Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebenarnya kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi
islam yaitu sejak zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, dan kemudian
dikembangkan oleh para ulama.
Ibnu Khaldun (1404) mengajukan obat untuk resesi berupa
mengecilkan pajak dan mneingkatkan pengeluaran pemerintah, “pemerintah
adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan
dan penerimannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar bila
pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih
besar.” Laffer, penasihat ekonomi Presiden Ronald Reagen, yang menemukan
teori Laffer’s Curve, berterus terang bahwa ia mengambil ide Ibnu Khaldun.
Selain itu, Abu Yusuf (798) adalah ekonom pertama yang menulis
secara khusus tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnyaa, al-Kharaj, yang
menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan rakyatnya. Abu Yusuf sangat menentang adanya pajak atas tanah
dan pertanian dan menyarankan diganti dengan zakat pertanian yang dikaitkan
dengan jumlah hasi panennya. Abu Yusuf membuat rincian baagaimana
membiayai pembangunan jembatan, bendungan dan irigasi.1
Di zaman Rasulullah saw, sisi penerimaan APBN terdiri atas karaj
(sejenis pajak tanah), zakat, kums (pajak 1/5), jizya (sejenis pajak atas badan
orang nonmuslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kaaffarah/denda).
Di sisi pengeluaaran, terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah,

1
Adiwarman Aswar Karim, Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), hlm. 25
2

pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja


pegawai.2
Pada dasarnya pemerintah harus menjadi panutan bagi masyarakat.
Pemerintah haruslah berbenja sesuai dengan pendapatan. Keadaan inilah yang
dinamakan dengan anggaran belanja berimbang. Apabila belanja pemerintah
melebihi penerimaan, sehingga mengharuskan pemerintah meminjam dari
masyarakat atau mencetak uang baru. Anggaran belanja pemerintah selalu
disesuaikan dengan keadaan ekonomi pada masa tertentu. Apabila tingkat
kegiatan ekonomi rendah dan terdapat banyak pengangguran, kemiskinan,
musibah, dan lain sebagainya, pemerintah akan melakukan belanja yang
melebihi pendapatannya. Keadaan inilah yang menimbulkan defisit anggaran.
Akan tetapi, apabila tingkat perekonomian baik, kesempatan kerja penuh
tercapai, kenaikan harga seimbang, belanja negara dapat dihemat, sehingga
pemerintah dapat melakukan saving terhadap pendapatanya. Keadaan inilah
yang dinamakan dengan anggaran belanja surplus.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kebijakan fiskal?
2. Apa saja Instrumen Fiskal Islami?
3. Apa saja tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kebijakan fiskal
2. Untuk mengetahui apa saja Instrumen Fiskal Islami
3. Untuk mengetahui apa saja tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam

2
Ibid, hlm. 26
3
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 206
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kebijakan Fiskal


Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk
membelanjakan pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tajuan ekonomi.
Dan kebijakan fiskal tersebut memiliki dua instrumen, pertama: kebijakan
pendapatan, yang tercermin dalam kebijakan pajak, kedua: kebijakan belanja.
Kedua instrumen tersebut akan tercermin dalam anggaran belanja negara.
Kebijakan fiskal adalah bagian dari kebijakan ekonomi suatu negara yang
tidak dapat berdiri sendiri dalam pencapaian tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan
penting lainnya adalah kebijakan moneter.4
Dalam struktur APBN, terdapat beberapa instrumen yang digunakan
pemerintah untuk menghimpun dana, yaitu:

1. Melakukan bisnis, misalnya dengan mendirikan Badan Usaha Milik


Negara (BUMN). Dari perusahaan-perusahaan ini pemerintah mendapat
keuntungan yang digunakan sebagai sumber pendapatan negara.
2. Pajak, penghimpuban dana yang umum dilakukan dibeberapa negara
adalah dengan cara nenarik pajak dari masyarakat. Pajak dikenakan dalam
berbagai bentuk, seperti pajak pendapatan, pajak penjualan, pajak bumi
dan bangunan, dan lain-lain. Pajak dikenakan kepada masyarkat tidak
dibedakan terhadap bentuk usaha sehingga cenderung
menimbulkankeridakstabilan. Pajak dibebankan oleh produsen kepada
konsumen dengan menaikkan harga barang/jasa.

4
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), hlm. 159
4

3. Meminjam uang, pemerintah dapat meminjam uang dari masyarakat atau


sumber-sumber lainnya dalam jangka waktu tertentu dengan cara menjual
obligasi.5

B. Kebijakan Fiskal dalam Perekonomian Islam


Prinsip Islam tentang kebijakan fiskal dan anggaran belanja bertujuan
untuk mengembangkan suatu masyarakat yang didasarkam atas distribusi
kekayaan berimbang dengan menempatkan nilai-nilai material dan spiritual
pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal dianggap sebagai alat untuk
mengatur dan mengawasi perilaku manusia yang dipengaruhi melalalui
imsentif yang disediakan dengan meningkatkan pemasukan pemerintah
(melalui perpajakan pinjaman atau jaminan terhadap pengeluaran
pemerintah). Kebijakan fiskal dalam suatu negara tentulah diharapkan sesuai
dengan prinsip dan nilai-nilai Islam karena tujuan pokok agama Islam adalah
mencapai kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan.6
Dalam masalah pengeluaran, Al- Qur'an telah menetapkan suatu
kebijakan pengeluaran yang luas untuk distribusi pendapatan kekayaan
berimbang. Dalam Al-Qur'an dinyatakan dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan, katakanlah yang lebih dari keperluan. (QS Al-
Baqarah [2]:219) ini bukanlah berarti mengeluarkan uang untuk hal-hal yang
tidak menentu. Islam bukan hanya mencegah tapi mengutuk pemborosan (QS
Al-Israa' [17]:27). Penimbunan juga dikutuk karena kekayaan tak dapat
beredar serta manfaatnya tidak dapat dinikmati oleh masyarakat.
Dalam ekonomi konvensional, kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai
langkah pemerintah untuk membuat perubahan-perubahan dalam sistem pajak
atau dalam pembelanjaan. Tujuannya tentu untuk mengatasi masalah-masalah
ekonomi yang dihadapi negara. Kebijakan fiskal meliputi pajak dan
5
Rozalinda, Ekonomi Islam, (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 208
6
Ibid, hlm. 210
5

pembelanjaan (goverment expenditure). Berdasarkan dalam konsep ekonomi


Islam, kebijakan fiskal bertujuan untuk mengembangkan suatu masyarakat
yang didasrkan atas distribusi kekayaan berimbang dengan menempatkan
nilai-nilai materiil dan spirituil pada tingkat yang sama. Kebijakan fiskal
menurut ekonomi Islam, diharapkan melaksanakan fungsi alokasi, distribusi,
dan stabilisasi dalam suatu negara yang mempunyai ciri khas tertentu dari
nilai orientasi, dimensi, etik, dan sosial dalam pendapatan, dan pengeluaran
negara Islam. Sistem perpajakan Islam harus menjamin bahwa hanya
golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihanlah yang memikul
beban utama pajak. Adapun ciri kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam
adalah:
1. Pengeluaran negara dilakukan berdasarkan pendapatan sehingga jarang
terjadi defisit anggaran.
2. Sistem pajak proporsional, pajak dalam ekonomi Islam dibebankan
berdasarkan tingkat produktivitas. Misalnya kharaj, besarnya pajak
ditentukan berdasarkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi, maupun
jenis tanaman.
3. Perhitungan zakat berdasarkan hasil keuntungan bukan pada jumlah
barang. Misalnya, zakat perdagangan, yang dikeluarkan zakatnya adalah
hasil keuntungan, sehingga tidak ada pembebanan terhadap biaya
produksi.7

C. Instrumen Fiskal Islami


Secara umum sumber pemasukan negara dalam perspektif ekonomi
Islam adalah zakat, usyur (pajak perdagangan), kharaj (pajak pertanian),
jizyah (pajak perorangan), khums (pajak harta rampasan perang), warisan
kalalah (orang yang tidak mempunyai ahli waris), kaffarat (denda), hibah dan
pendapatan lain yang bersumber dari usaha yang halal. Zakat, kharaj, jizyah,
7
Ibid, hlm. 211
6

dan sebagainya mempunyai dasar sesuai dengan ajaran Islam baik yang
terdapat dalam Al-Qur'an maupun sunnah. Dengan demikian, perintah
membayar pajak tersebut dalam Islam merupakan tindakan religius yang
didorong untuk menciptakan kesejahteraan kepada seluruh lapisan
masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim
1. Usyur
a. Pengertian dan Sejarah Usyur
Usyur merupakan pajak yang harus dibayar oleh para pedagang
Muslim atau non-Muslim. Secara etimologi, usyur berarti
sepersepuluh. Secara terminologi, usyur berarti pajak yang dikenakan
terhadap barang dagangan yang masuk ke negara Islam atau yang ada
di negara Islam itu sendiri. Usyur atau yang diistilahkan dengan pajak
perdagangan ataupun bea cukai ini sudah ada pada masa sebelum
Islam. Pemerintahan Yunani telah memungut pajak terhadap barang
dagangan yang datang dari luar negeri Athena ini. Pemerintah Mesir
Kuno juga menerapkan hal ini yang justru membawa besarnya
kekuasaan Romawi di negeri ini. Negara Islam mengambil bea cukai
dari setiap barang dagangan yang datang dari negara lain.8
Istilah Usyur belum dikenal pada masa Rasulullah dan masa
Abu Bakar Siddiq. Pajak perdagangan ini mulai dikenal sejak masa
kekhalifahan umar Ibn Khatab dan terus dikembangkan pada masa
sesudah pemerintahannya. Latar belakang penerapan usyur ini terjadi,
karena pada masa Umar berdasarkan laporan Musa al-Asy'ari bahwa
para pedagang Muslim yang berdagang ke wilayah non-Muslim
dipungut pajak perdagangan oleh pemerintah wilayah setempat. Demi
menegakkan keadilan kesetaraan dalam perdagangan internasional
Umar ibn Khatab pun memutuskan memungut pajak dari orang-orang
non-Muslim yang bedagang ke wilayah Islam. Penduduk yang
8
Ibid, hlm. 212
7

pertama kali dipungut usyur adalah kafir harbi dari penduduk Ming.
Mereka menulis surat kepada Khalifah Umar ibn Khatab yang isinya:
"Izinkan kami berdagang ke wilayahmu dan ambillah usyur dari
kami". Setelah bermusyawarah dengan para sahabat, Umar ibn Khatab
kemudian menetapkan usyur bagi para pedagang non-Muslim yang
berdagang di wilayah Islam. Dalam menerapkan usyur, Khalifah Umar
menunjuk petugas yang berwenang untuk memungut usyur dengan
mendirikan lembaga yang bernama Thaifah al-Usyur. Lembaga ini
bertugas memungut usyur dan memberi sertifikat kepada mereka yang
telah melunasi usyur ataupun memberi sanksi kepada mereka yang
enggan membayar pajaknya.9
b. Kadar usyur
Usyur ini merupakan salah satu sumber pendapatan negara.
Pada awalnya usyur merupakan pajak perdagangan yang dikenakan
kepada perdagangan non-Muslim yang melakukan perdagangan di
negara Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, usyur juga diterapkan
kepada pedagang Muslim. Dalam pemungutan usyur, Umar ibn
Khatab mempertimbangkan dua hal yaitu, pertama, barang-barang
yang dikenakan usyur hanya barang perdagangan. Kedua, nilainya
mencapai 200 dirham. Terhadap barang-barang kebutuhan pokok,
Umar tidak mengenakan usyur. Menindaklanjuti konsep usyur pada
masa Umar ini, menurut Abu Yusuf, bea masuk dalam perdagangan
internasional (usyur) ini, hanya dikenakan pada barang dagangan,
bukan pada barang dagangan, bukan pada barang keperluan pribadi.
Dalam kitab al-Kharaj dijelaskan, jika ada orang yang melewati pos
bea cukai dengan membawa barang yang bukan untuk
diperdagangkan maka tidak dikenai bea masuk. Jika golonganzimmah
melewati pos bea cukai, ia dikenai 5% (nisf al-usyur). Pajak bea
9
Ibid, hlm. 213
8

masuk (usyur) hanya dikenakan untuk tujuan perdagangan. Abu


Yusuf memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap pos yang satu
ini, sehingga banyak memberi masukan kepada Khalifah Harun al-
Rasyid berkaitan dengan begaimana pengelolaan usyur tersebut dan
pegawai yang mengurus masalah ini.
Rate of Usyur (tingkat pajak perdagangan) berkisar dari 2,5%
per tahun untuk pedagang Muslim. Kemudian 5% per tahun bagi ahlu
zimmah, 10% per tahun untuk perdagangan kafir harbi. Kadar usyur
yang dipungut adalah omset yang mencapai 20 dinar untuk emas dan
200 dirham untuk perak.
Dalam memberlakukan ketentuan tentang usyur ini, Umar
selalu menerapkan prinsip keadilan. Hal ini terbukti dari rate of usyur
yang (tarif) usyur tersebut. Yakni, para perdagang harbi dikenakan
usyur bila mereka juga mengenakan usyur terhadap pedagang Muslim
di negeri mereka. Untuk pedagang zimmi, dikenakan usyur separo dari
kewajiban dengan harbi sedangkan untuk pedagang Muslim dikenakan
seperempat dari kewajiban pedagang harbi. Karena pedagang Muslim,
juga dikenakan zakat perdagangan tmyang dikeluarkan tiap tahun.10

2. Kharaj
a. Pengertian dan sejarah Kharaj
Kharaj berasal dari kata kharaja-yakhruju-khurujan artinya
keluar. Secara terminologi, berarti pajak yang dikeluarkan atas tanah
yang dilakukan oleh pasukan islam. Kharaj pertama kali diperkenalkan
setelah perang khaibar ketika itu rasulullah membolehkan orang-orang
yahudi khaibar memiliki kembali tanah mereka dengan syarat
mengeluarkan separuh dari hasil panen tanah tersebut kepada
pemerintah islam sebagai kharaj (pajak). Pada masa Umar Bin Khatab,
10
Ibid, hlm. 214
9

pengurusan kharaj mulai diatur secara sistematis dan diterbitkan. Umar


mengatur administrasi Kharaj dengan mendirikan diwan al-kharaj. Hal
ini disebabkan , karena banyaknya daerah yang berhasil ditaklukan
termasuk tanah pertanian. Umar memperlakukan tanah tersebut
sebagai fai’ kharaj. Pada masa itu banyak terdapat di daerah bekas
kerajaan romawi dan sasanid sehingga membutuhkan sistem penilaian,
pengumpulan, dan pendistribusian yang teratur. Umar mengutus
Usman Ibn Hanif untuk mengukur batas tanah-tanah di Sawad yang
ternyata mencapai luas 150 juta jarib.11
b. Ketentuan dan kadar kharaj
Pemungutan kharaj terhadap setiap lahan pertanian tidak sama,
karena jumlah pajak setiap lahan pertanian ditentukan oleh kualitas
tanah dan kemampuan memikul pajak, pemungutan kharaj pada masa
Rasulullah bersifat tidak tetap tergantung pada jenis tanaman dan
tingkat kesuburan tanah. Rasul memungut pajak kebun anggur dan
kebun kurma jumlahnya lebih besar dari ladang gandum. Pada masa
Umar pun Kharaj dipungut berdasarkan pada tingkat kesuburan tanah,
lokasi , dan lingkungan tempat tanah itu berada. Dengan demikian ada
beberapa faktor yang diperhatikan dalam pemungutan kharaj yakni:
1) Karakteristik kesuburan tanah. Tanah yang subur akan dapat
menghasilkan tanaman yang baik dan dengan jumlah yang besar.
2) Karakteristik jenis tanaman yang dihasilkan, baik dari segi jumlah
yang dihasilkan maupun dari segi kualitas tanamannya.
3) Karakteristik jenis pengairan. Pengairan ini terbagi atas empat
kategori yakni, tanah yang diari oleh sungai, tanah yang diari oleh
tenaga manusia, tanah yang diairi oleh hujan, dan kesuburan
didapat secara alamiah.

11
Ibid, hlm. 215
10

Abu Yusuf memberikan memberikan pertimbangan bahwa


sistem irigasilah yang lebih utama untuk diperhatikan dalam
menetapkan tarif kharaj, sedangkan pertimbangan terhadap faktor
kualitas tanah dan jenis tanaman merupakan faktor terakhir.

Cara memungut kharaj ada dua yaitu :

1) Kharaj muqassimah (perbandingan). Cara ini ditetapkan


berdasarkan hasil tanah, misalnya seperdua dan sepertiga dari hasil
tanaman yang dipungut pada setiap kali panen
2) Kharaj wazifah (tetap). Yakni, beban khusus yang diberikan pada
lahan pertanian sebanyak hasil panen atau persatuan lahan, yang
kewajibannya dikenakan setelah lewat satu tahun.12
4. Jizyah
a. Pengertian dan sejarah jizyah
Sumber pendapatan lainnya pada masa awal Islam berupa
pajak adalah jizyah. Secara bahasa jizyah berasal dari kalimat jaza’,
yang berarti penggantian (kompensasi), atau balasan atas suatu
kebaikan atau kejahatan. Secara terminologi jizyah adalah pajak yang
dikenakan pada warga non muslim sebagai imbalan untuk jaminan
kehidupan yang diberikan oleh negara islam. Ia merupakan pajak jiwa
bagi non muslim yang tinggal di wilayah Daulah Islamiyah. Jizyah
dipungut oleh negara dari warga non islam yang membuat perjanjian
dengan pemerintah sebagaiwujud loyalitas mereka kepada
pemerintahan islam, konsekuensi dari perlindungan, jaminan
keamanan jiwa dan harta, fasilitas ekonomi, sosial yang diberikan
pemerintah islam kepada mereka, dan sebagai kompensasi dibebaskan
dari kewajiban ikut perang. Ada yang berpendapat bahwa jizyah yang

12
Ibid, hlm. 216
11

dipungut dari warga negara non muslim merupakan sewa untuk


tinggal di negara muslim.13
Kelompok non-muslim pertama yang membuat perjanjian
membayar jizyah kepada pemerintahan islam pada masa rasullulah
adalah kaum nasrani, najran. Kemudian, masyarakat Bahrain yang
menganut paham zorotisme. Adapun warga non muslim yang wajib
membayar jizyah adalah laki-laki dewasa yang merdeka (bukan
budak). Sementara itu, bagi wanita, anak-anak, orang tua, pendeta,
pengemis dan orang gila tidak dikenakan wajib jizyah. Malahan bagi
mereka yang tidak mampu membayar justru mendapat subsidi dari
negara.

b. Kadar jizyah
Pada masa rasulullah besarnya jizyah yang dipungut adalah 1
dinar/tahun bagi laki-laki dewasa yang mampu. Pada masa Umar Ibn
Khatab, daerah kekuasaan islam semakin luas, dan diberbagai
wilayahtersebut banyak kaum nasrani dan kafir zimmi yang belum
masuk islam, sementara mereka wajib membayar jizyah, Khalifah
Umar membuat sistem dan aturan baru tentang jizyah. Hal ini
bertujuan mewujudkan keadilan bagi seluruh warga negara. Umar
menetapkan tarif jizyah yang bervariasi tergantung kondisi ekonomi
dan kemampuan para wajib jizyah tersebut.
Dalam pemungutan jizyah, Umar memberikan kelonggaran dan
keringanan kepada :
1) Warga negara yang miskin tidak mempunyai pekerjaan dan
keahlian.
2) Penjaga kuil dan para pendeta yang hanya menetap di tempat
3) Laki-laki yang tidak mampu bekerja dan tidak mempunyai harta
13
Ibid, hlm. 219
12

4) Orang yang hilang ingatan


Namun, bagi tiga golongan diatas akan dikenakan jizyah bila
mereka sudah baik ekonominya atau mempunyai harta. Pembayaran
jizyah sangat fleksibel. Ia tidak harus dengan uang tunai, tetapi bisa
dibayar dengan ternak dan barang dagangan. Jizyah merupakan bentuk
dari dakwah islamiyah dalam rangka mengajak umat non muslim
masuk islam secara persuasif, jika mereka masuk militer mereka
dibebaskan dari kewajiban jizyah. Kewajiban jizyah berakhir bagi
mereka yang masuk islam.14
5. Khums
Khums merupakan sumber pendapataan negara islam, sebagai
bagian dari harta rampasan perang (ghanimah). Secara bahasa khums
berarti satu per lima. Secara terminologi khums berarti, seperlima dari
harta rampasan perang yang dikeluarkan untuk Allah, Rasul, Karib kerabat
rasul, fakir, miskin, dan para musafir. Dalam islam harta rampasan perang
diberikan diberikan kepada tentara muslimyang ikut dalam perang
sebanyak empat per lima, sedangkan satu per lima menjadi milik Allah. Ia
menjadi bagian yang penting dalam keuangan negara, dimana bagian
untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul disalurkan ke baitul mal. Dan bagian
untuk anak yatim dan lain sebagainya diberikan kepada yang
membutuhkannya.
Setelah rasul wafat, pada masa khalifaurasidin, khums dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu untuk anak yatim, fakir miskin, dan para
musafir. Sedangkan Allah,Rasul, dan kerabat Rasul disalurkan ke baitul
mal untuk kas negara.
Meskipun khums sebagai instrumen pendapatan negara Islam.
Namun, ia bersifat tidak tetap karna ghanimah hanya diperbolehkan dalam

14
Ibid, hlm. 220
13

masa dan proses ekspansi wilayah kekuasaan islam sehingga khums ini
kurang populer dan dalam perkembangan pemikiran ekonomi islam. 15

D. Tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam


Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam akan berbeda dan
penafsiran sistem ekonomi non-Islam. Namun hanya memiliki kesamaan,
yaitu sama-sama menganalisis dan membuat kebijakan ekonomi. Tujuan dari
semua aktivitas ekonomi bagi semua manusia adalah untuk memaksimumkan
kesejahteraan hidup manusia. Kebijakan publik adalah suatu alat untuk
mencapai tujuan tersebut (Muhammad 2002;197-198).16
Pada sistem ekonomi sekuler/non-Islam, konsep kesejahteraan hidup
adalah mendapatkan keuntungan maksimum bagi individu di dunia ini. Tidak
ada sesuatu yang diberikan kepada masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan
spiritoal manusia. Di dalam Islam, kosep kesejahteraannya sangat luas,
meliputi kehidupan di dunia dan diakhirat serta peningkatan spiritual lebih
ditekankan daripada pemilikan material. Sementara itu, ekonomi sekuler
adalah bebas nilai, Dalam sistem ekonomi Islam nilai moral adalah pusatnya.
Perbedaan ini harus selalu dijaga dalam jiwa kita, sebab mereka memberikan
penafsiran yang tepat mengenai berbagai tujuan dan petunjuk prioritas.

Kebijakan fiskal dalam ekonomi kapitalis bertujuan untuk (1)


pergalokasian sumber daya secara efisien; (2) pencapaian stabilitas ekonomi;
(3) mendorong pertumbuhan ekonomi; dan yang terakhir (4) pencapaian
distribusi pendapatan yang seuai (P R.Faridi, A Theory of Fleal Policy in an
Islamic State,dalam Munawar lqbal dan Fahin Khan, 2961 hal 52)
Sebagaimana ditunjukkan oleh Faridi dan Salama (dua ksnom Muslim) bahwa

15
Ibid, hlm. 221
16
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005), hlm. 170
14

tujuan ini tetap sah diterapkan dalam sistem ekonomi Islam walaupun
penafsiran mereka akan menjadi berbeda.
Selanjutnya, kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam juga bertujuan "at
safe-gruarding and spreading the religion within the country as well in the
world at large." Bahkan, meskipun tujuan pertumbuhan, stabilitas, dan
sebagainya tetap sah dalam ekonomi Islam, tujuan-tujuan tersebut akan
menjadi subservient untuk tujuan menanggulangi kaum muslim dan Islam
sebagai suatu entitas politis dan agama serta dakwah menyebarluaskan ke
seluruh penjuru dunia.17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
Ibid, hlm. 171
15

1. Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang diambil pemerintah untuk


membelanjakan pendapatannya dalam merealisasikan tujuan-tajuan
ekonomi. Dan kebijakan fiskal tersebut memiliki dua instrumen, pertama:
kebijakan pendapatan, yang tercermin dalam kebijakan pajak, kedua:
kebijakan belanja. Kedua instrumen tersebut akan tercermin dalam
anggaran belanja negara. Kebijakan fiskal adalah bagian dari kebijakan
ekonomi suatu negara yang tidak dapat berdiri sendiri dalam pencapaian
tujuan-tujuan ekonomi, kebijakan penting lainnya adalah kebijakan
moneter.
2. Instrumen Kebijakan Fiskal dalam perspektif ekonomi Islam adalah zakat,
usyur (pajak perdagangan), kharaj (pajak pertanian), jizyah (pajak
perorangan), dan khums (pajak harta rampasan perang).
3. Tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam yaitu:
a. Memberikan kesejahteraan kepada rakyat
b. Menanamkan nilai-nilai islam dan moral yang kuat
c. Menyebarkan agama islam

Anda mungkin juga menyukai