BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebenarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi
islam yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian
dikembangkan oleh para ulama.
Ibnu Khaldun (1404) mengajukan obat untuk resesi berupa
mengecilkan pajak dan mneingkatkan pengeluaran pemerintah, “pemerintah
adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan
dan penerimannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar bila
pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih
besar.” Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagen, yang menemukan
teori Laffer’s Curve, berterus terang bahwa ia mengambil ide Ibnu Khaldun.
Selain itu, Abu Yusuf (798) adalah ekonom pertama yang menulis
secara khusus tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnyaa, al-Kharaj, yang
menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Abu Yusuf sangat menentang adanya pajak atas tanah
dan pertanian dan menyarankan diganti dengan zakat pertanian yang dikaitkan
dengan jumlah hasi panennya. Abu Yusuf membuat rincian baagaimana
membiayai pembangunan jembatan, bendungan dan irigasi.1
Di zaman Rasulullah saw, sisi penerimaan APBN terdiri atas karaj
(sejenis pajak tanah), zakat, kums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan
orang nonmuslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kaaffarah/denda).
Di sisi pengeluaaran, terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah,
1
Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), hlm. 25
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan fiskal?
2. Apa saja Instrumen Fiskal Islami?
3. Apa saja tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan fiskal
2. Untuk mengetahui apa saja Instrumen Fiskal Islami
3. Untuk mengetahui apa saja tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam
2
Ibid, hlm. 26
3
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 206
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), hlm. 159
4
dan sebagainya mempunyai dasar sesuai dengan ajaran Islam baik yang
terdapat dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Dengan demikian, perintah
membayar pajak tersebut dalam Islam merupakan tindakan religius yang
didorong untuk menciptakan kesejahteraan kepada seluruh lapisan
masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim
1. Usyur
a. Pengertian dan Sejarah Usyur
Usyur merupakan pajak yang harus dibayar oleh para pedagang
Muslim atau non-Muslim. Secara etimologi, usyur berarti
sepersepuluh. Secara terminologi, usyur berarti pajak yang dikenakan
terhadap barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau yang ada
di negara Islam itu sendiri. Usyur atau yang diistilahkan dengan pajak
perdagangan ataupun bea cukai ini sudah ada pada masa sebelum
Islam. Pemerintahan Yunani telah memungut pajak terhadap barang
dagangan yang datang dari luar negeri Athena ini. Pemerintah Mesir
Kuno juga menerapkan hal ini yang justru membawa besarnya
kekuasaan Romawi di negeri ini. Negara Islam mengambil bea cukai
dari setiap barang dagangan yang datang dari negara lain.8
Istilah Usyur belum dikenal pada masa Rasulullah dan masa
Abu Bakar Siddiq. Pajak perdagangan ini mulai dikenal sejak masa
kekhalifahan umar Ibn Khatab dan terus dikembangkan pada masa
sesudah pemerintahannya. Latar belakang penerapan usyur ini terjadi,
karena pada masa Umar berdasarkan laporan Musa al-Asy'ari bahwa
para pedagang Muslim yang berdagang ke wilayah non-Muslim
dipungut pajak perdagangan oleh pemerintah wilayah setempat. Demi
menegakkan keadilan kesetaraan dalam perdagangan internasional
Umar ibn Khatab pun memutuskan memungut pajak dari orang-orang
non-Muslim yang bedagang ke wilayah Islam. Penduduk yang
8
Ibid, hlm. 212
7
pertama kali dipungut usyur adalah kafir harbi dari penduduk Ming.
Mereka menulis surat kepada Khalifah Umar ibn Khatab yang isinya:
"Izinkan kami berdagang ke wilayahmu dan ambillah usyur dari
kami". Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Umar ibn Khatab
kemudian menetapkan usyur bagi para pedagang non-Muslim yang
berdagang di wilayah Islam. Dalam menerapkan usyur, Khalifah Umar
menunjuk petugas yang berwenang untuk memungut usyur dengan
mendirikan lembaga yang bernama Thaifah al-Usyur. Lembaga ini
bertugas memungut usyur dan memberi sertifikat kepada mereka yang
telah melunasi usyur ataupun memberi sanksi kepada mereka yang
enggan membayar pajaknya.9
b. Kadar usyur
Usyur ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara.
Pada awalnya usyur merupakan pajak perdagangan yang dikenakan
kepada perdagangan non-Muslim yang melakukan perdagangan di
negara Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, usyur juga diterapkan
kepada pedagang Muslim. Dalam pemungutan usyur, Umar ibn
Khatab mempertimbangkan dua hal yaitu, pertama, barang-barang
yang dikenakan usyur hanya barang perdagangan. Kedua, nilainya
mencapai 200 dirham. Terhadap barang-barang kebutuhan pokok,
Umar tidak mengenakan usyur. Menindaklanjuti konsep usyur pada
masa Umar ini, menurut Abu Yusuf, bea masuk dalam perdagangan
internasional (usyur) ini, hanya dikenakan pada barang dagangan,
bukan pada barang dagangan, bukan pada barang keperluan pribadi.
Dalam kitab al-Kharaj dijelaskan, jika ada orang yang melewati pos
bea cukai dengan membawa barang yang bukan untuk
diperdagangkan maka tidak dikenai bea masuk. Jika golonganzimmah
melewati pos bea cukai, ia dikenai 5% (nisf al-usyur). Pajak bea
9
Ibid, hlm. 213
8
2. Kharaj
a. Pengertian dan sejarah Kharaj
Kharaj berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan artinya
keluar. Secara terminologi, berarti pajak yang dikeluarkan atas tanah
yang dilakukan oleh pasukan islam. Kharaj pertama kali diperkenalkan
setelah perang khaibar ketika itu rasulullah membolehkan orang-orang
yahudi khaibar memiliki kembali tanah mereka dengan syarat
mengeluarkan separuh dari hasil panen tanah tersebut kepada
pemerintah islam sebagai kharaj (pajak). Pada masa Umar Bin Khatab,
10
Ibid, hlm. 214
9
11
Ibid, hlm. 215
10
12
Ibid, hlm. 216
11
b. Kadar jizyah
Pada masa rasulullah besarnya jizyah yang dipungut adalah 1
dinar/tahun bagi laki-laki dewasa yang mampu. Pada masa Umar Ibn
Khatab, daerah kekuasaan islam semakin luas, dan diberbagai
wilayahtersebut banyak kaum nasrani dan kafir zimmi yang belum
masuk islam, sementara mereka wajib membayar jizyah, Khalifah
Umar membuat sistem dan aturan baru tentang jizyah. Hal ini
bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negara. Umar
menetapkan tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi
dan kemampuan para wajib jizyah tersebut.
Dalam pemungutan jizyah, Umar memberikan kelonggaran dan
keringanan kepada :
1) Warga negara yang miskin tidak mempunyai pekerjaan dan
keahlian.
2) Penjaga kuil dan para pendeta yang hanya menetap di tempat
3) Laki-laki yang tidak mampu bekerja dan tidak mempunyai harta
13
Ibid, hlm. 219
12
14
Ibid, hlm. 220
13
masa dan proses ekspansi wilayah kekuasaan islam sehingga khums ini
kurang populer dan dalam perkembangan pemikiran ekonomi islam. 15
15
Ibid, hlm. 221
16
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), hlm. 170
14
tujuan ini tetap sah diterapkan dalam sistem ekonomi Islam walaupun
penafsiran mereka akan menjadi berbeda.
Selanjutnya, kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam juga bertujuan "at
safe-gruarding and spreading the religion within the country as well in the
world at large." Bahkan, meskipun tujuan pertumbuhan, stabilitas, dan
sebagainya tetap sah dalam ekonomi Islam, tujuan-tujuan tersebut akan
menjadi subservient untuk tujuan menanggulangi kaum muslim dan Islam
sebagai suatu entitas politis dan agama serta dakwah menyebarluaskan ke
seluruh penjuru dunia.17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
17
Ibid, hlm. 171
15