengintegrasian zakat dan pajak ini dapat dilakukan dengan keberanian
merumuskan kembali konsep zakat dalam Islam. Hal ini tentu akan menyebabkan pergeseran
dalam hukum zakat. Pengaruh kebijakan fiskal modern terhadap hukum zakat terjadi pada
subyek dan obyek pajak, tarif, dan sasaran pendistribusian zakat. Subyek zakat dalam
kebijakan fiskal adalah perorangan dan badan hukum. Pengaruh kebijakan fiskal terhadap
obyek zakat adalah jenis kekayaan yang dikeluarkan zakatnya tidak terbatas pada jenis-jenis
harta tertentu, tetapi juga meliputi berbagai jenis kekayaan lainnya menurut kebijakan
pemerintah. Pengaruh kebijakan fiskal dalam hal tarif atau prosentase zakat yang harus
dikeluarkan adalah sebagaimana dalam pajak, tarif zakat menjadi tidak tetap, bisa saja
dikenakan tarif proporsional, tarif regresif dan tarif progresif sesuai dengan tujuan kebijakan
fiskal yang akan dicapai pemerintah. Sedangkan pengaruh terhadap sasaran pendistribusian
zakat adalah perluasan makna asnaf yang telah ditetapkan al-Quran dengan bertujuan untuk
terpenuhinya pengeluaran pemerintah dalam rangka kesejahteraan masyarakat. Sehingga
penelitian ini memberikan kontribusi bagi penemuan hukum Islam, yaitu penemuan hukum

dengan memakai pendekatan ekonomi makro yakni adanya pengaruh kebijakan fiskal negara
terhadap hukum zakat, baik dari segi subyek, obyek, tarif, dan pendistribusiannya. Secara
praksis, penetapan hukum zakat mengacu kepada tujuan dan filosofi zakat itu sendiri

BAB III

KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah yang terkait dengan

penerimaan

atau pengeluaran negara. Tujuan kebijakan fiskal adalah untuk mencegah pengangguran dan
menstabilkan harga, implementasinya untuk menggerakkan pos penerimaan dan pengeluaran
dalam anggran pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Secara umum Kebijakan Fiskal dalam ekonomi Islam terdapat pendapatan serta fungsi
pemerintahan terhadap anggran APBN dalam suatu Negara. Pajak umumnya bersifat
menindas karena terkesan mewah dan tidak produktif. Pajak dibebankan secara sewenangwenang dan tidak ada prinsip yang sistematis yang harus diikuti. Sumber pemasukan bagi
Negara Islam terdapat sabagi berikut fai, ghani mah, khara (Pemasukan dari hak milik
umum) sedangkan dari Ushur dan Khumus (Pemasukan hak dari milik Negara). Zakat
merupakan alat bantu sosial mandiri yang menjadi kewajiban moral bagi orang kaya untuk
membantu mereka yang miskin dan terabaikan. Dalam Islam, kebijakan fiskal merupakan
suatu kewajiban negara dan menjadi hak rakyat sehingga kebijakan fiskal bukanlah sematamata sebagai suatu kebutuhan untuk perbaikan ekonomi maupun untuk peningkatan
kesejahteraan rakyat, tetapi lebih pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.

DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurul, 2009, Ekonomi Makro Islam ; pendekatan teoritis. Jakarta : kencana
Karim, adiwarman azwar, 2016. Edisi Ketiga Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Karim, adiwarman azwar, 2014. Ekonomi Makro islam, Jakarta : Rajawali
Rahayu, Ani Sri, 2010. Pengantar kebijakan fiskal, Jakarta : Bumi Aksara
Rahardja, Pratama. 2005. Teori Ekonomi Makro; Suatu Pengantar, edisi ketiga. Jakarta:
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sinarno, Amry, 2004. Kitab Zakat Esensi dan Panduan. Palembang : P.D Roda Maju
Sjahrir, 1994. Sjahrir spektrum ekonomi politik Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai